Hari ini kita akan merenungkan topik tentang ‘kerendahan hati’. Tema ini masih berkaitan dengan Kalender Gereja, sebagaimana Votum hari ini dari 1 Petrus 5:5, suatu ajakan untuk merendahkan diri karena Allah menentang orang yang congkak. Tetapi hari ini kita akan membahasnya secara topikal, termasuk juga dari ayat-ayat yang lain.
Kita sadar ada problem dalam hal kerendahan hati; dalam hal ini, ada beberapa hal yang bisa kita bicarakan. Pertama, jelas kita ini manusia yang sudah jatuh di dalam dosa; natur keberdosaan kita secara alamiah lebih mengajarkan kita untuk jadi sombong/congkak daripada rendah hati. Rendah hati, itu sesuatu yang asing bagi manusia yang sudah jatuh di dalam dosa, bukan sesuatu yang alamiah, melainkan hanya bisa diberikan Tuhan oleh anugerah-Nya di dalam kehidupan kita. Ini bukan sesuatu yang secara natural, yang dengan sendirinya kita seperti itu. Itu sebabnya sulit untuk mebicarakan tentang kerendahan hati, sebagaimana juga kebajikan-kebajikan (virtues) yang lain. Natur keberdosaan kita betul-betul tidak mendukung, kita lebih gampang jadi sombong tanpa harus ada yang mengajarkannya; itu sudah bawaan kita sejak lahir. Dan, bukankah dalam cerita kejatuhan Adam, kita membaca juga keinginan untuk menjadi seperti Allah. Agustinus mengatakan –dan Calvin dalam batas tertentu juga setuju—bahwa ini adalah akar dari kejahatan (the root of all evil), dosa yang membawa kepada dosa-dosa yang lain –yaitu kecongkakan. Kecongkakan ingin menjadi seperti Allah; tidak menerima posisi yang ditetapkan Tuhan di dalam ciptaan, padahal itu adalah posisi yang paling tinggi untuk manusia. Waktu manusia ingin lebih tinggi, sebetulnya bukan jadi lebih tinggi –karena sudah berada di posisi tertinggi yang diberikan Tuhan– tapi malah jatuh. Konyol.
Seorang penulis spirtual mengatakan, ‘waktu kita merendahkan diri, sebetulnya kita sedang naik ke atas; sedangkan waktu kita meninggikan diri, kita sedang turun ke bawah’. Tapi tentu saja dunia tidak mengerti seperti itu. Dunia mengertinya orang yang rendah hati, dia ke bawah, sedangkan orang yang tinggi hati –meninggikan diri—sudah tentu ke atas; ‘tinggi’ sudah pasti ke atas, sedangkan ‘rendah’ tentu ke bawah. Itu sebabnya di dalam masyarakat Greco-Roman, rendah hati (humility) dianggap sebagai tanda mentalitas/budaya rendah, mentalitasnya budak, tidak cocok untuk orang-orang merdeka. Rendah hati itu cocoknya untuk para budak yang memang harus rendah hatilah; tapi orang-orang merdeka tidak perlu rendah hati. Di dalam masyarakat Greco-Roman bukan tidak ada pembicaraan tentang virtues, ada The Four Cardinal Virtues –yang tentu saja bisa kita kaitkan dengan prinsip Kristen. The Four Cardinal Virtues ini, baik self-control (penguasaan diri), atau prudence (dalam istilah Kristen kadang dipakai istilah ‘hikmat/bijaksana’), atau courage (keberanian/kekuatan/fortitudo), atau righteousness/justice (kebenaran/keadilan), semua ada pada mereka, tetapi humility (kerendahan hati) tidak termasuk, karena hal ini bukan dianggap sebagai virtue melainkan mentalitasnya budak. Orang merdeka justru tabu kalau menjadi rendah hati. Di dalam filsafat modern, pemikiran Nietzsche juga kira-kira menghidupkan lagi konsep ini, kerendahan hati dikaitkan dengan mentalitas budak.
Belum lagi ditambah dengan masyarakat kita yang sangat kompetitif, yang bersaing satu dengan yang lain; bahkan secara sadar atau tidak sadar Gereja pun bisa saling bersaing, demikian juga hamba Tuhan, pendeta. Di dalam kesempitan hati seperti ini, yang didorong oleh ego kita, sulit untuk membicarakan kerendahan hati. Yang rendah hati jangan-jangan dianggap orang yang kalah –mirip seperti masyarakat Greco-Roman tadi– yang rendah hati itu orang yang terpaksa memang harus rendah hati, alias tidak ada pencapaian, para pecundang; sedangkan mereka yang banyak pencapaian, tidak cocok untuk rendah hati, dia musti menceritakan pencapaiannya, keberhasilannya, kebolehannya, kehebatannya –justru supaya tidak usah rendah hati. Worldview kompetitif seperti ini, sangat tidak menyuburkan, menghalang-halangi, dan menghancurkan narasi kerendahan hati di dalam kehidupan orang percaya.
Problem lain lagi, kita orang Timur sangat kuat dengan ‘honor-shame culture’, bahwa hidup ini adalah urusan kemuliaan, urusan “muka”; bahkan hal ini kadang-kadang lebih kuat daripada urusan benar-salah, jujur atau tidak. Kadang-kadang kejujuran bisa dipelintir sedemikian rupa untuk menjaga kehormatan, bicara salah-salah sedikit tidak apa, tapi yang penting terhormat, tidak dipermalukan. Kita peka sekali dengan urusan honor and shame, lalu kita menghidupi kehidupan yang ‘jangan dihina’. Memang siapa sih, yang mau dihina; tidak salah kalau orang tidak mau dihina. Kita memang tidak perlu cari penghinaan, tapi kadang-kadang, karena tidak mau dihina, kita masuk ke dalam model spirit kompetitif tadi, kita tidak boleh kalah dengan orang lain. Lalu, waktu kita tidak boleh kalah, akhirnya kita menang; dan setelah menang, yang terjadi adalah menghina dan merendahkan yang lain. Honor-shame culture ini, kalau kita tidak menaruhnya pada Tuhan, kalau bukan kehormatannya Tuhan yang kita kejar dan jaga melainkan kehormatan kita sendiri, kehormatan keluarga kita, bahkan kehormatan Gereja kita, maka kita akhirnya bisa jatuh ke dalam kebudayaan “daripada dihina, lebih baik menghina; daripada direndahkan, lebih baik merendahkan”, dst., dst. Ini membuat kita semakin sulit membicarakan kerendahan hati. Tidak ada tempat untuk membicarakan kerendahan hati di dalam masyarakat yang sakit seperti ini.
Kalau kita membaca Alkitab, kita tidak bisa mengabaikan kerendahan hati ini. Dalam 1 Petrus 1:24-25 kita membaca: ‘Sebab: “Semua yang hidup adalah seperti rumput dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput, rumput menjadi kering, dan bunga gugur, tetapi firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya.” Inilah firman yang disampaikan Injil kepada kamu.’ Apa kaitan ayat ini dengan kerendahan hati? Kerendahan hati, pertama adalah karena kita ini ciptaan; dan yang namanya ciptaan, itu melayang lenyap. Ini poin yang pertama, humility and being created. Ciptaan itu transitory, terbatas. Di ayat ini dikatakan, ciptaan itu seperti rumput, kemuliaannya seperti bunga rumput, rumput menjadi kering, dan bunga gugur.
Dalam kebaktian pagi, kita membicarakan tentang kekuatiran; di situ ada contoh tentang bunga bakung yang sementara hidupnya, tapi didandani sedemikian rupa oleh Allah, dan lebih indah daripada kemegahan pakaiannya Salomo. Mengapa? Salah satunya, karena bunga bakung ini bukan mendemonstrasikan kekayaannya; sedangkan waktu Salomo pakai pakaian mahal, dia mendemonstrasikan kekayaannya, seberapa banyak uangnya hingga dia bisa memakai pakaian seperti demikian –dan di dalam dunia kita, banyak orang seperti itu. Bunga bakung tidak ada urusan semacam itu, dia hanya mencerminkan kecukupan pemeliharaan Tuhan, justru di dalam kesementaraannya. Kesementaraan tidak selalu harus negatif; dalam hal ini, kesementaraan bisa kita kaitkan dengan kerendahan hati, bahwa kita rendah hati karena kita ini sementara, karena kita ini tidak kekal. Justru karena kita sementara, kita harus rendah hati. Tanpa orang menggumuli/menghayati ke-tercipta-annya, sulit untuk jadi rendah hati. Jangan lupa, Adam jatuh ke dalam dosa kecongkakan karena dia ingin menjadi seperti Allah, padahal dia ciptaan. Dia mau menyangkali/menegasi keterciptaannya. Dia mau menegasi keterbatasannya, padahal terbatas/transitory bisa indah, seperti bunga bakung yang cuma satu hari hidupnya. Ada keindahan di dalam kesementaraan, ada keindahan di dalam keterbatasan. Justru karena kita terbatas, maka Tuhan boleh relevan dalam kehidupan kita –precisely karena kita terbatas. Justru karena kita ciptaan, maka boleh ada Pencipta yang seharusnya hadir di dalam kehidupan kita. Kalau kita bukan ciptaan, tidak perlu bicara tentang Pencipta. Kalau kita bukan terbatas, kalau kita tidak terbatas, ya, sudah, kita bukan saja tidak membutuhkan Tuhan, kita tidak membutuhkan sesama manusia juga.
Dengan menghayati keterbatasan/kesementaraan, kita jadi orang yang rendah hati, kita menjadi orang yang bergantung bukan saja kepada Allah, tapi juga –dalam batas tertentu– bergantung kepada yang lain. Ini adalah poin yang kedua, humility and dependence. Orang yang tahu bahwa dirinya perlu bergantung, dia orang yang rendah hati, bergantung kepada Allah, bergantung kepada sesama. Justru bahaya kalau dalam kehidupan ini kita merasa tidak membutuhkan sesama lagi, semua bisa kita kerjakan sendiri. Apalagi kalau kita berpikir, ‘Ah, orang lain itu, makin hadir makin bikin repot, lebih baik tidak ada; kalau tidak ada orang lain, saya kerjanya bisa lebih beres; orang lain ikut campur, akhirnya malah berantakan, ya, gara-gara orang lain hadir dalam kehidupan saya’ –kacau, yang seperti ini. Bagaimana kita bisa menjadi orang yang rendah hati, kalau kita gagal menghidupi kehidupan yang saling bergantung satu dengan yang lain? Kita ini terbatas, kita tidak bisa melakukan semuanya A-Z; itu benar dan indah. Mengapa? Karena di situ kita diundang untuk menjadi lengkap, dengan persekutuan; kita diajak untuk bergantung kepada Tuhan, bergantung kepada sesama, dan ini indah, berarti kita perlu persekutuan.
Masih di dalam Surat Petrus, 1 Petrus 5: 6-7, “Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat (ada kerendahan hati di sini), supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.” Ada kaitan yang tidak terpisahkan antara kerendahan hati (merendahkan diri di bawah tangan Tuhan) dan kebergantungan (menyerahkan segala kekuatiran kita kepada Tuhan). Ini berarti kebergantungan. Orang yang rendah hati berarti orang yang bergantung; bukan hanya kepada Tuhan tapi juga saling bergantung dengan sesama orang percaya.
Berikutnya, kita musti membedakan kerendahan hati (humility) ini dari kerendahan hati dalam kebajikan secara umum (common virtue) atau anugerah umum, yang memang tetap dari Roh Kudus. Maksudnya, kita mau secara khusus membicarakan kerendahan hati dari perspektif Kristen, yaitu bahwa hal ini selalu berkait dengan pernyataan kemuliaan Allah. Rendah hati di dalam dunia, bisa tanpa Allah. Misalnya kita melihat orang lain lebih baik dari kita, kita tidak mungkin bisa bersaing dengannya karena dia begitu brilian, begitu jenius, begitu kaya, begitu bertalenta, begitu cantik, ganteng, dsb. –sehingga kita cuma bisa rendah hati. Memang mungkin saja rendah hati –mungkin juga agak terpaksa rendah hatinya—tapi ini tidak berkaitan dengan visi kemuliaan Allah.
Dari perspektif Kristen, waktu kita bicara kerendahan hati, itu terutama adalah suatu respons setelah kita melihat Allah yang mahakudus sementara kita ini orang yang najis. Saudara membaca hal ini di dalam diri Yesaya, cerita pasal 6 yang terkenal itu. Bukan kebetulan, Saudara baca di situ, Yesaya melihat Tuhan yang duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci (Yes. 6:1), lalu di ayat 3, para malaikat berseru seorang kepada seorang, katanya: “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” Dari sini, dari visi kekudusan Tuhan yang dinyatakan bagi Yesaya, dia merespons di ayat 5: “Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam.” Perhatikan, respons Yesaya terhadap visi kekudusan Allah, adalah pengakuan dosa. Inilah poin ketiga dari kerendahan hati.
Kita sebetulnya cukup mengatakan, karena kita ini ciptaan, bukan pencipta, maka kita harus rendah hati; tetapi lebih lagi, kita ini bukan cuma ciptaan melainkan ciptaan yang sudah jatuh –karena itu lebih lagi harus rendah hati. Seandainya tidak jatuh pun, tetap harus rendah hati, karena ciptaan; apalagi ciptaan yang sudah jatuh ke dalam dosa, maka lebih lagi kita harus rendah hati.
Di dalam bacaan Alkitab ada gambaran orang Farisi dan orang pemungut cukai; apa yang membedakan mereka? Yang satu congkak, merasa benar sendiri, self-righteous; yang satunya lagi rendah hati, dibenarkan. Apa yang membedakan mereka? Yang membedakan adalah pengakuan dosa (confession of sin). Sulit untuk jadi rendah hati, kalau kita suka membenarkan diri sendiri. Kalau orang membenarkan diri sendiri, berarti dia tidak ada kerendahan hati; setiap kali orang berikan kritik, masukan, dia selalu ada justification, ada penjelasan “O, itu begini, begini, begini, kamu salah mengerti, maksud saya begini, begini, begini,” –tidak pernah salah, tidak pernah mengaku salah, dikuasai oleh pride, gengsi, ego, dan tidak ada praktek pengakuan dosa. Lalu kalau di sini bilang, “Ada koq, saya di hadapan Tuhan mengaku dosa” –di hadapan Tuhan rendah hati, sementara di hadapan sesama mengangkat hidungnya tinggi-tinggi—saya pikir orang ini hidup skizofrenik.
Kita tidak percaya kehidupan yang seperti ini, yang di hadapan Tuhan sepertinya ‘O, Tuhan, ampunilah dosaku, ampuni aku’, tapi di hadapan manusia jadi orang yang super self-justifying and self-righteous. Apakah mungkin kehidupan yang seperti ini secara narasi Kristen?? “O, tidak sih, saya orang yang rendah hati (di hadapan Tuhan saja), tapi di hadapan kamu ‘gak maulah, ngapain saya rendah hati di hadapan kamu; tapi bener saya ini rendah hati, koq, buktinya saya ada pengakuan dosa waktu berdoa pribadi di hadapan Tuhan”, tapi kemudian di dalam kehidupan ini ketika orang lain menegur atau kritik, selalu ada pembenaran demi pembenaran. Saya tidak percaya yang seperti ini, karena tidak ada dasar Alkitab. Yang ada adalah, orang yang suka membenarkan dirinya sendiri, dia juga tidak ada pengakuan dosa di hadapan Tuhan. Kalau dia betul jujur, ada praktek pengakuan dosa di hadapan Tuhan, dia tidak akan menjadi pribadi yang suka membenarkan dirinya sendiri.
Perhatikan orang Farisi, mereka tampil self-righteous di hadapan masyarakat Yahudi; dan mengapa mereka self-righteous? Saudara dapati dalam cerita tersebut, mereka self-righteous karena waktu datang ke Bait Allah pun, mereka tidak mengaku dosa, yang ada adalah pameran kelebihan dirinya –termasuk di hadapan Tuhan—maka ini berakibat ketika mereka hidup di dalam masyarakat, mereka juga akan self-righteous; sekali lagi, karena di hadapan Tuhan pun tidak ada pengakuan dosa. Jadi, Saudara jangan menipu dengan mengatakan “saya di hadapan Tuhan ada pengakuan dosa, koq, cuma di hadapan orang saja tidak, gengsi dong, kita kebudayaan Timur tidak boleh sedikit-sedikit mengaku salah, itu tabu, ‘gak bisa dong gampang-gampang bilang ‘maaf’, nanti bisa dihina” –kembali lagi ke sana lagi, honor and shame culture, kita menjaga kemuliaan/kehormatan diri kita dengan tidak mengaku salah. Spiritualitas seperti ini adalah persoalan. Gengsi, pride, dsb., itu menyebalkan Tuhan. Tuhan menentang orang yang congkak, demikian Firman Tuhan. Jadi, ada kaitan tidak terpisahkan antara kerendahan hati (humility) dengan pengakuan dosa (confession of sin).
Saya mengutip Leo Tolstoy: “It is often better for a person to recognize the sin than to do a good deed. Recognizing a sin makes a person humble. Doing a good deed often can feed a person’s pride”; kalau diterjemahkan bebas: ‘seringkali lebih baik bagi seseorang untuk mengakui dosanya daripada melakukan perbuatan baik’. Kita jangan tafsir ini men-discourage perbuatan baik, yang dimaksud Tolstoy adalah waktu kita mengakui dosa kita, mengakui kelemahan kita, itu membuat kita jadi rendah hati. Sebaliknya, waktu punya pencapaian ini dan itu, berbuat baik ini dan itu, seringkali hal tersebut memberi makan kesombongan/kecongkakan seseorang. Kalimat ini betul sekali.
Sekali lagi, yang jadi persoalan bukan berbuat baik-nya, melainkan berbuat baik yang tidak disertai dengan kesadaran bahwa kita ini banyak kelemahan dan kekurangan, sehingga akhirnya perbuatan baik itu menjadi makanan bagi kecongkakan kita; semakin kita berbuat baik, semakin sombong, semakin self-righteous –justru bukan karena tidak ada perbuatan baik melainkan karena berbuat baik. Perhatikan orang-orang Farisi, memang betul mereka tidak seperti pemungut cukai. Masuk akal kalau kita mengatakan mereka secara moral lebih baik daripada pelacur, pemungut cukai; tapi itu justru membuat mereka jadi makin sombong, makin tidak mengerti apa artinya anugerah Tuhan. Itu sebabnya, poin berikutnya adalah: kerendahan hati (humility) tidak bisa dipisahkan dari penghayatan anugerah keselamatan.
Di dalam PA Lansia, saya baru saja sharing Efesus 2 yang terkenal itu: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Ef. 2: 8-10). Perhatikan, penghayatan bahwa keselamatan adalah kasih karunia/anugerah Tuhan, menjadi dasar/alasan untuk kita ini jangan memegahkan diri. Mengapa jangan memegahkan diri? Karena keselamatan itu sepenuhnya kasih karunia/anugerah Allah, sola gratia Dei. Ini bukan hasil pekerjaan kita, jadi jangan ada orang yang memegahkan diri. Orang yang memegahkan diri, dia tidak mengerti Injil, tidak mengerti kasih karunia, tidak mengerti Kristus. Kalau kita mengenal Kristus, mengenal bahwa ini adalah pemberian, maka ‘memegahkan diri’ adalah hal yang di-exclude dari kehidupan Kristen. Dan, baru setelah itu penulis Efesus membicarakan tentang pekerjaan baik. Sekali lagi, keselamatan yang adalah anugerah/kasih karunia me-negasi kecongkakan/kemegahan diri, baru setelah itu perbuatan baik. Ini tidak berbenturan dengan yang dikatakan Tolstoy.
Tolstoy mengatakan, lebih baik mengakui dosa daripada melakukan pekerjaan baik, karena mengakui dosa bisa membuat seseorang rendah hati, sedangkan melakukan pekerjaan baik bisa membuat orang memegahkan diri. Ini memang betul, tidak salah; tetapi kalau Saudara meletakkan perbuatan baik tersebut setelah kerendahan hati –bukan memegahkan diri—yang juga setelah menghayati keselamatan adalah sepenuhnya anugerah Tuhan, maka Saudara bisa dengan bebas melakukan pekerjaan baik. Pekerjaan baik tersebut tidak akan dinodai oleh kesombongan kita; mengapa? Karena ‘memegahkan diri’-nya sudah tidak ada. Tapi bagaimana bisa tidak memegahkan diri? Yaitu dengan merenungkan/menghayati bahwa keselamatan ini sepenuhnya anugerah dan kasih karunia Tuhan.
Saudara, kita jangan cuma mengerti Injil secara reduktif, lalu setelah itu ditaruh di pojokan dan tidak jelas. Bilangnya “Ya, saya percaya Injil; saya orang Kristen koq, masakan saya tidak percaya Injil, sudah pasti percaya”, tapi di dalam hidup kita suka menceritakan kelebihan-kelebihan kita, pencapaian-pencapaian kita. Di PA Lansia tadi, saya mengingatkan oma-opa bahwa ada 2 macam orang tua; ada orang tua yang waktu melihat ke belakang lalu pembicaraannya: “Dulu, ya, Om ini kerja ini dan itu; yang ini dan yang itu semua Om yang bangun; Om ini ahli di bagian ini dan itu” –memegahkan diri. Atau, ada juga orang tua yang waktu melihat ke belakang, yang dilihat adalah ‘saya ini sebetulnya orang yang biasa-biasa saja, orang yang banyak kelemahan, tapi sepanjang kehidupan saya ini, saya selalu melihat bagaimana kasih karunia Tuhan dinyatakan di dalam kehidupan saya, yang biasa-biasa ini’. Saudara orang yang seperti apa? Waktu cerita, Saudara menceritakan apa; menceritakan anugerah Tuhan, kasih karunia Tuhan, belas kasihan Tuhan yang dinyatakan, termasuk juga di dalam kehidupanmu yang lemah itu, sebagaimana Paulus mengatakan ‘justru di dalam kelemahankulah kuasa Tuhan menjadi nyata’, inikah narasinya? Atau narasi kita adalah pencapaian-pencapaian kita, how great we were, how great I was, “sayangnya sekarang sudah tidak lagi karena sudah lansia, sayangnya sudah tidak terlalu bisa apa-apa lagi; tetapi dulu, dulu tidak menyedihkan kayak begini, dulu … “. Kalau seperti itu, betulkah Saudara dan saya percaya Injil? Betulkah Saudara dan percaya keselamatan adalah anugerah di dalam kehidupan kita? Kalau benar, lalu apa artinya di dalam kehidupan kita? Menurut Efesus, artinya adalah tidak ada kemegahan diri, dan kita bebas melakukan pekerjaan baik tanpa harus dinodai dengan kebanggaan-kebanggaan atau kemegahan diri yang kekanak-kanakan dan tidak ada perlunya.
Kerendahan hati juga berkaitan dengan memberi segala kemuliaan bagi Allah; karena sola gratia, maka soli Deo gloria. Kita rendah hati karena kita memberi segala kemuliaan bagi Allah, doksologi. Doksologi ini bukan cuma bagian dari Ibadah Minggu yang tidak samai 5 menit kita menyanyikannya; doksologi adalah liturgi kehidupan kita.
Waktu kita bicara tentang pengakuan dosa, kita mengaku dosa di hadapan Tuhan, dan di hadapan sesama kita juga tampil vulnerable, tampil beserta dengan kelemahan kita; bukan self-justifying, bukan self-righteous, tapi narasinya sama, sebagaimana kita di hadapan Allah, demikian juga kita di hadapan manusia. Waktu kita bicara tentang doksologi, kita juga bisa mengatakan seperti itu; doksologi adalah pemuliaan Tuhan (adoration of God), tapi dalam hal ini kita juga adoring fellow human being. Kita tidak bisa mengaku dosa di hadapan Tuhan tapi di hadapan sesama, kita gengsi, tidak mau mengaku salah, selalu membenarkan diri; orang yang seperti itu, artinya dia tidak ada pengakuan dosa. Dan sama seperti itu, orang yang hatinya sempit, yang setiap kali selalu bicara kelemahannya orang lain, selalu bicara kejelekannya orang lain, tidak bisa mengagumi orang lain (adoring others), dia adalah orang yang tidak berdoksologi di hadapan Tuhan. Dia tidak menjalankan hidup yang berdoksologi, worshipping God tidak ada dalam kehidupannya; karena kalau orang worshipping God dan adoring God di dalam kehidupannya, secara horisontal dia juga akan jadi orang yang gampang kagum dengan sesamanya. Inilah kerendahan hati.
Orang yang melihat keindahan pada diri orang lain, adalah orang yang rendah hati. Orang yang tidak rendah hati, dia tidak bisa adoring others, dia memuja dirinya sendiri –dasar orang narsisistik. Dia sulit untuk melihat kelebihan atau keindahan orang lain. Dia sulit mengatakan, “bagian ini saya belajar dari kamu”; sebetulnya sih belajar dari orang lain, tapi dia tidak mau kutip, tidak mau give credit kepada orang lain, seakan-akan dia sendiri yang menemukannya –padahal dia belajar dari orang lain. Ada gengsi di dalam kehidupannya, sulit untuk adoring others; egonya tidak menolong dia untuk bisa mengakui kebaikan/jasa orang lain. Bukan berarti kita mau meninggikan jasa manusia, tapi maksudnya mengakui pekerjaan Tuhan di dalam kehidupan orang lain, keindahan yang diberikan Tuhan di dalam diri orang lain. Jadi, orang yang sulit untuk adoring others, orang tersebut sedang tidak adoring God. Orang yang adoring God, yang worshipping God, maka dia akan adoring others –ini paralel. Dan ini kerendahan hati.
Saya mengutip C. S. Lewis; “As long as you are proud, you cannot know God. A proud man is always looking down on things and people; and of course as long as you are looking down, you cannot see something that is above you”. Selama kita ini sombong/congkak, kita tidak bisa mengenal Allah. Seorang yang congkak/sombong, selalu melihat ke bawah, memandang rendah segala sesuatu, baik itu barang maupun orang; dan tentu saja selama kita ini terus-menerus memandang rendah, maka kita tidak bisa melihat sesuatu yang di atas kita –karena kita melihat ke bawah terus. Doksologi itu gesturnya ke atas; maka C. S. Lewis mengatakan, kalau orang membiasakan diri memandang rendah orang lain terus, look down terus, dia tidak bisa melihat bahwa ada yang di atas dirinya. Kasihan sebetulnya, karena dia tidak bisa melihat keindahan, padahal di atas banyak hal yang indah, yang dia bisa kagumi. Akhirnya dia tidak ada kekaguman dalam hidupnya, tidak ada adoration, padahal to be human is to adore, kita sebagai manusia tidak bisa tidak mengagumi. Kita diciptakan untuk adore, tapi kalau hal ini tidak ada, tidak ada kekaguman, maka yang ada cuma menghina dan menghina, look down dan look down, lalu dia pikir dirinya tinggi sendiri di atas; tapi bukannya tinggi sendiri di atas, dia kesepian sebetulnya. Orang yang sendirian di atas, ya, tidak ada temannya, karena tidak ada yang dia adore, bahkan Tuhan pun dia tidak adore, yang dia kagumi cuma dirinya sendiri. Kasihan orang-orang seperti ini, tersendiri, terasing; mengapa? Ya, karena tidak ada yang dia adore. Namun, narasi kerendahan hati bukanlah ini.
Selanjutnya, kita mau membicarakan manfaat-manfaat (the benefits) kerendahan hati. Perhatikan, waktu kita mengatakan ‘manfaat-manfaat/kegunaan-kegunaan’ (ini meminjam istilah yang sering dipakai Calvin), ini bukan berarti kerendahan hati jadi semacam sarana untuk mencapai goal yang lebih tinggi, bukan berarti kerendahan hati sebagai sesuatu yang ditunggangi belaka atau diperalat untuk mencapai goal yang lebih tinggi. Istilah ‘manfaat’ tidak harus dijelaskan ke sana. Tuhan menyelamatkan kita justru supaya kita memiliki persekutuan dengan Kristus; dan di dalam persekutuan dengan Kristus tersebut, kita ada kerendahan hati. Kerendahan hati ini bukan sarana; kerendahan hati bisa dikatakan adalah goal itu sendiri, suatu Christian virtue. Keserupaan dengan Kristus, jelas bukanlah sarana untuk mencapai yang lebih tinggi, karena apa lagi yang lebih tinggi daripada keserupaan dengan Kristus? Tidak ada. Itu adalah goal-nya. Jadi, waktu kita mengatakan dalam bagian ini, ‘manfaat kerendahan hati’, jangan salah mengerti; yang dimaksud di sini adalah bahwa orang yang rendah hati, ada janji-janji Allah baginya.
Ada janji-janji Allah bagi orang yang rendah hati, misalnya di dalam Surat Petrus 5:6, “Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya.” Dari ayat ini, tidak salah kalau kita mengatakan ‘ditinggikan adalah manfaat dari kerendahan hati’. Orang yang merendahkan diri, janji Allah mengatakan, dia akan ditinggikan oleh Tuhan pada waktunya. Ini termasuk manfaat dari kerendahan hati. Mereka yang meninggikan diri, akan direndahkan; tapi mereka yang merendahkan diri, akan ditinggikan. Ini bentuk divine passive. Maksudnya, yang meninggikan tentu saja Allah; bukan kita yang meninggikan diri kita sendiri, kita pasif, lalu yang meninggikan adalah Tuhan.
Berikutnya, orang yang rendah hati, dia mengenal Allah dengan benar, dia juga mengenal dirinya dengan benar/tepat. Orang yang congkak, tidak mungkin mengenal Allah dengan benar; kalaupun ada “semacam allah” dalam hidupnya, itu adalah proyeksi kecongkakannya sendiri. Bukan Allah yang dia sembah tapi proyeksi dirinya sendiri, lalu dia pikir itu Allah, dan dia sembah-sembah, padahal itu bukan Allah yang sejati, itu cuma proyeksi dirinya, berhala, yang dia sembah. Kasihan sekali. Suatu saat waktu dia berjumpa dengan Tuhan, Tuhan bilang, “Enyahlah kamu pembuat kejahatan, Aku tidak mengenal engkau”. Menakutkan sekali. Dia pikir dirinya sedang beribadah kepada Allah, dia pikir dirinya sedang menyembah Allah yang sejati, tapi ternyata itu proyeksi dirinya sendiri, imajinasinya sendiri yang diproyeksikan dari bawah, self-made/created by himself/herself.
Tak perlu dikatakan lagi, orang yang tidak mengenal Allah dengan benar, pasti juga tidak tepat mengenal dirinya sendiri. Orang sombong, orang congkak, mana bisa mengenal diri dengan tepat. Dia selalu salah mengenal dirinya. Lihatlah orang-orang Farisi itu, mereka salah menilai diri. Ketika Yesus berurusan dengan orang-orang Yahudi, Yesus mengatakan, “kebenaran itu akan memerdakakan kamu”, tapi mereka pikir mereka tidak perlu dimerdekakan, memangnya kita budaknya siapa? memangnya siapa yang menjajah kita?? Saudara lihat, orang yang congkak, tidak bisa mengenal dirinya sendiri. Salah menilai diri, salah mengenal diri; mengapa? Ya, karena kecongkakannya itu membutakan dia mengenal dirinya dengan tepat.
Orang yang rendah hati bukan hanya akan mengenal Allah dan mengenal diri, tapi dia juga akan peka dan mudah bersyukur atas anugerah Allah. Orang yang rendah hati, dia gampang terharu. Dia tidak ada rasa berhak untuk dihargai, rasa berhak untuk dilayani, dikasihi, dihormati, dipuji-puji, dsb.; dia tidak jadi orang yang seperti itu. Bagi dia, dihina itu wajar, karena kita memang orang berdosa.
Seorang pernah mengatakan –kalau tidak salah, Spurgeon—waktu orang mencela/mengkritik kita dan kita marah, ini sebetulnya respons yang salah, karena waktu orang mencela kita, respons kita harusnya adalah ‘yang sesungguhnya ada dalam diri saya, itu lebih buruk daripada kritikan dia’ [parafrasa bebas dari kalimatnya aslinya]. Waktu orang mengkritik kita dan kita marah, itu berarti kita merasa lebih tinggi daripada itu; di sini Spurgeon mengingatkan, bukan demikian, sebetulnya waktu orang mengkritik kita, dan kita jujur, maka kita tahu bahwa keburukan saya adalah lebih dalam daripada yang orang pikir tentang saya, jadi apa alasannya saya musti tersinggung, marah, dsb. Orang yang marah/tersinggung waktu menerima kritik, dia menilai dirinya terlalu tinggi –alias kecongkakan. Kecongkakan membuat orang merasa berhak atas pujian, terhadap profiling yang positif tentang dirinya, dan tidak bisa terima waktu dihina atau direndahkan. Padahal waktu orang merendahkan, kalau kita jujur, kita melihat diri kita ‘saya sebetulnya lebih rendah daripada yang dia pikir’, misalnya dia anggap saya minus-3, sebetulnya saya minus-17. Tapi ketika kita tersinggung waktu orang bilang kita minus-3, ini berarti kita tidak mengenal diri.
Orang yang tidak mengenal diri dengan tepat, yang mengenal dirinya terlalu tinggi, dia jadi tidak peka atas anugerah Tuhan, dia sulit bersyukur; apapun kebaikan yang dilakukan orang lain, baginya selalu kurang. Orang seperti ini sangat sulit disenangkan, hampir mustahil bisa dibahagiakan; mengapa? Karena dia tidak rendah hati. Orang lain mau melayani apapun, mau memberi apapun, dia selalu pikir ‘kenapa cuma segini, kenapa baru sekarang’ –selalu rasa kurang, kurang, kurang, dan kurang. Tidak ada ucapan syukur. Dia dalam kehidupannya tidak bisa menghargai anugerah Tuhan; mengapa? Karena congkak dan sombong.
Yesus secara khusus menyebut 2 virtue ini mengenai diri-Nya; waktu Dia mengundang orang yang letih lesu datang kepada-Nya, Dia berjanji untuk memberikan ketenangan jiwa, lalu di situ ada kalimat, “Belajarlah daripada-Ku, Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” Apa manfaat rendah hati? Kalau menurut Yesus di dalam undangan ini, kerendahan hati memberikan ketenangan jiwa. Orang yang rendah hati, jiwanya tenang. Apa maksudnya tenang? Yaitu tidak gelisah. Hal ini di dalam Matius 11, terjemahan bahasa Indonesia variatif, yaitu ketenangan, kelegaan; sementara dalam bahasa Inggris semuanya pakai istilah ‘rest’, yang juga bisa berarti ‘istirahat’. Kamu akan ada rest, jiwamu akan ada stirahat, lega, tenang. Lalu apa lawan kata-nya? Restless (gelisah). Orang yang congkak, maka satu paket dengan kecongkakan adalah kegelisahan; orang congkak pasti restless.
Beberapa tahun lalu ada gambaran yang cukup terkenal, slogan “young, reformed, restless”; bukan sudah tua baru reformed, tapi masih muda sudah reformed, lagipula restless. Saya tidak tahu mengapa bisa ada istilah seperti itu, yang saya tahu, Alkitab mengajarkan restful, bukan restless; tapi koq, bisa, ya, di dalam tradisi reformed, restless dianggap sebagai virtue?? “Saya bukan orang pengangguran lho, saya ini orang sibuk; ‘gak gampang jemaat konseling dengan saya karena saya sibuk” –restless. Kelihatannya berhasil, bukan pecundang, orang sibuk, orang sukses —restless. Tapi ini tidak ada di Alkitab. Yang ada adalah restful, bukan restless. Yang restless justru orang yang tidak datang kepada Kristus; yang datang kepada Kristus, dia restful. Saudara restless atau restful? Kita ini ada istirahat, ketenangan jiwa, atau kita ini gelisah terus? Mengapa kita gelisah terus? Kalau menurut pembahasan hari ini, karena kita kurang rendah hati. Orang yang kurang rendah hati, hidupnya gelisah. Bersamaan dengan itu, orang yang rendah hati bisa menikmati hidup ini dengan lebih gampang.
Ada kutipan terkenal yang seringkali diatribusikan kepada C. S. Lewis, tapi sebetulnya ini di-parafrasa-kan oleh orang-orang sperti Rick Warren, Tim Keller, dan pernah dikutip oleh Pendeta Jethro juga, yaitu: “Humility is not thinking less of yourself, but thinking of yourself less”. Memang betul, kalimat ini dasarnya dari Lewis, tapi kalimat aslinya sebetulnya lebih panjang; dia bilang begini: “Do not imagine that if you meet a really humble man, he will be what most people call ‘humble’ nowadays: he will not be a sort of greasy, smarmy person who is always telling you that, of course, he is nobody”. Jadi menurut Lewis, yang seperti ini bukanlah kerendahan hati; “saya bukan siapa-siapa, saya ini nobody, saya ini kurang”, itu bukanlah kerendahan hati. Selanjutnya: “Probably all you will think about him is that he seemed a cheerful, intelligent chap who took a real interest in what you said to him. If you do dislike him it will be because you feel a little envious of anyone who seems to enjoy life so easily. He will not be thinking about humility: he will not be thinking about himself at all.” Bukan thinking less of himself (herself), tetapi thinking about himself (herself) less. Jadi ini bukan gambaran kerendahan hati seperti kalau orang selalu mengatakan ‘saya bukan siapa-siapa, saya ini orang buruk, saya tidak seperti dia, saya tidak bisa apa-apa’ –ini bukan kerendahan hati tapi minder, inferior complex.
Menurut Lewis, orang yang rendah hati itu cheerful, ada sukacita, dan mungkin juga ada inteligensi; yang pasti, dia ada ketertarikan ketika orang lain bicara, dia menaruh perhatian, dia tertarik akan orang lain. Ini berarti dia bukan orang yang tertuju pada dirinya sendiri, bukan self-conscious; orang yang self-conscious, tidak mungkin rendah hati, karena segala sesuatunya adalah tentang dirinya. Menyebalkan. Ini bukan cuma tentang kekuatan dirinya, tapi juga tentang keburukannya; ‘saya ini bukan siapa-siapa, saya ini kurang, saya kecewa, saya terluka’ –semuanya tentang ‘saya’. Lalu waktu orang lain cerita, dia tidak tertarik, langsung shut-down, “ah sudahlah, saya main handphone saja, lu cerita-cerita sendiri saja”; tapi waktu dia bicara tentang dirinya, dia minta semua orang mendengarkan dia, mempedulikan dia. Betapa tidak adil.
C. S. Lewis mengatakan, orang yang rendah hati, dia tertarik akan pembicaraan tentang orang lain, dia excited mendengarkan pendapat orang lain; mungkin orang bisa tidak senang atau bahkan iri pada orang yang seperti ini. Kenapa iri? Iri karena kita pikir, koq bisa ya, orang ini hidup demikian sederhana, enjoy life so easily; karena bagi kita, orang-orang yang congkak, hidup harusnya tidak gampang seperti itu, hidup itu sesuatu yang begitu susah, hidup itu harus diperjuangkan dengan kerja keras, kita musti mencapai ini dan itu, lalu orang juga musti ingat pengorbanan saya, tidak bisa hidup dinikmati segitu mudahnya. Kita jadi iri pada orang-orang rendah hati karena mereka koq gampang banget menerima hidup ini, gampang sekali bersyukur, sedangkan saya ‘gak bisa kayak dia lho. Inilah yang dimaksud C. S. Lewis, bahwa orang-orang rendah hati bisa menimbulkan iri hati –terutama karena mereka enjoy life so easily. Ada bijaksana yang tinggi dari Lewis, bahwa orang yang rendah hati memang bisa menikmati hidup ini lebih gampang; sedangkan orang yang congkak, alangkah susahnya menikmati hidup ini, hidupnya terus-menerus isinya keluh-kesah, ketidakpuasan, tidak bisa bersyukur, selalu tersinggung, marah, konflik –karena congkak. Kecongkakan bikin ketegangan, konflik di mana-mana –dan sebetulnya adalah karena dia congkak, dia tidak rendah hati.
Orang yang rendah hati, gampang bersekutu dengan sesama. Orang yang rendah hati, karena dia bergantung kepada Tuhan, dia juga bergantung pada sesamanya, dia bisa bersekutu dengan sesamanya. Di sini Saudara jangan bikin self-justification “tapi saya orang introvert, Pak”. Bersekutu dengan sesama bukan ayat Firman Tuhan yang cuma untuk para ekstrovert, jadi Saudara jangan ngawur, bilang “bersekutulah satu dengan yang lain”, O, itu untuk yang ekstrovert, tapi saya bukan, kalau saya lain ayatnya, karena saya orang introvert jadi ayatnya “saat teduhlah, renungkanlah, bacalah buku-buku teologi”, tapi kalau “bersekutulah” itu bukan untuk saya, saya introvert, jadi ayat itu ‘gak berlaku untuk saya. Apa dasarnya, mengatakan kalimat seperti ini? Kalau boleh bicara sedikit tentang kehidupan saya, saya ini juga introvert, dan ada pergumulan dengan hal ini, dengan urusan rame-rame, bertemu orang-orang, dsb., kadang juga bisa bingung mau bicara apa, apalagi kalau lawan bicaranya juga introvert, kita jadi kikuk, tidak comfortable, perlu penyangkalan diri. Kita memamg perlu belajar; Saudara dan saya sedang dibentuk di dalam keadaan seperti ini, belajar untuk bersekutu dengan sesama –dan itulah kerendahan hati. Orang yang tidak mau bersekutu dengan sesama, hidup menyendiri terus, pelit sekali dengan pergaulan, dia ini di ambang batas congkak –kalau tidak mau dikatakan congkak—karena orang yang rendah hati, dia bersekutu dengan Allah, dan juga dengan sesama, dengan saudara-saudara seiman.
Selanjutnya, latihan-latihan rohani yang kita bisa lakukan. Pertama, renungkanlah kekudusan Allah, seperti Yesaya tadi. Orang yang ada visi kekudusan Allah, dia dibawa kepada pemahaman bahwa dirinya berdosa, dirinya najis. Mengapa orang tidak melihat dirinya najis, berdosa? Yaitu karena tidak ada visi kekudusan Allah. Dia tidak melihat kekudusan dan kemuliaan Allah. Mungkin di dalam kehidupan memang dia menang secara moral terhadap sesamanya, dia orang yang lebih baik moralnya, atau mungkin menang secara pengetahuan, lebih brilian, lebih pintar; akhirnya apa yang perlu di-confess? Saya musti bicara kelemahan saya apa, kayaknya orang yang di luar saya itu banyak yang lebih lemah daripada saya, saya ‘gak melihat kelemahan di dalam diri saya. Mengapa? Karena dia selalu membandingkan dengan orang lain, bukan di hadapan kekudusan Allah. Tetapi orang yang melihat kekudusan Allah, seperti Yesaya, akan berbeda, demikian juga Petrus. Petrus, waktu dia ditolong oleh Yesus, responsnya menarik; dia mengatakan: “Pergilah daripadaku Tuhan, aku ini orang berdosa”. Itulah tanggapan Petrus. Tanggapan Saudara dan saya apa? Apakah kita melihat yang dilihat oleh Petrus?
Berikutnya, renungkanlah kerendahan hati Kristus. Ini karena kita bukan sedang berurusan dengan ide kerendahan hati; ini bukan tentang ide, tapi ini nyata di dalam kehidupan satu Pribadi yang sungguh-sungguh ada, yang namanya Yesus Kristus. Renungkanlah Kristus dan kerendahan hati-Nya. Filipi 2 mengatakan, “Walaupun di dalam rupa Allah, Dia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan”. Coba perhatikan dunia kita; saya sering memakai ilustrasi tentang orang yang dihina dan dihina, sampai suatu saat tiba waktunya dia menunjukkan kebesarannya. O, ternyata orang ini hebat, lho, cuma saja dia tadi pura-pura, tapi ternyata punya super power; dia dipukul tidak balas, tapi tunggu saja sampai suatu saat dia menunjukkan power-nya, barulah orang akan terkencing-kencing, akan sujud-sujud pada dia. Inilah dunia kita. Dunia kekanak-kanakan. Dunia pamer kekuatan, bahkan kalaupun untuk sementara waktu musti sabar menunggu, ‘sabar-sabar, biarpun digebukin, jangan tunjukkan jurus kungfu lu dulu, sampai dia itu sudah keterlaluan, baru lu pegang jarinya, dan habislah dia, setelah itu selesailah urusannya, orang akan takut dan menyembah engkau’. Tapi lihatlah kehidupan Kristus, tidak ada cerita seperti itu. Bahkan setelah Dia bangkit pun tidak ada cerita seperti ini, tidak juga terhadap orang-orang Farisi. Cerita Yesus Kristus, Dia konsisten di dalam kerendahan hati-Nya. Kerendahan hati-Nya bukan untuk sementara supaya suatu saat nanti ditonjolkan lalu ternyata Dia tidak rendah hati sebetulnya. Bukan demikian. Kerendahan hati Yesus adalah dari dulu, sampai sekarang, dan selama-lamanya.
Berikutnya, bersyukurlah, hitunglah berkatmu. Orang yang menghitung berkat, yang bersyukur, dia tidak gampang menggerutu, tidak gampang komplain, dia tidak gampang merintih aduh, aduh, sakit, kurang, luka. Orang yang hidup tidak ada pancaran sukacita, karena dia tidak menghitung berkat Tuhan; yang ada cuma kekurangan, kelemahan, sakit-penyakit, uang juga kurang, keluarga kayaknya kurang cinta, Gereja juga begitu, pendeta kurang juga, menyebalkan, mengecewakan, akhirnya tidak ada gratitude, tidak ada ucapan syukur –karena tidak menghitung berkat Tuhan, congkak.
Berikutnya, tadi kita mengatakan bahwa doksologi itu adoring God, dan berarti juga adoring others; jadi belajarlah untuk mengenal/mengakui kebajikan-kebajikan di dalam diri orang lain, yang juga adalah anugerah Tuhan. Kalau itu adalah anugerah Tuhan, mengapa kita musti iri? Kalau itu pencapaiannya dia, lebih ada logikanya kita iri, meski itu tetap salah. Tapi kalau kita iri terhadap kelebihan orang lain padahal itu adalah anugerah Tuhan, aneh sekali; ini sama absurdnya dengan kalau kita menyombongkan apa yang ada pada kita padahal itu adalah anugerah Tuhan. Apalagi kalau kita iri juga terhadap Tuhan, ini penyakit berat, keterlaluan. Jadi, kalau kita tidak ada iri hati kepada Tuhan, kenapa kita harus iri terhadap sesama, bukankah kelebihan yang ada pada mereka itu juga adalah anugerah Tuhan. Kita bisa bersukacita melihat kelebihan orang lain karena kita merayakan kasih karunia Tuhan yang ada pada orang lain (God’s given grace), sesuatu yang besar, lalu saya adore itu, dan pada akhirnya saya adoring Tuhan –termasuk melalui adoring others.
Berikutnya, orang yang bisa mengenali kelebihan/virtues di dalam diri orang lain, dia juga bisa belajar dengan rendah hati dari yang lain. Tidak perlu ada gengsi, misalnya ‘saya ‘gak belajar dari kamu, saya ‘gak kutip, ini saya sendiri yang temukan, bukan dari kamu’. Tidak perlu begitu. Akui saja kita belajar dari siapa; ini tidak ada urusannya dengan kehormatan diri kita, tidak merusak your honor and dignity –tapi merusak your pride pastinya. Waktu kita mengenal ke-berutang-an kita terhadap orang lain, itu memang menghancurkan kecongkakan kita. Dan biarlah rusak, itu memang harus dirusak, koq. Rusak dengan cara bagaimana? Dengan kita rendah hati suka belajar dari orang lain; tapi bukan cuma belajar, ini juga termasuk melayani. Bahkan waktu Nietzsche atau Greco-Roman society mengatakan kaitan antara humility and slave, bisa dikatakan itu tidak sepenuhnya salah; maksudnya, kerendahan hati itu tidak bisa kita pisahkan dari jiwa seorang hamba. Lalu apa bedanya? Bedanya, Greco-Roman society/culture/philosophy tidak mau menerima hal ini, ‘itu bukan untuk saya, saya orang merdeka’, sedangkan kita merayakannya. Bagi kita, memang tidak salah bahwa kerendahan hati tidak bisa dipisahkan dari ke-hamba-an (servanthood), dari menjadi hamba (being a servant), dari melayani orang lain (serving others). Jadi mari kita merayakan kerendahan hati melalui melayani sesama; kita menjadi rendah hati karena suka melayani orang lain. Hati-hati, orang yang terus-menerus suka dilayani, lama-lama dia jadi bossy; atau dia memang sudah bossy duluan karena selalu merasa sudah seharusnya orang melayani dia, sukanya suruh-suruh dan orang lain musti melayani, merasa berhak dilayani. Itu kecongkakan. Tetapi orang yang rendah hati, dia bukan mau dilayani, dia melayani. Sekali lagi, lihatlah kerendahan hati Kristus; Kristus datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. The true humble Servant of God, Yesus Kristus, yang datang untuk melayani, bukan datang untuk dilayani, itulah kerendahan hati.
Terakhir, latihan rohani yang bisa kita lakukan untuk jadi orang yang rendah hati, yaitu doksologi, glorifying God. Pujilah Tuhan, Allahmu. Pujilah Tuhan, Penciptamu. Pujilah Tuhan, Penebusmu. Pujilah Tuhan, yang menguduskan dan menyempurnakan engkau. Pujilah Tuhan. Orang yang memberi segala kemuliaan kepada Tuhan, orang yang suka glorifying God, bukan glorifying dirinya sendiri, atau keluarganya sendiri, Gerejanya sendiri, negaranya sendiri, melainkan glorifying God, orang itu akan menjadi orang yang makin hari makin rendah hati. Yesus, waktu Dia berada di dalam dunia, Dia bukan mencari kemuliaan-Nya sendiri. Dia bukan memuliakan diri-Nya sendiri, Dia terus-menerus memuliakan Bapa-Nya yang di surga. Di dalam Kristus, Saudara dan saya diundang untuk berbagian di dalam kisah hidup ini, kisah hidup Kristen; apakah itu? Yaitu glorifying God, The Father.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading