Saya tidak berencana harus menyelesaikan eksposisi Kitab Kidung Agung, jadi anggaplah ini seperti “coda” kalau dalam musik. Harap Saudara tidak mengerti Kidung Agung hanya sebagai kitab urusan pernikahan saja; itu terlalu sempit. Betul bahwa ini kitab puisi tentang cinta, dan terutama mengenai hubungan laki-laki dan perempuan, tapi cinta bukan cuma urusan pernikahan. Kalau cinta cuma dimengerti dalam urusan pernikahan, itu reduktif sekali; bahkan bisa menjadi berhala. Kidung Agung sudah pasti bukan mengajarkan itu. Jadi kita akan mempelajari keindahan dari puisi ini –meski saya pribadi agak jarang merenungkan bagian-bagian seperti ini– dan mungkin kita tidak bisa mendekatinya dengan cara eksegese seperti biasa, sebaliknya menggunakan banyak imajinasi, afeksi, estetika, dsb.
Di bagian ini, ayat 8 adalah perkataan mempelai perempuan, “Dengarlah! Kekasihku! Lihatlah, ia datang, melompat-lompat di atas gunung-gunung, meloncat-loncat di atas bukit-bukit.” Apa yang bisa kita pelajari dari bagian ini?
Kita melihat ada semacam bingkai (frame) di sini, bagian awal (ayat 8) dengan bagian akhir (ayat 17) ada semacam keterkaitan yang membingkai keseluruh bagian ini; di ayat 8 dikatakan tentang ‘gunung-gunung’, ‘kijang’; lalu di ayat 17 juga ada ‘gunung-gunung’ dan ‘kijang’. Saya tidak mau mengatakan strukturnya kiastik dalam pengertian yang ketat, tapi ada pembingkaian antara yang pertama dengan yang terakhir, sehingga kita bisa melihat perikop ini sebagai satu kesatuan; ada bingkai ayat 8 dan 17, dan ada keindahan di bagian tengahnya.
Perhatikan waktu mempelai perempuan mengatakan “Lihatlah ia datang … Kekasihku serupa kijang … Lihatlah, ia berdiri di balik dinding kita, sambil menengok-nengok melalui tingkap-tingkap dan melihat dari kisi-kisi”, dst., di sini ada ekspresi antisipasi. Waktu membaca puisi seperti ini, kita tidak harus membacanya dalam pengertian literal, bahwa sang kekasih betul-betul ada di sana. Demikian juga waktu ayat 10 dikatakan “Kekasihku mulai berbicara kepadaku: “Bangunlah manisku, …”. Kalau kita membacanya dalam pembacaan yang literal, kita jadi bingung, apakah ini maksudnya betul-betul terjadi di masa yang sudah lewat, lalu si mempelai perempuan menceritakan tentang yang sudah lewat ini?? Dan kalau begitu, itu jadinya nostalgia, jadinya tidak menarik dong, jangan-jangan hubungannya sudah bubar juga?? Atau misalnya kita kesulitan dengan tafsiran bahwa ini tentang yang sudah lewat, kita menganggap peristiwanya terjadi pada saat itu, si mempelai perempuan betul-betul bicara dengan kekasihnya; tapi kalau begitu, pertanyaannya: kenapa di ayat 10 dikatakan ‘kekasihku mulai berbicara’; jadi maksudnya yang berbicara tadi siapa, mempelai perempuan atau mempelai laki-laki??
Saudara, mungkin yang lebih menarik adalah mengertinya sebagai imajinasi; dan imajinasi di dalam puisi cinta jangan ditangkap sebagai orang sakit jiwa. Tidak cocok kalau menyuruh orang ke psikiater karena dia berimajinasi tentang cintanya, jangan-jangan yang mengusulkan itu sendiri yang tidak pernah pacaran. Waktu membaca puisi cinta, kita bisa membayangkan bahwa bisa saja yang dikatakan ini tidak betul-betul terjadi –atau bisa juga terjadi– tapi poinnya adalah di sini ada ekspresi antisipasi/menantikan; dan ini penting dalam kaitan dengan ketidakhadiran (absence).
Sekali lagi, ‘antisipasi’ atau ‘menantikan’ ini menjadi satu tes, apakah kita masih ada relasi dengan orang yang tidak ada/tidak hadir itu. Kalau ada antisipasi, maka meskipun orang itu masih tidak hadir, dia tetap bisa hadir di dalam imajinasi saya. Sebaliknya, kalau kita melupakan dia begitu saja, maka sepertinya memang tidak ada relasi dan tidak usah bicara tentang relasi cinta. Jadi, baik kita tafsir mempelai laki-lakinya betul-betul berkata-kata, ataupun hanya dalam imajinasi si mempelai perempuan –tentu saja jangan ditafsir ini perempuan yang ge-er banget; dan juga tidak ada kalimat redakktorial yang mengoreksi seperti itu– bagian ini tetap menjadi suatu imajinasi yang dibenarkan. Dan, justru yang menarik kalau kita membacanya sebagai tanda kasih yang sejati, yang bukan tanpa self esteem yang sehat seperti ini, yang tidak perlu dibaca sebagai ge-er, atau sakit jiwa, atau orang yang menolak realitas lalu cuma mimpi-mimpi sendiri, melainkan dimengerti secara positif, bahwa ini adalah antisipasi.
Mempelai perempuan ini mengantisipasi kedatangan mempelai laki-laki, dan mungkin termasuk juga dengan bermimpi, dsb. Itu tidak apa-apa, itu semua sehat, bahkan sangat baik sebetulnya. Dan, pembacaan selanjutnya tentang mempelai laki-laki in the eye of the beholder, yaitu mempelai laki-laki di mata mempelai perempuan, itu pun tidak apa-apa. Di sini Saudara jangan serang dengan kalimat-kalimat seperti “ini ‘gak objektif, sangat subjektif, ini ‘kan menurut mempelai perempuan, tapi kenyataannya apa betul mempelai laki-laki sungguh-sungguh seperti itu, ini ‘kan menurut dia”, dsb.; pembacaan seperti ini tidak menarik sama sekali. Kalau Saudara masuk dengan pembacaan ‘sebetulnya yang betul-betul objektif jadinya apa, yang sungguh-sungguh terjadi yang mana’ dst., Saudara tampaknya salah baca genre. Bagian ini bukan termasuk dalam genre tersebut, ini adalah genre yang mengizinkan di dalamnya ada permainan imajinasi, termasuk juga “beauty in the eye of the beholder”.
Ayat 10, “Kekasihku mulai berbicara kepadaku:…“. Mempelai wanita ini membayang-kan kekasihnya datang, melompat-lompat dan meloncat-loncat di atas bukit, lalu berdiri di balik dinding sambil menengok-nengok melalui tingkap-tingkap –maksudnya mengintip lewat jendela. Ini bukan maling, tapi mempelai laki-laki. Mungkin dalam imajinasinya mempelai perem-puan, saking rindunya, dia sampai membayang-kan kekasihnya datang, mengintipnya, dan dia senang, dia menikmati intipan itu (di sini jangan kita terlalu kreatif membacanya, ini bukan mengintip orang yang sedang mandi, dan memang tidak dibilang bahwa si mempelai perempuan sedang mandi). Di dalam perspektif mempelai perempuan, kedatangan mempelai laki-laki tersebut sangat dinantinya dengan antusias. Ini self esteem yang beres. Sekali lagi, jangan dikomentari secara sinis menganggap mempelai perempuan ini saja yang ge-er, “kayaknya ‘gak begitu, pacarmu dingin-dingin saja koq, lu aja yang ngarep, padahal dia ‘gak begitu sama sekali”. Orang yang komentar nyinyir seperti ini mungkin justru yang “sakit”, bukan si mempelai perempuan. Kita tidak mengerti cinta, kalau setiap kali ada pembicaraan cinta langsung kita siram air dingin, jangan-jangan kita sendiri yang iri pada orang yang bisa mencintai, lalu kita tidak bisa menerima itu sebagai realitas.
Omong-omong, ada sedikit foot note di dalam pembicaran kita, yaitu mengenai bagaimana kita meresepsinya Kidung Agung ini. Kita sebetulnya bisa belajar dari Kidung Agung ini. Kalau kita merasa ‘pernikahan saya kayaknya ‘gak seromatis itu, saya susah memahaminya’, maka belajarlah saja dari keindahan Kidung Agung ini, dan berharap kita bisa bertumbuh. Kalau Saudara merasa, ‘koq, pernikahan saya sepertinya jauh dari ini’, maka bukankah Firman Tuhan memang boleh mengoreksi kita; justru kalau kita bisa menyadari bahwa kita masih jauh dari yang dikatakan di dalamnya ini, maka ada pengharapan. Tapi ada juga resepsi yang kedua, yang mungkin bisa agak bahaya, yaitu ketika kita merasa, ‘inilah saya, inilah pernikahan saya; saya dari dulu memang kayak begini orangnya, saya dengan istri saya hubungannya memang begini’ –mengingatkan kita pada perkataan “hal ini sudah kuturuti sejak masa mudaku”. Terdengar familier kalimat itu? Kita ingat, di situ Yesus kemudian bilang, “Juallah segala milikmu, bagikan kepada orang miskin, dan ikutlah Aku”, lalu serta-merta orang itu pergi. Apa yang terjadi di sini? Ini berarti waktu kita membaca Firman Tuhan, kita bukan membiarkan diri dikoreksi, melainkan menempatkan diri sebagai orang yang dibicarakan di dalam Kidung Agung itu. Membaca, “kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu”, langsung bilang, “O, itulah saya, sejak masa mudaku sudah aku lakukan; itulah saya”.
Di dalam pemberitaan Firman Tuhan, Martin Luther bersikeras mengkhotbahkan Firman Tuhan yang diresepsi sebagai preaching of the law, sebelum kita mengerti keindahan janji Injil. Apa artinya? Waktu Saudara membaca Firman Tuhan, Saudara bukan berkata “inilah saya, semua ini sudah kulakukan sejak masa mudaku, pernikahan saya, ya, persis seperti ini”. Kalau seperti itu, tutup saja Kidung Agung, mungkin semua Firman Tuhan juga engkau sudah kelar belajarnya. Tapi itu kesombongan rohani. Jangan-jangan kita ini narsis waktu membaca Firman Tuhan, dan kita salah membaca, kita pikir tidak ada lagi yang bisa saya pelajari dari Kidung Agung karena kehidupan saya ‘gak kalah romantis dari penulis Kidung Agung.
Jadi, yang mana yang lebih baik, apakah pembacaan seperti yang pertama tadi, yang merasa ‘koq, saya jauh ya, dari Kidung Agung, saya ‘gak ada pegang-pegangan kayak begini, ‘gak ada rindu-rindu kayak begini’; atau pembacaan yang ‘ya, inilah saya yang digambarkan di sini’. Saya berpendapat, resepsi yang kedua jauh lebih berbahaya, karena dengan begitu Firman Tuhan sudah tidak berbicara lagi. Kita jadi cuma membacanya untuk menikmati diri kita sendiri, untuk meng-afirmasi bahwa diri kita memang sudah seperti itu. Saudara, kita tidak percaya pemberitaan Firman Tuhan yang diresepsi seperti itu, karena tidak ada lagi theology of the law yang membawa kita untuk melihat dosa kita, lalu kita membacanya dengan “sukacita”, ini persis dengan kehidupan saya, saya juga seperti ini, sejak masa muda saya seperti ini. Hati-hati. Kita tidak sebersih itu, tidak sesempurna itu, mungkin kita overestimate kelebihan kita.
Kembali ke bagian ini, bagaimana cara kita berurusan dengan ketidakhadiran (absence) ini? Membahas ini bisa panjang sekali. Ada orang yang jadi ngamuk-ngamuk, pahit, marah-marah, banting-banting barang, meneror, telpon, dsb.; dan ada orang yang antisipasi/menantikan. Melupakan atau suppressing dan tidak membicarakan sama sekali, itu memang tidak sakit, tapi sebetulnya menekan cinta. Namun di bagian yang kita baca ini tidak demikian; mempelai perempuan ini menggunakan kekuatan imajinasi (power of imagination), “Lihatlah ia datang melompat-lompat di atas gunung-gunung, meloncat-loncat di atas bukit-bukit. Kekasihku serupa kijang, atau anak rusa. Lihatlah, ia berdiri di balik dinding kita, sambil menengok-nengok melalui tingkap-tingkap dan melihat dari kisi-kisi”. Sekali lagi, semua ini mungkin cuma dalam imajinasinya mempelai perempuan itu, tapi inilah yang namanya cinta. Tidak objektif? Tidak sungguh-sungguh? Tidak harfiah? Mitos? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak relevan; bukan begitu cara baca puisi cinta.
Di dalam pembacaan yang sedikit lebih dalam lagi, penggambaran tentang kijang/rusa, di dalam bahasa Alkitab maupun dalam bahasa pada saat itu, seringkali menggambarkan grace, beauty of form, dan terutama juga freedom of spirit (ini mengambil dari tafsiran). Wanita ini membayangkan kekasihnya itu bebas seperti kijang; dan kijang tentunya tidak diam, tapi lompat-lompat dsb. Namun sepertinya tidak semua perempuan menyukai gambaran ini. Ada perempuan yang lebih suka gambarannya bukan kijang yang lompat-lompat, tapi lebih ke kijang yang sakit, yang diam, yang bisa dia kuasai, yang takut kepada istrinya. Bukan demikian yang digambarkan dalam Kidung Agung. Mempelai perempuan ini membayangkan dengan bahagia, kekasih laki-lakinya itu melompat-lompat. Ini berarti dia bisa bersukacita karena, dan di dalam, kebebasan suaminya. Tidak ada cemburu yang salah (envy), tidak ada rasa tidak aman (unsecure), tidak ada rasa ingin mengontrol; sebaliknya dia menggambarkan mempelai laki-laki ini melompat-lompat seperti kijang di atas bukit-bukit. Ini berarti dia memberikan ruang kepada suami atau kekasihnya itu untuk menikmati kebebasan; dan itu adalah sukacitanya. Bagaimana dengan kehidupan Saudari? Apakah keberatan dengan hal ini, ‘laki-laki ‘gak bisa diperlakukan seperti itu!’? Ataukah kita bisa mengikuti keindahan puisi cinta Kidung Agung ini?
Mengapa mempelai perempuan ini tidak kuatir, tidak unsecure, tidak paranoid? Karena dia percaya; dan percaya membawa kepada imajinasi yang kudus ini –jangan lupa, Kidung Agung ini adalah Firman Tuhan. Di sini dia memakai satu istilah yang agak jarang, yaitu di ayat 9, “sambil menengok-nengok melalui tingkap-tingkap”. Di dalam bahasa Indonesia “menengok-nengok”, tapi bahasa Inggrisnya lebih mudah dimengerti, yaitu ‘staring’. Apa artinya? Secara kritik motif, kata yang sama yang agak jarang dipakai ini bisa Saudara temukan di dalam Mazmur 33:14, “dari tempat kediaman-Nya Ia menilik semua penduduk bumi” –di sini terjemahan bahasa Indonesianya lebih jelas, yaitu ‘menilik’, bahasa Ibraninya adalah ŝgh. Kalau kita membaca Kidung Agung ini dari terang Mazmur 33, yang dimaksud di sini adalah suatu penglihatan yang sifatnya menjaga (taking care), mengawasi (watching over). Ini bukan mengintip dalam arti kuriositas/keingintahuan, atau dibaca seperti mengintip orang mandi, dsb. –bukan itu maksudnya. Tuhan tidak melakuan itu terhadap dunia yang diciptakan-Nya, tapi menilik, dalam pengertian watching over. Jadi di dalam trust mempelai perempuan kepada kekasihnya ini, sang mempelai laki-laki menjaga dia seperti Allah menjaga Israel. Itu sebabnya Kidung Agung ini tidak pernah jadi sekuler.
Kita gampang sekali jadi sekuler dan narsis waktu menghayati kehidupan cinta-mencintai, kita jadi lupa ibadah, kita jadi bentur dengan mengasihi Tuhan, kita menikmati kehidupan pernikahan sendiri dan bahagia sendiri tapi tidak bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain, jadi sangat eksklusif, dsb. Yang seperti itu, bukan Kidung Agung. Kidung Agung memakai istilah yang sebetulnya tidak bisa dipisahkan dari doktrin Allah –karena puisi juga bukan anti doktrin. Allah-lah yang menjaga Israel, demikian juga kekasihku itu, menjaga aku, dia menengok-nengok melalui tingkap-tingkap dan melihat dari kisi-kisi; dan perempuan ini menikmati pandangan itu, menikmati tilikan dan tengokan itu.
Di dalam tafsiran dari Richard Hess, dikatakan bahwa ini sebetulnya resiprokal, saling melihat: “There the male gazes toward her, but she sees him, and he is aware of her view”. Mempelai laki-laki ini menengok/menilik/mengintip melalui jendela/kisi-kisi, lalu mempelai perempuan juga melihat dia, dia sendiri tahu kalau sedang diintip; dan mempelai laki-laki itu juga tahu bahwa mempelai wanitanya tahu sedang diintip –jadi ini resiprokal. Ini bukan pandangan satu arah, bukan pandangan diam-diam yang tidak disadari oleh orang yang dilihat, sebaliknya di sini sama-sama tahu, sama-sama melihat, dan sama-sama menikmati pandangan resiprokal ini.
Di ayat 10, mempelai perempuan ini mengatakan, “Kekasihku mulai berbicara kepadaku: “Bangunlah manisku, jelitaku, marilah!” –sekali lagi, seperti sudah kita katakan tadi, mungkin ini dalam imajinasinya. Dalam cetakan terjemahan bahasa Indonesia kurang terlihat kiasmus-nya, karena susunannya “Bangunlah manisku” di baris pertama, “jelitaku, marilah”di baris kedua.Tapi dalam terjemahan lain kiasmus-nya bisa terlihat karena kata ‘bangunlah’ dan ‘marilah’ ini mengapit kata-kata yang di tengah ‘jelitaku, manisku’, sehingga susunannya jadi: “Bangunlah” di baris pertama, “manisku, jelitaku” di baris kedua, “marilah” di baris ketiga. Jadi di sini secara gramatika, ada susunan kiasmus, dan yang di tengahnya adalah ‘jelitaku, kekasihku’.
Ini diulang lagi di ayat 13, “Bangunlah manisku, jelitaku, marilah!”, semacam refrein. Waktu kita menyanyikan lagu yang ada refreinnyan–bait pertama-refrein, bait kedua-refrein, bait ketiga-refrein– apakah kita bilang, ‘koq ini lagi, sih; bukannya tadi sudah? kenapa ‘gak sekalian nyanyi bait 1, 2, 3, baru refrein satu kali langsung selesai, ngapain ulang-ulang 3 kali’. Yang seperti ini sangat tidak menarik, bukan lagunya yang sakit, tapi kayaknya dia sendiri yang sakit. Kita tidak mendekati ‘refrein’ dengan cara seperti itu; kita dengan senang hati, dengan rela, menikmati mengulang-ulang refrein, karena ada perspektif baru di sini. Setelah nyanyi bait 1, lalu refrein, kemudian waktu nyanyi bait 2, dan refrein lagi, memang refrein-nya sama, tapi ada perspektif baru dari bait 2 yang tadinya tidak ada di bait 1. Jadi waktu kita membaca adanya pengulangan di ayat 13, ini seperti refrein, yang diulang tapi pastinya dengan pemahaman yang baru, kesegaran yang baru, karena sudah melewati ayat 11, 12, dan 13a. Jadi waktu masuk lagi ke refrein, ini memang ulang-ulang, tapi sebetulnya ini adalah suatu perkembangan, bukan repetisi murahan.
Watson mengomentari bagian ini, dalam hal ini bicara tentang strukturnya; dan memang boleh juga dianalisa seperti ini. Di bagian ini, susunan dalam terjemahan bahasa Indonesia mungkin kurang terlihat kuat, tapi kalau Saudara perhatikan, mulai dari ayat 10 ini strukturnya tricolon, couplet, tricolon, couplet.
Tricolon yang pertama yaitu “bangunlah” (1), “manisku, jelitaku” (2), “marilah” (3). Selanjutnya couplet-nya, yaitu di ayat 11, “Karena lihatlah, musim dingin telah lewat (1), hujan telah berhenti dan sudah lalu (2)”. Ayat 12 tricolon lagi: “Di ladang telah nampak bunga-bunga (1), tibalah musim memangkas (2); bunyi tekukur terdengar di tanah kita (3)”. Lalu ayat 13 couplet lagi: “Pohon ara mulai berbuah (1), dan bunga pohon anggur semerbak baunya (2).”Jadi di sini ada tricolon, couplet, tricolon, couplet; dan kemudian refrein-nya: “Bangunlah, manisku, jelitaku, marilah!”
Kometator tadi menulis bahwa ayat 10-13 ini “the most beautiful song to nature in the Old Testament” –nyanyian tentang alam, yang paling indah di dalam sepanjang Perjanjian Lama. Saudara boleh saja tidak setuju, tapi kalau pun bukan yang terindah, bagian ini memang betul-betul indah susunannya. Jadi setelah bicara “Bangunlah, manisku, jelitaku, marilah!”, lalu ada bagian yang di tengah, dan ditutup lagi dengan tricolon yang sama, “Bangunlah, manisku, jelitaku, marilah!” Yang mau kita katakan adalah: Kidung Agung tidak pernah jatuh ke cinta kasih yang sempit sampai tidak melihat kekayaan anugerah Tuhan di dalam ciptaan.
Kita tidak bicara romantisme alkitabiah (biblical romanticism) –kalau boleh pakai istilah ini– jika Saudara tidak terbuka untuk keindahan alam. Orang yang cuma senang-senang sendiri dengan suaminya, istrinya, anaknya –putar-putar di sini terus– dan tidak terbuka untuk keindahan alam, itu bukan Kidung Agung. Cinta kasih dalam Kidung Agung ini beres karena dia tidak pernah mengecualikan cinta kasih kepada Tuhan; beberapa kata di dalamnya sangat ada kaitan dengan ibadah kepada Tuhan, tanpa muncul kata “Tuhan” atau “Allah”, dan Tuhan hanya di-assumed begitu saja. Juga perhatikan di sini, betapa ada ketertarikannya kepada alam. Ini bukan dua sejoli yang menikmati cinta seakan-akan dunia cuma selebar daun kelor. Kadang-kadang, hubungan romantis bisa begitu narsis sampai tidak perluasan seperti itu. Kalau Saudara masuk dalam hbungan cinta dengan suamimu atau istrimu, tapi kemudian tidak terbuka untuk yang lain, tidak bisa mencintai sesama, itu pasti bukan pernikahan yang alkitabiah. Dalam hal ini, mungkin kita kecewa, kita kira sudah cukup romantis seperti Kidung Agung. Jadi, silakan menguji, apakah kita punya keluasan hati seperti Kidung Agung atau tidak, keluasan hati yang cinta kepada Tuhan, cinta kepada sesama, dan juga alam –sebagaimana sedang dibicarakan di sini.
Ini puisi yang sangat indah, dan sebetulnya di sini lebih berkaitan dengan alam. Memang ini di dalam konteks tidak terpisah dari hubungan cinta, tapi kita juga bisa melihat sebaliknya, bahwa hubungan cinta tidak terpisah dari kekaguman terhadap alam.
“Lihatlah, musim dingin telah lewat, hujan telah berhenti dan sudah lalu”; maksudnya apa? Periode untuk tinggal di rumah, sudah lewat. Ini jadi mirip covid bagi kita sekarang, yang mungkin kalimatnya bisa diganti: “Lihatlah, covid telah lewat, pandemi sudah lalu”; maksudnya, periode yang lock-down di dalam rumah sudah lewat, mari keluar, ‘sekarang waktunya kita keluar, bukan waktunya ada di dalam rumah; kamu di dalam rumah terus, sampai saya cuma bisa ngintip doang dari luar’. Yang menarik, ini semua di dalam imajinasinya mempelai perempuan; mulai dari menengok, mengintip, sampai ingin mengajak keluar karena musim dingin telah lewat. Ini menyatakan kerinduan mempelai perempuan itu sendiri. Ibaratnya sudah bosan di rumah terus, tidak keluar-keluar, ‘kapan saya boleh keluar??’, dan kemudian dia berimajinasi mempelai laki-laki mengajak dirinya bangun dan keluar, “Bangunlah manisku, jelitaku, marilah! Lihatlah, musim dingin telah lewat, hujan telah berhenti dan sudah lalu”. Dan perhatikan, yang dirayakan di sini justru adalah keindahan ciptaan.
Sekali lagi, kalau cintanya betul, itu tidak membuat kita buta terhadap kekayaan anugerah Tuhan di dalam dunia ciptaan; cinta yang betul, itu tidak membuat Saudara buta terhadap sesama. Kalau Saudara menikmati cinta, tapi buta terhadap sesama, entah itu jenis cinta apa tapi yang pasti bukan cinta di dalam Kidung Agung. Cinta yang di dalam Kidung Agung ini beres. Orang yang mencintai istrinya, dia mencintainya dengan paling maksimal ketika dia mencintai Allah sungguh-sungguh dengan segenap hatinya. Siapa yang bisa paling mencintai pasangannya? Yaitu dia yang mencintai Allah dengan segenap hatinya. Yang gagal mencintai pasangannya, entah gagal dalam arti dingin ataupun romantisme yang narsis, adalah orang yang kurang mencintai Allah.
Kita tidak memercayai gambaran cinta laki-laki dengan perempuan yang sampai bisa menggeser cinta kasihnya Tuhan; sama sekali tidak ada konsep seperti itu di dalam Kidung Agung. Tarik-tarikan antara cinta suami-istri dan cinta Tuhan kepada manusia, itu tidak ada, itu bukan yang diajarkan dalam kitab Kidung Agung. Tarik-tarikan antara kebahagiaan suami-istri dengan kekaguman terhadap alam, juga tidak ada di dalam Kidung Agung. Tetapi, yang seringkali terjadi dalam kehidupan manusia berdosa seperti Saudara dan saya adalah: model yang kelewat dingin, atau model yang romantis tapi reduktif, yang tidak bisa mengagumi keluasan anugerah Tuhan di dalam dunia ciptaan.
Dikatakan dalam tafsiran: “It also directs her attention to look, in this case neither at the male nor at their love, buat at the beauty that the outdoors provided”. Tadi kita mengatakan perempuan ini bukan perempuan yang merasa insecure, dia bisa menggambarkan laki-lakinya seperti kijang yang melompat-lompat tanpa dia merasa paranoid, jealous, envy, dsb.; tapi sebaliknya juga demikian, bahwa yang laki-laki ini bukan mengarahkan pandangan si perempuan kepada dirinya sendiri untuk dinikmati, dan bahkan juga bukan kepada cinta mereka, tapi kepada keindahan alam, kepada luasnya ciptaan Tuhan. Hidup ini bukan cuma tentang saya dan suami saya, atau saya dan istri saya –itu bukan Kidung Agung. Hidup ini tentang merayakan ciptaan Tuhan; dan ciptaan Tuhan luas sekali. Kalau kita tidak mengerti ini, kita tidak mengerti cinta antara suami dan istri. Di dalam Kidung Agung, pasangan ini bersukacita di dalam ciptaan Allah yang limpah itu.
Ayat 13, “Pohon ara mulai berbuah, dan bunga pohon anggur semerbak baunya”, di sini ada motif flourishing. Dimulai dari ayat 12: “Di ladang telah nampak bunga-bunga, tibalah musim memangkas”, berarti sudah matang, sudah waktunya dipanen, motif fruitfulness. Tema fruitfulness, dan juga spreading tree, bahwa cinta bukanlah statis tapi berkembang dan ada buah yang dihasilkan, dst., sudah kita bahas. Mungkin bukan kebetulan di sini pakai pohon ara, karena pohon ara terkenal dengan kandungan gulanya yang tinggi, buahnya manis sekali, sangat cocok dipakai menggambarkan tentang cinta.
Perhatikan ayat 12, dikatakan “di ladang telah nampak bunga-bunga” –berarti dilihat oleh mata; selanjutnya, “bunyi tekukur terdengar di tanah kita” –didengar oleh telinga. Lalu ayat 13: “pohon ara mulai berbuah” –buah untuk dimakan, dicicipi; kemudian: “bunga pohon anggur semerbak baunya” –bau yang dicium oleh hidung. Jadi kembali melibatkan semua panca indra. Saya pikir, ini bagian yang penting. Kalau kita belajar dari Kidung Agung mengenai kehidupan Kristen, mengenai spiritualitas, dan kita tidak membuat dikotomi, maka merayakan keindahan ciptaan ini harusnya tidak cuma terjadi waktu pacaran doang; waktu pacaran rasanya sesuatu itu baunya wangi sekali, lalu mendadak setelah tidak pacaran jadi mirip orang yang kena Covid, ‘koq, saya ‘gak merasakan apa-apa, ‘koq, saya ‘gak bau apa-apa’, dsb. –maksudnya depresi. Akses persepsi panca indra ini jangan dimengerti cuma terjadi waktu pacaran doang, lalu kalau tidak pacaran mendadak kuping kayaknya kurang tajam, mata seperti buta, hidung tidak bisa mencium bau, dsb. Kidung Agung mau mengajar kita, bahwa hal ini bukan secara reduktif hanya ada dalam konteks pernikahan atau pacaran, tapi merayakan kebaikan Tuhan dalam kelimpahan alam ciptaan-Nya –yang memang dilatih melalui kehidupan mencintai.
Kita biasanya tidak sadar kalau ada bunyi tekukur, kita tidak peduli, tapi waktu pacaran, mendadak kita jadi “bisa mendengar”. Saudara perhatikan lagu-lagu cinta, banyak merayakan tentang alam juga; dan ini normal. Kita bisa melihat ini dalam 2 macam perspektif; pertama, cinta memungkinkan kita terbuka –ini bagian positifnya. Tapi ada juga bagian negatifnya, yaitu kalau kita cuma bisa terbuka melihat keindahan alam hanya waktu pacaran; kalau seperti itu, kelihatannya hidup ini kurang bahagia. Kalau Saudara cuma waktu pacaran doang bisa mencium baunya pohon anggur, lalu kalau tidak pacaran, pohon anggur jadi tidak ada baunya, maka berarti ada yang salah dengan spiritualitas kita. Barangkali kita perlu pacaran/menikah, supaya bisa membuka telinga, mata, hidung, lidah/mulut, dan semuanya, karena kita bisa menghargai kelimpahan anugerah Tuhan juga melalui indra, bukan cuma melalui kontemplasi akal saja, bukan cuma melalui akses intelektualitas saja.
Panca indra (senses) bukanlah lower faculties. Yang mengajarkan senses adalah lower faculties, itu bukan Alkitab, tapi mungkin Plato, New Platonis. Filosofi Yunani mengajarkan, orang yang lebih tinggi (higher person) adalah orang yang berpikir, berkontemplasi, berfilosofi; sedangkan yang cuma pakai panca indra, itu orang yang lebih rendah kelasnya (lower class). Pikiran seperti ini asing sekali. Kalau kita menerima pandangan seperti itu, kita akan mengatakan ‘berarti Kidung Agung ini lower class dong; sudah bagus-bagus saya sampai di wilayah atas, koq, jadi turun lagi, jadi mirip binatang kalau kayak begini, ‘gak bisa contemplation of the mind’. Alkitab tidak mengajarkan seperti itu. Tidak usah jauh-jauh, waktu Saudara datang ke Kebaktian, di sini melibatkan panca indra atau tidak? Atau Saudara di sini cuma banyak berpikir?
Waktu Calvin menjelaskan Perjamuan Kudus, dia bilang, ‘ketika memegang roti itu, perhatikan baunya yang semerbak’ dan ini dikaitkan dengan semerbaknya Kristus. Sayang sekali hari ini sudah tidak ada yang seperti itu, sekarang kita Perjamuan Kudus secepat mungkin, dan sensory perception seperti itu hilang. Selanjutnya, ketika hal itu hilang di dalam Ibadah, orang akan cari yang betul-betul sekuler, karena tidak ada tempat di dalam kehidupan ibadah/spiritualitas/ kesalehan, untuk senses. Akhirnya, karena senses itu perlu dipuaskan, pemuasannya di dalam hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan ibadah, yang sangat sekuler. Makan yang tidak berhenti-berhenti, misalnya; pengalaman-pengalaman kuliner yang bisa jadi semacam ibadah untuk mulut, karena mulut tidak dikasih tempat dalam spiritualitas Kristen. Tapi Kidung Agung tidak begitu; dan ini tetap kudus, bukan sesuatu yang dianggap saru, atau vulgar. Siapa yang memberikan tempat untuk hal ini? Tuhan sendiri. Tuhan sendiri memberikan tempat untuk petualangan panca indra ini. Ayat 12-13 selanjutnya ditutup dengan refrein lagi, “Bangunlah, manisku, jelitaku, marilah!”
Ayat 14: “Merpatiku di celah-celah batu, di persembunyian lereng-lereng gunung, perlihat–kanlah wajahmu, perdengarkanlah suaramu! Sebab merdu suaramu dan elok wajahmu!” Bagian ini mungkin masih di dalam imajinasi mempelai perempuan; di sini dia membayangkan dirinya seperti merpati yang ada di celah-celah batu. Perkataan ‘merpati di celah-celah batu’, secara motif dapat Saudara temukan di Yeremia 48:28, “Tinggalkanlah kota-kota dan diamlah di bukit batu, hai penduduk Moab! Jadilah seperti burung merpati yang bersarang di dinding mulut liang.“ Apa yang mau dikatakan di sini? Secara singkat, ini menggambarkan natur yang tidak gampang ditembus, seperti merpati yang berada di celah-celah batu. Jadi, ini menyatakan dignitas; tidak gampang menghampiri mempelai perempuan ini. Dia ini bukan perempuan murahan, bukan perempuan nakal di jalanan yang gampang sekali ditemukan, bukan perempuan gampangan; dia ini seperti merpati yang berada di celah-celah batu, yang kalau laki-laki mau kejar harus ada usaha, jangan pasif.
Sekali lagi, ayat 14 sepertinya adalah imajinasi mempelai perempuan, tapi maksudnya ini perkataan yang dikatakan mempelai laki-laki, yang rasa susah banget mendapatkan dirinya. Memang cinta itu mahal, ada harga yang harus dibayar; mempelai perempuan ini begitu berharga sampai mempelai laki-laki sulit mendapatkan dia, dan berkata: “… perlihatkanlah wajahmu, perde–ngarkanlah suaramu! Sebab merdu suaramu dan elok wajahmu!” Di dalam gambaran keadaan yang sulit ditembus ini, mempelai laki-laki itu ada kerinduan supaya mempelai perempuan memperlihatkan wajahnya, memperdengarkan suaranya –maksudnya berespons terhadap kejaran si mempelai laki-laki.
Ayat 15, “Tangkaplah bagi kami rubah-rubah itu, rubah-rubah yang kecil, yang merusak kebun-kebun anggur, kebun-kebun anggur kami yang sedang berbunga!” Menurut tafsiran, ini kemungkinan merupakan love duet. Misalnya kalau dalam opera, pertama-tama yang nyanyi laki-laki, lalu dijawab oleh yang perempuan, laki-laki lagi, perempuan lagi, sampai kemudian love duet.
Apa yang dimaksud waktu dikatakan ‘rubah-rubah kecil’? Ini adalah motif lain lagi. Kita melihat dari Yehezkiel 13:4, “Seperti anjing hutan di tengah-tengah reruntuhan, begitulah nabi- nabimu, hai Israel!” (anjing hutan dan rubah adalah sama dalam bahasa aslinya). Jadi kalau menurut Yehezkiel, anjing hutan adalah nabi-nabi palsu. Kita lihat juga dalam Ratapan 5:17-18, “Karena inilah hati kami sakit, karena inilah mata kami jadi kabur: karena bukit Sion yang tandus, di mana anjing-anjing hutan berkeliaran.” Dari dua perspektif ini, apa yang dimaksud dengan nabi-nabi palsu –rubah-rubah kecil– dalam Kidung Agung? Bahwa mengenai pernikahan, ada banyak ideologi, banyak ajaran, banyak mimpi, banyak narasi —termasuk narasi dari nabi-nabi palsu.
Apa sebetulnya arti kebahagiaan dalam pernikahan? Apakah menurut ajaran Alkitab atau ajaran nabi-nabi palsu? Ajaran nabi-nabi palsu itu merusak kebun anggur, merusak pernikahan itu sendiri. Istilah ‘kebun anggur’ ini bisa menunjuk pada cinta kedua mempelai ini, yang dirusak oleh narasi-narasi nabi palsu yang bukan ajaran dari Alkitab. Berapa banyak pernikahan hancur karenanya? Cinta uang misalnya; insecurity karena urusan uang, yang membuat pernikahan akhirnya rusak. Ini karena apa? Karena nabi palsu terus-menerus membicarakan pentingnya uang dan pentingnya uang, sehingga akhirnya pernikahan bubar. Pernikahan bubar karena narasi nabi palsu. Di dalam Kidung Agung, Sauadara membaca ada peperangan di sini; nabi-nabi palsu ini –rubah-rubah kecil ini– musti diusir karena merusak kebun anggur yang sedang berbunga, sehingga tidak bisa lagi bertumbuh. Saudara jangan pikir yang bukan-bukan soal ‘nabi-nabi palsu’ ini; yang dimaksud di sini ajaran pernikahan yang ngawur banyak sekali, dan kita tidak kebal dari itu.
Hal kedua, yaitu dari perspektif Ratapan yang bicara tentang bukit Sion. Bukit Sion adalah tempat sakral; dan ini bukan poin yang baru, bahwa pernikahan itu sakral. Bukit Sion itu urusannya dengan ibadah Israel; pernikahan, urusannya juga dengan ibadah. Pernikahan ini sakral, seperti bukit Sion, tidak boleh ada rubah-rubah kecil. Tempat ibadah kita ini, gereja, kalau sampai ada serigala yang masuk bahkan sampai naik-naik mimbar, lompat-lompat di mimbar, kira-kira Saudara akan bilang apa? “O, indahnya ciptaan Tuhan”, itukah? Pasti tidak. Saudara akan usir dia keluar, karena tidak cocok sama sekali serigala ada di sini. Bukit Sion itu sakral, demikian juga pernikahan. Seolah-olah di sini mau dikatakan, pernikahan itu se-sakral Sion; kalau di Sion tidak boleh ada rubah-rubah/serigala-serigala, maka pernikahan juga tidak boleh –karena sakral.
Ayat 16, “Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia”. Ini tidak bisa lebih jelas lagi, mungkin tidak perlu tafsiran tentang sense of belonging ini. Kalau kita memiliki, kita menikmati; kalau kita dimiliki, kita memberi diri untuk dinikmati. Pernikahan yang sehat adalah menikmati dan dinikmati; tidak bisa cuma menikmati tapi tidak mau dinikmati –ini selfish. Sebaliknya, dinikmati dan dinikmati tapi dia sendiri tidak diberi akses untuk menikmati, itu namanya bukan suami dan istri tapi hubungannya lebih seperti tuan dan budaknya, yang satu cuma menikmati dan satunya lagi cuma jadi sapi perah –atau apapun istilahnya. Tetapi kalau kita mengatakan seperti ini, “kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia”, ada pernikahan yang sehat di sini. Ini bicara tentang memiliki yang bukan sepihak sifatnya, melainkan saling memiliki, dan juga saling memberi diri untuk dinikmati oleh pasangannya. Tadi bicara tentang peperangan bersama, menghadapi musuh yang sama, rubah-rubah kecil itu, lalu di sini seperti berjanji untuk menanggulangi musuh ini.
Di ayat 15 awal tadi ada kata ‘kami’, “Tangkaplah bagi kami rubah-rubah itu, rubah-rubah yang kecil, yang merusak kebun-kebun anggur, kebun-kebun anggur kami yang sedang berbunga!” Berbeda dari bahasa Inggris yang hanya ada istilah ‘we’, bahasa Indonesia ada keindahan tersendiri karena ada istilah ‘kami’, yang dibedakan dari ‘kita’. Apa keindahannya? Waktu dikatakan ‘kami akan memerangi rubah-rubah kecil ini’, berarti ada deklarasi di hadapan publik, bukan cuma berjanji berdua, ngomong berdua ‘eh, kita kayaknya musti bener-bener jaga lho, supaya ‘gak ada serigala-serigala dalam kehidupan kita ini’, tapi mengumumkannya keluar supaya yang lain juga mendengar. Ini suatu public declaration bahwa pasangan ini akan memerangi nabi-nabi palsu –ajaran-ajaran yang menyesatkan tentang pernikahan—sekaligus juga menjaga kekudusan pernikahan tersebut.
Dalam pemberkatan pernikahan, kita selalu ingin ada jemaat yang hadir, karena memang perlu saksi. Memang pernikahan bukan sakramen –tidak seperti Baptisan dan Perjamuan Kudus– tapi ada kemiripan, di dalam pengertian kita tidak melakukannya secara privat. Waktu Baptisan atau Perjamuan Kudus, kita tidak melakukannya secara privat, perlu ada saksinya, demikian juga pernikahan perlu ada saksinya; mengapa? Karena pernikahan adalah public declaration, bukan sesuatu yang Saudara bersama pasangan cuma bicara-bicara sendiri, menikmati sendiri. Kidung Agung tidak mengajarkan seperti itu. Dalam hal ini, ada keindahan waktu bahasa Indonesia di sini pakai kata “kami”.
Ayat 17: “Sebelum angin senja berembus dan bayang-bayang menghilang, kembalilah, kekasihku, berlakulah seperti kijang, atau seperti anak rusa di atas gunung-gunung tanaman rempah-rempah!” Bagi saya, bagian terkahir ini ayat yang paling menarik. Di ayat pertama ada motif kijang yang lompat-lompat, dan juga gunung, lalu di sini ada kijang lagi, dan juga gunung-gunung; tapi yang menarik di sini adalah kata ‘kembalilah’ atau turn. Istilah ‘turn’ memang artinya ‘kembali’; tapi maksudnya kembali ke mana? Dia asalnya dari mana? Waktu dia mengintip-intip dari luar, tadinya dia di dalam lalu keluar, mengintip, lalu suruh kembali masuk? Tentu saja tidak begitu. Mempelai laki-laki ini datang dari tempat lain, mengintip, lalu mempelai perempuan bilang “kembalilah”, maksudnya ‘kembalilah ke sana’, bukan ‘kembalilah kepadaku’. Jadi ini sebetulnya kalimat mengusir –kalau pakai istilah yang lebih vulgar. Apa artinya? Delayed gratification.
Jangan salah mengerti Kidung Agung, seakan ini kitab yang mengajarkan free sex atau semacamnya. Di sini ada penguasaan diri; maksudnya, ini belum waktunya, dan jangan mendahului waktu Tuhan, jangan mengumbar nafsu, kembalilah. Sebetulnya dua-duanya sudah begitu ingin –dan ini manusiawi– tapi perempuan ini mengatakan, ‘kembalilah seperti kijang, lompat-lompat lagi, bebaslah; saya belum mau mengikat kamu’.
Memang dalam hal penafsiran, Kidung Agung ini lumayan rumit tafsirannya. Brueggemann mengatakan, kita salah kalau membaca Kidung Agung seperti membaca drama, yang ada jalan ceritanya lalu ada klimaksnya. Penafsir yang lain, justru membaca seperti drama; pertama-tama kisahnya waktu sebelum nikah, lalu di pasal sekian baru nikah, dst., sehingga ada perkembangan dalam kisahnya. Dalam hal ini, kita mengambil perspektif yang ada drama, ada perkembangan dalam kisahnya; dan di bagian ini belum menikah. Mereka belum menikah, belum waktunya, dan tidak jatuh ke dalam dosa, tidak jatuh ke dalam hawa nafsu atau excessive love yang ditandai dengan tidak bisa melihat keindahan ciptaan, selfish terhadap orang-orang lain lalu cuma tahunya saya dan suamiku, suamiku dan saya, atau saya dan istriku, istriku dan saya –putar-putar di situ terus. Yang seperti itu, excessive love, false love. Mereka tidak demikian. Perempuan ini mempersilakan sang kekasih laki-laki untuk menghilang, ‘silakan kembali, kekasihku, berlakulah seperti kijang –aku tidak akan mengikat engkau– seperti anak rusa, lompat-lompatlah kembali di atas gunung-gunung tanaman rempah-rempah –saya bisa menunggu, saya akan menunggu dengan sabar’; bukan ‘kalau kamu pergi, saya jadi broken heart, sudahan, mulai sekarang berteman saja’. Dia bukan begitu, sebaliknya akan mengejar terus, namun ada waktunya untuk membiarkan pasangan itu lompat-lompat.
Saudara, banyak pacaran yang bubar, karena salah satunya obsesif dan posesif. Kalau sudah sampai masuk pernikahan, obsesif dan posesif ini bikin jadi rumit, dan sudah tentu tidak boleh bubar lagi. Itu sebabnya mari mempelajari Kidung Agung ini bagi Saudara yang belum menikah. Untuk yang sudah menikah, kita juga bisa tetap belajar; belajar memberikan ruang bagi pasangannya. Ada waktunya untuk keterikatan itu dibentuk, yang perlu ada komitmen, ada tanggung jawab, dsb.; tapi ada waktunya juga untuk menyediakan delayed gratification.
Delayed gratification ini artinya kita ada keinginan tapi ditahan, kita tunggu, untuk kemudian masuk kepada kepuasan yang lebih klimaks; ini bukan dari Alkitab, tapi tidak berbenturan dengan ajaran Alkitab. Justru orang yang ‘saya maunya sekarang, harus sekarang’, nanti bisa jadi seperti cerita Amnon dan Tamar, setelah Tamar diperkosa oleh Amnon, yang terjadi pada Amnon bukan lagi cinta tapi muak, sampai Tamar sedih sekali karena sudah ditiduri lalu dicampakkan begitu saja; dan kisah ini berakhir dengan Amnon dibunuh. Itulah yang terjadi dalam kehidupan manusia yang hidupnya tidak ada delayed gratification,tidak mau menunggu, ‘pokoknya yang saya mau sekarang, harus terjadi sekarang’. Ayat 17 mengatakan, tidak demikian; ini perempuan yang penuh dengan penguasaan diri. “Sebelum angin senja berembus dan bayang-bayang menghilang, kembalilah, kekasihku, –kembalilah ke sana, jangan masuk, nanti kita gosong oleh hawa nafsu– berlakulah seperti kijang, atau seperti anak rusa di atas gunung-gunung tanaman rempah-rempah!”
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading