Kita melanjutkan kotbah eksposisi kitab Hakim-hakim; hari ini masuk ke hakim yang ke-4, kisah Debora dan Barak. Kalau sebelumnya kita membahas 3 hakim sekaligus dalam satu khotbah supaya kita bisa melihat maknanya dengan jelas, hari ini terbalik, cerita satu hakim kali ini bisa kita bahas dalam beberapa khotbah karena banyak hal yang perlu dilihat secara detail. Kita akan membahas musuh-musuhnya lebih dulu, lalu tokoh protagonisnya, dan selanjutnya mungkin ada variasi tema yaitu tentang kepemimpinan wanita dalam terang kisah Debora –sesuatu yang perlu dalam konteks zaman kita hari ini. Khotbah berikutnya mungkin masih bisa membahas kisah ini, karena pasal 4 membahas tentang Debora dari sudut pandang seorang narator atau sejarawan, lalu di pasal 5 catatan kejadian yang sama diungkapkan lewat perspektif yang berbeda, perspektif seorang pujangga, bentuknya puisi. Jadi banyak hal yang bisa dibahas, kita tidak akan terburu-buru dengan kisah ini.
Kita masuk ke pembahasan yang pertama; kita akan membaca 3 ayat pertama saja, yang bahkan belum mengetengahkan tokoh Debora, baru tokoh-tokoh antagonisnya (Hakim-hakim 4:1-3).
Di ayat 1 kita melihat ada cerita lama, lalu di ayat 2 ada cerita baru. Cerita lamanya jelas ditekankan dengan adanya istilah ‘pula’; dikatakan: ‘Setelah Ehud mati, orang Israel melakukan pula apa yang jahat di mata TUHAN (ayat 1). Jadi ini sesuatu yang kembali berulang, maka dikatakan ‘pula’, atau lebih tepatnya ‘lagi-lagi’ –‘Setelah Ehud mati, orang Israel lagi-lagi melakukan apa yang jahat di mata TUHAN’. Waktu sekarang ini kita sudah sampai pada hakim yang ke-4 dan kita melihat hal ini terus berulang, maka Saudara tahu bahwa ini sudah beralih dari fase pandemi ke fase endemi, kejahatan Israel sudah seperti penyakit yang menetap, yang tidak bakal hilang, ini lagi ini lagi. Dari dua ayat pertama ini, kita juga diingatkan dalam pasal ini ada cerita baru. Di satu sisi, dosanya dosa lama; namun demikian yang terjadi di ayat 2, Tuhan mendatangkan penindas yang baru dan juga penyelamat yang baru. Satu hal penting yang ingin saya soroti sejak awal, yaitu ayat 2 ini mengingatkan kita bahwa Tuhanlah yang membangkitkan keduanya, Tuhan bukan cuma membangkitkan sang penyelamat, tapi juga sang penindas; ayat 2: ‘Lalu TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tangan Yabin, raja Kanaan, yang memerintah di Hazor. Panglima tentaranya ialah Sisera yang diam di Haroset-Hagoyim’ —persis seperti di pasal sebelumnya Tuhan memberikan kuasa kepada Eglon atas Israel.
Sekali lagi dalam kisah ini kita mendapatkan kembali gambaran yang sama seperti yang lalu- lalu, bahwa kejahatan Israel itu membosankan, itu lagi, itu lagi, tidak ada yang baru, kalaupun ada variasi maka variasinya dalam setiap siklus kejahatannya makin parah, tapi dosanya itu lagi, itu lagi, membosankan. Sementara itu, kita juga diperlihatkan bahwa cara Tuhan menangani dosa mereka selalu kreatif, baik dalam hal mendatangkan konsekuensinya ataupun dalam hal keselamatannya. Itu sebabnya ayat-ayat pertama ini penting, kita jangan lewatkan dan langsung lompat ke Debora, karena bagian ini membuat kita sekali lagi menyadari bahwa kitab Hakim-hakim bukanlah terutama mengenai hakim-hakimnya melainkan selalu mengenai Allah, yang ada di belakang mereka. Dan, gambaran yang kita dapat mengenai Allah di sini adalah Allah yang tidak menunggu dengan pasif orang datang bertobat kepada Dia; inilah Allah yang bukan cuma berespons ketika umat-Nya berteriak minta tolong, tapi Allah yang juga berespons ketika umat-Nya berdosa. Dialah yang mendorong umat-Nya untuk berteriak kepada-Nya, Dialah yang membangkitkan para penindas, Dialah yang memberikan konflik masuk di antara umat-Nya dengan bangsa-bangsa sekitarnya; supaya apa? Supaya orang Israel berteriak kepada-Nya. Ini bukan Allah yang pasif, bukan Allah yang berperan setengah-setengah yang ‘nanti kalau urusan keselamatan baru Aku, tapi kalau urusan penindasan bukan Aku’. Saudara tidak melihat yang seperti itu di dalam Alkitab, tapi dua-duanya.
Jangan lupa, ini bukan cuma muncul di pasal 4, tapi di semua siklus ceritanya Saudara melihat pola yang sama, bahkan di pasal 3 pun kita sudah jelas akan hal ini. Di bagian introduksi (pasal 1-2) kita melihat ada problem yaitu bangsa Israel gagal menghalau penduduk Kanaan, dengan demikian di tengah-tengah mereka ada penduduk Kanaan, tapi yang menarik, apa yang Tuhan lakukan kemudian? Tuhan bukan serta-merta, ‘ya, sudahlah, bangsa Israel; kamu tidak sanggup, jadi Aku yang menghalau mereka sendiri’, tapi sebagaimana dikatakan dalam beberapa ayat pertama pasal 3 konklusinya adalah Tuhan membiarkan bangsa-bangsa itu tinggal di sana. Lucu ya. Keberadaan bangsa-bangsa Kanaan ini bisa tetap tinggal di sana, di level permukaan adalah memang karena kegagalan Israel, tapi di level yang lebih dalam, Alkitab juga meng-atributkan kehadiran bangsa-bangsa pengacau ini kepada Tuhan. Inilah level kedaulatan Tuhan yang Saudara lihat di dalam Alkitab.
Sedikit kembali ke pasal 3. Ayat 1: ‘Inilah bangsa-bangsa yang dibiarkan TUHAN tinggal untuk mencobai orang Israel itu dengan perantaraan mereka (bangsa-bangsa ini jadi instrumennya Tuhan) yakni semua orang Israel yang tidak mengenal perang Kanaan.’ Jadi ada tujuannya bangsa-bangsa itu dibiarkan tinggal, yaitu untuk mencobai Israel dengan perantaraan mereka; bangsa-bangsa ini jadi instrumennya Tuhan bagi semua orang Israel yang tidak mengenal perang Kanaan. Ayat 2: ‘Maksudnya (ada maksudnya, ada intensi-nya) hanyalah, supaya keturunan-keturunan orang Israel yang tidak mengenal perang yang sudah-sudah, dilatih berperang oleh TUHAN.’ Lalu lompat ke ayat 4, yang adalah alasan kedua: ‘Mereka itu (bangsa Kanaan) ada di sana, supaya Ia mencobai orang Israel dengan perantaraan mereka untuk mengetahui, apakah mereka mendengarkan perintah yang diberikan TUHAN kepada nenek moyang mereka dengan perantaraan Musa.’ Di bagian ini terjemahan LAI kurang mambantu, karena ayat 2 dan 4 ini sebenarnya pakai kata kunci Ibrani yang sama, yaitu yada, artinya mengenal (bukan mengetahui). Jadi ada kesengajaan dengan memberikan semacam dobel pengenalan (dobel yada) di sini, yaitu kita diberitahu tujuan Tuhan di balik ini: yang pertama, supaya Tuhan lebih mengenal –lebih yada— bangsa Israel.
Seperti Pak Billy sering kali katakan, kita ini baru kenal seseorang dengan lebih dalam dan riil ketika di dalam konteks situasi konflik, konteks situasi padang belantara, dibandingkan konteks situasi Taman Eden dengan segala kelimpahannya. Inilah yang mendasari orang hari ini suka dengan yang disebut reality TV, yang cuma memperlihatkan tentang seseorang di rumahnya berinteraksi dengan orang-orang, tidak ada script-nya, tidak ada plot-nya, bukan drama; atau juga reality TV tentang misalnya survivor, orang di-adu lalu nanti ada yang kalah, dst. Orang merasa ada sesuatu yang disuguhkan dalam reality TV, yang mereka tidak dapatkan dalam sinetron atau drama atau tontonan lain yang scripted, karena dalam reality TV kita lebih bisa mengenal seseorang secara riil. Mengapa bisa begitu? Karena dalam reality TV, orang tersebut berhadapan dengan berbagai macam konflik, dan kita melihat reaksi mereka terhadapnya. Biasanya dalam reality TV peserta-pesertanya diwawancara satu per satu, ditanya, “Kalau kamu ada konflik bagaimana”, lalu dijawab, “Oh, saya tenang”, dst., dst., lalu setelah itu diperlihatkan adegan langsungnya waktu dia menghadapi konflik, yang ternyata ngamuk-ngamuk, banting meja, dsb.; dan kita sebagai penonton merasa baru lebih kenal siapa dia sesungguhnya. Jadi, dalam arti tertentu inilah tujuan yang pertama, yaitu supaya Tuhan mengenal Israel.
Di sini mungkin Saudara mengatakan, “Sadis ya, Tuhan ini, kayak polisi, ya. Seperti orang yang sengaja sembunyi, lalu waktu ketahuan boroknya, tiba-tiba muncul, ‘nah!!’”. Benarkah begitu? Tidak. Karena ada tujuan yang kedua, ada yada yang arah sebaliknya. Yada yang pertama adalah supaya Tuhan yada Israel, Tuhan mengenal Israel; tapi kemudian counterpart-nya —alasan yang kedua—bukan dikatakan supaya Israel yada Tuhan, melainkan supaya Israel mengenal perang. Mengapa begini? Apa yang dimaksud dengan tujuan Tuhan membiarkan bangsa-bangsa itu tetap berada di sana yang di ayat 2 dikatakan ‘supaya Israel mengenal perang’? Mengapa pengenalan seperti itu begitu penting? Apa karena orang Israel ini badannya sudah terlalu gendut-gendut, lalu sekarang perlu dibentuk supaya jago kungfu, dsb.? Bukan. Di sini dikatakan ‘mengenal perang’, bukan ‘mengetahui perang’. Apakah yang dikenal di dalam perang? Atau lebih tepatnya, apakah yang orang Israel belajar untuk mengenal, di dalam peperangannya orang Israel? Bukan jurus tertentu, tapi justru Allah mereka, yang ada di balik kemenangannya mereka. Selalu itu. Setiap kali Israel berperang, setiap kali Israel konflik dengan bangsa-bangsa sekitarnya, itu selalu adalah momen di mana Israel bukan jadi lebih kenal sekuat apa otot mereka melainkan jadi bisa lebih mengenal seperti apa Tuhan mereka. Ketika Israel berhadapan dengan Mesir, apa yang jadi pelajaran? Mereka mengenal seperti apa Tuhan mereka, yang membawa mereka keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat dan teracung. Ketika Israel berhadapan dengan bangsa-bangsa sementara mereka berjalan menuju Kanaan, ketika mereka berperang menaklukkan Kanaan dan melalui perang Yerikho, apa yang mereka pelajari? Mereka mempelajari bahwa bukan dengan kekuatan mereka; mereka melihat dengan lebih jelas siapa Tuhan mereka, apa yang membuat Tuhan ini unik di antara dewa-dewi bangsa-bangsa lain. Dan dengan demikian, juga mengenali apa yang membuat umat dari Tuhan tersebut juga harus hidup unik di antara bangsa-bangsa lain.
Poin yang pertama tadi, Tuhan mengenal Israel dengan lebih dalam di dalam konteks situasi penderitaan, konteks situasi konflik/penindasan. Koq, sadis ya? Saudara jangan melihatnya seperti itu, karena ini urusan relasi. Relasi memang ada keterbukaan seperti ini; dan omong-omong, bukan cuma Israel yang dituntut membongkar dirinya apa adanya, tapi sebenarnya Allah juga sedang membongkar diri-Nya apa adanya kepada Israel. Jadi sama-sama membongkar diri, bukan cuma salah satu. Hanya saja karena Israel selalu berdosa, selalu dalamnya busuk, maka tidak heran yang keluar juga busuk; sedangkan Tuhan, waktu memperlihatkan diri-Nya kepada mereka, yang kelihatan tentu saja selalu kesucian, kemurnian, kebaikan-Nya, kasih-Nya. Jadi ini bukan tidak fair; ini seperti sang polisi yang menangkap Saudara itu, juga memberikan dirinya untuk dikenal Saudara apa adanya. Fair. Bukan sadis.
Intinya, kita diingatkan bahwa yang kita baca lewat kitab Hakim-hakim, gambarannya adalah semuanya terjadi atas dasar penentuan dan rancangan Tuhan, termasuk keberadaan bangsa-bangsa Kanaan tersebut. Ini gambaran yang kita lihat di pasal 3, dan kembali kita lihat di pasal 4, bahwa Tuhanlah yang mendatangkan ini semua, Tuhanlah yang membangkitkan para penyelamat, tapi juga para penindas. Mengapa? Karena Tuhan punya tujuan di balik semua itu.
Kita melanjutkan ayat 2-3 dari pasal 4: ‘Lalu TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tangan Yabin, raja Kanaan, yang memerintah di Hazor. Panglima tentaranya ialah Sisera yang diam di Haroset-Hagoyim. Lalu orang Israel berseru kepada TUHAN, sebab Sisera mempunyai sembilan ratus kereta besi dan dua puluh tahun lamanya ia menindas orang Israel dengan keras.’ Seperti kisah hakim-hakim yang sebelumnya, tokoh yang paling awal diberi nama dalam siklus ini adalah penindasnya; tapi sebagaimana kita lihat, ada yang baru di sini, yang lain dari kisah-kisah sebelumnya, yaitu kali ini ada beberapa penindas. Pertama-tama kita diperkenalkan adanya seorang raja bernama Yabin; namun raja Kanaan ini langsung dia-asosiasikan dengan jendralnya, Sisera. Yabin bertakhta di Hazor, kota Kanaan; dan jendralnya, Sisera, bermarkas di Haroset-Hagoyim. Jadi, dalam arti tertentu ada 3 tokoh antagonis di sini: Yabin, Sisera, dan bangsa Kanaan yang mereka wakili itu. Ini disengaja, karena keunikan kisah ini bukan cuma adanya beberapa tokoh antagonis, tapi juga adanya beberapa tokoh protagonis. Ini lain dengan kisah-kisah sebelumnya (Otniel, Ehud, Samgar) yang masing-masing cuma satu tokoh protagonisnya; di dalam kisah ini ada 3, yaitu Debora, Barak, dan Yael.
Hari ini kita akan membahas para penjahatnya lebih dulu, Yabin, Sisera, dan bangsa Kanaan. Kita akan membahasnya satu per satu, kemudian menarik pelajaran dari hal-hal ini. Sekali lagi, alasannya ada bangsa Kanaan adalah supaya bangsa Israel bisa mengenal Tuhan mereka; maka sama juga, alasannya kita membahas Yabin, Sisera, dan Kanaan, adalah supaya lewat semua ini kita bisa lebih mengenal Tuhan kita.
Kita membahas Yabin lebih dulu. Nama Yabin muncul 5 kali sepanjang pasal 4, tapi kita tidak pernah bertemu dia secara langsung. Tokoh ini tidak terlalu dijelaskan dalam kitab Hakim-hakim, tapi meski di balik layar, tokoh ini tidak bisa diremehkan. Waktu orang Israel membaca nama ‘Yabin, raja Kanaan, bertakhta di Hazor’, mereka akan langsung teringat latar belakang nama ini, yang kita tidak tahu. Di kitab Yosua pasal 11 juga diceritakan mengenai seorang raja Kanaan yang bertakhta di Hazor, bernama Yabin. Ini mungkin Yabin yang lain, karena Yosua pasal 11 dan Hakim-hakim pasal 4 sudah terpisah beberapa generasi. Dalam hal ini para pakar berpendapat Yabin bukan sebuah nama melainkan sebuah titel; mirip seperti titel ‘Firaun’ bagi raja-raja Mesir, ‘Yabin’ kemungkinan adalah titel raja-raja di kota Hazor, Kanaan. Dan, Yabin ini punya suatu reputasi, bahkan juga kota Hazor. Hazor adalah sebuah kota yang berkubu di wilayah Naftali. Kota ini cukup banyak data arkeologisnya, dan merupakan tempat galian arkeologi paling penting di seluruh wilayah Israel modern hari ini, namanya Tel-Hazor. Tahun 2005, situs arkeologi ini dideklarasikan oleh UNESCO sebagai ‘World Heritage Site’. Jadi, ada banyak data mengenai Hazor, reruntuhannya pun sampai hari ini masih bisa Saudara lihat.
Kembali ke pembahasan kita. Ketika muncul nama ‘Yabin’ dan ‘Hazor’, para pembaca pertama kitab Hakim-hakim langsung bisa menangkap sesuatu, nama ini pernah muncul; Yabin di pasal 11 kitab Yosua, membuat aliansi raja-raja dan memimpin koalisi ini untuk memerangi Yosua dan Israel –meskipun ujungnya kalah. Yabin ini bukan raja yang sembarangan, dan Hazor bukan kota sembarangan. Bagi para pembaca pertama, waktu mereka membaca nama ‘Yabin’ dan ‘Hazor’, mungkin reaksinya sama seperti kalau kita hari ini baca berita “ditemukan varian baru Covid”, reaksi kita ‘aduhhh, si brengsek ini muncul lagi!’ dan langsung ada segala macam perasaan yang muncul, ada segala macam memori yang muncul, Saudara membayangkan PPKM lagi, WFH lagi, booster lagi, dan segala macam lainnya. Sama seperti itu, ketika mereka membaca titel ‘Yabin raja Kanaan’, mereka langsung ingat bahwa terhadap Yosua, Yabin itu figur yang tidak sembarangan; ini orang yang berhasil memobilisasi raja Madon, Simron, Akhsaf, juga raja-raja di pegunungan maupun lembah, dari utara, selatan, timur, barat, serta suku-suku Kanaan, semuanya digabungkan. Sampai-sampai di Yosua 11:4 dikatakan, ‘Kemudian keluarlah raja-raja ini bersama-sama semua tentaranya, amat banyak rakyat, seperti pasir di tepi laut banyaknya, beserta sangat banyak kuda dan kereta.’ Dan, Hazor adalah kepala dari semua kerajaan-kerajaan ini. Dulu itu sudah kalah, sekarang muncul lagi, sekarang di Hakim-hakim pasal 4 ‘Yabin is back!’ Saudara mungkin tahu dulu ada film seri MacGyver (versi yang lama, bukan reboot-nya), dan ada salah satu tokoh penjahat yang paling menakutkan, namanya Murdoc. Dia menakutkan bukan karena tidak bisa dikalahkan; dia selalu kalah oleh MacGyver, tapi masalahnya meski kalah pun dia tidak pernah mati. Pernah jatuh dari helikopter, pernah terbakar, dan segala macam lainnya, tapi tidak pernah mati, hampir tiap sepuluh episode dia kali muncul lagi. Tiap kali dia muncul, di wajahnya ada tambahan baret-baret hasil pertempuran sebelumnya, tapi tetap saja dia masih hidup. Seperti itulah kira-kira rasanya setiap kali orang Israel mendengar nama Yabin, ‘yah, yang ini lagi, gawat, mampus deh, dulu sudah kalah koq muncul lagi’. Menakutkan sekali karena dikalahkan pun tetap tidak kalah.
Di sini kita mau coba menarik apa signifikansi rohaninya buat kita hari ini. Saudara, dalam arti tertentu, ini bisa jadi gambaran peperangan rohani kita hari ini. Omong-omong, saya mau memberikan disclaimer dalam hal ini, kita tidak boleh sembarangan tarik pelajaran rohani dari gambaran perang Israel kuno dengan langsung main tarik untuk Gereja modern, tidak bisa segampang itu, karena tidak semua hal dari Perjanjian Lama bisa ditarik begitu saja ke zaman Gereja hari ini; misalnya, di Perjanjian Lama orang yang menyembah berhala dihukum mati, tapi hal tersebut sudah pasti tidak bisa diaplikasikan ke dalam Gereja hari ini. Namun, alasannya saya ingin menarik pelajaran hari ini, dari gambaran peperangan Israel di zaman Hakim-hakim menjadi gambaran peperangan rohani di zaman Gereja sekarang, adalah karena tarikan ini bukan bikinan saya melainkan dibuat oleh Alkitab sendiri. Saudara perhatikan di kitab Wahyu –yang tentu saja bicara mengenai zaman Gereja– di pasal 13 ada gambaran tentang seekor binatang (a beast) yang di kepalanya seperti ada bekas luka fatal yang harusnya membunuh dia, tapi entah bagaimana dia tetap sembuh. Wahyu 13:3, ‘Maka tampaklah kepadaku satu dari kepala-kepalanya seperti kena luka yang membahayakan hidupnya, tetapi luka yang membahayakan hidupnya itu sembuh. Seluruh dunia heran, lalu mengikut binatang itu.’ Di bagian ini terjemahan LAI ‘membahayakan hidupnya’ agak terlalu halus; yang dimaksud adalah kena luka yang harusnya mematikan (mortal wound), tapi luka yang harusnya mematikan itu, sembuh. Ini seperti si Murdoc tadi, yang balik lagi, balik lagi, meski sudah babak belur. Di dalam Alkitab kita melihat gambaran mengenai evil, setiap kali Tuhan menciptakan sesuatu yang baik, setan dan kuasa jahat seperti bikin semacam paralelnya yang menyeleweng. Setan dan kuasa jahat tidak bisa membuat ciptaan baru, yang mereka bisa lakukan hanyalah mendistorsi atau menyelewengkan hal baik yang adalah cipataan Tuhan; misalnya Tuhan menciptakan seks sebagai sesuatu yang baik, kudus, sakral, yang harus dijaga pria dan wanita dalam konteks pernikahan, tapi kemudian setan bikin paralelnya yang gelap, yaitu prostitusi, pornografi, dan kawan-kawannya. Jadi, gambaran dari kitab Wahyu tadi ada paralel seperti ini, dalam arti: di dalam umat Tuhan Saudara mengenal adanya kebangkitan orang mati, dan dalam arti tertentu kebangkitan orang mati ini pun ada paralel gelapnya oleh setan yaitu kuasa gelap yang seperti sudah mati tapi bangkit lagi, yang seperti tidak mati-mati ini, yang bisa kalah tapi kemudian entah bagaimana balik lagi dengan luka baret-baret hasil pertempuran sebelumnya –tapi balik lagi.
Kalau Saudara melihat gambaran kitab Wahyu ini sebagai gambaran tentang apa yang dihadapi oleh Gereja, maka gambaran Yabin yang balik lagi itu sebenarnya adalah gambaran peperangan rohani kita hari ini. Ini berarti Wahyu 13 mau menunjukkan bahwa “yabin-yabin” dalam hidup kita itu endemik, tidak akan hilang selama hidup yang sekarang ini, selalu muncul lagi dan lagi, bisa dikalahkan, tapi bukan berarti Saudara lalu tidak pasang kuda-kuda lagi hanya karena dia kalah. Ini mengonfirmasi mengapa Perjanjian Baru selalu memperingatkan sifat ngotot-nya setan yang tidak habis-habis. Kita sering kali bingung mengapa kita terus diperingatkan untuk berjaga-jaga, berwaspada, setan seperti singa yang mengaum-aum dsb., bukannya setan sudah kalah?? Kita berpikir begitu, tapi itu bukan gambaran Alkitab. Gambaran Alkitab adalah: umat Allah senantiasa dipanggil untuk berjaga-jaga, karena kuasa gelap meskipun kalah bisa bangkit lagi. Fakta bahwa umat Tuhan pernah diberikan kemenangan terhadap kuasa gelap di masa yang lalu, tidak berarti umat Tuhan hari ini boleh santai-santai dan menganggap kemenangan tersebut final. Tidak bisa seperti itu. Dalam zaman Gereja hari ini, sebelum Kristus datang kembali, Saudara tidak bisa mengharapkan imunitas dari serangan-serangan setan terhadap tubuh yang lama ini. Dalam hal ini saya ragu, jangan-jangan kita ini mengharapkan Covid selesai, padahal sudah dikatakan Covid ini endemik, tidak bakal selesai, musti senantiasa waspada; sama juga gambaran kehidupan kita, kita kepingin dosa dan evil dalam kehidupan kita juga seperti itu, ‘kapan selesainya? kapan selesainya? Harusnya dalam kehidupan ini selesai dong’. Tapi gambarannya tidak seperti itu, gambaran evil di dalam Alkitab tidak pernah seremeh itu.
Bagian selanjutnya, tentang Sisera. Sementara Yabin adalah tokoh di belakang layar tapi bayang-bayangnya mengerikan dan menutupi seluruh panggung, Sisera adalah perwakilannya yang berada di atas panggung. Yabin seperti aktor intelektual di belakang semua ini, sedangkan Sisera adalah seorang jendral yang barhadapan muka dengan muka dengan Israel. Yabin di Hazor berpengaruh besar karena networking-nya, seorang raja yang berhasil membuat koalisi di antara raja-raja dan kepala suku-suku Kanaan, namun yang memastikan koalisi tersebut bertahan dan efektif adalah senjata andalannya yang bernama Sisera. Kalau pun orang Israel tidak aware dengan bayang-bayang Yabin, mereka akan sangat aware dengan 900 kereta besi Sisera, yang adalah tank-tank zaman dulu, smart bomb zaman dulu, drone-drone predator zaman dulu. Sisera ini diam di Haroset-Hagoyim; kita tidak tahu letak persisnya di mana tapi kemungkinan besar di daerah pesisir, daerah yang rata, bukan pegunungan atau perbukitan, karena kereta kuda efektifnya di medan seperti ini. Dua puluh tahun Israel ditundukkan oleh ancaman alat berat militer ini. Ayat 3 memberitahu kita bahwa penindasan kali ini lebih parah dibandingkan penindasan di bawah Kusyan-Risyataim ataupun Eglon, karena disebutkan bahwa mereka ditindas ‘dengan keras’, ditindas dengan kejam. Bukan cuma sifat penindasannya, durasinya juga paling lama sejauh ini; di bawah Kusyan mereka ditindas 8 tahun, di bawah Eglon 18 tahun, sedangkan Sisera menindas mereka 20 tahun. Sisera inilah musuh yang kedua.
Sekarang kita coba tarik apa signifikansi rohaninya buat kita hari ini. Sekali lagi, kita bisa menarik gambaran tentang Sisera sebagai gambaran peperangan rohani kita hari ini. Yabin tadi jadi semacam paralel gelap dari kebangkitan orang mati, bahwa kebangkitan orang mati pun ternyata ada versi KW-nya, kuasa gelap yang sudah dikalahkan itu masih bisa balik lagi di dalam kehidupan ini. Sisera, bisa Saudara lihat sebagai paralel gelap dari Gereja, bahkan paralel gelap dari prinsip doktrin ‘invisible and visible Church’.
Dalam doktrin ‘invisible and visible Church’, teologi Reformed percaya Gereja hari ini bisa dilihat dalam 2 aspek. Aspek yang pertama, adanya Gereja yang invisible (Gereja yang tidak kelihatan), dalam arti Gereja yang universal, Gereja yang kita tidak bisa pegang, kita tidak bisa lihat dengan pasti siapa yang adalah anggota sejati dan siapa yang bukan, hanya Tuhan yang tahu –maka namanya invisible Church. Di sisi lain ada aspek Gereja yang visible (Gereja yang kelihatan), bahwa mereka yang adalah bagian dari Gereja yang invisible itu, juga nyata di dunia melalui manusia-manusia yang kelihatan ini, yang riil ini, yang Saudara bisa cubit ini. Jadi kita senantiasa hidup dalam ketegangan seperti ini; Saudara jadi bagian dari visible Church, tapi Saudara tidak pernah bisa yakin di dalam visible Church tersebut siapa saja yang sesungguhnya bagian dari invisible Church. Itu doktrinnya.
Dalam arti tertentu, di bagian ini lewat Sisera kita juga melihat prinsip yang sama: ada paralel gelap antara Gereja dengan musuh-musuh Gereja; bukan cuma Gereja yang ada bagian invisible dan visible-nya, musuh Gereja/Kekristenan pun ada aspek invisible dan visible ini.Ini paralel gelapnya. Di satu sisi, seperti dalam cerita Yabin, ada “yabin” yang tidak kelihatan, yang invisible, yang tidak pernah muncul, yang ada di balik layar, dan umat Tuhan hari ini tidak selalu bisa melihat dengan jelas apa yang sesungguhnya ada di balik kuasa gelap dunia ini –bahkan orang dunia pun tidak bisa lihat. N.T.Wright pernah menceritakan perkataan seorang politikus Inggris bernama George-Brown. George-Brown ini politikus yang cukup beken meski tidak pernah sampai menjabat perdana menteri; dia pernah menjadi pemimpin Labour Party, dan pernah menjabat First Secretary of State (Menteri Dalam Negeri) dalam kabinetnya PM Harold Wilson. Ada hal menarik yang George-Brown pernah katakan, yaitu mengenai kuasa (power). Dia pernah ditanya, kenapa mau masuk ke politik; dan dia mengatakan, “Saya lihat masyarakat Inggris berantakan, jadi harus ada orang yang pegang power untuk membereskan masyarakat; kalau bisa punya power, maka bisa membereskan masyarakat, bisa make a difference –itu sebabnya saya masuk ke politik. Pertama-tama saya masuk politik di komunitas lokal, City Council. Tapi, saya mendapati ternyata City Council tidak pegang power, dan orang-orang di City Council pun tidak pegang power; jadi tidak bisa ngapa-ngapain juga, oleh karena itu harus naik satu level, masuk Parlemen. Tapi di Parlemen pun tidak ada power; memang bisa bicara banyak hal, bisa voting hukum-hukum mana yang akan jadi dan mana yang tidak, namun sepertinya tidak ada yang berubah juga. Keputusan yang benar-benar akan berpengaruh bagi negara, kayaknya dibuatnya bukan di Parlemen”. Itu sebabnya George-Brown terus maju, dia masuk Kabinet, bahkan sudah berada di lingkaran satu Perdana Menteri, sudah jadi Menteri Dalam Negeri, posisi yang sangat tinggi. Tapi di situ pun, George-Brown mengatakan, “Saya tidak ketemu juga power tersebut; bukan cuma saya yang tidak punya power, tapi bahkan Perdana Menteri pun tidak punya power. Orang-orang di lingkaran satu ini seperti cuma disibukkan hal berikutnya dan berikutnya, tidak ada yang benar-benar bisa membuat arah yang baru. Di mana sebenarnya power itu??” Saudara tahu, tentunya juga bukan di raja dan ratu Inggris, karena mereka cuma tokoh-tokoh simbolis, tidak ada real power. George-Brown mengatakan, ternyata yang tidak ada real power bukan cuma raja dan ratu, tapi di gedung pemerintahan pun real power tidak ditemukan; jadi di mana?? Menarik. Itu sebabnya Paulus mengatakan, peperangan kita bukan dengan daging dan darah tapi dengan kuasa gelap, yang tidak kelihatan, invisible. Meski demikian, lewat Sisera Saudara melihat, bahwa di sisi yang lain, kuasa gelap ini meski ada aspek invisible-nya tapi punya juga senjata-senjata yang dipakai, dan senjata-senjata ini bukan cuma riil tapi juga visible di dunia ini.
Iblis dan setan berkarya melalui benda-benda yang riil dalam dunia ini, dan juga orang-orang yang riil. Saudara melihat hal ini di mana-mana; setiap kali ada hal yang baru, ujung-ujungnya pasti akan jatuh dipakai iblis, dipakai setan, dst. Inilah mungkin sebabnya dalam kehidupan Gereja ada tempatnya untuk mendoakan doa-doa yang dalam Mazmur disebut “the imprecatory Psalms”. Imprecatory Psalms adalah mazmur-mazmur kutukan, yang kita seringkali bingung buat apa mazmur-mazmur demikian ada di Alkitab; kita merasa mazmur-mazmur seperti itu harusnya sangat jauh dari bibir orang Kristen, ini mazmur-mazmur yang mengutuk musuh-musuh umat Tuhan dengan kalimat yang sepertinya sangat kejam, ‘biarlah mereka hancur’, dsb. Tapi, mungkin kita tidak tahu ada tempatnya bagi mazmur-mazmur seperti itu, karena kita tidak punya kepekaan terhadap kuasa gelap yang ada di hidup kita dan di dunia kita. Kita ternyata bukan cuma boleh mendoakan mazmur-mazmur seperti itu, tapi kita perlu berdoa untuk kehancuran musuh-musuh Tuhan, kehancuran dari musuh-musuh yang tidak kelihatan maupun senjata-senjatanya yang kelihatan itu, kereta-kereta besi yang dipakai itu. Pertanyaannya, hal ini ada atau tidak dalam kerohanian kita? Jangan-jangan tidak ada. Jangan-jangan kita ini orang yang cuma tahunya Kristus sudah menang lalu ‘ya, sudah, sekarang ini tidak ada pergumulan lagi dalam hidup kita’.
Saudara, inilah sebabnya dalam Alkitab hari penghakiman Tuhan sesungguhnya adalah kabar baik. Kalau hari ini kita mendengar istilah ‘judgement day’, selalu konsep kita negatif, karena kita terpengaruh Hollywood bahwa judgement day itu ‘nanti saya dihakimi, nanti saya mati, nanti semua saya semua dosanya dibongkar’ dsb.. Tetapi kalau Saudara melihat di Alkitab, ketika hari penghakiman Tuhan itu hadir, apa responsnya? “Biarlah langit bersukacita, biarlah bumi bersorak-sorak, biarlah gemuruh laut serta isinya, biarlah beria-ria padang dan segala yang di atasnya, maka segala pohon di hutan bersorak-sorai, sebab Ia datang untuk menghakimi bumi,” (Mazmur 96); Tuhan menghakimi bumi, maka responsnya adalah: bersorak-sorai –itulah justru konsep Alkitab mengenai judgement day. Mengapa kita tidak begini? Karena kita tidak aware dengan kuasa gelap yang riil itu, baik yang visible maupun invisible, yang sedang mengendalikan dunia ini. Kita pikir hidup ini kita yang pegang kontrol, kita pikir manusia yang ambigu ini –yang bisa jahat dan bisa baik– yang pegang kontrol. Tidak, Saudara. Dunia ini diikat oleh kuasa gelap yang riil, yang visible maupun invisible; pertanyaannya: kita masih menantikan hari penghakiman Tuhan datang, atau tidak?
Saya kuatir, sebagai orang-orang Kristen hari ini kita kurang peka dengan aspek tersebut dalam kerohanian kita. Mungkin karena yang biasa bicara kuasa gelap kayak begini, yang kita lihat adalah orang-orang aneh, yang teologinya kacau-balau tidak didasarkan pada Alkitab. Itu sebabnya kita cenderung menghindari pembicaraan yang berbau seperti ini, tapi akhirnya sadar atau tidak sadar kerohanian kita jatuh ke dalam ekstrim yang lain, ekstrim yang timpang, kita jadi tidak sadar akan realitas bahwa dunia ini memang ada kuasa gelap. Sekali lagi disclaimer, saya bahas hal ini bukan untuk membesar-besarkan setan dan kuasa gelap, lalu Saudara jadi mulai merinding ketakutan. Bukan itu; tujuannya adalah agar lewat ini semua, kita jadi punya kerohanian yang lebih utuh menyadari gambaran seperti apa realitasnya. Lalu kalau bukan merinding, jadi apa tindakannya/aksinya? Berdoa. Berdoa untuk hal ini; bukan cuma berdoa dalam hal makanan, atau mau ujian, atau minta pacar, dsb., Saudara perlu juga berdoa untuk dunia ini karena dunia ini sedang dicengkeram oleh kuasa gelap itu.
Intinya, dari semua pembicaraan tadi, kita melihat musuh Tuhan digambarkan bukan sebagai pecundang-pecundang bodoh yang sudah kabur dengan ekornya di balik paha, loosers yang selalu kalah; Saudara tidak melihat gambaran itu di Alkitab. Sejak Hakim-hakim sampai Wahyu, Saudara lihat mereka musuh yang persisten, yang sudah kalah pun akan balik lagi dan lagi, bangkit lagi. Mereka juga digambarkan di satu sisi misterius, tidak kelihatan, di belakang layar, sehingga mau diserang juga susah; tapi di sisi lain, punya senjata yang riil, visible, konkret dan terasa dampaknya. Alkitab bukan meremehkan kuasa gelap; Saudara tidak mendapatkan yang seperti itu di dalam Alkitab. Kadang-kadang error-nya orang Kristen adalah ini: yang satu melihat hubungan Tuhan dan kuasa gelap seperti sebuah dikotomi, sama-sama kuat, gelap bersaing dengan terang, kadang-kadang gelap di atas, kadang-kadang terang di atas; tapi kecenderungan lainnya, melihat Tuhan itu berdaulat, Tuhan itu yang berkuasa, lalu setan diremehkan, kuasa gelap dipikir tidak ada apa-apanya, pokoknya sudah kalah di salib Kristus. Saudara, salib Kristus itu permulaan kemenangannya, tapi masih panjang perjalanan sampai Kristus kembali dan menghabisi sampai habis kerajaan maut itu. Kita pikir kuasa gelap sudah tidak ada apa-apanya, sudah kalah di salib Kristus satu kali untuk selamanya, dan sekarang hidup anteng-anteng, tidak merasa perlu persekutuan doa, tidak merasa perlu studi Alkitab, tidak merasa perlu menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan duniawi, tidak merasa perlu menggabungkan diri dalam persekutuan, tidak merasa perlu diikat dalam tubuh Kristus –misalnya KTB– lalu Saudara bingung ‘kenapa hari ini saya masih terjerat kuasa dosa, ya??’ Jadi kenapa? Karena kita meremehkan kuasa gelap. Sekali lagi, tujuan saya bukan untuk membesar-besarkan kuasa gelap, tapi supaya kita menyadari realitas yang sesungguhnya sebagaimana yang Alkitab bukakan kepada kita.
Satu lagi musuh yang masih bisa kita baca sebagai “tokoh” di bagian ini, yang adalah musuh ketiga. Yang pertama tadi si raja, yang tidak kelihatan tapi membayang-bayangi; yang kedua si jendral, yang tampil jelas dengan 900 tanknya; dan yang ketiga yaitu bangsa Kanaan yang mereka pimpin itu. Ini tokoh antagonis yang ketiga. Ini satu detail narasi yang kita tidak boleh lewatkan, karena untuk pertama kalinya dalam siklus Hakim-hakim kita berhadapan dengan bangsa Kanaan lagi. Bangsa Kanaan adalah musuh di awal kitab ini; pasal 1 urusannya adalah dengan bangsa Kanaan. Semua yang bikin hancur dalam kitab Hakim-hakim adalah urusan dengan bangsa Kanaan, tapi setelah itu, hakim pertama, Otniel, berhadapan dengan raja dari tanah yang diapit dua sungai, Mesopotamia, yang adalah di Babel, di timur, bukan daerah Kanaan. Hakim kedua, Ehud, berhadapan dengan raja Moab; Moab juga bukan di Kanaan, tapi sebuah wilayah di seberang Sungai Yordan agak ke selatan. Hakim yang ketiga, Samgar, berhadapan dengan orang Filistin, yang adalah daerah pesisir; mereka datang dari laut, kemungkinan dari Kreta atau Siprus. Lalu sekarang, dalam kisah hakim yang keempat, Kanaan sendiri bangkit melawan Israel. Jadi kalau sebelumnya dari timur, dari selatan ke bawah, dan dari barat (laut), sekarang Kanaan sendiri melawan Israel. Ini sesuatu yang signifikan, karena inilah musuh yang boleh dibilang harusnya tidak muncul-muncul lagi seandainya di pasal 1 Israel beriman penuh dalam menjalankan tuntas panggilan mereka —namun nyatanya tidak, maka muncul lagi. Inilah yang sentral, inilah musuh yang paling signifikan, tidak bisa dilewatkan begitu saja. Itulah signifikansi yang pertama.
Signifikansi yang kedua bersifat dobel. Kanaan adalah nama kolektif dari suku-suku bangsa yang memang ditetapkan Tuhan untuk dihakimi dan dibinasakan melalui umat-Nya, Israel; tapi di sisi lain Kanaan juga adalah nama tanah yang Ia janjikan kepada umat-Nya, Israel, sebagai warisan mereka. Jadi, nama Kanaan adalah nama yang ambivalen. Itu sebabnya konflik dengan Kanaan adalah konflik yang bernuansa sentral, karena ini benar-benar berhubungan erat dengan rencana Allah sejak awal bagi Israel. Ini nuansa yang bukan sembarangan, ini nuansa yang tidak kita temukan dalam konflik dengan Mesopotamia, Moab, ataupun Filistin. Kalau Saudara nonton serial TV zaman sekarang, tokoh utamanya dalam setiap episode menghadapi problem yang baru, formatnya biasa dinamakan format “monster of the week”, yang tiap minggu lain-lain; misalnya dalam serial TV X-files, yang muncul minggu ini bisa hantu, minggu depannya werewolf, lalu dukun, lalu yang lain lagi, dsb. Tapi kadang-kadang ada problem yang lebih berat, yang muncul lagi dan lagi; dan ketika ini muncul, Saudara tahu bahwa inilah fokus utama ceritanya. Kalau dalam serial X-files, yang muncul terus-menerus adalah beberapa episode tentang urusan alien (UFO), tidak setiap minggu, tapi muncul lagi dan lagi; dan ini problem yang sejak awal, karena adiknya Mulder diculik Alien, inilah yang membuat Mulder tertarik dengan fenomena paranormal. Saudara, seperti inilah nuansa yang dibawa oleh istilah ‘Kanaan’.
Istilah ‘Kanaan’ mengandung sentralitas yang signifikan, tapi signifikansinya dobel; Kanaan adalah seperti pedang bermata dua. Contohnya Saudara lihat dalam pemberhalaan Israel; tentu saja dalam sejarah Israel, mereka berkenalan dengan dewa-dewi non-bangsa-Kanaan, seperti Dagon dari Filitin, Kamos dari Moab, tetapi yang bolak-balik menjerat Israel lagi dan lagi ujung-ujungnya adalah Baal dan Asytoret, dewa dan dewi Kanaan. Di sisi lain, nama ‘Kanaan’ juga melambangkan tanah yang berlimpah susu dan madunya, yang adalah janji Tuhan bagi Israel —the promised land. Kalau Saudara melihat cerita ketaatan maupun pemberontakan Israel, selalu ada hubungannya dengan Kanaan. Dalam Hakim-hakim, jika Israel taat, berarti Israel sedang komit untuk mengusir penduduk Kanaan, artinya termasuk budaya mereka, pemberhalaan mereka, dst., dan tujuan akhirnya untuk mewarisi tanah Kanaan. Sedangkan jika Israel sedang membangkang, berarti Israel sedang gagal mengusir penduduk Kanaan, mereka bahkan mengikat perjanjian dengan penduduk Kanaan, dan dengan demikian termasuk juga budayanya, pemberhalaannya, lalu pada akhirnya mereka melupakan warisan mereka, yaitu tanah Kanaan. Saudara lihat, ketaatan maupun pembangkangan Israel urusannya dengan Kanaan. Inilah musuh yang ketiga.
Apa signifikansi spiritualnya buat kita hari ini? Ada beberapa. Yang pertama, ini membuat kita jadi bisa mulai membedakan antara penduduk Kanaan dengan tanah Kanaan, membedakan antara keduniawian dengan bumi. Ini sesuatu yang perlu dalam kerohanian kita. Dalam seri khotbah “Calling”, kita bicara bahwa panggilan manusia itu erat dengan bumi ini, bahwa kita diciptakan bagi bumi ini dan bumi ini diciptakan bagi kita, bahwa kita diciptakan bukan cuma untuk urusan ‘saya dengan Tuhan’ tapi kita sebagai titik tengah –perantara– antara surga dan bumi. Lalu masalahnya dengan khotbah seperti itu, Saudara mungkin bingung, ‘bukankah Alkitab menyuruh kita menanggalkan keduniawian’; di sini problemnya adalah: Saudara tidak bisa membedakan antara keduniawian dengan bumi –dunia dan bumi, itu 2 hal yang berbeda– sama seperti orang Israel gagal membedakan antara penduduk Kanaan dengan Tanah Kanaan. Penduduknya, untuk dibinasakan; tanahnya, untuk diwarisi. Perbedaan yang lain di dalam Alkitab, misalnya kedagingan versus tubuh. ‘Jangan kedagingan! kedagingan harus dimatikan’, lalu kita pikir ‘waktu mati tubuh saya sirna, lalu saya jadi roh, melayang-layang masuk surga’; tapi dalam gambaran Alkitab tidak seperti itu, Saudara diberikan tubuh yang baru, tubuh yang rohani. Tubuh yang rohani bukan berarti tubuh yang tidak ada dagingnya; tubuh yang rohani adalah tubuh yang dipimpin oleh Roh dan diisi oleh Roh, tubuh yang mengikuti aturan surga tapi tinggalnya di bumi. Itu sebabnya Paulus di sini memakai 2 istilah yang berbeda, daging yaitu sarx (yang negatif), sedangkan tubuh yaitu soma (yang positif). Ada bedanya antara daging dengan tubuh, antara keduniawian dengan bumi, antara penduduk Kanaan dengan tanah Kanaan.
Poin pentingnya: lewat keberadaan Kanaan ini, kita —seperti bangsa Israel— bisa lebih mengenal siapakah Tuhan itu, melalui bangsa-bangsa ini. Kita sekarang bisa melihat, alasannya berkali-kali ditekankan bahwa Allahlah yang membangkitkan penindas-penindas Israel, Allahlah yang menyerahkan Israel kepada Yabin raja Kanaan, adalah karena hanya melalui penderitaan dan penindasan seperti ini Israel bisa bangun dari mimpi atau ilusi mereka. Bagi Tuhan, ada beda yang jelas antara tanah perjanjian (tanah Kanaan), dengan penduduk/budaya Kanaan. Bagi Tuhan, tanah Kanaan memang desirable, memang indah, memang inilah warisan dan pilihan Tuhan bagi Israel; tapi lalu Israel bermimpi atau punya ilusi bahwa Kanaan sebagai budaya, penduduknya serta cara-cara hidup mereka, itu juga sama desirable-nya dengan tanahnya, bahkan dalam arti tertentu lebih desirable. Begitu Israel mengikat perjanjian dengan penduduk Kanaan atau ikut-ikutan budaya/pemberhalaan Kanaan, ini berarti mereka ujungnya mereka harus juga berbagi tanah Kanaan dengan bangsa tersebut –warisan mereka jadi tidak utuh. Jadi, mereka melihat hal ini tidak penting, sementara urusan Kanaan sebagai budaya dst., itulah yang penting; tapi Tuhan melihatnya terbalik. Lalu bagaimana caranya membangunkan Israel dari ilusi ini, dari mimpi ini? Bagaimana membuat Israel menyadari siapa musuh yang sesungguhnya? Bagaimana membuat Israel menyadari yang desirable adalah tanah Kanaan, bukan penduduknya/budayanya? Sederhana saja, berilah Israel ditindas di bawah penduduk Kanaan, baru mereka sadar siapa musuh mereka sebenarnya. Misalkan Saudara punya anak yang suka main api, bagi dia api itu desirable untuk main-main dengan jari-jarinya, didekatkan ke gorden, dsb. –memang api desirable tapi buat masak, bukan buat untuk main-main dsb.–bagaimana menyadarkan anak yang punya mimpi seperti itu? Kalau anaknya dablek seperti saya waktu kecil, maka harus diancam, “Sini, rasain ini apinya kayak apa rasanya.”
Saudara lihat, lewat penindasan inilah Israel malah jadi bisa tahu apa yang benar-benar desirable; mereka bangun dari mimpi mereka, dan ngeh bahwa yang desirable tanahnya, bukan budayanya –bumi dan bukan dunia, tubuh dan bukan kedagingan. Orang Kristen pun punya problem yang sama. Dalam hal ini Allah punya kesengajaan; dan kita jadi lebih sadar, inilah sebabnya dikatakan berkali-kali bahwa Allah itulah yang membangkitkan para penindas. Dengan demikian, poinnya adalah –kembali seperti dikatakan di awal– Allah mengatakan ‘Aku membiarkan bangsa-bangsa Kanaan ini ada di tengah-tengah kamu, alasannya karena lewat hal inilah Aku mengenal kamu dan kamu mengenal Aku’. Sekarang Saudara lihat hal ini terjadi. Lewat kehadiran bangsa-bangsa ini, kita pun mengenal siapa Tuhan; lewat bagaimana bangsa Kanaan dipakai Tuhan, Saudara jadi mempelajari sedikit dan lebih mengenal sedikit mengenai Allah Alkitab. Itulah tujuan di baliknya. Jadi, kalau kita mau tarik kesimpulan besar dari semua ini: inilah gambaran Allah Allah Alkitab dalam kitab Hakim-hakim.
Tadi dalam poin pertama dan kedua, tentang Yabin dan Sisera, kita diperlihatkan betapa menakutkannya musuh-musuh Gereja, yang digambarkan dalam orang-orang Kanaan. Tapi khotbah ini tujuannya bukan untuk membesar-besarkan mereka, karena gambaran Alkitab pun tidak berhenti di situ. Mengapa mereka perlu ada dalam hidup kita? Mengapa kita dibiarkan Tuhan tetap tinggal di dekat-dekat mereka? Mengapa tetap ada penderitaan, kerusakan, evil yang kita juga bingung, serta invisible yang kita tidak tahu bagaimana caranya, dan juga senjata-senjata yang mengerikan itu? Mengapa? Karena dalam gambaran Alkitab tidak pernah berhenti di situ, masih ada poin yang ketiga, yang membuat kita sekali lagi melihat Tuhan –lewat mereka. Dalam poin ketiga ini, kita melihat bahwa Tuhan, bagaimanapun juga kuasa-Nya adalah di atas mereka. Ekstrim yang salah yaitu melihat kuasa Tuhan dan kuasa setan jadi imbang –kita bukan masuk ke ekstrim seperti itu; dan kita juga bukan masuk ke ekstrim yang menganggap kuasa gelap jadi remehan, ‘pokoknya Tuhan berdaulat jadi kuasa gelap ‘gak ada apa-apanya’. Kita tadi diperlihatkan bahwa kuasa gelap itu besar dan mengerikan, tidak kelihatan namun kelihatan, dsb., tapi di balik semua itu kita diperlihatkan oleh Alkitab betapa kuasa Tuhan melampui semua kengerian serta kebesaran kuasa gelap.
Saudara melihat gambaran dalam kitab Hakim-hakim jelas sekali, bahwa tokoh utama dalam kitab ini adalah Allah. Allah-lah yang ada di balik semua yang terjadi di kitab ini. Allah-lah yang merencanakan suatu tanah, untuk menjadi rumah umat-Nya. Allah-lah yang menghakimi bangsa-bangsa yang rusak, yang menduduki tanah tersebut. Allah-lah yang lalu membawa masuk Israel menggantikan bangsa-bangsa yang dihakimi, untuk mengisi tanah tersebut. Allah-lah juga yang kemudian mengizinkan bangsa-bangsa tersebut tetap bertahan di sana, untuk menguji umat-Nya supaya Ia mengenal umat-Nya, dan supaya umat-Nya lebih mengenal Dia. Dan, ketika umat-Nya itu gagal ujian, Ia membiarkan bangsa-bangsa tersebut menindas mereka. Allah-lah juga yang membangkitkan penyelamat bagi mereka. Semuanya, bagi gambaran Alkitab adalah pekerjaan Allah. Gambaran kitab ini adalah: Allahlah yang menggunakan seluruh proses tersebut untuk mengenal Israel, dan membawa Israel mengenal Dia. Pertanyaannya buat kita: apakah kita mengenali keseluruhan proses ini sebagai proses yang datang dari tangan Allah, sebagai peran aktif Allah kita? Atau, jangan-jangan kita sebagai orang Kristen hanya peka dengan yang terakhir, ‘mengirimkan penyelamat, itulah urusan Tuhan’, dan semua yang lainnya bukan.
Kita sudah melihat dan membahas sejak halaman pertama kitab ini mengenai ‘struktur dan isi’, bahwa kitab Hakim-hakim di satu sisi begitu kacau isinya, tapi di sisi lain penulisnya membuat kitab ini secara struktur begitu rapi teratur. Ada ketegangan di sini; kenapa bisa kayak begini, konyol banget. Ini seperti orang menulis syair iman kepada Tuhan yang begitu indah tapi pakai heavy metal melodinya –meski contoh ini terbalik; di kitab Hakim-hakim seperti menceritakan hidup orang yang hancur tapi pakai melodi lagu gereja yang begitu rapi. Kenapa bisa kayak begini? Karena inilah gambarannya, memperlihatkan bahwa Allah-lah Sang Hakim, bahwa sebenarnya di balik segala sesuatu yang kacau, semuanya berjalan sesuai dengan rencana Allah. Meskipun yang kita lihat —yang visible— hanyalah kekacauan, tetapi ada realitas yang invisible di balik itu semua, yaitu Tuhan sedang berkarya dalam semua itu. Ini poinnya.
Poin hari ini bukan untuk kita belajar tentang Kanaan atau setan/kuasa gelap, seberapa besarnya mereka, dsb., tapi Saudara perlu belajar hal itu adalah untuk tidak meremehkan mereka. Saudara perlu belajar untuk mengikat diri dalam ikatan Tubuh Kristus. Saudara jangan pikir bahwa Saudara bebas, jangan pikir di dalam dunia ini Saudara tidak diikat oleh sesuatu; jikalau Saudara tidak diikat di dalam Tubuh Kristus, Saudara akan diikat di luar sana –tidak ada pilihan. Ini hal yang penting. Kita perlu tahu, kita perlu waspada, kita perlu belajar mengenali kebesaran dan kengerian kuasa gelap, tapi ujungnya untuk kita menyadari bahwa ternyata lewat kehadiran kuasa gelap ini dalam hidup kita, ada kesengajaan Tuhan yang jauh melampuinya, Allah Alkitab memakai keseluruhan proses ini untuk mengenal kita, dan membuat kita mengenal Dia. Bukankah menakjubkan punya Allah seperti ini? Inilah penghiburannya. Penghiburan orang Kristen bukanlah bahwa kita dilepaskan dari semua kejahatan; penghiburan kita adalah bahwa Allah kita sanggup bekerja melalui kejahatan, dan memang bekerja melalui kejahatan. Ini good news buat Saudara atau tidak? Inilah Allah Saudara.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading