Kalau membandingkan berbagai macam terjemahan, ada perbedaan pemenggalan dalam perikop-perikop yang kita baca ini. Misalnya, dalam salah satu terjemahan Bahasa Inggris, pemotongannya adalah ayat 37 dan 38 masih jadi satu, lalu ayat 39 masuk perikop yang baru; sementara dalam terjemahan Bahasa Indonesia, perikop baru dimulai di ayat 37.
Di sini LAI memberi judul “Keturunan Abraham yang Tidak Berasal dari Allah”; ada pembedaan antara pengertian secara fisik/ jasmani dengan pengertian dalam dunia rohani. Di perikop sebelumnya, waktu Yesus mengatakan tentang kebenaran yang memerdekakan, orang-orang Yahudi menjawab, “Kami adalah keturunan Abraham, tidak pernah menjadi hamba siapapun”. Yesus membenarkan hal tersebut, bahwa mereka adalah keturunan Abraham, meskipun tidak benar yang mereka katakan bahwa mereka belum pernah jadi hamba siapapun. Bukan saja dalam pengertian masa lampau orang Yahudi, tapi juga saat itu pun mereka sedang diperbudak; dan bukan hanya diperbudak oleh penjajahan Romawi, tapi juga terutama diperbudak oleh dosa.
"Aku tahu, bahwa kamu adalah keturunan Abraham, tetapi kamu berusaha untuk membunuh Aku karena firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu” (ayat 37). Ada satu prinsip penting yang kita bisa belajar di sini, bahwa ketergantungan akan sesuatu hal secara fisik/ jasmani, yang bagi sebagian orang merupakan satu kebanggaan dan gambaran identitas mereka, sebenarnya dari perspektif Kerajaan Allah hal itu sama sekali tidak menolong. Kita bisa punya tetangga orang-orang yang sangat diberkati Tuhan –mungkin misionaris atau pendeta– kita bisa membanggakan diri kenal pendeta besar misalnya ‘dia itu teman SD saya, keluarga saya’, kita juga bisa bilang ‘nenek saya menjabat posisi penting dalam kepemimpinan gereja, papa saya ini, om saya itu, mama saya ini’, dan berbagai macam koneksi-koneksi lainnya, tapi ini sama sekali tidak berguna kalau menurut Alkitab. Orang-orang Yahudi ini memang betul keturunan Abraham secara jasmani, tapi Yesus mengatakan “kamu berusaha untuk membunuh Aku karena firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu”. Jadi tidak ada poinnya bermegah keturunan Abraham dan punya Taurat, seperti kita baca dalam surat Paulus, mereka bukan hanya bermegah karena keturunan Abraham tapi juga karena punya Taurat, tidak seperti bangsa-bangsa lain –dan mungkin kita juga bermegah bahwa kita punya teologi Reformed.
Yesus mengatakan, “Firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu”. MacArthur, seorang pengkotbah Reformed, menafsir perkataan ini yang bisa diterjemahkan agak bebas dalam pengertian ‘firman-Ku tidak advanced, tidak ada advancement, dalam kehidupanmu’. Jadi bukan karena mereka tidak pernah dengar firman tapi bahwa firman itu sepertinya tidak berkembang dalam kehidupan mereka; ada sesuatu yang salah di sini. Orang Israel ini adalah bangsa yang pernah menerima Taurat, berarti mereka ada firman Tuhan, dan kehadiran Yesus, Firman hidup itu, juga begitu nyata bersama-sama dengan mereka, tapi Yesus lalu mengatakan, “Firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu”.
Kalau kita melihat dalam pemikiran Yohanes yang seringkali membawa kepada pemikiran dualis –negatif dan positif, tidak ada jalan tengah—maka di sini cuma ada 2 macam orang: orang yang betul-betul percaya dan tinggal tetap di dalam firman, dan mereka yang tidak percaya sehingga juga tidak tinggal di dalam firman. Memang ada perdebatan dalam commentary tentang kalimat ‘percaya’ di ayat 30 dan 31, sebagian penafsir mengatakan bahwa ini bicara orang yang sama, yaitu orang yang “percaya” tapi kemudian mau melempari Yesus dengan batu (saya cenderung kepada penafsiran ini), dan tafsiran lain mengatakan bahwa ini memang orang yang percaya –Alkitab tidak mengkritik di sini– sehingga waktu dikatakan mereka mau melempari Yesus dengan batu, itu pastinya kelompok yang lain. Baik kita mengikuti tafsiran bahwa ini kelompok yang sama ataupun ini kelompok yang berbeda, yang pasti adalah bahwa orang yang sungguh-sungguh percaya, dia tinggal tetap di dalam firman –dalam hal ini tidak ada perbedaan penafsiran.
Tetapi di sini Yesus mengatakan “Firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu –kamu tidak tinggal di dalam firman– kamu berusaha untuk membunuh Aku.” Kalimat ini bukan pertama kalinya keluar di bagian ini. Dalam perikop-perikop sebelumnya, waktu mereka mendengar Yesus mengatakan “kamu berusaha membunuh Aku”, mereka mungkin bingung ‘siapa juga yang mau membunuh Kamu??’ karena di bagian itu sebetulnya mereka sedang kagum dengan kotbah Yesus tapi Yesus malah bicara “kamu mau membunuh Aku”. Kalau kita baca secara sepintas, Yesus ini jadi seperti paranoia atau entah bagaimana tidak ada yang mau bunuh Dia tapi Dia merasa mau dibunuh, Yesus seperti terlalu sensitif mengira orang mau membunuh Dia, jangan-jangan Dia ada sedikit sakit jiwa, bahkan mereka bilang Yesus itu kerasukan setan, dsb. Tapi setelah kita baca pasal 8 bagian terakhir, ternyata betul mereka mau membunuh Yesus. Jadi Yesus bukan paranoia atau terlalu sensitif tapi ini memang penggambaran yang apa adanya, yang mungkin pada saat itu mereka belum sadar, namun kebencian tersebut sudah ada. Yesus menubuatkan “kamu berusaha membunuh Aku”, Dia menyatakan apa adanya yang berada di dalam diri mereka.
“Apa yang Kulihat pada Bapa, itulah yang Kukatakan, dan demikian juga kamu perbuat tentang apa yang kamu dengar dari bapamu” (ayat 38). Apa maksudnya ‘bapa’? Kalau kita menyebut Abraham itu ‘bapa’, maksudnya apa; kalau kita menyebut Allah itu ‘Bapa’, maksudnya apa? Menurut pengertian yang diajarkan Yesus Kristus, kalau kita menyebut ‘Bapa’, maksudnya kita ada kesatuan perkataan, kesatuan karya, apa yang dikatakan adalah perkataan Bapa, apa yang dikerjakan adalah pekerjaan Bapa; itulah artinya bahwa kita dan Bapa adalah satu, kita betul-betul anak. Tapi kalau perkataan kita tidak sinkron dengan yang dikatakan oleh Bapa, dan yang kita kerjakan juga bukan pekerjaan Bapa, berarti Dia bukan Bapa kita, bapa kita adalah yang lain. Yesus, Sang Anak, mengatakan: “Apa yang Kulihat pada Bapa, itulah yang Kukatakan”; Yesus melihat dari Bapa dan Dia mengatakan. Yesus menyebut Allah itu Bapa (Allah Bapa), dan Dia sendiri adalah Allah Anak, lalu Dia mengatakan kepada mereka: “… demikian juga kamu perbuat tentang apa yang kamu dengar dari bapamu”. Jadi kamu melakukan apa, itu mencerminkan ‘bapa’ yang kamu percaya itu siapa. Sampai di sini, belum ada perkataan bahwa bapa mereka adalah Iblis (ayat 44), tapi kategorinya adalah tentang ‘yang dikatakan dan yang dilakukan/ diperbuat’.
Tapi mereka bukannya memeriksa diri, melihat kepada dirinya berdasarkan teguran yang diberikan oleh Yesus Kristus, mereka malah mengatakan: "Bapa kami ialah Abraham" (ayat 39). Tadi mereka sudah bilang “kami keturunan Abraham, tidak pernah jadi budak siapapun”, dan Yesus mengatakan “memang kamu keturunan Abraham”, yang dalam bahasa Yunani pakai istilah ‘sperma’ –kamu sperma Abraham. Mereka mengatakan "kami adalah keturunan Abraham (sperma Abraham), bapa kami ialah Abraham”, Yesus mengatakan "Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham (tekna Abraham), tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham” (ayat 39). Jadi di sini mereka bicara tentang sperma, Yesus bicara tentang tekna. Mereka bicara ‘kita ini secara jasamani keturunan Abraham’, mereka seperti orang-orang yang kita bicarakan tadi, yang punya kebanggaan karena kenal orang ini dan itu – dan memang boleh saja– tapi di sini Yesus bicara dunia rohani, sedangkan bagian yang jasmani itu sama sekali tidak ada pentingnya. Yang Yesus katakan adalah: ‘kamu menyebut diri keturunan Abraham, seandainya kamu betul-betul anak-anak Abraham, orang merdeka itu, –yang bukan sekedar sperma melainkan tekna— dan kamu juga anak-anak yang merdeka, kamu tentunya mengerjakan pekerjaan yang dilakukan juga oleh Abraham si orang merdeka itu. Tapi kenyataannya kamu tidak mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham. Jadi tidak ada kontinuitas pekerjaan dengan yang kamu sebut ‘bapa’ di sini, dan tetap saja kamu bersikeras dia itu bapamu’. Ini bicara tentang ‘kesatuan dengan Bapa’ dalam pengertian yang sangat konkrit, yaitu kesatuan pekerjaan (the unity of work).
Kalau kita adalah anak-anak Allah, kita mengerjakan pekerjaan Allah. Yesus mengatakan, kalau kita tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan Allah, berarti “bapamu bukan Allah”; dan dalam dualisme Yohanes, itu berarti cuma sisa satu yang lain, yaitu Iblis, tidak ada yang di tengah-tengah. Dalam dunia ini, pilihannya adalah antara kita adalah anak-anak Allah atau kita anak-anak Iblis, antara kita terang atau kita gelap, cuma itu saja, tidak ada jalan tengah, tidak ada titik netral yang bukan anak Iblis tapi juga belum anak Allah. Hanya ada anak Iblis atau anak Allah –antitesis sederhana saja.
Saya mendengarkan kotbah dari MacArthur, kalau di Barat ada website untuk menelusuri nenek moyang kita sampai ke atas. Waktu ditelusuri, kita berharap ketemu orang-orang yang jadi berkat dan bukan penjahat-penjahat, karena kalau penjahat, berarti kita ini keturunan penjahat. Saya tinggal di Perth. Perth itu sesumbar ‘kita ini tidak seperti Sydney dan Melbourne karena Perth bukan koloni penjahat’, karena bagi orang Perth, Western Australia itu koloni yang didirikan bukan untuk penjahat-penjahat dari Inggris yang dilempar ke sana, jadi ada kebanggaan bukan keturunannya penjahat; sedangkan di bagian yang satunya adalah koloni-koloni penjahat. Orang Barat biasa menelusuri nenek moyangnya, tapi orang Timur sulit. Nama belakang saya Kristanto, nama papa saya Pranoto, lalu nama papanya lagi bukan Pranoto, jadi rumit sekali untuk menelusuri sampai ke atas karena yang jadi nama keluarga bukan betul-betul nama keluarga. Saya tidak tahu Saudara bisa menelusuri sampai berapa keturunan ke atas, tapi menurut Alkitab kalaupun kita bisa melakukan itu, tidak terlalu penting juga.
Kita keturunan siapa, itu tidak terlalu penting menurut Alkitab. Di Alkitab ada Yefta, keturunan perempuan yang bukan orang baik-baik, tapi dia dipakai Tuhan. Dalam budaya tertentu, kalau mau menikah, orang bilang “kita musti cek bibit, bebet, bobot”, musti tahu apakah orang itu ada keturunan sakit jiwa atau tidak, belum lagi diabetes, panu, kadas, kurap, dsb. jadi rumit sekali. Tapi setelah menikah dengan orang yang punya bibit, bebet, bobot keturunan orang baik-baik, apakah ada jaminan dia jadi orang yang baik-baik? Di dalam dunia ada orang yang baik-baik, dalam pengertian moralnya baik, tapi anaknya juga tidak tentu baik-baik. Kalau kita baca dalam Alkitab, ada Ishak dan Ribka, keluarga baik-baik; mereka punya anak Yakub dan Esau, anak-anak dari orangtua yang sama, tapi yang satu punya hati takut akan Tuhan, yang satunya lagi sekuler luar biasa, tidak peduli firman Tuhan, tidak peduli hal-hal rohani. Menurut Alkitab, bukan masalah kaitan relasi-relasi daging/ jasmani yang membedakan seseorang, melainkan apakah firman Tuhan tinggal di dalam dirinya atau tidak, apakah kita melakukan pekerjaan-Nya yang kita sebut sebagai ‘Bapa’.
Orang Israel bilang bapanya adalah Abraham, tapi Yesus bilang ‘kamu tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan Abraham, yang katanya adalah bapamu’. Apa pekerjaan Abraham? Abraham itu percaya firman Tuhan. Abraham itu menghargai janji Allah, dia percaya, meskipun dia tidak sempurna dan ada momen dia ragu-ragu. Sedangkan orang-orang Yahudi ini tidak percaya. Mereka menolak. Abraham hanya melihat dari jauh janji itu dan percaya, sementara orang-orang ini berdiri di depan Firman yang hidup itu, Yesus sendiri sedang berada di situ, dan mereka menolak Yesus. Mereka menolak Kristus. Ayat 39b-40 "Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham. Tetapi yang kamu kerjakan ialah berusaha membunuh Aku; Aku, seorang yang mengatakan kebenaran kepadamu, yaitu kebenaran yang Kudengar dari Allah; pekerjaan yang demikian tidak dikerjakan oleh Abraham” –‘Abraham reseptif terhadap firman Tuhan, tapi kamu tidak; lalu bagaimana kamu bisa menyebut diri keturunan Abraham?? Keturunan secara jasmani memang iya, tapi secara rohani hidupmu tidak ada urusannya dengan Abraham; bapamu itu bukan Abraham’.
Kemudian kita membaca jawaban dari mereka (ayat 41): "Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah.” Kita melihat di sini kekerasan hati manusia; waktu mendengar firman Tuhan, bukannya introspeksi melainkan terus melawan, tidak ada kerendahan hati untuk dikoreksi oleh firman Tuhan. Mereka terus-menerus membenarkan diri, tidak ada pertobatan; mereka mengatakan “kami tidak dilahirkan dari zinah”. Ada satu tafsiran agak kuno, mungkin dimulai oleh Origenes tapi cukup populer di zaman-zaman berikutnya; dalam penafsiran modern, tafsiran ini sudah agak ditinggalkan, tapi menurut saya masih ada hal yang menarik. Kita tahu bahwa Yesus Kristus tidak dilahirkan dari hubungan laki-laki dan perempuan, Dia lahir dari Roh Kudus melalui anak dara Maria. Pada waktu itu ada gosip beredar bahwa Yesus ini lahir dari mana bapaknya tidak jelas, Maria hamil sebelum nikah dengan Yusuf, jadi berarti Yesus ini ‘gak bener, lalu ngaku-ngaku Mesias pula, Dia ini lahir dari perzinahan (sampai sekarang masih ada orang yang berpikir seperti itu, tidak bisa menerima Yesus dikandung dari Roh Kudus; mereka bilang bahwa orang-orang Kristen menuhankan manusia yang lahir dari perzinahan). Seandainya tafsiran ini benar, berarti orang-orang Yahudi itu bukan saja tidak ada introspeksi, mereka bahhkan menyerang balik terhadap Yesus. Mereka bilang “kami tidak dilahirkan dari zinah (tidak seperti Kamu yang tidak jelas bapaknya siapa)” –kita ini bapanya jelas, kita ini keluarga baik-baik, tapi Kamu sepertinya keluarga berantakan, keluarga broken home, bapaknya tidak jelas, dari mana Maria bisa hamil seperti itu.
MacArthur punya penafsiran yang lain untuk hal ini, yang sangat menarik dan meyakinkan. Dia mengatakan bahwa dalam konteks waktu itu, setelah orang Israel kembali dari pembuangan, mereka kapok dan tidak mau lagi berhala-berhala seperti Baal, Asytoret, dsb. Mereka sekarang masuk ke dalam iman monoteis, meski memang mereka belum mengerti Allah Tritunggal (buktinya mereka menolak Yesus Kristus), tapi paling tidak berhala-berhala sudah tidak ada lagi. Kalau kita melihat kehidupan orang-orang yang menyembah berhala, ibadah mereka di kuil-kuil biasanya bercampur dengan praktek-praktek kemesuman, sambil beribadah sambil terjadi persetubuhan dengan perempuan-perempuan secara liar. Itulah ekspresi ibadah dalam keagamaan kafir (pagan), sambil beribadah sambil melacur. Maka waktu orang-orang Yahudi di sini mengatakan “kami tidak dilahirkan dari zinah”, maksudnya ‘kita ini tidak ikut ritual orang-orang kafir itu, kita hanya ada satu Bapa, yaitu Bapa Yahweh; kita tidak menyembah lagi Dagon, Baal, Asytoret, dsb., itu dulu nenek moyang kita yang bersalah, kita sekarang sudah bertobat, kita sudah balik kepada Allah kita yang satu-satunya, Bapa kita cuma satu, yaitu Allah; kami tidak dilahirkan dari zinah, kita setia kepada Yahweh, setia kepada Allah, setia kepada yang disebut Bapa’.
Lalu Yesus menjawab mereka (ayat 42): “Jikalau Allah adalah Bapamu , kamu akan mengasihi Aku” –jikalau Allah adalah Bapa, maka –Yesus mengatakan—orang itu akan mengasihi Yesus. Kalau orang betul-betul mengenal Allah sebagai Bapa, dia akan mencintai Yesus; yang tidak mencintai Yesus, Yesus mengatakan tentang dia “Allah bukan Bapanya, tapi bapanya adalah Iblis”. Ini kalimat yang sulit, tapi Yesus mengatakan apa adanya. Jikalau Allah betul-betul Bapa bagi orang itu, maka orang itu akan mengasihi Anak, karena Anak dan Bapa tidak bisa dipisahkan; kita tidak bisa mengasihi Bapa tanpa Anak atau Anak tanpa Bapa. Hal yang seperti itu tidak ada, karena ini bicara tentang Tritunggal. Roh Kudus membawa seseorang untuk mengenal Allah sebagai Bapa di dalam Anak, yaitu ketika orang itu mengasihi Anak. Mengapa? Karena Anak keluar dan datang dari Bapa. Anak datang bukan atas kehendak-Nya sendiri, melainkan Bapa yang mengutus Anak. Bapa mengasihi Anak, maka kalau kita mengenal Bapa, seperti Bapa kita pun akan mengasihi Anak. Kalau orang Tidak mengasihi Bapa, maka dia tidak mengasihi Anak; kalau orang tidak mengasihi Anak, maka dia tidak mengasihi Bapa. Sederhana saja. Ini bukan pribadi yang terkoyak-koyak yang kita bisa pilih mau favorit dengan Bapa dan tidak terlalu suka dengan Anak, atau cuma suka dengan Roh Kudus dan tidak terlau suka bicara tentang Kristus, atau tidak terlalu suka bicara tentang Bapa, dsb. Itu bukan Tritunggal yang ada dalam Alkitab. Di dalam Alkitab, mengasihi Bapa mengasihi Anak, mengasihi Anak mengasihi Bapa.
Ayat 43, Yesus mengatakan: “Apakah sebabnya kamu tidak mengerti bahasa-Ku?” Di sini seolah-olah persoalannya ada pada bahasa, tapi terjemahan bahasa Inggrisnya lebih gamblang: “Why do you not understand what I say”. Jadi di sini bukan masalah bahasa atau kosa kata, juga bukan masalah logika yang terlalu rumit dan terlalu tinggi, melainkan Yesus mengatakan ‘mengapa engkau tidak mengerti apa yang Aku katakan?’ Dan kalimat selanjutnya dalam bahasa Indonesia juga sulit, dikatakan: “sebab kamu tidak dapat menangkap firman-Ku”; ini jadi menyatakan hal yang sama, karena istilah ‘menangkap’ dalam kalimat ini juga bisa berarti ‘mengerti’, sehingga secara keseluruhan kalimatnya bisa dibaca begini: ‘mengapa kamu tidak mengerti bahasa-Ku, sebab kamu tidak mengerti firman-Ku’. Jadi sama –kamu tidak mengerti karena kamu tidak mengerti, kamu tidak menangkap karena kamu tidak menangkap– seakan-akan Yesus mengulang-ulang perkataan yang sama. Oleh sebab itu sangat menolong kalau kita bisa cek ke bahasa asli atau bahasa yang lain, yang mungkin artinya jadi berbeda. Terjemahan bahasa Inggrisnya mengatakan: “Why do you not understand what I say? It is because you cannot bear to hear My word”. Di sini jadi terlihat beda artinya dengan terjemahan bahasa Indonesia, bahwa ‘kamu tidak mengerti’ bukan karena ‘kamu tidak mengerti’, tapi karena ‘kamu tidak tahan dengar firman-Ku’. Kamu tidak bisa mengerti karena kamu tidak tahan dikoreksi terus, telingamu panas, dan hatimu juga panas, kamu tersinggung waktu dengar firman Tuhan, kamu tidak senang mendapat gambaran tentang dirimu. Itu yang membuat kamu akhirnya jadi tidak bisa mengerti firman Tuhan, bukannya tidak mengerti karena tidak mengerti atau tidak menangkap karena tidak menangkap, dan juga bukan karena masalah bahasa atau dialek, dsb. Kamu tidak bisa tahan waktu dengar firman, kamu tidak bisa tanggung untuk mendengar firman, merasa tersiksa setiap kali mendengar firman. Setiap kali mendengar firman, bukannya mengalami kelegaan, penghiburan, tapi merasa seperti dihakimi terus-menerus tidak selesai-selesai. Orang-orang yang seperti ini tidak pernah mengerti pengampunan Tuhan, karena sebelum kita mengerti pengampunan Tuhan memang harus ada penghakiman terlebih dulu bahwa kita berdosa, jika tidak, itu pengampunan untuk apa??
Saya percaya, waktu Yesus mengatakan kalimat ‘Iblislah yang menjadi bapamu’, ini bukan di dalam pengertian statis. Saudara jangan tafsir ini dalam pengertian tentang ‘the reprobate’ dan ‘the elect', bahwa kaum reprobat itu yang Iblis adalah bapanya, dan kaum pilihan itu yang Allah adalah Bapanya, lalu hal ini tidak bisa goyang tetap begitu terus. MacArthur waktu menafsir bagian ini, mengatakan bahwa kalimat ini sebenarnya merciful warning, meski Yesus memakai kalimat yang sangat keras, “Iblislah yang jadi bapamu; kamu sebenarnya tidak merdeka, kamu diperbudak oleh dosa tapi kamu tetap mengatakan dirimu orang merdeka yang tidak diperbudak siapapun, kecelakaanmu itu membutakanmu karena kamu tidak bisa dengar firman, dan sebetulnya bapamu adalah Iblis, bukan Allah, dan juga bukan Abraham, karena Abraham tidak akan melakukan yang seperti kamu lakukan. Kalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku karena Aku adalah Anak Allah; tapi kamu tidak mengasihi Aku, berarti bapamu bukan Allah, bapamu sesungguhnya adalah Iblis”. Ini seakan teguran yang terakhir, yang makin lama makin keras. Ibarat orang yang tidak bisa diajak bicara pakai cara yang lembut, tetap ndablek, maka dikasih cara yang paling keras. Setelah itu, apakah mereka bertobat? Tidak tahu. Alkitab tidak mencatat ada yang bertobat di sini; yang kita baca di ayat 59 adalah ‘Lalu mereka mengambil batu untuk melempari Dia’. Itulah akhir dari cerita ini.
Jadi perkataan Yesus “bapamu adalah Iblis”, bukan menyatakan suatu status statis yang sekali bapamu Iblis maka akan selama-lamanya bapamu Iblis. Kita ini ditarik dari kerajaan yang dikuasai oleh Iblis itu, dari kegelapan untuk masuk ke dalam terang, dari orang-orang yang diperbudak oleh dosa –bukan selama-lamanya diperbudak oleh dosa—untuk dimerdekakan, untuk bisa menikmati kebebasan yang ada di dalam Kristus. Kebebasan apa? Yaitu kebebasan melakukan pekerjaan Bapa, kebebasan untuk kita bisa mengatakan seperti yang Bapa mau kita katakan. Itulah kebebasan yang sesungguhnya. Tapi orang yang setiap kali mengatakan perkataan yang bukan berasal dari Bapa, dia sebetulnya sedang diperbudak. Waktu kita bicara dari diri kita sendiri, kita adalah orang-orang yang diperbudak; waktu kita mengerjakan pekerjaan kita sendiri, bukan pekerjaan Allah, kita itu sedang diperbudak. Itulah yang menurut Alkitab.
Yesus mengatakan (ayat 44): “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta”. Ada beberapa hal di sini; pertama antara ‘bapa’ itu Allah atau Iblis –ini tipikal Johannine dualism. Kemudian waktu bicara tentang Iblis, Iblis itu mengalirkan kuasa kematian, dia adalah pembunuh sejak semula; sedangkan Allah adalah sumber kehidupan. Ini kontras yang pertama. Ada orang yang dalam kehidupannya mengalirkan kuasa kehidupan, ada orang yang mengalirkan kuasa kematian. Yang mengalirkan kehidupan, Bapanya adalah Allah; yang mengalirkan kematian, bapanya adalah Iblis.
Orang-orang Yahudi ini dipenuhi dengan kebencian, ketersinggungan, sakit hati, keinginan untuk membunuh, dsb., itu berarti bapanya bukan Allah melainkan Iblis. Yesus tidak bicara ‘kamu anak Allah tapi sedang khilaf’, Yesus bilang “bapamu itu Iblis”; tidak ada istilah khilaf di sini. Tidak ada istilah ‘yah namanya manusia, siapa sih yang tidak pernah ngomong salah’, yang Yesus katakan “bapamu itu Iblis sebetulnya”. Teguran yang begitu keras diberikan kepada orang-orang yang tidak mengatakan apa yang berasal dari Bapa, yang tidak mengerjakan pekerjaan yang berasal dari Allah, bahwa orang-orang seperti itu, bapanya adalah Iblis, menurut Yesus Kristus. Tidak ada jalan tengah. Tidak ada kalimat-kalimat yang menenangkan. Inilah justru operasi yang sesungguhnya.
Yesus mengatakan, “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula”. Waktu kita bandingkan dengan Kotbah di Bukit dalam Matius pasal 5:17- 48, Yesus me-radikalisasi tentang membunuh, tentang berzinah, dsb., di situ ada pembicaraan tentang membunuh, tapi kemudian dikatakan: “barangsiapa marah kepada saudaranya, dia melakukan dosa yang sama”, bahwa membunuh dan marah itu akarnya sama, yaitu bapanya Iblis. Sedangkan yang Bapanya adalah Allah, dia mencintai musuh-musuhnya. Antitesis di sini jelas sekali kontrasnya; yang dipenuhi dengan kebencian, amarah, dsb., dia itu bapanya bukan Allah melainkan Iblis.
Kontras yang kedua, bicara tentang kebenaran. Allah itu sumber kebenaran, Dia adalah kebenaran. Lawan katanya ‘kebenaran’ (the truth) adalah ‘dusta/ kebohongan’ atau ‘lie’ dalam bahasa Inggris. Kebohongan apa maksudnya? Apakah mereka sedang menipu Yesus? Atau mereka utang tidak bayar? Tidak ada catatan seperti itu. Mereka mungkin berdagangnya beres, neracanya jujur, tidak ada dobel pembukuan. Kalau kita cuma berpikir dusta dalam pengertian ini, kita juga bisa bilang “saya tidak berdusta, pasti bapa saya bukan Iblis, bapa saya pasti Allah, karena saya orangnya jujur”. Waktu Yesus bicara tentang Iblis adalah bapa segala dusta, dan ‘kamu mengerjakan pekerjaan bapamu, yaitu Iblis, jadi kamu juga berdusta’, maksudnya berdusta tentang apa? Yaitu berdusta bahwa mereka menempatkan diri sebagai anak-anak Abraham, anak-anak Allah, padahal kenyataannya mereka adalah anak-anak Iblis. Waktu seseorang mendengar firman Tuhan dan dia tidak mau melihat dirinya sebagaimana firman Tuhan melihat dia, sebagaimana Allah melihat dia, maka dia adalah pendusta; dan bapanya adalah Iblis, menurut firman Tuhan. Jadi bukan pendusta dalam arti suka menipu kanan kiri, meski memang betul itu pendusta juga. Tapi kalau konsep etika kita cuma sebatas itu, kita bisa betul-betul salah, kita bisa jadi orang yang luar biasa righteous karena saya tidak pernah utang tidak bayar, saya tidak pernah tunjukkan kepada orang jalan yang salah, dsb., jadi saya bukan pendusta. Alkitab tidak bicara ‘pendusta’ dalam pengertian yang sangat superfisial/ permukaan seperti ini, tapi bicara radikalitas tentang pendusta itu apa sebenarnya. Mereka semua di sini adalah pendusta karena mereka tidak bicara jujur tentang diri mereka sendiri. Yesus mengatakan kebenaran, Yesus mengatakan apa adanya tentang mereka, tetapi mereka tidak mau melihat dirinya sebagaimana Yesus melihat mereka; dalam hal ini mereka adalah pendusta. Orang-orang yang tidak pernah melihat dirinya di bahwa terang firman Tuhan, yang selalu berkelit, selalu ada penjelasan, selalu ada rasionalisasi, selalu ada argumentasi untuk menjelaskan kelemahan-kelemahannya, itu adalah pendusta yang bapanya Iblis –menurut ayat ini, “sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta”.
Ayat 45: “Tetapi karena Aku mengatakan kebenaran kepadamu, kamu tidak percaya kepada-Ku“; perhatikan di sini dikontraskan antara dusta dan kebenaran. Ayat 44 bicara tentang Iblis bapa segala dusta, ayat 45 bicara tentang Yesus yang mengatakan kebenaran. Dan inilah dustanya, bahwa Yesus mengatakan apa adanya di bawah terang firman Tuhan tapi mereka tidak bisa menerima hal itu. Mereka lebih suka pembicaraan-pembicaraan yang mengatakan bahwa manusia itu hebat, baik-baik saja, ‘siapa sih yang tidak punya kekurangan, semua orang juga punya kekurangan, kita manusia pasti punya kelemahan, tapi toh pada dasarnya kita melakukan yang baik’. Gereja ada 2 macam; Gereja yang mengikut Yesus dengan jujur mengatakan kebenaran, memperlihatkan keadaan Gereja apa adanya, atau Gereja yang terus-menerus memuji dirinya sendiri, yang tidak jujur dengan dirinya sendiri, yang menolak terang firman Tuhan –dan ini Gereja pendusta namanya.
Maka waktu kita membaca ayat 46, “Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa?”, memang kalimat ini bisa kita tarik keluar dari konteks, dan tetap betul juga, karena kita tahu tidak ada satu orang pun yang bisa membuktikan Yesus berbuat dosa. Tapi kalau kita baca dalam konteks ini, kalimat tersebut bicara tentang berbuat dosa dalam pengertian yang sangat spesifik, yaitu dusta. Yesus seolah mengatakan, ‘silakan buktikan dalam kehidupan Saya, kapan Saya mengelabui kamu dengan mengatakan hal-hal yang baik-baik saja sampai kamu akhirnya salah mengerti tentang dirimu sendiri, kapan saya tidak mengatakan keadaan dirimu apa adanya seperti Tuhan melihat kamu?’ Kapan Yesus menjadi nabi palsu yang bicara “damai sejahtera, damai sejahtera” padahal orang perlu ditegur dosanya? Kapan Yesus sifatnya jadi humanis, takut menyinggung perasaan orang, sampai Dia bicara yang baik-baik saja, bicara “kita bangsa yang besar, kita bangsa terpilih”, dsb.? Tidak ada. Yesus selalu membicarakan yang dari Bapa, meskipun itu tidak enak didengar, sampai orang tidak tahan mendengar firman Tuhan, kuping panas, hati panas, dsb., semata-mata karena Yesus mengatakan kebenaran.
Setelah mengatakan “Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa?”, selanjutnya lawan katanya adalah: “Apabila Aku mengatakan kebenaran, … .” Jadi Yesus mengatakan ‘silakan menunjukkan kalau Aku pernah berbuat dosa, dalam pengertian pernah berdusta mengelabui kamu sampai kamu tidak bisa mengenal diri, silakan buktikan kapan Saya pernah memperkenalkan Bapa dalam pengertian yang distorted supaya lebih cocok dengan seleramu’, lalu lawan katanya ‘apabila Aku mengatakan kebenaran, mengapa kamu tidak percaya kepada-Ku’. Kalimat ini ironis sekali, alasannya Yesus tidak dipercaya, adalah karena Yesus mengatakan kebenaran.
Mengapa orang tidak percaya kepada Yesus Kristus? Karena Yesus mengatakan kebenaran. Nabi palsu itu gampang sekali dipercaya, lebih enak percaya nabi palsu karena selalu mem-profil kehidupan kita dalam keadaan yang tinggi, keadaan yang menyenangkan, keadaan yang tidak perlu koreksi diri, keadaan pujian dan semua yang di atas. Tapi waktu Yesus bicara, Dia bicara kebenaran, dan orang tidak percaya. Pertanyaannya: kita ini Gereja yang mengikut Kristus atau menjadikan Iblis jadi bapa kita? Saudara jangan bilang bahwa Gereja tidak mungkin bapanya adalah Iblis –itu kalimat yang ceroboh sekali. Kita tidak kebal menjadikan Iblis bapa kita. Di dalam teguran ini, Yesus mengatakan bahwa yang Bapanya adalah Allah, dia mengatakan kebenaran. Dia tidak berbuat dosa dalam arti tidak menipu, tidak memanipulasi firman Tuhan, mengatakan apa adanya seperti Allah mau mengatakan.
Ayat 47, “Barangsiapa berasal dari Allah, ia mendengarkan firman Allah; itulah sebabnya kamu tidak mendengarkannya, karena kamu tidak berasal dari Allah." Yang berasal dari Allah, dia mendengarkan firman Allah, Bapanya adalah Allah. Yang tidak berasal dari Allah, dia tidak mendengarkan firman Allah. Kiranya Tuhan berbelas-kasihan kepada kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading