Dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya kita mengetahui ada benang merah, tema yang bergema, dalam seluruh Kisah Para Rasul; dan tema itu diwakili oleh beberapa komentar yang tersebar dalam sekujur buku kedua yang ditulis Lukas ini. Saya biasanya membacakan bagian ayat-ayat terakhir dari Kisah Para Rasul pasal terakhir, ayat 30-31, yaitu Paulus tinggal dua tahun penuh di rumah yang disewanya sendiri itu –di kota Roma, episentrum kekuasaan Romawi–; ia menerima semua orang yang datang kepadanya. Dengan terus terang dan tanpa rintangan apa-apa Paulus memberitakan Kerajaan Allah, mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus. Pada bagian yang kita baca hari ini, kita juga melihat bagaimana Kerajaan Allah tidak dapat dihalangi oleh manusia.
Sementara pada pasal 14 kita melihat Kerajaan Allah tidak dapat dihalangi oleh fanatisme dari orang-orang Yahudi yang menentang datangnya Kerajaan Allah, dalam pasal 15 ini kita melihat Kerajaan Allah juga tidak dapat dihalangi oleh perpecahan, pertikaian, pertengkaran, yang terdapat di dalam Gereja. Memang dalam hal ini bukan tidak ada peran orang Yahudi, karena perpecahan tersebut muncul dari orang-orang yang datang dari Yudea, yang menekankan suatu pengajaran yang memang mereka tekankan dalam Perjanjian Lama, yang bagi mereka ofensif banget kalau dilanggar, yaitu mengenai sunat.
Sunat, bagi orang Yahudi bukan sekadar dipotong sebagian daging yang mereka bawa sejak bayi, bukan sekadar karena kalau disunat itu sakit, bukan juga sekadar sakit namun higienis sebagaimana kita pahami hari ini, tetapi sesuatu yang mewakili identitas keagamaan. Jadi kita tidak boleh memahami pertikaian tersebut sebagai pertikaian urusan tidak mau sungguh-sungguh ikut Tuhan, tidak mau bayar harga, sakit sedikit saja tidak mau, melainkan urusan identitas. Urusan identitas ini urusan yang sangat serius dalam sejarah umat Israel, karena gara-gara mereka melanggar aturan pemerintah yang tidak mengizinkan mereka menyunat anak-anaknya, mereka dianiaya, disembelih, diuber-uber, disiksa oleh tentara-terntara Antiokhus Epifanes. Itu ingatan yang masih segar dalam benak mereka, traumanya masih segar dalam ikatan kolektif mereka.
Menyunatkan anak, bagi mereka mungkin mirip dengan kesadaran kolektif gereja-gereja di Indonesia, di mana kita menegakkan simbol salib tinggi-tinggi, gedung gereja musti ada salibnya, dan kita melakukan itu bukan karena kalau ada salibnya maka gerejanya jadi sah, berdoa di situ didengar Tuhan, kalau tidak ada salibnya jadi bukan gereja, atau kalau salibnya di luar berarti lebih beriman daripada yang cuma taruh di dalam, tapi karena ada trauma –trauma yang masih segar.Kalau kita di Indonesia mungkin traumanya soal cari izin gereja itu susah, untuk diterima di lingkungan yang beragama lain itu gereja mengalami kesulitan; maka menegakkan simbol identitas kita urusannya adalah ‘berani ‘gak pasang salib di depan gedung gereja, salibnya segede apa, salibnya setinggi apa, makin gede dan makin tinggi salibnya berarti makin berani, berarti makin afirmatif; dan kalau itu tidak ditolak masyarakat, maka jadi simbol kita diberkati Tuhan, di-backing oleh Tuhan’ –semacam itu. Tentu ini menyadarkan kita bahwa salib bukan cuma urusan bahan bangunan yang ditaruh di luar atau dekorasi, demikian juga sunat bukan cuma urusan kesakitan atau model atau kultural, melainkan urusan adanya jejak trauma dalam sejarah kolektif bangsa Israel. Mereka pernah bersikeras menyunatkan anaknya pada zaman bangsa Yunani, Antiokhus Epifanes, menjajah mereka, dan hal itu menuntut harga yang mahal; dan nenek moyang mereka membayar harga itu –khususnya orang-orang Farisi– dan toh mereka survive.
Mereka tidak kompromi dalam urusan yang bukan kecil itu –walaupun bagi kita di abad 21 yang bukan orang Yahudi, kayaknya kecil– karena sunat bagi mereka adalah urusan tanda kovenan (perjanjian) dengan Tuhan; sedangkan bagi kita orang Kristen justru sebaliknya, kalau orang sengaja mensyaratkan ‘disunat’ itu mau cari apa, demikian yang justru dipermasalahkan oleh Paulus. Tentu kalau urusannya medis, itu sesuatu yang tidak dipermasalahkan, tapi kalau urusannya untuk penerimaan religius, seolah-olah Tuhan tidak menerima kamu kalau kamu tidak disunat, maka jadi permasalahan. Itulah yang ditekankan oleh beberapa orang yang datang dari Yudea.
Yudea ini provinsi yang Yahudi banget, dan merupakan episentrum peristiwa-peristiwa penganiayaan orang Yahudi oleh orang-orang Yunani. Yudea juga menjadi tempat orang-orang Kristennya kebanyakan Yahudi. Orang-orang Kristen dari Yudea ini datang ke Antiokhia, episentrum Kristen yang baru. Jadi ini mirip seperti Romawi dulunya berpusat di Roma, lalu belakangan pindah ke timur, ke Kontantinopel; demikianlah orang-orang Kristen awalnya berpusat di Provinsi Yudea, di Yerusalem, namun pelan-pelan bergeser ke Antiokhia. Antiokhia jadi launching pad misi kepada bangsa-bangsa yang bukan Yahudi, misi yang kemudian di-take-over oleh Paulus dan Barnabas, namun awalnya dibuka oleh Petrus.
Paulus dan Barnabas melawan keras dan membantah pendapat mereka. Kita mungkin berpikir ‘ngapain sih berantem, damai-damai sajalah, ini ‘kan urusan kecil’. Namun buat Paulus ini bukan urusan kecil. Dalam hal ini menarik untuk kita cermati pertikaian itu dipicu oleh siapa, yaitu oleh orang-orang yang mengatakan bahwa sunat diharuskan bagi bangsa-bangsa kafir (kafir di sini artinya sekadar non-Yahudi, orang-orang gentiles). Menurut mereka, orang-orang gentiles kalau jadi Kristen harus disunat menurut adat-istiadat yang diwariskan oleh Musa; tanpa itu, mereka tidak diselamatkan, Tuhan tidak menerima mereka. Ini ditekankan sekali; yang menekankan adalah orang yang sudah bersunat –bukan orang yang tidak bersunat. Efeknya apa? Terjadi perpecahan, pertikaian di dalam Gereja.
Akhirnya Gereja Antiokhia mengutus Paulus dan Barnabas –dua pentolan paling penting dalam Gereja Antiokhia– ke Yerusalem untuk membicarakan persoalan itu. Di sini Lukas tidak pakai istilah ‘meminta petunjuk Bapak/Pope’, melainkan ‘membicarakan’. Artinya, yang diharapkan di Yerusalem nanti adalah suatu perundingan, bukan keputusan. Ini menandai bahwa dalam Gereja-mula-mula tidak ada hierarki kekuasaan yang kalau Petrus mengatakan sesuatu maka semua harus setuju, yang lain tanya ke Petrus lalu Petrus tanya kepada Tuhan dan keluarlah keputusan. Tidak seperti itu; mereka selalu berunding, berunding, dan berunding. Jadi Paulus dan Barnabas diutus ke Yerusalem bukan untuk bertanya kepada Petrus, melainkanuntuk membicarakan/merundingkan permasalahan tadi.
Mereka diantar jemaat sampai ke luar kota, lalu berjalan melalui Fenisia dan Samaria, menceritakan tentang pertobatan orang-orang kafir/gentiles; dan itu sangat menggembirakan hati saudara-saudara seiman yang lain. Intinya, kalau dalam Injil Lukas bagian akhir dan Kisah Para Rasul bagian awal, kegembiraan mereka adalah bahwa Yesus sudah bangkit; sejak Pentaskosta (Kis. 2), kegembiraan mereka adalah bahwa bangsa-bangsa bukan Yahudi menerima Roh Allah, bangsa-bangsa yang mereka sebut kafir itu dan bukan umat itu sekarang menjadi umat.
Ini semacam penghayatan akan janji Tuhan yang diberikan kepada Hosea yang menerima perkataan Tuhan ini: “Yang bukan umat-Ku, Lo-Ami, akan menjadi umat”. Ini bukan sekadar umat yang ditolak oleh Tuhan, yang Tuhan katakan ‘Israel itu bukan umat-Ku’ karena mereka menyembah berhala, berkompromi, berzina, melawan Tuhan, punya ilah-ilah lain, namun ketika mereka berbalik Tuhan menerima mereka, tapi bahwa yang bukan umat-Ku menjadi umat-Ku, Lo-Ami menjadi Ami, yang tidak dikasihi menjadi dikasihi, Lo-Ruhama menjadi Ruhama. Ini istilah yang dalam buku Hosea disebut sebagai nama anak-anak Hosea, Lo-Ami (bukan umat) dan Lo-Ruhama (tidak dikasihi), namun di kemudian hari Tuhan menyuruh mengubah nama anak-anak itu, menandai Israel dibuang oleh Tuhan namun kemudian diterima lagi. Namun tidak cuma berhenti di situ, tapi juga bahwa yang literally memang bukan umat Tuhan, sekarang menjadi umat Tuhan. Itulah yang terjadi di bagian ini, yang diceritakan oleh Lukas, juga oleh Paulus dan Barnabas dalam perjalanan. Mereka bukan sekadar pokoknya naik pesawat dari Antiokhia lalu mendarat di Yerusalem; mereka jalan kaki, melewati daerah-daerah, mampir-mampir, menginap, sambil membicarakan pekerjaan Roh di antara bangsa-bangsa. Mereka bukan mengatakan besarnya pekerjaan Tuhan dalam pelayanan-ku, melainkan apa yang Tuhan kerjakan di antara bangsa-bangsa.
Mereka pun tiba di Yerusalem. Mereka disambut oleh jemaat, rasul-rasul dan penatua-penatua. Menarik di sini, yang menyambut bukan cuma rasul-rasul, tapi selalu bersama-sama: jemaat, rasul-rasul, dan penatua-penatua. Jadi rasul-rasul dan penatua-penatua ini setara, ada kolegialitas.
Rasul-rasul dan penatua-penatua itu mendengarkan cerita mereka, apa yang Allah lakukan di antara mereka. Selanjutnya Paulus dan Barnabas mengatakan alasannya mereka datang, bahwa orang-orang bukan Yahudi harus disunat menurut orang-orang dari aliran Farisi. Di sini Lukas mengatakan dengan lebih eksplisit, bahwa orang-orang dari Yudea yang datang ke Antiokhia tadi adalah orang-orang dari golongan Farisi –seperti Paulus dari golongan Farisi– dan orang-orang ini mengatakan bahwa orang-orang non-Yahudi –yang mereka sebut kafir itu– harus disunat, diwajibkan menuruti hukum Musa, untuk bisa diselamatkan dan diterima oleh Tuhan.
Rasul-rasul dan penatua-penatua lalu bersidang (jemaat tidak ikut), membicarakan persoalan itu, dan mereka berdebat. Dalam hal ini, artinya perdebatan itu fine, it’s good. Jadi tidak perlu nervous kalau para pemimpin berdebat, berbeda pandangan; itu biasa saja. Justru kalau dalam suatu organisasi tidak ada perbedaan pendapat, itu namanya fasisme. Fasisme itu, Benito Mussolini memberi simbol batang-batang pohon atau bambu yang diikat jadi satu, mereka tidak mentoleransi, mereka tidak welcome perbedaan pendapat, itu sebabnya pers diberangus (walaupun Benito Mussolini sendiri wartawan). Di dalam Gereja-mula-mula tidak terjadi fasisme atau totalitarianisme seperti ini; ada perbedaan pendapat, ada perdebatan, it’s OK. Di antara rasul-rasul sendiri, mereka bukan ‘pokoknya Roh Kudus memimpin bagaimana, sudah pasti jawabannya seragam’; mereka ada perdebatan, ada pembicaraan, ada diskusi. Diskusinya tidak sebentar, diskusinya lama; dikatakan: ‘Sesudah beberapa waktu … ‘. Ini jangan Saudara bayangkan beberapa jam. Kalau kita melihat cerita mengenai konsili-konsili Gereja, itu bisa berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Bayangkan! Jadi ini bukan kayak misalnya satu orang memberi komando, “Tadi malam Tuhan beri gua mimpi ini”, lalu yang lain mengatakan, “Siap, Pak! Langsung laksanakan”. Tidak kayak begitu, tapi diperdebatkan, soalnya urusan yang penting.
Urusan yang penting bisa saja dianggap urusan tidak penting, urusan kecil, namun yang terjadi di sini bukan urusan kecil, ini urusan besar. Urusannya bukan soal disunat atau tidak disunat; urusannya di sini adalah: yang tidak disunat, statusnya sama atau tidak di dalam Gereja. Kita jangan salah tangkap, di sini urusannya bukan sekadar ‘disunat doang, sakit tiga hari, koq bisa membahayakan kesatuan Gereja??’ Bukan itu urusannya, melainkan urusan ‘siapa, statusnya apa, dalam Tubuh Kristus; apakah ada perbedaan status antara orang Yahudi asli, yang disunat, dengan bangsa-bangsa yang bukan Yahudi’; dan itu bukan urusan kecil, itu urusan besar, mengenai apakah harus dibeda-bedakan, atau tidak dibeda-bedakan.
Orang-orang Yahudi sampai pada zaman Yesus, baik yang Kristen maupun tidak Kristen, beberapa –terutama yang tidak Kristen– memegang bahwa tentu saja harus dibedakan, itulah esensi dari menjadi kaum pilihan, karena kaum pilihan itu intisarinya adalah ‘kita beda dengan mereka’, ada ‘kita’ ada ‘mereka’, kalau tidak beda ‘kan jadi tidak istimewa lagi. Mungkin Saudara pernah mengalami ketika boarding pesawat, ada dua antrian, yang satu antriannya panjang sekali, yang satu lagi hampir tidak ada orang. Atau pos imigrasi, yang satu antriannya panjang sampai mengular, yang satu lagi kosong tidak ada antrian. Itu artinya ada pembedaan. Kalau Saudara beli kartu khusus, bayar keanggotaan khusus untuk tidak perlu antri, maka ada jalur khususnya yang antriannya pendek. Lalu seandainya kemudian semua dibikin sama, yang mana yang akan protes, yang pegang kartu khusus atau yang tidak pegang kartu khusus? Jelas yang pegang kartu khususlah, soalnya jadi tidak istimewa lagi dong. Di sinilah kita jadi mengerti kenapa orang-orang Farisi yang protes, soalnya mereka ini yang pegang kartu khusus, mereka bayar harga lebih mahal untuk bisa punya akeses kepada Kerajaan Allah. Bayar harganya bukan sekadar disunat; bayar harganya adalah: ngotot disunat, ketika menyunatkan anak berarti hukumannya mati. Harga yang mahal betul. Antiokhus Epifanes memberikan undang-undang seperti itu, orang benar-benar dieksekusi kalau berani-berani menyunatkan anaknya, karena dia mau bikin helenisasi paksa dalam wilayah kekuasaannya; dan dia tahu, helenisasi ini ditentang oleh terutama orang Yahudi. Jadi orang-orang Yahudi ini adalah orang-orang yang bayar harga lebih mahal –seperti bayar harga lebih mahal untuk tidak mengantri di Imigrasi atau waktu boarding pesawat– yang kalau kemudian disamakan, tentu tidak senang. ‘Kita ‘kan sudah bayar lebih mahal, sudah bertaruh nyawa, koq sekarang jadi sama?? Orang-orang Helenis itu ‘kan penganiaya kita, atau setidaknya orang-orang yang tidak susah kayak kita, koq enak aja lu’ –mantranya ‘enak aja lu’. Tapi kita perlu pikir di sini, kalau mantranya ‘enak aja lu’, artinya lu tidak bisa lihat orang lain enak, artinya lu ngiri, artinya lu ‘gak bisa jadi saluran berkat. Namun inilah yang terjadi; dan ini natural, wajar. Kalau kamu jadi orang Farisi, kamu juga bo kam guan, ‘gak rela, apaan sih koq orang-orang ini ‘gak bayar harga kayak gua tapi dapatnya sama, sama-sama diterima oleh Tuhan.
Orang-orang ini tidak bisa terima, kemudian mempermasalahkan. Paulus merasa ini sesuatu yang cukup berharga untuk dipertengkarkan, ini bukan urusan yang relatif, yang ecek-ecek, ini urusan yang worth to fight for, maka dia dengan keras menentang. Kemudian mereka mengutus dia ke Yerusalem, lalu ada acara dengar pendapat, dan mereka pun berdebat mengenai hal tersebut. Setelah beberapa lama, Petrus pun berdiri. Ini menarik; kita melihat ada beberapa tahapan dalam persidangan itu. Tahapan pertama, mereka mendengarkan permasalahannya. Tahapan kedua, mereka berunding. Tahapan ketiga, Petrus berdiri. Tahapan berikutnya nanti, Paulus dan Barnabas didengarkan lagi dengan lebih seksama. Petrus berdiri, dia mem-back-up posisi Barnabas dan Paulus. Dia mengatakan: “Kamu tahu, telah sejak semula Allah memilih aku dari antara kamu, supaya dengan perantaraanku bangsa lain mendengar berita Injil dan bangsa lain menjadi percaya”; ‘bangsa lain’ di sini adalah Kornelius (Kis. 10), seorang bangsa Romawi, dan dia boleh mendengar Injil, boleh percaya, boleh dijadikan satu dengan umat Tuhan.
Kornelius sudah simpatisan agama Yahudi sejak lama, tapi tidak pernah dianggap setara, tidak pernah dianggap orang dalam, dia selalu berdiri di luar di Gentiles Court, tempat di mana Yesus mengatakan, “Rumah ini akan disebut sebagai rumah doa segala bangsa…”–termasuk orang-orang kayak Kornelius–“… tetapi kamu sudah menjadikannya sarang lestai, sarang penyamun”. Penyamun (lestai) di sini bukan orang yang jahatin orang lain atau merampok, melainkan gerombolan, khususnya mengacu pada gerombolan pemberontak kayak Yudas Iskariot (Yudas Iskariot bukan cuma menyerahkan/ mengkhianati Yesus; Yudas Iskariot di sisi lain dilihat sebagai pahlawan orang-orang yang benci Romawi, tokoh pejuang, gerilyawan). Yesus bilang, “Kamu menjadikan Bait Suci ini sarang gerilyawan, sarang lestai”; ini seperti mengatakan kenapa adaChe Guavara, Fidle Castro, dst., ngumpul di sini. Dan kejahatannya itu bukan merampok atau membunuh orang, tapi subversi kepada pemerintah, yaitu pemerintah Romawi. Jadi kalau Yesus bilang ini sarang lestai (penyamun, orang-orang yang subversi terhadap Romawi), maksudnya orang-orang yang ultranasionalis, Yahudi fundamentalis, kolot, garis keras, yang anti orang asing, xenophobic, orang-orang yang anti terhadap orang seperti Kornelius –yang walaupun sudah simpati banget pada hukum Musa, menerima Allahnya Musa dan Abraham-Ishak-Yakub, tapi selalu jadi second class citizen karena mereka belum disunat, belum sungguh-sungguh diterima sebagai orang Yahudi. Kira-kira begitu. Jadi Yesus mengatakan, Allah ingin Bait Suci ini jadi rumah doa bagi orang-orang ini juga, tapi kamu sudah menjadikan tempat ini tidak ramah bagi mereka, sehingga mereka tidak bisa berdoa di sini; kalaupun berdoa, harus menanggalkan harga diri mereka, harus jilat dulu sepatumu, kehilangan harga diri untuk menjadi semacam orang yang makan remah-remah yang jatuh dari meja umat Tuhan. Hal itulah yang terjadi, kalau kita mengiyakan dan menganggap hanya masalah kecil sajalah hal yang didesakkan orang-orang Farisi dari Yudea tadi, dan mendiamkannya.
Paulus di sini bertengkar karena dia tidak bisa membiarkan orang-orang tersebut memperlakukan orang-orang non-Yahudi sebagai second class citizen di Gereja. Tidak bisa seperti itu, karena di dalam Yesus, justru melalui Anak Daud ini bangsa-bangsa asing bisa datang kepada Tuhan sebagai bangsa-bangsa asing, tidak perlu disunat lagi. Itulah justru poinnya. Itulah justru Injilnya. Itulah artinya Kerajaan Allah datang, menggenapkan janji Tuhan kepada Abraham yang gagal digenapkan oleh bangsa Yahudi. Tapi orang-orang Farisi tadi walaupun sudah jadi Kristen, koq malah semacam mau meninggikan lagi nasionalisme –atau ultranasionalisme– bangsa Yahudi.
Petrus pun berdiri dan mengingatkan akan poin ini. Dia pasang badan, dia mengatakan, “Gue sendiri menyaksikan Roh Allah berkarya di tengah mereka sama seperti kepada kita”. Ini kalimat yang copy paste dengan kalimatnya waktu mempertanggung-jawabkan baptisan Kornelius (Kis. 11). Selanjutnya: “Kita percaya bahwa melalui anugerah Tuhan, kita diselamatkan sama seperti mereka juga”. Bangsa Yahudi diselamatkan karena anugerah Yesus Kristus, karena kesetiaan Yesus, bukan kesetiaan mereka sendiri; dan bangsa-bangsa lain pun sama, jadi jangan dibeda-bedakan. Demikian poin dari Petrus. “Tuhan sama sekali tidak membeda-bedakan antara kita dengan mereka, maka kita juga jangan membeda-bedakan antara kita dengan mereka. Jangan mencobai Allah dengan meletakkan pada tengkuk murid-murid itu –murid-murid non Yahudi itu– suatu kuk, yang tidak mampu dipikul, baik oleh nenek moyang kita maupun oleh kita sendiri” (kuk di sini maksudnya Taurat, yang 613 halakah itu).
Maka seluruh umat itu terdiam. Menariknya, mereka bukan lalu mengatakan, “Oke, kalau begitu kita putuskan”, melainkan mereka terdiam kemudian mendengarkan Barnabas dan Paulus; artinya kemungkinan besar mereka tadinya tidak mau mendengarkan dengan sungguh-sungguh, mungkin mereka ngobrol sendiri, tertutup hatinya. Tapi sekarang mereka mau mendengarkan, setelah Petrus menegaskan dengan kenyataan empiris bahwa Allah memang bekerja di tengah bangsa bukan Yahudi, yang dia sendiri juga tadinya tidak setuju dan tidak expect hal itu.
Kita ingat dalam kisah Kornelius, Petrus resist malaikat Tuhan, dia resist masuk ke rumah Kornelius, dia bilang ‘orang Yahudi tidak melakukan ini, masuk ke rumah orang tidak bersunat; orang Yahudi tidak makan makanan begini, saya dari kecil tidak makan makanan ini’, dan walaupun Tuhan yang suruh, dia tetap tidak mau. Namun sekarang Petrus bilang, tidak bisa begini karena kenyataannya Tuhan berkarya di tengah orang-orang asing ini. Di rumah Kornelius dia menyaksikan itu dengan mata kepalanya. Jadi empirical evidences itu, bahwa Roh bekerja di tengah bangsa non-Yahudi, memaksa Petrus untuk mengubah posisi teologisnya, meng-update teologinya, yaitu bahwa orang non-Yahudi ini setara dengan dia. Dia baru tahu teologinya ternyata salah, meski mulanya dia yakin betul teologinya benar, maka dia update itu dan mempersaksikannya di tengah jemaat.
Hal ini juga memberikan satu poin lain bagi kita, yaitu bahwa jemaat di Yerusalem sendiri, setelah sekian lama melihat kebangkitan Yesus, melihat orang-orang non-Yahudi diperlakukan sama oleh Yesus, melihat Yesus berkarya 3 ½ tahun, ternyata itu tidak membuat mereka sadar juga bahwa intinya Injil implikasinya sampai ke sana, sampai mereka mau menerima bangsa-bangsa lain sebagai saudara. Hal ini pelan-pelan baru mereka sadari. Nantinya kita lihat pada bagian refleksi, bahwa kita pun sama seperti mereka, kita pun pelan-pelan baru menyadari implikasi Injil sampai ke mana saja.
Kita lanjutkan dulu. Petrus bilang, jangan mencobai Allah dengan meletakkan pada murid-murid ini kuk yang nenek moyang kita maupun kita sendiri tidak bisa memikulnya. Seluruh umat lalu membuka telinga dan hati mereka kepada kesaksian Barnabas dan Paulus, yang menceritakan hal yang sama sebetulnya dengan yang Petrus ceritakan, hal yang sama yang Barnabas dan Paulus ceritakan kepada kota-kota yang mereka kunjungi dalam perjalanan. Yaitu apa? Yaitu tanda dan mukjizat yang dilakukan Allah dengan perantaraan mereka di antara bangsa-bangsa lain. Penekanannya bukan pada tanda dan mukjizat, penekanannya adalah ‘bangsa-bangsa lain’. Jadi, tanda-tanda Kerajaan itu dinyatakan di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi. Ini sesuatu banget. Bagi kita, ini kayak biasa saja, karena kita memang bangsa-bangsa lain, tapi mari kita coba memahami dalam arti aslinya, bahwa ini sesuatu yang revolusioner banget, ini bukan klise, ini sesuatu yang novum banget, baru banget.
Tahapan berikutnya, selesai mereka bicara maka Yakobus angkat bicara dengan mengutip yang sudah terjadi, bahwa Simon sudah cerita bagaimana Allah menunjukkan rahmat-Nya, memilih bagi nama-Nya suatu umat dari bangsa-bangsa lain. Artinya, yang disebut umat Tuhan bukan cuma orang Yahudi, tapi juga umat dari bangsa-bangsa lain. Mereka juga people of God. Ini menarik. Waktu kita bicara ‘umat’, biasanya kita tidak bicara keragaman, kita bicara kesatuan, yang memang natural; namun di sini, ‘umat’ ditekankan soal keragamannya, bahwa mereka juga umat. Kita umat sih, tapi mereka juga umat. Kita umat pilihan sih, tapi mereka juga umat pilihan. Waktu kita bicara ‘umat pilihan’, sering kali maksudnya cuma satu umat pilihan Tuhan; tapi umat pilihan Tuhan itu sesungguhnya banyak. Israel umat pilihan Tuhan? Jelas, di Alkitab di katakan begitu. Orang-orang Romawi yang Kristen umat pilihan Tuhan? Ya. Umat yang berbeda atau tidak antara Romawi Kristen dengan Yahudi Kristen? Beda. Bahasanya beda, kulturnya beda, makanannya beda; tapi mereka umat Tuhan yang sama. Bagaimana dengan orang Yunani Kristen? Bagaimana dengan orang Indonesia Kristen? Bagaimana dengan orang Chinese Kristen, orang Jawa Kristen, orang Korea Kristen, atau apapun yang kamu sebutkan? Mereka umat juga. Umat yang somehow kalau bertemu bisa saling komunikasi, bisa saling mengerti, meski secara terbatas karena bahasanya tidak saling mengerti. Mereka umat yang berbeda, kadang-kadang umat yang terpisah, tapi mereka umat dari Allah yang sama.
Saya kadang-kadang ingin kritis pada orang-orang yang salah kaprah berdoa, begini: “Tuhan, berkati umat-umat-Mu”. Dalam hal ini saya ingat banget waktu SMP pelajaran Bahasa Indonesia, bahwa beberapa istilah kalau sudah jamak maka tidak usah dibikin bentuk ulang; misalnya, kita tidak mengatakan ‘jemaat-jemaat’ karena itu istilah yang jamak jadi tidak usah diulang, sedangkan ‘orang’ bisa jadi ‘orang-orang’, demikian juga ‘pribadi-pribadi’, tapi kalau ‘umat’ tidak usah diulang. Namun saya pikir-pikir yang sebaliknya juga benar; benar juga kalau kita mengatakan ‘umat-umat’, kenapa? Karena umat ada banyak. Sama juga dengan ‘Gereja’ itu jamak, ‘jemaat’ juga jamak, tapi kita juga bisa bicara ‘Gereja-gereja’, ‘jemaat-jemaat’, sama seperti ‘negara-negara’, ‘bangsa-bangsa’ –yang juga jamak– karena bangsa yang satu beda dengan bangsa yang lain. Demikian halnya dengan ‘umat-umat’. Tapi, kalau berdoanya ‘Tuhan berkatilah umat-umat di tempat ini’, karena berpikirnya saya umat, dia umat, kamu juga umat, maka jadi umat-umat, ada 500 umat di sini, jadi tidak tepat, karena kita satu umat GRII Kelapa Gading, bahkan kita masih satu umat dengan GRII yang di Kemayoran; sedangkan misalnya dengan Gereja Ortodoks Siria, memang beda umat, maksudnya beda komunitas. Namun dalam perbedaan komunitas ini, kita bicara mengenai sama-sama diterima, sama-sama dipilih, oleh satu Allah –tanpa meniadakan perbedaan komunitasnya; dan itu sesuatu yang indah. Coba bayangkan kalau seluruh kekayaan diversitas kuliner Nusantara disatukan jadi satu menu yang paling super, yang nomor satu, yang sudah dikompetisikan mulai dari rendang, babi panggang Karo, dsb., dsb., lalu kita makan yang nomor satu itu terus-menerus, setiap hari, satu hari tiga kali, seumur hidup –karena sudah nomor satu, the best of the best— mau ‘gak? Kita kehilangan ‘gak? Tentu kehilanganlah. Demikian juga dengan tradisi musik, tradisi film, tradisi teologi, tradisi whatever.
Komunitas ada banyak. Tentu ini bukan berarti semua baik. Seringkali karikaturnya ‘kan jadi begini: “Kalau begitu, semua baik, ya, Pak; tahi juga baik Pak, untuk dimakan”. Ya, tidaklah. Tentu saja tidak semua baik. Tapi yang baik itu lebih dari satu!
Yang diterima Tuhan lebih dari satu. Yang diterima Tuhan bukan hanya umat dari golongan bersunat, tapi juga umat yang berasal dari golongan tidak bersunat, yang keduanya itu benar-benar berbeda. Dan, nantinya kita melihat umat dari golongan tidak bersunat ini, dalam sejarah Gereja, ternyata lebih berbeda-beda lagi. Umat dari golongan bersunat saja bisa beda-beda; golongan Farisi yang jadi Kristen, akan berbeda dari golongan Saduki yang jadi Kristen. Waktu mereka belum Kristen, Farisi dan Saduki gontok-gontokan terus, kecuali waktu mau bunuh Yesus, waktu mau matiin Saulus, mereka bisa bersatu, sedangkan waktu keadaan damai-damai saja, mereka berantem terus. Lalu waktu mereka jadi Kristen, apa mereka bisa get along tanpa ada friksi? Saya kira tidak. Jadi, keumatan itu ada diversitas; memang benar ada kesatuan, tapi kesatuannya di dalam Tuhan. Maksudnya, sama-sama diterima oleh Tuhan, sama-sama dipilih oleh Tuhan.
Tentu juga ada yang bukan umat. Kalau orang itu mengatakan ‘Yesus bukan Mesias’, dia umat atau bukan? Kalau orang itu mengatakan ‘Kerajaan Allah belum datang’, dia umat atau bukan? Bukan, karena Injil adalah Kerajaan Allah sudah datang di dalam Yesus; Yesus dari Nazaret adalah Mesiasnya. Kalau orang itu mengatakan ‘Yesus dari Nazaret bukan Mesias, Dia cuma nabi doang’, dia umat Tuhan atau bukan? Bukan. Hal ini lain perkara dengan urusan apakah Tuhan mengasihi dia atau tidak, karena Tuhan memang memberikan matahari, hujan, dan segala kebaikan, menunda penghakiman; dan juga, tidak tentu dia bukan umat Tuhan sampai mati, namun sampai pada poin tadi, dia bukan umat Tuhan, soalnya kita dikumpulkan di dalam kepercayaan bahwa Kerajaan Allah sudah datang di dalam Yesus. Kalau kita tidak percaya Kerajaan Allah sudah datang di dalam Yesus, maka kita bukan umat dari Tuhan Yesus Kristus. Tapi, di dalam orang-orang yang percaya Kerajaan Allah sudah datang di dalam Yesus Kristus, tentu saja bisa ada banyak keragaman, ada beda-beda. Di sinilah kita bicara mengenai umat-umat, jemaat-jemaat, mengenai diversitas tradisi Kekristenan, diversitas tradisi teologis.
Kita lanjutkan. Dalam ujaran Yakobus, Simon telah menceritakan bahwa pada mulanya Allah menunjukkan rahmat-Nya dengan memilih bagi nama-Nya suatu umat dari bangsa lain. Di sini tidak mengatakan tentang integrate bangsa lain itu ke dalam satu keumatan tunggal, semacam dalam satu sistem integrated nation fascisme ala Benito Mussolini dengan umat Yahudi, melainkan tetap ada perbedaan, ada ‘bhineka tunggal ika’, unity in diversity, umat-umat yang berbeda tapi diterima dan dipilih oleh Allah yang sama di dalam Yesus.
Kemudian Yakobus mengutip Amos pasal 9:11-12, “Aku akan kembali, membangun kembali pondok Daud yang telah roboh, reruntuhannya akan Kubangun kembali dan akan Kuteguhkan”. Biasanya kalau kaum Zionis membicarakan bagian ini, mereka percaya kejayaan umat Israel akan berdiri kembali, dst., karena Tuhan sudah berjanji kepada Daud akan meneguhkan rumah Daud selamanya (rumah Daud ini maksudnya dinasti Daud, yang muncul dalam istilah ‘pondok Daud’, the House of David). Namun kutipan dari Amos oleh Yakobus di sini tidak berhenti pada ayat 16, tapi lanjut ke ayat 17. Jadi bukan sekadar dinasti Daud tegak lagi, melainkan dinasti Daud tegak lagi “supaya semua orang lain –artinya yang bukan umat Daud, bukan umat Yahudi– yang mencari Tuhan, segala bangsa yang atasnya nama-Ku disebut, boleh kembali kepada-Ku”. Artinya, ditegakkannya wangsa/dinasti Daud; dan kita tahu, wangsa Daud dalam hal ini kepalanya ternyata Yesus; dan kalau kepalanya Yesus, agendanya ternyata bukan menegakkan kembali kekuasaan episentrum politis di Sion, bukan Zionisme, melainkan bahwa segala bangsa yang bertobat dan meninggalkan kejahatannya dan percaya datangnya Kerajaan Allah dalam Yesus, beroleh akses kepada Allahnya Abraham, diterima sebagai anak-anak oleh Allahnya Abraham, yang berjanji kepada Abraham agar keturunannya menjadi berkat bagi segala bangsa. Jadi ini bukan kontra atau plan B dari janji tersebut, melainkan penggenapan dari janjinya, karena ‘segala bangsa’ ini sudah termaktub dalam perjanjian Allah dengan Abraham itu. Ini bukan perjanjian yang novel atau baru sama sekali, tapi sudah terkandung dalam rencana semula, karena Tuhan berjanji kepada Abraham bahwa melalui keturunannya segala bangsa akan diberkati. Jadi tegaknya kembali keturunan Daud ini bukan untuk menjajah bangsa-bangsa lain, melainkan menjadikan bangsa-bangsa lain itu milik Tuhan.
Selanjutnya, keputusan Yakobus itu basically di-kodifikasi. Dalam hal Petrus dan Yakobus, sering kali ini kita bilang, “Petrus ‘kan penjaga pintu surga, kepalanya Gereja, paus yang pertama”, namun dalam Kisah Para Rasul, setidaknya di bagian ini, Yakobus itulah yang keputusannya di-kodifikasi (ditulis). Petrus saksi ahli, dia referensinya, tapi yang di-kodifikasi adalah keputusannya Yakobus. Dia memutuskan suatu etika terhadap bangsa-bangsa yang bukan Yahudi, dia mengatakan: “Kamu tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah, dengan menjadikan mereka second class citizens, memaksa mereka disunat, dsb.; tidak boleh begitu, tapi kita harus menulis surat kepada mereka supaya mereka menjauhkan diri dari hal-hal berikut …”. Ada empat hal di situ, dan ini tidak menyangkut sunat, tidak menyangkut menghapus ke-khas-an dari identitas etnis/kebangsaan mereka. Keempat hal itu adalah: mereka harus menjauhkan diri dari hal-hal yang dicemarkan berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik, dan dari darah. Nantinya kita lihat dalam kodifikasinya urutan tersebut diubah. Ayat 29 bentuk tertulisnya diganti jadi: yang pertama, masih menjauhkan diri dari hal-hal –yang dibikin spesifik yaitu makanan– yang dipersembahkan kepada berhala; yang kedua, tadinya percabulan, sekarang diganti jadi dari darah, sedangkan dalam oral tradition-nya tadi adalah nomor empat; yang ketiga tetap sama, dari daging binatang yang mati dicekik; dan yang nomor dua, percabulan, jadi nomor empat.
Rasul-rasul dan penatua-penatua serta seluruh jemaat kemudian sepakat. Mereka jabat tangan mengambil keputusan untuk meng-kodifikasi hal-hal tersebut, dan mengutus orang-orang untuk menjelaskan keputusan itu. Yang dipilih adalah Silas dan Yudas Barsabas. Dijelaskan juga dalam suratnya, alasan mereka memilih Barsabas dan Silas, yaitu karena mereka ini sudah mempertaruhkan nyawa bagi Tuhan. Mereka itu berkorban banyak. Mereka put their skin on the game –kalau pakai istilahnya Nassim Taleb. Mereka bukan orang-orang yang komentar doang tapi kerja kagak, nyumbang kagak, komen-komen doang, lagipula banyak kontranya; mereka berkorban, mereka mendoakan, mereka berjuang di sana.
Barsabas dan Silas membawa surat itu, menjelaskannya kepada jemaat di sana, membacakan suratnya, dan diterima. Tidak dicatat ada protes dari orang-orang golongan Farisi. Tidak dicatat juga orang-orang ini mendengar atau tidak, komen apa, dsb. Tidak dicatat apakah orang-orang dari Yudea masih ada di situ atau tidak, apakah ada yang mendukung mereka, dsb. Intinya, happy ending; mereka just menerima dengan sukacita, karena –sebagaimana dicatat oleh Lukas– isinya memberi penghiburan, menguatkan. Ini solusi yang bisa diterima semua pihak karena uplifting.
Yudas dan Silas kemudian menguatkan hati mereka, tinggal beberapa waktu. Silas kemudian memilih untuk stay, sementara Yudas Barsabas pergi. Paulus dan Barnabas stay juga di kota itu. Jadi sekarang ada Paulus, Barnabas, dan Silas. Di kemudian hari juga ada Yohanes Markus, selain orang-orang yang lain, melayani di Antiokhia.
Setelah beberapa lama (kemungkinan beberapa tahun) mengajar dan memberitakan firman Tuhan di sana, Paulus berkata kepada Barnabas: “Yuk, kita kunjungi lagi tempat-tempat yang kita pernah church planting.” Namun kemudian ada pertikaian lain di antara mereka, pertikaian minor, pertikaian yang kedua. Pertikaian yang pertama mengenai doktrin, mengenai penerimaan jemaat-jemaat yang berasal dari non-Yahudi, apakah diperlakukan setara atau tidak; sedangkan pertikaian yang kedua lebih ke arah personal. Barnabas sepertinya lebih besar hati, lebih toleran, dia ini juga yang memperkenalkan Paulus ketika baru bertobat sementara waktu itu orang-orang Kristen curiga terhadap Paulus berhubung tadinya dia menganiaya orang Kristen. Dan Barnabas ini sekarang memberi kesempatan kedua kepada Yohanes Markus yang pernah meninggalkan pelayanan (catatannya ada di bagian-bagian yang sebelumnya), selain karena hatinya besar, kemungkinan juga karena dia masih saudara dengan Yohanes Markus. Barnabas bersikeras membawa Yohanes Markus, memberinya kesempatan kedua karena hal ini baik untuk perkembangannya, tapi Paulus tegas mengatakan tidak baik. Akhirnya mereka pisah jalan, Barnabas membawa Yohanes Markus berlayar ke Siprus; Paulus memilih Silas, kemudian melayani ke Siria dan Kilikia. Dua tim itu jadi lebih besar, melayani dengan lebih baik.
Jadi dua pertikaian ini, yang pertama mengenai doktrinal dan juga etika, lalu yang kedua lebih ke personal, pada akhirnya tidak menghalang-halangi datangnya Kerajaan Allah, tidak menghalang-halangi tersebar luasnya Injil Kerajaan itu di seluruh wilayah. Hari ini kita melihat hal itu.
Lalu apllikasinya apa? Saya memang tidak wajib memberikan aplikasi, namun saya mau memberikan contoh soal sederhana saja. Kalau hal-hal mengenai sunat, mengenai makan binatang yang matinya dicekik, atau makan darah, saya kira bukan aplikasi yang baik. Kita tidak bisa mengatakan, “Ini Yakobus masih menekankan lho, tidak boleh makan makanan yang dipersembahkan atau dicemari oleh berhala; koq, kamu makan babi kecap yang sudah disembahyangi sembahyangan Engkong? Tidak boleh, lho”, dsb. Saya lahir dalam keluarga bukan Kristen; nenek dulu suka memberikan sembahyangan ke almarhum Engkong saya seperti itu, dan saya sebagai anak kecil menunggu-nunggu kapan babi kecapnya itu bisa saya makan, yang nenek biasanya memisahkan buat Engkong dulu, katanya. Suatu ketika saya lalu jadi Kristen. Kemudian waktu nenek mengajak saya pegang sesuatu dan sembahyang minta berkat dari Engkong, dsb., saya bilang, “Saya sudah jadi Kristen.” Lalu dia tanya pertanyaan kedua, “Lu sudah dibaptis apa belum? Kalau sudah, ya ‘gak boleh; kalau belum ya ‘gak apa-apa, sembahyang saja dulu.” Jadi bahkan mereka pun punya pengertian semacam itu, bahwa makanan yang sudah dipersembahkan kepada berhala tidak boleh dimakan, dsb. Jadi waktu Yakobus pun mengatakan itu, apakah aplikasinya bagi kita juga seperti itu? Saya kira tidak.
Saya kira hal ini harus ditaffsirkan dalam terang 1 Korintus juga. Di situ Paulus bicara mengenai makanan yang sudah dipersembahkan kepada berhala; basically dia mengatakan, kalau hal itu menimbulkan batu sandungan bagi saudaramu, jangan dimakan, karena ini urusan makan doang, urusan kecil, seumur hidup ‘gak makan juga tidak apa-apa; tapi kalau tidak menyebabkan syak wasangka, tidak jadi batu sandungan, ya makan saja. Kata Paulus, berhala itu ‘kan nothing; berhala itu, dalam pengertian nabi-nabi Perjanjian Lama cuma kayu dan batu, kayunya buat pendiangan menghangatkan badan, lalu masih ada sisa, sayang dibuang maka diukir jadi berhala lalu disembah-sembah, cuma gitu doang katanya nabi-nabi Perjanjian Lama. Jadi, makan ya makan saja, tidak usah over thinking. Tapi kalau jadi batu sandungan, jangan dimakan, demi saudaramu yang lemah iman; kamu yang kuat iman, jangan makan. Kira-kira begitu kata Paulus. Demikian bagian ini kita harus membacanya dalam terang surat Paulus juga, karena Paulus juga terlibat dalam pertikaian tersebut, Paulus tentunya juga punya suara di situ, dan kemudian ada waktu untuk dia bisa develop teologinya dengan lebih baik. Jadi dalam hal ini, saya akan mengatakan mengenai makan daging yang sudah dipersembahkan kepada berhala, kita musti melihatnya dalam terang surat Korintus; dan di situ kita melihat tidak sesimpel itu, maka kita tidak terpanggil untuk menerapkan sekadar anjuran Yakobus. Demikian hal ini juga kita apply pada urusan darah. Beberapa orang makan babi panggang misalnya, kalau tidak ada darahnya, kurang seru. Tapi kalau urusan darah ini menjadi batu sandungan bagi saudara-saudara kita, ya mendingan tidak dimakan. Jadi bukan urusan secara substansial pada darahnya itu sendiri, karena kita bukan legalis; kita berbasis pada ‘mengasihi’, kita lakukan segala sesuatu karena kasih.
Ini sebagaimana satu slogan –yang sering kali di-atribusikan kepada Agustinus tapi mungkin bukan dari Agustinus– yang mengatakan: mengenai perkara-perkara yang bisa ditawar, perkara-perkara yang kecil, yang relatif, tidak usahlah kita bertengkar; mengenai perkara-perkara yang absolut, yang mau tidak mau harus begitu, kita tidak boleh kompromi; tetapi kalau kamu mau menegur, atau kamu mau menahan diri dari menegur, lakukanlah itu semua di dalam kasih. Jadi di dalam semuanya, kita harus mengedepankan kasih, in omnia charitas, baik itu menegur maupun menahan diri dari menegur, untuk urusan yang kita anggap absolut (sebaiknya memang yang betul absolut). Namun kita juga musti punya moderasi, tidak langsung memutlakkan posisi kita “ini absolut” hanya gara-gara kita anggap absolut, karena tidak tentu itu absolut. Namun di dalam semuanya, baik kamu memutuskan menegur atau tidak, baik itu absolut ataupun relatif, ketika kamu melakukannya, lakukan karena kasih. Bukan melakukan karena ingin mengalahkan, mau mepertahankan muka supaya semua orang tahu who is the boss here, melainkan karena kasih. Kasih itu apa? Kebaikan buat yang lain. Itulah kasih.
Jadi, makan atau tidak makan, itu urusan kecil; lakukan untuk kebaikan bagi yang lain. Demikian juga urusan dipersembahkan kepada berhala, urusan binatang yang mati dicekik, urusan darah, karena Yakobus pun mengatakan alasan diberikannya yaitu: (ayat 21) “Sejak zaman dahulu hukum Musa diberitakan di tiap-tiap kota, dibacakan tiap-tiap hari Sabat di rumah-rumah ibadat”. Artinya apa? Artinya hal ini dipegang secara ketat oleh saudara-saudara kita, umat Yahudi, orang-orang Yudea itu, orang-orang Farisi itu, walaupun mereka sekarang sudah jadi Kristen. Mereka pegang ketat itu, sudah kebiasaan, jadi demi hati nurani mereka, demi mereka tidak tersandung, ya kamu lakukan.
Namun kita juga tahu ada perintah lain di sini yang lebih universal, yaitu mengenai percabulan. Tentu ada theological nuance juga waktu kita membaca bagian ini, kenapa di-single out percabulan, kenapa tidak disebutkan juga soal mencuri, membunuh, bersaksi dusta, menginginkan milik sesama, dst., yaitu barangkali ini bukan bicara percabulan sekadar sebagaimana yang kita suka pikir, seperti berselingkuh, melakukan hubungan seks di luar nikah, dsb. Alternatif tafsirannya, barangkali –saya tidak ajukan sebagai tafsiran yang mutlak– yang dimaksud Yakobus di sini adalah adulterasi antara suku-suku yang bukan Israel dengan Israel, antara latar belakang etnis dan agama yang berbeda, yaitu semacam perkawinan campur. Tentu saja bukan berarti percabulan jadinya tidak apa-apa; maksud saya, kalau bicara percabulan dalam pengertian fornication, itu sudah jelaslah, tidak perlu di-single out untuk kasus ini karena itu universal, seperti juga Yakobus tidak bilang: “Kamu harus ingat lima hal ini, menjauhkan diri dari makanan yang dicemarkan berhala, dari percabulan, dari binatang yang mati tercekik, dari darah, dan dari membunuh”, meski jelas dia bukan mengizinkan membunuh. Poin saya, kita musti melihat bagian in line dengan tiga perintah yang lain, yang sangat terkait dengan situasi-situasi atau hal-hal yang berkaitan dengan konfliknya; dan konfliknya bicara soal penanda identitas. Konfliknya tadi mengenai sunat; dan sunat di sini bukan bicara urusan medical atau apapun, tapi sebagai identitas etnis bagi orang Yahudi, maka waktu bicara percabulan, juga berarti percabulan dalam urusan identitas etnis. Kalau kita mengertinya sebagai ketidaksetiaan seksual, itu tentu bukan monopoli bangsa Romawi atau Yunani tapi semua bangsa, juga orang Yahudi.
Jadi, poin aplikasinya adalah: kita musti coba menemukan implikasi teologis dari bagian ini bicara apa kepada kita, yang tidak mendapati makan daging yang dicemari berhala sebagai urusan yang bisa menghalangi orang jadi Kristen. Kalau nenek saya melihat saya makan babi kecap yang sudah dipersembahkan kepada Engkong, itu tidak bikin dia tidak jadi Kristen (in fact, dia dibaptis juga sebelum meninggal), dia tidak terhalang sama sekalilah dengan segala macam itu. Dalam hal ini kita musti mencari sesuatu yang lain; dan kalau bagi saya kira-kira hal berikut ini.
Di dalam dunia kita, orang Kristen ada yang menganut ideologi yang kanan, ada yang kanan ekstrim, ada yang kiri, ada yang kiri ekstrim. Lalu biasanya orang yang punya ideologi politis ekstrim kanan, punya ketidaksukaan, kejijikan, banyak prasangka, terhadap orang yang punya ideologi kiri banget. Demikian juga orang yang punya ideologi politis ekstrim kiri banget, punya kejijikan, prasangka, penghinaan, terhadap orang yang punya ideologi kanan banget. Ini misalnya apa, dalam benak kita? Kalau di Amerika lebih gampang sebutnya, karena urusan kanan kiri ini kelihatan dari luar, ada para pendukung Trump, MAGA, ada orang-orang yang mendukung Biden atau mungkin mendukung hanya karena tidak suka Trump.
Ada kanan dan kiri; kanan bisa diartikan banyak macam, namun secara ekonomis kanan lebih mendukung misalnya privatisasi, swastanisasi, baguslah kalau the winner takes it all –kalau dalam ekonomi, ini yang memang kompeten cari uang, pintar, mungkin licik juga, mungkin tega juga– karena otherwise kita dipimpin oleh medioker, karena otherwise kita tidak memberi insentif kepada orang-orang yang benar-benar berusaha dan punya talenta. Saya ambil contoh dari kuliahnya Michael Sandel (profesor Political Theory di Harvard), salah satu yang paling banyak di-akses di internet, yaitu seri kuliah Justice. Contohnya begini: kalau kamu mendengar CEO suatu bank pada tahun 2008, saat terjadinya krisis perbankan, menerima bonus sekian juta dolar, kamu punya perasaan bagaimana, apa sikapmu, apa alasan yang kamu ajukan untuk mendukung sikapmu? Ada beberapa orang bilang, “Tidak pantas banget! Kita semua lagi bangkrut, mereka enak-enak saja pesta, terima jutaan dolar. Prestasinya apa?!” dsb. Tapi ada juga kontra-argumennya. Menurut Sandel, alasan yang diajukan di antaranya adalah: kalau kamu tidak berikan bonusnya, kamu mendapatkan orang-orang payah yang jadi CEO; dan kalau orang payah yang mengambil kebijakan, nanti kita sama-sama lebih menderita dibandingkan kalau orangnya yang tidak payah. Insentif diberikan kepada siapa, ini pertikaian yang tidak habis-habis. Pertikaian ideologis, yang tentu juga ada badannya, ada kakinya, ada akarnya –dan akar paling dasar agama, dsb. Meminjam istilahnya Jonathan Haidt, kalau kita bikin polarisasi terus, demonisasi terus –yang kanan demonisasi yang kiri, yang kiri demonisasi yang kanan– it doesn’t help kehidupan kita bersama sebagai masyarakat (saya anjurkan Saudara membaca bukunya, The Righteous Mind).
Jadi, aplikasi kita hari ini adalah: kalau kita menjumpai saudara kita yang punya ideologi atau sikap ekonomi yang buat kita menjijikkan karena dia orang kanan, atau menjijikkan karena dia orang kiri, maka kita musti mengingat bahwa Allah tidak membeda-bedakan, bahwa Yesus juga mati bagi mereka, bahwa mereka juga saudara kita. Dan kita musti mengingat bahwa busur keadilan itu memang sering kali panjang dan ujungnya tidak kelihatan –demikian Theodore Parker katakan–tetapi kita tahu pada ujungnya siapa yang menghakimi semua ini, yang pada akhirnya akan menegakkan keadailan, yaitu Tuhan. Tuhan bukan hari ini menegakkan keadilan-Nya, tapi kelak ketika Yesus datang kembali. Dan, ketika Yesus datang kembali, apakah Dia akan menepuk-nepuk punggung orang-orang yang punya pandangan politis kanan dan menginjak-injak kepala mereka yang punya pandangan politis kiri? Tidak tentu. Demikian juga sebaliknya. Jadi sebaiknya kita mengatakan, “Saya agnostik mengenai hal ini, saya tidak tahu” (maksudnya agnotisme dalam urusan ideologis). Kita punya dukungan argumen dan evidence untuk posisi ideologis kita –saya tidak bilang posisi teologis– namun kita mungkin tidak tahu as far as di pihak seberang ada juga orang Kristen, ada juga orang yang percaya Kerajaan Allah dalam Yesus; dan kalau kita tidak tahu, better kita membuka telinga untuk mendengarkan, membuka hati memahami –sebab kita tidak tahu. Dan, kita tidak boleh berlagak tahu Tuhan berpikir apa mengenai hal-hal itu. Kita tahu Tuhan berpikir apa mengenai orang berdosa, mengenai dosa, mengenai penebusan, mengenai ciptaan, mengenai manusia, sebab Tuhan memberitahu dalam Yesus, tapi memangnya kita tahu Tuhan berpikir apa mengenai penataan ekonomi, for sure, absolutely, in final form?? Ya tidaklah. Kita tahu pelan-pelan. Kalau kita mengabsolutkan itu, apalagi dengan harga yang harus dibayar, dengan kita demonize orang-orang Kristen lain itu sebagai tidak Kristen, penyembah iblis, dsb., apakah alasan yang kita ajukan sungguh-sungguh benar, sungguh-sungguh yang Tuhan katakan? Kita musti mempertanyakan itu.
Poin saya, sebaiknya kita mengatakan bahwa dalam banyak hal kita tidak tahu Tuhan bersikap apa, tapi tentu bukan berarti kita tidak tahu semua hal; namun dalam beberapa hal sebaiknya kita menunda penghakiman, dan kita mengedepankan mendengarkan dan berdialog. Tentu bukan dalam semua hal, karena beberapa hal memang kita tahu secara pasti; kita tahu for sure bahwa Tuhan ada, Yesus itu Mesias, karena Roh bersaksi dalam hati kita bahwa Kerajaan Allah sudah datang dalam Yesus, tapi mengenai penataan ekonomi, teori-teori sains, konspirasi teori tertentu, pandemi atau apapun, kita tidak tahulah. Kalau tidak tahu, ya bilang saja, “Setahu gue begini”, jangan mengatakan ‘sebenarnya begini’, karena dalam banyak hal ‘sebenarnya‘ itu kita tidak tahu –tapi banyak hal lain kita tahu juga sebetulnya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading