Kita memberikan judul kotbah Mazmur 29 ini dalam bahasa Latin, “Afferte Domino gloriam”, yang kira-kira artinya “berilah kepada Tuhan kemuliaan”. Visi tentang kemuliaan Tuhan sangat jelas waktu kita membaca Mazmur 29. Di dalam kebaktian, di bagian akhir kita menaikkan doksologi, memberi segala kemuliaan kepada Tuhan; dan, bahwa seluruh hidup kita juga merupakan suatu doksologi di hadapan Tuhan, saya pikir kita semua sudah sering mendengarnya. Meskipun demikian, kita tetap bisa mempelajari Mazmur 29 ini.
Saudara perhatikan, orang yang berdoksologi, di dalam dirinya ada suatu dorongan/desakan, ada sesuatu yang luber keluar dari dirinya; dan di situ dia bukan hanya memuji atau memuliakan Tuhan secara pribadi, tetapi ke-luber-an yang tertumpah keluar ini mendorong dia untuk mengajak orang lain juga ikut memuliakan Tuhan. Kalau kita sungguh-sungguh memahami visi kemuliaan Tuhan ini, kita tidak mungkin puas hanya dengan memuji Tuhan seorang diri. Itu juga sebabnya waktu kita menyanyikan doksologi ketika kita beribadah, ada satu keindahan yang betul-betul tidak bisa kita dapatkan kalau kita memuji Tuhan secara personal/pribadi. Natur dari doksologi adalah mengajak yang lain untuk ikut memberi segala kemuliaan kepada Tuhan. Mengapa? Karena kita tahu kemuliaan Tuhan begitu besar, dan saya tidak mungkin memuji Tuhan seorang diri, saya sebagai instrumen yang mau memuji Tuhan itu sangat tidak cukup, saya mau mengajak yang lain karena saya melihat kemuliaan Tuhan itu jauh lebih besar daripada kemampuan saya memberi segala kemuliaan kepada Tuhan. Bahkan Saudara membaca di dalam Mazmur 29 ini, tidak tanggung-tanggung, yang diajak memuji Tuhan adalah penghuni surgawi. Seolah tidak cukup mengajak alam semesta di dalam dunia yang kelihatan, sampai-sampai pemazmur juga mengajak para penghuni surgawi (heavenly beings) untuk ikut memuji Tuhan.
Di sini kita bisa melihatnya dalam dobel perspektif. Di satu sisi, sebagaimana kita bahas di atas, kita luber waktu menyaksikan kemuliaan Tuhan sehingga kita mengajak yang lain, termasuk mengajak para penghuni surgawi. Di sisi lain, di dalam tafsiran juga ada perspektif sebaliknya yang juga menarik waktu dikatakan alasannya mengajak para penghuni surgawi, yang dihayati di dalam konteks liturgi, maksudnya dengan bersama-sama mengajak para penghuni surgawi, mau mengatakan bahwa pujian kita itu selaras dengan apa yang dilakukan di surga. Kita mau memuji Tuhan sebagaimana para penghuni surgawi memuji Tuhan –yang sudah pasti mereka memuji Tuhan dengan benar. Kita memuji Tuhan bukan dengan imajinasi/bayangan kita sendiri, tetapi sebagaimana para penghuni surgawi itu memuji Tuhan. Ini bisa kita kaitkan dengan Doa Bapa Kami yang juga ada konsep seperti ini; dikatakan dalam Doa Bapa Kami: “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”. Di surga, kehendak Tuhan terjadi dengan sempurna, semua malaikat taat kepada Tuhan, orang-orang pilihan yang sudah bersama dengan Tuhan juga taat kepada Tuhan (meskipun mereka masih menantikan kebangkitan tubuh), maka kita mengatakan “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”. Kita juga bisa mengaitkan ini dengan doksologi; kita memberi segala kemuliaan kepada Tuhan, seperti para penghuni surgawi juga memberi segala kemuliaan kepada Tuhan dengan benar.
Jadi, sekali lagi di sini dobel perspektif. Di satu sisi, kita mengajak para menghuni surgawi itu ikut memuji Tuhan karena kita luber/kepenuhan; di sisi lain, kita mau memuji Tuhan seperti para penghuni surgawi itu memuji Tuhan dengan sempurna.
Doksologi ini begitu penting di dalam kehidupan manusia. Di dalam teologi Reformed yang ketat, yang menyelidiki sampai ke akar hati manusia, dikatakan: apa problem terdalam dalam kehidupan manusia? yaitu ini: manusia tidak memuliakan Tuhan. Manusia tidak menyembah Tuhan, manusia tidak memberi segala kemuliaan kepada Tuhan. Ini kalimat yang tajam sekali, sangat radikal menembusi akar hati manusia. Saudara kadang mendengar orang mengatakan ‘problem manusia adalah kurang merasa dicintai, kurang diterima, kurang dimengerti’ –kalimat-kalimat semacam itu. Lalu itu dikaitkan dengan cinta Tuhan, dengan Kristus yang mati di atas kayu salib, menerima kita tanpa syarat (unconditionally), dsb. Saya percaya yang seperti ini pasti ada tempatnya, tetapi seperti pernah dikatakan seorang pengkotbah revival, hati-hati mengganti visi kemuliaan Allah dengan kebahagiaan manusia (human happiness). Maksudnya pasti bukan dalam pengertian bahwa Tuhan mau meniadakan kita punya kebahagiaan, melainkan bahwa kalau kita menjadikan human happiness sebagai tujuan tertinggi, berarti kita menjadikan diri kita sendiri –manusia– sebagai pusat. Akhirnya ini menghasilkan kehidupan orang-orang Kristen yang cengeng, yang terus mau dikasihi, terus mau dimengerti, terus mau dicintai, tapi tidak sadar bahwa mereka tidak memberi kemuliaan kepada Tuhan.
Di sini saya bukan mau mengajarkan the law without the gospel; ini bukan mengajarkan ekspektasi-ekspektasi yang membuat kita sombong karena merasa sanggup memuliakan Tuhan –pasti bukan itu—tetapi bahwa orang bisa memuliakan Tuhan, itu sendiri adalah anugerah. Kalau Saudara dan saya diberikan mata untuk melihat kemuliaan Tuhan, sungguh-sungguh hidup kita itu dibebaskan. Undangan untuk memuliakan Tuhan, juga adalah berita Injil; ini bukan suatu hukum yang membebani kita, melainkan suatu happy invitation, happy program. Celaka kalau dalam kehidupan kita, kita tidak melihat kemuliaan Tuhan, lalu akhirnya kemuliaan-kemuliaan yang palsu yang sebetulnya tidak mulia itu menggantikan kemuliaan Tuhan. Dan akhirnya, hati kita tertarik pada hal-hal tersebut, dan bukan kepada Tuhan serta kemuliaan-Nya. Di sinilah terjadi kerusakan, demi kerusakan, demi kerusakan, akhirnya itu menghancurkan kehidupan manusia. Tetapi Tuhan adalah Tuhan yang mau menyelamatkan kita. Dia menyelamatkan dengan membebaskan kita, memberikan kepada kita suatu cerita, yaitu cerita doksologi ini.
Mengutip Katekismus Singkat Westminster (Westminster Shorter Catechism), dalam pertanyaan pertama yang terkenal itu Saudara melihat bahwa memuliakan Tuhan tidak mungkin terpisah dari kenikmatan. Mengapa kehidupan ini banyak kekecewaan, banyak kesedihan? Karena kita tidak sungguh-sungguh memuliakan Tuhan, karena kita tidak peduli kemuliaan Tuhan. Akhirnya berhala-berhala itu menggantikan kemuliaan Tuhan di dalam kehidupan kita, kehidupan kita tidak berbuah, kita tidak bisa menjadi saksi Tuhan yang efektif, bahkan orang tidak bisa membedakan kita dari orang yang tidak mengenal Tuhan karena sepertinya kita sama saja. Orang yang berjumpa dengan Tuhan dan kemuliaan-Nya, pasti ditransformasi kehidupannya. Kalau melihat dalam kehidupan ini kita tidak ada perubahan, berarti tidak ada perjumpaan dengan Tuhan dan kemuliaan-Nya –as simple as that. Dan sepertinya kita juga tidak mengejar Tuhan, tidak mengejar kemuliaan Tuhan.
Musa adalah seorang yang sangat diberkati Tuhan; kita bisa membicarakan banyak hal tentang Musa, tapi satu saja dalam kaitan dengan pasal ini: Musa itu punya ambisi yang kudus, dia mau melihat kemuliaan Tuhan. Dia sama sekali tidak berbangga, atau menikmati, apalagi menjadi sombong dengan posisinya sebagai pemimpin dua juta orang Israel itu. Dia juga tidak melihat ke belakang lalu mengenang ‘O, itu tongkat yang saya pukulkan, sehingga akhirnya ada sesuatu yang dahyat bisa terjadi, penyeberangan Laut merah itu!’ –kita tidak pernah membaca yang seperti itu di Alkitab. Yang kita baca, Musa adalah seseorang yang menginginkan melihat kemuliaan Tuhan, padahal sebetulnya dia sudah melihat. Tiang awan dan tiang api bukankah itu kemuliaan Tuhan. Waktu Tuhan membelah laut sehingga orang Israel bisa menyberang, bukankah itu juga menyatakan kemuliaan Tuhan. Tapi perhatikan, Musa tidak berhenti di situ; Musa tidak menjadi puas dengan mengatakan “O, ya, ini pengalaman juga sudah sangat spektakuler, lebih dari pengalaman orang-orang lain”. Musa tidak mengatakan itu.
Saudara dan saya, kita mengejar kemuliaan Tuhan-kah? Apa hasrat yang terdalam di dalam kehidupan Saudara dan saya? Apa yang membuat waktu malam kita tidak bisa tidur, yang membuat kita bercucuran air mata? Apa yang membuat kita tidak tenang? Apa sebetulnya yang lebih kita kejar dalam hal ini? Itulah sebabnya kita bisa belajar banyak dari Mazmur 29 ini.
Saudara perhatikan, dalam kalimat-kalimat Mazmur ini sebetulnya ada suatu pengakuan juga. Misalnya kalau kita melakukan perbandingan dengan agama-agama di sekitar, dewa Kanaan yang namanya Baal itu dikatakan suaranya terdengar di dalam guntur. Saudara mungkin juga pernah melihat patung Baal yang memegang kilat, maksudnya ‘inilah Baal, dewa yang mengguntur’. Dalam hal ini, mungkin orang liberal mengatakan, ‘Ah, ternyata imannya orang Israel cuma tiru-tiru di sana-sini’. Orang-orang yang mengobservasi seperti itu, sebetulnya mereka gagal melihat bahwa justru ini merupakan suatu polemik terhadap Baal; waktu ayat 3 mengatakan, “Suara TUHAN di atas air, Allah yang mulia mengguntur, TUHAN di atas air yang besar”, maksudnya mau mengatakan ‘bukan Baal tapi Tuhan!’
Di dalam doksologi ada keserasian, bahkan ada polemik dan kritik terhadap ideologi yang salah. Contoh yang lain, waktu Miriam memuji Tuhan, di situ dia mengatakan bahwa Tuhan yang membebaskan, karena kuasa Tuhan dan bukan kereta kuda, kereta-kereta kuda dari Firaun ditenggelamkan-Nya di laut. Saudara perhatikan, bukankah ini juga doksologi, nyanyian pujian? Di dalam nyanyian pujian itu ada polemik, ada kritrik terhadap kuasa militer manusia.
Bukan hanya itu –masih berkaitan dengan kepercayaan Baal—dikatakan bahwa Baal, dewa Kanaan ini, bergumul melawan air/laut untuk bisa mendapatkan kekuasaan kerajaannya (kingship). Sedangkan kalau Saudara membaca Mazmur 29, di situ dengan gampangnya dikatakan “suara TUHAN di atas air, TUHAN di atas air yang besar”; tidak ada kompetisi antara Tuhan melawan air hingga Tuhan boleh menjadi allah. Tidak ada cerita itu di sini.
Di dalam dunia ini ideologi berperang melawan ideologi, saling berkompetisi. Seperti Baal musti berkompetisi melawan air, dia musti mengalahkan air, karena jika tidak, dia tidak bisa mendapatkan kingship, demikian juga di dalam dunia ini kita menyaksikan negara-negara besar saling bergumul untuk bisa menjadi pemimpin dunia ini. Mirip sekali dengan cerita peperangan Baal melawan sang laut. Tapi Mazmur 29 mengatakan dengan sederhana “suara TUHAN di atas air”, bahkan “TUHAN di atas air yang besar”. Ini berarti bicara tentang supremasi Yahweh, Tuhan itu di atas segalanya; bahkan kalau Saudara hitung di mazmur ini, Allah Israel, “TUHAN”, disebutkan 18 kali. Apakah visi yang seperti ini juga kita lihat? Atau kita lebih mellihat visi tentang kebesaran negara-negara yang sedang bersaing di dunia ini, sampai-sampai menutupi kemuliaan Tuhan?
Sebagai orang percaya, kita tidak tertarik untuk menyaksikan peperangan dewa Baal melawan laut ataupun sungai; demikian pula, dunia ini akan terus bersaing, dan itu seharusnya tidak menjadi visi yang menarik bagi kita. Yang menarik Saudara dan saya seharusnya adalah kemuliaan Tuhan yang mengatasi semuanya. Itulah yang dilihat oleh Israel, yang dilihat oleh pemazmur. Selama di dalam dunia ini, ideologi-ideologi, kuasa-kuasa, akan bersaing terus-menerus melawan satu dengan yang lain, tidak ada yang baru sama sekali, sejak dahulu juga seperti itu. Tapi sekali lagi, ini bukan visi kehidupan kita. Itu bukanlah penglihatan yang seharusnya terlalu menarik kita, bukan karena kita naif, bodoh, atau tidak tahu apa-apa, tapi karena ada visi yang lebih menarik, visi yang dilihat oleh Musa, visi yang dilihat oleh pemazmur, yaitu kemuliaan Tuhan.
Menarik juga kalau kita mengaitkan Mazmur 29 ini dengan Perjanjian Baru. Ada kemiripan di sini, yaitu mengaitkan antara apa yang dilihat oleh mata jasmani dengan yang dilihat oleh mata rohani, yaitu kemuliaan Allah. Maksudnya, yang dilihat dengan mata jasmani adalah dunia ciptaan, tapi sebetulnya dengan mata rohani yang dilihat adalah kemuliaan Allah. Di dalam Injil Yohanes, waktu bicara tentang tanda/mujizat (sign), itu menunjuk kepada kemuliaan Tuhan. Melalui tanda yang dilakukan oleh Yesus, sebetulnya yang mau ditunjuk adalah kemuliaan Allah, di dalam Pribadi Yesus. Mungkin bukan kebetulan juga dalam pembacaan mazmur, Mazmur 29 ini ditempatkan di Kalender Gereja pada Minggu pertama setelah Epifani; sementara Minggu pertama Epifani fokusnya pada perikop yang menceritakan tentang baptisan Yesus. Menarik kalau Saudara membandingkan keduanya. Dalam Mazmur 29, Tuhan dinyatakan dengan suara mengguntur, bahkan di atas air yang besar, dsb.; ada powerful Theophany di dalam Mazmur 29. Lalu kita melihat quiet epiphany di dalam Kristus yang dibaptis, seperti ada ketersembunyian, hiddenness –theology of the cross—dandalam cerita baptisan Yesus itukita membaca juga ada suara dari surga “inilah Anak-Ku yang Kukasihi”. Jadi apa kaitannya dengan Mazmur 29? Dengan hati-hati kita bisa mengatakan, sementara dalam penggenapan Perjanjian Baru dikatakan ada suara dari surga, yang boleh dikata juga menggelegar (meski tidak dikatakan secara eksplisit tapi secara implisit ada motif thunderstorm atau suara yang menggelegar dari surga), dan dikatakan di situ “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi”; sementara di dalam Mazmur 29 kita melihat antisipasinya, juga dengan suara guntur, seolah Tuhan mau mengatakan “inilah ciptaan-Ku”. Sekali lagi, inilah ciptaan-Ku, lihatlah kemuliaan Tuhan di dalam ciptaan itu.
Saya musti hati-hati di sini, saya tidak mau mengatakan bahwa ciptaan adalah tipologi Kristus –saya tidak berani bilang kalimat seperti itu– tapi kita mau menyatakan keterkaitan antara Mazmur 29 dengan peristiwa baptisan itu. Memang waktu membicarakan relasi antara ciptaan (nature) dengan kemuliaan Tuhan, itu suatu pembicaraan yang tidak gampang. Di satu sisi, kita melihat adanya bahaya orang yang tidak bisa membedakan (confused) antara ciptaan (nature) dengan penciptanya (it’s creator). Misalnya, kita melihat ada orang menyembah gunung yang besar, ada orang menyembah pohon besar, ada panteisme yang melihat alam (nature) itu adalah allah. Ini adalah model kesalahan yang tidak bisa membedakan antara alam (nature) dengan penciptanya. Tetapi ada bahaya yang lain lagi, yaitu bahaya paham naturalisme. Maksudnya, orang yang mengatakan bahwa guntur itu ya, guntur, fenomena alam, bisa dijelaskan secara ilmiah, tidak usah dikait-kaitkan dengan Tuhan, dengan kemuliaan Tuhan, dsb., itu murni alam (nature) saja.
Seorang penafsir, Mays, mengatakan kalimat yang menyatakan kesalahan orang mengerti relasi ini: “Our tendency is to see the world as a complex to be explained and exploited, to take the unnecessary step beyond science of reducing the world to the dimensions of our reason and needs”. Jadi maksudnya, terhadap alam kita memberikan penjelasan rasional, lalu mempergunakan alam untuk kepentingan kita sebagai manusia. Tentu saja ini tidak sepenuhnya salah, tapi bisa menjadi salah kalau kita kemudian kehilangan aspek transenden tadi. Inilah sesungguhnya yang dikatakan paham naturalisme; yang ada cuma alam (nature) dan manusia/saya. Alam itu ada untuk saya, saya akan menafsir, saya akan memberikan penjelasan rasional, dan saya akan mempergunakan bahkan mengekspolitasinya. Tidak ada aspek sakral di dalam hal ini, tidak ada aspek transenden sama sekali. Dan Saudara tahu akibat dari pemikiran seperti ini, penghancuran alam.
Perhatikan kalimat ini: waktu tidak ada doksologi, maka kita akan cenderung pada salah satunya, antara menyembah alam atau menghancurkan alam. Doksologi itu ada implikasi ekologis, karena tanpa visi transenden, tanpa visi kemuliaan Tuhan, yang bisa terjadi adalah eksploitasi alam. Tentang ini, bahkan Calvin 500 tahun lalu pernah mengatakan bahwa ini adalah diabolical science [diabolical= devilish; diabolical science maksudnya sains yang menghalangi orang untuk datang kepada Tuhan]. Saudara bisa bayangkan, sains 500 tahun yang lalu itu masih seperti apa, tentu sangat belum maju dibandingkan zaman kita sekarang; sains waktu itu, yang dari perspektif kita sekarang masih sangat sederhana, atau boleh dibilang masih primitif, itu saja sudah bisa diabolical, apalagi sekarang?? Saudara jangan salah mengerti, ini bukan mau mengatakan bahwa sains itu diabolical an sich, bukan itu maksudnya. Tapi mengapa disebut diabolical atau menjadi diabolical? Yaitu ketika sains menghentikan orang dari menghampiri Tuhan, ketika sains membuat manusia jadi tidak perlu Tuhan lagi.
Saya pernah membaca tulisan seorang filsuf mengenai filosofi sains; dia mengatakan kalimat seperti ini: Tuhan itu selalu diperlukan/dibutuhkan, karena bagaimanapun kita belum bisa mengerti alam ini secara sepenuhnya. Saudara perhatikan kalimat ini; waktu pertama mendengarnya, apalagi yang mengatakan seorang filsuf terkenal, mungkin kita merasa senang, O, ternyata dia bukan ateis, karena dia bilang “Tuhan diperlukan”. Salah. Kalimat itu sebetulnya bermasalah, karena kalimat itu mau mengatakan bahwa Tuhan itu diperlukan sejauh –dan hanya sejauh—kalau kita belum bisa menjelaskan fenomena alam. Jadi maksudnya, zaman dulu itu kayaknya pemazmur belum mengerti apa itu guntur, dia lalu kait-kaitkan dengan Tuhan; tapi sekarang kita tahu itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan Tuhan, sains sudah bisa menjelaskan hal itu, jadi untuk apa bawa-bawa ‘suara Tuhan, suara Tuhan’, itu primitif! Saudara tentu mengerti maksudnya. Jadi, kalau sains makin lama makin berkembang, makin bisa menjelaskan fenomena-fenomena alam, maka Tuhan ya, musti maklum kalau tempatnya makin lama makin sempit, makin terpojok dan terpojok sampai suatu saat, ya, okelah, masih ada yang belum bisa dijelaskan jadi masih ada posisi untuk Tuhan, tapi tetap hanya dalam posisi yang belum bisa dijelaskan itu tadi. Dalam hal ini kita bukan cuma kotbah kepada para ilmuwan saja, tapi termasuk juga kepada para pengguna teknologi secara luas; intinya, kalau kita sudah bisa mendapat pertolongan dari sains atau teknologi, mesin-mesin modern, dsb., maka sepertinya Tuhan makin lama makin terpojok dan tidak diperlukan. Inilah yang Calvin katakan “diabolical science”.
Namun visi kita tentu saja bukan itu. Visi kita waktu melihat alam yang begitu dahsyat ini, yang memang menakjubkan, yang sampai sekarang kita belum dapat menyelami sepenuhnya, seperti juga Covid-19 sampai sekarang belum ada vaksinnya –atau kalau pun sudah ada vaksinnya dan Covid ini berlalu—tetap ada bagian alam yang kita tidak bisa kuasai sepenuhnya. Lalu pertanyaannya, apakah hanya di dalam wilayah itu baru bisa ada ibadah kepada Tuhan? Jawabannya tentu saja tidak. Jawabannya, meskipun di dalam dunia ini fenomena alam dapat dijelaskan dengan baik –dijelaskan oleh sains misalnya– itu seharusnya semakin menambah kekaguman kita kepada Tuhan, sang Pencipta. Meminjam bahasa Yohanes, ciptaan ini pun bisa menjadi semacam tanda; tanda yang menunjuk kepada Tuhan dan kemuliaan-Nya. Ada kemuliaan Tuhan di dalam tanda yang namanya ciptaan ini. Orang yang percaya, seperti Saudara dan saya, kita tidak berhenti pada tanda, kita tidak menyembah tanda. Namun kita juga tidak kemudian sudah merasa cukup dengan tanda ini karena tanda ini sudah sangat dahsyat, tetapi bagaimana kita semakin mengenal Penciptanya.
Mazmur 29 ini mengundang kita untuk merayakan ciptaan, the good creation. Ini adalah ciptaan Tuhan, di mana dinyatakan kemuliaan-Nya. Kita tidak perlu takut, tentu saja ada undangan untuk mengeksplorasi ciptaan ini, sejauh kita ada doksologi, sejauh kita dikuasai oleh visi kemuliaan Tuhan. Di bagian lain kita membaca, bukan saja pemazmur menyaksikan kemuliaan Tuhan di dalam ciptaan, tapi ada juga tulisan-tulisan di mana pemazmur mengajak ciptaan yang lebih rendah untuk ikut memuji Tuhan. Jadi Saudara lihat, doksologi pun di sini adalah doksologi kosmik (cosmic doxology); ini bukan bicara doksologi individual (personal doxology), tapi doksologi kosmik. Dan ini dinyatakan secara sempurna di dalam Pribadi Yesus Kristus.
Mari sekali lagi kita merayakan kebaikan dari ciptaan Tuhan. Kita tidak perlu jatuh ke dalam penyembahan berhala dengan menyembah ciptaan, kita juga tidak perlu mengeksploitasi apalagi menghancurkan ciptaan ini, karena ada Tuhan yang bertakhta di atasnya. Kiranya visi kemuliaan Tuhan ini juga memenuhi Saudara dan saya.
Ringkasan khotbah ini belumdiperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading