Bagian ini lanjutan kisah para rasul, yang sebelumnya kita sudah melihat ada persidangan di Yerusalem, mengenai orang-orang yang tidak bersunat harus bagaimana ketika menjadi Kristen supaya mereka diselamatkan. Ada polemik. Sebagian mengatakan mereka harus disunat dulu soalnya Kristen ‘kan penggenapan agama Yahudi, dan agama Yahudi mensyaratkan sunat untuk keanggotaan; dan kalau mereka bukan anggota umat Allah –umat Israel– bagaimana mungkin mereka bisa berbagian dalam keselamatan yang datangnya dari Mesias Israel. Make sense juga logika ini.
Sidang di Yerusalem mendengarkan kesaksian Paulus dan Barnabas, mengenai apa yang Roh kerjakan dalam gereja-gereja di daerah kafir itu; juga suara dari Petrus yang pernah dipimpin Tuhan masuk ke rumah Kornelius yang bukan orang Israel, menyaksikan Roh Tuhan bekerja juga di antara orang-orang kafir, Tuhan juga memberikan visi kepada Petrus untuk menyembelih dan makan hewan-hewan yang haram. Petrus kemudian basically mengatakan, ketika Kerajaan Allah datang, mereka sebagai umat yang bukan Yahudi bisa diselamatkan sebagai umat yang bukan Yahudi, mereka tidak harus jadi Yahudi, tidak harus disunat. Yakobus pun berpendapat demikian, walaupun kemudian memberikan syarat bahwa hukum Musa, yang sudah dinyatakan tiap-tiap minggu selama tahun-tahun yang panjang di daerah itu, juga harus dihormati, maka dia mengatakan agar mereka tetap menjauhkan diri dari beberapa hal yang orang Yahudi anggap sebagai pantangan yang legitimate, seperti percabulan, daging binatang yang sudah dipersembahkan kepada berhala, darah, binatang yang mati dicekik. Hal-hal yang dikutip Yakobus itu adalah hal-hal yang semi-semi, masih ada di perbatasan. Kita bisa maklum juga ketika pernah ada orang-orang yang dikatakan dari “kalangan Yakobus” datang ke tempat Kefas hadir, lalu terjadi satu situasi yang tidak bagus –sebagaimana dikatakan Paulus dalam surat Galatia– yaitu Kefas dan Barnabas terseret dalam kemunafikan orang-orang dari golongan Yakobus ini, seakan kembali ke Perjanjian Lama dengan menyandarkan diri pada eksklusifitas orang Yahudi. Kis. 15 menegaskan keputusan sidang di Yerusalem, bahwa orang-orang non-Yahudi tidak harus menjadi Yahudi untuk diselamatkan; pasal 16 ini adalah cerita selanjutnya, Paulus datang ke Derbe dan Listra (untuk kesekian kalinya).
Bagian awal ini bisa menjadi salah satu cara untuk melihat riwayat Timotius bisa ada di dalam Gereja, menjadi semacam anak rohani Paulus. Dikisahkan bahwa ibunya orang Yahudi, ayahnya orang Yunani. Kalau bagi kita, latar belakang kayaknya tidak terlalu penting, bahwa teman kita ayahnya orang apa dan ibunya orang apa, itu tidak terlalu penting. Namun bagi orang zaman itu, sangat penting. Mungkin kita bisa samakan dengan zamannya nenek kita dulu (zaman Belanda), yaitu bahwa kamu orang Eropa, atau orang Jepang, atau orang Cina, atau orang pribumi, itu bisa membedakan nasib kamu, membedakan apakah kamu boleh atau tidak boleh masuk sekolah yang mana, boleh atau tidak boleh melamar pekerjaan apa, boleh atau tidak boleh dihukum dengan cara bagaimana.
Demikianlah mengenai asal-usul pada zaman dulu, atau yang masih berlaku juga pada zaman sekarang, yaitu hak yang muncul dari status kewarganegaraan, bisa menentukan dengan sangat penting. Itu sebabnya Lukas merasa penting untuk menyatakan di sini bahwa ibu Timotius adalah orang Yahudi sementara ayahnya orang Yunani, dan semua orang tahu. Ini menjelaskan alasannya Paulus menyunatkan Timotius, tapi tidak menyunatkan Titus. Apakah ini berarti Paulus setuju hukum sunat tetap ditegakkan? Saya kira tidak. Paulus melakukan tepat seperti yang diputuskan dalam sidang di Yerusalem, yaitu orang-orang bukan Yahudi –seperti Titus– tidak harus disunat. Sedangkan mengenai orang-orang Yahudi, memang tidak termaktub dalam keputusan tersebut; dan bagi orang Yahudi memang hukum Musa tetap berlaku. Meski demikian kita tahu mereka pun tidak mampu melakukannya dengan sempurna, sebagaimana dikatakan Petrus dan Yakobus, “Nenek moyang kita pun tidak mampu memikul kuk itu, kenapa sekarang kamu mau memikulkannya kepada orang-orang bukan Yahudi?”; tapi kalau tetap mau dilakukan, ya monggo –kira-kira begitu.
Paulus punya prinsip –kita tahu dalam 1 Korintus– bahwa apa yang relatif, tidak boleh menghalang-halangi urusan yang lebih penting. Misalnya, makan daging yang sudah dipersembahkan kepada berhala, menurut Paulus sebetulnya secara substansi tidak apa-apa karena berhala bukan apa-apa. Meski demikian, Paulus mengatakan ada resikonya, kamu harus awas-awas karena makan berarti bersekutu, makan daging yang sudah dipersembahkan kepada berhala berarti bersekutu dengan para penyembah berhala, maka dia mengatakan: “Tetapi jika ada orang yang kemudian tersandung karena tingkah laku kamu, lebih baik kamu tidak makan daging itu selama-lamanya”. Prinsip ini juga Paulus terapkan di sini, bahwa dia menyunatkan Timotius oleh sebab orang-orang Yahudi di daerah itu. Khususnya bahwa orang-orang Yahudi itu tahu papa Timotius orang Yunani sehingga kemungkinan Timotius tidak disunat, sehingga mereka pasti akan mendesak dan menginterogasi Timotius, “Kamu disunat atau tidak? Kalau tidak, maka ‘gak boleh masuk ke Bait Suci, ke tempat sembahyang orang Yahudi, kami tidak boleh ngobrol dan bergaul dengan kamu sebab kamu orang kafir”; dan hal tersebut bisa menghalangi usaha penginjilan. Itulah sebabnya Paulus menyunatkan Timotius. Tetapi terhadap Titus tidak, karena Titus jelas papa mamanya orang kafir, maka tidak disyaratkan hal itu.
Selanjutnya ayat 4, Paulus keliling dari kota-ke kota, menyampaikan keputusan-keputusan yang telah diambil para rasul serta para penatua di Yerusalem –kemungkinan ini mengacu ke Kis.15– bahwa basically orang non-Yahudi dan orang Yahudi setara. Paulus menyadari dalam Kerajaan Allah tidak ada warganegara kelas satu atau kelas dua –warganegara kelas satu maksudnya orang-orang Yahudi yang sudah lebih dulu di situ, yang sudah banyak berkorban, dianiaya karena mengikut Yahweh, sedangkan orang-orang yang baru datang itu, orang-orang Roma, orang-orang Yunani, itu kelas dua. Paulus katakan: dalam Kerajaan Allah mereka duduk semeja, setara, tidak dibeda-bedakan Yahudi atau Yunani. Karena pesan itu, jemaat diteguhkan, dan hari demi hari jumlah mereka bertambah. Demikian salah satu kalimat refrein dalam cerita Kisah Para Rasul, yaitu Kerajaan Allah bukan tanpa halangan, namun penghalangnya tidak bisa menghalangi, dan jumlah mereka bertambah. Jumlah mereka makin bertambah, salah satunya karena sikap tidak membeda-bedakan.
Lalu mereka melintasi tanah Frigia dan tanah Galatia, tetapi Roh Kudus mencegah mereka untuk memberitakan Injil di Asia (ayat 6). Kita tahu, di kemudian hari Roh tidak mencegah misionaris yang lain memberitakan Injil di Asia, namun pada saat itu Paulus dicegah. Kenapa? Karena rupanya Roh Ingin mengarahkan dia masuk ke Makedonia, dan memberitakan Injil di Filipi. Jadi waktu Roh mencegah, bukan berarti selama-lamanya tidak boleh masuk daerah situ, siapapun dia, daerah itu sudah terkutuk, dsb., melainkan belum waktunya, mungkin bukan kamu tapi orang lain, pada waktu yang lain, dst.
Allah memanggil mereka untuk memberitakan Injil di tempat-tempat yang bukan Asia, khususnya di Makedonia. Dari sana lalu ke Troas, Samotrake, Neapolis, kemudian masuk ke Filipi. Filipi adalah kota di wilayah Makedonia; Makedonia adalah kerajaan dari papanya Aleksander, yaitu Philip, yang kemudian menjadi pusat helenisasi. Filipi kota yang Yunani banget. Di kota perantauan itu ada banyak orang Roma, orang-orang yang berkuasa, orang-orang yang bicara bahasa Latin. Di situ Paulus tinggal beberapa hari, lalu terjadilah peristiwa-peristiwa dalam pasal ini.
Ceritanya dimulai dari suatu hari Sabat, hari perhentiannya orang Yahudi, dan mereka pergi untuk beribadah di tempat ibadah orang Yahudi (ini mengindikasikan orang-orang Kristen mula-mula masih sangat sadar akan konteks tersebut). Namun mereka tidak menemukan tempat ibadah orang Yahudi di dalam kota (ini menandai bahwa di kota Filipi, populasi orang Yahudi tidak besar), maka mereka pergi ke luar kota mencari tempat ibadah di tepi sungai (ini logis karena orang Yahudi banyak memakai air –dan airnya tidak boleh stagnan– untuk membasuh diri secara ritual). Mereka menemukan tempat sembahyang Yahudi (proseuche); ini bukan sinagoge, ini tempat ibadah yang lebih kecil, karena populasi orang Yahudi di situ tidak banyak.
Mereka kemudian bertemu dengan seorang perempuan bernama Lidia dari Tiatira, kemungkinan orang Yunani, dia penjual kain ungu. Kain ungu merupakan kain yang mahal, hanya dipakai orang-orang yang bisa afford. Kalau zaman sekarang, warna apapun –entah merah, hijau, biru, atau ungu– harganya sama saja, harga tidak tergantung warna melainkan tergantung bahan dan ukuran. Tapi pada zaman itu harga sangat tergantung warna, khususnya warna ungu, karena pewarna ungu mahal banget, diambilnya dari keong kecil yang hanya ada di daerah tertentu, dan satu keong hanya bisa menghasilkan mungkin setengah tetes pewarna ungu, memerlukan proses yang panjang, labor intensive, dsb., lagipula hanya beberapa orang yang bisa mengetahui rahasia bikin pewarna tersebut, dst. Ini seni yang mahal. Jadi kita bisa bayangkan Lidia penjual kain ungu ini kayak apa kelasnya, mungkin kayak pedagang tekstil yang suplai ke Vera Wang, atau ke manalah yang high end, bukan kelas rakyat.
Dikatakan juga, dia seorang yang beribadah kepada Allah. Ini mungkin seperti Kornelius, seorang kafir yang beribadah kepada Allahnya orang Yahudi. Kornelius itu perwira pasukan Italia, posisinya tinggi, tapi dia beribadah kepada Allahnya orang Yahudi –walaupun orang Yahudinya jual mahal, tidak segera memperhitungkan Kornelius sebagai orang dalam, buktinya Petrus enggan masuk ke rumahnya. Lidia juga beribadah kepada Allah. Namun bagaimanapun mereka beribadah kepada Allahnya orang Yahudi, orang Yahudi tidak tentu terima mereka, ‘dari mukanya aja, gua sudah tahu nenek moyang lu siapa’, karena nenek moyang mereka menganiaya orang Yahudi, menganiaya agama mereka, urusan sunat, urusan kawin campur, dsb. Itu sebabnya mereka semakin keras mempertahankan sunat dsb., hal itu jadi penting buat mereka, padahal sebelum dianiaya tidak sepenting itu. Ada riwayat trauma antara orang Yahudi terhadap orang Yunani dan Romawi.
Lidia ini orang Yunani, dari kalangan yang elit, high end; dan dia tidak butuhlah pergaulan dengan orang Yahudi. Lalu kenapa dia lakukan? Kita tidak mendapati penjelasan dari Lukas; kelihatannya karena Allah menggerakkan hatinya untuk mencari Allah. Satu hal yang kita dengar dari Lukas di sini adalah ‘Tuhan membuka hatinya, ketika Paulus ngobrol dengan dia’. Jadi ini bukan seperti Yesus di Nazaret disuruh khotbah di sinagoge, ataupun Paulus waktu di kota yang lain; di sini dia hanya ngobrol informal sepertinya (kelihatannya setelah jam sembahyang), namun Tuhan membuka hatinya.
Tuhan membuka hati, itu sesuatu yang tidak bisa dipaksa, tidak bisa kita jadwal. Saya sendiri sebagai guru di sekolah Kristen, sering kali mbatin juga, ‘ini anak-anak sekolah Kristen, pagi siang malam diberikan renungan firman Tuhan, apa ‘gak enek??’ Saya sendiri tidak mengalami, karena meskipun dulu saya di sekolah Kristen, tidak pagi siang malam diberikan renungan firman Tuhan, sedangkan mereka ini begitu intensif, high dose,pagi siang malam minumnya konsentrasi tinggi firman Tuhannya. Namun kita tahu, orang bisa digerakkan hatinya oleh Tuhan; dan sebelum waktu itu datang, guru-guru harus bersabarlah, karena masing-masing anak beda-beda jadwalnya. Kadang-kadang kita bisa emosi juga, ‘gue lagi khotbah, muka lu muka nyolot, atau browsing entah apa, atau malah tidur’; tapi yah, memang belum Tuhan bukan hatinya. Atau mungkin juga salahnya yang bicara, ngomong lu membosankan, ngomong lu sendiri juga nyolot, dsb.
Bagaimanapun juga, Tuhan membuka hati Lidia di sini, lalu dia memperhatikan apa yang dikatakan Paulus; kalau Tuhan tidak membuka hatinya, mungkin dia tidak memperhatikan. Kemudian dia dibaptis bersama seisi rumahnya oleh Paulus. Gestur dibaptis ini berarti dia tidak mengakui dulunya sudah umat Tuhan, karena ini mengulangi ritual sebagaimana dijalani umat Tuhan pada zaman Musa yang dibaptis melewati Laut Teberau, pada zaman Yosua dibaptis di sungai Yordan dalam arti melewati Sungai Yordan, dst., yang intinya tubuh umat Tuhan dimurnikan lagi. Kali ini, yang bukan umat Tuhan, yaitu Lidia, penjual kain ungu, orang kafir itu, mengalami dimasukkan ke dalam umat Tuhan, dan dia mengajak juga seisi rumahnya.
Setelah itu, dia mengatakan kepada Paulus: “Kalau kamu sungguh-sungguh berpendapat aku percaya kepada Tuhan, mari menumpang di rumahku.” Ini motif yang nantinya akan diulangi dalam episode ini; dan yang juga Paulus katakan kepada Filemon dalam Surat Filemon: “Kalau engkau menganggap aku temanmu, maka lakukan dua hal. Yang pertama, berikan hospitality, penerimaan, buka rumahmu, kepada Onesimus; dan Onesimus bukan kembali kepadamu sebagai hamba, melainkan sebagai saudara yang terkasih.” Paulus juga mengatakan: “Kalau kamu anggap saya memang saudaramu, sesamamu, siapkan juga tempat tumpangan buat saya”. Jadi ada motif itu dalam Kekristenan, bahwa ketika Kerajaan Allah datang di dalam Yesus, maka orang-orang asing ini punya tempat di tengah umat Tuhan, mereka boleh menjadi tamu yang diterima; dan juga mereka boleh membuka rumahnya, umat Tuhan boleh diterima di rumah mereka, karena tidak ada perbedaan lagi. Petrus masuk ke rumah Kornelius. Paulus diundang masuk ke rumah Lidia.
Lidia mengatakan sebagai syaratnya adalah ‘kalau kamu sungguh menganggap aku percaya kepada Tuhan’. Menarik, ya. Kita mungkin bertanya, ini bagaimana ya, Lidia ‘kan sudah dibaptis, Paulus sudah approve baptisannya, mustinya sudah diwawancara sebelumnya, dsb., koq malah dia masih meragukan penerimaan Paulus, masih bilang ‘kalau kamu berpendapat aku sungguh-sungguh percaya’ ?? Dalam hal ini saya akan katakan bahwa percaya atau tidak percaya, ini bukan sesuatu yang hitam putih, ini sesuatu yang ada gradasinya, ada abu-abunya. Dan bukankah Saudara sendiri mengalami bahwa Saudara bukan sejak lahir melihat matahari langsung sudah Kristen? Bukankah Saudara mengalami proses menjadi percaya? Bukankah itu gradual? Itu proses; dan prosesnya bisa satu tahun, tiga tahun, sepuluh tahun, bisa juga satu jam, bisa juga sepuluh jam, sehari, atau dua hari –tapi proses. Dan dalam proses itu, ‘kan tidak harus kita mengatakan secara hitam putih. Itu poin yang pertama, bahwa ada gradasi. Poin yang kedua, bahwa ketika Lidia sudah jadi umat Tuhan di dalam Yesus, Paulus sebagai orang Yahudi boleh menumpang di rumah dia; sedangkan kalau Lidia tidak sungguh-sungguh umat percaya di dalam Yesus, Paulus tidak boleh menumpang di rumahnya, karena Paulus orang Yahudi, Lidia orang Yunani, nanti dia cemar kalau menumpang di rumah Lidia. Jadi di sini langsung mengetes Injil-nya Paulus, ‘kalau kamu menganggap aku sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, khususnya di sini Tuhan Yesus –yang di dalam datangnya Kerajaan Allah maka orang Yunani pun punya tempat sebagai satu umat, orang Romawi yang tidak bersunat punya tempat di meja perjamuan Tuhan– maka kamu juga punya tempat di rumahku, kamu akan dengan senang hati menumpang di rumahku’.
Lidia mendesak, dikatakan ‘sampai kami menerimanya’. Di sini pakai kata ‘kami’, berarti si penulis, yaitu Lukas, juga ikut. Mereka menumpang di rumah Lidia.
Ayat 16, dikatakan ‘suatu kali ketika kami pergi ke tempat sembahyang itu, kami bertemu dengan seorang budak perempuan yang kerasukan roh tenung’. Ini seperti cenayang. Roh tenung dalam bahasa Yunaninya python. Saudara tahu piton itu nama ular (ulat piton), jadi di sini sama akar katanya, python adalah naga penjaga oracle di Delphi, semacam makhluk mitologis. Dalam Oracle at Delphi, orang itu menghirup asap dari bokor pembakaran narkotika, entah daun apa, mungkin opium atau koka, dsb., dan dia nge-fly, lalu dia bisa bicara yang enggak-enggak, yang dipercaya sebagai perkataan dari para dewa, misalnya, “Kamu kalau berperang ke sana, nanti mati terbunuh, tapi prajuritmu menang juga”, dsb.
Kembali ke kisahnya; lewat ramalan-ramalan budak perempuan itu, tuan-tuannya mendapatkan uang. Lalu di kemudian hari perempuan tersebut tidak bisa lagi, karena Paulus terganggu banget waktu perempuan ini membututi Paulus serta rombongan ke mana-mana, dengan terus-menerus berseru seruan yang isinya sebetulnya kebenaran. Perempuan itu berseru: “Orang-orang ini hamba Allah Yang Mahatinggi”. Tentu saja ini benar, memang Paulus dan Lukas adalah hamba Allah Yang Mahatinggi, bukan hamba Allah Yang Maharendah, bukan apalah lainnya. Juga seruannya: “Mereka memberitakan kepadamu jalan kepada keselamatan”. Ini juga benar. Paulus ‘kan bukan memberitakan jalan kematian, atau Paulus cuma cari makan, atau lainnya. Namun ini yang mengatakan adalah roh tenung, roh Phyton. Promosi dari setan, Paulus tidak gubris, bahkan dia menghentikannya, dia mengatakan: “Dalam nama Yesus Kristus kuperintahkan engkau keluar dari perempuan ini.” Lalu roh itu seketika keluar. Promosinya masih jalan atau tidak? Tidak. Jadi di sini seakan-akan Paulus rugi, padahal perempuan itu ngomongnya juga benar. Dalam hal ini, yang mereka concern bukanlah bahwa pekerjaan mereka sukses atau apapun, melainkan bagaimana melakukan yang benar, maka pelayanannya setan tidak diterima oleh Tuhan.
Tuan-tuan itu melihat sumber penghasilannya lenyap, maka jadi marah, terganggu. Ini berarti bagi mereka agama itu toleran sih kalau bicara ideologi, tapi kalau bicara periuk nasi jadi terganggu, mereka marah. Mereka pun menyeret Paulus ke pasar untuk diadili. Pengadilan ini cacat hukum prosesnya, mereka menghasut orang-orang atas dasar politik identitas: ‘orang ini orang Yahudi, dia mengacau kota kita, mengajarkan adat-istiadat yang kita tidak boleh turuti karena kita orang Roma’.
Lalu orang banyak bangkit menentang mereka. Pembesar-pembesar dan penguasa-penguasa kota turun tangan, just untuk menyenangkan orang banyak. Yang digambarkan Lukas di sini kurang lebih seperti pengadilan Yesus, pengadilan mobokrasi, pengadilan yang dipimpin oleh mob, orang banyak. Ini populisme, demokrasi dalam pengertian yang dipakai oleh Plato, demokrasi yang maksudnya mobokrasi, demokrasi yang membunuh Sokrates, demokrasi yang tidak bagus; bukan berarti Plato tidak setuju pemerintahan republik, dia tidak setuju mobokrasi, populisme, yang ‘pokoknya orang banyak sudah mejatuhkan vonis maka kita ikuti’. Dan itulah yang terjadi di kisah ini. Mereka menghasut orang banyak atas dasar politik identitas, dan juga orang Yahudi jumlahnya sedikit maka rentan jadi kambing hitam, maka Paulus langsung dihukum. Dia didera berkali-kali dan dijebloskan ke penjara, tanpa pengadilan yang proper. Pengadilannya cacat hukum, mendengarkan sepihak saja, tidak pernah Paulus ditanya dia orang apa, apa yang dia inginkan. Kalau mereka tanya, mereka tidak akan berani mendera Paulus, karena Paulus orang Roma.
Orang Roma dilindungi hukum; sebagai orang Roma, Paulus tidak boleh didera tanpa pengadilan, tanpa alasan yang jelas, hanya karena dia Yahudi. Orang Roma memang beberapa dari kalangan Yahudi, karena pemerintah Roma merasa utang budi pada mereka berhubung kotanya pernah dipakai jadi base militer, maka warga kota tersebut diberikan kewarganegaraan Roma tanpa bayar, pokoknya lahir di kota itu maka otomatis dapat. Paulus sepertinya begitu, sejak lahir mendapatkan kewarganegaraannya tanpa bayar, sementara orang yang kerja jadi militer Romawi, yang kadang-kadang orang Yunani atau lainnya, kadang-kadang harus bayar mahal untuk itu. Kembali ke ceritanya, harusnya mereka menanyakan dulu Paulus dan Silas, kamu siapa, dari mana, tapi ini langsung digebuki tanpa ditanya. Apakah Paulus tidak melawan dan bilang, “Woi! jangan gebukin sembarangan, nyesel lu, lu ‘gak tahu gua siapa!” Mungkin Paulus ngomong juga, tapi karena orang banyak jadi tidak kedengaran suaranya. Bagaimanapun, akhirnya dia dipenjara.
Di dalam penjara, waktu Paulus dan Silas berdoa memuji Tuhan malam-malam, tiba-tiba terjadilah gempa bumi. Lukas tidak mencatatnya sebagai ‘tiba-tiba tangan Tuhan menolong, ada malaikat Tuhan menggoyangkan bumi’. Sebelumnya, mengenai pembebasan Petrus, Lukas mencatat begitu, bahwa pembebasan Petrus itu seperti tangan Tuhan secara langsung berkarya, mengirim malaikat, melepaskan belenggu Petrus, membuka pintu penjara, Petrus dikeluarkan, Petrusnya mungkin masih separuh tidak percaya, baru kemudian dia menyadari sudah di luar, tidak di dalam penjara, dan ternyata itu beneran, tidak cuma mimpi. Tapi itu kisahnya Petrus, sedangkan kisahnya Paulus tidak begitu. Gempanya natural, karena daerah Filipi memang kadang-kadang terjadi gempa; namun bahwa terjadi gempa pada saat Paulus di dalam penjara, terjadi gempa sedemikian hebat sehingga pintu penjaranya terbuka, dst. seluruh rangkaian tersebut, itu bukan kebetulan. Jadi peristiwanya sih boleh natural, sesuatu yang bisa dijelaskan lewat hal-hal biasa, namun rangkaian peristiwanya, ujungnya ke mana, maknanya apa, itu bisa kita katakan, “Ini adalah tangan Tuhan.”
Sayangnya, dalam benak orang modern sering kali kategorisasinya keliru, kategorisasinya: kalau gue sudah tidak bisa jelasin, itu tangan Tuhan; atau kalau gue ‘gak bisa kontrol, itu tangan Tuhan. Jadi orang modern punya dua kategori: sains dan teknologi. Sains bicara epistem, knowledge, ‘kalau gue ‘gak bisa jelasin, gue ‘gak bisa lacaksebab akibatnya, itu misteri, mukjzat’; atau yang kedua: ‘yang gue ‘gak bisa kontrol, ini force majeure (gempa bumi, banjir, dsb.), tangan Yang Mahakuasa yang melakukannya’. Tapi itu kategori modern.
Kategori penulis Alkitab bukan kayak begitu, bukan mengatakan ‘kalau saya tidak bisa jelasin, itu dari Tuhan’. Bahwa saya tidak bisa jelasin, bisa saja sekadar saya tidak bisa jelasin, ilmunya belum nyampe, sains atau teorinya belum tersusun, secara empris kita belum bikin eksperimennya, kita belum terpikir penjelasannya; atau itu sesuatu yang simply kamu tidak tahu penjelasannya –dan itu bisa dari Tuhan, bisa juga dari setan. Jadi, yang saya tidak bisa jelasin, tidak tentu artinya tangan Tuhan. Demikian juga mengatakan ‘yang lebih besar dari kuasa kita, yang manusia sudah tidak mampu, itu pasti dari Tuhan’, itu ‘gak tentu, karena yang manusia tidak mampu, itu mungkin saja dari alam. Dan yang kedua, yang manusia mampu itu memangnya murni dari manusianya?? Kalau manusia mampu, selalu ada penyebab yang pertama, yaitu Tuhan yang menciptakan manusia itu, Tuhan yang menopang hidup manusia itu, Tuhan yang memimpin manusia itu. Jadi, manusia mampu, tidak tentu artinya Tuhan tidak melakukan; manusia tidak mampu, tidak memastikan Tuhan yang melakukan. Manusia tidak tahu, ya, tentu Tuhan yang melakukan; manusia tahu, tidak tentu bukan Tuhan yang melakukan. Kita musti clear di sini. Kategori kita musti kita ganti, karena kategori modern tadi keliru.
Jadi kategori yang benar bagaimana? Ini: yang Tuhan lakukan, ya yang Tuhan lakukan; yang setan lakukan, ya yang setan lakukan; yang orang jahat lakukan, ya yang orang jahat lakukan. Begitu saja. Yang Tuhan lakukan basically ada di belakang semuanya, termasuk bahwa orang jahat bisa melakukan yang jahat, karena partly Tuhan yang memberikan kemampuan. Hitler koq bisa mengobarkan perang begitu besar, membunuhi orang puluhan juta? Jawabannya: karena Tuhan menopang kesehatannya, dia bisa lahir dan tidak mati, sementara kakak-kakaknya ada yang lahir lalu mati, sedangkan dia bisa tumbuh sampai dewasa, tidak mati muda, waktu ikut perang pun bisa kembali dengan sehat. Itulah yang terjadi; partly karena ada pemeliharaan Tuhan. Tapi, apakah Tuhan bertanggung jawab atas kejahatan Hitler, Tuhan memberkati Hitler sampai dia sukses? Tidak. Kuasa iblislah yang ada di belakang Hitler.
Intinya, kita mau mengatakan bahwa Paulus dan Silas itu dibebaskan karena gempa bumi; dan mengenai gempa bumi ini, Lukas tidak mengatakan secara eksplisit bahwa Roh Allah atau malaikat menggoyangkan bumi. Kita tahu Tuhan yang menegakkan bumi di atas alasnya, bahwa bumi ini bisa stay pada course-nya, melintasi matahari, rotasinya konstan, dsb., itu semua karena providensia Ilahi, demikian juga peristiwa yang natural tadi bisa terjadi pada waktu itu, kepada orang itu, pada situasi yang begitu. Coba bayangkan kalau gempa buminya terjadi kemarinnya waktu Paulus belum dipenjara, lalu waktu Paulius di penjara tidak terjadi gempa bumi, kira-kira kepala penjara bertobat atau tidak? Kemungkinan besar tidak –yang pasti tidak bertobat dengan cara sebagaimana Lukas catat. Jadi, gempa bumi itu, yang adalah peristiwa alam, terjadi cukup sering di Filipi, tapi koq terjadinya bisa waktu itu, dalam situasi itu. Kepala penjaranya baru dititipi tanggung jawab menahan orang Yahudi ini, dan seperti biasanya dia mengunci pintu penjara, pulang, mandi, mengobrol dengan istri dan anak-anaknya –hari yang biasa. Tiba-tiba terjadi gempa. “Ma, saya mau cek dulu ya, tahanan-tahanan pada kabur ‘gak, keras sekali gempanya.” Setiba di sana, ternyata pintunya terbuka. Langsung dia cabut pedang, karena kalau sampai ketahuan semua kabur, dia harus bertanggung jawab dan lebih menderita, mendingan bunuh diri saja. Paulus lalu bereteriak: “Jangan, kami semuanya masih ada di sini!”
Kepala penjara lalu menyuruh membawa obor, berlari masuk, dengan gemetar sujud di hadapan Paulus dan Silas. Dia mengatakan, “Tuan-tuan, apakah yang harus aku perbuat, supaya aku diselamatkan?” Tentu maksudnya ‘diselamatkan’ ini tidak bisa kita artikan sepenuhnya sebagaimana yang orang Kristen atau Yahudi pikirkan, karena dia ini orang Romawi, namun kurang lebih ini bukan tidak ada hubungannya dengan si tukang tenung dalam kisah sebelumnya yang ke mana-mana menyerukan, “Orang ini hamba Tuhan yang mahatinggi, memberitakan jalan keselamatan!” –ada istilah ‘keselamatan’, jalan menuju hidup yang benar-benar penuh, keselamatan, soter (Soter Mundi adalah gelar dari Oktavianus Agustus, juruselamat dunia). Jadi dalam pengertian Romawi memang ada juga pengertian soter, pengertian akan juruselamat, mengenai diselamatkan; dan mereka mengaitkan itu dengan hidup yang ada damai, ada kecukupan makan, keamanan, dsb. –hidup yang penuh, good life. Tapi, a good life dalam situasi gempa bumi, sementara dirinya dititipi tanggung jawab menahan para tahanan, dan sekarang pintunya terbuka, dan ini sepertinya pengadilan Ilahi, maka kira-kira kita bisa menangkap pengertian si kepala penjara ini mengenai diselamatkan dari apa, yaitu diselamatkan dari kejahatan dunia ini, dari hukuman, dari Tangan yang besar itu yang menghukum manusia atas segala kejahatannya.
Lalu Paulus bilang apa? Paulus tidak bilang percayalah kepada Tuhannya orang Yahudi, atau kepada Tuhannya Abraham; dia bilang “Percayalah kepada Tuhan Yesus” –spesifik, yaitu kepada Tuhan Yesus, Kurios Yesus, Kaisar Yesus, Raja Yesus– “dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu.” Lalu Paulus memberitakan firman Tuhan kepada kepala penjara itu dan semua orang di rumahnya. Dalam hal ini, bukan papanya dibaptis lalu seisi rumah ngekor; yang terjadi adalah: papanya dan seisi rumahnya mendengar pemberitaan firman Tuhan, mereka masing-masing percaya, lalu mereka dibaptiskan.
Selanjutnya, kepala penjara itu membawa Paulus dan Silas ke rumahnya. Ini motif yang kedua. Tadi kita melihat Paulus diundang ke rumah Lidia, sekarang Paulus dan Silas diundang ke rumahnya orang kafir yang lain, si kepala penjara, dan menerima hospitality, dibasuh lukanya. Mirip seperti yang diterima oleh orang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho lalu dirampok, dan kemudian ditolong oleh orang Samaria. Ini ilustrasi Yesus untuk menjawab pertanyaan jebakan ‘jadi siapakah sesamaku manusia’ untuk menguji Yesus supaya mereka bisa meloloskan diri dari perintah ‘kasihilah sesamamu, termasuk musuhmu’, yang pastinya orang-orang Yahudi. Namun dalam ilustrasi Yesus itu, yang namanya ’sesama’, tidak hanya yang mukanya sama, agamanya sama, pandangan politik/sosialnya sama, melainkan mereka yang percaya kepada Yesus, meskipun pandangan politiknya beda, mukanya beda, segala kepentingannya beda, bahkan secara historis punya riwayat trauma.
Paulus diterima di rumah orang kafir itu, yang kemudian menghidangkan makanan. Karena mereka sekarang sudah satu umat di dalam Yesus, Paulus boleh makan makanan itu, walaupun dia orang Farisi. Bayangkan kalau Paulus tidak percaya kepada Yesus, dia tidak mungkin makan meskipun lapar, karena dia tidak boleh makan semeja dengan orang kafir, makan makanan orang kafir. Tapi karena di dalam Yesus segala bangsa beroleh jalan masuk kepada Tuhan, maka kepala penjara pun adalah saudara Paulus, dan mereka bisa makan bersama dengan gembira.
Siangnya, pembesar-pembesar kota menyuruh pejabat-pejabat kota pergi kepada kepala penjara, ingin melepaskan kedua orang itu. Kita tidak diberitahu Lukas bahwa si kepala penjara mengabari pembesar-pembesar kota lewat WA, bahkan bisa jadi dia masih tidur setelah semua yang terjadi tadi. Di sini kemungkinan secara independen para pembesar kota itu mengambil keputusan; kemungkinan setelah mengalami gempa mereka menafsirkannya sebagai para dewa marah, atau dewanya orang-orang yang dipenjara itu membela mereka, dst., maka kemudian memerintahkan untuk Paulus dan Silas dilepaskan. Kepala penjara meneruskan pesan itu, saya kira dengan gembira setelah malam penuh euforia di mana dia dibaptiskan, makan dengan Paulus, dst. Mungkin juga siang itu dia sedang mikir-mikir, kalau pembesar-pembesar kota datang, lalu lihat para tahanan ini ada di rumahnya, ngopi-ngopi bareng dia, bagaimana menjelaskannya?? Mau kembalikan Paulus ke penjara lagi, ‘kan tidak mungkin; lalu bagaimana?? Dan tiba-tiba dengan kabar, pembesar kota bilang, “Keluarkan saja orang-orang itu, dengan damai”.
Tapi Paulus tidak mau. Paulus bilang, “Kami tanpa diadili sudah dihukum, padahal kami ini warganegara Roma. Kami dihukum di depan umum” –ini masalah hukum, lho, saya bisa laporkan kalian kepada atasan-atasan kalian. Para pembesar kota jadi takut karena mereka baru tahu Paulus dan Silas ini warga Roma. Mereka disuruh Paulus dan Silas untuk datang; “Mereka menjebloskan kami tanpa pengadilan, sekarang mau mengeluarkan kami dengan diam-diam; tidak mungkin demikian. Biar mereka datang sendiri, memberikan kami amnesti (atau abolisi, atau apapun)”. Mereka pun datang ke sana, dan mereka memohon supaya Paulus dan Silas pergi meninggalkan kota itu. Bisa Saudara bayangkan, mereka memohon. Dulu Socrates dimohon-mohon oleh murid-muridnya untuk kabur dulu, soalnya dia bahwa dipenjara itu sesuatu yang tidak fair, dan dia dihukum mati. Tapi Socrates tidak mau kabur, dia mau taat hukum, kalau dia kabur maka dia jadi exile, dan dia jadinya melakukan hal yang salah. Dia akhirnya mati minum racun dalam hukuman mati yang ditetapkan oleh orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan. Paulus dalam hal ini tidak demikian, Paulus dimohon-mohon oleh orang yang menghukum, “Please, tinggalkan kota kami, kamu boleh pergi”. Paulus kemudian malah berlambat-lambat, dia pergi ke rumah Lidia, bertemu dulu dengan saudara-saudara seiman di situ, tidak buru-buru, seolah menunjukkan who is the boss here, karena dia tahu siapa yang in charge, yaitu Tuhan sendiri. Setelah menyelesaikan urusan di rumah Lidia, barulah dia berangkat.
Apa hubungan semua ini dengan perjamuan Kudus yang akan kita rayakan hari ini? Saya coba kaitkan melalui 1 Kor. 11:25-26: Tiap kali kamu meminum anggur ini, memakan roti ini, merayakan Perjamuan Suci ini, menurut Yesus kamu melakukan peringatan (anamnesis; kebalikan dari amnesia/ melupakan) akan Yesus, kamu sedang mengingat-ingat, memperingati penderitaan Tuhan; dan kedua, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai kamu melihat muka Tuhan, sampai Yesus datang kembali. Jadi ada sisi peringatan, komemorasi, bahwa Perjamuan Suci menghidupkan kembali yang sudah di belakang kita; tapi juga mempersaksikan apa yang terjadi sekarang sampai ke depan, maka ada sisi ekspektasi, pengharapan yang kita tunggu di depan, yaitu Tuhan Yesus akan datang kembali.
Perjamuan Suci ini adalah suatu tanda; dan tanda merupakan salah satu kata kunci dalam Kisah Para Rasul. Ada signs (semeia) yang dikerjakan oleh Tuhan. Signs yang sebetulnya diminta oleh orang-orang yang tidak percaya, tapi Tuhan Yesus tidak berikan; signs yang Tuhan Yesus berikan cuma satu, yaitu tanda nabi Yunus. Tanda nabi Yunus bukan cuma Yesus tinggal 3 hari di perut bumi kemudian dibangkitkan, tapi tanda di mana orang kafir justru lebih bersikap kooperatif terhadap Tuhan, sementara orang Israel lebih bersikap kafir, lebih menolak Tuhan. Tanda Yunus itu juga terjadi polanya dalam Kisah Para Rasul. Kita melihat di sini, yang menentang datangnya Kerajaan Allah kebanyakan komunitas orang Yahudi; sementara orang-orang yang disebut kafir (orang Yunani, Romawi), seperti Lidia, penjaga penjara, dan juga orang-orang dalam kisah-kisa yang lain, justru datang kepada Tuhan. Itu adalah tanda. Tuhan menghadirkan banyak tanda.
Tadi sudah dibahas bahwa tanda dalam pikiran kita yang modern, sering kali kita cari-cari dalam hal-hal yang luar biasa. Tapi, yang luar biasa itu tidak tentu tanda, lho; yang luar biasa itu sekadar jarang terjadi namun terjadi. Itu cuma KLB (kejadian luar biasa). Misalnya, anak umur 3 tahun main piano jago banget, itu KLB saja, sedangkan kalau umur 30 tahun lebih banyak. Itu bukan mukjizat; atau tidak tentu mukjizat, hanya KLB saja. Dan kejadian luar biasa yang jarang terjadi itu, sebenarnya cukup sering terjadi. Maksudnya begini: ‘jarang’, itu kita hitung dari persentase, probabilitas; 1 kejadian per 1 juta kejadian, itu artinya jarang, tapi kalau kesempatannya 1 trilyun maka yang 1/1juta itu jadi cukup sering terjadi, apalagi kita sekarang punya serombongan wartawan yang bisa memviralkan peristiwa-peristiwa yang jarang itu, maka kamu akan sering lihat di media-media peristiwa-peristiwa yang jarang terjadi itu. Itu sebabnya jangan buru-buru bilang, “Wah, ini tanda, ini mukjizat”, kamu cukup bilang, “Itu KLB; bisa tanda, bisa bukan tanda”.
Tanda, kadang-kadang jarang terjadi, tapi sering kali adalah hal yang sering terjadi. Tanda, lebih sering merupakan hal yang ordinary, yang sering terjadi, ketimbang hal yang jarang terjadi. By definition hal yang jarang terjadi memang jarang terjadi, hal yang sering terjadi memang sering terjadi, sehingga tanda, kalau itu merupakan sesuatu yang keduanya (hal yang jarang dan sering terjadi), maka tanda yang sering terjadi lebih sering terjadi. Jadi, kalau kita anggap semua tanda berasal dari Tuhan, maka kita akan bilang yang lebih sering itulah yang Tuhan lebih suka lakukan.
Ibaratnya kamu disuruh pilih es krim, vanila atau stroberi; dan dari 1000 kali diberi kesempatan pilih, 999 kali kamu pilihnya stroberi, 1 kali vanila. Artinya kamu lebih suka stroberi atau vanila? Stroberi. Nah, Tuhan melakukan sesuatu dengan 1 cara, dan 1 juta kali melakukan dengan cara lain, maka kalau kita didesak untuk memilih kira-kira Tuhan lebih senang yang mana, kita akan bilang yang sering itu (yang 1 juta kali). Tapi kita ini membesar-besarkan yang jarang terjadi, ‘wah ini pasti dari Tuhan’ –soalnya jarang terjadi. Kebanyakan orang kalau sakit perut maka minum Norit atau obat apalah –dan bisa jadi berdoa juga– lalu sembuh; itu sering terjadi, dan kita mengatakan, “Biasalah, bukan pekerjaan Tuhan”. Tapi kadang-kadang terjadi orang sakit perut dan dia tidak ngapa-ngapain, tidak minum obat –mungkin berdoa juga– dan sembuh; lalu kita bilang, “Wah, gue ‘gak minum obat, soalnya di tengah hutan, dsb. Ini pasti pekerjaan Tuhan”. Saya akan katakan, ya, bisa jadi, tapi jangan lupa bahwa yang minum Norit dan sembuh tadi juga pekerjaan Tuhan –yang Dia lebih sering lakukan. Itu stroberi-nya, bukan vanila-nya. Kira-kira seperti itu mungkin. Poin saya: hal yang luar biasa, jarang terjadi, tidak pasti berasal dari Tuhan, tidak tentu adalah tanda; dan tanda tidak tentu jarang terjadi, bisa jadi sering terjadi, bisa juga jarang terjadi, tapi tanda sudah pasti merujuk pada datangnya Kerajaan Allah.
Tanda yang hari ini kita rayakan adalah tanda yang sering terjadi, yaitu tanda anggur dan roti. Roti tiap hari kita makan, kalau ayam panggang tidak tiap hari. Anggur tiap hari kita minum (orang Israel zaman itu), hal biasa, bukan whisky atau apapun. Ini hal yang ordinary, tapi hal yang ordinary ini merujuk pada realitas datangnya Kerajaan Allah, datangnya pemerintahan Tuhan. Jadi, ini semeia, tanda. Dan hal yang kedua, tanda/mukjizat yang ada di tengah kita adalah hadirnya Gereja. Kata Agustinus, mukjizat paling besar yang Tuhan pernah lakukan dalam dunia ini adalah adanya Gereja, Gereja belum mati, Gereja terus tumbuh. Adanya persekutuan umat Tuhan, di mana kita percaya akan datangnya Kerajaan Allah, dan orang-orang itu berasal dari berbagai kalangan, dikumpulkan dalam Yesus, itu bukan sekadar imagined community sebagaimana Ben Anderson katakan, melainkan improbable community. Mengutip sedikit dari sub-judul bukunya Elizabeth Pisani, “Indonesia Etc.: Improbable Nation”, bahwa kita ini improbable nation, kayak ‘gak mungkin banget namun terjadi, demikianlah Gereja adalah improbable community. Bagaimana bisa Lidia duduk bersama Paulus seorang Farisi?? Can you imagine, perempuan kafir duduk makan bersama seorang Farisi terhormat, murid Gamaliel, dan mengundang dia untuk menumpang di rumahnya, duduk merayakan datangnya Kerajaan Allah?? Itulah yang kita akan rayakan hari ini di dalam Perjamuan Kudus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading