Bagian yang kita baca hari ini ada mengenai buah Roh, tapi kita tidak akan spesifik membahas buah Roh tersebut, melainkan melihat tema utama yang ditekankan oleh Paulus tentang hidup di dalam Roh atau hidup dipimpin oleh Roh.
Surat Galatia ditulis oleh Paulus. Ini salah satu surat Paulus yang pertama, di dalam pelayanan misinya yang pertama, yaitu sekitar tahun 48-an, masih pada masa ‘Gereja mula-mula’. Jemaat Galatia sendiri adalah jemaat yang didirikan oleh Paulus. Kurang lebih 1-2 tahun sebelumnya, Paulus pergi ke Galatia menginjili dan banyak orang bertobat, kemudian dia tinggalkan untuk pergi ke tempat lain lagi; dan sekarang, mendengar kabar di sana, barulah Paulus menulis surat ini.
Posisi Galatia adalah di sebelah selatan Turki yang sekarang. Pada saat itu, kota Galatia ada di bawah kekuasaan kerajaan Romawi yang menguasai dunia waktu itu, dengan kaisarnya Kaisar Cladius. Penduduk Galatia sendiri beragam/heterogen dari berbagai macam orang, dan secara penyembahan juga banyak dewa-dewanya. Penduduk setempat memiliki dewanya sendiri, para pendatang juga membawa dewa-dewa mereka sendiri untuk disembah, bahkan ada juga yang menyembah Kaisar Claudius sebagai dewanya karena dia membawa euangelion/kabar keselamatan untuk mereka. Orang-orang Yahudi diaspora juga ada yang tinggal di sana, jumlahnya cukup banyak meski tetap saja minoritas, dan secara khusus mereka tetap dengan keyahudiannya. Mereka mendirikan sinagoge untuk beribadah yang letaknya selalu di pinggiran, karena mereka tidak diperhitungkan sebagai orang-orang istimewa. Di dalam konteks inilah Paulus melayani. Dimulai dengan menginjili orang-orang Yahudi terlebih dahulu, sampai akhirnya Injil masuk juga kepada gentiles dan banyak dari antara mereka yang bertobat, sehingga orang-orang Kristen di sana bukan cuma terdiri dari orang Yahudi tapi juga orang Yunani. Jadi, di dalam kondisi kota seperti itu, kota yang lumayan besar dengan penduduk yang beragam, datanglah orang Yahudi lain ini, membawa berita lain pula, yaitu Paulus.
Tadinya orang-orang di situ mengenal suku Yahudi dengan keagamaan Yahudi-nya, lalu sekarang ada satu orang bernama Paulus yang datang membawa euangelion versi lain. Di dalam kabar baik yang dibawanya itu, dia membawa sebuah proyek yang digadang-gadangnya. Proyek apakah yang diberitakan oleh Paulus? Satu istilah yang berkali-kali muncul di dalam surat Paulus, seperti juga di dalam surat Efesus dan surat Roma, istilah yang sama juga muncul di surat Galatia, dan inilah pola yang selalu dipakai Paulus di dalam motif penginjilannya, yaitu dia membawa proyek ‘pembangunan’. Proyek pembangunan apa? Bukan pembangunan dengan tembok dan batu, melainkan satu proyek yang boleh dikata sangat provokatif terhadap kerajaan Romawi, yaitu membangun Kerajaan Allah, bukan dengan batu seperti benteng-benteng besar, tapi membangun Kerajaan Allah dengan manusia. Inilah proyek yang ditawarkan Paulus; dan di dalam beritanya, Paulus mengatakan bahwa hanya ada satu Tuhan.
Dalam konteks zaman itu, mereka tahunya satu Tuhan dalam pengertian monoteis yang hanya ada pada orang Yahudi, sementara sekarang Paulus memberitakan hanya ada satu Tuhan juga, tapi berbeda. Apa yang jadi perbedaan? Yaitu bahwa Tuhan yang dikatakan oleh Paulus, adalah Tuhan dari seluruh alam semesta, Pencipta alam semesta yang berencana dan berdaulat atas seluruh dunia; dan yang paling indah, yang jadi kontras dengan agama Yahudi, bahwa rencana kekal Tuhan atas dunia ini digenapi dengan kedatangan Yesus Kristus, Dia adalah Raja di atas segala raja –sekali lagi kalimat provokatif muncul di sini.
Tidak gampang memberitakan berita seperti ini dalam konteks kekuasaan Romawi pada saat itu, ini orang yang cari mati. Konyolnya lagi, orang-orang pun mau mengikut dia cari mati juga; kalau itu orang-orang Yahudi, masih okelah, tapi orang gentiles yang penduduk Romawi pun mau mengikuti berita ini. Herannya, tadi dibilang Dia adalah Raja di atas segala raja, Penguasa atas alam semesta, tapi kemudian berita konyol yang dimunculkan adalah bahwa Raja itu judtru dimatikan oleh orang Romawi, yang berkuasa pada saat itu. Selanjutnya muncul lagi berita dari Paulus –yang kita tahu itu adalah berita Injil– yaitu Dia dibangkitkan oleh Allah dari kematian. Ini berita spekulatif bagi orang-orang sekitar pada zaman itu, ‘apa-apaan berita kayak begini, kebangkitan orang mati??’ Di lain pihak, di sisi filsuf, mereka tidak merasakan ini sebagai ancaman, karena bagi mereka ini berita konyol karena bagi mereka ketika jiwa keluar dari tubuh (mati), berarti jiwa keluar dari penjaranya; lalu sekarang ada berita tentang bangkit kembali ke tubuh, maka bagi mereka hanya orang goblok yang mau terima berita seperti ini. Jadi di sini bergejolak antara berita yang provokatif terhadap kerajaan Romawi, sementara di sisi para filsuf beritanya sulit diterima karena tidak masuk akal, namun di dalam karya Roh Kudus banyak orang yang menerima berita ini.
Di dalam kebangkitan-Nya, justru Tuhan menggenapi rencana pembangunan tadi. Dengan cara apa? Tuhan membangun Kerajaan-Nya dengan cara membangun new family, keluarga baru, single family, yang tidak pernah ada di dalam konsep agama-agama zaman itu.Inilah motif dari kitab Galatia;bahwadi dalam Kristus terjadi satu gambaran penebusan, yaitu dipanggilnya orang-orang dari berbagai tempat dan latar belakang untuk masuk ke dalam satu keluarga, yaitu keluarga Kerajaan Allah, yang tidak ada pemisahan di dalamnya. Entah gentiles atau Yahudi atau berbagai ras manapun, ketika engkau di dalam Kristus, maka kita disebut satu keluarga. Baik engkau kaya atau miskin, di hadapan Allah kita satu. Di dalam perbedaan kita, kita menjadi satu keluarga. Inilah berita yang mereka terima dari Paulus; dan inilah tema besar di dalam surat Galatia. Pada saat pemberitaan ini terjadi, banyak orang bertobat; lalu setelah itu, Paulus pergi.
Tidak berapa lama kemudian, 1-2 tahun setelahnya, muncul pemberita lain di jemaat Galatia, pemberita Injil dari golongan Yahudi juga, yang memang betul Kristen, tapi Kristen-nya masih pakai pola agama Yahudi. Paulus menyebut orang ini dengan gambaran ‘si penghasut’ (pasal 5:1-12). Apa yang diberitakan? Dia memberitakan ‘injil yang lain’. Dia berusaha memecah setting yang digambarkan Paulus sebagai new family. ‘Apa-apaan berita Paulus itu? Ya, kita percaya bahwa Yesus, Sang Mesias Yahudi itu datang, Dialah Mesias, Dialah Tuhan kita; tetapi, tetap harus ada pemisahan, tidak ada yang namanya new family dan single family, karena tidak bisa Yudaisme dan gentiles bercampur darah. Sekalipun mereka telah menjadi pengikut Mesias, mereka tetap berbeda dengan kita, tidak boleh satu tempat, tidak boleh satu panggung, tidak boleh satu ruangan. Kalaupun mereka mau jadi satu bagian dengan kita, mereka harus ikut tradisi Yahudi. Abraham menerima kovenan itu dengan cara sunat, maka semua harus sunat; lalu setelah itu diteguhkan dengan hukum melalui Musa, maka semua harus menuruti hukum Taurat yang ditetapkan Tuhan kepada Musa. Jadi, kalau kamu mau, masuk; menerima Kristus saja, tidak cukup’. Ini “injil yang lain” yang digambarkan oleh si penghasut golongan Yahudi. Demikianlah gambaran besar isu yang terjadi di dalam jemaat Galatia; dan ini menjadi satu perpecahan antara jemaat Yahudi-Kristen dan jemaat gentiles.
Satu pertanyaan tesis yang ‘si penghasut’ itu lemparkan yaitu: kalau orang-orang non-Yahudi masuk menjadi anggota yang penuh dan setara dengan umat Allah (konsep ‘umat Allah’ hanya ada dalam tradisi Yahudi di dalam Perjanjian Lama), maka pertanyaannya, apakah setelah percaya kepada Kristus, mereka harus melakukan penanda indentitas keyahudian, yaitu sunat, puasa, hukum Taurat, dst., agar mereka sah menjadi anak-anak Abraham yang sejati? Sebagian orang Yunani mulai gentar lalu berpikir untuk mengikuti, sementara sebagian lagi berpikir ‘bukankah kita sudah di dalam Kristus’. Inilah konfliknya. Itu sebabnya Paulus harus menuliskan surat Galatia untuk menjawab konteks jemaat yang demikian; dan dari 13 surat Paulus, surat ini satu-satunya yang tidak dimulai dengan salam, tapi langsung dengan hardikan/teguran.
Paulus memulai suratnya di pasal 1 dengan menjelaskan kembali siapa dirinya, dalam arti otoritas kerasulannya. Ini penting, supaya mereka sadar siapa yang berhak mengatakan bahwa yang dia beritakan adalah Injil yang sejati, dan dari mana otoritasnya. Paulus mempunyai otoritas sebagai rasul, dan dia diakui oleh rasul-rasul yang memang dipilih oleh Yesus sendiri dalam waktu sebelumnya. Dengan demikian mengenai pemberita lain, Paulus langsung masuk dengan teguran yang keras: “terkutuklah orang yang memberitakan injil yang lain dari yang aku beritakan”. Setelah itu barulah Paulus merajut kembali di pasal 3, 4, sampai pasal 5:1-12 tentang Injil sejati yang pernah diberitakannya. Paulus memberitakan ulang untuk membentuk kembali pemikiran jemaat supaya tidak menyimpang kepada injil yang lain.
Sekarang kita melihat secara khusus bagian yang tadi kita baca, bagian paraenesis atau bagian nasehat Paulus; jadi secara struktur, Injil-nya sudah diberitakan dan sekarang masuk ke nasehat-nya. Apa yang dikatakan Paulus kepada jemaat Galatia, khususnya pasal 5 mulai dari ayat 13? Dalam hal ini kita boleh melihatnya sebagai yang disebut instruksi etis atau etika Kristen, yang dibangun oleh Paulus, yang mengikuti pemikiran yang benar tentang Injil Kristen. Paulus menjelaskan bagaimana proposisi teologisnya, bagaimana standar menjadi orang Kristen, apa yang jadi konsep di dalam Kekristenan.
Hal yang pertama, bahwa pembenaran (justification) yang kita terima sebagai orang-orang yang telah ditebus oleh Kristus, bukan terjadi karena ketaatan atau perbuatan terhadap Taurat (ayat 16 dan 21); bukan karena perbuatan baik kita maka kita diselamatkan. Yang kedua, Paulus juga mengatakan bahwa pembenaran (justification) adalah semata-mata oleh iman dalam Kristus Yesus. Ini juga ditekankan di dalam ayat 16: “Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging” . Di dalam Roh itu –di dalam iman, di dalam Kristus—juga mengakhiri tuntutan Taurat. Karena kamu sudah di dalam Kristus, maka tuntutan Taurat tidak lagi menjadi tuntutan yang akan menghancurkan kamu; karena semua itu sudah digenapi di dalam Kristus maka kamu beroleh pembenaran. Yang ketiga, bahwa karena kita di dalam Kristus dan di dalam Roh-Nya, (Galatia 2:19-20, “aku di dalam Kristus, dan Kristus di dalam aku”), Roh-Nya itu adalah agen yang efektif untuk menghidupkan kebenaran yang sejati itu di dalam hati kita.
Kita bukan hanya dibenarkan, seolah-olah ‘Kristus menebusku, selesai, lalu selebihnya adalah urusanku’, tetapi dari awal kita dibenarkan karena kasih karunia, selanjutnya seluruh proses kehidupan kita pun terjadi hanya karena Roh Kudus yang secara efektif menghidupkan kebenaran itu di dalam hidup kita, di dalam hati kita. Inilah proposisi teologi yang digambarkan Paulus kepada jemaat Galatia. Jadi, penanda seorang Kristen bukan lagi identitas-identitas sunat atau melakukan Taurat dst., melainkan satu hal yang tidak kelihatan secara fisik, yang ada di dalam dan akhirnya nanti berbuah keluar, yaitu hidup di dalam Roh. Inilah yang bolak balik dikatakan Paulus di Galatia pasal 5 sampai pasal 6. Dan, orang yang dipimpin oleh Roh adalah orang-orang yang bukan sekedar lepas dari hukum, tetapi menjadi orang-orang yang dipimpin oleh Roh untuk menghasilkan buah. Inilah kehidupan kita sebagai seorang Kristen.
Sekarang kita melihat cara Paulus membangun argumentasinya, sebagaimana dinyatakan di pasal 5. Dari pasal 5:1-12, Paulus menekankan tema kemerdekaan. Orang-orang Yunani tadi dalam konflik meragukan imannya karena tidak punya identitas Yahudi, sementara orang Yahudi merasa lebih superior dengan identitas mereka yang mengikuti sunat Abraham dan Taurat Musa. Tapi Paulus mengatakan, bukan karena Yahudi maka kamu lebih baik, bukan karena Yunani maka kamu lebih rendah; setiap kita, di dalam Kristus, berstatus orang-orang merdeka/bebas. Ini tema yang begitu besar, yang dikabarkan dalam Euangelion (Injil). Semua orang mencari kabar baik, Kaisar Romawi memberitakan kabar baik tentang pembebasan dari penjajahan dan bahwa mereka akan mendapatkan kehidupan layak, dst.; tapi Injil yang diberitakan Paulus adalah pembebasan yang lain, yaitu bahwa di dalam Kristus kita menjadi orang-orang merdeka, orang-orang yang telah dibebaskan dari segala tuntutan. ‘Segala tuntutan’, berarti bicara tentang semua. Dari tuntutan kematian/maut, kita telah dibebaskan menjadi orang-orang merdeka, yaitu orang-orang yang ‘didamaikan dengan Allah’, seperti dalam kalimat surat Efesus; atau kalau dalam surat Galatia dikatakan ‘kita menjadi satu dengan Kristus’. Dengan demikian kata Paulus, kalau engkau mengatakan, “Ya, di dalam Dia, Sang Mesias, telah diselamatkan”, tapi kemudian harus sunat lagi, itu berarti seluruh karya Kristus tidak bernilai (pasal 5:1-2). Dengan menerima sunat sebagai bukti hubungan perjanjian dengan Allah –motif kovenan Abraham—itu sama saja menempatkan diri di bawah kewajiban seluruh hukum, sehingga kembali ke konsep perbudakan lagi, diikat lagi, dan artinya engkau tidak hidup dengan iman, engkau hidup dengan usahamu; dan itu hidup yang lepas dari Kristus, karena engkau mengandalkan dirimu, bukan mengandalkan karya Kristus. Ini kecelakaan besar, kata Paulus kepada mereka.
Argumentasinya tidak berhenti sampai di situ; yang kedua, dia mengatakan, betul bahwa di dalam Kristus kita menjadi orang-orang bebas/merdeka, tapi selanjutnya seperti dua sisi mata koin, kebebasan itu bukan menjadi sesuatu yang liar di dalam kita. Para penghasut tadi berusaha menghasut dari titik ini, “Oh, kamu bebas, jadi ya, sudah, kamu tidak di bawah hukum Taurat, jadi kamu hidup suka-sukanya”. Tapi tidak demikian; Paulus menggambarkan bahwa betul kita menjadi orang merdeka dan tidak ada satu hukum pun yang mengikat kita lagi, tapi bukan berarti kita jadi orang-orang yang bebas kebablasan dan liar, karena hidup yang bebas adalah hidup yang di dalam iman; dan hidup dalam iman sejati itu di-eskpresikan di dalam saling mengasihi. Ayat 13: “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk bebas –ya, kamu sudah bebas– tetapijanganlah kamu mempergunakan kemerdekaan atau kebebasan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan tanda kamu bebas adalah: layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.” Dengan hidup yang demikianlah engkau menggenapi seluruh tuntutan hukum Taurat; tuntutan hukum Taurat tidak berlaku lagi atasmu, tapi itu bukan berarti engkau mengabaikannya, melainkan justru di dalam Roh engkau memenuhi tuntutan hukum Taurat. Ayat 14: “Sebab seluruh tuntutan hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!”
Sekali lagi, ada 2 isu dalam jemaat Galatia yang seperti dua sisi mata koin, seperti dua hal yang bertolak belakang. Di satu sisi, mereka mengatakan bahwa di dalam penebusan, kita adalah orang-orang merdeka, sebagaimana berita yang dikatakan Paulus. Oke, kita terima sekarang bahwa kita telah bebas dari tuntutan Taurat, horee! kita mau itu, kita ikut berita ini. Tapi kemudian si penuntut mepertanyakan lagi, dan mereka tidak bisa menjawab: “Kalau kamu bilang mengikuti berita Injil yang dikatakan Paulus, bahwa kamu bebas, kamu tidak lagi di bawah tuntutan Taurat, lantas bagaimana dengan ketaatan? Hai orang-orang yang mengaku Kristen dari golongan Yunani (gentiles), dengan kamu menjadi bebas, bagaimana kamu mencegah orang melakukan apa yang dia inginkan, karena kedagingan itu masih nyata dan engkau akan jatuh ke situ?” Untuk menjembatani hal ini, maka berita Injil versi Yudaisme mengatakan, itu sebabnya tidak bisa Injil versinya Paulus, kamu harus terima Injil plus plus –setelah kamu percaya, harus ini, harus itu—barulah syaratnya masuk. Tapi Paulus mengatakan, “Tidak”. Untuk menyatukan kedua hal ini, Paulus memberikan jawaban, bahwa hanya dengan satu cara untuk kamu bebas, tidak di bawah tuntutan hukum Taurat tapi tidak menjadi liar –bebas dan bukan menjadi liar, bebas dan bukan harus mengikuti ritual-ritual—yaitu hiduplah oleh Roh. Jawabannya kembali berputar ke satu hal ini, walking in the Spirit.
Hidup di dalam Roh berarti bahwa seseorang tidak lagi berada di bawah hukum, engkau menjadi orang merdeka –bagian ini sudah jelas– namun sekaligus juga bahwa hidup di dalam Roh itulah yang memampukan kamu melawan kedagingan. Bukan karena harus melihat aturan ini dan aturan itu, tapi karena kamu dipimpin oleh Roh itulah yang memampukanmu melawan kedagingan. Ayat 16 dikatakan akan hal ini, “Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging”; lalu ayat 24 ditekankan lagi: “Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya” –justru karena hidup di dalam Roh, justru karena orang-orang yang menjadi milik Kristus telah menyalibkan daging dan segala keinginannya. Inilah solusinya.
Bagi kita semua, sepertinya sudah biasa dengan hal ini, sudah jelas, jadi ngapain dikhotbahkan lagi? Kita semua sudah mengerti tentang justification by faith, justification by grace, bahwa kita dibenarkan karena anugerah, bahwa Roh Kudus akan memimpin kita; kita juga sudah bolak-balik hafal tentang buah Roh dan segala macamnya, jadi oke dong?! Semua kita sudah ngerti; kalaupun tidak mengerti, dengan satu kali baca kitab Galatia pasal 5 ini saja, kita bisa langsung merangkum isi hatinya Paulus, intinya kalau jadi orang Kristen, jangan hidup dengan kedagingan, tapi supaya kita mampu maka caranya dengan hidup di dalam Roh, hidup dipimpin Roh. Lalu caranya Paulus juga sudah jelaskan koq, yang penting kita tidak melakukan segala daftar kedagingan di ayat 19, yang ada 15 macam rupa-rupa kedagingan itu, mulai dari percabulan sampai dengan pesta pora itu. Inilah viapasif-nya, yaitu tidak melakukan itu semua. Lalu via aktif-nya, yang penting kita memperjuangkan untuk menghidupi daftar aspek-aspek buah Roh yang 9 macam itu dari ayat 22-23, mulai dari kasih sampai penguasaan diri. Setelah itu, selesai dong, beres dong?! Bukankah ini yang namanya jadi Kristen?! Secara pasif, saya ‘tidak’ terhadap kedagingan-kedagingan’, lalu secara aktif, saya dipimpin Roh untuk melakukan segala buah Roh itu, selesai; ini ‘kan jadi orang Kristen?! Lantas untuk apa lagi diberitakan??
Saudara sekalian, justru kesimpulan itulah yang jadi kesalahan fatal. Inilah Kekristenan yang sekarang digadang-gadang. Tapi bukan itu yang dikatakan Paulus. Lho, bukankah jelas tadi digiringnya seperti itu, jadi orang Kristen, diselamatkan, dipimpin oleh Roh, jangan lakukan kedagingan, lalu memperjuangkan untuk menghidupi aspek-aspek buah Roh? Jawabannya: tidak. Ada kesalahan cara baca dalam pembacaan seperti itu. Apa kesalahan cara bacanya? Yang pertama, membaca Galatia 5 ini harus di dalam konteksnya. Dari awal sampai akhir rajutan kitab Galatia ditulis oleh Paulus, adalah tentang kehidupan umat secara komunitas, tentang hidup Kristen di dalam kehidupan mereka sebagai Gereja; ini bukan secara spesifik bicara urusan kehidupan batin/spiritual orang Kristen secara individu. Apalagi sekarang di zaman kita, individualistik sangat ditekankan sehingga akhirnya pembacaan Alkitab selalu disorot dengan urusan individu, ‘Oh, ya, saya tidak boleh begini, pergumulan saya adalah untuk melawan kedagingan yang ini maka caranya saya harus menghidupi buah Roh yang itu’ –selalu spiritualitas individualistik yang ditekankan. Tapi tidak ada sama sekali petunjuk bahwa di sini Paulus berurusan dengan ketegangan antara kedagingan dan Roh, yang berkecamuk di dalam perasaan atau hati seseorang secara personal. Tidak ada pembicaraan itu sejak awal; pembicaraannya dari awal adalah teguran Paulus akan perpecahan jemaat. Dari urusan perpecahan jemaat inilah, isunya dijawab dengan isu tentang hidup di dalam Roh, hidup dipimpin oleh Roh, jangan dalam kedagingan. Inilah yang harus kita mengerti, bahwa definisi tersebut dijelaskan dengan maksud apa. Sekali lagi, jangan salah mengerti; bagian ini sama sekali tidak bicara tentang peperangan rohani, atau ketegangan individualitis antara kedaginganku dan rohku. Seringkali dalam khotbah bolak-balik bicara tentang hal-hal seperti ini: “kita harus melakukan disiplin rohani; buah roh pertama, ‘kasih’ maka selidiki hatimu dalam hal ‘kasih’” –selalu personal dan personal. Paulus tidak sedang membicarakan hal itu. Ini peringatan pertama.
Yang kedua, kalau pembacaannya tetap urusan individu seperti tadi –tentang ‘saya dan yang berkecamuk di dalam hati saya’– maka ujung-ujungnya inilah cara pembacaan Injili yang selama ini digadang-gadang (maafkan kalau kalimat ini terlalu karikatural, terlalu berani), motif pertobatan yang individualistik, tentang bagaimana saat teduh-mu, persekutuan pribadi-mu dengan Tuhan, pembacaan Alkitab-mu, dst. –terus-menerus personal. Jangan salah mengerti, saya tidak anti dengan hal itu, tapi hati-hati kalau selalu membaca Alkitab dengan motif seperti itu. Kalau orang terus berusaha membaca kitab Galatia dengan pembacaan tentang melawan kedagingan secara individualistik, tentang bertumbuh secara buah Roh di dalam pertobatan personal untuk jadi orang yang memenuhi 9 aspek buah Roh, maka jatuhnya atau ujungnya tidak lain tidak bukan adalah legalistik, menjadi orang-orang legalis yang menilai secara hitam putih. Justru inilah yang ditegur Paulus tadi, orang-orang Yahudi mengganggu iman orang Yunani dengan harus menjalankan Taurat, Taurat, Taurat; lalu sekarang kita, orang Kristen, bilang ‘saya sudah ditebus, kita tidak perlu sunat, hanya di dalam Kristus kita diselamatkan, tapi setelah selamat saya harus ini, harus ini, harus ini’. Jika demikian, apa bedanya dengan orang Yahudi?
Sekarang banyak sekali Kekristenan membentuk “taurat baru”, setelah percaya Yesus maka harus begini, harus begitu. Kita menyebut diri reformed, bukan Armenian, kita bilang keselamatan tidak bisa hilang, keselamatan itu satu kali untuk selama-lamanya, tapi di dalam praktikanya yang terjadi adalah antara kita jadi hyper-Calvinist dan sembarangan main-main dalam dosa, atau kita akhirnya mengatakan ‘harus begini, harus begini, harus begini’. Tergelitik di dalam pergumulan saya untuk menjadi hamba Tuhan, ketika hamba-hamba Tuhan Reformed bicara tentang ujung-ujungnya etika Kristen: “Kalau kita sudah di dalam Kristus, maka kita harus …, harus …, harus …”. Saya bukan mengatakan tidak ada tempat untuk itu, tapi kalau setiap kali pembacaan Firman Tuhan dibaca seperti itu, berarti anugerah hanyalah starting point, dan ujungnya urusan engkau/saya. Dalam hal ini, peringatan Paulus adalah: inilah yang disebut Injil plus plus.
Kembali kita baca ayat 2, Paulus mengatakan: “Jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu.” Jika kamu mengatakan kamu percaya Yesus, seperti juga orang-orang Yahudi ini percaya Mesias, tapi kemudian harus ini, harus ini, harus ini, maka engkau sedang mengatakan Kristus sama sekali tidak berguna bagimu. Ayat 4: “Kamu lepas dari Kristus”, jika kamu beriman akan Injil dengan cara yang demikian. Bukan itu Injil yang Paulus beritakan; di pasal 1 dikatakan: terkutuklah orang yang memberitakan Injil yang seperti itu. Keras sekali. Dan terbukti di zaman kita sekarang, konsep-konsep Injili yang berfokus pada perjuangan spiritualitas individualistik, selalu berujung pada kekecewaan. Mengapa banyak orang keluar dari gereja? Karena tuntutan spiritualitas individualistik itu; saya harus melihat hamba Tuhan yang perfect, lalu waktu itu tidak terjadi, saya kecewa, karena saya menjadikan dia patron-nya. Bukan berarti ini tidak boleh –justru bagus kalau kita saling belajar di dalam satu komunitas—tapi selalu melihat pada spiritualitas individualistik, tidak melihat bagaimana ‘ketersalingan’ di dalam Gereja.
Pertanyaan yang mau kita jawab sekarang dalam hal pernyataan Paulus ini, yaitu: kalau begitu, artinya hidup dipimpin oleh Roh itu apa? Kalimat Paulus bukan “kamu mbok ya, hidup oleh Roh”, yang artinya boleh ya, boleh tidak; kalimat yang dipakai adalah kalimat imperatif, benar-benar pernyataan perintah: “karena itu, hiduplah oleh Roh”, atau dalam ayat 25, menjadi orang yang “dipimpin oleh Roh”. Ini bukan soal dipimpin oleh Roh secara individualistik atau kerohanian secara personal saja; bukan itu yang dikatakan Paulus. Dalam hal ini kita akan melihat pembacaan atas perkataan Paulus: ‘hati-hati dengan kedagingan; dan hidup oleh Roh’. Apa maksudnya? Hal ini boleh kita mengerti dari kalimat pertama ayat 16: “Maksudku ialah hiduplah oleh Roh”; Paulus mengatakan ‘maksudku ialah’, berarti dari penjelasan sebelumnya. Dengan demikian, yang dimaksudkan Paulus menjadi peringatan adalah mulai dari ayat 15: “Tetapi jikalau kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan.” Jadi, merujuk ke ayat 15 inilah Paulus mengatakan di ayat 16 “maksudku ialah …”; dalam hal ini, yang ditekankan kembali adalah urusan perpecahan. Ini juga ditekankan kembali di ayat 26: “dan janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki.” Dengan demikian, perkataan Paulus “hidup di dalam Roh” itu menyerukan apa?
Pertama, maksud kalimat “hidup dalam Roh” dalam surat Galatia adalah kehidupan di dalam Roh yang tidak makan/melahap sesama yang lain. Inilah peringatannya. Bukan sekedar urusan individualistik, tetapi bahwa kita menjadi keluarga kerajaan Allah, hidup di dalam Roh, artinya adalah kita tidak menjadi orang yang saling menghancurkan dan memakan satu sama lain. Orang susah bilang ‘hari ini bisa makan apa’, lalu mulai ekonomi baik bilang ‘makan di mana’, orang sudah kelas kakap bilang ‘makan siapa’ –ada guyonan-guyonan seperti itu. Tapi ternyata bukan di luar saja hal itu terjadi, di dalam gereja pun tusuk-tusukan menjadi satu hal yang biasa demi mencari panggung untuk ‘saya’, hanya dengan cara mengatakan ‘saya lebih baik dari dia’ atau menjelekkan apa yang orang lain kerjakan. Paulus bilang, jangan demikian. Mungkin berbeda dari konteks Galatia (orang Yahudi merasa lebih superior daripada orang Yunani, dst.), tapi problem atau motif yang sama sampai saat ini juga terjadi di dalam gereja, bahkan sejak gereja mula-mula.
Yang kedua, “hidup dalam Roh” itu menyerukan untuk kita tidak menjadi orang-orang yang gila hormat, tidak menjadi orang-orang yang provokasi, tidak menjadi orang-orang yang pendengki. Sesederhana itu yang dikatakan Paulus. Jadi, ‘hidup dalam Roh’ ini membicarakan isu komunitas. Kita akan melihat apa maksudnya isu secara komunitas di dalam penjelasan terakhir ini.
Saudara sekalian, jangan salah mengerti kalau dari tadi bolak-balik saya bilang tentang isu komunitas, bahwa Paulus tidak bicara urusan individu, dsb.; saya tidak bilang bahwa urusan pergumulan kita secara personal tidak penting. Bukan itu maksud saya. Kita bergumul di hadapan Tuhan akan dosa, kita berusaha keluar dari dosa, kita bergumul untuk semakin disiplin rohani, itu penting, bahkan sangat penting. Di dalam hal ini, individu tidak disingkirkan. Ini bukan berarti ‘tidak ada urusan individu, urusan individu jangan dimasukkan ke dalam gereja karena semua harus melayani’; yang seperti itu, kebablasan jenis lain lagi. Dalam hal ini, bagaimanapun juga kita masing-masing mengalami pertobatan secara individu, kita mengalami yang namanya ‘lahir baru’ bukan dengan cara seperti rambutan ditarik dari rantingnya sekaligus satu renteng, kita mengalaminya secara personal. Masing-masing mengalami pertobatan individu, mengalami pembebasan secara individu; itu sudah jelas dan pasti. Tetapi, perhatikan sekali lagi ayat 13, yang mau ditekankan Paulus adalah: waktu kita dibebaskan secara individu demi individu –engkau, engkau, engkau, dan saya menjadi orang bebas—artinya kita dibebaskan untuk masuk ke dalam pembangunan one family, masuk ke dalam komunitas yang disebut ‘keluarga Kerajaan Allah’. Di dalam kalimat lain, Paulus menggambarkan kita sebagai bagian dari Tubuh Kristus, di dalam satu kesatuan. Atau kalimat dari Petrus, kita menjadi susunan batu-batu hidup –satu kesatuan. Jadi tidak pernah yang namanya pengalaman pertobatan pribadi berhenti pada urusan pribadi; panggilan pembebasan setiap orang Kristen adalah karena dipanggil untuk masuk ke dalam keluarga Kerajaan Allah. Itulah tujuannya. Jadi kalau kita terus berpikir ‘pokoknya saya sudah lahir baru, pokoknya saya sudah cinta Tuhan, pokoknya saya …, pokoknya saya …’, hati-hatilah; kita tidak mengerti arti keselamatan kita kalau terus melihat ke dalam diri. Itu sebabnya di dalam konteks menghidupi kebebasan yang seperti ini –kebebasan di dalam komunitas, kebebasan di dalam keluarga Kerajaan Allah—hal tersebut bisa dilakukan dengan cara menjadi budak dari kasih.
Lho, bukankah tadi diberitakan bahwa kita bebas?? Benar; dalam hal ini, seorang teolog bernama Gordon Fee mengatakan: kebebasan yang sejati berarti menjadi budak kasih. Menarik sekali ya. Bukankah kebebasan berarti saya free?? Benar. Lalu apa tandanya engkau free? Yaitu engkau menjadi budak kasih. Dan ini hanya bisa terjadi di dalam Kekristenan. Di dalam dunia, ketika kita mengasihi dan terus rela menjadi budak kasih tanpa ada jaminan penebusan, itu namanya abuse. Kalau dua orang mengatakan saling mengasihi, lalu yang satu terus-menerus berkorban, sementara yang satu lagi terus-menerus memanfaatkan –karena dia tidak pernah di dalam kebenaran Kristus—itu namanya abusif, bukan kasih. Ketika kita menyadari bahwa kita di dalam Kristus, Kristus yang telah mengorbankan nyawa-Nya untuk menebus kita menjadi milik kepunyaan-Nya yang dikhususkan jadi bagian dari keluarga Kerajaan-Nya, maka dalam hal ini saya menjadi bebas. Dan, ‘bebas’ tidak pernah ada di titik netral seperti dalam sumbu Matematika, saya di titik nol, sumbu X di kiri kanan, sumbu Y atas bawah, Z depan belakang, dan saya di titik nol, mau ke mana pun suka-suka saya; tidak ada definisi bebas di dalam Alkitab dengan cara seperti ini. Kebebasan yang dikatakan di dalam Alkitab adalah tentang bagaimana kita menjadi orang yang penuh dalam kasih.
Benar kita telah bebas. Kita bebas dari tuntutan kewajiban keagamaan. Kita tidak harus melakukan kewajiban ini dan itu. Kita tidak harus diikat oleh waktu ini dan itu. Kita tidak harus disunat. Kita tidak harus menjalankan puasa dan segala macamnya untuk mendapatkan kebebasan itu. Justru kita dibebaskan dari semua tuntutan hukum-hukum itu, sebagai orang yang dibenarkan di dalam iman, justification –teorinya Paulus, yang muncul dalam kitab Roma, dan muncul juga dalam kitab Galatia. Apa artinya? Saya mengutip sedikit dari pernyataan N.T. Wright: justification berarti mengalami seperti Abraham, yaitu menerima covenant membership, kita dibenarkan berarti kita menjadi bagian dari keluarga Kerajaan Allah. Inilah kovenan yang diberikan Tuhan kepada kita. Kita menjadi orang-orang merdeka/bebas, di dalam masuknya kita ke dalam keluarga Kerajaan Allah. Lalu bagaimana kebebasan itu di-ekspresikan, inilah pertanyaannya. Ekspresinya sederhana, sebagaimana tadi bolak-balik dikatakan oleh Paulus dalam hal hubungan kita dengan Allah dan hubungan kita dengan umat Allah di dalam keluarga Allah, yaitu diungkapkan di dalam atau melalui kasih.
Sekarang kita akan melihat rajutan/susunan yang dikatakan Paulus dalam hal ini, di dalam peringatannya yang tentang kedagingan dan buah Roh bahwa Roh menentang kedagingan, dan bagaimana itu nantinya di-ekspresikan. Mari kita memperhatikan dari ayat 16-18. Ayat 15 sebelumnya, dikatakan bahwa kedagingan menampakkan dirinya dalam bentuk perselisihan komunitas; jadi ini bukan bicara kedagingan dalam arti ‘saya harus lawan ini dan itu, saya tidan boleh narkoba dan ini dan itu’. Bukan berarti itu tidak penting, itu memang perjuangan kita, tetapi kedagingan yang mau di-ekspresikan di kitab Galatia adalah tentang perselisihan dalam jemaat, ketika orang-orang percaya saling menggigit dan memakan satu sama lain. Jadi isu kedagingan ini bukan berpusat pada ketegangan internal dalam kehidupan personal seseorang, seperti ‘saya malas, saya pornografi’ dsb. –bukan itu yang mau ditekankan—melainkan tentang bagaimana hidup dalam pimpinan Roh Kudus, yang memampukan kita untuk hidup sebagai Gereja, hidup sebagai one family.
Selanjutnya, ayat 19-23, Paulus mengontraskan 2 cara hidup, antara 15 daftar kejahatan dan 9 daftar kebajikan atau yang disebut buah Roh. Kedua daftar ini dituliskan Paulus disesuaikan dengan situasi jemaat Galatia, sebagaimana yang muncul di ayat 15. Artinya, yang Paulus sebutkan itu bukan berarti hanya 15 itulah yang namanya kedagingan dan hanya 9 itulah aspek dari buah Roh; yang disebutkan Paulus itu hanya perwakilannya, karena kalau disebutkan semuanya akan tidak cukup (di ayat 20-21 dia bicara tentang rupa-rupa kedagingan yang diakhiri dengan ‘dan sebagainya’, artinya masih banyak yang lain). Jadi kita tidak bisa membacanya secara individualistik, ‘saya sudah mengikuti daftar ini, saya tidak cabul lagi, cemar lagi, hawa nafsu lagi’, dst. sampai ‘saya tidak pesta pora’, lalu ‘hore! saya sudah bebas dari kedagingan!’. Bukan demikian, masih banyak daftar lain; jadi bukan dibaca secara legalis seperti mengikuti urutan satu, dua, tiga, dst.
Lalu apa yang mau dimaknai di sini? Kita perhatikan dua daftar atau benturan yang dikontraskan Paulus, 15 cara hidup dalam kejahatan dan 9 kebajikan. Mulai ayat 19 mengenai 15 daftar kejahatan, sebenarnya Paulus sedang membicarakan 4 kategori larangan, dia bukan tulis sembarangan. Larangan pertama, tentang seks yang terlarang, yaitu 3 urutan pertama: percabulan, kecemaran, hawa nafsu. Peringatan kedua, penyembahan atau ibadah yang terlarang, yaitu penyembahan berhala, sihir. Yang ketiga –ini menarik—yaitu kerusakan dalam hubungan; ada 8 peringatan, mulai dari perseteruan sampai dengan kedengkian.Yang terakhir, bagian yang keempat, ekses atau hal-hal yang melampaui batas, yaitu kemabukan dan pesta pora. Empat kategori larangan yang digambarkan oleh Paulus ini bukan bermaksud untuk memberikan daftar dosa kedagingan sebagai pe-er yang harus kita lawan secara personal, ini bukan daftar kedagingan yang menjadi peperangan internal di dalam hati kita. Ini menggambarkan perilaku kehidupan manusia di luar Kristus.
Justru yang paling mencolok dari empat kategori tadi adalah kerusakan dalam hubungan (ada 8 yang didaftarkan Paulus); ini mau menekankan apa? Kembali di sini yang menjadi tekanan isu dalam kitab Galatia, yaitu dosa perselisihan; sebuah tindakan/ motivasi yang mengungkapkan kerusakan di dalam urusan sosial, urusan komunitas, urusan Gereja. Gereja rusak dari dalam. Daftar ini diakhiri dengan peringatan eskatologis di ayat 21, bahwa mereka yang melakukan hal-hal seperti ini, tidak mewarisi Kerajaan Allah. Apakah Kerajaan Allah tadi? Yaitu menjadi keluarga di dalam Kristus. Ini bukan peringatan bahwa keselamatan bisa hilang, ini juga bukan peringatan bahwa orang Kristen tidak mungkin jatuh ke dalam daftar yang 15 tadi –faktanya kita kerap kali masih jatuh di sini. Justru yang jadi poin di sini, pertama adalah: ini peringatan bagi kita, orang percaya, untuk tidak hidup seperti orang-orang fasik, hidup yang seperti orang-orang binasa. Inilah yang menjadi peringatan Paulus dalam ayat 19-21. Yang kedua, kontras dengan itu, Paulus langsung mempermainkan kata dalam kalimat berikutnya: “Tetapi buah Roh ialah …”,yang langsung memberikan gambaran kontras, yaitu tentang 9 aspek buah Roh.
Sekali lagi, bukan hanya 9 hal ini saja, di kitab yang lain Paulus banyak bicara aspek-aspek lain yang begitu indah di dalam Kekristenan yang tidak masuk di sini, misalnya kerendahan hati. Paulus bukan sedang mendaftarkan bahwa aspek buah Roh hanya 9. Bagian ini disebutkan untuk menjadi kontras dari kedagingan yang dipaparkan di ayat sebelumnya; 9 aspek ini menjadi bentuk representatif, bukan daftar lengkap, yang tujuannya mengkontraskan dari cara hidup kedagingan sebagaimana dikatakan di ayat 19-21. Jadi hal-hal tersebut tidak dimaksudkan tentang urusan kehidupan internal –sebagaimana mengenai kedagingan tadi juga bukan dimaksudkan urusan kedagingan secara individual– tekanannya bukan spiritualitas internal individual, ‘saya harus kasih, saya harus ini, saya harus itu, … dst.’; karena ini buah Roh, maka bukan berarti orang Kristen menjadi orang yang berjuang ini, berjuang itu, dst., yang akhirnya jadi Injil plus plus lagi.
Saudara sekalian, aspek-aspek buah Roh ini adalah karya Roh Kudus di dalam kehidupan kita; dan justru itulah yang menjadi penghiburan. Tapi juga bukan berarti karena ini buah Roh, lalu kita menjadi orang-orang yang pasif. Penekanan dalam hal karya Roh yang efektif ini adalah: justru karena karya Roh Kudus bekerja di dalam hati kita, itulah yang membuktikan tuntutan Taurat tidak berlaku lagi bagi kita. Artinya, bagi jemaat Kristen Yunani dikatakan ‘ya, sadarilah statusmu siapa ketika engkau menjadi bagian dari keluarga Kerajaan Allah, bahwa Roh Kudus akan memimpinmu untuk hal ini; jadi engkau tidak harus melakukan Taurat ini dan itu demi menjadi bagian dari keluarga Kerajaan Allah, tapi sebaliknya, karena engkau di dalam Kristus, engkau menjadi bagian keluarga Kerajaan Allah, maka Roh Kudus akan memimpinmu ke dalam hidup di dalam Roh’. Jadi ini undangan –walaupun Paulus menekankan dalam bentuk perintah– ini bukan berarti kita jadi pasif. Roh itulah yang secara efektif menghasilkan buah-buah Roh di dalam diri orang percaya. Bukan sudah terima Yesus lalu pasif, tapi tanda dari hal tersebut adalah Roh Kudus bekerja di dalam hati kita untuk mengubah kita menjadi orang-orang yang memilik karakter Allah, menjadi orang-orang yang hidup di dalam family of God, one family, keluarga di dalam Kerajaan Allah.
Kembali kepada konteks, dengan cara yang bagaimana konsep atau hal ini terwujud dalam kehidupan jemaat Galatia? Tentu saja, adalah ketika orang Galatia menggunakan kebebasan mereka dengan benar, yaitu ketika mereka melayani satu dengan yang lain melalui kasih. Roh Kudus memampukan mereka untuk itu, untuk menghasilkan buah, sebagaimana dalam kehidupan mereka secara pribadi demikian juga menghasilkan buah di antara mereka, dengan cara melayani di dalam kasih.
Dari pengertian rajutan yang disusun oleh Paulus, apa yang penjadi perenungan kita hari ini? Pertama, sebagaimana jemaat gentiles di Galatia, kita pun bukan jemaat dari keturunan Yahudi. Kita telah menerima kabar baik itu; kita diberikan oleh Allah keselamatan, anugerah, yang kita tahu hanya melalui karya Kristus yang menebus kita. Kita jelas akan hal ini semua.Keselamatan di dalam Kristus itu adalah kita disatukan menjadi satu keluarga, keluarga Kerajaan Allah; dan, yang jadi peringatan bagi kita sebagaimana dikatakan Paulus: karena kita disatukan oleh Kristus bukan karena perbuatan kita, maka tidak ada batasan yang memisah-misahkan kita. Entah suku ataupun ras-mu, entah status ataupun nama baikmu, itu tidak lagi menjadi hal yang boleh memisahkan di dalam Tubuh Kristus. Di gereja-geraja tradisional ada kursi-kursi khusus untuk orang-orang penting, di gereja-gereja tertentu ada kasta-kasta dalam urusan ras mana lebih tinggi dari yang lain; dalam hal ini justru Paulus mengatakan, orang-orang seperti inilah orang-orang yang menerima ‘injil yang lain’. Di hadapan Tuhan kita semua sama, meski bukan berarti kehilangan hormat; tua muda menjadi sama, tapi tetap ada hormat kepada yang lebih tua, meski bukan karena urusan kasta. Karena penebusan memberikan jaminan seperti ini, itulah sebabnya tidak ada tempat untuk kecongkakan atau kesombongan; bukan oleh kemampuan dan usahamu maka engkau menjadi bagian dari keluarga Kerajaan Allah, sepenuh-penuhnya oleh karena anugerah Allah kita diterima di tempat ini. Sekaligus juga tidak ada tempat untuk orang-orang minder, untuk mengatakan ‘saya tidak bisa, saya ini dan itu’ karena itupun sebuah kesombongan, merasa harus mengusahakan sesuatu baru engkau ada panggung di tempat ini. Jadi dua-duanya sama. Ketika orang menjadi congkak dan sombong di dalam Gereja Tuhan, engkau tidak tahu berapa besarnya anugerah Tuhan, seolah-olah engkau memberikan satu kontribusi kepada Tuhan sehingga engkau punya panggung. Sebaliknya, orang-orang minder merasa diri tidak layak dan tidak layak, tapi engkau tidak tahu berapa besarnya pengorbanan Kristus bagimu, engkau terus berada di dalam self-pity, dan engkau juga jadi orang yang menghina salib Kristus.
Hal kedua, ketika kita sadar ini panggilan yang begitu mulia sebagai keluarga Kerajaan Allah, yaitu hidup dipimpin oleh Roh. Apa artinya hidup dipimpin oleh Roh? Apa artinya undangan penebusan, bahwa kita ditebus untuk didamaikan oleh Allah dan dipimpin oleh Roh? Bukan legalisme. Bukan proyek ketaatan legalistik ‘saya harus mengerjakan ini, mengerjakan itu’, bukan kesempurnaan pribadi di hadapan Tuhan. Sekali lagi, itu penting; kita harus disiplin rohani, memperjuangkan kesalehan serta kasih di dalam hati kita, tapi tidak pernah kerohanian itu berhenti menjadi tujuan, itu adalah bagian dari perjuangan kerohanian kita; dan perjuangan kita untuk menjadi orang-orang yang terus menghidupi kebenaran ini justru adalah suatu perjuangan dalam kehidupan gerejawi. Orang yang hanya terus memperjuangkan kerohanian individualistik, yang terus berusaha menjadi orang rohani tapi tanpa komunitas –pokoknya saya datang ke gereja, lalu pulang, saya saat teduh, dsb., tanpa ada persekutuan dengan Gereja Tuhan—itulah yang dikatakan Calvin, orang-orang seperti ini tidak mengerti keselamatan, karena di luar Gereja tidak ada keselamatan.
Saudara sekalian, justru panggilannya adalah untuk kita masuk di dalam hidup dipimpin oleh Roh, masuk di dalam Gereja Tuhan, sebagai komunitas, sebagai keluarga Kerajaan Allah. Individu-individu yang mengalami pertobatan menjadi individu-individu yang disusun sebagai batu-batu hidup, menjadi satu tubuh di dalam Tubuh Kristus, dikumpulkan menjadi keluarga Kerajaan Allah. Sebagai keluarga Kerajaan Allah, tanda kita adalah orang yang hidup dipimpin oleh Roh, yaitu satu sama lain di dalam komunitas, sama-sama bertumbuh, sama-sama saling melayani, dan bersama-sama melayani. Ini bukan komunitas versi dunia yang ada karena kesamaan selera, seperti komunitas ibu-ibu arisan, komunitas kamera, atau komunitas apapun yang sama selera. Di gereja pun bukan kumpul asal kumpul, misalnya kumpul untuk makan-makan tok tapi tidak jadi jemaat yang bertumbuh; tanda dipimpin oleh Roh adalah ketika kita bersama-sama di dalam gereja saling membuka diri, saling memberi diri, menjadi budak dari kasih demi ketersalingan satu dengan yang lain, dan di dalamnya kita sama-sama saling bertumbuh, saling melayani, dan melaluinya kita bersama-sama melayani. Ini undangan Tuhan bagi kita.
Implikasi praktisnya, Paulus sudah menggambarkan dalam perkataannya di Galatia pasal 6, paling tidak dalam ayat 1-3, mengenai arti dari penebusan Kristus, arti dari hidup yang dipimpin oleh Roh: “Saudara-saudara, kalau pun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan. Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. Sebab kalau seorang menyangka, bahwa ia berarti, padahal ia sama sekali tidak berarti, ia menipu dirinya sendiri.”
Berapa banyak orang mengejar spiritualitas pribadi, tapi dia tetap jauh dari komunitas yang sehat, jauh dari Gereja, maka tinggal tunggu waktu, akan jatuh. Komitmen demi komitmen, lalu pada akhirnya jatuh. Di sisi lain, berapa banyak orang yang masuk ke dalam komunitas tapi tidak mengerti artinya menjadi budak kasih, untuk ketersalingan, maka akhirnya masuk komunitas hanya sekedar untuk hura-hura dan tidak pernah bertumbuh. Mari kita menerima hak istimewa menjadi Gerejanya Tuhan, menjadi keluarga Kerajaan Allah, yang melaluinya kita saling melayani; dan di dalam Gereja Tuhan, kita melayani ke luar.
Kiranya Tuhan memberkati kita sebagai Gereja Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading