Mazmur 35 ini adalah nyanyian ratapan. Nyanyian ratapan termasuk satu bagian yang cukup besar dalam kitab Mazmur; dan ini menyatakan bahwa Firman Tuhan memberikan tempat untuk kita berespons di hadapan Tuhan dengan benar waktu kita menderita.
Kita bisa membagi Mazmur dalam 2 bagian: nyanyian ratapan, dan nyayian pujian atau ucapan syukur. Dan, karena ratapan termasuk bagian yang besar dari Mazmur, ini berarti Tuhan juga mau mendewasakan kita melalui kita meratap di hadapan-Nya. Ada orang yang di dalam penderitaan, dia tetap tidak bertumbuh. Meski dia mengalami penderitaan, kehidupannya tidak bertumbuh, karena dia tidak berespons di hadapan Tuhan, dia tidak bergumul di hadapan Tuhan,dia tidak mencari relasi dengan Tuhan, sehingga sia-sia saja penderitaan itu terjadi dalam kehidupannya, tidak menjadikan apa-apa. Yang pasti, orang tidak perlu bangga karena dia menderita; tidak ada yang perlu dibanggakan dengan penderitaan. Sama juga dengan keberhasilan tidak perlu membuat kita bangga karena itu adalah berkat Tuhan, terlebih lagi, tidak ada yang perlu dibanggakan karena kita menderita. Tidak ada apapun yang mulia dengan penderitaan. Penderitaan akan menjadi satu sarana yang baik, kalau kita berespons dengan benar di hadapan Tuhan. Inilah yang dilakukan pemazmur di bagian ini.
Di sini dituliskan “le David” (‘dari Daud’). Kita sudah pernah menjelaskan hal ini, bahwa “le David” tidak harus ditafsir secara hurufiah dalam pengertian yang menulis adalah Daud. Artikel ‘le’ di dalam bahasa asli ini tidak harus diterjemahkan sebagai ‘oleh’ atau ‘dari’, dalam arti yang menuliskan adalah Daud, tapi sebagaimana kita pernah bahas dalam Mazmur 34, ini bisa diartikan ‘in reference to David’, atau ‘in remembrance to David’, atau juga ‘ditulis dalam gaya Daud’.
Ada penafsir yang mencoba mengaitkan Mazmur 35 ini dengan pengalaman Daud, dalam hubungannya dengan Saul yang menganiaya Daud. Ini ditafsir dari ayat 12, ‘Mereka membalas kebaikanku dengan kejahatan; perasaan bulus mencekam aku’, bahwa ini maksudnya adalah Saul yang mengejar-ngejar Daud; lalu selanjutnya, ‘Tetapi aku, ketika mereka sakit, aku memakai pakaian kabung; aku menyiksa diriku dengan berpuasa, dan doaku kembali timbul dalam dadaku’, maksudnya Daud berpuasa demi Saul tapi Saul tidak tahu membalas budi –ada tafsiran ke sana. Namun penafsir yang lain, misalnya Manfred Oeming, tidak merekomendasikan cara pembacaan yang seperti ini. Dia juga tidak merasa tepat mengaitkan Mazmur 35 ini misalnya dengan cerita waktu Daud dikejar-kejar Absalom.
Kadang-kadang, mencari konteks yang partikular, yang sangat konkret, memang bisa menolong kita untuk mengerti suatu bagian Firman Tuhan dengan lebih baik; tapi kita percaya, ada saatnya konteksnya justru umum (general), tidak partikular, dan dengan demikian bagian tersebut bisa berbicara dalam banyak konteks. Misalnya menurut pendapat Oeming, perkataan-perkataan dalam bagian ini sangat tipikal mazmur lamentasi, merupakan perkataan orang yang sedang dimusuhi. Bahkan dia mengatakan, bagian ini bukan cuma membicarakan salah satu situasi (any kind of situation), melainkan membicarakan satu situasi tertentu (the situation), yaitu situasi dimusuhi.
Saya tidak tahu apakah waktu membaca bagian ini Saudara merasa terganggu atau tidak, seakan-akan Firman Tuhan koq seperti ini, menyuruh Tuhan berbantah melawan orang yang berbantah dengan dia, berperang melawan orang yang berperang dengan dia, jadi seperti kekanak-kanakan sekali. Namun inilah justru bagian yang di sini kita perlu konteks, untuk bisa mengerti permintaan yang seperti orang mau balas dendam ini. Di dalam konteks ‘wisdom theology’ (teologi bijaksana), waktu seseorang menerima cinta kasih/persahabatan, adalah wajar kalau dia membalasnya juga dengan cinta kasih. Saudara yang dalam kultur budaya Tionghoa juga sangat kental dengan hal ini, bahwa kita musti ingat budinya orang lain dan jangan sampai melupakan. Orang yang membalas kebaikan dengan kejahatan, itu sangat tidak bisa dimengerti, orang itu betul-betul jahat, tidak tahu diri. Di sini Saudara tidak perlu menafsir ‘O, jadi ini tidak tulus, mengharapkan balasan jadinya?’ –tidak perlu ditafsir ke sana– karena bagaimanapun ini memang bicara tentang persahabatan, dan di dalam persahabatan ada ekspektasi seperti itu.
Ini juga jangan diartikan bahwa penulis mazmur ini sepertinya tidak bisa mencintai musuh. Sekali lagi, dalam wisdom theology, ekspektasinya adalah waktu seseorang menerima kebaikan, sangat wajar kalau dia membalas dengan kebaikan kembali. Tetapi hal ini tidak terjadi; di sini kebaikan dibalas dengan kejahatan. Dari mana kita tahu? Dari ayat 12: ‘Mereka membalas kebaikanku dengan kejahatan’. Konkretnya, ketika si sahabat sakit, penulis mazmur ini memakai pakaian kabung, berpuasa, mendoakan, dsb. (ayat 13). Tetapi balasannya, ketika penulis Mazmur 35 ini tersandung jatuh, si sahabat malah bersukacita. Saudara, yang paling menyulitkan memang adalah waktu orang-orang yang dekat memusuhi kita. Kita sulit menerimanya karena kita merasa ada pengkhianatan dalam persahabatan ini. Itu sebabnya dalam kesulitan tersebut pemazmur seperti mendoakan semacam pembalasan dendam.
Memang, sebagaimana ditulis dalam tafsiran, mazmur seperti ini nampaknya dekat sekali dengan yang disebut Imprecatory Psalms, mazmur-mazmur yang mengatakan kalimat-kalimat negatif tentang orang yang memusuhi, seperti mengharapkan Tuhan membalas kejahatan orang itu. Bagaimana kita bisa mengerti hal ini dari perspektif spiritualitas Kristen? Saudara perhatikan, kita perlu memahaminya dengan benar, karena jika tidak, jangan-jangan doa kita jadi merupakan ekspresi dari kemarahan belaka; karena kita benci seseorang lalu kita minta Tuhan juga ikut membenci bersama dengan kita –celaka sekali kalau penafsirannya ke sana.
Tadi kita mengatakan, bagian ini konteksnya teologi bijaksana (wisdom theology), ada deeds-consequence connection, bahwa apa yang ditabur seseorang akan dituainya. Di dalam konteks wisdom theology, pemazmur melakukan kebaikan, maka seharusnya yang kembali juga kebaikan, karena apa yang ditabur, itu juga yang akan dituai. Tetapi, saudaranya –atau temannya, atau sahabatnya—ini agaknya tidak hidup berdasarkan teologi bijaksana tersebut; mereka menerima kebaikan tapi bukan membalas dengan kebaikan melainkan dengan kejahatan. Dalam hal ini, orang tersebut sedang melukai deeds-consequence tadi; hukum tabur-tuai dirusak oleh orang yang melakukan kejahatan seperti ini. Itu sebabnya pemazmur mendoakan seperti tadi; ‘ya, sudah, kalau kamu melakukan seperti itu, menabur seperti itu, nanti juga akan kembali kepadamu tuaiannya seperti itu; karena kamu menabur kejahatan, kejahatan akan kembali kepadamu’. Kita musti membaca konteks doa pemazmur dalam pengertian hukun tabur-tuai tersebut, bahwa apa yang ditabur seseorang, itu akan dituainya. Dia bukan sedang mau membalaskan dendamnya, melainkan bicara dalam konteks wisdom theology.
Ada beberapa hal yang bisa kita pahami dalam hal ini, supaya kita bisa mengerti doa ini dengan benar. Di sini pemazmur, di dalam pemahaman teologinya yang tentu saja terbatas belum sampai pada eskatologi sebagaimana ada dalam Perjanjian Baru, dia tidak berpikir jauh bahwa hal tadi akan dibalaskan dalam kehidupan yang akan datang, di neraka misalnya. Bukan itu yang dipahami pemazmur di sini. Bagi kita, kita lebih mudah mengatakan bahwa orang yang berbuat jahat, kalau dia tidak menuai dalam kehidupannya yang di sini, dia akan menuainya kelak dalam kehidupan yang akan datang, dia akan binasa selama-lamanya –kita bisa mengerti seperti itu. Tapi di dalam pemahaman pemazmur yang belum menerima progressive revelation sampai kitab Wahyu, dan baru mengerti sampai Perjanjian Lama saja, dia mengertinya pembalasan dan keadilan Tuhan ditegakkan di dalam dunia yang di sini, bukan di dunia yang akan datang.
Yang kedua, pemahaman pemazmur sedikit berbeda dengan yang kita biasa pahami dalam dunia modern. Kita sering mendengar kalimat “kita membenci dosanya, tapi tidak membenci orangnya”, bahkan kita juga mengatakan “Tuhan membenci dosanya, tapi tidak membenci orangnya”, tetapi kalau kita membaca dalam Perjanjian Lama, kalimat tersebut tidak tentu benar sepenuhnya. Kalimat itu tentu saja ada tempatnya, dalam pengertian kita membenci dosanya namun tetap mengasihi orangnya, dalam pengertian kita mengharapkan dia bertobat. Dalam konteks ini, kalimat tersebut betul pemahamannya. Tetapi, memisahkan dosa seseorang dari orangnya, saya kuatir itu tidak ada dasar Alkitabnya. Saudara perhatikan di dalam Perjanjian Lama, Tuhan itu murka dan benci bukan hanya terhadap dosa, tapi juga kepada orang yang berdosa itu. Kalau Tuhan selalu memisahkan ‘itu dosanya, bukan orangnya; itu kejahatannya, bukan orangnya’, maka tidak pernah ada penghukuman yang dicatat di Alkitab, karena Tuhan selalu memisahkan dosanya dari orangnya, sehingga orangnya tidak perlu dihukum, karena kejahatannya bukanlah orangnya. Tentu bukan begitu pemahamannya.
Waktu Tuhan mengatakan di dalam satu ayat Alkitab, “Aku muak dengan ibadahmu”, apakah kita bisa mengatakan, “O, itu Tuhan muak pada dosaku, bukan kepada saya; saya sih tetap dicintai, Dia cuma muak dengan dosaku saja, dengan kemunafikanku, tapi dengan aku sendiri Tuhan tidak pernah muak” –bukankah kacau pemahaman seperti ini. Jadi, hati-hati dengan kalimat ‘Tuhan membenci dosa tapi tidak membenci orangnya; Tuhan murka dengan dosa’, karena maksudnya ‘Tuhan murka dengan dosa’ itu bagaimana? Tuhan selalu murka dengan orang, tidak pernah murka dengan dosa; dosa itu bukan pribadi, mana bisa Tuhan murka dengan sesuatu yang bukan pribadi, bukankah itu aneh? Sudah pasti Tuhan murka dengan orangnya. Poinnya adalah: pemazmur tidak melihat pemisahan/keterpisahan antara pembuat kejahatan dengan kejahatannya; ini adalah satu. Itu sebabnya dia bisa berdoa “cabutlah tombak dan kapak menghadapi orang-orang yang mengejar aku” (ayat 3). Dia tidak bicara ‘cabutlah tombak dan kapak menghadapi dosa-dosa orang-orang yang mengejar aku, tapi jangan dilempar kepada dia lho, Tuhan, karena pelaku kejahatan bukanlah kejahatannya; kejahatannya adalah kejahatannya, pelakunya bukan kejahatannya’ –pemazmur tidak berdoa rumit seperti itu.
Saudara lihat di sini, tidak ada pemisahan antara kejahatan dan orang yang melakukan kejahatan; ini bukan dua hal yang terpisah. Perbuatan seseorang sangat tidak bisa dipisahkan, dan sangat berkaitan, dengan jati dirinya, dengan karakternya. Kadang-kadang dalam bahasa Indonesia, ketika seseorang melakukan kesalahan, dia mengatakan, “Maaf, saya khilaf; saya marah lalu saya pukul orang itu karena sangat emosi. Maaf saya khilaf”. Saudara, ‘khilaf’ itu maksudnya apa? Apa Saudara pernah memikirkan, waktu seseorang bilang ‘saya khilaf’, itu maksudnya apa? Maksudnya: ‘itu bukan saya; yang tadi memukul itu sesuatu yang alien, sesuatu yang dari luar saya; entah saya tadi keracunan apa, tapi itu bukan pribadi saya’. Pertanyaannya, kalau itu bukan pribadinya dia, lalu siapa yang memukul tadi? ‘O, itu roh pemukul, bukan saya tapi roh pemukul yang melakukan’ –mana bisa mengerti seperti ini. Misalnya Saudara pinjam uang, utang, lalu tidak bayar, lalu Saudara bilang, ‘itu bukan saya yang ‘gak bayar, tapi roh-tidak-bayar-utang yang ‘gak bayar’; maksudnya bagaimana?? Jadi absurd; karena dia mau memisahkan antara kejahatan yang dialakukan dengan dirinya sendiri. Ini tidak berlaku di dalam pemahaman Mazmur 35. Itu sebabnya dalam hal ini pemazmur berdoa sebagaimana tertulis di ayat 3, 4, 5, dan seterusnya –karena dia tidak memisahkan kejahatan seseorang dengan pelakunya; kejahatan dilakukan orang karena jati dirinya memang jahat.
Waktu di ayat 5 ada kalimat ‘Biarlah mereka seperti sekam dibawa angin’, Saudara ingat Mazmur 1 ayat 4: ‘Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin. Kita sudah pernah membahas bahwa Mazmur 1 ini penting sekali, membawa kita kepada pemahaman seluruh kitab Mazmur. Mazmur 1 langsung membagi orang ke dalam 2 macam kelompok, orang benar dan orang fasik. Salah satu gambaran orang fasik, yaitu ‘mereka seperti sekam dibawa angin’. Itu sebabnya ketika dalam Mazmur 35:5 dikatakan ‘Biarlah mereka seperti sekam dibawa angin, didorong oleh Malaikat TUHAN’, alasannya adalah ya, karena mereka ini fasik. Lalu waktu dikatakan ayat 6, ‘biarlah jalan mereka gelap dan licin, dan Malaikat TUHAN mengejar mereka!’, itu memang layak, bahwa orang fasik akan mendapatkan hal ini. Jadi, gambaran ‘kejahatan seseorang itu bukan jati dirinya’, gambaran ‘bagaimanapun jahatnya dia, itu bukan pribadinya melainkan pribadi yang lain’, itu bukan pemahaman Mazmur 35.
Di dalam konteks keseluruhan, kita bisa membaca Mazmur 35 dari terang Mazmur 1, bahwa ada orang benar, ada orang fasik. Lalu seperti apa orang fasik, dan seperti apa orang benar itu? Orang benar adalah seperti yang kita baca tadi, dia berbuat baik (ayat 12); waktu sahabatnya sakit, mereka juga berkabung, menyiksa diri dengan berpuasa, mendoakan, seolah-olah itu teman atau saudaranya yang sakit padahal bukan (ayat 13). Inilah gambaran orang benar. Sebaliknya, orang fasik adalah seperti yang dikatakan tadi, mereka membalas kebaikan dengan kejahatan. Waktu ada orang tersandung, padahal orang tersebut yang mendoakan dirinya, dia justru malah bersukacita (ayat 15). Lalu di ayat 16 istilah ‘fasik’ betul-betul muncul: ‘dengan fasik mereka mengolok-olok terus, menggertakkan giginya terhadap aku’.
Berikutnya, perspektif yang juga penting adalah: bahwa pertolongan berseru kepada Tuhan untuk minta Tuhan membalaskan, adalah karena dari perspektif yang mengalami, dia sendiri berada dalam posisi yang sangat lemah. Justru karena dia lemah, sengsara, miskin, makanya dia berseru kepada Tuhan. Kalau orang ini berada dalam posisi powerful, mungkin dia tidak perlu berseru kepada Tuhan, mungkin dia akan langsung balas saja, toh, dia punya kuasa. Itu sebabnya hati-hati kalau Tuhan menempatkan kita dalam posisi yang di atas, punya power, bisa bahaya sekali. Bahaya kalau kita kemudian salah mempergunakan kuasa itu, akhirnya kita menyalahgunakannya untuk menekan, menggencet orang-orang yang lemah, lalu berpikir tidak ada yang bisa membalaskan kepada kita karena kita so powerful. Orang-orang yang kuat, yang kaya, memang seringkali lupa bahwa ada Tuhan di atas mereka. Tetapi seruan di sini bukan seruan orang yang powerful, ini seruan orang sengsara, orang lemah, orang miskin. Kesulitan yang dia alami, dia minta supaya Tuhan yang membalaskan, karena dia memang tidak ada kekuatan untuk bisa melakukan itu; ini pengharapan mengharapkan kepada Tuhan.
Di dalam konteks teologi bijaksana (wisdom theology), yaitu deeds-consequence connection tadi, dia mengharapkan sederhana saja, yaitu Tuhan menyatakan keadilan-Nya. Doa seperti ini perlu dalam spiritualitas kita. Kita hidup di dalam dunia yang memang penuh dengan ketidak-adilan, di mana orang-orang yang lemah dan sengsara paling sering dikorbankan, karena paling gampang, dan mereka juga tidak bisa membalas. Kalau kita tidak ada doa-doa lamentasi seperti ini, lama-lama kita bisa jadi orang yang penuh kepahitan. Kalau orang dalam kehidupannya sudah penuh dengan kepahitan, dia tidak ada kekuatan lagi untuk bisa mengasihi sesamanya; yang ada adalah kehidupannya jadi penuh kemarahan, ketidaksabaran, dan mungkin secara tidak sadar bisa jadi self-righteous, mentalitas ‘korban’ (victim mentality), ‘saya ini korbannya, padahal saya benar, dia yang salah’, dsb. –bisa bahaya sekali penghayatan seperti ini. Itu sebabnya, berespons di hadapan Tuhan waktu kita disakiti, waktu kita dikecewakan, waktu kita terluka, dsb., itu amat sangat penting.
Tuhan kita adalah Tuhan yang hidup, bukan Tuhan yang tuli, buta, sembarangan, tidak peduli dengan ketidakadilan –bukan itu Tuhan yang kita kenal dalam Alkitab. Memang seringkali bijaksana Tuhan melampaui bijaksana kita. Waktunya pembalasan Tuhan tidak tentu adalah waktu yang kita harapkan. Keadilan ditegakkan dengan cara Tuhan yang bagaimana, tidak seperti yang kita pikirkan. Tetapi pada akhirnya kita percaya, sebagaimana terus-menerus disaksikan dalam kitab Mazmur, orang benar akan dibenarkan (the righteous will be vindicated), orang fasik akan menuai kejahatan.
Di ayat 26 pemazmur mengatakan: ‘Biarlah bersama-sama mendapat malu dan tersipu-sipu orang-orang yang bersukacita atas kemalanganku; biarlah berpakaian malu dan noda orang-orang yang membesarkan dirinya terhadap aku!’ Memang akhir dari orang fasik seharusnya seperti itu. Tapi kemudian ayat 27: Biarlah bersorak-sorai dan bersukacita orang-orang yang ingin melihat aku dibenarkan! Biarlah mereka tetap berkata: “TUHAN itu besar, Dia menginginkan keselamatan hamba-Nya!”’ Saudara perhatikan, ini bukan diakhiri dengan kebinasaannya orang fasik lalu happy ending karena orang fasik binasa, syukurlah itu terjadi, dsb.; orang fasik akan menuai apa yang mereka tabur, menuai kejahatannya –itu memang betul– tapi ada sisi positifnya, bahwa orang-orang benar akan bersorak-sorai dan bersukacita melihat orang yang sengsara dan miskin ini dibenarkan. Jadi ini bukan cuma tentang dirinya sendiri (pemazmur) yang menderita; dia mengatakan “biarlah bersorak-sorai dan bersukacita orang-orang … “ –bukan cuma tentang dirinya. Taruhannya di sini adalah nama Tuhan yang besar itu. Taruhannya adalah sifat Allah yang adil itu. Jadi bukan sekedar sakit hatinya dia, terlukanya dia, kecewanya dia –kalau seperti itu, memang kekanak-kanakan—melainkan bicara tentang atribut, sifat, natur Allah.
Bukan hanya itu, di ayat 28, pemazmur sendiri berkata: “lidahku akan menyebut-nyebut keadilan-Mu, memuji-muji Engkau sepanjang hari.” Manfred Oeming mengatakan, ketika Tuhan melakukan ini (keadilan), maka pembelaan Tuhan, munculnya Tuhan bagi orang-orang sengsara dan miskin ini akan mengembangkan kuasa misionari (misionary power); maksudnya, bahwa dia akan memberitakan Tuhan, bahwa Dia adalah Tuhan yang adil. Ini bukan hanya tentang dia sendiri yang sedang sakit, terluka, lalu minta kehadiran Tuhan dinyatakan –bukan berhenti sampai di sini– tapi berakhir dengan kesaksian, suatu misionary power yang di-endorse oleh Tuhan sendiri, sehingga dia boleh bersaksi akan Tuhan yang maha adil, lalu pada akhirnya segala kemuliaan kembali kepada Tuhan, dan pemazmur memuji-muji Tuhan sepanjang hari.
Tadi kita mengatakan, Mazmur 35 ini adalah mazmur ratapan/lamentasi –ratapan yang sungguh-sungguh digerakkan oleh Tuhan– lalu akhirnya menuju kepada doksologi. Memang di dalam ratapan bisa masih ada keragu-raguan, bahkan sampai batas tertentu semacam ketidakpercayaan juga, bisa ada kekecewaan, bisa ada rasa terluka, dsb.; itu sangat realistis dan wajar. Tapi kita tahu dari pembacaan Mazmur 35 ini, rasa sakit itu bukan mengalahkan dan menguasai kehidupan pemazmur sampai kemudian berakhir dengan kepahitan, dan menyebabkan dia jadi pemarah, kasar, uring-uringan, dan penuh kebencian –bukan itu gambarannya. Hati-hati dengan penderitaan dan kesulitan; kalau kita tidak berespons dengan benar di hadapan Tuhan, kita bisa berubah jadi makhluk yang keras, yang sinis dan sarkastis, penuh dengan kebencian dan kemarahan. Ini bukan visi Mazmur 35; yang diajarkan di sini, visinya adalah: lidah kita bisa menyebut-nyebut keadilan Tuhan, memuji-muji Tuhan sepanjang hari.
Kiranya Tuhan menolong kita di alam Kristus; sebagaimana mamzur ini juga ter-nyata di dalam kehidupan Kristus. Tidak ada yang lebih sakit dan lebih menderita daripada Kristus yang dikhianati; tapi Saudara lihat dalam kehidupan Kristus, Dia bukan dihancurkan oleh kepahitan, Dia bukan orang yang akhirnya penuh dengan kekecewaan dan kebencian kepada semua orang karena semua orang menolak Dia. Bukan itu Kristus yang kita baca dalam Alkitab. Kita melihat bagaimana Kristus dengan sabar menantikan Bapa membenarkan Orang Benar ini, Anak-Nya sendiri, karena memang Dia tidak bersalah. Perhatikan kesabaran dan ketabahan-Nya di dalam mengalami ketidakadilan. Dia menyerah-kannya kepada Bapa-Nya; dan sama seperti dikatakan di sini, Dia menyebut-nyebut keadilan Allah, Dia tidak mempertanyakan keadilan Allah. Kita melihat juga, kehidupan-Nya penuh dengan pujian kepada Bapa.
Kiranya Tuhan menolong kita untuk bisa menjadi seperti Kristus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading