Kotbah hari ini mengikuti Kalender Gereja, yang merupakan “Seventh Sunday after Trinity”, yaitu dari Filipi 2: 1-11. Ayat ini berkonsentrasi pada “Ketuhanan Kristus” (Lordship of Christ). Apa artinya ketuhanan Kristus? Apa artinya Injil? Kalau kita mengkotbahkan satu ayat atau satu perikop, itu tidak dapat lepas dari perikop-perikop sebelumnya; salah satu ayat yang penting dari perikop sebelumnya –yang juga tidak bisa dipisahkan dari seluruh perikopnya—yaitu ayat 27 pasal 1: “Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus, supaya, apabila aku datang aku melihat, dan apabila aku tidak datang aku mendengar, bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil”.
Kita sudah sering melakukan self-criticism melawan gambaran teologi Injili yang makin lama makin reduktif, yaitu menggambarkan Injil sebagai sekedar gambaran orang yang percaya, terima Yesus dalam hati, lalu sudah selesai. Gambaran seperti itu tidak cocok dengan teologi Reformed Injili. Dalam tulisan Calvin, waktu dia membicarakan tentang Injil, tentang persekutuan dengan Kristus, tentang doktrin Roh Kudus, dia mengatakan bahwa Roh Kudus diberikan kepada kita, sehingga semua yang ada pada Kristus diberikan kepada kita. Apa yang ada pada Kristus? Banyak sekali; kalau mau dipakai 1 istilah, yaitu: kehidupan Kristus. Apa itu kehidupan Kristus? Dalam bagian ini kita mendapati penekanan dari Paulus, bahwa hidup yang percaya kepada Injil adalah hidup yang seharusnya berpadanan dengan Injil. Injil bukan cuma sekedar persetujuan “YA, Yesus itu Tuhan”, “YA, Alkitab itu benar”, tapi juga mengenai bagaimana hidup kita berpadanan dengan Injil Kristus.
Memang dalam surat-surat Paulus kita tidak mendapatkan cerita Injil (kelahiran Yesus, Yesus diserahkan di Bait Allah, Yesus berurusan dengan orang-orang Farisi, dsb.), Paulus konsentrasi pada kematian dan kebangkitan Kristus. Namun ini bukan berarti tidak ada cerita Kristus, karena kanonasi Perjanjian Baru bukan cuma berisi surat-surat Paulus tapi juga ada keempat Injil itu (Matius, Markus, Lukas, Yohanes), untuk menyatakan bahwa kekayaan Injil bukan cuma tentang kematian dan kebangkitan saja, tetapi seluruh cerita kehidupan Kristus. Waktu di bagian ini dikatakan “hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus”, maksudnya di dalam pengertian yang dilanjutkan ke perikop berikutnya, bahwa di dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan (Flp. 2:1). Daftar ini pun sebetulnya belum lengkap, tidak selesai-selesai kalau kita teruskan; tapi di sini bukan cuma dikatakan ‘di dalam Kristus, kalau mati masuk surga’, melainkan ‘di dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra, dan ada belas kasihan’.
Waktu membaca bagian ini, kita musti berhati-hati; mungkin kita berpikir Paulus menasihati seperti ini karena di dalam jemaat Filipi ada persoalan, mungkin mereka tidak bisa dinasihati, kurang ada penghiburan, kurang persekutuan, tidak ada kasih, tidak punya belas kasihan. Tapi jangan kita cepat-cepat menafsir ke situ; memang satu kalimat ini bisa direkonstruksikan ke situ, tapi di sisi lain juga bisa menjadi suatu encouragement, dalam pengertian supaya mereka lebih dewasa lagi. Mereka sudah melakukan itu, tapi Paulus mendorong supaya mereka lebih lagi berbagian di dalamnya (dalam surat Filipi banyak sekali pembicaraan tentang sukacita –Paulus lebih banyak bersukacita atas jemaat ini– daripada dukacita seperti surat kepada jemaat Galatia atau surat 1 Korintus yang banyak ratapannya). Jadi di sini Paulus bukan menegur bahwa mereka sangat kurang dalam hal-hal tersebut, melainkan mendorong supaya mereka lebih lagi mengusahakan hal-hal itu, karena memang itulah yang sudah diberikan Kristus kepada kita. Saya mengutip Calvin, bahwa waktu kita dipersekutukan dengan Kristus, maka semua yang ada pada Kristus ditransfer kepada kita (Gereja). Apakah yang ada pada Kristus itu? Kalau menurut Filipi 2, yaitu nasihat, penghiburan kasih, persekutuan Roh, kasih mesra dan belas kasihan. Kalau bagian ini tidak ada/ tidak transfer di dalam hidup kita, berarti hidup kita tidak berpadanan dengan Injil Kristus.
Dalam hal ini, bukan berarti jemaat Filipi tidak berpadanan dengan Injil Kristus, tetapi Paulus mendorong mereka supaya lebih lagi. Dan waktu didorong untuk lebih lagi, bukan berarti mereka ini Gereja yang sudah sempurna dan tidak ada kelemahan sama sekali. Ketika kita membaca ayat 2 “hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan”, kita bisa merasakan ada sedikit ketegangan di dalam jemaat ini, meski kita tidak tahu ketegangan disebabkan karena masalah apa. Kalau dalam surat Korintus, kita tahu penyebab masalahnya karena ada yang suka kepada Petrus, atau Paulus, atau Apolos, dan ada yang menyebut dirinya partai Kristus; di Efesus ada persoalan tentang gentiles, dan orang-orang Yahudi yang jadi Kristen susah bersekutu dengan mereka. Tapi tidak ada ayat-ayat yang menjelaskan secara eksplisit masalah apa yang terjadi dalam jemaat Filipi. Bisa juga mirip seperti Korintus, masalah kesenangan terhadap pengkotbah-pengkotbah tertentu, atau juga masalah yang mirip dengan Efesus.
Namun ada satu tafsiran yang menarik, bahwa mungkin juga masalahnya karena diri Paulus sendiri. Bukan berarti Paulus yang sengaja menciptakan masalah –dari Paulus sendiri tidak ada persoalan—tapi dari sisi jemaat ada persoalan, yaitu sebagian jemaat agaknya merasa mereka bukan bagian dari inner circle-nya Paulus, sementara jemaat-jemaat lain sepertinya merupakan orang-orang penting, inner circle-nya Paulus, yang dekat sekali dengan Paulus. Saya pikir, problem ini umum terjadi di dalam Gereja. Di banyak gereja, banyak sekali orang berusaha keras untuk menjadi bagian dari apa yang dinamakan ‘inner circle’ tersebut; dan ini ada kaitannya dengan self-image, self-significance, dst. Problem ini wajar secara manusia, tapi bukan berarti benar. Paulus, waktu mengatakan kalimat ini, dia mendorong mereka untuk menjadi sehati sepikir, satu kasih, satu jiwa; termasuk juga mengingatkan mereka yang merasa excluded, maupun mereka yang terlalu merasa dirinya bagian dari inner circle, yang bisa dekat dengan Paulus.
Kedua belas rasul juga pernah punya perasaan dirinya eksklusif, yang paling dekat dengan Yesus, yang paling mengerti Yesus, padahal kenyataannya mereka juga tidak terlalu mengerti-mengerti amat. Waktu ada pengemis buta yang teriak-teriak memaggil Yesus, mereka suruh diam, mungkin karena mereka mau menjaga eksklusifitas Yesus dan mereka merasa jadi bodyguard Yesus, yang pada waktu itu mau menuju Yerusalem; tetapi kenyataannya pada saat itu Yesus kemudian berhenti dan menghampiri orang buta tadi. Jadi, ada banyak pemikiran yang keliru yang perlu dikoreksi, waktu kita mencoba untuk belong to that inner circle. Tentu saja ini bukan cuma untuk di gereja; di dalam masyarakat pun ada banyak lingkaran elit yang orang berusaha masuk ke sana –kalau bisa masuk ke sana rasanya jadi orang yang signifikan, tapi kalau di luar, rasanya cuma orang nomor kesekian. Anak-anak kecil pun sudah ada sikap seperti ini; mereka berusaha masuk ke dalam klik-klik tertentu di sekolah, dan kalau tidak, seakan hidup kurang berharga. Anak-anak kecil ini bisa punya sifat seperti itu tanpa ada yang mengajarkan, lalu setelah dewasa dan tua pun kita masih juga tidak keluar dari persoalan seperti ini; jadi sama saja dengan anak kecil.
Paulus berhadapan dengan persoalan seperti ini; problem ini sangat realistis. Tetapi Paulus kemudian mengatakan “sempurnakanlah sukacitaku dengan ini” (ayat 2). Saudara baca di bagian-bagian awal, Paulus juga mendoakan mereka. Paulus bukan cuma mendoakan orang-orang, yang katakanlah merasa dirinya dekat dengan dia karena orang-orang ini selalu melayani Paulus, tapi dia mendoakan juga semua yang lain, dia mencintai semua yang lain. Maka waktu dia mengatakan kalimat “sempurnakanlah sukacitaku dengan ini”, menandakan ada semacam rasa tidak sempurna, atau –kalimat yang lebih positif—ada semacam rasa dukacita melihat jemaat yang tidak bisa bersekutu dengan sempurna. Mengapa Paulus pakai istilah ‘sukacitaku’ yang sepintas kedengarannya sedikit narsis –memangnya kita semua jemaat harus nyenengin lu sehingga lu bersukacita?? Pasti bukan begitu tafsirannya. Kalau Saudara membaca keseluruhan konteksnya, Paulus adalah seorang yang sudah belajar menjadikan sukacita Tuhan sebagai sukacitanya; sukacitanya dia bisa kita katakan juga adalah sukacitanya Tuhan. Begitu dekatnya Paulus dengan Tuhan, sampai-sampai perasaannya adalah perasaan Tuhan. Waktu Paulus mengatakan “sempurnakanlah sukacitaku”, maksudnya yang juga adalah sukacitanya Tuhan, karena Kristus juga berduka kalau melihat jemaat tidak sehati sepikir, satu kasih, satu jiwa, satu tujuan.
Kalimat “sempurnakanlah sukacitaku dengan ini”, pertama-tama menggambarkan intimacy antara Paulus dan Kristus, bahwa sukacitanya adalah sukacita Kristus juga; tetapi Paulus juga sedang merangkul mereka, mengingatkan mereka bahwa dirinya begitu dekat dengan mereka sehingga dia berani meresikokan dirinya untuk percaya ‘kamu pasti mau membuat saya sukacita’. Karena Paulus merasa jemaat ini dekat dengan dirinya –ini bukan ge-er, tapi dari sisi dia, dia mau mendekatkan diri dengan jemaat—dia tidak merasa sungkan untuk mengatakan kalimat seperti ini. Paulus pertama-tama tahu bahwa dirinya mengasihi mereka, tapi dia juga punya keyakinan bahwa jemaatnya itu mengasihi dia. Kalau Saudara mengatakan “bikin saya senanglah” kepada istri, itu wajar, karena tahu saling mencintai; tapi mengatakan kalimat begitu kepada orang lain apalagi musuh, itu tidak cocok. Kita berani mengatakan kalimat seperti ini –“lakukanlah ini untuk saya”– kalau ada presuposisi bahwa kita punya kedekatan dengan orang itu, kita tahu bahwa mereka itu memang mencintai kita, peduli pada kita, mengasihi kita, dan kita juga mengasihi mereka. Dalam gambaran ini, kita mendapati bahwa dari sisi Paulus, dia mau mengatakan kepada jemaat Filipi, bahwa dia punya kedekatan dengan Kristus, seakan-akan mengatakan: “sempurnakanlah sukacitaku, yang adalah sukacita Kristus”. Tapi juga mengatakan “sempurnakanlah sukacitaku, yang saya percaya kamu bisa dan mau melakukannya, karena kita berada dalam persekutuan kasih, persekutuan roh, kita ada kasih mesra, dan ada belas kasihan”.
Dari awal suratnya sampai pada akhir, sudah ada nuansa sukacita, tapi dia masih mengatakan “sempurnakanlah sukacitaku”. Ini berarti bahwa sukacita yang sudah di atas, bukan berarti tidak bisa lebih meningkat lagi. Waktu kita sedang bersukacita, jangan melihat itu sebagai suatu gambaran klimaks yang sudah di atas sekali, karena nantinya jadi seperti yang dikatakan Lukas, “celakalah kamu yang tertawa, karena kamu akan menangis”. Bukan karena tidak boleh sukacita, tapi karena ketika seseorang menempatkan suatu sukacita tersebut sebagai klimaks, sudah mentok di atas, selanjutnya cuma ada satu gerakan, yaitu gerakan antiklimaks. Kesenangan dunia selalu bisa menyamarkan diri sebagai sesuatu yang klimaks, yang sudah paling atas, maka setelah itu yang terjadi adalah langsung turun ke bawah, karena tidak bisa naik lebih ke atas lagi, sudah mentok; sedangkan sukacita Kristen/ sukacita yang Alkitabiah, itu unending, tidak ada ujungnya.
Saya meminjam pemahaman teologi dari Jonathan Edwards, yang sangat dekat dengan Gregory of Nyssa, dia mengatakan “bahkan waktu kita di surga masih ada certain progress.” Memang kita bisa memperdebatkan bagian mana yang ada progress dan mana yang tidak, tapi yang pasti sukacita termasuk salah satunya. Cinta kasih juga pasti ada progress. Waktu di surga, kita semakin mengasihi Tuhan; itu sesuatu yang tidak ada ujungnya, unending, karena cinta kasih Kristus juga tidak terbatas. Kita tidak bisa mengasihi Kristus sampai sudah mentok level yang paling tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi lagi; kalau kita mencintai Kristus, itu tidak ada habisnya, tidak ada ending-nya. Kita bisa terus-menerus meningkat di dalam cinta kasih kita, di dalam persekutuan kita, di dalam sukacita kita, di dalam excitement kita, di dalam kekaguman kita, di dalam ibadah kita, dst., dst.; dan kabar baiknya adalah hal itu bisa dialami di sini dan sekarang. Sedangkan di surga saja masih bisa ada sukacita yang terus berkembang, apalagi di dunia yang berdosa ini. Kita berbahagia, jika dalam keadaan bersukacita, kita tidak menjadi puas seperti orang-orang dunia yang sudah merasa mentok dengan kesenangannya, melainkan kita berusaha untuk terus menyempurnakan –atau lebih tepatnya, disempurnakan—sukacita kita oleh Tuhan. Tetapi pertanyaannya: dengan jalan apa sukacita itu makin naik, kita makin bahagia dan makin bahagia? Kalau menurut Paulus, adalah dengan melihat jemaat sehati sepikir, satu kasih, satu jiwa, satu tujuan.
Sukacitanya Paulus adalah tentang orang lain, itulah yang membuat sukacitanya unending. Sukacita kita sangat ada batasnya, karena kalau kita sendiri artinya cuma 1 orang dan itu terbatas, kalau 2 orang sudah lebih luas. Problem 1 orang pun terbatas, sementara problem 2 orang lebih luas, lebih banyak, lebih dalam; apalagi problem 300-400 orang, lebih banyak lagi. Di bagian lain Paulus mengatakan “kamulah mahkotaku”, maksudnya jemaat yang dia pernah layani adalah sukacitanya Paulus, mahkotanya Paulus. Maka waktu kita membaca bagian ini, “hendaklah kamu sehati sepikir, satu kasih, satu jiwa, satu tujuan”, di sini Paulus membicarakan tentang the true unity in Christ, karena ada kasih, karena satu jiwa, karena tujuannya juga satu. Tentu saja bukan hanya jemaat Filipi, tapi juga semua jemaat lainnya pasti belum sempurna dalam hal ini, contohnya ada orang yang merasa dirinya bukan bagian dari inner circle, merasa excluded, dsb.
Di sini dikatakan ‘sehati sepikir’, maksudnya bukan cuma secara rasional/ pikiran tapi juga hati, dan juga bukan hati yang tanpa pertimbangan pikiran. Terjemahan bahasa Indonesia ini –‘sehati sepikir’– luar biasa bagus; memang istilah yang dipakai Paulus yaitu mind/ nous, maksudnya untuk menyatakan bahwa hal ini bukan cuma dalam pengertian pikiran sementara hatinya berbeda, melainkan keseluruhan, termasuk juga hati. Tapi juga bukan cuma hati tanpa pertimbangan pikiran, tanpa argumentasi dsb., yang bisa sangat subyektif –main perasaan—melainkan Paulus mengatakan “sehati sepikir”. Hal ini tidak boleh kita mengerti dalam pengertian bahwa sesama orang Kristen tidak boleh berbeda pendapat; di bagian lain Paulus mengantisipasi persoalan beda pendapat, yang sangat realistis itu. Memang kita bisa berbeda pendapat, bisa berdebat, dsb., bahkan kedewasaan seseorang bisa dilihat dari kesanggupannya berargumentasi. Ada orang yang tidak dewasa, tidak bisa berargumentasi, karena memang tidak punya argumentasi. Ada orang yang tidak bisa berargumentasi karena malas berargumentasi, merasa capek karena jadi seperti adu otot. Ada orang yang tidak bisa berargumentasi karena setiap kali adu argumentasi, harus dia yang menang, tidak bisa menerima pendapat orang lain; dan menurut Alkitab ini kekanak-kanakan.
Kalau kita dewasa, kita bisa berargumentasi, berbeda pendapat dsb., sepanjang kita punya sehati sepikir dalam pengertian ‘saya menjadikan Firman Tuhan sebagai standar, kalau saya salah, silakan dikoreksi, tapi kalau kamu yang salah, saya akan koreksi’. Sehati sepikir dalam pengertian satu tujuan, sama-sama mau mempermuliakan Tuhan, sama-sama tidak mencari kepentingan sendiri, sama-sama tidak menonjolkan ego, tetapi tentang bagaimana kita mengenal jalan Tuhan, mengetahui kehendak Tuhan. Waktu mau mengetahui kehendak Tuhan, kita bisa perbedaan pendapat, menurut yang seorang sepertinya begini, menurut yang lain begitu; dan di sini kita diskusi, beragumentasi, dsb.
Kemudian Paulus melanjutkan di ayat 3: “… dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia.” Di sini dia mengatakan rahasia kegagalan yang membuat orang tidak bisa sehati sepikir, tidak dikuasai oleh satu kasih, jiwanya tidak satu, dan tidak satu tujuan, yaitu waktu orang mencari kepentingannya sendiri. Bukan berarti kita tidak perlu urus kepentingan kita sendiri –setiap orang punya kepentingan sendiri dan tidak ada yang salah dengan itu—melainkan maksudnya orang yang hanya mencari kepentingannya sendiri, sebagaimana kita baca di ayat 4 (ini menjelaskan ayat 3), “dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri”. Yang keliru bukan mengurus kepentingan sendiri, tidak mungkin orang tidak mengurus kepentingannya sendiri –makan adalah kepentingan sendiri bukan kepentingan rame-rame, dan tidak ada yang salah dengan itu– yang salah adalah waktu orang hanya mengurusi kepentingannya sendiri.
Mencari kepentingan sendiri jangan cuma dikaitkan dengan kebutuhan material –seperti makan– tapi kadang-kadang juga ada dalam wilayah kebutuhan jiwa, misalnya perasaan. Ada orang yang selalu menomor-satukan perasaannya sendiri, tidak punya kedewasaan untuk peka terhadap perasaan orang lain, hanya peka perasaannya sendiri; itu orang yang mencari kepentingannya sendiri meski tidak berkaitan dengan material tapi jiwa. Demikian juga waktu membicarakan “puji-pujian yang sia-sia”, ini bukan sesuatu yang material, ini lebih berkaitan dengan yang tidak kelihatan, suatu pengakuan. Kalau tafsiran tentang ‘inner circle’ yang kita bicarakan di awal tadi betul, kalimat ini mengena sekali; seakan Paulus mengatakan ‘sebenarnya motivasimu apa mau masuk inner circle? itu puji-pujian yang sia-sia, tidak ada gunanya’. Ada orang menaruh foto di living room, foto dirinya dengan presiden ini, dengan jendral itu, dengan profesor itu, dsb. orang-orang besar; itu poinnya apa? Kalau menurut Paulus, puji-pujian yang sia-sia. Orang berusaha keras masuk ke inner circle, motivasinya apa? Puji-pujian yang sia-sia, mendapatkan satu posisi yang diteguhkan di dalam dunia.
Waktu kita membaca Alkitab, bukankah Alkitab seringkali menjungkir-balikkan struktur-stuktur yang establish itu, bahwa yang menurut dunia di atas, ternyata di bawah; termasuk juga dalam hal-hal religius. Dalam Injil beberapa kali dicatat kedua belas murid tidak mengerti, dan yang mengerti justru gentiles. Yesus pernah mengatakan kepada perwira gentiles itu, “Saya tidak mendapati iman seperti ini di Israel”, artinya termasuk juga tidak mendapati iman itu di kedua belas murid. Bukan cuma sekali, berkali-kali Yesus mengatakan kalimat seperti itu. Jadi bahkan dalam struktur yang kelihatan, yang ada di sekeliling Yesus sendiri, ada reversal motif. Kita bersyukur dalam perjalanan kehidupan para rasul, akhirnya mereka sendiri juga diputar balik cara pemikirannya, mereka tidak menjadi the old great twelve yang merasa jadi inner circle-nya Yesus, tapi mulai mengerti yang diajarkan Yesus dengan bersekutu bersama para pemungut cukai, pelacur, dsb., dan kehidupan mereka diubahkan, mereka tidak mencari puji-pujian yang sia-sia, hal itu sudah lewat dan tidak lagi menarik untuk para rasul tersebut.
Dari kalimat yang dikatakan Paulus, “tidak mencari kepentingan sendiri, puji-pujian yang sia-sia”, Saudara bisa melihat pencobaan yang disediakan oleh dunia, yang bisa sangat menghancurkan kehidupan kita di dalam persekutuan Kristen, dan akhirnya kita gagal, tidak bisa sehati sepikir, tidak bisa satu kasih, satu jiwa, satu tujuan. Saya berharap, waktu kita ada perbedaan pendapat, kita bisa menanggalkan hal ini, bahwa ini bukan tentang muka saya, bukan tentang ego saya yang kalau pendapatnya tidak disetujui jadi seperti kehilangan muka, sehingga akhirnya jadi rumit sekali. Kalau kita selalu harus memperhitungkan semua hal seperti ini –muka manusia—akhirnya kita luput memperhitungkan muka Tuhan. Kekristenan itu mukanya Tuhan bukan mukanya manusia, cukup itu saja; sedangkan kepentingan sendiri dan puji-pujian yang sia-sia akan merusak persekutuan.
Paulus melanjutkan, “Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri.” Kalimat ini sulit. Mungkin okelah saya tidak mencari puji-pujian yang sia-sia, saya bisa menyangkal bagian itu dengan minta kekuatan Tuhan, tapi menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri, itu sangat sulit. Dari kecil kita dididik bahwa diri kita lebih utama daripada orang lain, orang lain yang kalah dan kita yang menang, kita musti berkompetisi, yang maksudnya menyatakan ‘saya lebih utama daripada orang lain’. Perasaan menang sebenarnya perasaan ‘saya lebih utama daripada yang lain’, ‘saya lebih signifikan daripada yang lain yang tidak terlalu penting itu’. Bagaimana bisa menyadari hal ini? Menyadari hal tersebut, itu maksudnya apa?
Ada satu cerita klasik –tidak jelas ini legenda atau historis– tentang graduation day Thomas Aquinas dan Bonaventura, keduanya santo dalam Roma Katholik. Thomas Aquinas, teologinya sangat rasionalis, dia seorang skolastik; sementara Bonaventura termasuk ordo Fransiskan yang dekat dengan model-model spiritualitas devosional, teologi mistik, dsb. Jadi keduanya mengikuti 2 jalan yang berbeda, yang tidak terlalu ketemu. Tapi pada hari wisuda, waktu mereka berdua disuruh maju, Thomas Aquinas merasa Bonaventura lebih penting daripada dirinya, dia mempersilakan Bonaventura maju lebih dulu. Sebaliknya Bonaventura pikir Thomas Aquinas lebih penting, maka dia mempersilakan Thomas Aquinas maju lebih dulu. Akhirnya dua-duanya tidak maju-maju karena saling mempersilakan temannya maju lebih dulu, dan wisuda tidak selesai-selesai gara-gara dua orang yang masing-masing menganggap yang lain lebih utama. Saya percaya mereka melakukan itu dengan tulus, bukan teatrikal supaya kelihatan ‘wah, ternyata orang besar bisa merendahkan diri’. Waktu seseorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya, itu bukan dalam pengertian basa-basi, bukan dalam pengertian strategi supaya nanti akhirnya dia sendiri diangkat ke atas dan dianggap lebih utama; seperti yang pernah Yesus katakan “kalau kamu duduk di pesta, jangan cari kursi paling depan, carilah kursi yang paling belakang”, tapi ada orang cari kursi paling belakang supaya disuruh maju ke depan, itu berarti hatinya tetap mau duduk di depan.
Di dalam bagian ini, waktu dikatakan “hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri”, mungkin kita harus mengertinya di dalam pengertian yang subjektif daripada objektif; akan sulit kalau kita bicara dalam pengertian objektif, karena siapa yang tahu?? Cuma Tuhan. Saya mengacu kepada perkataan Paulus waktu dia mengatakan “di antara semua yang berdosa, akulah yang paling berdosa”. Ini kalimat subjektif, bukan objektif; maksudnya dari sepengetahuan Paulus yang mungkin tidak tepat secara objektif. Kalau kita bandingkan Paulus dengan Nero, sepertinya Nero lebih jahat; Paulus dengan Hitler, sepertinya Hitler lebih jahat, dst. Lalu apakah kalimat yang Paulus katakan itu jadinya keliru? Tidak juga, karena dia mengatakannya dari perspektif subjektif, maksudnya sejauh yang dia tahu, dirinya yang paling berdosa daripada semua orang. Demikian juga kalimat “hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri”, ini subjektif, tidak perlu dimengerti secara objektif karena bagaimana mungkin kita bisa mengerti orang lain sedalam itu.
Lalu mengapa seseorang bisa mendapati dirinya paling rendah? Jawabannya sederhana: karena kita yang paling tahu dosa-dosa kita. Saya tidak tahu kelemahan Saudara sebaik Saudara tahu kelemahan diri Saudara. Tapi ada juga orang yang tidak tahu kelemahannya secara lebih baik daripada orang lain, selalu harus dikasih tahu kelemahannya karena dia sendiri tidak pernah sadar akan kelemahannya; ini kacau. Orang yang normal, dia paling mengetahui dirinya sendiri daripada orang lain mengetahuinya, orang lain tidak mungkin mengenal saya secara lebih baik daripada saya mengenal diri saya sendiri; dan terutama dalam hal kelemahan/ keberdosaan. Mengapa Paulus mengatakan “di antara semua yang berdosa, akulah yang paling berdosa”? Karena dia yang paling tahu dosanya sendiri. Dia mungkin tidak terlalu jelas dosanya orang lain, mungkin ada juga yang lebih jahat daripada dirinya, tapi dia tidak tahu, dan dia juga bukan Tuhan. Oleh sebab itu, kalimat ini cuma bisa kita mengerti secara subjektif.
Dalam cerita hari wisuda tadi, Thomas Aquinas rasa Bonaventura lebih besar, Bonaventura rasa Thomas Aquinas yang lebih besar; dan tentu kita tidak bilang, “sebentar-sebentar, karena kalian ribut, saya coba nilai, saya periksa disertasinya, nanti saya tentukan siapa yang lebih besar dari kalian berdua” –jadi masuk ke penilaian objektif; dan ini tidak menarik. Masalahnya, penilaian objektif cuma Tuhan yang bisa menilai, sedangkan penilaian subjektif, semua orang bisa akses. Seharusnya, waktu kita mengetahui diri kita dengan segala kelemahan dan keberdosaannya, kita bisa mengatakan kalimat ini “hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri”. Kalau saja kita tahu kebejatan diri kita, harusnya kita tahu bahwa orang lain itu lebih utama daripada kita; itu yang ada dalam pikiran Paulus.
Tetapi hal ini bukan sekedar pemosisian diri ‘kamu di atas, saya di bawah’, karena jika begitu, kita bisa nelongso, mengasihani diri, ‘memang saya ‘gak penting, yang penting orang-orang besar itu’, lalu lama-kelamaan malah jadi sinis, ‘saya ‘gak termasuklah inner circle, memang saya siapa, kapanlah saya dianggap’. Selanjutnya mulai menghina diri, mulai sarkasitik, mulai benci, mulai ada dendam, ada iri hati, dsb. Yang dimaksud Paulus bukan untuk dihayati ke arah sana, melainkan dalam pengertian kita betul-betul menyadari bahwa kita punya kelemahan lebih daripada orang lain, bukan hanya dalam pengertian pemosisian, tapi dengan sikap sebagaimana di ayat 4: “janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”
Kalau kita merasa diri kita bukan yang paling utama, kalau kita menganggap yang lain lebih utama, itu berarti kita melayani. The idea of Christian servanthood (menghambakan diri) dimulai dengan melihat orang lain lebih utama. Waktu kita melihat orang lain lebih utama, maka kita melayani.
Yesus itu yang paling utama daripada semuanya, daripada semua manusia. Tapi waktu Dia berada dalam dunia, Dia menganggap orang berdosa lebih utama daripada diri-Nya, oleh sebab itu itu Dia mati di atas kayu salib. Dia menyerahkan diri-Nya, karena Dia menganggap orang lain lebih utama daripada kesetaraan diri-Nya dengan Allah; Dia tidak menganggap kesetaraan itu sebagai sesuatu yang harus Dia pertahankan. Dari perspektif Yesus, kita orang berdosa ini lebih utama. Yesus mempunyai kerendahan hati seperti itu, maka Dia melayani kita sampai mati di atas kayu salib.
Hendaklah setiap orang jangan memperhatikan kepentingan sendiri saja, tetapi kepentingan orang lain juga, seperti Kristus. Kita percaya waktu Yesus berada dalam dunia, Dia juga makan, Dia juga ada kepentingan pribadi, Dia juga ada tanggung jawab keluarga kepada Maria dan Yosef sebagai anak tukang kayu, dan Dia menyelesaikan tanggung jawab itu. Yesus ada kepentingan sendiri, tidak mungkin tidak ada, karena jika tidak maka berarti Yesus tidak makan, tidak mandi, bau, dsb. Tetapi yang pasti, Dia tidak hanya memperhatikan kepentingan sendiri melainkan kepentingan orang lain juga, kepentingan Saudara dan saya. Dia mati di atas kayu salib, itu jelas bukan kepentingan diri-Nya melainkan kepentingan Saudara dan saya. Mengapa? Karena Dia mau mengajarkan kepada kita untuk berpikir “jangan menganggap diri lebih utama daripada yang lain, tetapi dengan rendah hati setiap orang menganggap orang lain lebih utama”. Ini jangan dimengerti dalam pengertian minder, rendah diri; tidak ada hubungannya dengan itu. Kita orang Kristen harus punya dignitas, dan ini sama sekali tidak berbenturan dengan kerendahan hati. Rendah hati pastinya bukan rendah diri. Rendah hati itu dinyatakan dengan melayani; kalau kita menganggap orang lain lebih utama daripada diri kita, maka berarti kita melayani mereka. Ini pemosisian yang aktif, bukan pasif, bukan statis –ya, memang dia lebih utama, dia di sana, saya di sini, saya rendah—tetapi kita melayani dia karena dia lebih utama daripada kita, seperti Kristus mengutamakan kita daripada mengutamakan diri-Nya sendiri. Inilah hidup berpadanan dengan Injil Kristus.
Kita Perjamuan Kudus, melihat bagaimana Kristus mengutamakan kita, bagaimana Kristus mati di atas kayu salib, melayani kita, memperhatikan kepentingan kita. Dan kita percaya Perjamuan Kudus bukan sekedar simbol kosong, tapi seperti perkataan Calvin, kita betul-betul mengalami persekutuan dengan Kristus secara misteri. Lalu the benefit of Christ ditransfer kepada jemaat-Nya, termasuk juga nasihat, penghiburan kasih, kasih mesra dan belas kasihan, dan termasuk juga pola pikir mengutamakan orang lain. Barulah kita bisa mengatakan, hidup kita ini berpadanan dengan Injil Kristus. Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading