Hari ini saya akan khotbah topikal, tentang mendidik anak, maksudnya seputar kehidupan keluarga. Ini di-encourage dari satu pergumulan karena kita mencoba untuk mengadakan ibadah keluarga (family worship), maksudnya ibadah yang integral dari semua umur, bukan hanya orang dewasa saja lalu bikin segregasi Sekolah Minggu dan Remaja di kebaktian yang lain. Yang seperti itu memang lebih gampang, tapi sebetulnya agak sulit dasar teologisnya. Saya kadang-kadang nonton serial TV komedi, “Young Sheldon”; dan di situ Young Sheldon yang agnostik saja bisa ikut family worship, lalu kalau kita tidak bisa, itu keterlaluan –meski ini cuma film di TV. Kita ini banyak kekurangan kalau dibandingkan dengan sejarah Gereja. Hal ini tentu saja juga bagian dan tantangan dari para hamba Tuhan, dalam hal khotbah yang sulit diterima untuk anak-anak Sekolah Minggu atau Remaja; lalu supaya mereka bisa mengerti, akhirnya bikin kelas sendiri, dsb. Tapi yang seperti ini secara historis dan biblis tidak terlalu ada dasarnya.
Sekolah Minggu dimulai kira-kira abad 19. Waktu itu orang mendidik anak-anak di Sekolah Minggu bukan cuma dengan cerita-cerita Alkitab; Sekolah Minggu itu sebenarnya semacam sekolah, di situ mereka mengajarkan tulis-menulis, dsb., karena waktu itu tidak ada sekolah umum seperti sekarang. Jadi Sekolah Minggu pada waktu itu mengajarkan bukan hanya urusan teologi atau cerita-cerita Alkitab, melainkan juga adalah sekolah kehidupan, sedangkan kita sekarang sudah ada sekolah di luar sana. Saya bukan berarti mau membubarkan Sekolah Minggu, tapi masalahnya hal ini diperpanjang terus sampai pada remaja yang dianggap masih tidak bisa gabung dengan family worship.
Beberapa waktu lalu seorang profesor Puritan, Joel Beeke, mengajar tentang puritan, lalu ada pertanyaan dilontarkan pada dia, “Bagaimana dengan family worship?” Dia menjawab dengan afirmatif, bahwa memang seharusnya seperti itu; kalau pun ada kesulitan, seharusnya umur 10 tahun (ini konteks di Barat), sudah bisa mendengar khotbah orang dewasa. Kita di sini mau sampai umur berapa?? Umur 17 baru dilibatkan dalam family worship? Lalu kita merasa ‘dia tidak bisa mengertilah, khotbahnya terlalu rumit’, dsb. Sekali lagi, dalam hal ini tantangan juga untuk para pengkhotbah, kita musti menyesuaikan. Tapi begini, kalau pun ada gap, sebetulnya siapa yang seharusnya menjelaskan? Orangtua. Tetapi orangtua sekarang seperti menitipkan anak di kursus waktu di gereja, seakan-akan semacam child-care rohani selama 2-3 jam, sementara di rumah tidak gubris bagian itu sama sekali, ‘kan sudah saya les-in di gereja, sudah cukup dong, masa sih ngomongin itu lagi di rumah; kita ngomongin hal yang lain, tentang masa depan anak, tentang melanjutkan bisnisnya papa mama’, dsb. Ini kacau. Injil jadinya tidak mewarnai dan tidak mengubah seluruh aspek kehidupan kita, hanya masuk dalam aspek-aspek yang sempit; ada aspek yang sepertinya tidak tersentuh oleh Inijil dalam kehidupan kita. Dalam hal ini, kita ini ada problem; bukan cuma GRII Kelapa Gading, tapi Gereja.
Kita mau menjawab ini bukan cuma dengan jawaban-jawaban praktis, apalagi pragmatis, tapi musti melihat Alkitab, apa pendasarannya dan kenapa kita musti melihatnya seperti itu. Kita membaca 2 bagian Alkitab, satu Perjanjian Lama dan satu Perjanjian Baru, yaitu Mazmur 127 “Nyanyian Ziarah Salomo” dan Efesus 6:1-4. Dua bagian ini saya percaya saling melengkapi.
Pertama, dalam Mazmur 127 ayat 1 dimulai dengan kalimat: “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya” . Ayat ini lumayan sering dipakai waktu house warming, waktu orang selesai membangun rumah lalu pendetanya diminta untuk mendedikasikan/menahbiskan –atau apapun istilahnya– rumah itu; dan dia mengatakan, “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya” . Memang tidak salah, dan oke juga, tapi ‘rumah’ yang dimaksud di sini bukan bangunan rumahnya melainkan rumah tangga (household). Kalau kita sibuk membangun rumah secara bangunannya, tapi tidak membangun yang ada di dalamnya –yaitu anggota keluarga– itu masalah. Sama juga seperti waktu di dalam gereja, kalau kita sibuk mengurusi dekorasi ini dan itu –yang tentu saja bukan tidak penting– tapi kita tidak memberi penekanan pada pembangunan jemaat sebagai batu-batu hidup, kalau bagian ini tidak jalan, lalu dekorasi-dekorasi tadi untuk apa?? Kalau di dalam rumah kita punya anak bermasalah, tapi Saudara sibuk menghias gorden, dsb., itu aneh ‘gak sih?? Kalau ‘anak saya bermasalah’, lalu ‘iya, saya ganti gordennya, kayaknya musti ganti mebel’, dsb., itu aneh sekali. Jangan-jangan itu merupakan suatu pelarian di dalam kehidupan kita; karena kita ini gagal membangun yang substansial, maka kita kemudian melarikan diri kepada hal-hal yang somehow lebih gampang –urusan konstruksi bangunannya– dalam rumah Saudara dan saya.
Yang dimaksud rumah di sini sebetulnya adalah rumah tangga, kalau bukan TUHAN yang membangun, sia-sia orang membangunnya. Ini seperti agak tension. Kita tahu, sebagaimana Pak Jethro sering kali bicara, kita tidak harus selalu berpikir dalam dualisme dikotomi, ada banyak hal sebenarnya sinergis, Tuhan bekerja dan kita bekerja; tapi di dalam Alkitab juga ada bagian-bagian yang seperti memberikan tempat untuk ‘either or’, misalnya ‘Tuhan menjadi semakin besar’, maka berarti saya menjadi semakin kecil. Ini bukan sinergis, tidak bisa kita mengatakan ‘Tuhan jadi semakin besar, jadi saya juga ikut besar’; hal ini bukan konsep sinergis tapi konsep ‘either or’, either Tuhan yang makin besar dan kamu kecil, atau kamu besar dan Tuhan jadi kecil. Di dalam bagian mazmur yang kita baca ini memang sedikit kompleks; di satu sisi tentu saja ada gambaran sinergisnya, di dalam pengertian kita juga punya tanggung jawab untuk membangun rumah itu. Namun ayat ini mengatakan “jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah”, jadi ternyata ada kemungkinan manusia membangun rumah tangganya tanpa Tuhan. Manusia membangun sih, manusia bukan tidak bertanggung jawab, manusia mungkin sangat berambisi membangun keluarganya, tapi ternyata bukan Tuhan yang membangun –dan itu sia-sia. Apa sebenarnya yang dikatakan di sini? Sederhana saja, ini bicara teologi anugerah; intinya adalah teologi anugerah, ‘kalau bukan Tuhan yang membangun rumah tanggamu, sia-sialah usahamu membangun rumah tanggamu, seberapapun kamu ngotot dan kerja keras, dsb.’
Hal ini bahkan ditegaskan lagi di ayat 2, yang adalah teologi anugerah juga: “Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah —sebab Tuhan memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur”. Ayat ini tentu tidak boleh ditafsir secara salah; kita tahu tidak ada orang bodoh yang kemudian menafsirkan ‘O, ternyata untuk dapat makan, kita musti banyak tidur’. Saya baru saja membaca satu kalimat –kayaknya bukan meme tapi dari seorang dokter di Jepang kalau tidak salah– yang mengatakan demikian: ‘kalau mau menjaga jantung supaya kuat, caranya bukan olah raga, tapi banyak tidur.’ Orang yang suka tidur pasti suka dengan teori dokter kayak begini. Lalu dokter tadi memberikan ilustrasi begini: ‘mana ada orang yang punya mesin, misalnya mobil, yang supaya awet maka dipakai lebih cepat, makin ngebut di tol makin awet?? tidak akan lebih awet, demikian juga jantungmu, kalau jantungmu itu kamu pacu dengan latihan kardiovaskuler, mungkin tambah cepat rusak; yang perlu adalah tidur cukup’. Ini cuma contoh, ini bukan firman Tuhan, tapi jangan-jangan ayat tadi juga ditafsir seperti itu, ‘banyak tidur; makin banyak tidur, makin tidak kerja, makin mengerti anugerah Tuhan’. Tapi sudah pasti bukan ke sana pengertiannya. Kalimat ini mungkin pakai bahasa hiperbola, maksudnya sederhana: ‘kamu bangun pagi-pagi, duduk-duduk sampai jauh malam, makan roti yang diperoleh dengan susah payah, dengan kerja kerasmu itu, tapi kamu ‘gak sadar bahwa apa yang ada dalam hidupmu itu diberikan oleh Tuhan sebetulnya’. Lalu kenapa ditulis ‘pada waktu tidur’? Karena waktu tidur, orang benar-benar tidak ngapa-ngapain; waktu tidur, orang tidak bekerja. Dan, Tuhan memberikan roti kepada yang dicintai-Nya, justru waktu orang itu tidur; maksudnya: anugerah Tuhan tidak bergantung pada jerih lelahmu. Kalau Tuhan bukan yang membangun, kalau Tuhan bukan yang memberikan roti, kalau Tuhan bukan yang memberikan keturunan/anak dalam kehidupan Saudara dan saya (ayat 3), maka sia-sia. Saudara mau coba usaha sekeras apapun, kalau Tuhan tidak memberikan, maka sia-sia. Jadi, ayat 1,2,3, ini melodinya sama, bicara tentang anugerah Tuhan.
Apa artinya anak-anak adalah anugerah Tuhan? Di ayat 3 ini dikatakan anak-anak adalah ‘milik pusaka’ (warisan/heritage). Waktu Saudara berpikir tentang ‘warisan’, kita teringat apa? Waktu dikatakan anak-anak adalah warisan yang diberikan Tuhan, spontan saja Saudara pikir apa untuk keturunanmu? Melanjutkan bisnis kita? Tentu itu tidak harus salah. Untuk menjaga nama baik keluarga? Atau apa? Kalau kita membaca di bagian ini, menarik bahwa di sini Saudara diajak untuk melihat anak-anak yang diberikan Tuhan dalam kehidupan kita seperti anak panah di tangan pahlawan. Metafor yang menarik, anak-anak digambarkan seperti anak panah. Apa maksudnya? Ini bukan perlombaan memanah, ini bicara tentang perang; bahwa anak-anak diberikan di dalam kehidupan Saudara dan saya untuk terlibat di dalam peperangan rohani.Hal tersebut diteguhkan sekali lagi di ayat 5, waktu dikatakan tentang musuh-musuh. Waktu kita bicara tentang warisan, maksudnya apa? Apa pentingnya keturunan dilanjutkan? Dari perspektif teologi Kristen, yaitu supaya ada yang bisa melanjutkan peperangan di dalam generasi berikutnya. Anak-anak sedini mungkin perlu mengerti bahwa hidup ini adalah peperangan rohani (spiritual war/spiritual battle).
Orang zaman dulu itu sudah terpatok, kalau namanya John Taylor, maka anaknya juga musti taylor, tidak bisa jadi sailor. Kalau seseorang adalah tukang jahit, maka anaknya juga tukang jahit lagi, cucunya juga tukang jahit lagi, dst., terpatok banget; begitu juga yang sailor. Nama belakang sudah jadi seperti calling-nya; dan calling ini generasi demi generasi. Mungkin sampai pada zaman Medieval sampai Reformasi, wajarlah yang kayak begini –dan ada keindahannya juga– namun di dalam theology of works era post-reformasi, gambaran seperti ini agak dikritik, karena kurang lincah. Di zaman kita sekarang, ekstrim yang lain lagi, yaitu ‘kutu loncat’, tiap 2 tahun sekali pekerjaannya berubah. Ini ekstrim yang lain, terlalu lincah, sedangkan dulu terlalu statis konsep calling-nya, sampai bergenerasi-generasi diteruskan. Sekarang orang tidak berpikir seperti itu lagi, orang sudah lebih memberi kebebasan anaknya mau bekerja apa dan menjalankan calling-nya. Puji Tuhan untuk hal itu, kita bersyukur. Tetapi, bahkan dari dulu pun, yang “nama”-nya sama terus (maksudnya pekerjaan atau calling-nya), dari perspektif Kristen itu bukan yang paling penting. Menurunkan keahlian orangtua kepada anak, itu bukan yang paling penting; sedangkan mengajarkan anak untuk “berperang”, itu penting menurut Mazmur 127 —“Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda”, ayat 4.
Ayat 5: “Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang”. Apa yang seharusnya membuat Saudara dan saya malu sebagai orangtua? Mungkin bukan karena anak kita tidak pernah jadi juara, anak kita bukan orang penting, pekerjaannya biasa-biasa saja; kita musti malu kalau keturunan selanjutnya tidak bisa berperang, kalau keturunan selanjutnya tidak mengerti artinya spiritual battle.
Saya tinggal di Singapur; dan menarik bahwa secara fenomena, orang yang tua-tua, yang tahu dulu Singapur itu seperti apa, somehow hidupnya lebih content, lebih bersyukur; sedangkan anak-anak muda, yang lahir sudah dalam situasi ibaratnya first world country, banyak komplain, rasa lebih berhak. Ini menakutkan. Anak-anak saya juga tinggal di Singapur, mereka orang Indonesia tapi budayanya budaya Singapur; dan ini kalau tidak dibereskan, masalah. The sense of entitlement itu tinggi sekali, khususnya untuk generasi yang lahir dalam keadaan sudah mapan, tidak tahu dulu susahnya kayak apa, tidak ada fighting spirit –meminjam istilahnya Pdt. Stephen Tong. Tidak mengerti susahnya, tahu-tahu datang dalam keadaan gereja sudah jadi, sudah lumayan ada reputasi misalnya, tidak tahu dulu susahnya bergumul itu seperti apa. Ini mentalitas yang lain; dan kalau tidak dididik oleh orangtuanya, akan menghasilkan orang-orang yang tidak bisa perang. Kalau tidak bisa perang, lalu bagaimana? Kalah.
Kadang-kadang kita bisa ada dalam suatu keadaan yang sepertinya damai, tapi damainya karena sudah dikuasai musuh; bukan damai yang dari Tuhan, tapi damai karena sudah kalah. Misalnya suatu negara yang kalah oleh negara lain, sudah tidak perang lagi, jadi damai, tapi damai karena sudah kalah. Jadi, bisa ada kedamaian yang seperti ini, damai karena lack of spiritual war, lack of spiritual battle. Bagian itu tidak ada, maka damai –berdamai dengan musuh. Masalahnya, itu musuh yang jahat. Kalau Saudara pergi ke negara-negara tertentu, keadaannya damai, tapi tidak terlalu ada kehidupan juga dalam Kekristenan. Ini damai karena sudah kalah. Sudah tidak ada lagi yang berani berperang. Damai saja. Ini mempermalukan. Keturunan yang tidak meneruskan perjuangan, itu mempermalukan, baik secara Gereja maupun dalam kehidupan keluarga. Tetapi siapa yang tidak akan mendapat malu, yaitu yang terus melatih anak-anaknya berperang, mempersiapkan mereka, sudah dari kecil dijadikan senjata, yang artinya anak ini tahu apa artinya berperang.
Apa sih peperangan itu? Kalau dalam Perjanjian Lama, Saudara lihat penekanannya seperti ditekankan dalam buku-buku parenting yang sangat baik; buku-buku parenting yang sangat baik tidak membicarakan behaviour, itu bukan bagian yang paling penting, tapi kalau dari perspektif Kristen adalah bicara tentang arah hatinya manusia. Waktu bicara arah hati manusia, itu berarti urusannya dengan berhala (idolatery).Orangtua, tanggung jawabnya pertama tentu minta belas kasihan Tuhan supaya dia bisa beribadah dengan benar di hadapan Tuhan dan hidupnya tidak dikuasai berhala; dan kemudian dalam sensitifitas yang diberikan oleh Tuhan, dia bisa mengenali berhala dalam kehidupan anak-anaknya. Anak-anak itu ada berhala; bukan cuma orang dewasa yang ada berhala. Jangan pikir anak-anak itu tabularasa, orang polos, lalu baru mulai jadi jahat setelah berjumpa dengan masyarakat misalnya; anak-anak dari kecil sudah ada berhala. Karena apa? Karena kita ini mewarisi dosa asal (original sin). Lalu apa pertempurannya? Ini: ibadah yang sejati (true worship) versus penyembahan berhala. Kita sendiri sebagai orangtua tidak kebal, maka kita musti menjaga hari dalam hal ini; jangan kita sendiri juga dikuasai oleh berhala. Yang paling celaka, orangtuanya dikuasai berhala, lalu turun kepada anak-anaknya, mengajak anak-anak kepada penyembahan berhala.
Orangtua yang di dalam kehidupan ini terus-menerus mementingkan uang, uang, dan uang, maka dia mengajak anak-anaknya menyembah berhala juga, karena bagi dia yang paling penting, yang jadi juruselamat, adalah uang –dan itu penyembahan berhala namanya. Tetapi, seseorang yang tahu bahwa juruselamat bukanlah uang melainkan Tuhan sendiri, bahwa penghiburan terbesar bukanlah di dalam uang, maka dia membawa anak-anaknya beribadah kepada Tuhan. Anak-anak punya berhalanya sendiri, mungkin ada juga yang uang, mungkin bukan uang tapi yang lain, baiklah kita minta kekuatan dan pertolongan Tuhan, minta bijaksana Tuhan, untuk melatih mereka di dalam peperangan rohani. Inilah artinya kalau kita bicara tentang ‘anak-anak lelaki adalah milik pusaka Tuhan’. Inilah arti yang pertama-tama bagi kita, dan bukan urusan sekolahnya pintar, kuliahnya di universitas bergengsi, atau apapun lainnya. Memang hal-hal itu tidak harus berarti evil, tetapi pertanyaannya: mereka ini bisa melanjutkan tidak pertempuran-pertempuran rohani di dalam generasi berikutnya; atau menjadi generasi yang lain?
Saya ada grup WA teman-teman SMP, lalu kita suka ngobrol, dsb. Kita pernah diskusi bahwa anak-anak zaman sekarang ini susah, lain, kalau kita waktu sekolah dulu, ditempeleng itu biasa. Saya masih ingat dulu saya pernah salah bawa buku, buku hari Kamis tertukar hari Rabu. Itu sekali-kalinya saya salah bawa buku, dan hari itu pas gurunya iseng suruh keluarkan buku, mau cek bawa atau tidak. Akhirnya benar saja, kena tempeleng. Lalu kalau zaman dulu itu kita lapor pada orangtua, orangtua malah akan bilang, “Ya, salahmu sendiri.” Tapi coba sekarang, kalau anaknya kesenggol sedikit langsung bilang ‘sexual harassment!’, lalu datang ke sekolah, dsb. Rumit sekali. Saudara pernah pikir tidak, anak-anak yang bertumbuh di dalam situasi seperti ini bakal jadi orang-orang apa ya?? Bukan berarti saya setuju model zaman dulu tadi yang tempeleng-menempeleng, itu sudah lewat, tapi sekarang ini menjadi generasi yang somehow terlalu sensitif terhadap kesulitan, terhadap disiplin, dsb., sehingga akhirnya yang harus disajikan adalah model parenting yang luar biasa lunak, dan meninabobokan, dan memanjakan, menciptakan berhala-berhala dalam kehidupan anak-anak, mengajak anak-anak menyembah dirinya sendiri. Celaka. Anak-anak seperti ini tidak mungkin bisa terlibat di dalam perang, karena kita membawa mereka ke dalam suatu pemanjaan yang tidak seharusnya.
Hati-hati, Saudara, dalam bagaimana kita memaknai anak-anak sebagai ‘milik pusaka’ dari Tuhan ini, apa yang sebetulnya kita wariskan. Pendeta Stephen Tong bicara tentang warisan iman. Warisan kepercayaan. Warisan kasih. Warisan pengharapan. Warisan pengenalan akan Tuhan. Dan kalau boleh menambahkan dari perspektif Mazmur 127: warisan keterlibatan di dalam peperangan rohani sejak dini. Hidup ini bukan tentang bagaimana mendapat fasilitas yang lebih baik; itu bukan teologi Kristen. Yang seperti itu, tidak usah Yesus Kristus, tidak perlu. Tetapi, yang distinctively mengikut Yesus, salah satunya ini: bahwa hidup adalah peperangan rohani. Perang mengalahkan musuh-musuh rohani, melawan setan, melawan dosa, melawan ketidakadilan, melawan kemunafikan, melawan abuse of power, dst.
Omong-omong, Saudara dan saya juga tidak kebal terhadap penyalahgunaan kuasa (abuse of power) ini. Itu sebabnya dalam perspektif Efesus pasal 6, dikatakan, “Dan bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu”. Pengajaran ini kontras dengan kehidupan masayarakat Romawi pada saat itu, yang disebut patria potestas (power of a father), yang sangat patriarkis (highly patriarchal) dan punya kuasa, di mana kepala keluarga boleh dibilang kuasanya hampir tidak terbatas terhadap anak-anak mereka; apapun yang dilakukan seorang ayah, dia toh kepala keluarga. Tetapi kemudian Paulus menulis di dalam surat Efesus, orang-orang yang mengenal Kristus, yang mengenal Tuhan, tidaklah demikian. Waktu dia mengatakan ‘jangan membangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu’, itu berarti di dalam masyarakat Romawi memang keadaannya seperti itu, kontras, dan ini tandingannya. Hal ini sangat berkaitan dengan bagaimana kita mengenal Tuhan, Injil itu apa sebenarnya.
Beberapa waktu lalu ada orang mem-posting khotbah dari seorang pendeta yang sangat menekankan kehidupan yang radikal mengikut Tuhan, dsb. Tentu saja itu penting, tapi somehow agak kehilangan pemberitaan tentang anugerah, tentang pengampunan, sehingga dekat sekali dengan ajaran Pelagius, dekat sekali dengan ajaran yang tidak ada tempat untuk pembicaraan anugerah, belas kasihan, pengampunan. Kekristenan itu jalan yang sempit, mengikut Yesus itu jalan yang sempit. Saudara ke kanan sedikit, salah, ke kiri sedikit, salah. Terlalu ke kanan, menjadi ajaran legalisme, menjadi ajaran Pelagianisme, menekankan kesungguhan mengikut Tuhan tapi tidak ada pembicaraan tentang belas kasihan Allah, kasih Allah, anugerah Allah. Kita juga tidak kebal akan hal ini. Saudara jangan pikir kita kebal. Kita bisa sangat menekankan perlunya bersungguh-sungguh untuk Tuhan, bertekun dan berjuang untuk Tuhan, tapi saya mau tanya, Saudara masih bisa dengar tentang anugerah atau tidak? Masih ada atau tidak pembicaraan tentang pengampunan? Ada atau tidak pembicaraan tentang belas kasihan Tuhan? Ada tempat atau tidak untuk toleransi? Atau, yang ada cuma tuntutan, tuntutan, tuntutan? Kekristenan seperti ini pressurized, sangat penuh tuntutan; dan itu bukan Injil. Itu ajaran sesat legalisme.
Saudara perhatikan, ajaran sesat legalisme ini bisa masuk di dalam cara mendidik anak. Cara mendidik anak itu urusannya dengan Injil, bagaimana Injil itu hadir di dalam cara mendidik anak. Tapi ajaran sesat legalisme juga bisa hadir di dalam cara mendidik anak. Menjadi orangtua yang selalu menuntut, kalau anaknya dapat nila A- itu dianggap rata-rata, kurang, ‘apa ‘gak bisa dapat A++ ??’ Terus tidak ada kepuasan, tidak ada rasa syukur. Katanya sih mau meng-encourage, katanya mau mendorong supaya lebih maju, tapi sebenarnya mencekik. Tuhan tidak begitu, lho. Saudara baca di Alkitab, Tuhan tidak begitu. Tuntutan yang tidak ada habisnya seperti ini, itu cuma mengisi egonya orangtua sebetulnya, itu bukan Injil, itu ajaran legalisme. Itu ajaran sesat! Itu Pelagianisme yang masuk ke dalam pendidikan anak.
Atau model yang lain, model yang bukan ‘tiger mother’ tapi ‘turtle mother’ atau entah apa, model yang lunak. Tidak ada disiplin, tidak ada teguran. Model yang memanjakan anak, yang memberhalakan perasaannya anak, yang takut sekali melukai anak, dsb. Ini bidat antinomianisme di dalam pendidikan anak sebetulnya. Bidat antinomianisme itu cuma membicarakan kasih Allah, belas kasihan Allah, no more condemnation, tapi kemudian tidak ada disiplin, tidak ada teguran, tidak ada murka, tidak ada kekudusan –semua bagian itu tidak ada! Dan ajaran bidat yang masuk ke dalam pendidikan anak; bidat antinomianisme yang hadir di dalam mendidik anak.
Saudara, Injil itu jalan yang sempit. Sebagai orangtua, kita ini diundang untuk merefleksikan sifat Tuhan; dan sifat Tuhan itu boleh dikatakan paradoxical. Kita tidak bisa secara sepihak memancarkan kekerasan saja, maksudnya aspek-aspek kekudusan dan kesucian saja, tapi tidak pernah ada belas kasihan dsb. Itu tidak mengenal Tuhan sebetulnya, karena kekudusan Tuhan bukanlah tanpa His mercy and compassion. Tuhan adalah Tuhan yang panjang sabar, Dia tidak gampang murka (slow to anger), namun tentu saja Dia kudus. Tentu Dia bisa murka, dan Dia ada waktunya untuk murka, tapi Dia slow to anger. Memancarkan sifat Tuhan, tidak bisa kita cuma pancarkan sifat-sifat yang cocok dengan temperamen kita saja; misalnya, ‘saya ini orangnya keras, maka saya memancarkannya sifat Tuhan yang keras itu, Tuhan yang menuntut, dsb.’. Sebentar, di Alkitab kayaknya lebih limpah daripada itu gambaran tentang Tuhan. Atau sebaliknya, ‘saya ini orang yang pemaaf, saya ini orang yang agak phlegmatis atau apalah, saya ini orang yang empatinya tinggi, jadi yang direfleksikan cinta kasih, belas kasihan, toleransi, dsb.’, tapi tidak pernah ada teguran, disiplin, bahkan murka. Semua itu tidak ada. Tidak berani murka terhadap anak. Saya tanya, ini jadinya tuhan yang mana, ya; yang tidak pernah murka itu, tuhan yang mana?? Itu injil yang mana?
Di dalam mendidik anak, di dalam menghidupi kehidupan keluarga, hati-hati menghadirkan injil yang palsu. Injil bukanlah cuma ‘apapun yang terjadi dalam kehidupan saya, mau amburadul seperti apapun, pokoknya terakhir masuk surga’. Itu ajaran yang bahaya sekali, ajaran yang tidak mengubah apa-apa di dalam kehidupan manusia. Kehidupan pekerjaan tidak tersentuh, kehidupan keluarga tidak tersentuh, dan banyak hal tidak tersentuh, cuma hari Minggu saja kita merayakan jargon-jargon Kristen. Hari Minggu dipenuhi dengan jargon-jargon Kristen, a gentle reminder, ‘iya, ya, di dalam Kristen ada istilah ini’ –ada istilah murka Tuhan, ada istilah belas kasihan Tuhan, ada istilah predestinasi, ada istilah macam-macam lainnya, tapi bukan sebagai sesuatu yang hadir di dalam keseharian kita.
Saudara, Injil itu sesuatu yang membebaskan. Ada kuasa yang membebaskan di situ, termasuk membebaskan kita waktu berurusan dengan keluarga –dengan istri, dengan suami, dengan anak. Injil ‘kan bicara anugerah; kalau Injil bicara anugerah, kita juga musti menghidupi hal ini juga dalam kehidupan kita. Anak yang diberikan Tuhan di dalam kehidupan kita itu anugerah; anak itu milik Tuhan, bukan milik Saudara dan saya. Jangan memperlakukan anak seperti milik Saudara, di dalam arti Saudara tidak membiarkan Tuhan untuk memiliki dia.
Di dalam hal surat Efesus ini ada suatu diskusi dalam penafsirannya (kadang-kadang di dalam commentary, hal sederhana bisa jadi kompleks, tapi bukan sengaja dibikin kompleks). Waktu Saudara membaca di dalam Efesus 6 ini dikatakan, “tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan”, istilah ‘Tuhan’ di sini secara kasus adalah kasus genitif (penanda hubungan milik), dan genitif ini secara tata bahasa dibedakan lagi ada genitif subjektif, genitif objektif, genitif kualitatif; lalu si bagian ini genitif apa? Saya tertarik dengan satu tafsiran yang mengatakan ini genitif subjektif. Apa artinya genitif subjektif? Sederhananya begini: kalau kita mengatakan ‘kasih Allah’ atau ‘cinta Allah’ (amor Dei, love of God), ini genitif karena ada ‘of God’, tapi genitifnya bisa subjektif dan juga bisa objektif. Kalau ‘Allah’ di sini genitif subjektif, maka ‘love of God’ maksudnya adalah the love of God who loves, kasihnya adalah kasih Allah, Allah yang mengasihi; sedangkan kalau genitif objektif, ‘love of God’ ini maksudnya love to God, kasih Allah dalam pengertian kasih kepada Allah, in the sense of loving God, mengasihi Allah, ini berarti ‘Allah’ nya dalam kasus genitif objektif, bukan genitif subjektif. Dengan demikian, perkataan ‘di dalam ajaran dan nasihat Tuhan’, sudah pasti tidak mungkin dimaksudkan genitif objektif, karena siapa sih yang mau menasehati Tuhan dan mengajarkan Tuhan, tentu tidak mungkin. Jadi ini genitif subjektif. Tapi apa artinya kalau kita bilang ini ajaran dan nasihat Tuhan? Yaitu berarti Tuhan yang mengajar dan Tuhan yang menasihati. Saudara dan saya mengajar dan menasihati anak, karena Tuhan yang mengajar dan menasihati melalui kita; kita ini cuma instrumen saja. Ini konsep sederhana saja. Ini konsep katekisasi sebetulnya, tetapi lihat, berapa seringnya kita gagal di dalam hal ini.
Waktu kita tidak merefleksikan sifat Tuhan, atau waktu kita merefleksikannya cuma sifat-sifat yang tertentu –di satu sisi Tuhan yang melulu mengampuni, yang tidak bisa marah, atau sisi yang lain yang bolak-balik isinya cuma murka, murka, dan murka– itu berarti bukan ajaran dan nasihat Tuhan. Itu merefleksikan siapa?? Tuhan yang asli bukan seperti itu. Itu lebih mirip tuhan-nya antinomianisma dan tuhan-nya legalisme sebetulnya –padahal di sini bilang ‘ajaran dan nasihat Tuhan’. Kalau ‘ajaran dan nasihat Tuhan’, berarti Saudara musti peka, Tuhan maunya apa hari itu. Kalau Tuhan hari itu maunya toleransi, ya, kita toleransi. Kalau Tuhan hari itu menuntut, bahkan menegur dengan keras, ya, kita musti menegur. Tuhan itu lincah; dan kita diminta untuk lincah merefleksikan. Tuhan kita itu bukan batu. Batu itu tidak berubah. Batu itu, biarpun ada orang menangis karena kehilangan anggota keluarga, batu tetap kayak begitu. Saudara menangis dan hatinya hancur, “O, batu, saya lagi sedih… ”, batu tetap kayak begitu; Saudara sukacita, pesta, “Saya hari ini dapat kelahiran cucu…”, ya, batunya tetap kayak begitu. Entah Saudara senang atau susah, ya, dia tetap batu. Apa yang saya mau katakan? Ada orang yang merefleksikan batu, bukan merefleksikan Tuhan. Tidak peduli situasinya apa, dia selalu mengasihi, selalu mengampuni, selalu lunak –mungkin batu yang direfleksikan. Di sisi lain, ada orang yang selalu marah-marah, marah terus, isinya cuma marah-marah tok, tidak peduli keadaannya seperti apa pokoknya dia selalu marah; yang direfleksikan selalu saja kemarahan. Katanya, ‘inilah kekudusan Tuhan, kita musti mengerti Tuhan kita adalah Tuhan yang kudus’; Tuhan yang kudus yang mana yang seperti itu?? Tuhan yang kudus itu merciful, kalau di dalam Alkitab; kudus and berbelaskasihan, dan penuh kasih, dan pengampun, dan mulia, dan suci, dst. Jadi sederhana saja, ketika dikatakan ‘di dalam ajaran dan nasihat Tuhan’, artinya bukan ajaran dan nasihatmu. Karena apa? Karena anak ini milik Tuhan, bukan milikmu. Milik Tuhan, maka musti dididik di dalam ajaran dan nasihat Tuhanmu. Ini merefleksikan sifat Tuhan pada waktunya.
Memang –meminjam perspektif Pengkhotbah– ada waktunya kita merefleksikan kekerasan (bukan kekerasan dalam arti violence tapi sifat yang lebih menekankan disiplin dsb.), tapi ada saatnya merefleksikan kelemahlembutan, toleransi, dsb. Kalau kita tidak bisa lincah di dalam bagian ini, berarti doktrin-Allah Saudara bermasalah, berarti pengenalan-akan-Allah Saudara bermasalah, berarti hubungan Saudara dengan Allah bermasalah. Betul bahwa kita punya temperamen khusus, betul bahwa orang phlegmatis tidak akan mendadak jadi koleris, tapi setiap temperamen bisa dipenuhi oleh Roh Kudus. Dan waktu dipenuhi Roh Kudus, dia memancarkan secara komplit, bukan cuma temperamen-temperamen yang cocok dengan dia tapi semuanya, apapun temperamennya dia, karena waktu Roh Kudus memenuhi, itu akan membawa kita untuk menyerupai Kristus, dan Kristus membawa kita kepada Bapa. Allah itu ada atribut; dan atribut-Nya sempurna terefleksikan dalam kehidupan Kristus. Saudara lihat dalam kehidupan Kristus, Dia bisa menegur dengan sangat keras, Dia bisa menjungkirbalikkan meja-meja pedagang di bait Allah itu, tapi Dia juga bisa mengampuni orang yang berdosa seperti Saudara dan saya. Kita merefleksikan apa di dalam kehidupan kita?
Kembali ke Efesus 6, Paulus mengatakan ‘jangan membangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu’. Kita sedih waktu membaca cerita-cerita tentang orang yang sejak kecil dibesarkan dalam keluarga Kristen, dan mungkin dididik sangat ketat, sedemikian ketatnya, sampai kemudian ketika dewasa dia memutuskan untuk meninggalkan Kekristenan. Karena apa? Karena dia merasa tidak mendapatkan kebahagiaan di dalam kehidupannya. Saudara di sini jangan lalu cepat cepat mengatakan, “Ya dia salah, dia musti baca Westminster, the end of man is to glorify and to enjoy God —and not to be happy— dia ‘gak mengerti itu Westminster”, dsb. Nanti dulu. Jangan bawa-bawa Westminster. Mungkin ada yang salah dalam pendidikan orangtuanya. Mungkin orangtuanya hanya merefleksikan keketatan tadi, tidak ada toleransi, tidak ada pengampunan, tidak ada tempat untuk orang-orang yang gagal. Semua itu tidak ada, yang ada hanyalah dituntut terus-menerus. Ini bukan tiger mother atau tiger father lagi, mungkin ini sudah tyrex mother atau tyrex father, sudah ‘gak kenal ampun. Lalu waktu orang-orang ini katakanlah murtad, meninggalkan “iman”-nya, dia mengatakan kalimat yang membuat kita sedih sekali, “Finally, I find the true freedom”. Sedih sekali. “Sekarang saya mengerti apa artinya kebebasan yang sejati” –berarti selama ini orangtuanya menggambarkan Kekristenan sebagai penjara, maka begitu dia keluar, dia mendapatkan kebebasan. Orangtuanya menggambarkan Kekristenan sebagai siksaan, penjara, kungkungan. Bagaimana bisa seperti ini?? Padahal mengikut Yesus itu yang paling bebas sebetulnya, padahal Injil itu bicara tentang pembebasan (deliverance). Injil bicara tentang pembebasan, bukan penjara, tapi bagian ini kalau orangtua gagal mempersaksikannya, maka kita mendengar cerita-cerita kayak begini; saya baru mengerti apa artinya kebebasan yang sejati, dulu saya diikat, dibelenggu. Alkitab bilang tentang ‘dibelenggu oleh dosa’, tapi ini dibalik ceritanya, jadi dibelenggu oleh Kekristenan lalu terlepas dari rantai Kekristenan. Siapa yang salah kalau begini? Yang penggambarannya salah, itu siapa??
Kalau kita gagal mempersaksikan kepada anak-anak kita bahwa kehidupan yang menyembah Tuhan itu lebih bahagia, lebih bebas, daripada diikat oleh berhala –waktu kesaksian ini gagal– maka keturunan kita akan melihat Kekristenan tidak menarik sama sekali. Kasihan papa mama saya, kayaknya hidupnya terbelenggu, ya; kayaknya lebih bebas kalau ada banyak berhala untuk disembah-sembah. Kasihan ya, orang-orang Kristen hidupnya miserable, dibelenggu oleh aturan ini, aturan itu, dsb. Kegagalan menceritakan, menghidupi, mempersaksikan narasi kebebasan Injil yang membebaskan –bahwa lebih bebas bisa mengampuni daripada menaruh dendam, lebih bebas memiliki hati yang luas daripada memiliki hati yang sempit– kalau ini semua gagal dalam kehidupan kita, jangan heran kalau suatu saat mereka merasa ada kebebasan di luar sana. Selama ini saya seperti dipingit, ditutupi, ditaruh dalam tempurung; saya tidak tahu horison dunia, saya seperti orang di The Truman Show —tidak tahu apa itu dunia luar, lalu begitu mereka melihatnya, mereka merasa inilah kebebasan yang sejati, yang dulu itu ciptaannya orangtua, realitas yang diciptakan oleh orangtua. Hati-hati, Saudara. Lalu apa yang bisa menyebabkan seperti itu? Inilah: membangkitkan amarah di dalam hati anak-anak, menanamkan kebencian di dalam hati anak-anak, menanamkan kepahitan di dalam hati anak-anak.
Saudara, kalau anak-anak kecewa kepada kita, itu problem yang masih tidak terlalu besar, masih bisa diselesaikan, tidak terlalu pentinglah untuk kita. Kalau mereka kecewa dan benci kepada kita, itu urusan sepele. Yang menakutkan, bukan benci kepada kita tapi benci kepada Kekristenan, benci kepada Gereja, dan pada akhirnya benci kepada Tuhan. Itu betul-betul celaka. Dan, yang menanamkan kebencian itu siapa? Jangan-jangan Saudara dan saya. Ini bahaya sekali –membangkitkan amarah di dalam hati anak-anak.
Di satu sisi ada problem tidak adanya teguran, tidak ada disiplin, bidat antinomianisme. Di sisi yang lain ada bidat legalisme, yang terus-menerus menuntut, terus-menerus tidak pernah puas, yang orang sudah kerja sebaik apapun selalu ada tuntutan yang lebih tinggi lagi, tidak ada belas kasihan sama sekali, tidak ada pengampunan, tidak ada toleransi, tidak ada tempat untuk kegagalan. Sekali lagi, ini bidat legalisme, ini bukan Injil yang sejati, bukan Injil yang kita percaya. Itulah pentingnya bagaimana Injil itu hadir dalam kehidupan Saudara dan saya.
Apa artinya tidak membangkitkan amarah? Saya membaca satu tafsiran, di situ dia membuat daftar yang bagi saya baik. Orang bisa membangkitkan amarah dan menanamkan kepahitan di dalam hati anak, sampai anaknya tidak bisa menerima ajaran dan nasihat Tuhan –karena sudah mentok, sudah terlalu banyak kepahitan, sehingga tidak bisa lagi menerima, lagipula itu bukan Tuhan yang asli yang selama ini digambarkan– dengan cara apa?
Disiplin yang terlalu keras, disiplin yang eksesif. Disiplin perlu, tapi Tuhan itu menakar waktu mendisiplin kita. Tuhan itu tahu waktu memukul kita sampai seberapa. Dia tahu pencobaan apa yang bisa pas untuk kita. Dia tahu itu, tapi kita sering kali tidak tahu. Saya pernah menyaksikan orangtua yang marah-marah kepada anaknya, urusannya sepele sekali tapi marahnya marah sekali. Saya pikir kenapa dia bisa marah kayak begini, persoalannya di mana sebenarnya, karena urusannya sepele tapi marahnya tidak proporsional. Setelah peristiwa itu kewat, saya baru sadar, kayaknya itu karena saya berada di ruang yang sama, dan orangtua itu kayaknya malu karena tidak berhasil menunjukkan otoritas terhadap anaknya di depan tamu. Jadi ini bukan urusan mendidik anak di dalam Tuhan, tapi urusannya gengsinya orangtua. Waktu dia marah, anaknya tidak mau dengar, dan dia marah lebih keras lagi. Sayangnya saya tidak peka waktu itu, harusnya saya keluar ruangan, siapa tahu setelah saya pindah ruangan lalu anaknya dipeluk; tapi saya hari itu kurang peka, saya tetap menunggu di situ, dan dia marah makin lama makin keras –dan saya makin bingung. Ada orang marah bukan karena mau mendidik, cuma mau menyatakan egonya saja, menyatakan bahwa dia adalah orangtua yang harus disegani, mau tampil sebagai orangtua yang berwibawa, yang ditaati, yang dihormati. Ini orangtua yang gila hormat namanya. Inilah artinya menanamkan kepahitan di dalam diri anak.
Tuntutan yang keras, yang unreasonable, yang muluk-muluk, yang akhirnya tidak realistis untuk dihidupi, discouraging.Tapi orangtua seperti ini akan bilang, “O, saya justru sedang encourage supaya dia tidak berhenti bertumbuh, supaya dia ada ambisi.” Kayaknya itu ambisimu sendiri, bukan ambisinya Tuhan, karena Tuhan tidak begitu. Tuntutan-tuntutan yang tidak jelas ini, yang unreasonable, menanamkan kepahitan di hati anak.
Otoritas yang di-abuse, otoritas yang dipermainkan. Mengatakan kepada anak, “Alkitab mengatakan, hormatilah ayahmu dan ibumu”–sayangnya yang mengatakan adalah orangtua. Ayat itu adalah untuk anak-anak, bukan untuk orangtua. Misalnya kalau Saudara baca buku tentang pernikahan, di situ ada bagian untuk laki-laki dan ada bagian untuk perempuan. Yang lucu, kalau bagian tentang wanita dibaca oleh si wanita, padahal bukannya wanita sudah mengerti kebutuhannya?? Wanita suka membaca tentang kebutuhannya, lalu setelah itu khotbah pada suaminya, “Ini lho, lu harusnya kayak begini.” Bagian itu harusnya laki-laki yang baca, tapi koq malah perempuan yang baca?? Sebaliknya juga sama, yang laki-laki membaca tentang kebutuhannya laki-laki; untuk apa ya?? Memangnya tidak kenal dirimu sendiri? Atau kamu agak ke-perempuan-an sampai tidak tahu tentang laki-laki? Laki-laki baca bagian tentang perempuan dong harusnya, supaya tahu –tahu yang bukan dirimu–malah baca tentang dirinya sendiri. Ini seperti orang tulis artikel di jurnal, lalu waktu jurnalnya terbit, dia baca tulisannya sendiri; tulisan sendiri harusnya sudah tahu dong, mustinya baca tulisannya orang lain. Kalau laki-laki lalu baca kebutuhannya laki-laki, untuk apa?? Yang musti baca kebutuhannya laki-laki, harusnya perempuan. Yang harus baca ‘hormatilah ayahmu dan ibumu’ adalah anak-anak, dan bukan orangtua. Orangtua koq pakai-pakai ayat itu; “Hormatilah ayahmu dan ibumu, ini lho ayatnya” –hormatilah saya, maksudnya. Sama juga waktu mengatakan, “Kasihilah sesamamu manusia” –maksudnya saya ini sesamamu ya, jadi kasihilah sesamamu ini. Tapi bukan itu ‘kan yang dimaksud ayat tersebut; ini adalah tentang bagaimana Saudara menghayati “kasihilah sesamamu manusia” terhadap orang lain, terhadap sesamamu. Namun ada banyak keanehan seperti ini dalam Kekristenan; orangtua Timur suka sekali pakai ayat ‘hormatilah ayahmu dan ibumu’, tapi kenapa kita tidak membaca bagian di Efesus ini yang adalah bagian untuk orangtua, “jangan bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, hai bapa-bapa”. Ini bagian yang untuk Saudara dan saya, yang punya anak. Jangan gila hormat lalu pakai ayat firman Tuhan.
Randomness, tidak ketebak banget, tiba-tiba langsung marah tanpa alasan. Kita mengikut Tuhan memang betul kadang-kadang ada aspek unpredictability, tapi Saudara jangan playing God lalu bilang, “Saya juga orang yang ‘gak ketebak, tiba-tiba saja kalau saya mau tempeleng, saya bisa tempeleng”. Orangtua yang tiba-tiba saja bisa tersulut amarahnya, inilah orangtua yang menanamkan kebencian di dalam hati anak-anaknya. Tidak bisa ditebak, bukan di dalam pengertian unpredictable-nya Tuhan, melainkan orang ini kayaknya “sakit”, random banget, tidak ada alasan lalu tiba-tiba saja marah, dsb.
Tidak ada sense of justice (rasa keadilan). Anak-anak peka sekali dengan urusan sense of justice; tidak perlu sekolah hukum, anak-anak sangat punya kepekaan terhadap justice, righteousness. Kalau kita sebagai orangtua gagal dalam hal ini, lalu kita bilang, “Saya orangtua, saya bisa melakukan apapun yang saya mau”, berarti Saudara dan saya gagal jadi orangtua. Kita sendiri tidak ada sense of justice, lalu masih minta anak untuk menghormati?? Yang benar saja. Anak pada dasarnya merespons apa yang kita lakukan. Kita terhadap Tuhan juga kita merespons; Bapa menyerahkan Anak-Nya, lalu kita merespons dengan ketaatan.
Saudara, Tuhan itu pencipta dan manusia ciptaan, kalau Tuhan mau menuntut manusia untuk taat kepada-Nya, it’s just correct, karena manusia itu ciptaan-Nya, manusia dan Tuhan bukan cuma secara ordo berbeda tapi benar-benar qualitative difference. Tapi Saudara perhatikan, di dalam dunia dan bahkan di dalam pengajaran Alkitab, hal itu ‘gak jalan. Lalu yang taat kepada Tuhan siapa? Yaitu yang percaya kepada Yesus Kristus, yang mati baginya. Saudara menangkap poin ini? Pengorbanannya Tuhan itulah yang memungkinkan jemaat taat kepada Tuhan. Tapi ada suami yang minta supaya istrinya taat, sedangkan dia sendiri tidak berkorban untuk istrinya. Tuhan sangat berhak bilang, “Saya ini pencipta, kamu musti taat kepada saya, karena kamu itu ciptaan! Saya yang menciptakan engkau, taatlah kepada-Ku” —tapi kenyataannya tidak taat, dan ini terhadap Tuhan lho; lalu sekarang suami terhadap istri menuntut istrinya taat seperti itu, apa tidak keterlaluan?? Tuhan saja “tidak berhasil”, kecuali dengan cinta. Yang tanpa cinta –bukan karena Tuhan tidak mencintai tapi karena dia sendiri tidak bisa menghayati cinta Tuhan –dia tidak bisa tunduk; lalu kita sebagai suami mengharapkan orang tunduk tanpa cinta?? Memangnya Saudara yakin lebih berkuasa daripada Tuhan?? Tuhan pun pakai pengorbanan untuk menggerakkan cinta jemaat-Nya, bukan mempergunakan kekuasaan-Nya –meskipun Dia berhak– tetapi kita, sudah tidak berhak, masih pakai kekuasaan pula?? Heran sekali. Hati-hati, ya, dengan ketidakadilan, karena hal itu merusak dan menghancurkan, membuat orang jadi pahit.
Condemnation, merendahkan, mengejek, membanding-bandingkan. Sekali lagi, di sini atas nama ‘supaya dia maju, supaya dia tidak berhenti bertumbuh’, tapi kita pakai kalimat-kalimat yang mempermalukan, kalimat-kalimat yang hina, yang menjatuhkan, dsb.
Terakhir, mengenai sensitifitas terhadap kebutuhan anak. Waktu Saudara dan saya mungkin sudah lelah pulang kerja, dsb., kita maunya dimengerti, maunya orang lain yang sensitif kepada kita yang lelah ini. Kita semua tentu pernah sakit; dan waktu kita sakit, kita agak cengeng ‘kan. Waktu kita sakit, kita bisa ngomong agak kasar dan orang lain tidak boleh marah, ‘inilah kesempatannya saya ngomong ngawur, karena saya lagi sakit’. Kalau Saudara tidak sakit dan Saudara ngomongnya ngawur, itu benar-benar bisa diladeni, “Maksud lu apa ya, ngomong kalimat itu??” tapi kalau Saudara sakit dan Saudara ngomong sembarangan, orang lain mau meladeni pun langsung pikir ‘dia lagi sakit’. Kadang-kadang, kita waktu terlalu capek, kita bisa tidak sensitif terhadap kebutuhannya orang lain, tidak sensitif terhadap kebutuhannya anak, kita minta anak mengerti kita, kita minta orang di sekitar mengerti kita. Ini orang yang tidak dewasa namanya. Orang yang tidak dewasa, ya, jangan menikah, jangan punya anak. Kalau kita bertumbuh dalam kedewasaan, ya, kita belajar sensitif terhadap kebutuhan anak.
Kalau boleh sedikit saja melanjutkan dari pengalaman dalam konseling; di dalam hubungan suami istri, bagaimana pun laki-laki harusnya lebih berkorban di dalam mengerti istrinya. Kalau tidak, Saudara tidak cocok jadi laki-laki. Laki-laki yang minta seimbang dengan istrinya —‘sebagaimana kamu dimengerti, saya juga minta dimengerti’— Saudara harus tahu, Kristus dan jemaat tidak pernah seimbang. Kristus tidak pakai model relasi ‘Saya mau korban bagi kamu tapi kamu harus taat; korban Saya sempurna, berarti kamu juga harus sempurna’; tidak ada yang seperti itu. Itu injil yang mana?? Jemaat banyak kekurangannya. Namun ada laki-laki yang tidak mengerti prinsip ini, dia maunya dimengerti oleh istrinya, dia maunya dimengerti oleh anak-anaknya; kalau seperti ini, ya, jangan jadi suamilah. Jangan jadi suami. Saudara berarti tidak bisa pikul salib kalau seperti itu. Yang tidak bisa pikul salib, jangan nikah, jangan punya anak. Maunya diperlakukan secara simetris –‘sebagaimana ayah memperlakukan anak, demikian anak harus memperlakukan ayah’; mana ada yang kayak begini di dalam Alkitab?? Mana ada prinsip kayak begini? Ayah selalu mendahului anaknya, dan suami selalu mendahului istrinya, begitu harusnya. Yang harus berinisiatif, yang harus lebih mengerti, yang harus perasaannya lebih terluka, itu suami sebetulnya, bukan istri, bukan anak-anak tapi ayah. Barulah di situ kita mengerti apa artinya kedewasaan rohani (spiritual maturity), baru kita mengerti apa artinya menjadi pemimpin, baru kita bicara ‘the head of the family’. Inilah artinya kepala keluarga; bukan karena dia mempermainkan kuasa, tapi karena dia lebih tahan banting, karena dia lebih bisa menderita, karena dia punya cinta yang mendalam, karena dia bisa berkorban. Berharap di dalam kehidupan kita, kita menghidupi Injil ini di dalam aspek keluarga.
Tuhan menolong dan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading