Ini mazmur yang cukup panjang, ada 21 ayat, tapi aslinya lebih panjang lagi karena pasal 9 dan 10 dalam Septuaginta merupakan 1 mazmur. Dalam Alkitab Ibrani dijadikan 2 nomor, karena mereka ragu-ragu dalam hal bahwa pasal 9 dan 10 termasuk yang disebut acrostic psalm, seperti Mazmur 119 (maksudnya, mazmur ini dimulai dengan alfabet berurutan seperti A, B, C, D, E, dst. dalam huruf Ibrani), tapi beberapa ayat di pasal 10 ada yang kurang sempurna susunan hurufnya, sehingga ada yang membagi jadi 2 mazmur yang berbeda. Meski demikian, sebetulnya cukup tepat menjadikan kedua pasal ini sebagai satu mazmur. Cukup banyak tafsiran yang menjadikan kedua mazmur ini sebagai 1 bagian, bukan 2 nomor/pasal.
Berhubung Mazmur ini ditulis dengan cara acrostic, kita agak sulit mengategorikan Mazmur ini termasuk mazmur apa, karena ada campuran di dalamnya. Di mazmur ini ada doa permintaan tolong yang individual (individual prayers of help) –sehingga merupakan mazmur permintaan tolong– tapi juga ada bagian yang bisa masuk dalam kategori nyanyian syukur (song of thanksgiving). Memang keduanya bisa hadir dalam kehidupan kita hari ini; kita minta tolong, lalu setelah ada pertolongan Tuhan, kita bersaksi dan memuji Tuhan. Dalam hal ini, tema yang penting di sini adalah bagaimana pemazmur memosisikan diri sebagai orang yang rendah, yang miskin, yang menderita (the lowly/the poor/the afflicted); dikontraskan dengan musuh-musuh, yang dalam Mazmur ini disebut “bangsa”, yaitu bangsa yang tidak mengenal Allah, bangsa yang melupakan Allah. Ini cocok sekali, terutama waktu Mazmur ini diresepsi di zaman post exilic (zaman setelah pembuangan).
Mazmur ini ditulis sebagai Mazmur Daud. Memang bisa saja awalnya Mazmur ini betul-betul dari Daud, tapi kemudian mengalami kontekstualisasi di zaman setelah pembuangan, khususnya berkaitan dengan pergumulan Israel yang harus menghadapi bangsa-bangsa yang berkuasa atas mereka. Waktu kita bicara tentang ‘bangsa’ dan tentang ‘nasionalisme’, memang konteks di Indonesia agak berbeda dibandingkan kalau kita pakai kosa kata yang sama itu di negara Barat misalnya. Dalam konteks Indonesia, bicara nasionalisme konotasinya positif, dikontraskan dengan gerakan-gerakan keagamaan yang radikal, karena di Indonesia ada pergumulan dengan radikalisme keagamaan. Tetapi kalau di Eropa, istilah ‘nasionalisme’ pengertiannya amat sangat negatif, karena yang disebut Nazi-nya Hitler asalnya dari Nationalsozialismus (nasionalisme). Nasionalisme di situ bukan dimengerti sebagai gambaran yang netral, baik, pluralis, untuk semua agama; nasionalisme di situ dikaitkan dengan gambaran kebanggan atau kecongkakan nasional, yang merasa bangsanya lebih tinggi daripada bangsa lain (nasionalisme dalam pengertian chauvinisme). Dalam hal inilah Israel bergumul dengan bangsa-bangsa yang disebut dengan ‘musuh’.
Gambaran-gambaran seperti ini juga bisa kita baca dalam tulisan-tulisan para nabi, yaitu nubuatan dan teguran yang disampaikan oleh para nabi. Misalnya di ayat 6, mengatakan Tuhan yang menghardik bangsa-bangsa serta membinasakan orang fasik, dst., ini mengingatkan kita pada oracles (ramalan) para nabi, yang didalamnya ada penghakiman terhadap bangsa-bangsa, sebagai musuh-musuh Israel. Di sini kita tidak boleh mengertinya ‘nabi-nabi itu mengatakan kalimat-kalimat ramalan melawan bangsa-bangsa kafir yang bukan Israel, kalau begitu jadi sama lagi, jadi Israel yang chauvinis, dong? Tadi katanya tidak boleh nasionalis yang chauvinis, sebagai bangsa tidak boleh memegahkan dirinya sendiri, lalu adanya kalimat-kalimat kutuk terhadap bangsa-bangsa lain, bukankah itu berarti Israel sedang mengukuhkan dirinya sebagai bangsa yang paling tinggi??’ Saudara tahu, dalam Perjanjian Baru memang betul-betul ada side effect seperti itu. Sampai Yesus datang, tetap Israel tidak bisa menerima, karena mereka terlalu bangga sebagai bangsa pilihan Allah –jatuh ke chauvinisme.
Memang nasionalisme sebagaimana yang dimengerti Hitler menuju ke arah chauvinisme; dan itu berbahaya. Lalu kotbah seperti ini, apa sih urusannya dengan kita? Sepertinya kita tidak ada nasionalisme yang berlebihan sampai jadi chauvisnis; kita tidak ada problem ini, malah mungkin kita kurang nasionalis, jadi sepertinya tidak cocok kotbah seperti ini?
Ada 2 hal yang kita tidak boleh lupa di bagian ini. Pertama, pemazmur di sini bukan dalam posisi yang nasionalis chauvinis tadi, sebaliknya dia dalam posisi yang rendah, yang merasa diinjak oleh orang-orang chauvinis. Yang kedua, kalaupun bagian ini tidak kita mengerti dalam konteks politik, tetap saja bahaya “nasionalis” dalam pengertian chauvinis bisa terjadi dalam komunitas Kristen, ketika tanpa sadar kita seperti jiwa chauvinis. Seseorang pernah cerita kepada saya, salah satu suku/bangsa yang bisa melestarikan budayanya adalah orang-orang Yahudi dan Chinese. Di Jepang ada satu daerah yang pedagang-pedagangnya orang China, dan mereka tidak berusaha belajar bahasa Jepang di sana. Mereka tinggal di Jepang, berdagang di sana, tapi tetap bicaranya bahasa mereka sendiri. Lalu bagaimana kalau pembelinya tidak mengerti? Ya, si pembeli yang harus belajar bahasa mereka. Kita juga bisa ada bahaya ingin mengukuhkan hal semacam ini.
Poin yang saya mau katakan, di sini ada 2 posisi, posisi si rendah yang tertindas dan posisi si nasionalis chauvinis, maka waktu membaca bagian ini kita bisa menempatkan diri di posisi yang satu atau yang lainnya, atau mungkin juga dua-duanya. Dalam hal ini, dua-duanya bisa mengoreksi kita. Saya harap, waktu kita membaca Firman Tuhan, kita juga bisa menempatkan diri kita secara lincah. Jangan cuma menempatkan diri di satu posisi saja. Misalnya waktu membaca cerita Perumpamaan Anak yang Hilang, ada si anak bungsu dan si anak sulung; dalam hal ini kita bisa menempatkan diri kita di mana saja. Kita bisa menempatkan diri di posisi anak sulung, karena mungkin kita adalah orang yang kurang luas hati, tidak bisa menerima bahwa Tuhan mengampuni orang-orang berdosa; dalam hal ini kita menempatkan diri di posisi anak sulung supaya kita bisa berubah. Tapi mungkin saja kita di posisi anak bungsu yang menghambur-hamburkan berkat anugerah Tuhan sampai akhirnya jatuh bangkrut; dan kita perlu bertobat. Bahkan kita juga bisa memosisikan diri –alias belajar– pada keluasan hati sang ayah menerima kedua anaknya, yang sama-sama berdosa itu.
Ketika membaca Mazmur 9 dan Mazmur 10, kita bisa menempatkan diri di posisi yang rendah, yang membutuhkan, yang tertindas; atau kita bisa juga mengoreksi diri, jangan-jangan justru mirip bangsa-bangsa itu yang menindas orang lain, yang terlalu bangga dengan kultur sendiri. Di bagian ini, jemaat –mengikuti Daud—percaya kepada Tuhan/Yahweh, sebagai Raja yang Benar, bahwa Dia bisa membereskan keadaan yang terjadi di dunia ini. Dalam hal ini jemaat, bersama dengan Daud, memosisikan dirinya dalam posisi yang terinjak, sebagaimana kita baca di ayat 10.
Mazmur 9 ini tidak bisa kita mengerti secara historis dalam zamannya Daud saja, karena ada ayat-ayat yang susah dimengerti kalau kita menempatkan hanya pada zamannya Daud saja. Ada perkembangan/kontekstualisasi di dalam zaman-zaman berikutnya. Misalnya ayat 9 dan 10: “Dialah yang menghakimi dunia dengan keadilan dan mengadili bangsa-bangsa dengan kebenaran. Demikianlah TUHAN adalah tempat perlindungan bagi orang yang terinjak (yaitu pemazmur), tempat perlindungan pada waktu kesesakan (yang ditimbulkan oleh bangsa-bangsa)”. Kalau kita mengerti bagian ini hanya dalam zamannya Daud saja, kita jadi bingung, ‘bangsa-bangsa mana yang menginjak kerajaan Daud itu? bukannya itu kerajaan yang besar sekali??’ Saya pikir kita juga sulit menafsir bahwa yang dimaksud dengan ‘bangsa-bangsa’ adalah Saul dan kerajaannya –bukan ke sana tafsirannya, terlalu maksa tafsiran yang seperti ini. Poin yang mau saya katakan, ini adalah pergumulannya Daud pada mulanya, tapi kemudian mengalami kontekstualisasi di zaman setelah pembuangan, ketika Israel betul-betul berada dalam pengalaman terinjak oleh bangsa-bangsa lain.
Di zaman kita, menghayati hal ini secara langsung juga sulit karena bangsa kita sudah merdeka dari sejak dulu, tidak ada bangsa-bangsa yang menginjak kita lagi. Lalu, apakah Mazmur ini tidak berlaku lagi untuk kita? Dalam hal ini, membaca Alkitab pun perlu kontekstualisasi. Meski negara kita sudah merdeka dari dulu, nasionalis chauvinisme semacam itu sampai sekarang masih ada, dan kita bergumul dengan urusan ini. Saya pikir, kita perlu belajar dari kesalahan Israel seperti yang dinyatakan dalam Perjanjian Baru pada masa pelayanan Yesus. Mereka meresponi chauvinisme bangsa lain, dengan chauvinisme juga pada akhirnya. Jadi kacau. Contoh aplikasinya: etnis tertentu di Indonesia, seringkali dipojokkan sebagai yang bukan pribumi (meskipun sudah banyak artikel yang mengatakan di Indonesia tidak ada yang betul-betul pribumi/native –seperti Indian di Amerika– semuanya pendatang dari luar), lalu kita bisa jadi merespons dengan cara yang keliru, yang ikut chauvinis juga, “O, kultur kita punya kelebihannya sendiri, ‘gak kalah sama lu”. Ini bukan jalan Kristen. Kita tidak setuju dengan chauvinis, tapi kita sendiri memperjuangkan chauvinisme untuk etnis sendiri; ini bukan Kristen. Israel juga bergumul dengan hal ini. Mereka tidak kebal terhadap chauvinis nasionalis yang sama, hal ini jelas sekali di Perjanjian Baru, dalam pelayanan Yesus.
Jadi, kalau kita tidak boleh meresponi chauvinisme dengan chauvinisme, lalu apa jalannya? Dalam hal ini kita belajar dari Alkitab, dari pergumulannya pemazmur, dari Daud dan Israel. Pertama, mereka menerima posisinya –yang memang direndahkan, terinjak, terpinggirkan, dianggap marjinal, dianggap minoritas– sebagai suatu fakta. Lalu dalam keadaannya yang tidak berdaya itu, mereka bergantung kepada Tuhan; bahkan keadaan tersebut bisa kita katakan jadi semacam pondasi untuk mereka boleh berseru kepada Tuhan. Mereka bukan menyelesaikan chauvinisme dengan ‘ras kita juga spesial, kultur kita juga unik bahkan lebih daripada kamu’ –ini menyelesaikan chauvinisme dengan chauvinisme juga — sebaliknya, sebagai individu atau komunitas yang terinjak, mereka menjadikan ketidakberdayaan mereka sebagai dasar untuk berseru kepada Tuhan. Itu sebabnya Perjanjian Baru mengatakan “berbahagialah mereka yang miskin, mereka akan memiliki Kerajaan Allah” (dalam Injil Matius bagian ini terjadi spiritualisasi menjadi “berbahagialah yang miskin di hadapan Allah”, tapi dalam Lukas tidak ada spiritualisasi; dikatakan dalam Lukas: “blessed are the poor”, bukan “blessed are the poor in spirit”).
Tuhan itu telinganya terbuka, dan khususnya dekat dengan orang-orang yang tertindas dan yang miskin. Orang-orang yang bergantung, yang tidak tahu harus pergi ke mana, mereka inilah yang bisa mengantisipasi kepemerintahan Tuhan. Mereka inilah orang-orang yang sudah dekat sekali dengan Kerajaan Allah. Dengan demikian, kita musti belajar merayakan kerentanan kita, serta posisi kita yang terpinggirkan dan dianggap minoritas. Kita menerima itu. Tapi, kalau kita menjawab dengan chauvinisme balik, yang terjadi adalah kita akan mendemonstrasikan superioritas kultur kita, dan akhirnya kita mengambil jalan yang sama dengan nasionalis chauvinis tadi. Dalam Mazmur, yang terjadi bukan itu. Daud dan Israel tidak berusaha untuk klaim keunikan Israel yang tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain. Kita tidak baca yang seperti itu di Mamzur 9 ini. Sebaliknya, justru dengan terbuka akan kerentanan dan kerapuhan diri mereka yang terinjak, itu menelanjangi dan membongkar chauvinisme serta nasionalisme yang keliru.
Satu kalimat dari tafsiran mengatakan: “The description of the conduct of the wicked are not employed a merely formal way; they are meant as serious analysis of what nations are like”. Intinya, di dalam ketidakberdayaan Daud, dan pemazmur, dan Israel, justru dalam Mazmur ini ditelanjangi kesombongannya bangsa-bangsa, spirit chauvinis dan nasionalis itu –yaitu dengan kita menerima kerentanan diri kita. Saya pinjam perspektif salib: Yesus, waktu di atas kayu salib, Dia juga rentan, sangat rapuh, dan penuh dengan kehinaan; dan justru dengan gambaran seperti ini Dia menelanjangi betapa rusaknya dunia. Kemuliaan yang palsu Kekaisaran Roma, kemuliaan yang palsu pemimpin-pemimpin agama Yudaisme, ditelanjangi justru melalui Yesus yang telanjang di atas kayu salib. Yesus bukan membongkar kepalsuan kemuliaan Romawi dengan menyatakan ‘Saya ‘gak kalah mulia daripada Romawi, Saya punya berlaksa-laksa pengikut, Romawi sih ‘gak ada apa-apanya dibanding Saya’ –bukan itu cara yang dipakai Yesus. Kalau Yesus pakai cara ini, akhirnya chauvinisme dibalas dengan chauvinisme juga –dalam hal ini dengan “chauvinisme Kerajaan Allah”. Yesus bukan membongkar kepalsuan kemuliaan mereka yang fana itu dengan menyatakan ‘Saya ‘gak kalah mulia, kultur Saya juga sangat superior’, sebaliknya Dia membiarkan diri-Nya dalam keadaan dilukai, disakiti, dan akhirnya diseret sampai ke atas kayu salib. Dengan itulah Dia membongkar dan menelanjangi kecongkakan dunia ini. Inilah yang kita belajar dari Mazmur 9; ini theology of the cross.
Tidak menjawab kemuliaan chauvinisme bangsa dengan menyatakan kemuliaan kultur kita sendiri, adalah berjalan di dalam jalan salib. Identitas kita terutama ada di dalam salib, bukan di dalam ras/kultur kita sendiri. Kalau kita cuma berputar-putar dalam urusan ras, kultur, partai politik, dsb., tidak akan ada penyellesaian di dalam dunia ini. Dengan pemazmur menempatkan dirinya sebagai yang miskin, yang terinjak, yang memang tidak berdaya, dia justru menyatakan kepalsuan kemegahan bangsa-bangsa yang nasionalis chauvinis itu, bahwa ternyata nasionalisme chauvinisme seperti itu hanya melayani kemegahan ras/bangsa/suku mereka sendiri. Ini yang dibongkar di Mazmur 9.
Tujuan dalam kehidupan orang-orang yang mengejar nasionalis chauvinisme adalah penekanan terhadap pencapaian, tidak mau dinyatakan kalah, lemah, rentan, dsb. Padahal bangsa-bangsa ini menindas terhadap yang lemah, mereka tidak takut akan Allah, mereka pikir mereka tidak perlu mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan, dan pada akhirnya mereka lupa bahwa dirinya fana. Istilah bahasa Indonesia dalam kalimat “bangsa-bangsa itu sebetulnya manusia saja”, sepertinya kurang berarti; dalam bahasa aslinya, waktu dipakai istilah enosh, maksudnya adalah manusia dalam pengertian manusia yang melayang lenyap, mahkluk yang segera akan lewat, mahkluk yang mortal. Tapi bangsa-bangsa ini berpura-pura diri mereka kekal, bahwa mereka bisa ada selama-lamanya dan kemuliaan mereka bisa terus diingat orang. Itu sebabnya ada motif ‘ingatan’ yang indah di sini, dikontraskan dengan mereka, bangsa-bangsa yang melawan Allah itu dengan berusaha membuat dirinya kekal dan ingatan orang atas pencapaian mereka terus ada (kekal).
Saudara mungkin pernah baca cerita Qin Shi Huang yang mau hidup kekal, lalu dia menyuruh dokter istana menemukan ramuannya. Akhirnya dokter istana menemukan merkuri (air raksa), dan kaisar ini minum air raksa, karena dia ingin abadi. Inilah pergumulannya manusia sejak dulu –ada kemiripan. Ini penyakit dalam kultur budaya, bukan saja dalam Chinese tapi juga yang lain, yang ingin diingat terus selama-lamanya. Kalau melihat kebudayaan Mesir, juga sama. Firaun mendirikan patungnya supaya dia diingat juga; kalau dia mati, orang melihat patungnya, dan tetap akan ingat dia. Nama-nama kota besar yang diberikan sesuai nama pembesar-pembesar, juga supaya nama mereka diingat selama-lamanya. Kalau kita sendiri juga punya gerakan seperti itu dalam hidup kita, meninggalkan semacam legacy supaya diri kita diingat selama-lamanya, saya pikir itu berarti kita lebih mirip orang chauvinis daripada orang Kristen. Gerakan hati yang seperti ini sebetulnya kafir, bukan Kristen.
Di ayat 7 dikatakan: “Musuh (bangsa-bangsa itu) telah habis binasa, menjadi timbunan puing senantiasa: kota-kota telah Kauruntuhkan; lenyaplah ingatan kepadanya”. Kita, yang membangun dalam kehidupan ini segala sesuatu supaya orang mengingat kita, supaya sampai kita mati pun tetap orang bisa ingat kita, maka Tuhan akan hancurkan itu semua, karena Tuhan tidak menghendaki itu. Sebaliknya, ayat 12-13 adalah ayat yang indah, merupakan keyakinan iman pemazmur: “TUHAN, yang bersemayam di Sion … Dia, yang membalas penumpahan darah, ingat kepada orang yang tertindas”.
Di dalam dunia ini orang berlomba-lomba supaya nama mereka diingat. Itulah yang dilakukan bangsa-bangsa, segala sesuatu supaya mereka diingat secara kekal kebesarannya. Tapi Tuhan akan menghancurkan itu. Sebaliknya, orang yang tertindas, yang rendah, yang miskin, yang tidak berdaya, itulah yang akan diiingat oleh Tuhan. Ada kontras di sini; dunia berusaha diingat oleh dunia, tapi orang saleh diingat oleh Tuhan, bukan oleh dunia –diingat oleh dunia itu tidak penting. Kontras yang kedua, bangsa-bangsa berusaha supaya mereka diingat, mereka berusaha membeli agar ingatan kepada mereka kekal. Tapi, hal dilupakan atau diingat, itu adalah anugerah Tuhan. Itu bukan sesuatu yang kita beli. Itu bukan sesuatu kita usahakan. Itu adalah sesuatu yang diberikan oleh Tuhan.
Entah bagaimana, di dunia ini ada semacam paranoia, takut kalau kita dilupakan dan tidak diingat. Tidak usah jauh-jauh, kadang-kadang dalam suatu pekerjaan yang kita berbagian di dalamnya, atau pernah berbagian di awal, dan pekerjaan tersebut berkembang terus sampai akhirnya jadi, dan ketika jadi, orang lupa bahwa kita pernah berbagian, di situ kita seperti rasa tidak senang. Saya musti diingat dong, ini dulu ada jasa saya lho, saya termasuk yang memulai. Ini penyakit. Ini juga mungkin terjadi dalam lingkup sangat kecil yang disebut keluarga. Kita tidak mau kalau anak lupa jasanya kita sebagai orangtua. Ini penyakit yang begitu kronis dan akut. Memang kita bukan mau mendidik anak-anak supaya melupakan kita –itu namanya mendidik supaya kurang ajar– tapi kalau kita sendiri selalu ada kebutuhan untuk diingat dan diingat jasanya, kita jadi mirip bagsa-bangsa ini daripada mirip pemazmur.
Hidup kita ini berarti karena kita diingat oleh Tuhan, bukan karena kita berusaha mendapatkan ingatan orang lain, membelinya, mengusahakannya, dsb. Kita musti bebas dari berhala ‘mau diingat orang lain’ ini, karena jika tidak, kita sulit mengerjakan pekerjaan Tuhan. Kalau kita tidak bisa bebas dari hal ini, akhirnya kita ternyata bukan mengerjakan pekerjaan Tuhan, tapi mengerjakan sesuatu untuk bisa dapat stempel legacy yang membuat orang selalu ingat kepada kita. Itu berarti bukan pekerjaan Tuhan, tapi suatu pekerjaan yang membangun nama saya sendiri. Perhatikan, hal ini bisa terjadi dalam lingkup yang sangat besar/makro, seperti negara, dan juga sampai pada konteks mikro, yaitu keluarga. Semuanya bisa terjangkiti “nasionalis chauvinis” seperti ini. Tetapi, kita dipanggil untuk menghidupi Injil.
Kita dipanggil untuk menghidupi cerita salib Kristus. Bukan mengusahakan supaya diri kita bisa diingat secara permanen di dalam dunia ini, melainkan bahwa dalam kesementaraan kita, kita yang melayang lenyap ini memberi diri kita, dan Tuhan yang mengingat kita. Tuhan, yang mengingat kita itu, Dia betul-betul selama-lamanya waktu mengingat kita. Sedangkan diingat oleh manusia, alangkah tidak kekalnya. Contoh sederhana, kita tentu punya anggota keluarga yang sudah meninggal, misalnya orangtua atau kakek, dsb. Bisa jadi kita termasuk orang yang sangat dekat dengan dia. Sekarang saya mau tanya, Saudara ingat dia berapa lama? Sampai 17 tahun sesudah dia mati Saudara masih ingat terus? Setiap malam, atau seminggu sekali, Saudara masih ingat terus? Jangan lupa, kita anggota keluarganya. Di sisi lain, suatu saat kita akan mati, lalu apakah anak kita akan ingat kita terus sampai 17-20 tahun setelah kita meninggal? Jawabannya tentu kita semua tahu: “Kayaknya tidak begitu”. Inilah maksudnya. Bicara tentang diingat manusia, kekuatannya berapa besar?? Itu sebabnya, kita yang mengandalkan ‘diingat oleh manusia’, alangkah kasihannya. Sebentar saja sudah dilupakan orang.
Beberapa nama kota di dunia ini diberikan berdasarkan nama seseorang; misalnya kota San Fransisco. Sekarang saya tanya, waktu mendengar kata ‘San Fransisco’ berapa orang yang teringat lalu buka biografinya Santo Fransiskus Asisi? Mungkin tidak ada. Kota itu namanya San Fransisco, nama yang diabadikan berdasarkan nama Santo Fransiskus, tapi tidak ada yang peduli dengan nama Fransiskus itu. Kalau Saudara dengar ‘San Fransisco’ bisa jadi Saudara terpikir makanan clam chowder yang ada di daerah-daerah pantai di San Fransisco. Tidak ada yang peduli sama sekali nama kota itu berasal dari mana. Zaman dulu ada nama kota Aleksandria untuk mengingat Alexander The Great. Tapi sampai berapa lama, mendengar nama Aleksandria berarti kita harus ingat Alexander The Great?
Bangsa-bangsa, orang-orang yang besar menurut dunia, itu semua mortal, cuma enosh. Mereka akan dilupakan. Bukan saja dilupakan oleh Allah, tapi dilupakan oleh dunia juga! Namun mereka yang berharap kepada Tuhan, mereka akan diingat oleh Tuhan. Jadi, waktu kita bekerja, kita bisa bekerja dengan bebas tanpa disertai motif-motif campuran karena takut dilupakan lalu musti bikin semacam tanda tangan supaya diingat bahwa ini adalah ‘karya saya’, dsb. Campuran-campuran seperti ini tidak perlu ada. Dalam motivasi yang bersih itulah, baru kita bisa melayani Tuhan dan mengasihi Tuhan dengan bebas. Nama kita dilupakan oleh dunia, itu sangat tidak apa-apa, memang tidak ada pentingnya, silakan dilupakan saja. Tapi penghiburannya kalau pekerjaan kita diingat oleh Tuhan, kalau kita tidak dilupakan oleh Tuhan.
Mazmur ini dalam Alkitab LAI diberi judul “Allah, Pelindung Orang-orang Saleh”. Orang-orang saleh ini adalah orang-orang biasa yang tidak bisa meninggalkan “tanda tangan” mereka di dunia ini, tapi mereka adalah orang-orang yang berbahagia karena mereka diingat oleh Tuhan. Kiranya kita menjadi orang-orang yang seperti ini, orang-orang yang diingat oleh Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading