Mazmur ini termasuk salah satu mazmur, yang dalam tradisi Gereja pemahamannya mempunyai tempat khusus, yaitu sebagai doa pengakuan dosa. Hal ini akan kita singgung di bagian akhir, tetapi yang mau kita pelajari terutama adalah teksnya terlebih dahulu.
Waktu Saudara membaca di bagian permulaan mazmur ini (ayat 2), kalimatnya adalah tentang doa permohonan supaya tidak dihukum di dalam murka Tuhan. Kalau pengenalan kita akan Tuhan benar, maka kita bukan mengenal Dia sebagai Allah yang penuh kasih saja, melainkan juga sebagai Allah yang murka. Pengenalan ini sesuai dengan Alkitab. Mereka, yang dalam pemahamannya tidak ada puzzle ‘Allah yang murka’, sebenarnya pemahamannya bukan pemahaman Allah yang di Alkitab. Bahkan kadang-kadang orang Injili menggambarkan kalau Allah murka, itu ditujukan kepada orang tidak percaya, sedangkan orang percaya semuanya berada di dalam cinta kasih Allah. Gambaran seperti ini juga tidak tepat.
Mengapa Daud di sini bicara tentang murka Tuhan, bukankah Daud juga orang percaya? Atau mungkin kita menafsir Daud ini salah mengerti, bahwa sebenarnya Tuhan tidak murka sama sekali kepada dia, Tuhan selalu penih cinta kasih, tapi dia saja yang paranoia merasa Tuhan murka –padahal Tuhan tidak murka. Tetapi tafsiran seperti ini tidak ada dasarnya, karena dari ayat-ayat yang kita baca, tidak ada sedikit pun indikasi bahwa Daud salah mengerti Tuhan. Dalam hal ini, kita harus baca secara sederhana, bahwa memang betul dalam pengenalan yang benar akan Tuhan, Tuhan itu juga murka, termasuk kepada orang-orang pilihan-Nya. Ada yang menarik kalau kita mempelajari hal ini, bahwa pemazmur imannya begitu besar, karena dia bisa menerima Allah yang murka, sekaligus juga Allah yang memberi kehidupan, Allah yang penuh anugerah. Pergumulan pemazmur akan keadaan sakit-penyakitnya –suatu keadaan yang menuju kematian– juga direlasikannya dengan Allah.
Waktu kita membaca pergumulan pemazmur, kita bisa merekonstruksi bahwa problem utamanya adalah tentang penyakit. Ayat 3 mengatakan: “Sembuhkanlah aku, TUHAN”; berarti ini berkait dengan sakit-penyakit. Dan kalau kita melihat ayat-ayat berikutnya, ayat 6 mengatakan: “Sebab di dalam maut (kematian) tidaklah orang ingat kepada-Mu”; berarti agaknya ini suatu penyakit yang parah, yang bisa membawa kepada kematian, bukannya sekedar misalnya alergi, batuk ringan, atau semacam itu.
Memang di dalam Perjanjian Lama, waktu kita membaca kosakata tentang ‘sakit’ dan permohonan minta sembuh, seringkali itu dipakai secara metaforis, untuk menggambarkan kondisi teologis seseorang di hadapan Tuhan. Kita sudah sering menjelaskan bahwa dalam perspektif teologi Kristen, kita tidak bisa mengerti sesuatu dari perspektif fisik/jasmani saja, tapi perlu perspektif rohani juga. Itu sebabnya kita tidak perlu heran kalau Mazmur 6 ini kemudian ditrasformasi menjadi Mazmur Pengakuan Dosa (Penitential Psalm). Tapi sebelum membahas ini, kita mau membahas aspek-aspek yang lain terlebih dahulu.
Penderitaan yang dialami pemazmur ini, dari perspektif pemazmur (Daud) sendiri ditafsir sebagai tindakan Allah mengekspresikan murka-Nya untuk menghukum. Pada saat yang sama, pemazmur juga beriman bahwa Allah adalah Allah yang memberikan kesembuhan, bahwa Dia adalah The One who will heal our diseases. Intinya, seperti juga dalam mazmur-mazmur yang lain dan kita seringkali katakan, baik di dalam sakit-penyakit maupun di dalam kesehatan, kita harus selalu mengertinya dalam relasi dengan Tuhan.
Ada orang yang berpikir, waktu sehat kita merelasikan keadaan itu dengan Tuhan; sedangkan waktu sakit, itu bukan urusan dengan Tuhan, Tuhan sebenarnya tidak menghendaki sakit-penyakit, itu urusannya dengan setan, atau bencana alam, dsb. Gambaran ini seolah-olah menyelamatkan mukanya Tuhan, karena menggambarkan Tuhan selalu berurusan dengan hal-hal yang baik saja. Tetapi spiritualitas seperti ini sebetulnya menyesatkan, karena waktu kita menderita, waktu kita dalam pergumulan, waktu kita sakit, lalu kita tidak merelasikan diri dengan Tuhan, maka kita tidak ada pertumbuhan rohani. Ada orang yang waktu kecewa, sakit hati, tersinggung, dsb., dia bukan datang kepada Tuhan tapi ngamuk-ngamuk sendiri, telepon kanan-kiri, dsb.; keadaan seperti itu tidak membawa seseorang bertumbuh.
Kalau kita membaca teks asli Mazmur 6 ini, yang menarik adalah di sini tidak disinggung soal dosa (sin) atau keberdosaan (sinfulness), bahkan tidak ada dikatakan secara eksplisit bahwa pemazmur minta pengampunan dari Tuhan. Dalam pemahaman iman pemazmur, penderitaan itu secara sederhana dimengerti sebagai pekerjaan Allah yang sedang murka. Poin teologi seperti ini kurang populer –dan orang jarang membahasnya juga. Kita mungkin sungkan untuk merelasikan penderitaan dengan Tuhan yang murka. Sebaliknya, kita mungkin lebih gampang memberi atribut penderitaan kita dengan ‘salah kita sendiri’, bahwa itu karena keberdosaan kita –dan dalam hal ini Tuhan “selamat” juga. Tapi bukan itu yang dicatat dalam mazmur ini.
Pemazmur menghayati kesulitannya, sakit-penyakitnya, sebagai ekspresi kemarahan/murka Allah. Ini bukan dalam pengertian fatalisme, ‘ya, sudahlah, namanya juga Tuhan, Dia ngamuk, ya, ngamuk aja, kita bisa apa memangnya’. Kalau kita tidak hati-hati, pemahaman kedaulatan Allah bisa jadi bukan membawa kita kepada iman yang benar, tapi kepada sikap acuh tak acuh; bukan dalam penerimaan yang sehat dari seseorang yang bertumbuh imannya, tapi lebih ke ‘ya, sudahlah, bisa apa? kalau Tuhan sudah ngamuk, ya, mau apa lagi? ya, sudah saya diam saja’. Tetapi itu bukan pemahamannya pemazmur.
Daud meresepsi penderitaannya sebagai amarah Tuhan –ini satu hal, dan memang betul– tapi kemudian dia berdoa, dan imannya percaya bahwa Tuhan yang sama adalah Tuhan yang tidak menghendaki kebinasaan, bahwa Tuhan bukan sama bersukacitanya dengan penderitaan manusia sebagaimana Dia bersukacita dengan kebahagiaan manusia. Kita pernah mengutip ayat yang terkenal itu, yang mengatakan bahwa Tuhan tidak bersukacita atas kebinasaannya orang fasik, apalagi atas kematian orang benar sudah pasti Tuhan tidak bersukacita; atas kematian orang fasik saja Tuhan tidak bersukacita, apalagi kematian orang benar. Maka, berdasarkan itu pemazmur menaikkan permohonan, “Jangan menghukum aku dalam murka-Mu”.
Sekali lagi, di satu sisi dia menerima bahwa Tuhan adalah Tuhan yang murka, Tuhan yang bisa punya amarah –dan hal itu nyata dalam sakit-penyakitnya serta keadaannya yang hampir mati. Tetapi, percaya kedaulatan Tuhan yang melakukan hal tersebut, bukan berarti kita jadi tidak boleh berdoa. Pemazmur di sini berdoa kepada Tuhan supaya dirinya dibebaskan, supaya Tuhan tidak menghukum dirinya di dalam murka-Nya, tidak menghajar dirinya di dalam kepanasan amarah-Nya.
Saudara bisa mendapati cerita yang mirip di dalam kehidupan Musa. Setelah peristiwa anak lembu emas, waktu Tuhan berkata “Saya tidak akan memimpin bangsa ini lagi, sudah cukup; Saya akan utus perantara saja, tidak usah Saya berjalan lagi memimpin mereka”, itu adalah keputusan Tuhan di dalam kedaulatan-Nya; tapi kemudian apa yang dilakukan Musa? Apakah dia bilang “ya, Tuhan, itu memang keputusan-Mu, siapa yang dapat menggugat keputusan-Mu”? Bukan itu. Sebaliknya, Musa berdoa kepada Tuhan, membujuk Tuhan, minta supaya Tuhan tetap memimpin bangsa Israel. Apakah doanya Musa berarti dia kurang menghargai kedaulatan Tuhan yang sudah memberi keputusan? Tidak. Kita tidak boleh mengerti kedaulatan Tuhan di dalam pengertian statis seperti itu, bahwa kalau Tuhan sudah marah, ya, sudah, kita hanya bisa diam saja. Di dalam Alkitab ada catatan-catatan seperti itu, ketika Tuhan itu menguji iman orang percaya. Waktu Yesus menyertai perjalanan dua murid yang menuju Emaus, di situ Lukas mencatat bahwa Yesus berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanan-Nya, tapi kemudian dua murid itu menahan Tuhan, “hari sudah malam, tinggallah bersama dengan kami” –padahal Yesus sudah berbuat seolah-olah mau melanjutkan perjalanan-Nya.
Kita bisa salah mengerti iman yang benar, kalau kita menerjemahkan itu dengan sikap yang seakan-akan selalu mengalah, tidak mau memaksa, dan dengan itu kita pikir sudah jadi orang yang rendah hati. Ini salah. Dua orang Emaus tadi, waktu Yesus seolah mau melanjutkan perjalanan-Nya, mereka bukan merespons dengan “O, mau meninggalkan kita? ya sudah, kalau mau pergi, ya, tidak apa-apa, sampai ketemu lain kali”; bukan seperti itu catatan Lukas. Iman yang benar bukanlah fatalis. Termasuk juga waktu membaca bagian ini, memang pemazmur meresepsi penderitaannya sebagai ekspresi kemarahan/murka Tuhan, tapi kemudian di sini Saudara membaca perkataan “janganlah … janganlah … sembuhkan aku … berapa lama lagi …” dsb. Inilah iman yang Alkitab mau kita belajar, yaitu seperti imannya Daud. Dia minta kepada Tuhan untuk kembali meluputkan jiwanya, menyelamatkan dirinya oleh karena kasih setia-Nya.
Kalau Saudara membaca bagian-bagian ini, ada beberapa motif yang menjadi dasar/alasan dari permohonannya pemazmur. Pertama, tentang beratnya penderitaan yang diterima, yang sampai mau membawa dia ke alam maut (tentang intensitas penderitaan).
Yang kedua, dia mendasarkan permohonannya berdasarkan kasih setia Tuhan; ayat 5, “Kembalilah pula, TUHAN, luputkanlah jiwaku, selamatkanlah aku oleh karena kasih setia-Mu”. Hal ini sudah pernah kita bahas dalam mazmur-mazmur sebelumnya, yaitu mengenai kasih setia Tuhan. Bukan karena kesalehan ‘saya’ tapi karena belas kasihan Tuhan; bahwa saya tidak mendasarkan doa saya karena saya ini kategorinya lumayan atau moralnya cukup baik, melainkan karena Tuhan adalah Tuhan yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya.
Namun mungkin argumentasi yang menarik dalam mazmur ini adalah argumentasi tentang finalitas kematian/maut. Saudara baca di ayat 6: “Sebab di dalam maut tidaklah orang ingat kepada-Mu; siapakah yang akan bersyukur kepada-Mu di dalam dunia orang mati?” Kalau Saudara baca secara sepintas, ayat ini seakan-akan mengindikasikan memangnya Tuhan perlu pemuji?? memangnya Tuhan perlu orang yang bersyukur kepada-Nya?? memangnya Tuhan perlu orang yang menyembah Dia?? –seolah-olah pengertiannya ke arah sana. Tapi bukan seperti itu pengertiannya. Kita percaya, kitalah yang perlu Tuhan, bukan Tuhan yang perlu kita. Namun kita bisa mengerti yang dimaksud pemazmur, argumentasinya didasarkan pada hilangnya kemungkinan untuk memuji Allah; karena waktu orang memuji Allah, di situ jalan-jalan Allah diberitakan, karya-karya Allah diingat.
Kalau boleh kita kaitkan dengan pentingnya Ibadah, ada saat-saat kita bukan cuma mendengar kotbah tapi juga kita memuji Tuhan. Gereja-gereja Protestan, termasuk gereja Reformed, seringkali sangat memberi tekanan pada kotbah, sepertinya kotbah adalah klimaks Ibadah yang setiap orang harus serius di bagian ini; sedangkan waktu memuji Tuhan, kita lebih mirip mengerjakan tugas yang ingin cepat selesai, tidak betul-betul ada praise of God. Padahal kalau kita membaca prinsip Firman Tuhan, misalnya dalam Mazmur 6, memuji Tuhan ini bagian yang sangat penting karena di situ jalan-jalan Tuhan, pekerjaanTuhan, karya Tuhan diingat, disaksikan, dan diberitakan.
Seperti kita katakan tadi, bagian ini bukan dalam pengertian bahwa Tuhan nanti kehilangan para pemuji-Nya, tetapi lebih ke pengertian bahwa pemazmur yang kehilangan Tuhan. Di dalam pemahaman pemazmur tentang kehidupan, hidup dan pujian (life and praise) tidak bisa dipisahkan, kita hidup maka kita memuji; yang hidup memuji Tuhan, yang tidak memuji Tuhan namanya mati, kalau mati maka tidak memuji Tuhan. Sederhana saja.
Mengapa hidup dikaitkan dengan memuji Tuhan? Bagaimana penjelasannya? Kalau kita orang percaya, kita menghargai kehidupan ini sebagai karunia Tuhan; kalau kita menghayati hidup ini sebagai anugerah Tuhan, maka tidak bisa tidak, kita pasti memuji Tuhan –bukankah begitu? Kecuali orang mengerti kehidupan ini bukan anugerah Tuhan, kehidupan ini ‘saya yang mengusahakan sendiri’. Kalau seperti itu pandangan hidupnya, maka memang betul tidak usah memuji Tuhan –puji diri sendiri saja. Tapi ini bukan pikiran Kristen. Pikiran Kristen mengajarkan kepada kita, bahwa hidup ini pemberian Tuhan. Kalau kita mengakui hidup ini pemberian Tuhan, tentu saja pasti ada pujian, karena kita mengembalikan kemuliaan kepada Tuhan, kita bersyukur kepada Tuhan melalui pujian.
Jadi, yang dimaksud pemazmur adalah bahwa ketika pujian dan doa hilang, tidak ada lagi, berarti tidak ada relasi dengan Allah. Di dalam tafsiran, Luther Mays mengatakan: “To be without them (praise and prayer), is to be without God”. Maksudnya, kalau hidup kita tidak ada doa, tidak ada pujian, berarti tidak ada Tuhan juga dalam kehidupan kita. Dengan kata lain, kita tidak menghargai kehidupan ini sebagai pemberian Tuhan –dan itu mirip seperti kematian. Dari sudut pandang seperti ini, maka inilah yang betul-betul menakutkan dari kematian/maut, yaitu tidak ada lagi kemungkinan memuji Tuhan, tidak ada lagi kemungkinan untuk kita berelasi dengan Tuhan.
Di sini kita musti mengerti bahwa pemahaman Daud tentang eskatologi masih sangat terbatas; Saudara dan saya lebih mengerti apa yang terjadi setelah kematian orang percaya. Mereka ini tidak mempunyai konsep eskatologi yang jelas, mungkin mereka berpikir setelah mati berarti selesai, berhenti, masuk ke dunia orang mati (sheol), tidak ada kemungkinan lagi untuk memuji Tuhan. Dan, sekali lagi, inilah yang paling menakutkan dari kematian; bukan kematiannya itu sendiri, tapi ketidakmungkinan untuk berelasi dengan Allah, ketidakmungkinan untuk mengekspresikan pujian dan doa.
Tadi kita mengatakan, waktu pemazmur mengalami penderitaan/sakit-penyakit, dia merelasikan hal itu dengan Tuhan. Kata kunci “relasi dengan Tuhan” penting sekali dalam hal ini; maka dia melihat maut di dalam pengertian ketidakmungkinan untuk berelasi dengan Tuhan. Dia mengatakan “tidak ada lagi orang bisa memuji-Mu”, berarti relasi selesai, tidak ada lagi. Itu sebabnya dia minta Tuhan menyembuhkan dirinya, yaitu supaya dia masih bisa menikmati relasi itu.
Kalau kita dalam hidup ini masih bisa bersyukur, masih bisa berdoa, masih bisa memuji Tuhan, itu betul-betul anugerah kehidupan. Orang yang tidak lagi berdoa kepada Tuhan, tidak lagi bersyukur kepada Tuhan, tidak lagi memuji Tuhan, itu sebetulnya as good as death.
Istilah ‘maut’ atau ‘kematian’ di dalam bahasa Alkitab, terutama urusannya adalah relasi. Orang kusta di zaman dulu tidak bisa beribadah bersama-sama, sehingga relasi dengan Tuhan seperti terputus. Waktu mereka berada di jalan-jalan, mereka tidak boleh bertemu dengan orang banyak, mereka harus berteriak “najis! najis!” supaya orang-orang menghindar, dan dengan demikian mereka tidak ada relasi dengan orang-orang sehat itu. Menurut pemahaman Israel, orang kusta seperti ini sebetulnya as good as death, sebetulnya mati. Mereka sangat mengerti bahwa yang disebut kematian terutama adalah tidak adanya relasi, bukan urusan biologis/medis atau kematian fisik –bukan itu yang ditekankan Alkitab. Tapi perhatikan, manusia modern seperti Saudara dan saya, kita lebih peduli dengan kesehatan, kita takut kalau sakit, yang kita kejar adalah kesehatan itu sendiri, kita bahkan tidak memikirkan urusan relasinya.
Di dalam Alkitab, gambarannya jelas sekali, Yesus menyembuhkan penyakit, adalah karena orang yang sakit terbatas relasinya. Yesus menyembuhkan orang sakit supaya dia bisa masuk ke relasi yang lebih penuh. Yesus menahirkan orang kusta, dan kemudian orang kusta memperlihatkan dirinya kepada imam, adalah supaya orang ini bisa beribadah lagi bersama-sama di signagoga, bisa hidup bermasyarakat lagi; artinya yang dipulihkan di situ adalah relasi. Namun, alangkah ironisnya manusia modern yang punya kesehatan tapi sangat miskin relasi. Itu mirip orang mati sebetulnya, kalau menurut Alkitab.
Demikian juga waktu Saudara membaca cerita kejatuhan Adam dan Hawa, Tuhan bilang, “Kalau kamu makan buah ini, kamu akan mati”. Lalu kita orang modern membaca cerita itu, kita merasa kesulitan —lho, katanya akan mati tapi koq, ternyata ‘gak mati—karena kita mengertinya terutama urusan medis, biologis. Kalimat firman Tuhan itu tidak mungkin salah; Tuhan bilang “mati”, ya, artinya mati –kalau tidak, berarti Dia berdusta. Pemahaman kita tentang ‘mati’-lah yang perlu dikoreksi. Maksudnya adalah mati rohani, bukan sekedar mati fisik; bukan cuma mati dalam pengertian naturalis, medis, biologis, melainkan kematian rohani. Dan memang betul, apa yang terjadi setelah itu? Rusak semua relasinya. Adam tidak bisa lagi berelasi dengan Tuhan, ketakutan; itu berarti rusak relasinya. Adam lalu menyalahkan Hawa, Hawa tidak terima dan balik menyalahkan; ini berarti pada saat itu relasi Adam dan Hawa betul-betul hancur, mereka betul-betul mati. Tidak ada lagi kemungkinan menikmati relasi cinta, relasi kasih, relasi beribadah kepada Tuhan. Semuanya hancur pada saat itu. Tapi kita, orang modern, menghibur diri, kita mengatakan, “Ah, tidak, mereka masih hidup, buktinya mereka tidak langsung mati” –karena konsep ‘mati’ kita sangat reduktif. Seolah-olah, orang modern mau mengatakan “gak apa-apa, sih, kita ‘gak terlalu ada relasi; cuma sendirian di kamar, itu ‘gak apa-apa, yang penting saya masih hidup secara biologis”.
Saudara, Alkitab tidak pernah tertarik dengan konsep hidup yang sekedar biologis, konsep hidup yang tidak ada relasinya. Kalau kita hidup, itu berarti kita berelasi, yaitu berelasi kepada Tuhan, berelasi dengan sesama. Dan, relasi kepada Tuhan itu termasuk relasi bersyukur, berdoa, memuji.
Waktu kita membaca bagian ini, Saudara juga mendapati bahwa pemazmur punya keyakinan bahwa doanya didengar oleh Allah. Ayat 9, “sebab TUHAN telah mendengar tangisku”; ayat 10, “TUHAN telah mendengar permohonanku, TUHAN menerima doaku. Ini adalah kesaksian dia. Tapi kita perlu sedikit merekonstruksi, dalam cara bagaimana Tuhan mendengar dia –yang memang tidak dijelaskan di Mazmur 6 ini. Ini bisa direkonstruksi demikian: pemazmur (Daud), waktu dia beribadah kepada Tuhan, dia mendapat jawaban perkataan keselamatan (word of salvation) yang dibicarakan oleh nabi dalam liturgi di bait suci. Jadi pemazmur ini bergumul dengan sakit-penyakitnya, tapi dia mendapat jawaban dari Tuhan waktu beribadah di bait suci. Alangkah indahnya, kalau setiap kali kita beribadah, kita datang seperti ini, kita mengharapkan Tuhan berbicara pribadi kepada kita.
Dalam kisah Hana, ibunya Samuel, Saudara mendapati Hana adalah seorang yang bergumul karena selalu dihina oleh istri lain dari Elkana, suaminya. Dia datang kepada Tuhan, dia berdoa di bait suci, dia mencurahkan isi hatinya, dia menanti jawaban Tuhan. Dan –perhatikan– dia menerima perkataan Imam Eli, yang mungkin cuma keluar secara rutinitas begitu saja, “Pergilah dengan selamat, dan Allah Israel akan memberikan kepadamu apa yang engkau minta dari pada-Nya” (1 Samuel 1:17). Kalimat ini keluar dari mulut Eli mungkin bukan pertama kalinya, mungkin setiap kali dia mengatakan kalimat ini, seperti kalimat pakem dalam konseling, “Tuhan memberkati engkau, Tuhan mengabulkan engkau” –sesuatu yang biasa dikatakan. Ini bukan kalimat super, atau sebegitu insightful-nya, yang kita belum pernah dengar, dsb. Ini kalimat yang sederhana sekali. Tetapi Hana yang bergumul, menerima kalimat itu seperti dari Tuhan, kalimat yang begitu bermakna, yang berbicara untuk dirinya.
Saudara, yang membuat iman dan cinta kasih kita bertumbuh, yaitu adanya pergumulan dalam kehidupan kita, sehingga waktu mendengar Firman Tuhan, kita betul-betul menantikan perkataan Tuhan menjawab ‘saya’ apa. Lagu-lagu yang sederhana, yang mungkin bukan pertama kali kita nyanyikan, dan juga tidak sebegitu insifghtful-nya, itu bisa menyentuh hati kita ketika kita sedang bergumul urusan tersebut. Jadi kita bisa menerapkan prinsip yang sama ini ke dalam Mazmur 6, yaitu keyakinan pemazmur bahwa dia didengar oleh Tuhan. Dia juga seperti Hana, seseorang yang datang kepada Tuhan di bait suci, menantikan jawaban Tuhan, dan di situ dia dibebaskan waktu dia mendengar perkataan nabi.
Jadi, Mazmur 6 ini mengajarkan kepada kita bahwa kita beriman adalah kepada Tuhan saja. Ini seperti hukum pertama di dalam Sepuluh Firman (Dekalog), tidak boleh ada allah yang lain. Dan ini bukan cuma mengenai hal-hal yang baik, tapi juga hal-hal yang buruk, termasuk sakit-penyakit, hampir mati, dsb.; dalam hal-hal itu, juga cuma boleh ada satu Tuhan yang di atasnya. Cuma ada satu Divine power, dan Dia adalah satu-satunya, tidak ada kuasa lain apapun yang sanggup bersaing dengan Divine power itu. Hal ini sejalan dengan hukum pertama. Dalam Gereja mula-mula ada ajaran bidat, namanya Manichaeism (Agustinus pernah memeluk ajaran ini); ajaran percaya bahwa dunia adalah medan pertempuran antara yang baik dan jahat, yang tidak akan pernah selesai. Dalam pemahaman ini, Tuhan, sebagai kuasa yang baik, terus-menerus berperang dengan Si Jahat (the evil), sebagai kuasa yang jahat; dan kedua entitas ini sama kuat, maka di dunia ini terjadi peperangan terus-menerus. Tapi Saudara membaca di kitab Ayub, dia menegur istrinya, “masakan kita cuma mau menerima yang baik saja dari Tuhan, dan tidak mau menerima yang buruk dari Tuhan”.
Sampai sekarang pun ada kecenderungan manicheis ini di dalam Kekristenan. Waktu kita menderita, waktu kita sakit, kita bilang ini pekerjaan setan, demonic powers, atau ada musuh yang mengirim guna-guna, dsb., lalu kita bergumul bahwa kita sedang disakiti oleh kuasa jahat ini dan itu. Tapi Saudara perhatikan, pemazmur menolak penjelasan itu; bagi pemazmur, ini murkanya Tuhan –itu saja. Di dalam hal ini, pemazmur betul-betul sejalan dengan hukum pertama, tidak ada allah yang lain, hanya Satu Allah itu; dan Dia mendatangkan bukan hanya yang baik, tetapi sakit-penyakit, kejahatan, dsb., juga dikontrol oleh Dia. Ini berarti meneguhkan iman kepada Satu Allah; dan di dalam Allah yang satu itu, kita bisa mengalami semuanya, dan kita bisa merelasikannya dengan Dia.
Mazmur ini mencegah kita dari pemahaman keagamaan yang mengaitkan iman hanya dengan pengalaman-pengalaman yang positif. Tuhan yang kita percaya adalah Tuhan yang murka, Tuhan yang bisa ada amarah, tapi juga Tuhan yang penuh dengan kasih karunia, kasih setia, dst. Dengan demikian, waktu kita menderita, waktu kita sakit, waktu kita bangkrut, dalam keadaan-keadaan seperti itu kita merelasikannya juga dengan Tuhan. Bahkan kalau kita mau protes, kita protesnya kepada Tuhan; kalau kita mau marah, kita marahnya kepada Tuhan –inilah hukum pertama. Hal ini sulit, dan bagian ini juga jarang dikotbahkan. Biasanya orang mengatakan “masakan marah kepada Tuhan, tidak boleh lho, marah kepada Tuhan; lu kelar hidupmu kalau marah kepada Tuhan”, tapi yang kita baca di dalam Alkitab, ceritanya lain. Imannya orang Israel adalah terus merelasikan dengan Tuhan. Termasuk dengan keragu-raguannya, dengan kekecewaannya, kepahitannya, kemarahannya, kebingungannya; mereka terus merelasikan itu dengan Tuhan. Itulah yang membuat iman mereka bertumbuh, karena mereka selalu merelasikan dengan Tuhan di dalam keadaan apapun.
Kita tidak bisa cuma merelasikan dengan Tuhan waktu mengalami hal-hal yang positif, lalu kita bersyukur dsb., tapi waktu mengalami kepahitan, disakiti, kita merelasikannya hanya dengan manusia saja, tidak kepada Tuhan. Kalau seperti itu, kita jadi berputar di situ terus. Merelasikan kepada manusia, itu tidak mempertumbuhkan kita; yang mempertumbuhkan kita adalah Tuhan, bukan manusia. Ini adalah suatu undangan dari Alkitab, untuk di dalam semua kejadian apapun yang menimpa kehidupan kita, kita belajar merelasikan diri dengan Tuhan. Bahkan kalau saya harus mendatangi Dia sebagai Tuhan yang murka, saya tetap merelasikan diri dengan Dia yang murka, karena saya percaya Dia adalah juga Dia yang punya kasih setia.
Yesus, waktu di atas kayu salib, Dia berteriak, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Dia mewakili teriakan manusia. Dia bukan paranoia merasa ditinggalkan, Dia memang betul-betul ditinggalkan di sana. Yang ditinggalkan adalah Yesus, yang meninggalkan adalah Bapa; tetapi Yesus tetap berserunya kepada Dia, yang meninggalkan diri-Nya. Dia tidak berseru kepada Yohanes, “Yohanes! Dia meninggalkan”, Dia berseru kepada Yang meninggalkan diri-Nya. Apa yang mau kita katakan di sini? Yaitu bahwa Yesus, dalam posisi ditinggalkan, Dia tetap merelasikan itu dengan Bapa-Nya.
Memang kita ada keterbatasan memahami murka Allah yang dicurahkan di atas kayu salib, murka yang betul-betul ditanggung Yesus di sana, tetapi dalam keadaan itu, Yesus tetap merelasikandengan Bapa-Nya –padahal Dia betul–betul mengalami murka, betul-betul menanggung dosa manusia. Yang saya mau katakan adalah: apalagi Saudara dan saya, yang waktu Tuhan murka, kita bukan sedang menanggung dosa manusia seperti Yesus menanggung kutukan dosa di atas kayu salib; sengan demikian, kita terlebih lagi harus merelasikan dengan Allah, tidak ada alasan untuk tidak merelasikan dengan Tuhan. Kalau kita mengerti poin ini, maka pertanyaan dalam kehidupan ini bukanlah soal apakah saya lebih sehat atau sakit-sakitan –itu tidak terlalu penting—tapi apakah kita, dalam segala keadaan, bisa selalu menjaga relasi kita dengan Tuhan. Inilah Kekristenan.
Terakhir, tadi kita mengatakan bahwa Mazmur ini, entah bagaimana, ditransformasikan menjadi mazmur pengakuan dosa (penitential). Ini wajar, karena waktu kita membicarakan tentang sakit-penyakit, maka secara teologis dosa juga adalah penyakit; dosa dimengerti sebagai penyakit rohani. Dengan demikian transformasinya mulus, waktu pemazmur di sini mengatakan “sembuhkanlah aku”, maksudnya adalah ‘sembuhkanlah dari dosa-dosaku yang mengakibatkan penyakit rohani ini’. Artinya, Mazmur 6 ini memang tidak bisa dimengerti hanya dalam pengertian jasmani belaka, tapi juga di dalam pengertian rohani.
Mengaku dosa itu untuk apa? Sekali lagi, tujuannya tidak lain tidak bukan adalah pemulihan relasi. Orang mengaku dosa supaya dia diampuni oleh Tuhan, lalu dia diampuni; berarti ini bicara pemulihan relasi –lagi-lagi tentang relasi.
Kita ini orang-orang yang sudah ditebus oleh Yesus Kristus, supaya kita bisa mengalami kekayaan relasi dalam kehidupan kita. Relasi untuk berani minta, berani meratap kepada Allah, termasuk waktu Allah sedang murka. Relasi berdoa, tapi juga relasi memuji. Relasi kita beribadah, relasi kita menyisihkan sebagian uang ketika kita memberikan persembahan kepada Tuhan. Relasi doksologis memberikan semua kemuliaan kepada Tuhan. Dan selain itu, juga relasi dengan sesama manusia.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading