Kita melanjutkan eksposisi kitab Hakim-hakim; hari ini melanjutkan pembahasan kisah hakim yang keempat, Debora. Dalam pembahasan sebelumnya, kita mencatat bahwa tiap-tiap kisah hakim ada kontras antara tindakan Israel dan tindakan Tuhan. Israel digambarkan dosanya itu-itu lagi, berbuat jahat kepada Tuhan lagi, sedangkan Tuhan digambarkan sebagai tokoh yang sangat kreatif, selalu berbeda, selalu pakai cara yang baru. Tentu saja Tuhan konsisten, bisa dipegang, tapi Tuhan juga digambarkan sebagai tokoh yang unpredictable dalam hal bagaimana Dia bertindak; ada 2 hal, bagaimana Dia mendatangkan konsekuensi atas dosa Israel dengan mendatangkan penindas-penindas yang berlainan, dan bagaimana Dia mendatangkan keselamatan bagi Israel dengan membangkitkan para hakim yang juga berlainan satu dengan lainnya. Di kisah keempat ini ada sesuatu yang baru, dalam hal penindasnya dan juga penyelamatnya; bukan hanya satu tapi tiga tokoh bad guys-nya –Yabin, Sisera, Kanaan– dan juga bukan hanya satu tapi tiga penyelamat yaitu Debora, Barak, dan Yael. Ini sesuatu yang menunjukkan kreatifitas Tuhan.
Kita sudah membahas tokoh-tokoh antagonisnya, hari ini kita akan membahas tokoh-tokoh protagonisnya. Hal yang baru dalam kisah ini bukan cuma mengenai adanya multipel antagonis ataupun multipel protagonis, tapi juga ketika Saudara lihat siapa protagonis-protagonisnya. Di khotbah yang lalu kita mengatakan bahwa musuhnya adalah musuh yang expected, yang sejak awal, yang bebuyutan –musuh utama– yaitu Kanaan, sehingga kita pikir penyelamatnya juga expected. Tapi ternyata tidak, penyelamatnya unexpected, yaitu seorang wanita menjadi hakim. Menariknya, yang unexpected bukan hanya seorang wanita yang dihadirkan menjadi pemimpin dalam kisah ini, tapi sesungguhnya ada dua orang wanita yang berperan sangat krusial dalam kisah ini, Debora dan Yael. Jadi, yang baru dalam kisah ini bukan cuma terlihat ketika kita membandingkan kisah ke-4 ini dengak kisah ke-1, 2, 3, tapi cara kerja Tuhan dalam kisah ke-4 ini boleh dibilang baru bahkan jika dibandingkan dengan seluruh kisah Alkitab sejauh ini, dari Kejadian sampai Hakim-hakim. Walaupun sejak awal sudah banyak wanita-wanita yang dicatat Alkitab, yang terkenal dan berperan penting, baru dalam kisah ini untuk pertama kalinya dalam satu kisah yang sama ada 2 tokoh wanita, yang sama-sama dipakai Tuhan, sama-sama dihadirkan sebagai tokoh yang berperan sangat krusial. Dengan demikian sekali lagi kita melihat dalam kitab Hakim-hakim, ada campuran antara yang expected dan yang unexpected. Ini karakteristik kitab Hakim-hakim yang akan kita lihat terus.
Hal ini kembali mengingatkan kita, bahwa inilah gambaran kehidupan kita dengan Tuhan. Di satu sisi, dealing dengan Tuhan itu ada hal-hal yang expected, yang kita bisa pegang dari pada-Nya, bahwa Dialah yang memegang janji-Nya, bahwa Dialah Tuhan yang senantiasa mengasihi, dst. Namun juga di sisi lain, kita tidak bisa kemudian serta-merta mengikat dalam hal caranya Tuhan menepati janji-janji tersebut. Ini satu hal yang sebagai umat Tuhan kita harus belajar untuk menerima; bahwa Allah kita senantiasa membukakan kepada kita apa yang kita bisa expect dari Dia, janji-janji-Nya, tapi sesering Dia membukakan hal itu, sesering itu pulalah Dia menyembunyikan, menutupi, bagaimana cara Dia akan menghadirkannya, bagaimana Dia menepati janji-Nya, bagaimana Dia menjalankan rencana-Nya dalm hidup kita. Ini balance yang kita perlu belajar, karena inilah cerita mengenai Sang Hakim –Hakimnya adalah Allah, bukan Saudara dan saya.
Kita masuk ke dalam pembahasan tiga tokoh penyelamat dalam kisah ini. Kita akan pakai urutan yang agak berbeda dari urutan dalam Alkitab dalam memperkenalkan tokoh-tokoh ini, karena ada maksudnya; yaitu mulai dengan Debora, lompat ke Yael, baru kemudian Barak.
Ayat 4-5: ‘Pada waktu itu Debora, seorang nabiah, isteri Lapidot, memerintah sebagai hakim atas orang Israel. Ia biasa duduk di bawah pohon korma Debora antara Rama dan Betel di pegunungan Efraim, dan orang Israel menghadap dia untuk berhakim kepadanya.’ Debora adalah tokoh protagonis yang pertama kali diperkenalkan dalam kisah ini. Debora ini bisa dibilang semacam counterpart bagi Yael, tapi sangat berbeda juga. Debora ini menikah –seperti hampir semua wanita di Alkitab– tapi suaminya, Lapidot, hanya catatan kaki di kisah ini, mirip dengan Yael yang dikatakan menikah dengan Heber tapi Heber sendiri tidak muncul. Ini adalah seorang wanita yang kuat, yang memimpin, mengarahkan, dan bahkan memobilisasi umatnya dalam masa-masa krisis.
Di bagian ini Debora diperkenalkan terutama sebagai seorang nabiah, sebelum diperkenalkan sebagai hakim. Ini berarti salah satu peran yang paling penting adalah menyampaikan dan mengajar firman dari Tuhan. Di ayat 6, Saudara bisa langsung mengenali formulasi kalimat para nabi, “Bukankah TUHAN, Allah Israel, memerintahkan demikian … “ –cara khas bicaranya para nabi. Selain menjadi nabi, Debora juga memimpin/ memerintah bangsa Israel; dan sebenarnya dari seluruh kitab Hakim-hakim, hanya Debora yang dikatakan berfungsi sebagai hakim menurut pengertian modern, yaitu seseorang yang menentukan putusan dalam sengketa atau kasus-kasus lainnya (ayat 5). Jadi, Debora jelas dikenal sebagai seorang yang bijaksana; orang Israel datang kepadanya untuk menyelesaikan segala macam kasus sosial, legal, relasional. Di situ ada catatan bahwa Debora memerintah sebagai hakim di pengunungan Efraim antara Rama dan Betel; ini kemungkinan karena titik tersebut adalah daerah yang paling sentral di tengah-tengah teritori Israel –mirip seperti Jokowi mau memindahkan ibukota ke Kalimantan karena itu posisi sentral di tengah-tengah teritori Indonesia. Orang Israel datang berhakim kepada Debora dari segala penjuru, Debora adalah figur sentral dalam kehidupan Israel zaman itu
Debora dihadirkan secara sangat unik dibandingkan hakim-hakim lain; semua hakim lain sebelum atau sesudah dia, memimpin berdasarkan kekuatan/ keperkasaan, tapi hanya Debora yang dikatakan memimpin atas dasar bijaksana dan karakter. Otniel pergi berperang, Ehud merencanakan strategi di balik layar, Samgar pakai tongkat penghalau lembu untuk bunuh-bunuh orang, sedangkan Debora membimbing dan mengarahkan umat Israel. Ini unik, siapa bilang wanita tidak bisa memimpin, tapi memimpinnya bukan ikut-ikutan cara pria. Jadi, Debora inilah tokoh hakim yang mungkin paling bisa disebut sebagai true leader dan bukan sekadar jendral perang, pemimpin yang bisa memimpin bukan saja di kala perang tapi juga di kala damai, bukan cuma di medan perang tapi juga di masyarakat. Ini mengingatkan kepada kita bahwa juruselamat yang ideal, gambarannya tidak pernah cuma orang yang menyelamatkan umatnya dengan mengalahkan musuh-musuh umatnya, tapi juga memerintah, berkuasa, memimpin dan membimbing umatnya. Debora begitu unik karena memberikan kepada kita gambaran yang lebih lengkap akan seorang penyelamat yang Tuhan berikan, suatu missing puzzle piece yang kita tidak lihat dalam diri hakim-hakim yang lain. Debora memberikan kepada kita gambaran yang paling dekat dengan monarki Israel yang akan datang nantinya, karena seorang raja bukan cuma mengalahkan musuh tapi juga menjaga stabilitas, membangun negara, membangun ekonomi, dst. Tentu saja kita juga melihat bahwa Debora memberikan gambaran yang lebih mendekati akan diri Yesus Kristus, karena Yesus Kristus bukan cuma menyelamatkan kita dari dosa, tapi juga memimpin kita dalam kebenaran. Ini penggambaran Debora yang amat sangat positif, begitu unik dibandingkan semua tokoh hakim sebelum dan sesudahnya. Tapi, ternyata sebagaimana Saudara lihat, Debora bukan tokoh sentral dalam kisah ini.
Saudara, klimaks kisah ini sudah diantisipasi sejak awal. Di ayat 2 kita membaca formulasi yang cukup standar, ‘karena Israel berdosa, maka Allah menyerahkan –atau lebih tepatnya Allah menjual– Israel ke tangan musuh-musuhnya’. Lalu kalimat yang mengantisipasi penyelamatannya pun mirip; di ayat 9, formulasinya adalah ‘Allah akan menyerahkan –menjual— Sisera ke tangan seorang perempuan’. Tapi pertanyaannya, siapa perempuan ini? Kalau kita belum tahu ending kisahnya, ini kalimat yang mengundang suspense, karena dari awal kisah ini seperti main dalam tangga nada yang asing dengan adanya wanita dalam posisi pemimpin, wanita yang memulai semuanya, lalu sekarang dicatat akan ada seorang wanita yang juga mengakhiri kisahnya. Kalau kita belum tahu ceritanya, mungkin kita berasumsi Debora sedang membicarakan dirinya sendiri; ‘kemuliaan tidak akan jatuh ke tanganmu, Barak, karena seorang wanita yang memulai, dan seorang wanita juga yang akan mengakhiri’ –mungkin sambil menunjuk-nunjuk dirinya. Tapi bukan itu yang terjadi.
Seperti sudah kita bahas berkali-kali, dalam membaca Alkitab –khususnya kitab Hakim-hakim– kita perlu peka bukan hanya terhadap isinya tapi juga strukturnya. Struktur pasal ini kembali memperlihatkan satu hal menarik, bagaimana penulis menyampaikan kepada kita suatu makna bukan cuma lewat isi kisahnya tapi juga lewat cara dia menyusun isinya. Perhatikan, kisah ini bermula dengan nama siapa? Yabin, raja Kanaan. Sekarang longok, kisah ini berakhir dengan nama siapa? Nama Yabin juga (ayat 24). Bermula dengan Yabin, berakhir dengan Yabin. Tokoh berikutnya, yang diperkenalkan di awal adalah jendralnya, Sisera; lalu di belakang, sebelum dikahiri dengan Yabin adalah cerita mengenai kematian Sisera. Di sini Saudara mulai menangkap, sepertinya ada struktur sandwich lagi –Yabin-Sisera-Sisera-Yabin. Berikutnya lagi, di level ketiga yang diperkenalkan adalah Debora; dan di belakang yang ceritanya sebelum Sisera, menempati level ketiga dari belakang ternyata adalah Yael. Jadi dari depan: Yabin, Sisera, Debora; dari belakang: Yabin, Sisera, Yael –bukan Debora. Ini satu hal yang lucu; bahkan Debora tidak muncul lagi di akhir cerita ini, Jadi sandwich yang Saudara lihat: Yabin-Sisera-Debora-Barak-Yael-Sisera-Yabin; Barak adalah bagian tengahnya, tapi kita akan bahas nanti.
Saudara lihat, di sini jadinya Debora bukan tokoh yang dihadirkan sebagai the hero. Kalau melihat strukturnya, Debora dihadirkan hanya sebagai satu dari dua wanita yang dipakai Tuhan di kisah ini. Debora seperti diparalelkan dengan Yael; Debora bukan the only one tapi bisa dibilang one among two. Debora dan Yael tentu saja karakter yang berbeda. Yang satu tokoh masyarakat, satunya lagi tokoh yang beraksi sendiri. Yang satu tokoh yang lurus jalannya, satunya lagi tokoh yang pakai siasat. Tapi Saudara lihat ada paralel yang jelas antara dua orang ini: mereka sama-sama wanita yang mempengaruhi/memimpin arah jalan cerita, mereka bukan sekadar peran pendukung atau tokoh pasif, mereka sama-sama wanita yang bernyali kuat, mereka sama-sama dipakai Tuhan untuk menjalankan rencana Tuhan, dan mereka sama-sama –demi mencapai ini– Tuhan telah berikan kemampuan serta kesempatan yang pas. Dengan demikian dalam hal Debora tidak ditaruh di atas Yael melainkan berdampingan dengan Yael. Jadi, Saudara melihat tokoh Debora ini tokoh yang paradoks. Di satu sisi, tokoh Debora lebih tinggi daripada hakim-hakim lainnya, tidak ada hakim yang digambarkan sebagai tokoh yang berbijaksana, mature, godly, seperti Debora; tapi di sisi lain, tidak seperti hakim-hakim lainnya, Debora tidak menjadi tokoh utama dari kisahnya sendiri. Paradoks. Mengapa seperti ini?
Sekarang kita beralih ke tokoh kedua, yaitu Yael. Mungkinkah dia tokoh klimaksnya, karena memang dia klimaks dari cerita ini? Kita lewati dulu pembahasan tentang Barak; intinya di bagian ini Debora memanggil Barak, lalu Barak maju berperang, dan Barak menang. Di ayat 10 diceritakan persiapan perang dari Barak; ada 10.000 orang terkumpul dari suku Naftali dan Zebulon. Lalu skip ke ayat 12-13, ada catatan yang mirip; mendengar kabar tentang Barak, Sisera pun berespons mengerahkan 900 kereta-kuda besinya. Tapi, di antara ayat 10 dan ayat 12-13 ada ayat 11, catatan aneh yang menyempil sendirian dan ‘gak nyambung; mengenai apa? Ayat 11: ‘Adapun Heber, orang Keni itu, telah memisahkan diri dari suku Keni, dari anak-anak Hobab ipar Musa, dan telah berpindah-pindah memasang kemahnya sampai ke pohon tarbantin di Zaanaim yang dekat Kedesh’ —dan Kedesh adalah tempat yang akan jadi medan perang antara Barak dan Sisera. Kita bingung, apa urusannya disebutkan mengenai hal ini? Lagi seru-serunya cerita persiapan perang dari dua army besar, lalu disebutkan tentang Heber; siapa dia ini, dari mana dia, dan tujuannya apa?? Lalu lompat ke ayat 17, setelah cerita peperangan dan Barak sudah menang, Sisera sudah terpukul kalah, ada catatan kecil, ‘ada perhubungan baik antara Yabin, raja Hazor –raja musuh–, dengan keluarga Heber, orang Keni itu.’ Jadi, tidak heran Sisera yang kalah dan melarikan diri itu lalu cari perlindungan di kemah Yael, istri Heber –karena jendralnya Yabin tentu berhak minta perlindungan dari sekutu.
Selanjutnya –dengan gaung kisah Ehud yang masih terngiang-ngiang di telinga kita– kita melihat Yael menerima Sisera, memberinya minum, memberinya tempat tidur, sampai juga menutupi dia dengan selimut seperti seorang mama menidurkan anaknya, lalu di ayat 21 dikatakan: ‘Tetapi Yael, isteri Heber, mengambil patok kemah, diambilnya pula palu, mendekatinya diam-diam, lalu dilantaknyalah patok itu masuk ke dalam pelipisnya sampai tembus ke tanah —sebab ia telah tidur nyenyak karena lelahnya — maka matilah orang itu.’ Di bagian ini ada satu layer yang mungkin kita kurang sadari, bahwa pada zaman tersebut tugas mendirikan kemah dianggap pekerjaan wanita; patok kemah dan palu bukanlah semacam peralatan Heber, si suami, yang kemudian dipinjam Yael –gambarannya bukan seperti itu–melainkan termasuk kategori perkakas dapur, barang-barangnya wanita. Dengan demikian kematian Sisera jadi super memalukan pada zaman itu, karena bukan cuma mati di tangan wanita tapi mati di tangan wanita melalui perkakas dapur.
Nubuat Debora sungguh terjadi, kemuliaan tidak menjadi milik Barak, tapi ternyata juga bukan jadi milik Debora; yang menjadi penentu akhir kemenangan ini, yang menghabisi Sisera, adalah seorang wanita yang lain, Yael. Dan lagi, ada sisi gelapnya dari cerita ini, karena ini berarti hajaran palu dari tangan Yael mengandung nuansa pengkhianatan. Kalau di kisah sebelumnya tusukan Ehud saja sudah mengundang kontroversi, apalagi yang ini; dan sepertinya memang disengaja ada paralel antara tindakan Ehud dan tindakan Yael, keduanya pakai istilah Ibrani yang sama dalam tindakan memberi pukulan yang mematikan itu, yaitu taqa, menikamkan, dan juga pukulan ini sama-sama dilakukan dalam situasi yang privat, tidak ada orang yang menyaksikan, yang dipukul pun tidak menyangka, pukulannya datang lewat tipu-tipu/siasat. Tapi, setiap kali paralel ada di dalam Alkitab, itu diberikan supaya kita juga melihat perbedaannya; dalam hal ini kasus Yael lebih parah karena korbannya adalah seorang sekutunya, sedang tidur pula. Tuhan bekerja melalui Ehud, bagi kita agak susah diterima tapi masih bisa terima, sedangkan Tuhan bekerja melalui Yael, ini makin tanda tanya. Ehud tidak benar-benar berbohong, dia hanya pakai silat lidah level tinggi, “Raja, aku membawakan dabar dari Tuhan” –yang bisa berarti kabar ataupun benda; sedangkan Yael pada dasarnya bersaksi dusta, “Singgahlah tuanku, jangan takut”. Dalam hal ini ada yang mengusulkan demikian: Yael ini orang Keni yang sudah memisahkan diri dari Israel, maka dia tidak bisa dituntut berdasarkan standar hukum Taurat –karena dia bukan orang Israel. Benar juga, Saudara; tapi jangan lupa, Yael dalam kisah ini melanggar semua norma budaya hospitality Timur Tengah. Sesungguhnya dalam budaya apapun, tindakannya ini tidak kurang dari pengkhianatan, apalagi dalam budaya Timur Tengah. Orang tahu bahwa di dalam budaya Timur Tengah, yang merupakan daerah padang gurun, hospitality sangat penting. Kalau Saudara berada di daerah tersebut dan bertemu dengan suku-suku Arab yang nomaden, siapapun Saudara pasti akan diterima kalau minta pertolongan, karena orang tahu di daerah yang luar biasa sulit untuk hidup itu, hospitality terhadap stranger adalah sangat penting. Dengan demikian, Yael melanggar semua norma ini.
Waktu melihat kisah ini, sekali lagi kita mengingat bahwa Tuhan tidak bekerja melalui orang-orang yang baik dan sempurna; karena seandainya begitu, maka Tuhan tidak bekerja sama sekali, sebab tidak ada orang yang baik dan sempurna total. Kita bersyukur bahwa Tuhan kita sanggup memakai kejahatan saudara-saudara Yusuf demi kebaikan. Kita melihat dalam pembahasan sebelumnya, bahkan lewat kehadiran bangsa Kanaan di tanah Kanaan, Tuhan menggunakannya untuk mengenal umat-Nya dan membuat umat-Nya mengenal Dia. Kita sendiri pun sudah merasakan hal ini, kita juga mengalaminya; seperti dalam khotbah terakhir kita bicara mengenai adanya kuasa gelap, namun lewat kita melihat adanya kuasa gelap, kita malah semakin melihat kuasa Tuhan. Jadi, yang terjadi dalam kisah ini bukan hal yang aneh mengenai cara Tuhan bekerja, tapi banyak orang kemudian merasa ‘masa sih, kemuliaan sungguh diberikan bagi Yael?? masa sih, Yael ujungnya tokoh utamanya??’ –dan jawabannya memang tidak. Debora bukan fokus kisahnya, dan ternyata Yael juga bukan fokus kisahnya.
Sekarang kita beralih ke tokoh terakhir, yaitu Barak. Mungkinkah Barak tokoh utamanya? Sekilas pandang kita bisa merasa jangan-jangan memang Barak tokoh utamanya, karena tadi dalam pembicaraan soal struktur, kita melihat ada seperti ini: Yabin-Sisera-Debora-Barak-Yael-Sisera-Yabin. Siapa yang di tengahnya, daging yang paling penting itu? Barak dan sepak terjangnya. Hal ini lebih tajam lagi ketika penulis kitab Ibrani di Perjanjian Baru waktu mendaftarkan para pahlawan iman, di situ sangat jelas siapa yang dia ingat dan siapa yang dia lewatkan. Ibrani 11:32, ‘Dan apakah lagi yang harus aku sebut? Sebab aku akan kekurangan waktu, apabila aku hendak menceriterakan tentang Gideon, Barak, Simson, Yefta, Daud dan Samuel dan para nabi’; siapa yang penulisnya ingat dalam episode kisah hakim Debora? Barak. Bukan Debora, bukan Yael, tapi Barak. Para wanita mungkin merasa ‘yah! PHP nih Alkitab, dari tadi kirain akhirnya Alkitab sekali-sekali kasih peran wanita jagoan, Debora sang pemimpin, Yael yang dapat kemuliaan, dua wanita yang kuat ini; eh, ujungnya yang diingat ratusan tahu kemudian oleh penulis Ibrani dan Gereja-mula-mula adalah lagi-lagi si cowok’. Tapi di samping komplain dari grup-grup feminis dalam bagian ini, para teolog –yang mayoritas tentunya laki-laki–juga sebenarnya bingung terhadap penulis kitab Ibrani, kenapa penulis Ibrani mengingat Barak? Bukankah dalam kisahnya Barak digambarkan negatif? Apakah ada kisah lain selain bagian yang ini?? Tidak ada. Sekarang mari kita selidiki, kenapa bisa jadi seperti ini.
Saudara, kunci dari penggambaran Barak yang negatif adalah pembicaraannya dengan Debora (ayat 6-9). Mari kita perhatikan bersama-sama. Ayat 6-7: Ia (Debora) menyuruh memanggil Barak bin Abinoam dari Kedesh di daerah Naftali, lalu berkata kepadanya: “Bukankah TUHAN, Allah Israel, memerintahkan demikian: Majulah, bergeraklah menuju gunung Tabor dengan membawa sepuluh ribu orang bani Naftali dan bani Zebulon bersama-sama dengan engkau, dan Aku akan menggerakkan Sisera, panglima tentara Yabin, dengan kereta-keretanya dan pasukan-pasukannya menuju engkau ke sungai Kison dan Aku akan menyerahkan dia ke dalam tanganmu.” Ini perintah Debora kepada Barak.Lalu ayat 8: Jawab Barak kepada Debora: “Jika engkau turut maju aku pun maju, tetapi jika engkau tidak turut maju aku pun tidak maju.” Ayat 9, respons Debora kepada Barak: Kata Debora: “Baik, aku turut! Hanya, engkau tidak akan mendapat kehormatan dalam perjalanan yang engkau lakukan ini, sebab TUHAN akan menyerahkan Sisera ke dalam tangan seorang perempuan”.
Kita biasanya mendengar tafsiran bagian ini menggambarkan Barak secara negatif; pembacaan seperti ini kita labelkan sebagai ‘tafsiran yang pesimistis’. Inti dari tafsiran ini, bahwa Barak dalam kalimatnya itu, sedang cari alasan untuk menghindar dari panggilannya sebagai penyelamat Israel. Dalam pandangan seperti ini, tokoh Yael jadi kelihatan bagus, karena setidaknya Yael take action sementara Barak pengecut. Dengan demikian dalam garis tafsiran ini, oleh karena kepengecutannya itu (ayat 8), Barak lalu ditegur oleh Debora (ayat 9), dan diberitahukan konsekuensi dari kepengecutannya, yaitu dia tidak akan mendapat kemuliaan dalam peperangan ini, bukan oleh tangannyalah Sisera akan mati –gara-gara sikapnya ini. Tafsiran seperti ini sangat dipengaruhi oleh terjemahan bahasa Inggris edisi NIV, karena di edisi ini kalimat Debora di ayat 9 memang ditulis sebagai konsekuensi: “because of the way you are going about this, the honor will not be yours” –‘karena sikapmu kayak begini, Barak, maka kehormatan tidak akan kamu dapat dalam perjalanan ini, Tuhan akan menyerahkan kehormatan kepada seorang perempuan’ –kira-kira seperti itu. Dengan demikian ini seringkali dijadikan dasar bagi banyak orang untuk mengatakan ‘inilah momennya wanita boleh maju dan harus maju; ketika para pria itu mewek, maka para wanita boleh take over kepemimpinan’. Saya rasa kita cukup sering mendengar tafsiran seperti ini, bahkan mungkin kita merasa ini satu-satunya tafsiran, demikian juga saya.
Kalau kita melihat dengan lebih detail, tafsiran tadi sebenarnya problematik, pertama-tama problematik terhadap teksnya sendiri. Pernahkan Saudara lihat dalam bagian ini Debora take over kepemimpinan? Tidak. Debora sudah jadi hakim sejak awal kisahnya, dia tidak mengambil peran tersebut dari cowok mana pun; dan yang pasti waktu perang, Debora bukanlah yang memimpin tentara 10 ribu orang itu. Debora ini hakim yang unik; Debora digambarkan sebagai pemimpin masyarakat, bijaksana, bukan sekadar seperti hakim-hakim yang lain. Dan lagi, Debora juga unik karena dia memang bukan jendral, dia tidak memimpin bangsa Israel dalam peperangan. Dia dikatakan maju bersama-sama dengan Barak ke medan perang, tapi dia tidak take over tugas kepemimpinan ini dari Barak, justru dialah yang merekrut Barak untuk hal ini sebagai orang yang kemampuannya melengkapi kemampuan yang dia tidak punya. Itulah ceritanya. Tadi kita mengatakan, kisah Debora menunjukkan bahwa penyelamat dari Tuhan bukan cuma menyelamatkan tapi juga memerintah; namun kita melihat dalam Hakim-hakim pasal 4, sang pemerintah bukanlah sang penyelamat, sang penyelamat bukanlah sang pemerintah, ini dua orang yang berbeda, multiple protagonis. Pembacaan yang negatif terhadap Barak, bukan cuma problematik terhadap teksnya sendiri tapi juga terhadap daftar pahlawan iman di Ibrani 11 tadi. Seandainya Barak orang yang begitu problematik, apakah penulis Ibrani akan mengingatnya?? Tentu saja tidak berarti tokoh-tokoh yang lain di sini bukan pahlawan iman, tapi kenapa dari cerita Debora ini hanya Barak, jika dia begitu pengecut?? Jadi, mungkinkah ada pembacaan alternatif yang lebih bertanggung jawab dalam hal ini? Itu sebabnya kita kembali ke teks aslinya.
Kalau kita membaca teks ini di bawah terang satu bagian Firman Tuhan yang lain, saya rasa kita akan dapat dasar untuk pembacaan alternatif. Kita akan melabelkan tafsiran alternatif ini sebagai ‘tafsiran yang optimistis’, yang intinya bahwa respons Barak terhadap Debora bukan mengekspresikan ketidaktaatan, bukan mengekspresikan kepengecutan, bukan mengekspresikan sifat manipulatif, tapi justru –sebagaimana dikatakan penulis Ibrani– adalah sebuah tindakan iman. Dari mana bisa ambil kesimpulan ini?
Pertama, Saudara perlu lihat bahwa memang jelas Barak memberi persyaratan, tetapi dari kalimatnya di ayat 8, Barak sebenarnya siap maju jika syaratnya dipenuhi. Dia mengatakan, “Jika engkau turut maju aku pun maju –artinya sudah siap– tetapi jika engkau tidak turut maju aku pun tidak maju.”Yang kedua, di ayat 9, respons Debora terhadap Barak juga tidak mengindikasikan Debora terkejut, lalu mengoyakkan pakaiannya, dsb., Debora sepertinya langsung menerima persyaratan tersebut; kata Debora,“Baik, aku turut!” Yang ketiga, kalimat berikutnya mengenai Barak tidak akan jadi orang yang menentukan yang membunuh Sisera dalam peperangan ini, itu tidak harus dibaca sebagai teguran. Dalam hal ini terjemahan bahasa Inggris ESV lebih dekat dengan bahasa aslinya, demikian juga terjemahan LAI; kalimat Debora di sini bukanlah teguran tapi semata-mata menyatakan fakta yang akan terjadi. Itu saja. Saudara lihat terjemahan LAI, tidak ada kalimat ‘gara-gara lu; LAI cuma mengatakan, “Hanya –hanya, ketahuilah Barak– engkau tidak akan mendapat kehormatan dalam perjalanan yang engkau lakukan ini, sebab TUHAN akan menyerahkan Sisera ke dalam tangan seorang perempuan.” Saudara jangan lupa, Debora adalah seorang nabi, sehingga kalimat tersebut bisa merupakan sebuah nubuat mengenai apa yang akan terjadi, bahwa ‘inilah panggilanmu, Barak, menjadi tokoh yang harus membawa tentaranya menghadapi 900 kereta-kuda besi tapi kamu tidak akan menerima kemuliaan dari semua itu, karena Tuhan, Sang Hakim, punya rencana yang lain; itu saja, nothing personal, Barak’. Saudara lihat, kalimat ini tidak harus dibaca sebagai vonis terhadap level kerohanian Barak.
Sekali lagi, dari teksnya sendiri sebenarnya tidak ditemukan alasan kuat untuk membacanya sebagai teguran. Pembacaan yang seperti itu problematik, bukan saja terhadap teksnya sendiri tapi juga ketika kita membandingkannya dengan surat Ibrani. Itu yang pertama. Yang kedua, sekarang kita bisa melihat bahwa pembacaan yang positif ini, akan lebih kuat kalau kita membandingkannya dengan terang satu bagian Alkitab yang lain. Kalau yang pertama tadi kita melihat ke belakang, ke Surat Ibrani, sekarang kita melihat ke depan, ke kitab Keluaran. Di Keluaran 33, ada satu pola yang mirip, ada satu percakapan yang mirip, ada perintah yang mirip dan respons yang mirip. Keluaran 33 adalah satu bagian yang merupakan akibat dari cerita Keluaran 32, cerita lembu emas. Bangsa Israel membuat patung lembu emas, menyembahnya, kemudian dihukum Tuhan. Setelah itu Tuhan mengatakan, “Musa, Aku mau buang bangsa ini, Aku mau jadikan keturunanmu bangsa yang baru”; dan Musa mengatakan, “Jangan, Tuhan”. Akhirnya, karena intervensi Musa, Tuhan setuju dan tidak jadi membuang mereka, Tuhan memerintahkan, “Berangkat, Musa! Bawa orang Israel ini pergi ke tanah Kanaan, Aku tidak akan menghukum, bawa mereka berangkat”. Dan yang menarik, dalam Keluaran 33:15 Saudara akan menemukan respons Musa: ‘Berkatalah Musa kepada-Nya: “Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini”’ —mirip dengan cerita tentang Barak tadi.
Perintah Tuhan: ‘Musa pergi, berangkat, bawa orang Israel’; perintah Debora, ‘bukankah Tuhan telah memerintahkan kepadamu Barak, pergi bawa 10.000 tentara’ –keduanya mirip. Lalu respons Musa kepada Tuhan, ‘jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, jangan suruh kami pergi’; respons Barak kepada Debora, ‘kalau kamu maju, aku maju, kalau kamu tidak turut maju, aku tidak maju’. Yang menarik lagi, berikutnya respons Tuhan kepada Musa, ‘hal yang telah kaukatakan ini akan Kulakukan’; respons Debora kepada Barak, ‘baik, aku turut’. Kalau Saudara melihat paralel dalam adegan-adegan ini, bukankah kita sekarang jadi melihat cerita Debora dan Barak dengan terang yang lain? Jangan lupa, Debora adalah seorang nabi, sehingga perkataan Debora dapat diasosiasikan dengan perkataan Tuhan; inilah yang menjadi dasar otoritas Debora dalam menghakimi bangsa Israel, Debora tahu isi hati Allah Israel. Perhatikan, sejak awal Debora hampir selalu mengawali perkataannya dengan ‘beginilah Allah Israel telah berfirman’, ‘Allah akan begini, Allah telah begitu’, ‘bukankah Allah telah berkata kepadamu begini dan begitu’ –Saudara melihat ini di ayat 6, 9, 14; Saudara melihatnya terus-menerus. Jadi, apa yang sebenarnya kita saksikan ketika Barak menolak pergi tanpa kehadiran Debora? Bukan kepengecutan, melainkan justru iman.
Yang namanya iman, sudah pasti memang bukan kepengecutan; tapi orang yang berani karena iman, bukan berarti berani bonek. Orang yang berani karena iman, itu bukan berarti berani tanpa ada persyaratan sama sekali, ‘pokoknya gua maju apapun yang terjadi’. Tidak demikian. Orang yang berani karena iman, dia melihat 2 hal. Pertama, dia melihat ketidaksanggupan dirinya; kedua, dia melihat kesanggupan Allah. Inilah 2 hal yang tidak boleh lepas dalam iman. Gampangnya seperti ini: dari mana Saudara tahu, Saudara adalah orang Kristen? Apa jawaban yang paling baik dalam hal ini? Apa yang jadi peganganmu, sehingga engkau tahu dan yakin engkau adalah orang Kristen? Kalau Saudara menjawab ‘karena saya berdoa, karena saya mendapat sukacita, karena saya begini, begitu, dsb.’, semua jawaban itu bisa diserang; sukacitamu memangnya bertahan terus? ketaatanmu memangnya bertahan terus? memangnya kamu selalu sempurna? Lalu kalau Saudara rasa ‘gak juga sih’, maka ujung-ujungnya ‘jadi saya bukan orang Kristen, dong??’ Banyak orang mengatakan begini, “Aduh, aku berdosa, Tuhan”, lalu minta ampun, lalu berdosa lagi dan minta ampun lagi, lalu berdosa lagi dan minta ampun lagi, lalu berdosa lagi dan minta ampun lagi, ujung-ujungnya, “Tuhan, saya ini orang Kristen atau bukan, sih??” Ini bukan iman, Saudara; ini iman yang palsu, karena melihat kepada kesanggupan diri, tidak menyadari ketidaksanggupan diri; dan waktu melihat ketidaksanggupan diri, lalu sirna semuanya, habis, tidak ada iman. Dan memang itu bukan iman. Iman bukan hanya ‘pokoknya saya sanggup’; iman adalah menyadari ketidaksanggupan diri, tapi lalu menyadari bahwa Allah sanggup. Itulah iman. Keduanya bersama-sama. Jadi, waktu ditanya, ‘kamu tahu dari mana kamu orang Kristen, apa peganganmu?’ Jawabannya: “Pegangan saya adalah karena bukan saya yang memegang, melainkan saya dipegang oleh Tuhan. Kalau saya sih, Pak, tangan saya pengen saya pakai untuk melepaskan diri dari pegangan Tuhan kalau bisa, saya kepingin kabur dari Dia. Tapi Tuhan tidak pernah melepaskan saya. Itulah pegangan saya, itulah sebabnya saya tahu, saya orang Kristen”. Inilah iman, ‘saya tidak sanggup, tapi Tuhan sanggup’. Yang seperti ini adalah iman yang tidak luntur karena terkena musibah, karena berdosa –meski tentu saja kalau berdosa harus berdukacita karenanya– sebab dasarnya bukanlah kesanggupan Saudara melainkan kesanggupan Allah, ketidaksanggupan manusia dan kesanggupan Allah. Saudara lihat, itu sebabnya iman selalu ada confiidence dan ada humility.
Iman itu tidak pernah takut doang, dan juga tidak pernah berani doang, tapi ada dua-duanya. Barak, waktu memberikan persyaratan, itu tidak harus Saudara baca sebagai ‘tidak beriman’. Orang yang beriman bukan berarti tidak ada syarat dalam hidupnya; Musa pun memberi syarat: ‘Tuhan, kalau Engkau suruh kami pergi, Engkau harus ikut; kalau Engkau tidak ikut bersama kami, jangan suruh kami pergi’. Ini syarat, tapi syarat yang datang dari iman. Mengapa? Musa mengatakan: ‘aku tahu, aku tidak sanggup, Tuhan, jadi kalau Engkau tidak pergi, aku juga tidak mau pergi; tetapi, aku confidence dalam kesanggupan-Mu, jadi kalau Kau ikut pergi, aku pergi, karena aku sanggup melalui Engkau, aku sanggup di dalam Engkau’. Jadi, ketika Barak memberikan persyaratannya, dia sedang melakukan tindakan iman; ‘Debora, kamu mewakili Tuhan, kalau kamu pergi bersama aku, aku pergi, karena aku sanggup di dalam Tuhan; tapi kalau kamu tidak pergi, forget it, aku tidak sanggup’.
Bagian Alkitab yang lain yang menguatkan tafsiran ini adalah surat Ibrani yang tadi. Ketika penulis Ibrani –dengan demikian berarti Gereja-mula-mula– melihat balik ke kisah ini, bagi mereka yang jadi tanda ‘iman’ terutama dalam kisah ini bukanlah Debora atau Yael, melainkan Barak. Mengapa ini iman? Karena panggilannya. Panggilan Barak adalah menjadi tokoh yang membawa tentaranya menghadapi 900 kereta-kuda besi, berjalan kaki, tapi dia tidak akan menerima kemuliaan penuh oleh hal itu, karena Tuhan Sang Hakim punya rencana lain. itulah panggilannya. Maukah Saudara menerima panggilan seperti ini? Bukan Saudara yang memulai, bukan Saudara yang mengakhiri, Saudara cuma disuruh kerja; Saudara mau? Bagi Barak, ini tidak masalah; bagianku adalah bagianku, biar yang lain mendapat kemuliaan. Apakah ini? Ini adalah iman. Iman adalah taat kepada Tuhan, memimpin tentara menghadapi 900 kereta-kuda besi. Iman adalah yakin akan kesanggupan Tuhan dan ketidaksanggupan diri; tapi, iman adalah juga menerima bahwa kemenangan akan jadi milik orang lain, bahkan kepemimpinan setelahnya pun akan jadi bagian orang lain, Debora bukan dirinya. Itulah sebabnya dalam hal ini Barak yang diingat, karena dalam gambaran ini Barak mengantisipasi atau menjadi bayang-bayang Sang Penyelamat Yang Agung, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak melihat kesetaraan dengan Allah sebagai sesuatu yang harus diraih, melainkan membuat diri-Nya hampa, merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan mati di atas kayu salib.
Konklusi. Jadi Barak-kah tokoh utamanya? Para wanita di bagian ini mungkin menghela nafas, ‘lagi-lagi ujungnya cowok; kemuliaan tidak akan jadi milik Barak, tapi ujungnya yang diingat ratusan tahun kemudian oleh penulis Ibrani dan Gereja Perjanjian Baru lagi-lagi si cowok.’ Tapi tidak sepenuhnya demikian. Kisah ini memang berakhir bukan dengan kemenangan Barak, tapi dengan catatan dipermalukannya si pria perkasa, Sisera, di tangan Yael, seorang wanita dengan perkakas dapunrnya. Kalau begitu, jadi siapa tokoh utama kisah ini? Sang pemimpin dan sang hakim, Debora, bukanlah sang jendral; sang jendral yang bisa jadi penyelamat, Barak, bukanlah sang penentu kemenangan; sang penentu kemenangan, Yael, bukanlah sang hakim atau sang jendral. Kenapa dalam kisah ini ada 3 protagonis? Mungkin supaya kita bisa mengenali siapa tokoh utama sesungguhnya di balik semua ini, kepada siapakah kemuliaan itu harus datang pada akhirnya? Siapa? Jangan menebak-nebak, mari kita lihat sendiri komentar dari si penulis pada bagian akhir; Hakim-hakim 4:23, ‘Demikianlah Allah pada hari itu menundukkan Yabin, raja Kanaan, di depan orang Israel.’ Saudara baca ‘demikianlah Barak’? ‘demikianlah Debora’? ‘demikianlah Yael’? Tidak. ‘Demikianlah Allah pada hari itu menundukkan Yabin, raja Kanaan, di depan orang Israel.’
Kembali ke awal; inilah mungkin sebabnya Allah kita memang setia dalam janji-Nya, memang Dia menepati janji-Nya, memang Dia konsisten dan tidak berubah setia, tapi bagaimana Dia menepati janji itu, cara apa yang Dia pakai, itu senantiasa baru, senantiasa unpredictable, senantiasa disembunyikan dari mata kita dan cuma kelihatan ketika sudah berlalu. Mengapa? Karena kalau kita coba-coba mengulangi yang terjadi di masa lalu, ‘O, begitu ternyata cara Tuhan bekerja, coba aku ulangi lagi caranya, aku ulangi semua elemen-elemennya’, hasilnya ternyata tidak keluar, Tuhan bekerjanya lain lagi, kita menemukan yang terjadi tidak sesuai harapan. Janji Tuhan memang tetap terjadi, tapi bukan persis melalui cara yang dulu itu, selalu ada variasi, selalu baru setiap pagi. Kenapa Tuhan bekerja seperti ini? Mungkin, supaya lewat ini Tuhan mengenal kita dan kita mengenal Dia. Mengenal Dia dan berpegang kepada Dia, bukan kepada formulasi-formulasi atau aturan-aturan, atau rumus-tumus, atau kiat-kiat tertantu, atau bahkan figur-figur hamba Tuhan tertentu. Mungkin itu tujuannya.
Kita perlu jujur dengan kecenderungan hati kita; kita selalu kepingin mengotakkan Tuhan, kita ingin Tuhan hadir dalam cara-cara yang predictable, yang controlable, yang reproducible. Itulah yang riil buat kita. Kalau misalnya komputer Saudara bermasalah, paling sebal kalau problemnya tidak bisa di-reproduce; koneksi wifi yang putus-putus juga menyebalkan, mending tidak ada koneksi sekalian, ‘gak riil kalau kayak begitu. Tapi dalam Alkitab, Allah yang riil justru adalah Allah yang unpredictable, yang tidak bisa dikunci dalam cara-cara tertentu.
Saudara, kecenderungan ini ada dalam hidup kita semua. Contohnya, sebagai jemaat seringkali ingin ada satu orang pendeta atau gembala yang bisa diandalkan, yang ideal, yang bisa mengisi segala kebutuhan jemaat. Tapi, Saudara mungkin justru akan peka dengankehadiran Tuhan, jikalau peran tersebut dibagi-bagi di antara multiple protagonis. Si gembala memimpin dari mimbar tapi tidak sanggup membantu dalam situasi detail pribadi setiap Saudara, mungkin karena cuek, mungkin karena sibuk; lalu dalam KTB, Saudara mungkin menemukan bahwa situasi yang detail tadi terbantu di situ, tapi KTB tidak memberikan bantuan atau bimbingan yang seperti di mimbar, karena tidak ada yang mampu; dan tiba-tiba, dalam penyelesaian masalahnya, sang penentu atau yang jadi faktor penentu, bisa saja bahkan bukan orang Kristen tapi entah dari mana, seperti Yael yang pasang kemah di tengah-tengah pertempuran lalu tiba-tiba dipakai Tuhan. Saudara jadi bingung, dan malah mengatakan ‘ini benar Tuhan yang bekerja atau enggak sih?’ Harusnya tidak begitu, Saudara. Apakah kalau semua kebutuhan Saudara dipenuhi oleh satu orang hamba Tuhan, baru Saudara mengatakan ini artinya Tuhan bekerja? Tidak demikian, Saudara. Kalau semua kebutuhan Saudara dipenuhi dari satu sumber, Saudara jadi akan lihat Tuhan atau lihat sumber itu?? Tapi kalau kebutuhan Saudara dipenuhi lewat berbagai macam hal, kadang di sini, kadang di situ, maka yang mana yang lebih membuat Saudara jelas akan tangan Tuhan di balik itu semua? Dalam hal ini bukan cuma Saudara tapi juga saya ada kecenderungan seperti itu. Dalam berkhotbah saya perlu resource, dari tafsiran, dari orang-orang lain yang saya perlu belajar; dan saya inginnya dapat satu buku yang ultimat langsung jadi khotbah, tinggal copas dari depan sampai belakang lalu urusan selesai. Tapi satu buku yang bagus seperti itu tidak pernah ada. Adakalanya lagi bingung-bingung, ngobrol dengan seorang jemaat lalu tiba-tiba dapat insight, bisa jadi khotbah; kadang-kadang dari nonton serial TV yang entah dari mana, bukan orang Kristen, lalu dapat sesuatu –seperti Yael tadi. Itulah realitas hidup kita. Kenapa kayak begini? Supaya kita menyadari berkat ini datang dari mana.
Alkitab mengatakan, inilah Tuhan, Allah yang riil memang pasti adalah Allah yang tidak berubah setia, Allah yang riil memang pasti adalah Allah yang janji-Nya bisa dipegang; namun demikian, Allah yang riil adalah juga Allah yang cara kerjanya tidak terpegang, seperti lagu yang mengatakan “jalan Tuhan di atas jalanku”. Ini harusnya good news, karena ini berarti Allah yang demikian sungguh adalah Allah yang berdaulat, bisa kerja melalui satu, bisa kerja melalui banyak. Bisa kerja dalam masa damai, bisa kerja dalam masa perang. Bisa kerja melalui kebaikan, bisa kerja melalui kejahatan. Tapi kita tidak suka; mengapa? Karena berhadapan dengan Allah yang unpredictable, berarti kita tidak bisa menerka-nerka, kita hanya bisa taat dan bekerja.
Terakhir, Saudara perhatikan, kita bukan sama sekali tidak dipanggil untuk menyelami bagaimana Tuhan bekerja, kita bukan dilarang mengagumi bagaimana Tuhan bekerja; namun demikian, Saudara lihat dalam Alkitab bahwa undangan untuk memahami pekerjaan Tuhan hanya datang ketika semua itu sudah lewat, sudah dibelakang. Setelah Saudara taat, setelah Saudara beriman, setelah Saudara bekerja, baru Saudara bisa melihat tangan Tuhan di balik semua itu, baru Saudara bisa mengatakan,” Oh, ternyata Yael, siapa yang sangka; gua kira itu orang ‘gak jelas dari mana”. Tapi berapa banyak orang Kristen mau melakukan refleksi? Yang banyak diminati adalah yang sebaliknya, spekulasi, menerka-nerka apa yang akan terjadi di depan, lalu berdasarkan itu menentukan mau kerja atau tidak, mau taat atau tidak, mau ikut atau tidak. Spekulasi. Banyak orang mau menerka-nerka, besok pasar saham akan bergerak ke mana, tapi sedikit yang mau pakai keringat untuk meneliti sejarah pasar saham. Tapi pertanyaannya, yang lebih insightful untuk mengerti saham adalah yang mana? Kalau Saudara kuliah ekonomi, apakah isinya 95% spekulasi masa depan? Atau justru 95% adalah refleksi pola-pola ekonomi masa lalu? Inilah yang membuat kita mengerti, “Oh, begitu, ternyata”, tapi yang seperti ini tidak laku karena sudah lewat dan kita selalu maunya yang belum datang. Mengapa? Karena bukan mau belajar, bukan mau mengenal, bukan mau mengetahui seluk-beluk dengan mendalam, bahkan mungkin bukan mau melihat keindahan di balik sejarah ekonomi, tapi karena mau memanfaatkan, mau cari untung, mau cari kemuliaan, mau mengejar sesuatu —mau menggunakan, bukan mau mengenal.
Di sini kita bisa berefleksi. Saudara tertarik apa dengan Tuhan? Saudara lebih tertarik cari tahu angin surgawi besok akan bergerak ke mana, atau tertarik untuk refleksi akan pekerjaan-pekerjaan Tuhan di masa lampau? Apa jawabannya? Tergantung apakah Saudara mau mengenal Tuhan atau Saudara hanya mau memanfaatkan Tuhan. Kalau Saudara orang yang cari untung, cari kemuliaan, memang ‘gak guna itu refleksi karena Tuhan ‘kan unpredictable, ngapain refleksi?? Tapi kalau Saudara tipe Barak, yang bisa menerjang 900 kereta-kuda besi meski tahu ujungnya bukan dirinya yang dimuliakan, refleksi jadi berharga; mengapa? Karena satu hal: pertama, Tuhan jadi mengenal Saudara, selama ini Saudara ikut Tuhan buat apa; kedua, Saudara jadi mengenal Tuhan.
Refleksi ini, refleksi kisah jadul mengenai Hakim-hakim, ujungnya Saudara tidak akan terlalu bisa pakai untuk masa depanmu, tapi bagi saya ini penting karena ujungnya refleksi ini membawa saya kepada relasi dengan Tuhan, dikenal dan mengenal. Dan satu hal mengenai relasi, ada dampaknya ke masa depan; dampaknya bukan Saudara jadi tahu tentang masa depan, dampaknya adalah: semakin intim relasimu dengan seseorang, semakin orang bisa melihat dirinya melalui dirimu –‘wah, Jethro sekarang beda ya, setelah nikah dengan Othy, mulai ketularan tenangnya Othy’. Dan, sama seperti melalui figur Barak, yang kita pada akhirnya ingat bukanlah Baraknya, tetapi Kristus, maka lewat kita refleksi, perlahan-lahan dunia boleh melihat Kristus lewat Tubuh-Nya. Itu tujuannya. Saudara cari ini atau bukan?
Tokoh utama dalam kisah ini sudah jelas; pertanyaan terakhir: siapa tokoh utama dalam hidupmu?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading