Kita sudah sampai di pasal 9 kitab Ester; boleh dibilang ini sudah pasal terakhir karena pasal 10 hanya 3 ayat panjang. Hari ini kita hanya berfokus pada ayat pertama pasal 9 ini, meskipun tetap akan melihat secara konteks besarnya juga. Ayat 1: Dalam bulan yang kedua belas —yakni bulan Adar–, pada hari yang ketiga belas, ketika titah serta undang-undang raja akan dilaksanakan, pada hari musuh-musuh orang Yahudi berharap mengalahkan orang Yahudi, terjadilah yang sebaliknya: orang Yahudi mengalahkan pembenci-pembenci mereka.
Dalam pembahasan pasal-pasal sebelumnya, kita melihat penulis Ester sangat mahir membuat kita tegang mengikuti ceritanya. Ini yang membuat ceritanya seru, karena kitab Ester sangat realistis menggambarkan dunia kita hari ini, khususnya perasaan kita sebagai orang percaya. Kita mengatakan ‘Tuhan itu baik’, tapi juga banyak hal yang terjadi di dalam dunia ini, yang begitu jahat. Kita mengatakan ‘Allah adalah kasih’, tapi dunia ini penuh dengan kebencian. Kita mengatakan ‘Tuhan itu berdaulat’, tapi koq di dunia ini kita dikelilingi dengan segala kekacauan. Kita membaca janji-janji Tuhan yang luar biasa, tapi hidup kita ini diisi dengan kekecewaan demi kekecewaan, dengan sakit hati, sakit tubuh, dst. Dan pasal demi pasal kitab Ester tidak pernah berusaha meredam ketegangan ini. Saudara tidak menemukan misalnya di akhir pasal 1 penulisnya mengatakan, “O, engga koq, Tuhan itu baik” –semacam itu. Sebaliknya, justru berkali-kali penulis Ester menggarisbawahi ketegangan ini dari pasal ke pasal.
Waktu membaca pasal 1, lalu pasal 2, Saudara bertanya-tanya “di mana Tuhan”, ketika seorang anak perempuan yatim piatu diculik masuk ke dalam harem seorang raja yang arogan, bodoh, haus kuasa, kasar. “Di mana Tuhan”, ketika seteru umat Tuhan, seorang tokoh yang paling tinggi hati dalam seluruh Alkitab, naik ke posisi perdana menteri. Katanya Tuhan menetang orang-orang yang congkak, tapi seorang yang luar biasa sombong ini punya 10 anak laki-laki, punya istri yang mendukung, punya harta yang tidak kira-kira banyaknya –dan sekarang punya kuasa politik pula. Di sisi lain, seorang dari umat Tuhan yang ayah-ibu pun tidak punya, harus direnggut dari satu-satunya sanak keluarga yang dimilikinya, untuk dilecehkan secara seksual. “Di mana Tuhan”, ketika kita melihat Haman menyalahgunakan kekuasan itu, membuat undang-undang untuk membunuh, menghancurkan, membinasakan orang Yahudi, bahkan menyegelnya dengan cincin raja, yang berarti secara hukum tidak bisa ditarik lagi. Sejak awal kita melihat kitab ini penuh dengan ketegangan. Kita terus-menerus penasaran dan bertanya-tanya, “di mana Tuhan”; dalam semuanya ini nama “Allah” sama sekali tidak muncul. Di mana Dia? Sedang apakah Dia??
Lalu di bagian tengah, kita melihat setiap pasalnya berakhir dengan ‘cliffhanger’. Pasal 3, ketika undang-undang itu keluar, ending-nya adalah ‘raja dan Haman minum-minum, sementara seluruh kota gempar’ — cliffhanger. Pasal 4 berakhir dengan kalimat Ester yang miris itu, “If I perish, I perish”, entah bagaimana kelanjutannya. Pasal 5, satu pasal yang paling menegangkan, Ester ditanya apa maunya, tapi malah mengulur waktu, padahal itu adalah malam Haman begadang untuk mendirikan tiang sula bagi Mordekhai. Ketegangan demi ketegangan, dan kita makin penasaran. Akhirnya kita sampai ke bagian turning point dalam kitab ini, ketika segala sesuatu mulai berubah; ketika Haman terpaksa menghormati Mordekhai sebagaimana dia sendiri ingin dihormati, ketika Haman kemudian mati sebagaimana dia sendiri ingin membunuh Mordekhai, dan kemudian Mordekhai diberikan posisi Haman lalu dia menuliskan undang-undang yang baru, untuk memberikan kuasa kepada orang Yahudi mempertahankan hidup mereka.
Sekarang kita sampai di pasal 9. Kita sudah terbiasa dengan gaya sang penulis yang menuliskan dengan seru, dengan ketegangan, sehingga kita mungkin mengharapkan pasal 9 pun demikian. Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu itu telah datang, tanggal 13 bulan Adar –11 bulan setelah semuanya bermula. Seperti dalam film-film, di sini mungkin kita berharap akan ada cerita-cerita detail persiapan bangsa Yahudi, bagaimana menjelang perang besar itu orang Yahudi bahu-membahu bikin senjata, bikin barikade, dengan raut wajah-wajah mereka yang cemas. Sementara di sisi lain, kita akan melihat bagaimana musuh-musuh itu diceritakan merencanakan strategi perang, serang dari mana, dsb., lalu pertempuran dimulai; mungkin awalnya orang Yahudi terpukul kalah dulu, sebelum kemudian mereka bisa menyerang balik, dan seterusnya. Intinya, kita begitu mengharapkan bagian klimaks ini akan membawa semua ketegangan, drama, suspense, sebagaimana sebelumnya kita sudah nantikan dari penulis kitab Ester. Itu sebabnya, betapa kecewanya kita ketika menemukan di ayat pertama pasal 9, penulis Ester tiba-tiba ganti haluan.
Penulis Ester tidak cerita detail naik turun pertempurannya, misalnya sepanjang 18 ayat, baru setelah itu memberikan kesimpulan “akhirnya orang Yahudi menang” –tidak seperti itu. Di bagian ini, sang penulis langsung kasih bocoran (spoiler) di ayat 1, bahkan cliffhanger pun tidak ada; Dalam bulan yang kedua belas —yakni bulan Adar–, pada hari yang ketiga belas, ketika titah serta undang-undang raja akan dilaksanakan, pada hari musuh-musuh orang Yahudi berharap mengalahkan orang Yahudi, terjadilah yang sebaliknya: orang Yahudi mengalahkan pembenci-pembenci mereka –selesai dalam 1 ayat. Dalam 1 ayat saja, kita sudah dikasih tahu ending-nya, tidak ada suspense, tidak ada naik turun. Penulis tidak menulis 18 ayat dulu lalu baru di ayat 19-nya tarik kesimpulan; penulis malah mengatakan kesimpulannya di ayat 1, baru setelah itu 18 ayat menjelaskan detail-detail kejadiannya. Tapi efeknya, kedelapan belas ayat berikutnya itu jadi tidak ada suspense-nya lagi, tidak ada dramanya lagi, karena kita sudah tahu bagaimanan ceritanya berakhir. Ini seperti kalau Saudara nonton final Euro kemarin, Saudara baru duduk dan membuka Kacang Garuda di tangan Saudara, lalu tiba-tiba penulis Ester muncul dan bilang “Italia menang adu penalti” –jadi sakit hati. Mengapa bisa begini?
Mengapa dalam sebuah kitab yang kita sudah terbiasa penuh dengan drama, suspense, cliffhanger ending, plot twist, lalu di pasal 9 penulis memilih untuk putar haluan? Padahal di sini ceritanya sangat masih bisa digoreng, tapi kita tiba-tiba dikasih mentah-mentah, dingin dari kulkas, bahkan masuk microwave pun tidak. Ini satu isu yang membuat para sarjana Alkitab bingung. Seorang komentator mengatakan, di bagian ini drama-nya kempes, digantikan gaya bahasa laporan, berikut catatan angka-angka jumlah korban yang mati beserta analisanya –sangat membosankan. Komentator lainnya bahkan mengusulkan, jangan-jangan pasal 9 ini tambahan dan tidak ada di kitab aslinya, mungkin ini tambahan dari penulis lain yang kurang ahli dalam menulis cerita. Tetapi, sebenarnya mungkin pergantian gaya ini bisa dijelaskan secara tidak terlalu ekstrim, bahkan secara lebih indah, kalau kita mengasumsikan kesatuan Alkitab dan bahwa penulis Alkitab bukanlah orang-orang bodoh; mungkin perubahan gaya ini sebagaimana bagian-bagian yang lalu dalam kitab ini juga, mengandung sebuah makna teologis. Apakah makna teologis yang mau disampaikan lewat gaya penulisan yang berubah haluan ini, yang kasih bocoran lebih dulu tanpa goreng-goreng dramanya?
Mungkin, lewat semua ini penulis mau menyampaikan bahwa sejak awal, memang ending-nya tidak pernah diragukan. Tidak pernah. Ingat apa yang Mordekhai katakan kepada Ester di pasal 4: 14, “Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul pertolongan dan kelepasan dari pihak lain … Siapa tahu —who knows— mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu”. Ini kalimat yang menarik karena ada perkataan “siapa tahu” di situ. Tapi kalimat “siapa tahu” ini dikatakan Mordekhai bukan karena dia ragu, sebaliknya justru dia yakin. Dia yakin umat Allah akan dijaga dan diselamatkan, hanya saja dia tidak tahu caranya bagaimana; inilah yang dimaksud dengan “siapa tahu”. Siapa tahu Tuhan akan pakai Ester, atau Tuhan tidak pakai Ester. Tidak ada yang tahu. Tapi satu hal yang Mordekhai tahu, pertolongan akan datang. Dengan kata lain, makna teologis dari semua ini adalah bahwa tanggal 13 bulan Adar pokoknya akan berakhir seperti itu, berakhir dengan umat Allah diselamatkan. Memang benar kita tidak tahu caranya sampai ke sana bagaimana, itu sebabnya pasal-pasal awal dan tengah penuh dengan suspense. Tapi untuk urusan hasil akhirnya, tidak ada pertanyaan, sudah tahu sejak awal apa yang akan pasti terjadi; dan itulah sebabnya sang penulis memilih untuk menutup kitab ini dengan gaya drama yang kempes.
Seorang komentator yang lain, Karen Jobes –yang tafsirannya jadi sumber favorit saya untuk khotbah ini –mengatakan demikian: seperti yang lalu-lalu yang kita sudah bahas, sebagaimana orang Yahudi peka dengan segala budaya Yahudi dan latar belakang Perjanjian Lama, ketika mereka membaca bagian ini, mereka menangkap sesuatu yang kita sebagai orang modern kurang bisa menangkapnya; mereka akan menangkap bahwa undang-undang yang Mordekhai keluarkan sebenarnya sedang menggaungkan gaya bahasa janji Tuhan di seluruh Perjanjian Lama, yang sudah diberikan sejak Musa, yaitu janji yang mengatakan bahwa umat-Nya akan diselamatkan dan musuh-musuh mereka akan dihancurkan. Janji itu digaungkan kembali dalam undang-undang yang Mordekhai tulis. Dengan demikian, waktu orang Yahudi membaca bagian ini, mereka mungkin tersenyum sumringah, karena mereka mengenali kalimat-kalimat yang keluar dari tangan Mordekhai itu pernah mereka baca sebelumnya. Dan, karena ini mewakili janji Allah melalui Musa di Gunung Sinai, maka ini sudah done deal jauh sebelum matahari bersinar pada tanggal 13 bulan Adar. Penulis sedang memperlihatkan bahwa janji Tuhan itulah yang memastikan keselamatan umat-Nya, sedangkan sisanya cuma detail. Kitab Ester ini pada dasarnya mau menyatakan bahwa pada akhirnya Tuhan kita mampu menjalankan janji-janji-Nya, dan janji-janji-Nya itu tetap terjadi meskipun ratusan tahun setelah Dia mengatakannya.
Kalau kita berhenti sebentar dan merenungkan keseluruhan kitab Ester, kita menemukan dalam kitab ini, adanya paradoks antara pasal-pasal awal dan tengah dengan pasal terakhir ini. Ending-nya kita lihat di pasal 9 ini; sangat jelas, tidak ada dramanya, tetapi perjalanan menuju ending tersebut, lain cerita. Ada paradoks. Penulis seperti mau mengatakan, janji Tuhan itu kekal, sehingga kita tahu bagaimana ceritanya berakhir, ending-nya jelas; tapi di sisi lain penulis juga memperlihatkan bahwa perjalanan menuju ending-nya itu lain cerita, penuh dengan ketidakpastian, penuh drama, penuh ketegangan. Mungkin inilah pelajaran teologis yang penulis mau perlihatkan kepada kita lewat 2 gaya penceritaan yang kontras ini. Kalau kita refleksi kembali ke cerita-cerita di awal dan di tengah, yaitu perjalanan menuju ke ending-nya, di situ penulis sebenarnya sedang mengundang kita bukan hanya melihat bagaimana caranya Tuhan menjalankan janji-janji-Nya, bukan cuma soal detail-detailnya, tetapi juga dengan sengaja mengundang kita untuk mempertanyakanapakah ini benar-benar tangan Tuhan atau tidak.
Dalam semua kisah Perjanjian Lama yang lain, ketika umat Tuhan diselamatkan dari musuh-musuh mereka dan musuh-musuh mereka itu dihancurkan –cerita-cerita seperti itu muncul berkali-kali– kita selalu jelas sekali melihat tangan Tuhan. Tangan Tuhan khususnya datang lewat tokoh-tokoh tertentu yang dikatakan bahwa Roh Allah hinggap atas mereka, dsb. Kita melihat Musa, yang ketika Israel berperang melawan Amalek –umat Tuhan diselamatkan, musuh-musuh mereka dihancurkan– yang terjadi adalah Musa berdiri di atas bukit, tangannya mengangkat tongkat Tuhan. Cerita yang lain, para hakim-hakim; dengan sepak terjang mereka, dikatakan bahwa Tuhanlah yang membangkitkan mereka, Tuhanlah yang menyertai mereka. Kita juga ingat tentang Daud dan Saul, dikatakan Roh Allah turun atas mereka. Ada lagi Salomo, yang menerima hikmat langsung dari Allah. Kita mengingat juga Daniel yang diberikan kemampuan menafsir mimpi, dst., dst.
Di dalam kitab Ester, sekali lagi kita melihat pola ini, yaitu keselamatan umat Allah dan kehancuran musuh-musuh mereka. Undang-undang Mordekhai semata menggaungkan kovenan yang Tuhan telah ikat sepanjang Perjanjian Lama dengan umat-Nya. Tapi apa yang beda di sini? Yang beda adalah dalam kitab ini, Ester dan Mordekhai tidak pernah disebut sebagai orang-orang yang kepadanya Roh Allah hinggap. Mereka bahkan tidak pernah digambarkan sebagai orang Yahudi yang berbakti; dan lewat merekalah kita melihat janji Tuhan kepada orang Yahudi –umat Allah yang terserak di seluruh kerajaan Persia itu– kembali digenapi.
Dalam pembahasan kitab Ester ini, saya berkali-kali berusaha meyakinkan kepada Saudara bahwa teks Ester yang di dalamnya tidak ada nama Tuhan ini, justru menghadirkan suatu ‘bolong yang berbentuk Tuhan’ (a God shaped hole); dan hari ini, saya ingin menyeimbangkan poin tersebut. Maksudnya, Saudara harus sadar, bahwa kalau pun ada bolong berbentuk Tuhan, itu tetap cuma bolong; itu bukan gambar berisi Tuhan, itu bolong berbentuk Tuhan. Ini adalah satu hal yang ada makna teologisnya. Ini memang disengaja; penulis sudah tahu ending-nya bagaimana, namun jalan menuju ke sananya dibikin suspense. Maksudnya, perjalanan menuju ke sana-nya tetap ada ruang untuk kita bahkan mempertanyakan apakah ini sebenarnya tangan Tuhan atau bukan, kita tidak tahu secara pasti, karena yang ada cuma suatu bolong –berbentuk Tuhan. Penulis Ester tidak pernah memperlihatkan dengan jelas sosok Tuhan dalam perjalanan kitab ini. Dalam hal ini Saudara harus seimbang; Ester dan Mordekhai tidak pernah disebutkan “Roh Tuhan hinggap atas mereka”, sehingga secara eksplisit kita tidak bisa mengatakan secara pasti bahwa Ester dan Mordekhai menyadari peran mereka secara utuh sebagai orang-orang yang dipakai dalam mata rantai sejarah keselamatan umat Allah –kita tidak mendapati indikasi itu dalam kitab ini. Bahkan kita bisa membuktikan bahwa mereka memang tidak sadar karena turning point dalam kisah ini terjadi ketika mereka berdua nampaknya sedang pulas tidur di kamarnya masing-masing.
Seorang komentator lain –yang saya tidak sepenuhnya setuju dengan dia– mengatakan bahwa penulis kitab Ester sendiri mungkin tidak sebegitu yakinnya dengan sepak terjang Tuhan dalam kisah ini, maka penulis tersebut tidak berani telak-telak menghadirkan gambar Tuhan; dia hanya berani menghadirkan ‘bolong berbentuk Tuhan’. Saya melihat pendapat dia ini sebagai satu hal yang positif. Ini mungkin pelajaran teologisnya, ini bukan keraguan yang negatif tapi sebenarnya adalah langkah iman yang realistis, iman yang mendarat ke tanah, yaitu bahwa pelajaran yang mau diberitakan di sini adalah: kita memang tidak bisa tahu secara definitif, apa yang tangan Tuhan kerjakan atau tidak kerjakan, dalam sejarah, dalam prosesnya, dalam perjalanannya –kita tidak bisa tahu.
Manusia selalu suka ekstrim. Kalau orang-orang beragama, mereka sukanya memakai kejadian-kejadian keselamatan yang besar sebagai bukti tangan Tuhan, dan mereka sangat yakin ini tangan Tuhan. Tapi penulis Ester di sini mengatakan, “tidak bisa yakin 100%, itu cuma bolong yang berbentuk Tuhan, dan kita tidak terlalu yakin.” Sebaliknya, orang ateis suka memakai kehancuran dan bencana sebagai bukti tidak ada Tuhan. Lalu di sini penulis Ester akan mengatakan hal yang sama, “tunggu dulu, ‘gak tentu lho, jangan segitu yakinnya”. Ini bukan berarti agnostik, karena ending-nya jelas. Ini satu hal yang lucu; ending jelas, kesimpulan akhirnya jelas, gaya penceritaannya sangat berbeda dalam urusan ending kalau dibandingkan dengan perjalanan menuju ending tersebut. Penulis Ester seperti mau mengatakan, kalau Saudara tidak yakin ini tangan Tuhan atau bukan, itu adalah hal yang normal, wajar, lumrah, memang seperti demikianlah pergumulan iman kita.
Saudara, jikalau Saudara punya iman yang mengikuti pola ini –pola beriman bahwa ending kita itu jelas, secure, namun juga iman tersebut tidak mengatakan bahwa perjalanannya juga sama, bahwa ada ruang untuk misteri dalam hal perjalanannya– maka ini adalah iman pola kitab Ester, dan Saudara bisa mendapatkan kekuatan besar lewat kitab ini. Jikalau iman Saudara dibentuk oleh kitab seperti ini, yang membedakan antara kepastian dalam perjalanan dengan kepastian pada ujung perjalanan, maka message teologisnya jadi jelas sekali, suatu penghiburan. Penghiburannya adalah ketika hari ini Saudara juga ragu di mana Tuhan di tengah-tengah krisis dan situasi hidup yang begitu kacau, Saudara tidak perlu mempertanyakan iman Saudara, karena ini bukan berarti Saudara tidak beriman.
Saudara, iman sang penulis adalah iman Mordekhai, bahwa umat Tuhan akan survive. Mordekhai tahu ini, tapi siapa tahu caranya menuju ke sana, who knows?? Siapa tahu, bahwa kalimat “siapa tahu” ternyata bisa merupakan kalimat iman. Atau Saudara selama ini pikir bahwa orang yang beriman pasti adalah orang yang super tahu? Di satu sisi berteriak “pandemi, ini bukti Tuhan tidak ada!!”, sementara di sisi seberangnya berteriak “ini justru bukti Tuhan ada dan Tuhan sedang menghakimi dunia!!” Tapi penulis Ester memperlihatkan kepada kita iman yang tidak ekstrim kiri-kanan seperti ini; bukan iman yang tidak tahu –tetap iman yang tahu– tapi juga bukan iman yang sok tahu.
Supaya lebih jelas, saya coba pakai satu cerita, suatu kejadian yang katanya sungguh-sungguh terjadi. Alkisah, ada seorang Kristen bersama anaknya sedang di mobil, dalam perjalanan pulang dari gereja. Si anak mengatakan, “Papa, ayo kebut sedikit, sebentar lagi acara Robin Hood di TV, aku mau nonton.” Papanya jawab, “Nak, kamu lupa ya, TV kita lagi rusak. Papa sudah panggil teknisi, tapi ini ‘kan hari Minggu, paling cepat Senin dia baru datang. Lagipula kita ‘kan sedang pergi, pintu dikunci, dia ‘gak bisa masuk”. Anak ini cemberut, tapi lalu mengatakan, “Kalau begitu, ayo kita berdoa kepada Tuhan Yesus supaya TV selesai direparasi sebelum acara Robin Hood mulai”. Si papa secara refleks mau menyanggah anaknya, ‘sama Tuhan jangan minta kayak gituan lah, emangnya Tuhan itu pembantu kita’, dsb., tapi dia ingat khotbah tadi di gereja, yang membahas 1 Petrus 5:7, “serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya sebab Ia yang memelihara kamu”; dan poin dari Pak Pendeta adalah kita tidak perlu merasa hanya bisa datang kepada Tuhan untuk urusan-urusan yang besar, Tuhan juga memperhatikan kekuatiran dalam hati kita yang terkecil, karena Bapa di surga peduli dengan kita. Pak Pendeta itu mengundang jemaatnya untuk berani mencurahkan isi hati mereka kepada Tuhan, termasuk dalam hal-hal yang mungkin terkesan remeh. Mengingat khotbah itu, sang papa pikir mungkin ini momen yang baik untuk anaknya belajar mengenai kepedulian Tuhan kepadanya. Papa ini tidak peduli dengan Robin Hood, tapi dia peduli akan pertumbuhan relasi anaknya dengan Tuhan. Dia lalu meminggirkan mobilnya, dan mereka berdoa bersama mengenai TV itu. Lalu mereka melanjutkan perjalanan dan tiba di rumah; anaknya langsung turun dan berlari masuk ke dalam rumah. Si papa bingung, bagaimana bisa pintu tidak terkunci. Dia segera menyusul masuk, dan anaknya sedang begitu bahagia duduk di kursi, nonton Robin Hood, di TV yang berfungsi normal. Apa yang terjadi? Koq bisa begini? Ternyata, di dalam rumah ada tetangga yang mereka kenal baik, dia rupanya sedang mampir untuk mengambil barangnya yang kemarin tertinggal di dalam. Karena kenal baik, tetangga ini sudah diberitahu di mana mereka menyembunyikan kunci, sehingga bisa masuk. Dan begitu dia masuk, teknisi TV datang, sehingga langsung bisa membereskan problem TV mereka. Itulah sebabnya TV-nya beres ketika mereka pulang.
Mendengar cerita itu, apa respons Saudara? Anak tadi sekarang sudah tumbuh dewasa dan hampir lupa dengan kejadian tersebut, tapi kejadian itu justru membekas dalam hidup si papa karena itu adalah momen dia menyaksikan tangan Tuhan yang dia tidak sangka-sangka. Bagaimana dengan Saudara? Apakah Saudara yakin bahwa itu adalah tangan Tuhan? Ini pertanyaan jebakan karena kita sedang di Gereja, sehingga Saudara mungkin akan langsung jawab “iya dong, amin dong”. Tapi bukan itu poin saya. Poin saya di sini, kita biasanya langsung terbagi dua, yang sama-sama ekstrim. Orang yang skeptis akan mengatakan, “Ah, ini cuma kebetulan, coba kamu analisa kronologinya. Ada kemungkinan, si tetangga masuk ke rumah itu sebelum mereka berdoa; seandainya begitu, jadi ini bukan gara-gara doa, bahkan mungkin TV nya sudah beres sebelum anak ini berdoa, dan akan terus jalan meskipun si anak tidak berdoa”. Sisi yang satunya, mengatakan, “Tidak begitu; ini justru buktinya bahwa Firman Tuhan itu benar. Seperti Matius 6: 8 mengatakan ‘Bapa di surga sudah tahu sebelum kamu minta’”. Jadi pertanyaannya, Tuhan bekerja atau tidak di sini? Apakah doa kita menggerakkan tangan Tuhan, atau tangan Tuhan bekerja lebih dulu sebelum kita berdoa? Kalau Saudara terbiasa mengatakan “Amin! Ini tangan Tuhan!”, maka penulis Ester akan mengatakan, ‘mungkin tidak usah seyakin itu’. Sedangkan kalau Saudara di sisi sebaliknya, Saudara terbiasa mengatakan “Ah, cuma kebetulan”, penulis Ester juga akan mengatakan, ‘hmmm, mungkin jangan seyakin itu juga’.
Jangan salah tangkap, bagi penulis Ester ending-nya jelas, tapi perjalanan ke sana-nya selalu punya misteri. Memang ada bolong berbentuk Tuhan –kita sudah lihat itu– tapi itu adalah bolong, berbentuk Tuhan, bukan gambar berisi Tuhan. Apakah Saudara mau punya iman yang seperti ini? Saya rasa kita sering mendengar bahwa hidup Kristen bukanlah tanpa misteri, tapi realitanya, kita sulit sekali menghidupi iman yang ada misteri. Realitanya, dalam hidup kita, seringkali kita tidak punya ruang untuk misteri. Kita merasa ingin tahu segala sesuatu dengan jelas —kalau Pak Pendeta mau saya berdoa, saya harus memahami dulu relasi yang persis antara doa-doa saya dengan tangan Tuhan dalam hidup saya. Satu pertanyaan yang terus-menerus selalu muncul setiap kali kita membahas Ester, yang bukan cuma dari satu dua orang tapi dari berbagai orang, yaitu pertanyaan yang ingin tahu secara PASTI apa yang terjadi dalam kitab Ester; kenapa Ahasyweros begitu, kenapa Mordekhai kayak begini, kenapa begini dan bukan begitu? Semua printilan ditanya. Dan jawaban saya selalu adalah: memang teksnya sengaja ambigu dalam bagian itu –namun Saudara sepertinya tidak pernah puas dengan jawaban itu, minggu demi minggu muncul lagi pertanyaan dengan pola yang sama.
Dalam bagian ini, saya harap kita bisa mengenali diri kita dengan jujur, kita bisa mengenali iman macam apa yang kita pegang –dan iman macam apa yang penulis Ester pegang. Jangan-jangan iman yang kita pegang adalah iman yang tidak mengizinkan adanya misteri dalam kerohanian kita. Ini ironis, karena dalam hidup sehari-hari sebenarnya ada banyak hal yang kita oke-oke saja dengan adanya misteri. Smartphone yang Saudara pakai, sebenarnya ada banyak misterinya, Saudara tidak tahu bagaimana persisnya cara kerja touch screen, Saudara tidak tahu bagaimana microchip di dalamnya bekerja –setidaknya kebanyakan dari Saudara tidak tahu– dan lucunya, kita menerima semua misteri itu, kita tidak merasa harus tahu untuk bisa menghidupi smartphone. By the way, misteri smartphone ini sebenarnya bisa dipelajari karena ini adalah misteri buatan manusia, namun kenyataannya cuma sedikit dari kita yang mau mempelajari hal-hal seperti itu.
Contoh lain, urusan sains, yaitu bidang yang jelas urusannya mengenai pengetahuan (scientia, mengetahui), mengenai menyelidiki dan mengetahui. Namun dalam sains, masih begitu banyak misteri; natur dari cahaya, sampai hari ini kita tidak mengerti apakah itu partikel, atau gelombang, atau apa. Kalau Saudara masuk ke dalam urusan mekanika kwantum, Saudara makin pusing lagi karena begitu membingungkan. Dalam dunia yang kelihatan ini, masih begitu banyak misteri. Itu sebabnya seorang scientist Kristen pernah mengatakan, “Kalau dalam science dunia yang kelihatan (materi) saja begitu banyak misteri, yang kita mungkin tidak akan bisa pecahkan semua sampai akhir zaman, apalagi dengan Tuhan, apalagi dengan kerohanian.” Tapi mengapa kalau urusan Tuhan dan Alkitab, kita berasumsi harus tahu persis dan tidak boleh ada ambiguitas? Saya harus tahu persis, doa dan kehendak Tuhan itu cara kerjanya dan mekanismenya bagaimana, baru saya mau berdoa; kalau tidak, buat apa saya berdoa.
Kembali ke kitab Ester, ambiguitas ini sebenarnya adalah bagian dari message-nya. Sang penulis mau memberitahu kita bahwa kita bisa yakin, dan ada tiang yang bisa kita pegang, yaitu pekerjaan Tuhan dalam skala besar, janji-janji Tuhan dalam skala besar, yang kita tahu dan yakin menuju ke sana itu ujungnya apa karena sejak awal sudah ketahuan, tapi jalan menuju ke sana-nya sementara kita masih mengalaminya dan berada di tengah-tengahnya, kita tidak tentu bisa menyadari akan hal itu. Kita tidak tentu bisa benar-benar melihat signifikansinya secara penuh akan apa yang terjadi saat ini dalam skema rencana besar Tuhan. Saudara, siapa bisa yakin bahwa Tuhan sedang bekerja menempatkan Ester jadi penyelamat bangsanya, ketika Ester sedang dibawa masuk ke atas ranjang raja kafir? Lebih menohok sedikit, siapa bisa melihat tangan Tuhan ketika dikatakan Ester itu menimbulkan kasih sayang raja lebih daripada semua perempuan lain, yang itu semua sebenarnya bukanlah tanpa elemen seksual? Seorang komentator mengatakan, bagian ini sebenarnya suatu kalimat halus yang menyatakan malam itu Ester memuaskan raja, lebih daripada semua perempuan lain; dan bisakah Saudara melihat tangan Tuhan di situ? Ketika ceritanya sampai di belakang, tentu Saudara bisa melihatnya, tapi tetap saja bukankah tidak tanpa kesulitan?
Bahkan kalau kita lanjutkan ke bagian akhir pasal yang hari ini kita baca, kita melihat orang Yahudi diselamatkan dari kehancuran tanggal 13 bulan Adar, tapi coba Saudara perhatikan satu hal saja, mengenai bagaimana keselamatan tersebut datang. Metodenya cukup bisa dipertanyakan, karena keselamatan ini tidak datang melalui mujizat atau penampakan kuasa Allah, atau pun pertobatan di hati orang-orang Persia; keselamatan ini datang secara “natural”, yaitu melalui semua positif negatif yang mempengaruhi medan politik dalam kekaisaran Persia. Dalam ayat 3 dan 4, semua pegawai di negeri Persia –dari gubernur sampai satpol PP– memihak orang Yahudi, bukan karena mereka bertobat, melainkan hanya karena mereka ketakutan. Dikatakan bahwa ketakutan akan Mordekhai menimpa mereka karena kuasa Mordekhai makin lama makin besar, Mordekhai makin powerful. Pertobatan macam ini tidak ada keagungannya sama sekali, tidak ada esensi spiritualnya. Tuhan tidak mengubah hati atau karakter rakyat Persia, mereka hanya mengikuti intrik dan manipulasi-manipulasi politik yang sudah lama berlangsung, dan tetap berlangsung sampai hari ini. Kalau kita ingat khotbah pasal 8, Ester pun berhasil memanipulasi raja, sebagaimana sepanjang kitab ini raja dimanipulasi oleh orang-orang lain. Sekarang, Mordekhai ditakuti orang banyak; ini adalah sedikit petunjuk bahwa Mordekhai bukan memerintah dengan gaya lemah lembut –itu sebabnya dia ditakuti. Dan, janji Tuhan tidak bisa digagalkan, ending-nya sangat jelas, sedangkan perjalanan menuju ke sana-nya, lain cerita.
Seorang penafsir Yahudi bernama Abraham Saba, memberikan poin yang sangat baik untuk kita renungkan dari kitab Ester, yaitu bahwa kitab ini menunjukkan fase iman orang Israel mencapai kedewasaan; kitab ini menunjukkan satu titik dalam perjalanan iman orang Yahudi, ketika mereka akhirnya benar-benar menerima Taurat Tuhan dengan segenap hati mereka. Mengapa Saba bisa mengatakan sejauh itu? Dalam midras-midras (tulisan-tulisan orang Yahudi) mengenai kitab Ester, ada petunjuk bahwa sebelum zaman Ester, orang Yahudi mengikut Tuhan semata karena mujizat-mujizat besar yang Tuhan lakukan, maka begitu mujizat berhenti, iman juga berhenti, kemudian mereka ngacir ke dewa-dewi bangsa-bangsa lain; jadi mereka percaya Tuhan atas dasar apa yang Tuhan lakukan, bukan atas dasar pengenalan akan diri Tuhan. Di sini Abraham Saba mengatakan, penyelamatan besar di dalam kitab Ester ini terjadi sama sekali tanpa mujizat; dan inilah alasannya bahwa orang Israel akhirnya belajar akan iman yang dewasa, iman yang didasari pada perkataan Tuhan, janji Tuhan, diri Tuhan, dan bukan pada mujizat-mujizat yang Tuhan lakukan yang mereka bisa lihat.
Lalu apa arti semua ini bagi kita hari ini? Pada dasarnya, kitab Ester sedang mengajar kita untuk merenungkan mengenai apa itu iman, khususnya iman di dalam dunia di mana Allah tidak kelihatan. Iman itu –menurut kitab Ester– ternyata kompleks. Iman itu menghidupi dua dunia, dunia yang kelihatan dan dunia yang tidak kelihatan. Banyak orang gagal menangkap kompleksitas dari Ibrani 11 ayat 1 yang mengatakan “iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan, dan bukti dari segala sesuatu yang kita tidak lihat”; membaca ini, orang mengatakan ‘jadi kalau beriman, pasti melihat; kalau beriman, pasti yakin’. Tidak demikian. Saudara baca baik-baik, iman yang dikatakan di situ, justru tidak melihat. Ada aspek yang kita tidak lihat. Iman itu bukti dari segala sesuatu yang kita tidak lihat. Ada bukti? Ada. Ada melihat? Tidak ada. Ini dua dunia, kompleks.
Melihat yang tidak kelihatan, itu berbeda dari melihat yang kelihatan. Melihat yang bolong, itu beda dari melihat gambar yang berisi. Jelas ada aspek melihat, tapi ada aspek tidak melihat-nya juga. Itulah iman. Iman sudah pasti bukan yang simplistik seperti dua ekstrim tadi, entah cuma melihat dunia yang kelihatan tok atau melihat dunia yang tidak kelihatan tok. Yang cuma melihat dunia yang kelihatan, misalnya adalah orang ateis atau orang materialis yang tidak percaya lebih dari apa yang dia lihat. Sebaliknya adalah orang beragama yang ekstrim, yang hanya melihat dunia yang tidak kelihatan, lalu tidak peduli lagi dengan apa yang kelihatan di sini; orang super rohani yang di sana-sini yakin banget tangan Tuhan di mana-mana, alias iman sok tahu.
Saudara, iman tidak mencari kepastiannya di dalam kejadian-kejadian yang terlihat di dunia, atau pun dengan menutup mata terhadap apa yang terjadi di dunia yang kelihatan. Iman mendapat kepastiannya ketika iman bersandar kepada Firman Tuhan; ini iman yang dewasa.
Satu hal yang pernah ditanyakan dalam Sesi Pendalaman Khotbah (SPK), yaitu: bagaimana kita bisa yakin bahwa bolong berbentuk Tuhan yang ada di kitab Ester itu adalah bolong yang berbentuk Allah Yahweh, dan bukan dewa lain? Ini pertanyaan yang valid, karena memang bolong, Saudara tidak melihat ada gambarnya, jadi bagaimana bisa yakin ini benar-benar Allah Yahweh. Jawaban saya, karena kitab ini kita temukan di dalam kanon Alkitab, karena kitab ini kita baca di antara Firman Tuhan. Ini iman yang bersandar kepada Firman Tuhan. Saudara baru bisa membaca Allah Yahweh dalam kitab Ester, hanya ketika Saudara membaca kitab ini berdasarkan kitab-kitab yang datang sebelumnya dan datang sesudahnya. Saudara baru menyadari ada gaung janji Tuhan dalam undang-undangnya Mordekhai, hanya kalau Saudara membacanya lewat kacamata janji Tuhan di Perjanjian Lama. Bisa dibilang, kitab Ester di dalam Alkitab seperti mewakili dunia yang kelihatan, lalu kitab-kitab lainnya mewakili dunia yang tidak kelihatan; dan link di antara dua dunia ini adalah Firman Tuhan. Firman Tuhan-lah yang menggabungkan keduanya.
Saudara, kita ini hidup di dalam kehidupan yang sangat tidak menentu, yang sangat penuh ketegangan (dalam arti negatif), segala sesuatu bisa berubah sekejap mata. Kita benar-benar sangat mengalaminya setahun terakhir ini, bahkan khususnya satu bulan terakhir ini. Tapi saya rasa ini kesempatan untuk kita benar-benar belajar iman yang mature, iman yang dewasa, iman yang biblikal. Iman yang bukan tanpa kepastian; ada kepastiannya dalam hal ending-nya. Kita tahu ending-nya apa, itu sudah dibocorin sejak awal, bahwa pada akhirnya Tuhan menang dan janji Tuhan semua ditepati. Namun, kepastian ending ini bukan meniadakan segala ketegangan dan suspense dalam hidup kita, karena di tengah-tengah ceritanya kita tidak tahu bagaimana semua ini menuju ke akhir tersebut. Di tengah-tengah kisah, kita melihat kadang-kadang kekacauan seperti menguasai segala sesuatu. Di tengah-tengah kisah, kadang umat Tuhan menderita. Di tengah-tengah kisah, kadang orang bertanya, bagaimana Tuhan bisa memegang janji-Nya dengan semua situasi seperti ini. Mungkin ditengah-tengah kisah, jawaban terbaik yang Saudara bisa berikan hanyalah mengatakan “who knows” –siapa tahu. Di tengah-tengah kisah, kita tidak bisa menyadari signifikansi dari semua yang terjadi di dunia, atau pun yang terjadi dalam hidup kita. Di tengah-tengah kisah, Saudara tidak bia melihat ujung jalannya. Tapi kitab Ester meyakinkan kita, bahwa di tengah-tengah kisah, ternyata kita tidak harus tahu juga semua itu. Kita tidak perlu mengetahui segala sesuatu. Kita tidak perlu mengetahui secara pasti apakah doa-doa kita yang mempengaruhi Tuhan, atau Tuhan yang mempengaruhi kita untuk berdoa, karena kita berjalan atas dasar iman, bukan atas dasar penglihatan.
Terakhir, waktu kita menaruh iman kita atas dasar Firman Tuhan, dan bukan pada situasi, kondisi, atau apapun yang kita lihat, ini bukan berarti cuma Firman Tuhan dalam Alkitab yang kita baca, tapi sudah pasti juga berarti Firman Tuhan yang hidup, yang telah menjelma menjadi daging, karena Dialah yang sungguh menjembatani antara dunia yang kelihatan dan dunia yang tidak kelihatan itu. Saudara perhatikan, ratusan tahun setelah Ester, datanglah satu hari yang gelap, hari tergelap dalam kehidupan Tuhan Yesus, yang kalau kita masuk ke dalam hari itu dan melihat di tengah-tengah kisah itu, kita akan melihat Allah yang meninggalkan Anak-Nya sendiri dan musuh Yesus berhasil menaklukkan Yesus. Bahkan kalimat Yesus di atas kayu salib pun meng-konfirmasi hal ini. Ini sesuatu yang riil, karena Tuhan Yesus meneriakkan ‘Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku’. Saudara ingat reaksi para murid dalam momen itu, reaksi mereka itu disebabkan karena mereka lupa ending-nya. Mereka lupa akhir kisahnya. Mereka lupa memandang dalam iman, maka mereka hanya melihat dan menilai situasi itu berdasarkan apa yang kelihatan. Itu sebabnya hati mereka dipenuhi dengan dukacita, rasa takut, lalu lari menyembunyikan diri. Mereka pikir inilah ending-nya, ketika kepala Yesus menunduk untuk terakhir kalinya.
Tapi hari itu, ada seseorang yang tidak lupa akan kisah Ester, ada seseorang yang tidak lupa bagaimana kisah-kisah di Alkitab berakhir. Siapa dia? Yang saya maksud bukan Allah Bapa –Allah Bapa pasti tahu– yang saya maksud justru Dia yang menderita di tengah- tengah kisah itu. Dialah yang tidak lupa ending dari kisah-kisah di Alkitab, yang teriakan-Nya tidak dijawab oleh Allah-Nya di tengah-tengah kisah, yang penderitaan-Nya melampaui semua penderitaan yang dunia pernah alami di tengah-tengah kisah. Surat 1 Petrus 2: 23 mengatakan, ‘Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia yang menghakimi dengan adil’; terjemahan bahasa Inggris mengatakan: ‘He continued entrusting himself to him who judges justly’. Di tengah kisah itu, Yesus menolak menghakimi Allah-Nya berdasarkan situasi yang Dia lihat. Bukan berarti Yesus tidak ada keraguan. Bukan berarti Yesus punya iman ala sok tahu; di atas kayu salib Dia juga bukan mengatakan ‘he-he-he… lihat saja nanti, tunggu saja 3 hari lagi’, semacam itu. Tetap saja Tuhan Yesus mengatakan ‘Eli, Eli, lama sabakhtani’, tapi perhatikan, ini bukan kalimat terakhir Tuhan Yesus; kalimat terakhirnya, menurut Lukas adalah: “Bapa, ke dalam tangan-Mu, Kuserahkan nyawa-Ku”.
Saudara, di tengah kisah itu, Yesus mengingat ending-nya, mengetahui ending-nya. Dia menolak menilai situasi dan Allah-Nya berdasarkan apa yang ada di tengah-tengah kisah; dan inilah yang menyebabkan Tuhan Yesus bisa bertahan, tetap setia sampai mati. Dan ini terbukti benar; Petrus mengutip Perjanjian Lama dalam khotbahnya di hari Pentakosta, bahwa Allah tidak meninggalkan Anak-Nya di dunia orang mati mengalami kebinasaan, pada hari yang ketiga Allah membangkitkan Anak-Nya. Dan Filipi 2 mengatakan kepada kita, bahwa Dia bukan cuma dibangkitkan, tapi Dia sangat ditinggikan, dan kepada-Nya dikaruniakan nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala sesuatu yang ada di langit, di atas bumi, dan di bawah bumi, dan segala lidah mengaku “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa. Kembali ke kitab Ester; pasal 9 ayat 1 mengatakan: Pada hari musuh-musuh orang Yahudi berharap mengalahkan orang Yahudi, terjadilah yang sebaliknya: orang Yahudi mengalahkan pembenci-pembenci mereka. Pada hari ketika musuh-musuh Yesus berharap menghancurkan Dia, terjadilah yang sebaliknya, yaitu Yesus mengalahkan dosa dan maut.
Dalam Injil Lukas ada kisah yang sedikit lucu tentang Yesus yang telah bangkit, bertemu dengan 2 orang murid yang sedang berjalan menuju Emaus. Perhatikan di situ ada sedikit ironi, bahkan juga sedikit humor; Yesus bertanya kepada mereka, “Kenapa muram?” Lalu salah seorang, yaitu Kleopas menjawab: “Ini karena apa yang terjadi dengan Yesus orang Nazaret. Dia seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa kami. Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya. Padahal kami dulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel”. Saudara coba baca bagian ini sebagai seorang Kristen, perhatikan kalimatnya ‘kami mengharapkan Dia yang datang untuk membebaskan bangsa Israel, tapi Dia lalu diserahkan untuk dihukum mati dan disalibkan’; sementara hari ini kita mengatakan: ‘Dialah yang membebaskan bangsa Israel, karena Dia telah diserahkan untuk dihukum mati dan disalibkan’. Saudara, seorang Kristen yang membaca kalimat Klopas tadi, mungkin sedikit tertawa meski bisa mengerti juga perasaan Kleopas waktu itu, tapi lihatlah ironinya. Inilah bagaimana sesungguhnya kisahnya akan berakhir, dan Tuhan Yesus tidak melupakan hal ini, karena Dia tahu, Bapa-Nya adalah Allah Sang Pemutar Balik –The God of Great Reversal.
Kita seringkali berpikir, untuk bisa beriman kepada Tuhan, kita perlu tahu segala sesuatu. Untuk bisa berdoa, saya perlu tahu bagaimana mekanismenya; apakah saya berdoa dulu baru Tuhan bekerja, atau Tuhan bekerja dulu baru saya berdoa. Tapi bahkan Tuhan Yesus pun tidak seperti itu; Tuhan Yesus cukup dengan mengetahui akhir ceritanya, dan tidak harus tahu perjalanan menuju ke sana-nya. Mengapa Saudara meragukan Allah, yang mengasihimu begitu rupa sehingga Dia memberikan Anak-Nya bagimu? Dan mengapa Saudara meragukan Allah, yang begitu berkuasa sehingga Dia bisa membangkitkan Anak-Nya dari kematian? Mengapa Saudara membiarkan segala sesuatu yang terjadi di dalam hidup kita hari ini membuat kita meragukan Allah kita, ketika kita telah melihat Allah kita itu adalah Allah Sang Pemutar Balik?
Sekali lagi, dalam seluruh kitab Ester tidak ada nama Tuhan muncul sekali pun; dan meski demikian, di akhirnya, seluruh janji Tuhan tergenapi. Saudara tidak perlu melihat Tuhan, untuk Dia menepati janji-Nya. Saudara tidak harus mengetahui lika-liku perjalanannya, untuk mengetahui tujuannya berakhir di mana. Itulah iman yang didasarkan kepada Firman Tuhan, kepada diri Tuhan, kepada Firman Tuhan yang telah menjelma menjadi daging, bukan kepada situasi hidup dan dunia yang kelihatan. Dan kitab Ester ini, adalah undangan untuk Saudara dan saya ikut bertumbuh dalam iman ini, khususnya di tengah masa-masa seperti sekarang ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading