Perikop ini adalah satu perikop yang seperti biasa di dalam penulisan injil selalu berkaitan dengan perikop sebelumnya. Kalau kita membaca pararel dari Matius 6:25-34, di situ kita mendapati perikop sebelumnya berbeda dengan bagian yang kita baca pada hari ini. Di dalam hal ini penulis injil memang memiliki kebebasan seperti itu, kita percaya kebebasa itu di bawah pimpinan Roh Kudus, mereka meletakkan satu flow theological message yang mau disampaikan dari perikop satu menuju ke perikop selanjutnya. Sehingga di sini ketika kita membaca kalimat “karena itu”, karena itu karena apa? Ya paling sedikit karena ayat 21, tesis statement yang kita baca dalam perikop sebelunya adalah “demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya dihadapan Allah”, lalu disambung dalam ayat 22 dengan “karena itu”.
Kita melihat “karena itu“ di sini di dalam kaitan perspektif versi Lukas dengan versi Matius ada perbedaan, bagi saya ini bukan satu kontradiksi dan kita juga tidak harus mengkompetisikan atau memilih, tetapi ini adalah satu kekuatan yang saling melengkapi satu dengan yang lain. “Karena itu”, karena apa? Karena orang tidak seharusnya dia kaya di dalam dunia yang sekarang ini saja, mengumpulkan harta bagi dirinya, tetapi orang yang seharusnya kaya dihadapan Allah, karena itu jangan kuatir.
Kalau kita kaya dihadapan Allah maka kita tidak kuatir, tetapi kalau kita berusaha untuk mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, ya kita akan kuatir, maka Yesus katakan, “karena itu”, di situ memang betul-betul ada kaitan. Karena orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri itu dipenuhi dengan banyak kekuatiran, berapa banyak yang ingin kita kumpulkan di dalam kehidupan kita itu tidak ada habisnya. Ayat ini diakhiri dengan kalimat “juallah segala milikmu”, ini kalimat yang radikal luar biasa. Tetapi kalau kita melihat kultur yang ada di dalam kehidupan kita, yang diberikan oleh dunia ini, memang agaknya orang mendorong untuk saling mengumpulkan bagi dirinya sendiri. Siapa orang yang kaya itu? Yaitu orang yang berhasil mengumpulkan banyak harta bagi dirinya sendiri. Alkitab menentang konsep seperti ini dengan mengatakan, orang demikian tidak kaya dihadapan Allah.
Ada satu kutipan yang saya baca (lupa siapa), “waktu orang lahir dalam kehidupannya dia miskin, itu bukan salahnya dia, tetapi kalau dia mati di dalam keadaan miskin, itu salahnya dia”, maksud kalimat ini mau mengajarkan apa? Pada dasarnya manusia itu potensial dan actually bisa mengumpukan banyak harta bagi dirinya sendiri. Makanya kalau ada orang yang mati dalam keadaan yang tidak kaya, orang seperti itu salah, harusnya semua orang harus mati di dalam keaadan kaya, sangat menarik kalimat seperti ini. Tetapi alkitab mengatakan, itu bukan kaya dihadapan Allah.
Pdt. Stephen Tong pernah mengatakan justru sebaliknya, kalau orang mati dalam keadaan kaya raya, malu sekali orang seperti itu, bukan satu kebanggaan, malu, kenapa? Karena dia tidak dipakai Tuhan untuk menyalurkan anugerah yang Tuhan titipkan di dalam kehidupannya, sampai terkumpul di dalam dirinya sendiri dan tidak sempat disalurkan kepada yang lain, keburu mati duluan. Masih bersyukur Tuhan mau pakai, kalau Tuhan tidak mau pakai lagi bagaimana? Karena ada juga Tuhan tidak mau pakai lagi, uang itu ada, even tidak jatuh kepada keturunannya, kalau jatuh pun akan habis dalam satu generasi, bahkan tidak sampai satu generasi sudah habis, karena tidak bisa mengkelola.
Mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri tidak kaya dihadapan Allah dan ini menjadi sumber atau potensi kekuatiran di dalam kehidupan kita. Kuatir akan ini dan itu, karena kita terus-menerus mau mengumpulkan harta bagi diri kita sendiri. Apakah ada orang yang kuatir tidak bisa membagikan harta bagi orang lain? Kalau pun ada, ini adalah kekuatiran yang dewasa, saya kuatir tidak bisa membagikan anugerah bagi orang lain, kekuatiran tidak bisa menjadi berkat bagi orang lain. Tetapi seringkali kekuatiran dalam kehidupan manusia kan bukan seperti ini? Kekuatirannya adalah saya tidak bisa mendapatkan yang lebih lagi dan lebih lagi, lalu itu menjadi kekuatiran di dalam kehidupannya.
Kalau kita melihat konteks hari ini kekuatiran kita berbeda dengan kekuatiran dalam konteks zaman Tuhan Yesus, tetapi jangan-jangan kekuatiran kita itu berbeda bukan karena konteksnya yang berbeda, tetapi karena tuntutan kita yang terlalu tinggi. Maksudnya adalah ayat ini mengatakan, “jangan kuatir apa yang hendak kamu makan, akan apa yang hendak kamu pakai”, kita bisa katakan, loh… saya memang tidak pernah kuatir tentang hal itu, yang saya kuatirkan adalah kalau satu bulan itu saya tidak diberikan allowance oleh suami saya kurang dari 300 juta, saya kuatir kalau penghasilan suami saya itu kurang dari 10 milyar, saya kuatir kalau anak saya tidak bisa sekolah di harvard atau yang lainnya, jadi kekuatirannya macam-macam, dll. Lalu kalau kuatir yang seperti ini, yang salah itu siapa? Yang salah adalah kekuatiran manusia modern seperti saudara dan saya.
Maksudnya adalah di sini Yesus hanya mau mengatakan 2 poin, jangan kuatir akan apa yang hendak kamu makan, hendak kamu pakai, kalimat ini bukan kalimat yang hanya khas oleh Yesus saja, kalau kita membaca tulisan Paulus, dikatakan, asal ada makanan, ada pakaian cukup, hanya dua, not even rumah. Rumah tidak disebut dalam bagian ini, saya kuatir loh… saya masih kontrak rumah, saya masih sewa apartemen, makin lama makin mahal, sekarang juga krisis, bagaimana ini, suatu saat nanti saya ingin beli rumah? Nanti kalau anak perempuan saya menikah, saya harus tanyakan, apakah sudah punya rumah, itu kebutuhan dasar dari kehidupan manusia, tapi menurut Yusus tidak. Jadi yang keliru di sini siapa, Yesus atau saudara dan saya?
Poin yang mau saya katakan adalah banyak kekuatiran di dalam kehidupan kita itu diciptakan oleh standar kehidupan kita sendiri yang tinggi, sementara Yesus, Paulus hanya bilang, asal ada makanan, ada pakaian cukup. Kita tidak ada masalah dengan makanan dan pakaian, saat ini kita sudah berpakaian, mungkin nanti kita sudah tahu akan makan apa atau ada yang sudah makan, jadi poinnya dimana? Kekuatiran kita karena kita tidak mencukupkan diri dengan apa yang betul-betul perlu di dalam kehidupan ini.
Dan logika ini nyambung ke ayat 23, Yesus mengatakan, hidup itu lebih penting dari pada makanan, tubuh lebih penting dari pada pakaian. Yang namanya sarana kehidupan itu yang secukupnya saja, sarana itu makanan, pakaian, ya inilah sarana, goal yang lebih tinggi yaitu supaya kita hidup. Di Kelapa Gading ini kita makan untuk hidup atau hidup untuk makan? Atau keduanya? Ya makan untuk hidup, poinnya adalah orang yang berbahagia itu tahu mana yang sarana dan mana yang adalah tujuan yang lebih tinggi. The higher goal itu adalah hidup, makan dan pakaian itu untuk menyambung hidup, supaya kita bisa hidup perlu makanan, perlu pakaian, kalau tidak ada pakaian, itu bisa sakit dan perlu makan supaya bisa menyambung hidup.
Saya kira di dalam gambaran ini, yang umum dengan perjalanan hidup orang kristen sebagai musafir itu hadir di dalam banyak tulisan orang-orang yang saleh, seperti Agustinus, Calvin dll. Seorang musafir tidak membebani dirinya dengan berbagai macam bawaan yang tidak ada perlunya, kalau dia tahu bahwa dia musafir. Kalau kita pergi bepergian ke luar negeri, pasti kita tidak akan membawa kulkas dll, ini kan aneh, kalau sampai dibawa ini kan menggelikan, tetapi dalam kehidupan manusia terjadi kegelian yang sama seperti itu, tidak sadar kalau kita ini sedang menuju Kanaan yang sana bukan di sini. Lalu kita membangun yang di sini, kita kuatir yang di sini, seharusnya kita kuatir yang di sana, siapa yang kuatir Tuhan tidak lagi hadir di dalam kehidupannya?
Kita semua boleh menimbang sendiri, berapa banyak kita kuatir akan penyertaan Tuhan lebih dari kuatir akan hal-hal yang tadi sudah disebutkan, makanan, pakaian atau saya nikah atau tidak, rumah kapan akan belinya, ini cicilan kapan beresnya, anak saya mau sekolah dimana dst., itu memang juga kebutuhan dalam kehidupan manusia. Tetapi intinya secara spirit kalau kita hanya berpikir mengumpulkan harta bagi diri sendiri, bahkan view terhadap family pun bisa dua macam, kita melihat family itu bagaimana view-nya? View yang sehat dalam melihat family sebagai orang lain, family itu adalah orang lain yang bukan saya, waktu saya melayani, saya melayani orang lain, ini bagian dari pelayanan, penyangkalan diri untuk family. Tetapi bisa ada pengertian yang salah terhadap family waktu kita menghayati sebagai family saya, my family, tekanan ada pada saya-nya, keluarga saya, maksudnya bukan keluarga orang lain, orang yang view-nya seperti ini. Itu dua view yang sama sekali tidak compatible, melihat anggota keluarga sebagai orang lain yang bukan saya dan family sebagai family saya, yang harus saya protect dst. Pada dasarnya bukan untuk orang lain tetapi untuk saya, kalau pun untuk orang lain karena itu adalah keluarga saya, orang yang mengumpulkan harta untuk saya sendiri.
Sekali lagi, yang mana yang sarana, yang mana yang tujuan, ada perkataan yang terkenal dari Agustinus, tentang orang fasik dan orang benar, orang jahat, orang baik: Orang jahat itu menggunakan Tuhan untuk menikmati barang-barang yang sementara di dunia ini, tetapi orang baik di dalam spiritualitas musafir ala Agustinus adalah orang-orang yang menggunakan, memakai barang-barang di dunia ini bukan untuk menikmati Tuhan, di sini yang mana tujuan, yang mana sarana? Menikmati Tuhan itu adalah tujuan, barang-barang di dunia ini adalah sarana, tetapi ada banyak orang yang berpikir terbalik, Tuhan itu sarana, maka di dalam doa saya menjadikan Dia sebagai sarana di dalam kesejahteraan keluarga saya, dalam mendapatkan berkat, pekerjaan dll., ya tidak berbeda dengan orang-orang yang datang ke kuil, mereka juga seperti itu. Kita bukan masuk ke dalam kenikmatan yang lebih dalam akan pribadi Tuhan, hampir tidak pernah muncul doa seperti itu. Tuhan jadi instrumen di dalam kehidupan banyak orang.
Waktu kita salah menjadikan makanan, pakaian dan hal-hal lain di dalam dunia ini menjadi tujuan yang lebih tinggi dari pada kehidupan itu sendiri, akhirnya kita bukan hidup, tetapi kita mati. Orang yang terus-menerus mengumpulkan harta untuk dirinya sendiri dan tidak menjadi kaya dihadapan Allah, dia mati selagi dia masih hidup, sebetulnya sudah mati, lebih baik tidak ada, karena dia ada atau tidak ada tidak berpengaruh untuk dunia ini, dia mengeruk terlalu banyak untuk dirinya sendiri. Kalau dia mati dunia lebih bahagia sedikit, hanya itu pengaruhnya, karena dia sudah mati, dia tidak merampok lagi. Tetapi secara orang yang diberkati tidak ada pengaruhnya, dia ada atau tidak ada, orang lain juga tidak tertolong dengan kehadirannya, tidak ada sesuatu yang memberikan dampak untuk masyarakat, tidak ada. Karena dia hanyalah orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri.
Tuhan Yesus memberikan beberapa counter argumentation tentang kekuatiran kalau kita perhatikan, seperti ayat 24 disinggung juga di dalam Matius, burung-burung gagak tidak menabur, tidak menuai, tidak mempunyai lumbung. Kalau kita lihat lebih dekat kaitannya dengan perikop yang ada di Lukas, karena di sini digambarkan bagaimana orang kaya itu makin lama makin kaya akhirnya dia memperbesar lumbungnya, tetapi di sini dikontraskan, ini loh… coba perhatikan burung gagak, bukan cuma tidak memperbesar lumbungnya, tapi even tidak punya lumbung, apalagi memperbesar, lumbung saja tidak punya, kontras sekali dengan orang kaya ini. Kita sudah membahas bagian ini, bukan sesuatu yang salah seseorang diberkati Tuhan, di dalam kekayaannya lalu dia akhirnya harus memperluas gudangnya, itu sama sekali bukan sesuatu yang salah.
Tapi di sini sangat kontras, digambarkan dengan burung gagak yang tidak memiliki gudang, tidak menabur dan tidak menuai. Tentu saja ini bukan dorongan supaya saudara dan saya untuk hidup tidak bekreja, tidak bertanggung jawab, bukan. Di sini mau menekankan bahwa yang kita nikmati itu adalah anugerah Tuhan, bukan hasil jerih lelah kita, ini juga mau menekankan tentang teologi anugerah, sola gracia. Ada satu ayat dalam kitab bijaksana dikatakan, orang berjerih lelah, cari makan, bekerja, letih lesu dsb., sementara Tuhan memberikan roti kepada mereka yang tidur. Ini bukan satu ajakan kalau begitu marilah kita tidur saja, bukan, intinya adalah selama kita bekerja keras, di dalam kecenderungan kita sebagai manusia berdosa, kita bisa lupa kalau kita bagaimana pun tetap bergantung kepada anugerah Tuhan dan bukan pada kerja keras kita itu.
Kultur Timur adalah kultur yang sangat peka terhadap jasa, jasanya siapa, ini siapa yang sudah berjasa, oh.. luar biasa peka terhadap bagian seperti ini. Sangat sulit untuk menerima konsep sola gracia, teologi anugerah, tetapi seringkali ciptaan-ciptaan yang lebih rendah menyaksikan dengan lebih baik dari pada kita manusia, dari pada saudara dan saya akan apa artinya anugerah. Karena mereka agaknya lebih sadar atau lebih tepatnya mereka tidak pernah sadar bahwa mereka yang menabur, mereka yang menuai, mereka tidak pernah mengingat itu, mereka seperti menyatakan satu kebergantungan sepenuhnya kepada Penciptanya. Mereka juga tidak pernah sombong, apakah kita pernah melihat burung itu sombong terhadap sarangnya sendiri? Tidak, karena binatang tidak punya kemampuan untuk menyombongkan apa yang dia buat, bukan dia tidak bekerja, dia juga membangun sarang, mancari makan juga, tetapi tidak pernah ingat kalau mereka yang bekerja keras, kalau mereka menabur dst., tidak ada pikiran seperti itu.
Dan karena itu mereka mempermuliakan Tuhan lebih dari pada saudara dan saya. Memberitakan bahwa Tuhan itu adalah Tuhan yang memelihara, Tuhan yang mencukupi, Tuhan yang menyediakan. Bagi beberapa orang, kalimat seperti ini tidak bisa dihidupi, beberapa orang bilang, ya itu hanya bagus untuk kamu, saya ingin tahu, kamu sendiri hidup darimana? Luar biasa perdebatan dengan firman Tuhan, sampai seorang teolog besar Albert Schweitzer pernah mengatakan kalimat, itu pengajaran Yesus, khususnya dalam khotbah di bukit, dia mengatakan, itu bukan etika untuk sekarang ini, itu etika Kerajaan Allah, eskatologi. Maksdunya dia mau katakan, etika seperti ini tidak wajar, ini hanya bisa dihidupi oleh orang-orang yang sudah mau mati atau sudah mau hari kiamat, etika seperti ini baru bisa dijalankan, kenapa Yesus mengajarkan seperti ini? Karena Dia sudah mau mati, sudah naik ke kayu salib, dsb., maka Dia mengajarkan seperti ini, hal seperti ini tidak masuk akal dalam kehidupan manusia, tidak ada orang yang tidak kuatir seperti Yesus begini, apalagi harus menjual segala milik, sudah mau mati pun susah untuk menjual segala milik, apalagi masih hidup? Ini etika yang tidak masuk akal, tidak bisa dihidupi dan tidak bisa dikhotbahkan juga, karena pada dasarnya manusia di dunia perlu, gereja juga tolong sadar, tidak ada uang juga susah, kamu terus bicara bergantung Tuhan, pada dasarnya kamu juga perlu uang. Luar biasa keberanian memaki firman Tuhan seperti ini. Hati-hati dengan sikap seperti ini.
Dalam ayat 25 dikatakan, siapa yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? Kita tahu menurut medis, banyak kekuatiran malah memperpendek hidup, bukan memperpanjang, ya ayat ini juga tidak perlu dijawab, ini kan pertanyaan restoris. Ayat 26, jadi jika kamu tidak sanggup membuat barang yang paling kecil, mengapa kamu kuatir akan hal-hal lain? Kita tidak sanggup membuat hal-hal yang kecil, menambah satu detik saja kehidupan kita pun kita tidak bisa. Manusia tidak bisa melakukan itu, lalu kita kuatir akan hal-hal yang lebih besar, ini kan jadi absurd. Manusia menjaga satu rambut tidak jatuh dari kepalanya saja tidak bisa dan tidak mungkin, tetapi Tuhan mengontrol bagian yang sesederhana itu, satu rambut jatuh dari kepala kita, itu menjadi satu issue bagi Tuhan. Tuhan mengurusi hal seperti itu sampai begitu detailnya di dalam kehidupan saudara dan saya. Lalu kita yang tidak sanggup untuk membuat barang yang paling kecil, kita dengan kesombongan kita mau kuatir dengan hal-hal yang lebih besar, ini kan luar biasa absurd.
Maka di dalam ayat berikutnya dikatakan, satu ajakan untuk melihat kepada ciptaan yang lebih rendah, “bunga bakung”, kalimat yang mirip, semuanya tergantung oleh anugerah pemeliharaan Tuhan, tetapi kemudian dibandingkan dengan Salomo. Bunga bakung itu menurut penilaian Tuhan lebih indah dari pada pakaian Salomo, bahkan tidak bisa di compare dengan bunga mana pun. Katakanlah Salomo memiliki koleksi pakaian yang paling indah, dibandingkan dengan bunga bakung yang mana pun, termasuk bunga bakung yang jelek, tetap lebih baik dari pakaiannya Salomo, apa tidak keterlaluan? Jadi persoalannya dimana? Persoalannya sedikit mirip dengan perbandingan bunga asli atau bunga palsu, keindahan bunga asli itu ada kairos-nya, ini teologi pengkhotbah, teologi Salomo, maka keindahan bunga yang hari ini ada dan besok layu, itu lebih indah dari pada pakaian Salomo, dari pada pakaian saudara dan saya, mengapa? Karena mereka lebih bisa menampung konsep kairos ini, keindahan ini merupakan satu momen yang mungkin kita sekarang berbagian di dalamnya, kita menikmati atau kehilangan momen itu.
Kedaulatan bukan ada pada saudara dan saya, kedaulatan ada pada Tuhan, ini bedanya dengan bunga palsu. Bunga palsu kita tidak harus menikmati sekarang, kita datang seminggu lagi ya paling kotor sedikit tinggal dibersihkan, ya tidak apa-apa, nanti bersih lagi, indah lagi. Kita bisa menikmati kapan saja, tidak ada kairos, tidak ada momen, terserah kita mau datang kapan pun bunga itu selalu indah, ini yang manusia mau kan ya? Kalau bisa tangan Tuhan selalu terbuka menunggu saya, saya akan pilih waktunya kapan saya mau datang kepadaMu, saya akan bertobat kapan saya yang tentukan, bukan Engkau Tuhan, saya yang tentukan. Kairos itu ada pada saya, Engkau menunggulah, kan lain kalau bunga asli sama bunga palsu, bunga palsu kita selalu menetukan kairosnya tergantung saya, tetapi kalau bunga asli, kita kehilangan kenikmatan hari ini, besok sudah lain, kita kehilangan kairos-nya.
Orang yang hidup di dalam realita Kerajaan Allah ya seperti ini, menggantungkan dirinya kepada Tuhan se-saat demi se-saat, saya senang dengan lagu I need the every hour atau kalau bisa every second, bergantung padaMu setiap detik dan berkat Tuhan itu satu detik ini dan satu detik berikutnya itu bergantung pada anugerah Tuhan yang lain lagi, jam demi jam, I need the every hour. Bukan every two hour apalagi every year, itu kepanjangan, I need the every hour, jam berikutnya saya bergantung lagi, lalu Tuhan memberikan anugerahNya yang lebih kepada saya, saya memancarkan lagi anugerahNya lagi yang fresh, anugerah yang baru. Bunga asli seperti ini, bunga yang sudah layu diganti dengan bunga yang fresh, bukan bunga yang ini lagi lalu bagaimana berusaha untuk dibangkitkan atau apalah, ya tidak mungkin, sudah layu, sudah mati, kita harus memakai yang fresh lagi. Demikian juga anugerah Tuhan diberikan selalu fresh dari sorga, manna yang diturunkan itu selalu fresh, Tuhan tidak memakai manna yang kemarin, manna yang sisa ya sudah dibuang, manna yang esok hari ada lagi yang fresh. Di dalam kekuatan kebergantungan seperi itu, orang betul-betul ada satu relasi yang hidup dengan Tuhan setiap hari, setiap jam, lalu menggambarkan bagaimana Tuhan itu betul-betul hadir di dalam kehidupannya.
Sayang sekali dan sedih sekali kalau orang kaya di dalam kecukupannya, lalu akhirnya dia tidak kaya dihadapan Allah, miskin relasi, tidak tahu apa artinya Tuhan memelihara, buat dia abstark, karena di dalam pikirannya adalah sebetulnya saya yang bekerja dan ini roti dari pada hasil kerja keras saya. Kalaupun dia bersyukur, bersyukurnya basa-basi, bukan bersyukur betul-betul dari dalam hati, “terima kasih, ini semua adalah anugerah Tuhan”, ah…. sebetulnya itu omong kosong, karena di dalam hatinya adalah saya yang bekerja keras. Lain orang di dalam satu keadaan setelah habis bergumul dengan sakit penyakit lalu Tuhan berikan pemulihan, bersyukurnya dengan saudara dan saya yang tidak ada pergumulan apa-apa dengan sakit penyakit, terus masih sehat juga, bisa lain pengucapan syukurnya.
Di dalam kehidupan kita ada begitu banyak spiritualitas basa-basi yang tidak keluar dari dalam hati. Salomo di dalam kemegahannya, itu juga anugerah Tuhan, pakaiannya juga datang dari pada Tuhan, tetapi manusia sepertinya sulit untuk hidup bergantuang sama Tuhan sehari demi sehari, moment by moment, sangat sulit. Tidak seperti bunga bakung, tidak ada kekuatiran, yang besok dibuang ke dalam api, diinjak-injak, tapi dia bisa contented dengan pemeliharaan Tuhan untuk hari ini, seolah-olah dia mau berkata, Tuhan menjadikan aku indah untuk hari ini, ini kesempatan saya memancarkan kemuliaan Tuhan sepenuhnya hari ini selagi Tuhan masih mendandani saya, lalu besok bagaimana? Dibuang ke dalam api, diinjak-injak, tidak apa-apa, waktu saya memang sudah sampai, sudah mau bertemu Tuhan.
Waktu kita memancarkan kecukupan pemeliharaan Allah di dalam keseharian kita, maka kita tidak akan mempersoalkan tentang kebutuhan-kebutuhan ini, event bahkan kalau boleh mengutip pengkhotbah tadi, memang bukan hanya makanan dan minuman, tetapi juga kebutuhan yang lain, kita tidak akan mempersoalkan hal seperti itu. Kata Tuhan, “itu dicari oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah”, dengan kata lain ini adalah tanda kekafiran. Apa itu kekafiran menurut Lukas 12 adalah orang yang terus-menerus mempersoalkan urusan-urusan seperti makanan, minuman, rumah, jodoh atau sekolah anak dll., itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah.
Bukan berarti itu bukan kebutuhan, itu juga kebutuhan, tetapi bedanya dimana? Jadi saya tidak usah memikirkan itu? Bukan, tetapi di sini ada beda antara memikirkan dan mempersoalkan, dikatakan di sini, orang ini mempersoalkan sampai kuatir dan tidak bisa menikmati lagi kecukupan pemeliharaan Tuhan di dalam dirinya. Karena itu dia tidak bisa berserah, tidak bisa beriman, tidak bisa percaya dan tidak bisa bersyukur, ini yang dimaksud dengan kata “mempersoalkan”. Tetapi Bapamu tahu kamu memerlukan semuanya itu, membiarkan Tuhan yang mengurus, kalau saya memakai kalimat yang secara teologi keliru, kalau kamu ada kuatir, ya sudahlah biarkan Tuhan yang kuatir, bukan saya yang kuatir, saya tidak kuatir, karena Tuhan yang akan menyediakan dan Tuhan tidak mungkin kuatir juga bukan? Karena Tuhan sanggup menyediakan.
Kita manusia yang terbatas, kalau energi kita dikuras oleh hal-hal yang bukan seperti ini, persoalan makanan, minuman, akhirnya kita sulit untuk memfokuskan diri pada Kerajaan Allah, karena sudah terlalu banyak disedot oleh kekuatiran soal-soal seperti ini. Berapa banyak orang yang tidak punya waktu untuk pelayanan, baik di gereja atau pelayanan terhadap orang lain? Karena disedot oleh urusan-urusan seperti ini dan tidak ada habisnya dan tidak ada cukupnya orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, seperti satu jurang yang tidak ada dasarnya. Dan kalau kita masuk dalam filosofi seperti itu, ya tidak ada habisnya.
Kita pernah mendengar kalimat seperti ini kan, “anak saya masih kecil, saya tidak bisa pelayanan, nanti saja”, “saya belum bisa memberikan perpuluhan, saya lagi bergumul, sedang membangun toko kecil, saya belum bisa pelayanan dll., nanti saja”. Orang yang selalu katakan nanti, itu menyatakan Tuhan tidak bisa memelihara saya hari ini, tidak ada hari ini untuk saya, adanya nanti, pemeliharaan Tuhan itu untuk nanti, untuk besok, di dalam hal ini Kerajaan Allah tidak ada besok, adanya adalah hari ini. Tidak berarti bahwa besok itu bukan realita, bukan itu poinnya, ya betul besok memang ada, tetapi besok akan menjadi hari ini juga, kalau hari ini saya bilang tidak, maka tidak ada jaminan besok jadi ya, mana ada jaminan itu. Kalau hari ini saya bilang tidak cukup, ya besok juga tidak cukup, karena yang dipersoalkan di sini adalah kekuatan pemeliharaan Tuhan, Tuhan kan kekal, memelihara bukan hanya ya besok, memelihara hari ini juga. Kalau hari ini menurut saya Tuhan gagal memelihara, mana bisa saya mengatakan Tuhan yang sama bisa sanggup memelihara hari esok? Itu kan absurd, lebih compatible katakan Tuhanku yang gagal memelihara saya hari ini, juga akan gagal setiap hari, besok gagal lagi dan gagal seterusnya, kenapa? Karena hari ini pun Dia gagal memelihara saya, berbicara seperti ini yang jauh lebih konsisten.
Alkitab mengatakan, juallah segala milikmu, berikanlah sedekah, saya percaya kalimat ini bukan satu kalimat yang kita hayati secara harafiah. Lalu apa artinya juallah segala milikmu? Maksudnya di dalam pengertian hal-hal yang seringkali menjadi berhala di dalam kehidupan kita itu harus dijual. Segala itu maksudnya all kind, semuanya, jangan pilih-pilih, waktu kita mempersembahkan kepada Tuhan, jangan memilih apa yang tidak terlalu berharga juga dalam kehidupan kita. Saudara dan saya, kita tahu apa yang menjadi Ishak di dalam kehidupan kita, Abraham diminta untuk mengorbankan Ishak, bukan mengorbankan ternak atau harta yang lain. Waktu Tuhan meminta Ishak, Tuhan seperti memegang jantung hatinya, Abraham langsung shock, kok Tuhan memegang yang itu, kok Tuhan minta bagian ini. Saya tidak bisa yang ini Tuhan, yang lain saja, jangan uang Tuhan, yang lain ok, mau waktu, talenta, silahkan, tetapi jangan uang, kalau uang saya susah Tuhan. Kalau yang lain mungkin lain lagi, kalau uang tidak apa-apa, tetapi jangan perasaan saya Tuhan, tidak boleh ada orang yang melukai saya, tidak boleh, saya menyembah perasaan saya, dst.
Orang itu macam-macam pergumulannya, apa yang harus dia serahkan kepada Tuhan, jual segala milikmu. Tetapi alkitab mengatakan segala, artinya bukan hanya uang, bukan hanya talenta, bukan hanya perasaan, Tuhan minta semua milikmu dan berikanlah sedekah, maksudnya adalah berikanlah itu kepada orang lain supaya bisa dinikmati, jangan mengumpulkan harta bagi dirimu sendiri. Perasaanmu itu jangan hanya pikir untuk dirimu sendiri, kalau disakiti sadar, kalau menyakiti orang lain tidak sadar, kalau orang lain senang sama kita, kita sadar, waktu kita mau menyenangkan orang lain, kita tidak terlalu tertarik dst. Itu orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, harta di sini bukan cuma material, bukan, bisa macam-macam.
Intinya adalah kehidupan yang hanya berpusat pada diri sendiri, tidak mau memberi sedekah, tidak ada distribusi anugerah untuk sekelilingnya tidak ada, semuanya adalah untuk diri sendiri. Yesus mengatakan, orang kalau terus mencari untuk dirinya sendiri dia kehilangan nyawanya, ini prinsip paradoksikal, barang siapa menyerahkan, dia memperoleh, barang siapa mempertahankan mati-matian, dia makin banyak kesulitan, akan kehilangan, Karena saudara dan saya bukan orang yang paling bisa menjaga kehidupan kita sendiri. Yang paling bisa mengurus hidup kita paling sempurna, termasuk hal-hal yang paling sederhana, seperti perasaan, uang dsb., itu yang paling sanggup mengurus itu adalah Tuhan, bukan saudara dan saya. Sepintar apa pun kita mengkelola, alkitab katakan kamu akan kehilangan, makin menderita.
Orang yang terus-menerus menjadikan perasaannya jadi Tuhan, tidak boleh disentuh oleh orang lain, dia akan semakin menderita, bukan makin bahagia. Tetapi orang yang bisa melupakan, mulai belajar untuk memperhatikan perasaan orang lain, jadi peka akan perasaan orang lain, kalau saya bicara seperti ini melukai dia tidak ya, dst., orang seperti ini yang menyelamatkan perasaannya sendiri, perasaannya jadi ganti arah, tadinya ke dalam sekarang ke luar dan terutama kepada Tuhan. Martin Luther membicarakan tentang konsep dosa seperti ini, dosa itu seperti melihat kepada diri, pandangannya tidak ada horison yang lain kecuali kepada diri sendiri, terus, terlalu self aware. Tetapi waktu seseorang dibenarkan, diangkat kepalanya, dia bisa berkata oh.. di luar ternyata ada orang lain, ternyata di dunia ada family lain, bukan hanya family saya, ternyata di dunia ada Tuhan, bukan hanya saya, Tuhan, orang lain dan sesama. Arah hidupnya jadi berubah, horisonnya itu menjadi kaya, bukan hanya melihat diri sendiri saja.
Bagian terakhir, “buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada”. Bersyukur ada krisis, kalau orang yang normal pasti ada sedihnya, ada kuatirnya, itu betul, tetapi sekali lagi krisis seperti ini mengingatkan kepada kita, kalau kita berusaha kaya di sini dan bukan kaya dihadapan Allah, indeed akan banyak alasan untuk tidak menjadi secure. Kita rindu kehidupan kita lebih banyak dipenuhi kekuatiran-kekuatiran Kerajaan Allah (kekuatiran masih banyak orang yang berdosa, belum mengenal Tuhan dll), bukan kekuatiran yang di sini dan sekarang saja. Kiranya Tuhan memberkati kita. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)