Kita melanjutkan khotbah eksposisi kitab Hakim-hakim; hari ini secara keseluruhan adalah khotbah ke-9, dan merupakan khotbah ke-3 dari kisah hakim Debora. Dalam 2 khotbah sebelumnya, kita sudah membahas narasinya, mengenai 3 tokoh antagonis dan 3 tokoh protagonisnya. Hari ini kita sedikit ganti mode, kita akan memakai cerita Debora sebagai semacam jalan masuk untuk mendiskusikan topik ‘kepemimpinan wanita di Alkitab’, karena tidak terhindari, cerita Debora mengundang pertanyaan dan refleksi mengenai hal ini.
Pertama, kita mau membahas bagaimana kita mendekati dan mencoba menarik kesimpulan dari kisah ini, apa yang kita tidak bisa tarik; di mana batasannya untuk kita bisa menarik prinsip dari kisah naratif seperti kisah Debora ini. Yang kedua, kita coba mendiskusikan hal apa yang perlu kita ambil dari kisah ini; bukan cuma melihat Debora, tapi juga melihat Debora dalam terang bagian-bagian Firman Tuhan yang lain mengenai peran wanita dalam Gereja. Inilah pembahasan yang biblikal; bukan cuma kembali ke Alkitab pada satu tempat saja, tapi membaca suatu bagian Alkitab dalam terang bagian-bagian Alkitab yang lain. Yang ketiga, kita akan coba menarik konklusi dari semua ini.
Bagian yang pertama: ‘apa yang bisa kita lakukan dan yang kita mungkin tidak bisa lakukan, sampai di mana batasannya.’ Bagian ini semacam disclaimer di depan. Pertama, Saudara harus sadar bahwa khotbah seperti ini bukan tempat untuk kita bisa membahas satu topik sampai tuntas habis. Ini topik kepemimpinan wanita yang sudah diperdebatkan di antara orang Kristen sampai ratusan tahun, maka adalah mimpi kalau kita anggap bisa menuntaskan perdebatan ini hanya dalam satu jam. Jadi, tujuan saya bukan menuntaskan pembahasan ini sedemikian sehingga Saudara bisa bilang ‘pokoknya A’ atau ‘pokoknya B’. Seperti sudah kita katakan dalam seri khotbah ‘Calling’, tujuan kita bukan untuk dapat jawaban-jawaban singkat dan instan dan gampangan; tujuan kita adalah bertumbuh dalam wisdom. Dan, wisdom itu tidak pernah ‘pokoknya begini ya; seumur hidup di mana pun kamu, pokoknya begini’; wisdom itu, salah satu langkahnya adalah mengenali kompleksitas hidup ini, yang membuat hidup ini tidak bisa dikunci dalam satu dua rumusan. Saudara melihat dalam Alkitab pun seperti itu. Ada kitab Amsal yang bicaranya seperti jelas ‘kalau begini maka begitu; kalau kamu baik-baik maka hidupmu juga akan baik-baik’, tapi dalam Alkitab yang sama juga ada suara yang lain –ada kompleksitas– yaitu kitab Ayub yang memperlihatkan Ayub menderita bukan karena dia bersalah atau melakukan kejahatan, tapi justru karena dia orang yang begitu baik, dan Tuhan punya rencana di balik itu semua. Dalam Alkitab ada kompleksitas, maka kita tidak bisa berpikir bahwa menjadi orang Kristen berarti jadi orang yang hidupnya simpel; Saudara jadi orang Kristen justru diajak untuk bertumbuh dalam wisdom, artinya Saudara mengenali kompleksitas hidup ini.
Kedua, saya mengajak Saudara melihat bahwa kitab Hakim-hakim adalah kitab yang naratif; dan membaca narasi tidak bisa semena-mena. Kita membaca narasinya, lalu waktu kita analisa –bukan cuma membaca isinya tapi juga strukturnya– ternyata bisa ada makna yang berbeda, bahkan lebih dalam, dan ada lapisan-lapisannya. Narasi Debora adalah catatan mengenai apa yang pernah terjadi pada zaman Debora, dan itu tidak berarti serta-merta bisa kita tarik jadi catatan tentang apa yang harusnya terjadi pada zaman kita; ini dua hal yang berbeda, yang kita tidak boleh lupakan. Misalnya ada orang yang hidupnya dipakai Tuhan, dan dia memberi kesaksian seperti ini: ‘awalnya saya hidup dalam dosa, saya mengejar harta, wanita, dan kuasa, tapi Tuhan menyadarkan saya, dan saya bertobat; saya sekarang jadi penginjil yang dipakai Tuhan.’ Mendengar itu, apakah jadi berarti ketika Saudara mau jadi penginjil yang dipakai Tuhan maka pertama-tama Saudara harus mengejar harta, wanita, dan kuasa? Tentu tidak. Itulah yang namanya cerita. Dalam cerita, ada sesuatu yang terjadi dalam hidup orang itu, dan ini tidak bisa secara sembarangan Saudara ambil untuk menentukan apa yang harusnya terjadi hari ini dalam hidup Saudara. Tentu saja ada hal yang bisa kita tarik, tapi tidak bisa serta-merta tarik seenak jidat. Demikian juga kisah Debora ini adalah cerita, ini bukan risalah teologi mengenai kepemimpinan wanita, maka kita perlu hati-hati dalam mengambil kesimpulan atau prinsip/doktrin dari bagian-bagian seperti ini.
Seringkali, polarisasi/peng-kutub-an atau perpecahan dalam Gereja terjadi karena terlalu mau cepat ambil kesimpulan dari narasi-narasi. Misalnya, dalam menghadapi cerita Debora bisa ada 2 posisi besar yang berseberangan. Posisi pertama adalah orang-orang tradisionalis, yang merasa pokoknya pria harus senantiasa memimpin dan wanita harus senantiasa di bawah. Lalu ketika menghadapi kisah Debora, yang pemimpinnya ternyatawanita, maka mereka mengatakan ‘ini wanita jadi pemimpin gara-gara pria lari dari tanggung jawab, jadi ini kasus khusus; tetap pria yang memimpin, sedangkan wanita boleh jadi pemimpin kalau yang pria mewek dan lari dari tanggung jawab’ –inilah pembacaan kaum tradisionalis. Tapi sebagaimana kita bahas sebelumnya, kisahnya tidak mengatakan demikian sama sekali, karena sejak awal kisahnya bahkan sebelum Barak muncul, Debora sudah jadi hakim atas Israel. Allah memang memanggil dia sebagai hakim atas Israel jauh sebelum Barak muncul, Debora tidak ambil alih kepemimpinan sebagai hakim dari tangan pria. Saudara lihat, ada bahaya menarik doktrin begitu cepat dari suatu narasi, itu sebabnya ini harus dilakukan dengan hati-hati.
Posisi kedua, posisi yang sebaliknya. Orang-orang dari pihak yang mungkin progresif, orang-orang feminis, atau orang-orang liberal, menarik doktrin yang berbeda dari cerita yang sama. Mereka percaya bahwa cerita ini justru membuktikan pria dan wanita tidak ada perbedaan; semua yang pria bisa lakukan, wanita bisa lakukan, perbedaan gender cuma buatan masyarakat. Mereka menganggap hal tersebut didukung oleh kisah ini, karena ‘lihat tuh, Debora jadi hakim ‘kan; Tuhan sudah jadikan dia hakim sejak awal cerita, dia tidak ambil posisi kepemimpinan dari tangan pria yang mewek, dia langsung maju dari awal, maka semua yang pria bisa lakukan wanita pun bisa lakukan.’ Ini pun salah kesimpulan, karena waktu kita membahas kisahnya dengan teliti, Debora memang hakim yang unik, satu-satunya hakim yang dicatat menjadi “hakim” dalam arti menengahi kasus sengketa, memimpin dalam masa damai, dst, dst., dan lagi memang Debora tidak ambil posisi ini dari tangan pria, sejak awal hal itu memang adalah panggilan Tuhan bagi dia, TAPI keunikan Debora di antara semua hakim yang lain, juga adalah Debora tidak memimpin dalam peperangan. Dia bukan seorang jendaral, dia bukan seorang warrior, dan dia secara bijaksana merekrut orang lain yang kemampuannya melengkapi kemampuan yang dia tidak punya, yaitu Barak. Hal ini sama sekali tidak cocok dengan kacamata feminis radikal tadi karena tetap ada perbedaan, dan Debora pun menyadarinya. Debora menggunakan orang yang lain, yang berbeda dengan dirinya, untuk bisa melengkapi dirinya.
Saudara lihat dari cerita ini, cepat-cepat mengambil kesimpulan yang terlalu tradisional, ternyata salah; mengambil kesimpulan yang terlalu progresif, salah juga. Lalu Saudara bingung, ‘jadi ceritanya ngomong apa sebenarnya, membaca dengan kacamata terlalu tradisional, salah; baca dengan kacamata terlalu progresif juga salah??’ Saudara, itulah tepatnya poin saya hari ini, bahwa yang Saudara baca adalah cerita, bukan risalah doktrin mengenai kepemimpinan wanita. Saudara jangan terburu-buru menarik kesimpulan yang terlalu dogmatis dari bagian-bagian seperti ini. Itu tidak bijaksana. Baik hasil kesimpulannya konservatif, atau pun hasil kesimpulannya progresif, sama saja terlalu cepat mengambil kesimpulan, karena cerita adalah sesuatu yang kompleks. Dan Saudara lihat, inilah yang pada akhirnya membuat banyak Gereja terpecah, terkutub-kutub, yaitu karena orang-orang yang terlalu cepat tarik kesimpulan dari cerita-cerita, narasi-narasi. Oleh karenanya, di bagian pertama ini saya ingin mengajak Saudara menyadari perlunya berhat-hati dan berbijaksana dalam menarik kesimpulan-kesimpulan doktrinal. Kita tentu perlu bertanya ‘apa yang Tuhan mau kita ambil dari bagian ini’, tapi kita juga perlu berani bertanya ‘batasannya sampai di mana, apa yang tidak dimaksudkan untuk diambil sebagai teladan hidup kita hari ini’.
Satu faktor lagi untuk Saudara bisa menyadari kompleksitas dari bagian kitab Hakim-hakim ini, yaitu bahwa dalam periode Debora, “Israel” adalah dua hal: pertama, mereka adalah umat Tuhan; kedua, mereka adalah juga sebuah negara (mereka menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan). Ini lain sekali dengan zaman kita hari ini; kita ini hanya umat Tuhan (Gereja), kita tidak lagi menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan. Memang ada hal-hal dalam kehidupan Israel zaman dulu yang bisa bertahan sampai sekarang, karena memang ada panggilan-panggilan mereka secara ke-umat-an yang kita hari ini jalankan karena kita juga umat Tuhan; misalnya mereka merayakan Perjamuan Paskah, kita hari ini merayakan Perjamuan Kudus. Tetapi ada juga hal-hal dalam kehidupan Israel yang tidak tentu berlanjut sampai hari ini di Gereja, yaitu panggilan-panggilan mereka dalam fungsi kenegaraan; misalnya, mereka dipanggil untuk menghukum orang-orang yang melakukan tindak kriminal, tapi hari ini kita tidak melakukan itu di Gereja, itu adalah bagiannya pemerintah. Jadi, kalau pun kita telah berhati-hati menyelidiki hal ini lalu ambil kesimpulan bahwa di zaman Debora ada hal ini atau itu yang bersifat prinsip, tidak tentu kemudian bisa serta-merta kita tarik kesimpulan harus melakukan hal yang sama persis di Gereja pada hari ini.
Perlu bijaksana, perlu hati-hati –dua aspek yang harus selalu ada dalam penyelidikan kita. Kita perlu menyelidiki apa yang kita bisa tarik dari Alkitab, tapi kita juga selalu perlu bertanya batasannya sampai di mana, tidak bisa cuma salah satu. Dan, salah satu tandanya orang yang berbijaksana adalah tidak cuma sepihak. Satu contoh, suatu refleksi terhadap penggunaan media di gereja pada hari ini. Hari ini hampir semua acara ada e-brochure karena kita ingin menginformasikan semua kegiatan kepada jemaat. Hal ini ada tempatnya, dan memang perlu dilakukan. Namun kadang-kadang kita ada kecenderungan hanya memikirkan satu pihak, yaitu apa yang kita bisa lakukan dengan tekonologi, apa yang kita bisa ambil dari tekonologi, apa yang kita bisa jalankan dengan tekonologi; dan kita seringkali kurang memikirkan sisi sebaliknya, apa yang perlu kita batasi dalam menggunakan teknologi itu. Ini jarang yang membicarakan, tapi di Gereja perlu ada suara-suara yang berlainan ini, karena inilah langkah masuk ke dalam kebijaksanaan. Pak Edward Oei dalam hal ini pernah mengatakan, harusnya e-brochure digunakan hanya untuk menekankan, untuk tarik perhatian ekstra pada satu dua acara yang penting –yang sekali-sekali dan jarang-jarang itu– karena kalau semua acara dibikin e-brochure, bagaimana caranya kalau mau menekankan satu dua acara yang penting itu?? Ini efek samping yang banyak orang tidak pikirkan dalam hal penggunaan media di gereja. Intinya, yang saya mau katakan adalah: dalam kepengurusan dan ke-gereja-an, kita perlu berbijaksana. Problem dalam kita mengurus Gereja, seringkali juga adalah problem dalam cara kita membaca Alkitab, yaitu kita tidak berani dan tidak mau berpikir kompleks, kita cuma mengikuti arah kecenderungan masing-masing. Tetapi, menjadi orang Kristen berarti kita tidak cuma satu arah, kita perlu banyak suara-suara, untuk kita bisa melihat secara lebih kompleks tanggung jawab yang Tuhan berikan. Dan, kita akan coba melakukannya hari ini, waktu kita melihat urusan mengenai kepemimpinan wanita.
Itulah bagian yang pertama, suatu disclaimer di depan, bahwa kita tidak akan bisa tuntas membahas hal ini karena isunya kompleks, tapi justru inilah poin saya, yaitu mengajak Saudara melihat kompleksitasnya. Ini satu hal yang positif, karena berarti Saudara diajak bertumbuh, menjadi orang yang bisa mengenali kompleksitas yang Tuhan berikan dalam hidup ini. Kalau Saudara bisa mengenali bahwa isu yang kita hadapi bersifat kompleks, paling tidak Saudara jadi lebih sadar perlunya gereja, karena Gereja isinya adalah orang-orang yang punya sudut pandang berbeda-beda. Seringkali orang mengatakan ‘seandainya Gereja bisa satu suara, satu pandangan’ –kita inginnya kayak begitu. Tapi tidak demikian, buktinya tidak pernah ada gereja yang kayak begitu. Lalu mengapa gereja diberikan seperti ini? Tentu saja karena kita membutuhkannya. Kalau kita sendirian, kita akan terpaku pada satu arah kecenderungan hati kita doang; itu sebabnya kita perlu orang-orang lain. Penatua Bunawan pernah mengatakan satu kalimat yang bagus, tentang bagaimana kalau harus memilih di antara 2 orang dalam board of directors; yang satu adalah orang yang selalu setuju dengan dia, dan satunya lagi yang agak kritis terhadap dia, maka dalam hal ini dia akan pecat orang yang selalu setuju dan pertahankan orang yang kritis, alasannya karena dia perlu suara yang lain. Saudara, ini satu hal yang kita perlu belajar di dalam gereja, maka kita tidak usah takut dengan khotbah-khotbah yang membuat kita bingung, pusing, jadinya apa, dsb.; memang ada khotbah yang bikin bingung karena khotbahnya ‘gak jelas isinya apa, tapi harap Saudara bisa membedakan kebingungan yang negatif dengan kebingungan yang positif. Hari ini kita akan coba mendalami hal ini, kita akan melihat dari banyak hal dan banyak detail, karena inilah yang seringkali memang diperlukan oleh Gereja Tuhan.
Bagian yang kedua: ‘apa yang kita bisa ambil, dan apa yang kita tidak boleh ambil dari cerita Debora; apa yang bisa kita tarik dari kisah Debora mengenai kepemimpinan wanita’. Di sini saya hanya akan fokus ke satu hal saja, lalu melihatnya dari terang bagian-bagian Alkitab yang lain dalam Perjanjian Baru.
Kalau Saudara perhatikan Perjanjian Lama, di dalam kenegaraan Israel ada 3 jabatan/peran resmi, yaitu: 1) sebagai nabi; 2) sebagai imam; 3) sebagai raja. Dalam kisahnya, pertama-tama Debora pastinya menempati peran ‘nabi’; dikatakan bahwa Debora seorang nabiah. Debora juga bukan satu-satunya nabiah di Perjanjian Lama; Miriam, kakak Musa, juga disebut nabiah. Selain itu, ada nabiah-nabiah yang lain, misalnya nabiah Hulda, yang mungkin kita tidak pernah dengar tapi dia adalah nabiah yang muncul pada zaman reformasi raja Yosia. Di Perjanjian Baru ada catatan Lukas mengenai nabiah Hana (pasal 2), yang mengenali bayi Yesus sebagai Mesias. Yang kedua, Debora juga menempati peran ‘hakim’, ini peran pemimpin; kalau dari 3 jabatan tadi (nabi, imam, raja), peran ‘hakim’ paling dekat dengan ‘raja’. Selain Debora, wanita yang menempati peran ‘raja’ di Alkitab misalnya Ratu Ester. Jadi, dalam Alkitab juga ada figur perempuan yang menempati peran pemimpin politik, peran ‘raja’, tapi di sepanjang Perjanjian Lama, di Israel kita tidak menemukan wanita yang menempati peran ‘imam’.
Di satu sisi, Saudara melihat dalam Perjanjian Lama ada persamaan (equality), wanita boleh jadi nabi, wanita bahkan boleh jadi pemimpin; tapi di sisi lain, ada pembedaan, wanita tidak menjadi imam, imam adalah jabatan yang dikhususkan bagi para pria. Bilangan 3:10 dan Imamat 21 menunjukkan dengan sangat jelas bahwa semua imam di Israel adalah pria –maka sebutannya ‘Aaron and his sons’ (Harun dan anak-anaknya). Jadi dalam Perjanjian Lama kita melihat bahwa sementara pria dan wanita dianggap setara, mereka tidak dianggap ekuivalen; mereka dianggap setara, tapi bukan lalu menghilangkan semua perbedaan. Dalam hal ini, kemungkinan wanita tidak jadi imam karena ada alasan yang lain; bukan karena diskriminasi, tapi semata-mata karena ada diferensiasi. Tidak semua perbedaan harus jadi urusan martabat. Itulah indikasi yang kita bisa lihat dalam Perjanjian Lama.
Sekarang kita pergi ke Perjanjian Baru, dan kita menemukan ada satu pola yang mirip. Di Perjanjian Baru, wanita melayani Tuhan dalam gereja sebagai apa? Yang pertama, juga sebagai nabi, sebagaimana di Injil Lukas disebutkan tentang nabi Hana –meski mungkin Saudara mengatakan itu bukan Gereja karena ketika itu Gereja belum berdiri. Di 1 Korintus 11:5, Paulus mengatakan demikian: “Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya.” Saudara perhatikan, Paulus dalam perintahnya mengenai tudung kepala wanita, dia bukan menyuruh wanita pakai tudung kepala setiap waktu; Paulus mengatakan agar wanita yang berdoa dan bernubuat memakai tudung kepala. Berdoa dan bernubuat ini, konteksnya adalah memimpin jemaat berdoa dan bernubuat di dalam suatu kebaktian –itu sebabnya harus pakai tudung kepala, karena orang yang memimpin tentu ada dress-code-nya untuk menjaga kerapian, kesucian, dst. Jadi, bahkan Paulus pun mengenali bahwa ada wanita yang bisa memimpin jemaat dalam berdoa dan bernubuat, karena ngapain dia musti memberitahu dress-code-nya kalau sebenarnya tidak ada hal tersebut. Dari tulisan Paulus ini, berarti ada wanita dengan peran kenabian; ada fungsi kenabian pada wanita di Gereja-mula-mula. Ini mirip dengan Perjanjian Lama.
Yang kedua, wanita di gereja Perjanjian Baru juga melayani sebagai diaken, yang dalam hal peran ‘nabi-imam-raja’ paralel paling dekatnya adalah dengan fungsi ‘raja’, fungsi pengaturan/ manajemen gereja –fungsi kepemimpinan. Kita tahu di Perjanjian Baru ada diaken-diaken wanita dari surat-surat Paulus, misalnya Roma 16:1 sbb.: “Aku meminta perhatianmu terhadap Febe, saudari kita (artinya seorang wanita) yang melayani jemaat di Kengkrea”; dalam hal ini terjemahannya kurang tepat, sebenarnya istilah ‘melayani jemaat’ di sini pakai istilah khusus ‘diakonon’ (diaken). Jadi Febe ini bukan seorang aktifis di Kengkrea, tapi seorang diaken. Kemungkinan besar Febe inilah yang membawa surat Paulus kepada jemaat di Roma; dan pembawa surat pada waktu itu bukanlah semacam kurir Grab, tapi orang yang akan membacakan surat tersebut di depan jemaat, dan juga menerima pertanyaan serta menjelaskan isi surat tersebut atas otoritas sang penulis. Ini bukan peran yang main-main; dalam hal ini Febe mendapat peran pemimpin, seseorang yang akan menjelaskan (peran pengajar).
Kita perhatikan juga surat Timotius dalam 1 Timotius 3. Bagian ini bicara mengenai kualifiksi/ persyaratan pengurus-pengurus gereja. Saudara perhatikan lebih dulu, ayat 1-7 ada perbedaan dari ayat 8-13, dalam hal membicarakan mengenai kualifikasi siapa dan jabatan apa. Ayat 1-7 bicara mengenai kualifikasi jabatan seorang ‘penilik jemaat’, yang hari ini kita mengerti sebagai jabatan ‘penatua’; ayat 8-13 bicara mengenai kualifikasi jabatan seorang diaken. Yang menarik, dalam pembicaraan mengenai diaken, di tengah-tengahnya ada ayat 11, yaitu tentang istri-istri haruslah begini begitu, lalu selanjutnya ayat 12 dst. bicara soal harus suami dari satu istri dsb., sehingga ketika membaca ini, kita berasumsi bahwa ayat 11 adalah mengenai kualifikasi istri-istri diaken. Tapi sebenarnya dalam bahasa aslinya, istilah ‘istri’ di sini kurang tepat, istilahnya menggunakan ‘gunai’ –gunai ada kemiripan dengan istilah ‘ginekolog’ yaitu dokter urusan kewanitaan. Istilah gunai memang bisa dipakai untuk ‘istri’ (status pernikahan), tapi juga bisa mengacu soal jenis kelamin, maka terjemahan-terjemahan yang lebih baru menerjemahkan ayat 11 ini demikian: “Hendaklah para wanita-wanita … “ (bukan istri-istri). Kalau Saudara membacanya demikian, maka ayat 11 ini bukan tentang kualifikasi istri-istri diaken melainkan kualifikasi diaken-diaken wanita. Jadi ayat 8-13 adalah kualifikasi diaken, dan khusus ayat 11 adalah kualifikasi tambahan untuk diaken-diaken wanita. Hal ini lebih kuat lagi kalau Saudara melihat ayat 1-7, bagian mengenai penatua. Dalam hal ini, seandainya ayat 11 tadi tentang kualifikasi istri diaken, pertanyaannya mengapa di ayat 1-7 tidak ada kualifikasi istri penatua?? Apakah jadinya berarti penatua tidak boleh beristri?? Sudah pasti bukan demikian. Jadi, di ayat 1-7 tidak ada mengenai kualifikasi ‘istri’, karena memang yang dikatakan di ayat 11 bukan tentang istri diaken melainkan diaken-diaken yang wanita. Lalu mengapa di ayat 1-7 tidak ada kualifikasi wanita? Karena jabatan ‘penatua’ adalah jabatan yang dikhususkan bagi pria, seperti jabatan ‘imam’ dalam Perjanjian Lama. Jabatan ‘diaken’ –jabatan ‘raja/ratu’– dibuka bagi semua jenis kelamin, jabatan ‘nabi’ juga dibuka bagi semua jenis kelamin, tapi jabatan ‘penatua/penilik jemaat’ dikhususkan bagi para pria.
Saudara perhatikan kemiripan Perjanjian Baru dengan Perjanjian Lama. Di satu sisi, wanita mengisi banyak peran, ada nabi dan ada ratu di Perjanjian Lama, ada diaken di Perjanjian Baru; di sisi lain ada juga peran yang dikhususkan bagi pria, yaitu imam di Perjanjian Lama, dan penilik jemaat atau penatua di Perjanjian Baru. Sekali lagi, ada equality. Gereja terbuka untuk menerima wanita dalam berbagai peran, tapi tetap ada diferensiasi. Equality dalam Alkitab, bukan berarti antara pria dan wanita jadi tidak ada perbedaan sama sekali. Ada peran yang diperuntukkan hanya bagi pria, yaitu para penatua; tapi secara umum hampir semua peran dalam gereja, termasuk peran manajeman, terbuka bagi wanita. Satu hal yang penting untuk kita sadari, bahwa dalam gereja gambarannya mungkin tidak se-tradisional yang Saudara pikir selama ini. Ada kemungkinan selama ini kita membaca Alkitab dengan asumsi-asumsi tertentu, yang membuat pembacaan kita jadi melenceng ke satu arah.
Selanjutnya, kita akan coba melihat teks-teks yang lain, mendalaminya dengan lebih teliti dan lebih detail. Kita akan melihat 1 Korintus 14:34 (yang mungkin Saudara anggap ayat ini tidak bilang bahwa wanita itu setara sebagaimana kita bicarakan tadi), dikatakan: “Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat.” Bagaimana kita membaca bagian ini?? Sekali lagi, jangan cepat-cepat tarik kesimpulan, Saudara perlu membacanya pelan-pelan, dan ingat ini adalah 1 Korintus pasal yang ke-14, dan yang tadi kita bicarakan adalah pasal 11. Tadi 1 Korintus 11 mengatakan ‘wanita yang berdoa dan bernubuat hendaklah pakai tudung kepala … dst.’; konteksnya yaitu wanita yang memimpin jemaat dalam berdoa dan bernubuat, berarti ada pendengarnya (bernubuat dalam Perjanjian Baru artinya berkhotbah). Dengan melihat bagian ini, berarti tidak mungkin semua wanita tidak diperbolehkan berbicara sama sekali, karena masih di surat yang sama Paulus mengatakan bahwa wanita boleh memimpin jemaat dalam berdoa dan bernubuat. Lalu kenapa di pasal 14 mereka harus diam? Di sini Saudara harusnya berpikir bahwa ini kayaknya ada konteksnya, ada limitasinya, ini bukan sesuatu yang universal karena Paulus jelas-jelas memberi intruksi soal drees code wanita yang berbicara di depan publik, di pasal 11. Dalam hal ini ada banyak tafsiran, tapi saya hanya akan memberikan satu saja.
Dalam 1 Korintus 14 tadi, larangan muncul di ayat 34; dan untuk mengerti konteksnya, kita perlu mundur beberapa ayat, melihat hal apa yang terjadi sebelumnya, yang mungkin akan menjelaskan kepada kita konteksnya. Di ayat 29 kita menemukan konteksnya, yaitu dalam pertemuan jemaat ada orang-orang yang bernubuat dan ada orang-orang yang menanggapinya. Menanggapi di sini dalam bahasa aslinya pakai istilah yang artinya menimbang dengan hati-hati yang dikatakan orang yang bernubuat tersebut, mengevaluasi, menilai, menilik, bahwa yang dikatakan orang tersebut benar atau tidak. Ini peran penjaga Gereja, peran seorang penilik jemaat –peran seorang penatua. Jadi, jika konteksnya adalah ayat 29, lalu muncul larangan di ayat 34 tadi, maka mungkin maksud Paulus bukan semua wanita harus berdiam diri dan tidak boleh bicara, tapi dalam konteks menanggapi-lah wanita harus berdiam diri, alasannya bukan karena wanita tidak sanggup, tapi karena ini peran yang memang dikhususkan untuk pria, peran seorang penatua. Kalau Saudara melihat seperti ini, jadi memang tidak kontradiktif antara pasal 11 dan pasal 14; dan ini karena Saudara melihat konteksnya. Itulah sebabnya kita perlu membaca Alkitab dengan dalam, jangan seperti membaca Pos Kota.
Sekarang kita beralih ke 1 Timotius 2:11-12, teks yang lebih sulit: “Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri”; dan kita membacanya mulai ayat 8 sampai 15. Ini mungkin bagian yang paling sulit, inilah bagian yang akan dikutip orang-orang waktu mereka mau menuduh Alkitab sebagai buku yang ketinggalan zaman, patriakhal, misogynistic, dsb. Di katakan di bagian ini wanita tidak boleh mengajar, tidak boleh punya otoritas di atas pria, harus diam. Ini sepertinya mengunci habis martabat wanita sebagai warga Gereja kelas dua. Mereka tidak boleh pakai baju-baju bagus (ayat 9), karena mereka keturunan Hawa, si trouble maker yang pertama itu (ayat 13), dan satu-satunya yang oke bagi mereka adalah punya anak (ayat 15)! Kacau. Saudara mungkin mengatakan, “Sepertinya itu memang cocok ya, Pak, dengan pandangan Alkitab secara keseluruhan; Adam tidak akan berdosa kalau bukan karena Hawa ‘kan Pak, maka Hawa dihukum suruh menderita waktu bersalin; jadi ujung-ujungnya ‘hai wanita! tahu ya, kodratmu, tinggal di rumah saja dan membesarkan anak!’” Gawat. Seperti itulah banyak orang dalam kebudayaan kita sekarang membaca bagian ini. Tapi pengharapannya adalah sebagaimana yang Saudara lihat dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, yaitu Alkitab tidak pernah sesederhana itu. Alkitab itu bahaya kalau Saudara membacanya sekilas asal lewat.
Coba kita membaca bagian ini dengan teliti, pelan-pelan, dan coba mengerti lebih detail. Dari tadi kita sudah mendapat indikasi bahwa kata-kata Paulus ini perlu dimengerti dalam konteks tertentu, jangan sembarangan ditarik jadi prinsip universal. Kitab Korintus ini adalah surat; dan yang namanya surat, tidak pernah universal. Surat ditulis kepada jemaat tertentu, dalam situasi/konteks tertentu, maka tidak bisa Saudara mengambil semua yang ada di dalam surat tersebut dan langsung aplikasikan ke jemaat hari ini. Seandainya surat adalah sesuatu yang universal, maka Saudara jangan kawin, karena Paulus pernah mengatakan dalam suratnya, ‘lebih baik tidak kawin’; Saudara harus mengumpulkan persembahan untuk orang miskin di Yerusalem, karena Paulus menyuruh demikian kepada jemaat Korintus; dan Saudara harus menyambut satu dengan yang lain dengan cium kudus, bukan namaste doang seperti kita lakukan. Saudara lihat, surat tidaklah universal; ada hal yang bisa kita tarik, tapi harus berhati-hati dan berbijaksana dalam mengambilnya. Lagipula, Paulus sendiri memberi ruang adanya diaken wanita, memberi ruang wanita untuk mengajar –mengajar pria– misalnya Febe dengan menjelaskan suratnya. Paulus juga pernah bersyukur atas kehadiran Priskila; Priskila beserta Akwila (suaminya) ini mengajar Apolos, yang adalah seorang pria. Dan juga, dalam kitab surat Timotius, Paulus mengatakan kepada Timotius untuk tidak lupa akan pengaruh besar dua wanita dalam hidup Timotius, Lois dan Eunike, ibu dan neneknya; lalu apakah ini berarti Lois dan Eunike mengajar Timotius dengan tanpa bicara, cuma diam saja? Tentu tidak; mengajar dalam iman berarti ada pengajaran yang dikatakan. Jadi, Saudara jangan melihat satu ayat doang, tapi harus melihat secara biblikal, secara keseluruhan.
Kalau kita membaca dengan kacamata patriarkhal dan misogynistic seperti tadi, itu bukan hanya tabrakan dengan surat Paulus saja tapi juga dengan seluruh Perjanjian Baru. Mungkin Saudara mengatakan, “Lho, Pak, bukankah Tuhan Yesus juga patriarkhal, Dia memanggil 12 murid yang semuanya laki-laki”. Memang benar Dia memanggil 12 murid yang semuanya laki-laki, memang itu untuk melambangkan 12 suku Israel yang tentu saja dilambangkan dengan ‘kepala keluarga’ yang adalah pria; tapi jangan lupa, ada satu momen dalam kehidupan Tuhan Yesus, di atas kayu salib, ketika semua murid-murid-Nya –12 pria itu–melarikan diri meninggalkan Dia. Itu yang pertama. Kedua, pada titik itu, jauh sebelum Petrus dan semua yang lain ditarik kembali, siapa yang pertama datang ke kubur Yesus? Para wanita. Siapa yang pertama kali melihat Tuhan Yesus bangkit? Para wanita. Dan, siapa yang pertama kali dipercayakan kabar kebangkitan Yesus? Para wanita. Saudara jangan lupa, Maria Magdalena dan wanita-wanita yang lain adalah rasul kepada para rasul. Ini ada di Alkitab. Itu sebabnya tidak usah heran di Roma 16:7 Paulus pernah memanggil seorang wanita bernama Yunia sebagai seorang rasul (dalam terjemahan LAI, nama Yunia menjadi Yunias). Jadi, ketika Saudara melihat dalam seluruh Perjanjian Baru dan juga dalam surat Timotius ada hal yang bertabrakan, maka sebagaimana dari tadi kita katakan, kita akan tahu bahwa kalimat yang bertabrakan itu ada konteksnya, dan mari kita coba pelajari dengan lebih detail.
Kembali ke 1 Timotius 2 tadi, pertama-tama kita perlu menyadari bahwa di bagian ini perintah Paulus sebenarnya adalah mengizinkan para wanita untuk belajar; 1 Timotius 2:11, “Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh.” Mereka itu berdiam diri dalam konteks menerima ajaran; dan tentu saja menerima ajaran harus dengan berdiam diri, tidak bisa ngomong terus. Dikatakan juga ‘menerima ajaran dengan patuh’, di sini tidak harus langsung diasumsikan ‘patuh kepada pria’; dalam konteks belajar, waktu dikatakan ‘patuh’ artinya patuh kepada sang pengajar, entah itu pria atau wanita. Dan, berdiam diri dan patuh ini –dengan kata lain ‘jangan nantangin’— juga berlaku pada para pria yang belajar. Lalu kenapa Paulus harus mengatakan hal ini secara spesifik kepada para wanita? Karena konteks pada zaman itu, wanita biasanya tidak diperbolehkan untuk belajar; dengan demikian mengizinkan wanita belajar justru adalah revolusi.
Di Lukas 10 tentang Marta dan Maria, biasanya kita membaca bahwa bagian ini menunjukkan Marta tipe aktif, sementara Maria tipe kontemplatif, lalu Yesus mengafirmasi pentingnya kontemplasi dsb. Tentu saja itu benar, tapi ada satu hal yang missing waktu kita membacanya, yang tidak akan lolos dari perhatian pembaca pertamanya, yaitu mengenai apa yang dilanggar Maria, yaitu bukan cuma soal Maria tidak mau bantu Marta, tapi bahwa dengan duduk di kaki Yesus berarti Maria sedang menempati tempat cowok –bukannya berada di area cewek– di rumah tersebut. Saya yakin, ini satu hal yang paling mengganggu Marta. Marta ini sepertinya orang kaya –karena dia pemilik rumah– dan biasanya orang seperti dia juga punya pembantu-pembantu; jadi di sini problemnya bukan cuma soal Marta yang kerja, tapi bahwa Maria telah menyeberang, menembus satu garis tidak terlihat, yang pada zaman itu sangat dijaga dalam masyarakat. Misalnya kalau hari ini Saudara menginap di rumah saya, saya tunjukkan kamar tamu untuk Saudara tidur, lalu malam-malam Saudara masuk ke kamar saya, ke master bedroom, dan tidur di situ, maka tentu saja saya akan merasa ‘apa-apan ini, kamu melanggar my space, melanggar daerah saya’. Tidak ada tulisan yang memberitahu hal itu karena memang ini tidak perlu dijelaskan, ini norma masyarakat, bahwa masing-masing orang punya ruangnya dalam sebuah rumah. Perlu Saudara ketahui, rumah di abad pertama merupakan daerah publik, lubang pintunya bolong, orang keluar masuk rumah begitu saja. Di dalam sebuah rumah, pembagian space-nya jelas; sama seperti di luar ada pembagian area pria dan wanita, demikian juga di dalam rumah. Dapur adalah daerah wanita, kalau pria masuk akan diusir; sedangkan ruang tengah adalah daerah pria, orang mengajar di situ. Dalam hal ini, yang Maria lakukan adalah menyeberang garis batas ini, dan Yesus menyatakan bahwa yang dia lakukan itu benar. Lagipula dikatakan bahwa Maria ‘duduk di kaki Yesus’; ini bukan berarti Maria duduk di kaki Yesus dan memandang Yesus dengan adoration, tapi ‘duduk di kaki seseorang’ ini adalah istilah yang menunjukkan orang tersebut ‘belajar’ –seperti juga Paulus dikatakan ‘duduk di kaki Gamaliel’ maksudnya belajar pada Gamaliel, menjadi muridnya Gamaliel. Dalam dunia hari itu, orang belajar untuk kemudian mengajar; kalau orang duduk di bawah kaki seorang rabi, dia belajar untuk jadi seorang rabi juga. Orang-orang yang hidup di abad pertama tidak mungkin kehilangan poin ini. Mungkin itulah sebabnya di dalam gereja kemudian hari, kita menemukan begitu banyak wanita menempati tempat pemimpin, tempat tanggung jawab, tempat para pengajar, karena sejak zaman Tuhan Yesus, Dia sudah mendobrak garis yang tidak terlihat itu, dengan wanita boleh belajar dan belajar menjadi pengajar.
Dalam Kisah Para Rasul, ada satu hal yang insightful, yang kita kelewatan; kita akan melihat hal ini menurut riset dari Ken Bailey, seorang penyelidik konteks sejarah Timur Tengah. Saudara perhatikan, semua murid Yesus yang pria melarikan diri pada waktu penyaliban Tuhan Yesus, karena memang ada bahaya/ancaman, sedangkan para wanita –yang juga adalah murid Tuhan Yesus– bisa tetap ada di kaki salib Tuhan Yesus. Mengapa bisa demikian? Karena para wanita zaman itu tidak dianggap ancaman, mereka tidak perlu takut, dan mereka juga tidak merasa dianggap sebagai ancaman. Ken Bailey mengatakan, sampai hari ini pun Timur Tengah sebenarnya masih seperti itu. Waktu perang antara Lebanon dengan Israel, para wanita dalam batas tertentu lebih bebas berkeliaran, mereka tidak dianggap sebagai musuh, mereka bisa berbelanja, bisa antar anak ke sekolah, dsb. –ada semacam ruang yang lain untuk mereka. Dengan demikian, waktu kita melihat Kisah Para Rasul ketika penganiayaan meledak setelah Stefanus dibunuh, kalimat di situ mengatakan bahwa pria dan wanita ditargetkan dalam penganiayaan ini, Saulus dari Tarsus pergi ke Damaskus untuk menangkap pria dan wanita. Ken Bailey mengatakan, kalau kita melihat dunia pada waktu itu, kalimat tersebut hanya masuk akal jika para wanita memang menempati tempat prominent dalam Gereja-mula-mula –kalau tidak, tidak ada gunanya mereka ditangkap. Berbekal semua yang kita bicarakan tadi, kita kembali membaca kalimat 1 Timotius 2:11, “Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh”, dan sekarang Saudara melihat ini dengan terang yang lain bukan? Ini bukan merendahkan wanita. Ini justru membuka ruang untuk wanita bisa ada kesetaraan, bahwa wanita di gereja boleh belajar, hanya saja mereka harus belajar dengan patuh, sama seperti pria-pria yang belajar juga.
Namun kemudian di ayat 12 ada konteks yang lain; dikatakan: “Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri”. Bagaimana bisa bertabrakan kayak begini? Sebenarnya ini terjemahan yang mungkin sudah dibaca lain; di sini Paulus setelah mengatakan wanita harus belajar, dia kemudian memberikan poin untuk mengimbangi, supaya bisa balance, semacam disclaimer, ‘silakan belajar, tidak masalah, tapi disclaimer ya, aku bukan menaruh wanita otoritasnya di atas pria, bukan demikian’. Kenapa Paulus perlu mengatakan demikian? Sekali lagi, karena konteksnya.
Ada indikasi surat Paulus kepada Timotius ini diberikan ketika Timotius berada di Efesus. Dan, satu konteks unik dari Efesus adalah keagamaan kota Efesus yang berpusat pada penyembahan di kuil Artemis, kuil Diana, sekte superbesar yang mendominasi Efesus. Sekte ini adalah sekte yang melakukan penyembahan kepada dewi wanita, imamnya juga seorang wanita, dan yang jadi bos juga para wanita, yang berotoritas di atas para pria. Saudara visa membayangkan di sini Paulus menulis surat kepada suatu jemaat yang baru mulai jadi orang Kristen, sebuah movement keagamaan yang baru di tengah-tengah kota Efesus. Di bagian lain Paulus mengatakan, di dalam Kristus tidak ada budak atau orang merdeka, tidak ada lagi orang Yunani atau Yahudi, tidak ada lagi pria atau wanita; maksudnya, mau mengatakan bahwa di dalam Yesus, urutan-urutan hierarkis seperti ini tidak bisa lagi jadi sesuatu hal penghalang di dalam Gereja. Saudara bayangkan, kalau gereja-gereja lain menerima kalimat ini, mereka mengerti bahwa ini maksudnya wanita boleh belajar seperti pria, wanita boleh memimpin seperti pria; namun dalam jemaat di Efesus, orang bisa membacanya lain, mereka bisa berpikir Paulus menyuruh wanita belajar, maksudnya nanti ujungnya bisa seperti sekte Artemis itu, wanita jadi bos dan pria-pria di bawah. Itulah mungkin konteks yang spesifik di Efesus, yang Paulus sedang berusaha untuk menekannya. Kata ‘mengajar’ yang Paulus pakai di ayat 12 dalam kalimatnya ‘aku tidak mengizinkan perempuan mengajar ‘, sebenarnya dalam bahasa aslinya berarti ‘mendikte’; penekanannya bukan mengajar dalam arti memberi teori-teori, melainkan bersikap bossy, mengambil kontrol, dsb. Inilah yang sedang dilawan oleh Paulus. Paulus di sini maksudnya mengatakan ‘silakan wanita belajar, tapi jangan sampai kebablasan kayak sekte Artemis’ –karena di kota Efesus memang ada konteks demikian.
Terakhir, kenapa Paulus menjelaskan semua itu dengan argumen mengenai Adam dan Hawa, bahwa Adam tidak tergoda tapi Hawa yang tergoda? Kenapa musti bicara seperti itu kalau Paulus di bagian ini sedang mau mengangkat wanita? Jawabannya sederhana: karena dalam kepercayaan orang Yahudi, memang Adam tidak tergoda, Hawa yang tergoda, sehingga berarti solusinya adalah Hawa perlu belajar dong. Adam tidak tergoda, dia sudah tahu apa yang benar –dan dia tetap saja ngawur– sedangkan Hawa tergoda, dalam arti tertipu; dalam bahasa Inggrisnya lebih jelas, ‘Adam was not deceived, but the woman was deceived’. Lalu kalau Saudara mau tidak tertipu, jadi harus ngapain? Tentu saja belajar. Itu sebabnya Paulus mengatakan supaya wanita belajar, karena bukan Adam yang tertipu, melainkan wanita yang tertipu.
Sekali lagi, kita tidak bisa membahas hal ini secara tuntas, tapi kita akan menyimpulkan apa yang sudah kita lihat. Kita menemukan bahwa pola Perjanjian Baru sama seperti pola dalam Perjanjian Lama, bahwa wanita bebas untuk menggunakan karunia yang Tuhan berikan dalam setiap peran, kecuali satu peran yang dikhususkan untuk para pria, yaitu: imam, di Perjanjian Lama; dan penatua, di Perjanjian Baru. Hal ini menjaga kita untuk tidak jatuh ke dalam dua ekstrim. Ekstrim yang pertama mengatakan, ‘pokoknya pria di atas, wanita di bawah’; Saudara tidak menemukan seperti itu di dalam Alkitab, Alkitab tidak pernah mengajarkan demikian. Ekstrim yang kedua mengatakan, ‘pokoknya semua yang pria bisa, wanita bisa, tidak ada perbedaan sama sekali’; ini juga bukan yang diajarkan Alkitab, Alkitab mengajarkan bahwa ada perbedaan peran. Perbedaan peran tidak harus berarti perbedaan martabat, karena martabat di dalam Gereja ditentukan dalam hal Saudara diciptakan dalam gambar dan rupa siapa, dan Saudara tahu pria dan wanita diciptakan dalam gambar dan rupa Allah. Martabat Saudara tidak berbeda di hadapan Tuhan. Lalu mungkin Saudara tanya, kalau begitu kenapa perannya berbeda, kenapa ada peran yang dikhususkan bagi para pria, kenapa wanita tidak boleh jadi penatua, itu berarti martabatnya turun di bawah pria? Saya balik tanya, apakah semua wanita jadi presiden? Tentu tidak. Lalu apakah wanita yang jadi presiden lebih tinggi martabatnya daripada wanita yang jadi PRT? Kalau Saudara melihat pekerjaan dan peran akan menentukan martabat seseorang, maka Saudara harus mengakui juga bahwa wanita yang jadi presiden martabatnya lebih tinggi daripada wanita yang jadi PRT. Tapi jelas kita tidak percaya yang seperti itu. Dan, sama halnya dengan itu, tidak semua perbedaan harus dimengerti sebagai perbedaan martabat. Ini hanyalah satu cara diferensiasi, sesuai dengan karunia dan apa yang Tuhan ciptakan sebagai perbedaan antara pria dan wanita di hadapan Tuhan. Waktu kita menghargai perbedaan ini, berarti kita menghargai Allah yang menciptakan kita dengan segala keunikannya, segala keterbatasannya, dan semuanya itu.
Saya harap hari ini kita sedikit lebih terang dalam hal peran wanita di Gereja. Tapi, tidak berhenti di sini, saya harap lewat semua ini Saudara tidak berhenti dengan konklusi ini atau itu, yang lebih penting adalah Saudara mengenali bahwa Saudara-saudara, pria maupun wanita, Gereja, butuh belajar mendalami Alkitab. Saudara mengatakan ‘ah, saya orang sederhana, saya tidak bisa yang dalam-dalam’, tapi ternyata selama ini Saudara memegang pandangan tertentu mengenai peran wanita di gereja, yang setelah kita selidiki secara mendalam mungkin tidak sesuai dengan Alkitab; jadi bagaimana bisa Saudara mengatakan mempelajari Alkitab dengan mendalam bukan bagian Saudara?? Inilah yang saya mau katakan. Saudara mengatakan ‘tapi saya tidak sanggup berpikir mendalam’; namun justru kalimat itulah yang menyebabkan Gereja hari ini terpecah-pecah dalam urusan mengenai peran wanita, karena semua orang mau pegang posisi tapi jarang yang mau mendalami dengan baik. Pertanyaannya, Saudara mau jadi part of the problem, atau part of the solutions? Saudara tidak bisa menghindari pegang posisi dalam hal seperti ini; yang Saudara bisa lakukan adalah bertanggung jawab atas posisi tersebut, sebisa mungkin, sedalam mungkin, sejauh mungkin, sesuai dengan Alkitab. Karena itu, datanglah PA; Saudara perlu itu.
Inilah konklusi yang saya ingin kita sadari, bahwa kita semua perlu mempelajari Alkitab dengan dalam; dan itu sebabnya kita bikin kelas PA, untuk mendalami Alkitab. Saudara diajak untuk melihat seperti apa penggalian Alkitab yang bertanggung jawab. Lewat interaksi dengan pembicara, Saudara bisa melihat bagaimana dia menarik prinsip; itu tidak pernah instan, tidak pernah sekilas, selalu ada studi konteks, selalu bicara detail, selalu memperlihatkan kompleksitas Alkitab. Lalu waktu Saudara dan orang-orang lain bertanya/berinteraksi, di situ Saudara mendapatkan batasan-batasan, suatu kisah bisa ditarik sampai mana. Panggilan Saudara adalah untuk mempelajari Alkitab dengan dalam. Kita tidak menuntut semua orang jadi S3, tapi kita tuntut setiap orang naik tangga selangkah demi selangkah, jangan tinggal tetap dan puas pada tempatmu pada hari ini. Itu panggilan kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading