Hari ini kita melanjutkan eksposisi dari Kidung Agung, pasal 3: 6-11. Bagian yang kita baca ini adalah kesaksian dari mempelai laki-laki; dan penekanannya di sini lebih banyak dalam hal indra ‘penglihat’.
Kita sudah membicarakan bahwa Kekristenan bukanlah tanpa indra (senses), meskipun di dalam filsafat –dan juga teologi– ada anggapan persepsi indra (sensory perception) ini seperti lebih rendah daripada perenungan pikiran (contemplation of the mind); tapi anggapan seperti itu tidak alkitabiah. Hari ini kita juga ada Perjamuan Kudus; dan Perjamuan Kudus tentu saja bukan cuma contemplation of the mind, tapi juga sangat melibatkan indra. Waktu saya masih kuliah, saya pernah mengikuti suatu Perjamuan Kudus, dan di gereja tersebut ada liturgi yang menarik, yang kita tidak biasa melakukannya di sini. Perjamuan Kudus gereja tersebut dilaksanakan bukan dengan cara di-distribusikan ke jemaat di tempatnya masing-masing, tapi jemaat maju ke depan satu per satu. Ini ada keindahannya juga. Sebelum jemaat maju, pendetanya –mewakili Tuhan– mengundang dengan kalimat: “Marilah, sebab segala sesuatu sudah siap.” Kemudian ketika mau memakannya, pendeta mengatakan, “Lihatlah dan kecaplah, betapa baiknya Tuhan itu.” Kita tahu, kalimat-kalimat itu dari Alkitab; tapi kalimat-kalimat tersebut tidak dimengerti secara jasmani, dan juga bukan tanpa pengalaman jasmani/fisik. Saya pikir, itu memang kalimat-kalimat yang sangat cocok dan sangat indah untuk dikatakan dalam Perjamuan Kudus.
Dalam Kidung Agung yang kita baca ini, juga memperlihatkan keindahan, yaitu dari perspektif mempelai laki-laki. Apa, atau siapa, yang dilihat? Di sini yang dilihat adalah Salomo, atau lebih tepatnya joli Salomo.
Ayat 6: “Apakah itu yang membubung dari padang gurun seperti gumpalan-gumpalan asap tersaput dengan harum mur dan kemenyan dan bau segala macam serbuk wangi dari pedagang?” Di ayat 6 ini terjemahan bahasa Indonesia pakai istilah ‘membubung’ dan langsung dikaitkan dengan gumpalan-gumpalan asap, sedangkan di dalam bahasa Inggris, dan juga bahasa aslinya, pakai istilah ‘ascend’: dikatakan: “Who is this ascending from the wilderness …”. Istilah ‘ascend’ ini langsung terhubung dengan sesuatu; ‘ascend’ mempunyai arti naik ke atas, ziarah –ke Yerusalem, maksudnya. Istilah ‘ascension’ berarti orang berziarah, naik ke Yerusalem. Kalau Saudara membaca di dalam Mazmur, ada yang disebut ‘mazmur ziarah’ atau ‘lagu ziarah’; dan ini terjemahan bahasa Inggrisnya adalah ‘song of ascend’.
Sekali lagi, di dalam Kidung Agung ini banyak sekali istilah-istilah yang sangat berkaitan dengan ibadah; itu sebabnya kita tidak bisa memisahkan antara kehidupan cinta –katakanlah dalam bentuk puisi cinta yang terdengar sekuler seperti ini– dari kehidupan beribadah. Kehidupan cinta yang lepas sama sekali dari penyembahan kepada Allah –dari ziarah, “pergi ke Yerusalem”, atau apapun istilahnya– itu adalah sesuatu tidak bisa dimengerti dari perspektif Kidung Agung. Hal ini tentu dalam kehidupan kontemporer sekarang dianggap lucu, terutama oleh orang-orang yang sekuler. Kita melihat, bukan cuma hubungan antara kehidupan cinta romantik dengan ibadah, tapi juga aspek-aspek yang lain pun, sangat fragmented di dalam masyarakat modern/postmodern ini. Kalau kita mengerti kesulitan ini, maka salah satu tugas Gereja adalah mengusahakan integrasi antara aspek-aspek yang fragmented itu.
Ayat 7: “Lihat, itulah joli Salomo, dikelilingi oleh enam puluh pahlawan dari antara pahlawan-pahlawan Israel.” Saudara membaca di ayat 7 ini, dalam gambaran yang begitu megah, ternyata itu adalah joli Salomo, sementara Salomo sendiri tidak ada di situ. Waktu orang melihat prosesi seperti ini, yang sampai ada harum mur dan kemenyan dan bau segala macam serbuk wangi, sudah pasti ini bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan setiap orang, dan kayaknya memang cuma Salomo yang bisa mendatangkan semua ini. Tapi ternyata Salomo sendiri tidak ada di sana, yang ada adalah joli Salomo, dikelilingioleh enam puluh pahlawan dari antara pahlawan-pahlawan Israel. Apa yang mau digambarkan di sini? Mungkin motif ‘ketidakhadiran’ (absence) sang mempelai laki-laki diangkat lagi di sini; jangan lupa, Salomo di sini sebetulnya adalah penggambaran dari mempelai laki-laki ideal. Namun, meski Salomo sebagai mempelai laki-laki itu tidak ada, boleh dikatakan bahwa dia menyediakan keamanan yang tidak perlu lagi diragukan, yaitu ada enam puluh pahlawan dari antara pahlawan-pahlawan Israel. Memang mempelai laki-laki sedang tidak ada, tapi dia menyediakan keamanan ini bagi mempelai perempuan.
Bagaimana Saudara membaca bagian ini? Kita bisa ada berbagai macam perspektif, ini benar-benar Salomo secara harfiah, atau yang lain; dan tadi kita sudah mengatakan bagian ini adalah perkataan dari mempelai laki-laki. Dalam hal ini ada banyak pendapat, tetapi pandangan yang mengatakan bahwa ini secara harfiah memang Salomo, hampir tidak ada. Kalau Saudara membaca puisi cinta, dan masih mengharapkan pembacaan yang ultra-literal, maka –maafkan– kayaknya otak kanan Saudara boleh lebih diperkembangkan [kita ini ada otak kanan dan otak kiri; otak kiri berurusan dengan logika, argumentasi, dsb., sedangkan otak kanan berurusan dengan imajinasi, seni, dan termasuk puisi salah satunya]. Yang menarik dalam bagian ini, dikatakan bahwa ini perkataan mempelai laki-laki, lalu Salomo sendiri ternyata tidak ada, dan kalau demikian jadinya seperti kontradiksi; katanya perkataan mempelai laki-laki, tapi Salomo sendiri tidak ada, jadinya sebetulnya siapa yang ngomong?? Memang benar Salomo tidak ada; dan mempelai laki-laki tersebut –siapapun dia, tidak harus tokoh tertentu, bisa siapa saja, bisa juga Saudara—bisa membayangkan sosok Salomo sebagai mempelai laki-laki ideal.
Mempelai laki-laki ideal itu seperti apa, sih? Memang tidak harus selalu ada; kalau bisa ada, itu bagus, tapi terus terang saja, kadang-kadang tidak ada. Meski demikian, meski absence, jangan lupa menyediakan keamanan bagi mempelai wanita, seperti yang dilakukan Salomo di sini. Absence bukan berarti jadi tidak memikirkan sama sekali, cuek, dsb. Perhatikan juga Yesus Kristus sebagai Mempelai Laki-laki Ideal, yang jauh sekali di atas Salomo –dalam hal ini Salomo sendiri adalah type of Christ; Dia naik ke surga, yang artinya Dia juga absence, tapi Dia bukan tidak memikirkan Gereja-Nya –sang mempelai wanita, Dia bukan tidak memberi makan jemaat-Nya –yaitu Perjamuan Kudus. Jadi, kita membaca dalam bagian ini Salomo tidak ada tapi dia menyediakan keamanan bagi mempelai wanita; inilah yang dibayangkan oleh mempelai laki-laki dari perspektif yang lain. Sekali lagi, imajinasi tidak harus dimengerti secara negatif, seperti sakit jiwa, depresi, dsb., karena imajinasi ada tempatnya, dan bisa jadi sesuatu yang positif, yang bisa dipakai Tuhan, seperti dalam bagian ini.
Yang menarik juga, ayat 8 bahkan meneruskan deskripsi ayat 7, melanjutkan pembahasan tentang betapa amannya perempuan ini, tapi perempuan itu sendiri tidak dibahas keadaannya, yang lebih banyak digambarkan adalah bagaimana Salomo sebagai mempelai laki-laki mempersiapkan itu. Dikatakan di ayat 8: “Semua membawa pedang, terlatih dalam perang, masing-masing dengan pedang pada pinggang karena kedahsyatan malam”, tetapitidak ada gambaran tentang mempelai perempuan, atau joli Salomo, di sini. Adalah cukup, untuk melihat pemeliharaan Tuhan di dalam kehidupan kita yang selalu cukup dan bahkan berkelimpahan, tanpa perlu terlalu banyak membicarakan tentang diri kita sendiri. Orang menjadi terlalu self conscious, bahkan kuatir, karena dia tidak melihat kecukupan, atau bahkan kelimpahan, keamanan pemeliharaan yang Tuhan berikan dalam kehidupan manusia. Akhirnya kita selalu merasa kurang, tidak cukup, dan kuatir.
Di dalam Kidung Agung ada tempat untuk mengimajinasikan keindahan mempelai perempuan dari perspektif mempelai laki-laki; ada cukup banyak ayat-ayat membicarakan seperti itu. Tetapi, ada juga saatnya mempelai laki-laki ini bukan mengimajinasikan kecantikan mempelai perempuan, melainkan mengimajinasikan tanggung jawabnya sendiri, bahwa sebagai laki-laki, dia harusnya seperti ini: ‘Coba lihat Salomo, dia menyediakan keamanan sampai seperti itu kepada pasangannya, jadi harusnya saya juga seperti itu.’
Di ayat 9, Saudara membaca adanya pilihan bahan-bahan yang terbaik: ‘Raja Salomo membuat bagi dirinya suatu tandu dari kayu Libanon.’ Ini sesuatu yang sangat berharga. Bukan cuma itu, di ayat 10 dikatakan: ‘Tiang-tiangnya dibuatnya dari perak, sandarannya dari emas, tempat duduknya berwarna ungu, bagian dalamnya dihiasi dengan kayu arang.’ Waktu kita membaca tentang perak dan emas, kalau kita selidiki secara kritik motif, ini adalah bahan-bahan yang ternyata juga dipakai untuk konstruksi Bait Suci. Gambaran tersebut jadi bisa ambigu. Tafsiran pertama, seperti sudah kita pernah bahas, yaitu bahwa pernikahan tidak bisa dipisahkan dari ibadah; pernikahan tidak bisa dipisahkan dari Bait Suci, dalam arti kehidupan ibadah. Bersamaan dengan ini, kita mengatakan: sebagaimana Bait Suci itu suci (sacred), demikian juga pernikahan adalah suci; Bait Suci bukan dibuat dari bahan-bahan rongsokan tapi dari bahan-bahan berharga, demikian juga pernikahan, orang musti membangunnya dengan ada harganya, bukan dengan barang-barang murahan. Ini tafsiran positif. Lalu seperti apa tafsiran negatifnya?
Tafsiran negatifnya jadi begini: Salomo ini bagaimana, sih, bukankah emas dan perak lebih baik dikhususkan hanya untuk Bait Suci, koq dia pakai untuk menghias dirinya sendiri?? Profil teologi seperti ini, di dalam Perjanjian Lama juga muncul; dan saya ingin Saudara melihat ambiguitas ini juga, karena ambiguitas ini bisa indah, tanpa Saudara harus memilih. Tentu saja seharusnya kita menghayati secara positif seperti sudah dikatakan tadi, tapi pernikahan ternyata selalu ada potensi bahaya. Pernikahan bisa membuat orang betul-betul jadi narsis. Pernikahan bisa membuat orang memperlakukan sesuatu yang seharusnya dipersembahkan untuk Tuhan malah jadi dipersembahkan untuk istri atau suami, yang artinya ke arah pemberhalaan (idolatery).Bagian ini tadi bicara tentang Salomo, dan ini sangat nyambung, karena kita tahu Salomo memang ada gambaran seperti itu. Salomo punya reputasi kaya, dia punya reputasi berhikmat, tapi dia juga punya reputasi “don juan”. Jangan lupa, Alkitab menggambarkan Salomo seperti itu, playboy, jadi tafsiran ini sah, saya bukan menggambarkan Salomo terlalu negatif, karena memang dia ada negatifnya menurut Alkitab. Tetapi ini bukan tentang Salomo, ini tentang Saudara dan saya; kita bisa jadi seperti ini kalau penafsiran kita salah. Di dalam imajinasi dari mempelai laki-laki –yang kita tidak tahu dia siapa– bagian ini juga adalah peringatan, hati-hati lho, pakai perak dan emas, bukankah itu untuk Bait Suci, artinya Saudara bisa menghias pernikahan atau keluarga Saudara dengan bahan-bahan yang seharusnya dipersembahkan kepada Tuhan tapi kita tidak melakukannya.
Di bagian ini juga dikatakan, ‘tempat duduknya berwarna ungu, bagian dalamnya dihiasi dengan kayu arang’. Pada zaman itu, warna yang paling berharga adalah ungu; ungu adalah royal color. Saya sendiri hari ini pakai kemeja warna ungu, berhubung liturgical color dalam Minggu Adven adalah ungu, karena kita menyongsong Raja yang akan datang. Sekali lagi, di bagian ini memakai warna yang paling berharga, yaitu ungu; dan itu semua dibuat dari bahan yang tidak sembarangan, yaitu dari murex shell, yang ada di tepi pantai sebelah timur Laut Mediterania. Bahan-bahan serta warna itu juga kita dapati pada tirai-tirai Bait Suci. Dalam hal ini, tafsirannya mungkin sama, bahwa bahan-bahan yang dipakai untuk Bait Suci ini sekarang dipakai untuk Salomo. Dengan demikian, tergantung apakah Saudara mau tafsir positif, bahwa pernikahan itu suci sama seperti Bait Suci, atau Saudara mau tafsir negatif, bahwa ini menganggap pernikahan itu sesuatu yang extravaganza dan luxurious.
Pada periode Kerajaan Romawi, bahkan ada aturan yang mengatur bagaimana orang memakai warna. Orang tidak boleh sembarangan memakai warna, karena warna tertentu dikhususkan untuk kelas tertentu, kedudukan tertentu, atau lambang kerajaan. Kalau kita melihat postcard yang menggambarkan Eropa misalnya tahun 1800-an, dari pakaian yang dipakai orangnya, Saudara akan langsung tahu dia kuli, atau pekerja, atau bangsawan. Zaman kita sekarang somehow banyak positifnya karena orang yang sederhana juga bisa pakai pakaian yang rapi, meski tidak harus mahal, sebaliknya kadang-kadang orang yang kaya pun bisa lancai. Tetapi pada zaman dulu, tentu konteksnya bukan seperti itu; waktu Salomo menggunakan warna ungu untuk tempat duduknya, itu menunjukkan suatu statement. Dalam hal ini, sekali lagi, kita bisa membaca dalam double perspective tadi, pembacaan yang positif atau pembacaan ‘warning’, bahwa kita harusnya berhati-hati. Imajinasi mempelai laki-laki pun dalam hal ini sifatnya reflektif, dia tidak bilang ‘hai, Salomo! Lu ‘gak boleh lho pakai warna ungu untuk joli-joli, dsb.’; ini bukan tentang Salomo tetapi refleksi dirinya. Alangkah indahnya ketika Saudara membaca Firman Tuhan, membaca tentang siapa pun, kita bukan melihatnya bahwa ini tentang mereka –yang sudah di surga itu– tetapi tentang Saudara dan saya, bagaimana kita merefleksikan bagian Firman Tuhan tersebut pada diri kita.
Ayat 11: ‘puteri-puteri Sion, keluarlah dan tengoklah raja Salomo dengan mahkota yang dikenakan kepadanya oleh ibunya pada hari pernikahannya, pada hari kesukaan hatinya.’ Di ayat 11 ini pernikahan betul-betul disebut secara eksplisit. Dari yang kita baca selama ini, kita memang tahu bahwa hubungan mempelai laki-laki dan perempuan akan menuju ke sana, tetapi di bagian ini muncul perkataan tentang ‘hari pernikahan’. Dalam tafsiran yang saya baca (saya belum cek semuanya tapi saya berasumsi bahwa ini benar), mengatakan bahwa memang di seluruh kitab Kidung Agung, istilah ‘hari pernikahan’ munculnya di bagian ini.
Apa yang bisa kita pelajari tentang pernikahan di bagian ini? Tentu saja kita jangan lupa tentang ambiguitas yang kita sudah bicarakan tadi, bahwa ada keindahan dan juga peringatan (warning). Namun di bagian ini, kita juga melihat kaitan antara pernikahan dengan kesukaan (joy). Inilah yang memberikan sukacita sepenuhnya di dalam hati sang raja, yaitu: cinta; dan itu lebih daripada kekayaan, kuasa, kedudukan, posisi. Perhatikan, ini adalah perspektifnya mempelai laki-laki, yang membaca kehidupan Salomo; dengan demikian ada pengharapan di sini, karena sukacita bukanlah tergantung dari kekayaan. Kalau sukacita itu tergantung dari kekayaan, ya, tidak semua mempelai laki-laki kayalah, yang kaya cuma orang-orang tertentu; Salomo memang kaya, tapi masalahnya saya tidak! Jadi, bersyukur bahwa sukacita bukanlah dari kekayaan. Sukacita juga bukan datang dari posisi ‘raja’; kalau sukacita datang dari posisi ‘raja’ maka jadi presiden atau kaisar baru bisa sukacita; kalau demikian, siapa yang bisa bersukacita di dunia ini?? Cuma segelintir orang saja, dong. Bersyukur sukacita bukan datang dari posisi ‘raja’. Jadi, dari mana sukacita? Apa yang mendatangkan sukacita? Tidak ada jawaban yang lain kecuali: relasi cinta.
Menarik bahwa dalam seluruh Kidung Agung, selain pernikahan yang disebutkan secara eksplisit, ada juga disebut tentang ‘kesukaan’ (bahasa aslinya: śimhâ). Istilah ini, meskipun banyak digunakan di Alkitab, namun dalam seluruh Kidung Agung cuma disebutkan di sini. Saudara mungkin berpikir, karena ini bicara tentang pernikahan, dan pernikahan membawa sukacita, maka pasti yang dimaksud adalah seks sebagai tujuan final, karena yang membedakan ‘pernikahan’ dengan ‘bukan pernikahan’ adalah adanya seks yang sah dan indah ini. Tentu saja kita tidak bisa meniadakan aspek seksual ini –seks memang termasuk di dalam pernikahan– tapi dalam hal ini saya tertarik dengan tafsiran Richard Hess yang mengatakan bahwa seks bukan the final goal dari pernikahan.
Apa sebetulnya yang memberikan sukacita di dalam pernikahan? Yaitu komitmen final untuk mencintai (final commitment to love); dan hal ini bukan temporer melainkan seumur hidup. Mendengar ini, apakah ini kabar baik? Bahwa Saudara boleh mencintai dia seumur hidupmu dan bukan cuma untuk minggu ini saja, harusnya membawa sukacita, karena orang ini bukan pacarmu cuma satu bulan ini, tetapi engkau menikahinya seumur hidup sampai maut memisahkan. Tentu saja hubungan cinta Krsitus dan jemaatnya, juga bukan cuma untuk minggu ini lalu covenantal relationship tersebut kedaluwarsa (expired) minggu depan; bukan demikian.
Sayangnya, di dalam kehidupan modern kita mendengar kalimat berikut ini seperti lucu, tetapi lucu yang juga menyedihkan: “Pernikahan itu apa? Pernikahan adalah: orang yang di dalam mau keluar, yang di luar mau masuk”. Memang lucu kalimat ini, tapi pada saat yang sama juga menyedihkan. “Kalau tahu begini doang, mending pacaran tok” –kalimat yang sepertinya realistis, tapi tidak enak didengar; dan kita menertawakan orang yang belum menikah, “Ah, lu ‘gak tahu aja, nanti giliran lu masuk, lu baru tahu.” Saudara jangan tersinggung kalau saya tertawa, ini memang lucu. Tetapi, kalau kita balik ke dalam konsep Alkitab, seharusnya tidak demikian.
Di dalam Alkitab, bisa mencintai seumur hidup, itu alangkah sukacitanya. Itu berarti hubungannya seperti hubungan Tuhan dengan umat-Nya, hubungan kovenan (covenantal relationship) dan bukan hubungan kontrak (contractual relationship).Waktu Saudara berbisnis dengan orang lain, itu hubungan kontrak. Waktu Saudara punya properti lalu Saudara sewakan kepada orang lain, itu hubungan kontrak. Apa bedanya contractual relationship dengan covenantalrelationship? Hubungan kontrak boleh diputus kapan saja, kalau orang tidak mau menyewa properti kita lagi, ya, tidak masalah, karena memang cuma janji 3 tahun, misalnya. Di dalam hubungan dagang, kalau ‘kayaknya kita sudah tidak win-win lagi, saya mulai rugi, lu juga kayaknya juga mulai begitu, jadi sudahlah kita putus kontrak saja, ‘kan memang tidak harus dipertahankan seumur hidup’ –dan memang demikian. Tapi celaka, kalau pernikahan dimengerti sebagai kontrak; orang tidak melihat “sampai maut memisahkan” ini sebagai kabar baik, tapi lebih sebagai beban, lalu waktu bangun pagi melihat istri atau suami di samping, dalam hati bilang, “celaka, seumur hidup begini”. Sekali lagi, sukacita yang dimengerti oleh mempelai laki-laki adalah bisa mencintai sampai waktu yang panjang sekali.
Seperti dikatakan para pakar –dan saya sangat diyakinkan dengan ini– bagian ini memang adalah imajinasi dari mempelai laki-laki terhadap Salomo dan joli-jolinya. Kita akan tidak melihat gambaran yang seindah ini, kalau imajinasi ini benar-benar dari Salomo. Kalau kita membaca Kidung Agung ini sebagai tulisannya Salomo, dan Salomo sedang bicara tentang dirinya sendiri dengan menyebut dirinya sebagai orang ketiga –seperti Julius Caesar menyebut dirinya sendiri ‘beliau’– gambarannya jadi agak narcissistic, lagi pula apa perlunya?? Jadi, ini bukan gambarannya Salomo, tapi dari orang yang lain, yang melihat Salomo sebagai gambaran ideal seorang laki-laki.
Ada juga tafsiran yang lain, yang mengatakan bahwa ini memang bukan Salomo, ini adalah gambaran seorang anak gembala rendahan (lowly shepherd boy), yang sedang jatuh cinta dengan seorang perempuan, lalu ternyata perempuan itu mau direbut oleh Salomo, sehingga terjadi kompetisi, tarik-tarikan, dan akhirnya yang menang adalah si anak gembala. Menarik juga tafsiran ini, Salomo bisa kalah terhadap anak gembala sederhana itu, yang benar saja.
Saya mengikuti Richard Hess, karena menurut saya itu tafsiran yang lebih indah. Dalam tafsiran Richard Hess, mempelai laki-laki bukanlah si anak gembala tertentu itu, tapi bisa siapa saja; dan justru inilah briliannya penulis Kidung Agung, yang bisa menaruh suatu imajinasi sedemikian rupa sehingga perspektif imajinatif mempelai laki-laki ini bisa dari siapa saja, termasuk bisa Saudara dan saya. Gambarannya begini: Saudara dan saya adalah orang biasa, tapi kita membayangkan diri kita seakan-akan seperti Raja Salomo –atau mungkin dalam gambaran sekarang seorang selebriti tertentu, atau boy band Korea, dsb. –Saudara bisa isi sendiri. Jadi mempelai laki-laki ini punya imajinasi idealnya seorang laki-laki harusnya seperti sosok tertentu –di bagian ini adalah Salomo– lalu membayangkan diri seperti orang itu. Bukan cuma itu, tapi termasuk juga mengimajinasikan pacar yang akan dinikahinya itu seakan-akan seperti joli Salomo. Jadi dalam imajinasinya seperti selebriti ketemu selebriti. Gambaran seperti ini, terus terang saja memang tidak sesuai dengan realitas.
Saya ingat, suatu saat pernah ada sebuah pernikahan, dan waktu prosesi diputar lagu “my dream … comes true…”, lalu dalam hati saya bilang ‘dream-nya koq cuma kayak begini’. Dari perspektif kita, kita melihatnya ‘cuma kayak begini’, tetapi dari perspektif yang menikah, itu memang imajinasi yang sah, itu memang mimpinya. Orang bisa bilang “pacar saya itu kayak Jet Lie, lho”, tapi waktu kita lihat, kayaknya tidak juga, kayaknya perkataan dia itu hiperbola, karena apanya yang mirip?? Meski demikian, sah-sah saja dia bilang begitu. Pertanyaannya: gambaran seperti ini –laki-laki dan perempuan yang jatuh cinta lalu membayangkan Salomo dan joli-jolinya– sebenarnya sakit jiwa atau tidak? Jawabannya: tergantung dari perspektif siapa. Kalau dari perspektif yang jatuh cinta, ya, oke-oke saja, silakan saja,itu haknya. Tapi dari perspektif orang yang bukan dalam hubungan cinta tersebut, dia bisa geleng-geleng kepala, “kayaknya orang ini ‘gak Salomo banget, deh, orang ini”; lalu dari perspektif yang sedang jatuh cinta akan menanggapi, “lu sirik, ah, lu ‘gak ada pacar makanya lu iri” —jadi repot.
Sekali lagi, saya ingin kembali mengakhiri perenungan ini dalam hal hubungan Kristus dengan jemaat-Nya. Bukankah Kristus sebetulnya juga “tidak realistis” waktu menyebut Gereja itu cantik, perempuan yang tidak ada cacat cela (tentunya eschatologically)? Kita, dengan skeptis akan mengatakan, “apa iya??” Orang yang tidak mengerti hubungan cinta ini, akan sama seperti tadi, nyinyir, “Kayaknya lu sakit deh, lu berdua ‘gak jelas deh hubungannya, membayangkan Salomo-lah, joli-jolinya-lah; saya kasih tahu ya, realitas yang sesungguhnya itu begini, dia itu ada jerawat di mukanya!” –misalnya begitu. Perspektif orang luar (outsider perspective) tidak akan bisa mengatakan, “Lihatlah, cantik engkau, manisku, sungguh cantik engkau!” –tidak ada yang seperti itu. Itu bukan untuk outsider perspective. Perspektif seperti itu cuma bisa muncul dari orang yang sedang jatuh cinta.
Betul bahwa kita memang tidak sempurna, betul bahwa Gereja banyak cacatnya, itu tidak salah. Tapi lihatlah Kristus yang memuji kita, yang memastikan bahwa Gereja yang cacat ini suatu saat akan tidak ada cacatnya. Gereja yang malang, miskin, buta dan telanjang ini, “Aku akan memberikan dia makan sampai dia bisa bertumbuh”. Kristus akan menghiasinya sedemikian rupa, sampai ketika dihadirkan eschatologically nanti, Gereja akan tidak ada lagi cacat cela. Ini imajinasi yang kudus, bukan imajinasi sakit jiwa. Saudara dan saya juga diundang untuk masuk ke dalam imajinasi ini, imajinasi yang juga adalah realitas, bukan imajinasi yang dibenturkan dengan mitos, dusta, dsb.
Ketika kita mengikuti Perjamuan Kudus, itu bukan tanpa imajinasi. Perjamuan Kudus adalah cicipan pesta pernikahan eskatologis nanti. Waktu Saudara mengikuti Perjamuan Kudus lalu bilang, “Mana Kristusnya? Tidak ada di sini; Mempelai Laki-lakinya belum datang?” –dan memang belum datang; ini adven. Seumur hidup Gereja selama masih di dunia, adalah masa adven, tetapi Kristus pasti akan datang kembali. Dia sudah pernah datang di dalam peristiwa Natal, dan Dia akan datang kembali. Di dalam Perjamuan Kudus ini, sama seperti Kidung Agung 3 Salomonya tidak ada, demikian juga Kristus tidak ada di sini, Kristus di surga. Tetapi kita percaya Kristus hadir di tengah-tengah kita, bukan tanpa iman kita, bukan tanpa imajinasi kita, dan tentu saja bukan tanpa perkenanan dan anugerah Bapa. Mari kita merayakan kepastian ini, bahwa suatu saat Dia akan datang kembali, dan kita berbagian di dalam Perjamuan Kudus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading