Bagian ini, dengan sangat ironis, menceritakan 2 orang buta sebagai orang pertama yang melihat datangnya Kerajaan Allah di dalam Yesus. Mereka adalah 2 orang yang matanya tidak bisa melihat, tetapi hatinya mengerti, bahwa Yesus adalah Anak Daud.
Dalam Injil Matius, istilah ‘Anak Daud‘ pertama kali muncul melalui tokoh ceritanya, itu dari mulut 2 orang buta ini. Mereka mengatakan: "Kasihanilah kami, hai Anak Daud” (Mat. 9:27). Sebelum ini, ada satu kali istilah ‘Anak Daud’ muncul tetapi bukan dari tokoh ceritanya melainkan dari sang narator –Matius sendiri. Matius menuliskan itu di bagian awal Injilnya: ‘Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham’ (Mat. 1:1). Di sini terlihat Matius dengan sengaja menekankan hal itu, karena kalau Yesus disebut dengan ‘anak Daud’, sebenarnya itu sudah loncat ke tengah-tengah silsilah, sedangkan kalau mau menulis secara urut mustinya ‘Yesus anak Terah’ (sebelumnya Abraham), atau kalau urut secara spiritual jadi ‘anak Nuh’ atau ‘anak Adam’. Jadi ini berarti ada satu keistimewaan dalam penulisan Injil Matius, yaitu Yesus digambarkan sebagai anak Daud. Tentu saja Yesus anak Abraham juga, anak Nuh juga, dan anak Adam juga –itu silsilah penuhnya—tetapi secara lebih khusus Yesus mau digambarkan sebagai anak Daud; atau lebih tepatnya: Anak Daud yang itu.
Selanjutnya Matius tidak kunjung memunculkan istilah ini di dalam mulut tokoh-tokoh ceritanya, tidak kunjung ada orang yang mengatakan Yesus sebagai anak Daud. Yesus tidak dikenali. Orang mungkin menyangka Yesus penjelmaan Elia yang akan muncul di akhir zaman, atau Yesus mungkin adalah Yohanes yang sudah dipenggal kepalanya dan muncul lagi, dsb. Tetapi dalam tokoh cerita yang ini, ada orang yang mengucapkan dengan mulutnya: “Yesus, Anak Daud”; artinya, seluruh cerita dalam Matius boleh dikatakan digenapi dalam ayat ini. Hal yang Matius sudah simpulkan di bagian awal bukunya, dimunculkan melalui tokoh ini. Dan ini ironis, karena tokoh tersebut tokoh yang buta.
Tentu saja Matius punya banyak pilihan tokoh-tokoh yang lain, karena penulisan Injilnya tidak secara ketat mengikuti urutan kronologis –yang menyebut Yesus Anak Daud pastinya bukan cuma 2 orang buta ini, ada yang lain-lain juga– tetapi dalam desain tulisannya, di sini Matius memunculkan tokoh ‘orang buta’. Apa yang Matius mau ungkapkan di sini? Saya kira, yang Matius mau ungkapkan adalah suatu ironi, sama seperti ironi yang lain dalam Alkitab, misalnya ‘yang terdahulu –yaitu orang-orang Yahudi– akan jadi yang terkemudian dalam datangnya Kerajaan Allah’, demikian juga di sini, ‘yang buta malah melihat, yang melek malah menjadi buta, tidak melihat’. Ironi yang lain: ‘yang kaya pergi dengan tangan hampa, yang miskin jadi yang empunya Kerajaan Allah’, ‘yang berkuasa bisa memaksakan kehendaknya malah menjadi tawanan, yang lemah lembut malah menjadi pewaris bumi’. Jadi, ada ironi dalam Injil Matius; dan ironi yang dipakai sehubungan dengan ‘siapakah Yesus itu’ muncul dalam peristiwa orang buta yang mengenali Dia, melihat Yesus itu Anak Daud.
Apa artinya ‘Anak Daud’? Apa sebenarnya yang diutarakan orang buta ini? Yaitu: pengharapan mesianik (pengharapan Israel akan datangnya Mesias); pengharapan bahwa walaupun Kerajaan Israel –yang Tuhan minta atau Tuhan proyeksikan untuk mendirikan pemerintahan Allah di bumi tempat kehendak Allah dilakukan di antara dan melalui anak-anak manusia– itu sudah gagal, namun Tuhan memberikan janji. Tuhan memberikan janji kepada mereka yang gagal, orang-orang Israel dan Yehuda yang berzinah itu, yang mengikuti ilah lain, yang menghina Tuhan –yang adalah Raja– dengan mengikuti raja yang lain. Tuhanlah yang menjamin hidup mereka tapi mereka menjaminkan hidupnya, menaruh pengharapannya, kepada orang-orang Mesir dan sekutu-sekutu politisnya. Dan Tuhan yang dikhianati ini, memberikan satu janji, satu hari kelak Aku akan datang kembali, satu hari kelak Aku akan memberikan kalian Seorang Raja yang baru, Seorang Raja yang berkenan di hati-Ku, Seorang Raja yang seperti Daud pada hari-hari terbaiknya.
Tapi kita tahu bahwa Daud tidak selalu baik. Daud pernah berlaku seperti raja-raja yang lain. Daud pernah mengambil istri salah satu prajurit terbaiknya, yang tidak kebetulan bukan seorang Israel asli, melainkan orang Het. Orang Het lebih maju daripada Israel, waktu Israel masih zaman perunggu, orang Het sudah masuk zaman besi; orang Het menyembah berhala, orang Israel menyembah Allah yang asli, Yahweh. Tetapi orang Het yang ini, yaitu Uria, berkelakuan lebih Israel daripada Israel; ketika berperang bersama prajurit-prajurit Daud yang lain, dia mengikuti tradisi Israel yaitu tidak tidur dengan istrinya. Sedangkan Daud, raja Israel terbaik itu, melakukan perbuatan yang lebih rendah daripada orang-orang Het; ketika prajurit-prajuritnya berperang, Daud tidur dengan istri prajuritnya. Betapa Daud ini melakukan perbuatan yang keterlaluan, unthinkable.
Tetapi apa yang membedakan Daud dari Ahab misalnya, yang juga mengambil milik sesamanya, merampok dari orang yang lebih lemah, mengikuti istrinya –Izebel– dan membuat seluruh kerajaan umat Tuhan terseret dalam dosa? Juga mengapa Ahab –dan semua raja Israel– tidak disebut sebagai ‘anak Daud’ walaupun tentu saja semua raja Israel turun dari Daud, dan hanya satu Raja yang datang kelak yang akan disebut ‘Anak Daud’, padahal Daud sendiri juga tidak sempurna? Jawabannya: karena Daud bertobat. Ketika ditegur oleh Natan, Daud mengakui kejahatannya, dia mengakui dosanya, dia memohon belas kasihan Allah. Rezim seperti inilah yang berkenan di hati Tuhan, rezim yang dalam realitas politiknya sang raja bisa lebih jahat daripada raja negara tetangga, tetapi ketika kejahatannya dibentangkan di depan umum, dia bertobat.
Tetapi Israel tidak melihat datangnya rezim seperti itu setelah matinya Daud, karena anaknya –Salomo—membawa bangsa itu kembali ke Mesir. Salomo punya seorang mertua yang adalah Firaun sendiri, yang merebut satu kota kemudian dipersembahkan kepada Salomo sebagai hadiah pernikahan. Salomo punya kuda, emas, dan perak, lebih banyak dari raja manapun; dan itu bukan satu deskripsi yang menggambarkan Salomo diberkati Tuhan melainkan bahwa Salomo, karena kesuksesannya –yang sebagian memang karena diberkati Tuhan—sudah lupa daratan. Salomo mengikuti satu deskripsi yang sudah terlebih dahulu diberikan bayang-bayangnya di dalam Taurat, yaitu ‘rajamu itu, hai Israel, janganlah mengumpulkan perak dan emas banyak-banyak, kuda banyak-banyak, serta istri banyak-banyak’ –tiga hal inilah yang dikumpulkan Salomo banyak-banyak. Maka itu menjadi satu deskripsi bahwa Salomo bukan ‘anak Daud’ yang sesungguhnya, bukan anak spiritual Daud; kerajaan Salomo tidak sama dengan kerajaan Daud. Dengan demikian, yang Tuhan janjikan kepada Daud bahwa Dia akan meneguhkan dinasti Daud (The House of David), merupakan hal yang masih ditunggu kedatangannya satu hari kelak, tapi bukan di dalam The House of Solomon. Dan Orang itulah yang ditunggu Israel selama berabad-abad.
Bukankah kita semua menunggu penguasa yang punya kekuasaan besar itu, penguasa yang bisa menentukan hidup matinya orang, tapi juga di sisi lain yang juga mendirikan keadilan, kebenaran, dan menegakkan hukum Tuhan di bumi? Tapi bukankah kita semakin tua semakin sinis akan hal-hal demikian? Kita berpikir ‘tidak mungkinlah itu terjadi’. Itu sebabnya kita mempunyai spiritualitas yang mengarahkan mata kita ke sana, ‘setelah mati nanti, setelah dunia tutup buku kiamat nanti, barulah ada tatanan semacam itu’, karena setiap penguasa akhirnya terkorupsi oleh kuasanya –Lord Acton mengatakan "Absolute power corrupts absolutely". Kita sinis terhadap kekuasaan. Tetapi orang-orang Israel tidak sinis terhadap kekuasaan. Mereka masih penuh dengan pengharapan satu hari kelak itu akan terjadi, karena mereka tahu kekuasaan bukanlah kejahatan pada dirinya sendiri, kekuasaan adalah kekuasaan. Kekuasaan memungkinkan sesuatu terjadi.
Di dalam Fisika ada istilah ‘kuasa/ power’, yaitu kapasitas untuk menjadikan sesuatu terjadi dalam satu unit waktu. Misalnya memindahkan 10 kg air dalam 1 detik, dibandingkan dengan memindahkan 10 kg air dalam 10 detik, tentu lebih besar kuasa dalam yang pertama (1 detik), dan lebih hebat lagi kalau cuma 0,1 detik, dan lebih hebat lagi kalau saya tidak memerlukan waktu, artinya kekuasaan saya tidak terbatas. Tuhanlah yang bisa melakukan itu, Dia bisa melakukan pekerjaan yang besar sekali tanpa pakai waktu (unlimited power). Itulah power, sesuatu yang bisa membuat perubahan di dalam keterbatasan waktu kita. Semakin besar kekuasaan –misalnya semakin banyak uang Anda, semakin dekat koneksi Anda dengan orang-orang kuat secara politis, semakin pandai Anda, semakin banyak teknologi yang bisa Anda akses– maka semakin banyak yang bisa Anda ubah dalam dunia ini. Kalau saya punya uang 100 rupiah dibandingkan dengan punya uang 100 dolar, tentu perubahan lebih besar dapat saya lakukan dengan 100 dolar. Dengan 100 rupiah mungkin saya dapat buku bekas seberat 100 gram, tapi dengan 100 dolar saya bisa beli buku yang bagus, saya bisa perintahkan orang untuk menulis buku, mendistribusikannya, sampai kemudian buku itu ada di meja saya.
Power tidak selalu jelek. Power hanya kapasitas untuk mengubah sesuatu. Dan bukankah dunia ini Tuhan titipkan ke dalam tangan manusia untuk diubah? Tuhan tidak menitipkan dunia ini ke tangan manusia untuk sekedar dipertahankan sebagaimana keadaannya waktu dititipkan. Bahkan di Perjanjian Baru, Yesus pernah bercerita tentang orang yang dititipkan 1 talenta lalu dikubur, dan ketika tuannya datang, dia kembalikan lagi 1 talenta, tidak berubah sedikit pun –no power, 1 talenta itu tetap 1 talenta. Lalu Tuhan bilang seharusnya menitipkan kepada orang yang bisa mengembangkan talenta itu sehingga ada perubahan. Jadi ketika Tuhan menitipkan ciptaan ke dalam tangan manusia, menitipkan manusia-manusia lain ke tangan manusia, Tuhan ingin ada perubahan. Dengan kata lain, power tidak selalu jelek.
Tetapi, power seringkali membuat yang jelek makin jelek, membuat yang bagus tetap begitu saja atau malah jadi kurang bagus. Mengapa? Karena manusia memang membenci Tuhan dan membenci sesamanya. Ini sesuatu yang jarang kita mau akui secara terus terang, tapi Katekismus Heidelberg menyatakannya dengan begitu eksplisit: “kita ini membenci Allah dan membenci sesama kita”. Kita harus mengakui kebenaran ini. Itu sebabnya, semakin kita bisa mengubah, tidak heran semakin banyak kejahatan dalam dunia. Maka di sini diktum Lord Acton bahwa power yang besar menghasilkan korupsi yang besar, power yang absolut menghasilkan korupsi yang absolut, seringkali benar –walaupun tidak tentu harus benar—sehingga semakin tua kita, semakin kita mengamini hal ini, kita semakin sinis terhadap power, kita semakin sinis terhadap politik.
Namun tidak demikian orang-orang Israel; mereka punya pengharapan. Yang bisa membuat kita tidak sinis terhadap kejahatan, adalah pengharapan. Cerita “kotak pandora”, bukan cerita Kristen, tapi satu cerita tentang pengharapan ini. Konon, suatu hari ketika belum ada kejahatan dalam dunia ini, seorang dewa menitipkan sebuah peti kepada istri seorang petani, dan berpesan untuk tidak membuka peti tersebut. Si istri petani suatu hari mendengar suara dari dalam peti, minta supaya petinya dibuka, karena pengap sekali di dalam, dsb. Akhirnya istri petani ini menyerah. Dia membuka petinya, dan keluarlah semua kejahatan dari situ. Dia menyesal sekali, dia tutup kembali petinya, tapi kejahatan sudah ada di dalam dunia. Kemudian dia mendengar lagi ketukan kecil dari dalam peti, ternyata masih ada sisa satu yang belum keluar, suara itu mengatakan, “Lepaskan saya, kalau kamu lepaskan saya maka ada jawaban bagi yang jahat-jahat itu, yang sudah keluar ke dalam dunia”. Maka dibukanyalah peti itu, dan keluar sesuatu yang bercahaya; dan itu adalah pengharapan (hope).
Dalam dunia yang sinis dan gelap –yang seperti Mazmur 82 mengatakan ada penindasan, kebenaran dibengkokkan, dan kita sepertinya sinis terhadap politik dan kekuasaan– ada satu hal yang masih Tuhan berikan kepada kita, yaitu pengharapan. Orang Yunani biasanya punya sikap yang tidak terlalu positif terhadap pengharapan –sebagaimana dikatakan Hannah Arendt—tetapi orang Yahudi, dan juga orang-orang Kristen, justru menaruhnya sebagai satu hal yang amat sangat krusial, satu-satunya yang kita miliki.
Pengharapan orang Israel adalah Tuhan satu hari kelak akan datang kembali. Tuhan akan memerintah kita sebagaimana Dia selalu ingin memerintah kita, yaitu memerintah lewat manusia yang mengikuti kehendak-Nya –seorang raja. Siapakah raja itu, seperti apa dia datang? Alkitab tidak menyatakan dengan terlalu konkret. Tetapi kita melihat di dalam Perjanjian Baru, ternyata konkretnya adalah di dalam diri Yesus dari Nazaret, anak Maryam itu. Ini sesuatu yang aneh, ironis. Mengapa? Karena pertama-tama yang bisa melihat itu adalah orang buta. Orang buta ini yang mengenali datangnya Anak Daud itu, Mesias, Raja yang melalui-Nya Tuhan ingin memerintah dunia dengan keadilan, belas kasihan, kebenaran.
Orang-orang buta ini melihat dengan apa? Dengan iman. Apakah iman itu? Kita seringkali mengatakan iman artinya saya ngotot, walaupun jelas-jelas tidak masuk akal. Apakah benar begitu? Mungkin saja kadang-kadang begitu, tapi sebagian besar kasus, tidak. Jadi, ngotot walaupun tidak masuk akal, pastinya adalah ‘ngotot’. Dan, ngotot walaupun tidak masuk akal, seringkali dilakukan orang-orang yang close minded, yang merasa diri benar dan tidak mau melihat apapun yang lain, tidak mau melihat bukti, tidak mau melihat cara-cara baru yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Orang-orang yang tertutup hatinya dan tertutup pikirannya, adalah orang-orang yang menganggap sudah tahu segala-galanya tentang cara bekerjanya hidup ini, cara bekerjanya dunia ini, bahkan cara bekerjanya Tuhan. Saya tidak bisa kaget lagi, saya tidak bisa mendapatkan satu insight yang baru lagi, karena saya sudah tahu segalanya; sebelum kamu buka mulut pun, saya sudah tahu kamu mau ngomong apa, sebelum kamu mikir saya sudah tahu kamu bakal mikir apa pada paragraf selanjutnya, karena saya ini pengalamannya banyak sekali, karena saya ini sudah kenal Tuhan banget. Dan inilah sikap orang-orang Farisi. Orang-orang Farisi di sini –ketika melihat Yesus memelekkan mata 2 orang buta itu dengan menjamahnya, dengan mengatakan “jadilah padamu menurut imanmu”, ketika semua orang heboh tidak tahu harus berespons bagaimana karena pikiran mereka sedemikian dikacaukan oleh pekerjaan Tuhan itu, tidak tahu Yesus ini harus ditaruh di laci yang mana—berpikir, jika kita melihat di satu sisi, Yesus ini tentu Anak Daud seperti dikatakan orang buta tadi, tapi kalau kita lihat di sisi yang lain, berarti kita harus menanggalkan semua hal-hal yang selama ini kita pegang sebagai kebenaran, jadi, Yesus ini pasti bersekutu dengan penghulu Iblis.
Jadi, orang-orang yang “ngotot”, walaupun hal yang terjadi di depan mata mereka –yang buta itu– sesuatu hal yang berlawanan, adalah orang-orang yang agamis, yang sangat alim, yang sangat konservatif. Dan ini adalah orang-orang yang memegang teguh hal yang mereka anggap benar, mereka tidak bergeser lagi, mereka konsinsten. Orang-orang yang hatinya tertutup adalah orang-orang yang tidak beriman; orang-orang yang beriman, hatinya terbuka. Orang yang hatinya terbuka, adalah orang yang seperti orang buta ini, bisa mengenali Yesus sebagai Anak Daud, walaupun Yesus ini mengatakan Bait Suci di Yerusalem harus diruntuhkan, akan diruntuhkan, dan sedang dikutuk Allah.
Yesus melakukan hal-hal yang menurut orang-orang Farisi tidak masuk akal bahwa mesias melakukannya. Dia melanggar peraturan Sabat. Dia duduk makan dengan orang-orang yang akan mengotori kesucian-Nya –pemungut cukai, perempuan yang mencurahi-Nya dengan air mata—yang membuat Yesus jadi tidak tahir, tidak boleh beribadah. Yesus juga bergaul dengan seorang Samaria. Yesus itu bergaul dengan orang-orang yang salah, tidak mungkin mesias seperti itu, bahkan nabi Tuhan pun tidak mungkin seperti itu.
Orang buta inilah yang bisa melihat Yesus adalah Mesias, karena dia menganggap apa yang selama ini diketahuinya tentang ‘mesias’ barangkali salah di hadapan Tuhan, di hadapan Yesus. Dengan demikian, beriman tidak tentu artinya Anda yakin akan apa yang Anda yakini tanpa ragu sama sekali. Iman barangkali juga adalah keterbukaan, bahwa jangan-jangan apa yang Anda yakin selama ini ternyata salah di hadapan datangnya Kerajaan Allah, di dalam Yesus. Dan Paulus juga memberi nama cara Tuhan menyelamatkan dunia sebagai sebuah skandal –skandal salib (skandalon – bahasa Yunani, artinya batu sandungan; salib itu suatu sandungan).
Salib adalah sesuatu yang offensive bagi orang-orang Yahudi, tidak mungkin mesias disalibkan; tapi Yesus disalibkan. Dan beberapa orang Tuhan berikan keterbukaan dalam hatinya, yaitu iman untuk melihat Yesus sebagai Mesias; itu semua bagi mereka masuk akal. Jadi di satu sisi, tidak make sense sama sekali bahwa Yesus itu mesias –bagi orang-orang Yahudi sampai hari ini—karena mesias haruslah melakukan 2 hal pokok dan 1 hal opsional ini: pertama, dia harus membersihkan Bait Suci; kedua, dia harus membangun Bait Suci; ketiga, dengan kehadirannya, dia akan memperdamaikan dunia. Untuk bisa membersihkan dan membangun Bait Suci pada zaman Yesus, berarti dia harus menyingkirkan elemen-elemen yang mengotori Bait Suci –yaitu bahwa pemimpin tertinggi Bait Suci Yerusalem (imam kepala) saat itu ada di bawah ketiak Roma, kaisarlah (pihak Romawi) yang punya hak memutuskan siapa jadi Imam Besar. Bahkan beberapa ahli mengatakan, ketika seorang Imam Besar sudah selesai menunaikan tugas keagamaannya tiap tahun di Yerusalem, mereka harus mengembalikan semua perangkat formal upacara kepada pihak yang dipercaya Romawi. Artinya, Yerusalem secara formal ada otonomi agama Yahudi, tetapi sebenarnya mereka hanyalah boneka Romawi.
Jadi, kalau mesias datang, dia harus membereskan hal-hal ini, mengenyahkan pengaruh Romawi dari Yerusalem. Dan ada banyak mesias yang mencoba melakukannya. Itu sebabnya ada ribuan salib terpancang di sekeliling Yerusalem, karena jawaban Romawi atas hal ini adalah: salib, suatu alat hukuman untuk kasus subversi (termasuk juga penjahat di kiri kanan Yesus). Yesus mati di kayu salib, itu berarti dalam logika orang Romawi maupun orang Yahudi, Dia bukan Mesias. Mesias menurut orang Yahudi harus mengenyahkan segala anasir Romawi dari Yerusalem; dan bagi Romawi kalau bukan kamu yang mengenyahkan saya, malah saya yang mengenyahkan kamu, maka sudah pastilah kamu bukan mesias.
Jadi, Yesus mati disalib adalah tanda bagi orang Yahudi dan orang Romawi bahwa Yesus bukan mesias. Tetapi, bagi orang buta ini –bagi kita semua, bagi orang-orang yang beriman—Dia adalah Mesias, karena orang-orang beriman adalah orang-orang yang terbuka bahwa ada cara-cara, yang selama ini kita tidak tahu, untuk mengubah dunia ini. Cara-cara yang boleh kita sebut sebagai ‘kuasa’ juga, tapi kuasa yang berbeda dari kuasa dunia ini. Kuasa adalah kapasitas untuk membuat perubahan. Kapasitas untuk membuat perubahan itu, bisa sama besar tapi manifestasinya sangat berbeda, cara bekerjanya sangat berbeda –dan itu adalah kekuasaan Allah, yang dinyatakan di dalam Yesus, melawan kekuasaan dunia ini, yang keduanya bertemu di kayu salib. Kekuasaan Romawi sepertinya dengan efektif dan efisien menghentikan kekuasaan Allah di sana. Tapi lihat 300 tahun selanjutnya, seperti apa nasib Kekaisaran Romawi? Lihat di seluruh dunia selanjutnya, apa jadinya iman dari 2 orang buta ini kepada Yesus dari Nazaret sebagai Anak Daud? Ternyata, Tuhan berhasil mendirikan satu case bahwa kekuasaan-Nya efektif juga, bahkan lebih efektif daripada kekuasaan administrasi yang paling hebat dalam sejarah dunia tercatat, yaitu administrasi kekuasaan Romawi.
Perimeter kekuasaan Romawi besar sekali, penetrasi kekuasaan administratifnya dalam sekali. Tetapi itu tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan kekuasaan Kekaisaran yang satu ini, Kekaisaran Yesus Kristus. Kekaisaran Yesus Kristus membentang sampai 2000 tahun, dan masuk sampai sedalam hati orang-orang yang mau memberikan nyawanya bagi Tuhan, baik sebagai bangkai maupun sebagai orang-orang hidup. Berapa orang di dalam Kekaisaran Romawi yang mau memberikan nyawanya bagi Kaisar tanpa ditodong dengan tombak atau keluarganya akan dieliminasi? Tidak banyak. Bahkan prajurit-prajurit yang mau memberikan nyawanya dengan berperang bagi Kaisar, mereka itu tidak punya banyak pilihan; jika tidak melakukannya, mereka mungkin hidup lebih miskin, diburu mati, bahkan keluarganya juga diburu mati. Sebaliknya, para pengikut Yesus dari Nazaret punya banyak pilihan. Mereka selalu punya pilihan untuk tidak menaati Tuannya; dan tetap mereka hidup sebagai persembahan yang hidup bagi Tuannya. Beberapa dari mereka bahkan diberikan kesempatan untuk mati bagi Tuannya, dan mereka bukan melakukannya karena takut, melainkan karena cinta. Kaisar Romawi hanya bisa mimpi punya pengikut seperti itu, pengikut seperti pengikut Kaisar Yesus di China pada hari-hari ini, yang karena cintanya kepada Yesus, menyemplungkan diri ke dalam berbagai-bagai kesusahan. Penguasa-penguasa dalam dunia ini yang dibicarakan oleh Lord Acton, yang kekuasaannya mengkorupsi dirinya, hanya bisa bermimpi punya pengikut semacam itu.
Nikolo Makiavelis sudah mengesampingkan mimpi itu jauh-jauh; dia mengatakan: Hai para penguasa, hai para pangeran, kalau kamu harus memilih di antara dua –dicintai atau ditakuti—oleh bawahanmu, kamu harus pilih ‘ditakuti’ karena ‘dicintai’ tidak dapat diandalkan. Kalau bawahanmu mencintai kamu, ketika hal itu mulai merugikan atau mengancam dirinya, mereka akan berhenti mencintaimu. Sedangkan kalau mereka takut kepadamu, mereka akan menurut kepadamu walaupun itu merugikan dirinya. Nikolo Makiavelis di satu sisi sangat realistis. Tapi kalau kita melihat bagaimana para pengikut Yesus mengasihi dan mengikut Tuannya, kita mendapati memang yang dikatakan Nikolo Makiavelis hanya bisa berlaku untuk penguasa dunia ini, tapi tidak berlaku bagi Yesus. Pangeran-pangeran dalam dunia ini memang hanya diikuti karena mereka menguntungkan bagi para pengikutnya, atau mereka berpotensi merugikan sekali bagi para pengikutnya (jika tidak setia). Mereka hanya bisa mengandalkan iming-iming atau ancaman. Sebaliknya, anak-anak Tuhan dimenangkan hatinya sehingga mereka mengikuti Tuannya walaupun itu merugikan, mereka mengikuti Tuannya di dalam penderitaan. Dan lewat jalan itulah, Tuhan menghadirkan Kerajaan-Nya di bumi. Lewat jalan itulah, Tuhan menyembuhkan kita dari sakit kita, yakni dosa, kebencian kepada Allah Sang Pencipta, dan kebencian kepada sesama yang kita perlukan juga, yang adalah bagian dari tubuh kita. Dengan cara apa? Dengan cara Dia mengasihi kita, Dia memberikan diri-Nya bagi kita.
Orang buta ini bisa melihat dengan matanya yang buta, bahwa Tuhan ada di tengah mereka, bahwa Tuhan bekerja lewat cara-cara aneh ini. Tapi ini membutuhkan hati yang terbuka, hati yang tidak merasa sudah mengerti dan tahu, hati yang tidak menganggap apa yang sudah diketahuinya sebagai absolut tetapi bahwa barangkali dirinya salah. Hal ini, saya kira ada hubungannya dengan alasan Yesus mengatakan “orang-orang seperti anak-anak kecil inilah yang dapat melihat datangnya Kerajaan Allah”, karena anak-anak kecil punya keterbukaan pikiran. Kalau kita main sulap di hadapan anak kecil, kadang kita mendapati efek yang tidak seperti kita inginkan. Di satu sisi, anak kecil gampang terpesona; tapi di sisi lain, anak-anak kecil begitu terbuka, sehingga mereka juga akan menganggap hal-hal yang mengherankan itu biasa, karena bagi mereka hidup ini memang menakjubkan. Pikiran mereka masih begitu terbuka, belum terbentuk apa yang mungkin dan yang tidak mungkin, maka di satu sisi mereka gampang kagum, di sisi lain mereka sulit kagum juga. Mengapa? Karena ‘kagum’ mensyaratkan ‘kamu sudah pegang mati bahwa hal-hal tertentu tidak mungkin terjadi, impossible’, sehingga dari situlah baru kamu bisa kaget kalau ternyata bisa. Dan itulah yang dipegang mati orang-orang Farisi, “it’s impossible Yesus adalah Mesias”. Sedangkan anak-anak kecil dan orang-orang yang hatinya seperti anak-anak kecil dalam menyambut datangnya Kerajaan Allah, akan mengatakan, “Oh, tidak, Tuhan memang menghadirkan Kerajaan-Nya lewat cara-cara yang sungsang, yang terbalik” –dan di antaranya sebagaimana dikatakan dalam bagian pengajaran Yesus di Matius pasal 5-7.
Saya mengajak Saudara memperhatikan hal berikut ini: waktu kita membaca Matius 9: 35 ‘Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan’, kalimat ini pernah muncul sebelumnya, di Matius 4:23 ‘Yesuspun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu’. Mengapa Matius mengulangi hal ini? Saya rasa karena dalam pasal 4:23 Matius mengutarakan hal yang mau dia ceritakan, lalu dalam pasal 9:25 Matius meringkaskan hal yang baru saja dia ceritakan. Jadi kedua ayat itu adalah pagar batas yang di tengah-tengahnya Matius menceritakan sesuatu. Ada 2 hal yang Matius ceritakan: pertama, mengenai yang diajarkan Yesus tentang Kerajaan itu (pasal 5-7) –kalau Kerajaan itu datang, kira-kira seperti apa dunia ini; kedua, mengenai yang dapat terjadi di dalam Kerajaan itu (pasal 8-9) –karena Kerajaan itu sudah datang di dalam Yesus, hal-hal seperti ini bisa terjadi lho. Atau bisa dikatakan pasal 5-7 adalah pelajarannya, pasal 8-9 adalah ilustrasi atau buktinya.
Kisah orang buta ini adalah bagian dari buktinya, yaitu ketika seperti orang buta ini, anak-anak Tuhan boleh punya hati yang terbuka kepada Tuhan –dengan kata lain: kita beriman. Kalau kita beriman, kalau Gereja beriman kepada Allah di dalam Yesus, yang terjadi adalah: Allah akan bekerja di tengah kita. Keluhan Asaf dalam Mazmur 82, “Berilah keadilan kepada orang yang lemah dan kepada anak yatim … luputkanlah orang yang lemah dan yang miskin … mereka tidak tahu dan tidak mengerti apa-apa”, di situ diakhiri dengan satu seruan dari Allah sendiri: Aku sendiri telah berfirman: "Kamu adalah allah, dan anak-anak Yang Mahatinggi kamu sekalian. — Namun seperti manusia kamu akan mati dan seperti salah seorang pembesar kamu akan tewas." Ini adalah satu jawaban Tuhan atas probllem of evil.
Jadi kalau kita mengatakan, “Tuhan, belalah keadilan pada orang-orang yang lemah, luputkan orang yang lemah dan miskin dari tangan orang yang fasik, tolonglah dunia ini dari penguasa yang lalim”, apakah lalu kita akan mengatakan seperti Epikurus? Epikirus pertama-tama memakai istilah ‘problem of evil’, bahwa ada kejahatan di dalam dunia. Yang kedua, kalau ada Tuhan, Tuhan itu pasti mahakuasa dan mahabaik sehingga Dia pasti menolong; dengan demikian fakta adanya kejahatan di dalam dunia ini, memastikan bahwa tidak ada Tuhan. Apakah kita akan memilih jalan yang pertama, jalan Epikurus ini, bahwa adanya kejahatan berarti tidak ada Tuhan? Atau kita memilih jalan yang kedua, jalan Asaf? Asaf mengatakan: “Aku –Tuhan sendiri– telah berfirman: ‘Kamu adalah allah’”. Dengan kata lain, dia mengingatkan bahwa diri kita adalah gambar dan rupa Allah.
Perkataan ‘kamu adalah allah’, tentu saja bukan berarti ‘kamu menciptakan dunia’; orang megalomania pun tidak akan mengklaim dirinya yang ciptakan galaksi Andromeda. Lalu maksudnya apa perkataan itu? Maksudnya: seperti apa zaman itu, seperti apa dunia itu, adalah tergantung dari manusia juga; kita, dalam dunia ini bertanggung jawab terhadap kebaikan dan kejahatan. Dengan demikian kalau kamu posing problem of evil, dengan mengatakan “Tidak ada Tuhan dalam dunia ini”, maka Tuhan akan posing problem of evil yang sama, dengan mengatakan: “Mana bisa bilang tidak ada Tuhan dalam dunia ini. Ada. Tuhannya (tuannya), itu adalah diri kamu”. Ya, kamu sekalian, Hitler, Mao Tse Tung, Pol Pot, Bill Gates, Steve Jobs, Gandhi, dan juga Teresa, juga si Jadi ini, dan kamu semua, setiap kita.
Setiap kita adalah gambar dan rupa Allah yang menjadikan dunia ini surga, dan juga neraka; yang menjadikan dunia ini tempat bermain seperti tamannya Winnie The Pooh, dan juga taman bermainnya Iblis. Mengapa kita bisa menjadikan dunia seperti ini, mengapa kita punya kekuasaan yang besar untuk itu? Jawabannya: karena Tuhan menitipkannya kepada kita, Tuhan membuat kita seperti itu. Kita adalah anak-anak Yang Mahatinggi, ‘namun seperti manusia kamu akan mati dan seperti salah seorang pembesar kamu akan tewas’. Semua raja dalam dunia ini akan jadi bangkai. Setiap kita akan mati. Di satu sisi, betul bahwa kita punya kekuasaan yang besar, dunia ini bisa jadi apa saja di tangan kita; tetapi kita akan mati, dan kita akan diadili.
Dunia ini bisa jadi apa saja, itu berarti 2 hal: bisa jadi surga, bisa jadi neraka. Tapi tidak adilnya, kalau jadi neraka, kita menyalahkan Tuhan –di manakah Engkau, Tuhan, mengapa hal seperti ini Engkau biarkan terjadi?—dan kalau jadi surga, kita membanggakan diri sendiri –untung ada Gue, coba ‘gak ada Gue, dunia ‘gak seenak sekarang. Dalam problem of evil, yang kita taruh di kursi terdakwa adalah Allah. Dalam problem of the good, yang kita taruh di kursi raja yang dipuja-puji, adalah diri kita. Itu tidak adilnya. Dan Tuhan mengembalikan itu kepada kita, mengatakan: ‘Hei, Aku sudah mengangkat engkau sebagai allah dalam dunia ini, sebagai penguasa dalam dunia ini, tapi engkau memakainya sebagai apa?’
Asaf kemudian mengakhiri dengan satu permohonan: “Bangunlah ya Allah, hakimilah bumi, sebab Engkaulah yang memiliki segala bangsa.” Permohonan ini adalah pedang bermata dua. Pertama, pedang yang menusuk orang-orang yang menurut dia membuat bumi ini jadi tempat yang lebih mirip neraka. Tetapi, karena orang seperti itu termasuk Asaf sendiri, termasuk kita sendiri, termasuk Anda dan saya, maka waktu kita mengatakan kalimat itu, di situ juga termasuk ‘saya’. Dan di situ kita butuh belas kasihan Tuhan. Di situ kita bisa mengerti mengapa Tuhan melangkah seperti itu, sebagaimana yang Agustinus katakan: “Tanpa Tuhan, kita tidak mungkin melakukannya; tapi tanpa kita, Tuhan tidak akan melakukannya” ("Without God we cannot; without us, He will not"). Tanpa Tuhan, tentu tidak mungkin kita bisa melakukan apapun karena Tuhan yang menciptakan kita. Tapi di sisi lain –kata Agustinus– tanpa kita, Tuhan tidak berkehendak melakukannya.
Tuhan melakukan banyak hal dalam hidup kita, selalu dengan melalui kita, manusia. Tapi memang ada pekerjaan-pekerjaan yang Tuhan sendiri melakukannya tanpa manusia, misalnya Dia membuat galaksi Andromeda dan Bimasakti. Waktu menciptakan dunia ini, pasti Tuhan sendiri yang melakukannya, manusia belum ada. Tapi coba lihat hal-hal yang paling berarti buat kamu, misalnya kamu lahir, itu Tuhan bikin lewat papamu naksir mamamu, dan seterusnya, sampai kemudian kamu lahir. Bagaimanapun, kita ini terjadi lewat perbuatan manusia yang berespons terhadap hukum Tuhan. Respons ini bisa dalam ketaatan atau dalam pemberontakan, bisa karena mencintai Tuhan atau karena membenci Tuhan, bisa karena mencintai sesama atau karena membenci sesama.
Sebagai kesimpulan, kalau kita melihat dunia ini seperti neraka, Tuhan tidak becus mengurus dunia ini, maka pikirlah baik-baik, Tuhan dari semula menyerahkan dunia ini kepada kamu dan saya. Jadi waktu kita bilang “Bagaimana, sih, ada kejahatan dalam dunia ini?”, Tuhan akan mengatakan, “Ya, elu ngurusnya tidak becus”. Lalu kalau kita mengatakan, “Oke, Tuhan, lenyapkan kejahatan”, maka Tuhan akan katakan, “Kalau begitu, elu juga lenyap”. Semuanya sudah terjerat, semuanya sudah rumit. Lalu bagaimana? Tuhan kemudian memakai satu cara, yaitu Yesus. Tetapi waktu Yesus datang ke tengah kita, kita mengatakan, “Kalau begini caranya, tidak mungkinlah, it is impossible.” Namun mereka yang hatinya dilahirbarukan, yang hatinya dibuka oleh Tuhan, bagi mereka hal seperti itu mungkin saja karena Tuhan yang mengerjakan; dan itu membutuhkan diri mereka mau diubahkan juga. Inilah cinta yang beresiko.
Kalau Saudara mencintai dengan cara seperti mencintai sebuah mobil atau barang lain yang dibuat manusia, itu adalah cinta yang tidak beresiko, karena di situ kamu mencintai sesuatu yang dibawahmu, dan sesuatu itu tidak mengubahmu. Tapi kalau Saudara mencintai sedemikian rupa, sehingga dirimu menjadi kurang berharga dibandingkan yang kamu cintai, seperti ketika mencintai istri, anak, atau bahkan Tuhan, yaitu sejenis cinta yang membuat dirimu jadi relatif, yang membuat dirimu tidak ada pun tidak apa-apa asal yang kamu cintai bertumbuh –jenis cinta yang kita miliki kepada Tuhan—maka kita tahu, itu cinta yang beresiko. Cinta yang beresiko seperti inilah yang Tuhan pakai untuk menjawab problem of evil.
Mengapa kita bisa jatuh cinta kepada Tuhan seperti itu, membuka hati kepada Tuhan, membiarkan Tuhan mengasihi kita sedemikian sehingga kita menjadi orang yang tidak sama lagi? Jawabannya: karena Tuhan sudah melakukannya terlebih dahulu. Di dalam Yesus, Tuhan mengasihi kita sedemikian sehingga seolah-olah Yesus mati pun tidak apa-apa asal kamu hidup, seolah-olah Tuhan itu relatif tidak apa-apa asal kamu flourish. Dan Tuhan yang mengasihi umat-Nya seperti itu, adalah Tuhan yang menghadirkan shalom, menghadirkan jawaban bagi kejahatan, dengan cara yang bukan melibatkan cara-cara dunia ini. Dia tidak memakai kejahatan untuk mengalahkan kejahatan, Dia memakai terang untuk mengalahkan gelap, Dia memakai cinta untuk mengalahkan kebencian. Tapi hanya mereka yang hatinya dibukakan oleh Tuhan, yang bisa melihat hal itu.
Lalu apa aplikasinya? Kalau kita mengerti bahwa Tuhan berkehendak melakukan pekerjaan-Nya lewat iman kita, lewat keterbukaan kita, maka kita perlu melihat dalam hal apa kita ini tertutup/ tidak terbuka, dalam hal apa kita mengatakan ‘tidak mungkinlah itu terjadi, it’s impossible, jadi saya juga tidak melakukannya’. Salah satunya, ketika menutup hati kita terhadap orang lain, bahwa orang itu bisa berubah. Atau kita menganggap diri kita sudah tahu semua yang orang itu mau katakan, sehingga kita tidak mendengarkan mereka. Mendengarkan itu meresikokan sesuatu.
endengarkan berarti meresikokan diri kita terkejut. Mendengarkan berarti meresikokan bahwa diri Anda ternyata bodoh, atau Anda ternyata salah menilai orang itu. Itulah resiko mendengarkan; dan kita seringkali tidak mau resiko itu. Kita juga bisa berpura-pura mendengarkan, tekniknya dengan eye contact bukan sembari main HP, dengan mengulangi kata-kata terakhir yang diucapkannya sehingga dia merasa didengarkan. Itu semua tidak perlu kalau kita benar-benar mendengarkan; dan jantungnya adalah: kita kepingin mengerti, kita kepingin paham orang ini, seperti apa dunia dari mata orang ini, apa yang dia rasakan.
Setiap orang itu menarik. Setiap orang punya cerita yang menarik. Tapi mengapa kebanyakan orang membosankan –dan diri kita sendiri pun mungkin juga membosankan? Karena kita terlalu sibuk membuat diri kita menarik, membuat diri kita menang, membuat diri kita impresif, membuat diri kita tidak bisa diserang. Kita terlalu sibuk membuat diri kita dihormati, membuat diri kita tidak dihina. Kita terlalu takut ditolak, dianggap tidak berpengalaman, dianggap tidak bermoral. Kita terlalu takut disalah mengerti, akhirnya kita mengisi percakapan dengan hal-hal membosankan yang aman –atau kebalikannya, hal-hal yang aman dan membosankan. Kita membicarakan cuaca. Kita melempar isu dulu untuk tahu reaksi orangnya, supaya kita tidak menginjak ranjau dengan misalnya memuji Donald Trump di hadapan orang yang tidak suka Donald Trump, atau sebaliknya, dsb. Kita tidak suka menyinggung orang lain, maka kita mengisi percakapan dengan hal-hal sopan, yang aman, yang semua orang sudah tahu, yang akhirnya membuat kita tidak bisa menghindari resiko ini: membuang hidup kita ke tempat sampah, membuang waktu-waktu yang bisa kita pakai untuk bersekutu; sehingga kita bertahun-tahun bisa punya relasi yang baik-baik saja dengan orang lain tetapi itu satu relasi yang sebenarnya tidak perlu ada, relasi yang mati, yang sebenarnya tidak ada relasi.
Relasi yang sejati diwarnai dengan keterbukaan. Keterbukaan yang memungkinkan diri kita diejek, dianggap tidak bermoral, cupet, super kanan atau super kiri, super sosialis atau super konservatif –keterbukaan yang memungkinkan diri kita disalah mengerti. Tidak apa-apa, memang itu resikonya; tapi juga bukan dicari-cari karena nanti jadi kepalsuan yang lain lagi. Jadilah dirimu sendiri, dan bersekutulah dengan orang lain sebagaimana adanya diri mereka sendiri. Itu dimungkinkan dengan kita berhenti takut, sebab kita telah diberikan alasan untuk tidak takut, yaitu dari mana, yang mengatakan: “Hai Abaraham, jangan takut.”
Kita sebagai anak-anak Abraham, diberikan satu alasan untuk tidak takut lagi. Pertama, karena dunia ini relatif. Hal yang dulu bagi kita absolut –yaitu bahwa orang lain melihat diri kita terbaik, terhormat, tidak salah, cool – sekarang di dalam Kerajaan Allah, di dalam penerimaan Tuhan Yesus, itu semua relatif bagi kita. Kalau kamu punya lebih dari saya, it’s fine; kalau kamu tidak punya, it’s fine too. Kita tidak rugi terlalu banyak, karena yang orang lain anggap tentang diri kita –baik, bermoral, rajin, jujur, impresif, berani, cool, atau apapun—itu barangkali kelebihan, barangkali kita sebenarnya tidak seperti itu. Maka kalau orang lain menganggap diri kita negatif, that’s fine too, karena barangkali mereka memang benar –meski barangkali salah juga, karena mereka pun cuma manusia sama seperti kita.
Jadi intinya, kita akan bercakap-cakap dengan lebih penetratif, atau tepatnya lebih inter-penetratif, seperti Allah Tritunggal berelasi di antara Mereka –lebih perikoretik. Perikoresis berarti aku hadir bagi engkau, engkau hadir bagi aku, aku ada dalam hidupmu, engkau ada dalam hidupku. Allah Bapa, kehidupan-Nya ada di dalam Allah Anak; Allah Anak, kehidupan-Nya ada dalam Allah Bapa, sebegitu dekat sampai tidak ada hidup Allah Bapa yang tidak dalam Allah Anak, tidak ada hidup Allah Anak yang tidak dalam Allah Bapa. Demikian pun terjadi hidup Allah Bapa dalam Allah Roh Kudus, hidup Allah Roh Kudus dalam Alah Bapa, dan seterusnya. Inter-penetrasi, perikoresis, itulah yang Tuhan Yesus inginkan dalam Injil Yohanes, untuk kita miliki sebagai anak-anak Tuhan, sebagaimana Dia katakan: “Seperti Aku dan Engkau adalah satu, demikian mereka satu di dalam Aku, dan mereka satu sama lain adalah satu di dalam Aku” –persekutuan yang perikoretik. Dan persyaratannya adalah iman. Iman itu sesuatu yang diberikan Tuhan secara cuma-cuma; tapi secara natur, iman adalah yang dipakai oleh Tuhan untuk melaluinya kita diselamatkan.
Kita diselamatkan oleh apa? Oleh anugerah Tuhan, by grace alone. Melalui apa? Melalui iman. We are saved by grace, through faith. Apa itu faith? Yaitu kita terbuka akan pertolongan Tuhan, akan cara-cara Tuhan yang di luar kebiasaan. “Di antara Israel tidak pernah terjadi hal seperti ini” –ya, memang, tapi bagaimana kalau di dalam Yesus, Allah melakukannya secara berbeda?? “Selama ini saya tidak pernah melihat orang semacam ini” –ya, bisa saja, tapi barangkali orang di hadapanmu itulah orang semacam itu, mengapa tidak?? Jadi di sini kita terbuka terhadap orang lain, dan kita membiarkan mereka juga menjumpai kita apa adanya. Dan kita membiarkan reaksi kimia yang terjadi di antara anak-anak manusia di hadapan Kristus, yang barangkali tidak aman, yang barangkali biasanya beresiko diri kita direndahkan, dianggap liberal atau super konservatif atau apapun lainnya, namun kita menghidupnya karena kita menghidupi datangnya Kerajaan Allah di dalam Yesus, yang mendirikan pemerintahan-Nya di bumi lewat iman, lewat keterbukaan kita akan pekerjaan-Nya yang baru.
Satu contoh yang lain: pengampunan. Syarat pertama dari pengampunan yaitu ada pelanggaran. Jadi harus dibahas apakah ada pelanggaran, harus diakui jika ada pelanggaran, harus ada teguran jika ada pelanggaran, harus ada pengakuan bahwa kejahatan sudah terjadi. Jadi pengampunan bersyarat ini berarti: kamu mengatakan kepada yang jahat: “Kamu jahat, Saudaraku”, dan yang jahat barangkali akan mengatakan, “Tidak. Kamu yang jahat”. Lalu kamu mengatakan, “Barangkali memang kita berdua jahat, tapi jahatku 10 %, jahatmu 90 %”, dan dia mengatakan, “Aku tidak setuju, jahatku yang 10 %, jahatmu yang 90 %”. Dan kemudian: “Oke, baiklah, mari kita bahas selanjutnya”; dst.
Di dalam hati yang sudah diampuni oleh Kristus, kita dimungkinkan untuk punya percakapan seperti itu. Mengapa? Karena ‘aku benar’ bukanlah yang paling penting dalam dunia ini; ‘kamu benar’ juga bukan yang paling penting. Tetapi kita sama-sama melakukan apa yang pintunya dibuka oleh Yesus, itulah yang paling berharga, karena itulah namanya berjalan bersama dengan Tuhan. Yaitu berjalan dalam struktur kemungkinan-kemungkinan yang dibukakan oleh salib Kristus, dalam hal pengampunan, pertumbuhan, meniadakan prasangka-prasangka antar ras, menjembatani permusuhan antar agama –meskipun tidak memungkinkan penyembahan kepada Allah yang sama– dst. dst. Banyak kemungkinan yang bisa kita kerjakan jika kita percaya, karena lewat percaya kita, Tuhan menghadirkan Kerajaan-Nya di bumi, di dalam Yesus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading