Ini adalah berita kebangkitan, tentang Yesus menampakkan diri kepada Maria Magdalena; dan ayat 17 menjadi tema hari ini, “Noli me tangere” (“Janganlah engkau memegang Aku”).
Dalam kotbah-kotbah yang lalu kita sudah membahas bagaimana manusia tidak sanggup berurusan dengan dunia kematian. Di pasal-pasal awal Injil Yohanes, ketika Yesus ditanya di mana Dia tinggal, Dia mengatakan, “Marilah dan lihatlah”, dan yang mau dinyatakan oleh Yesus adalah Pribadi Yesus sendiri –kuasa-Nya, kehidupan-Nya, kebaikan-Nya, cinta kasih-Nya, kekudusan-Nya, kebenaran-Nya, dst. Tetapi terbalik dengan itu, waktu Marta dan Maria bergumul dengan dunia kematian yang sedang mengalahkan Lazarus, yang bisa dipertontonkan oleh manusia hanyalah kubur; waktu manusia mengatakan kepada Tuhan “Marilah dan lihatlah”, yang dipertontonkan manusia kepada Tuhan hanyalah dosa, kematian, kegelapan, ketiadaan pengharapan –semua kehidupan yang hancur, dunia kematian. Saya ingin menyambung dengan prinsip ini waktu kita membaca ayat 11, ‘Maria berdiri dekat kubur itu dan menangis’ –Yesus pun akhirnya masuk ke dalam dunia itu juga.
Waktu Yesus datang ke dalam dunia, Dia bukan datang untuk mengalami fasilitas yang baik, dilayani, dipuji-puji, dan semua orang percaya kepada Dia. Yesus tahu, Dia akan menghadapi ketidakpercayaan, penolakan, kebencian, tapi Dia tetap datang ke dalam dunia. Dia datang bukan untuk masuk ke dalam ruangan yang harum semerbak, Dia datang untuk menghampiri Lazarus yang sudah jadi bangkai. Mungkin Saudara mengatakan “Yesus tidak datang ke tempat itu, koq, Dia cuma teriak dari luar; mungkin saja waktu batunya dibuka, baunya keluar, tapi Yesus tetap di luar”; tetapi Yesus betul-betul masuk ke dalam dunia itu. Yesus betul-betul secara harfiah masuk ke dalam kuburan itu. Inilah yang kita renungkan dan hayati pada hari Jumat dan Sabtu, lalu pada hari Minggu Paskah kita melihat shift yang terjadi dalam kehidupan Yesus; dan bukan hanya dalam kehidupan Yesus, tapi juga kehidupan umat yang percaya kepada Yesus, yang seharusnya terjadi transformasi ini, dari kematian kepada kehidupan.
Di bagian yang kita baca ini, Maria Magdalena pengharapannya sudah habis, karena Yesus yang dipercaya itu ternyata berakhir sama seperti Lazarus; meskipun Lazarus sudah dibangkitkan tapi akhirnya Yesus mati juga. Dalam keterbatasan para murid, mereka tetap tidak bisa mengerti Yesus yang sudah membangkitkan Lazarus, Yesus yang sudah mengatakan “Akulah kebangkitan dan hidup”; semua itu tetap tidak cukup bagi mereka. Iman manusia begitu lemah dan begitu terbatasnya, sehingga kalau bukan Tuhan yang bekerja, kalau bukan Tuhan yang menyatakan kuasa-Nya, kalau bukan Tuhan yang menahan kita, kalau bukan Tuhan yang terus menarik kita untuk setia kepada-Nya, sebetulnya manusia tidak bisa diharapkan. Dalam hal ini, Teologi Reformed sangat menekankan pekerjaan Tuhan jauh melampaui pekerjaan manusia, termasuk kesanggupan kita beriman, kesanggupan kita bertekun, dsb. Waktu kita membicarakan iman dan kesetiaan, sebenarnya kita membicarakan kesetiaan-Nya Tuhan. Waktu kita membicarakan kesalehan dan kebenaran, sebenarnya kita membicarakan kesalehan dan kebenaran Kristus. Termasuk juga waktu kita bicara tentang pengharapan, kita tidak membicarakan pengharapan Saudara dan saya, karena pengharapan kita sangat tidak stabil, sekarang kita berharap, besok kita berhenti berharap, hari berikutnya kita optimis lagi, besoknya kecewa lagi, lalu besoknya lagi malah jadi sinis, sarkastis, dsb. –itulah pengharapan dalam kehidupan manusia. Tetapi Tuhan tidak pernah menyerah, Tuhan terus berharap pengudusan yang terjadi dalam kehidupan umat-Nya, yaitu Saudara dan saya.
Maria berdiri dekat kubur, dan menangis; dia menangis, karena sekarang ini bukan persoalan Lazarus lagi tapi persoalan bahwa Tuhan yang mereka kasihi, ternyata juga mati. Memang ini bukan Maria saudaranya Marta, melainkan Maria Magdalena. (Secara tradisi Gereja dari abad pertengahan, mungkin ada kekeliruan waktu Maria Magdalena digambarkan sebagai seorang pelacur yang bertobat. Sebetulnya di dalam Alkitab tidak pernah ada kejelasan bahwa dia seorang pelacur; yang dikatakan Alkitab, dia ini yang pernah dirasuk 7 roh jahat kemudian dibebaskan oleh Kristus). Maria ini menangis dan menjenguk ke dalam kubur; Tuhan, yang tadinya diharapkan, sekarang ternyata masuk juga ke dalam dunia kematian sama seperti Lazarus, sama seperti yang dialami orang-orang lain.
Dalam cerita ini dikatakan ‘tampaklah olehnya dua orang malaikat berpakaian putih’. Kalau Saudara membaca Perjanjian Lama, perjumpaan dengan malaikat bukanlah hal yang biasa, bukan hal yang sehari-hari, tetapi di bagian ini kita lihat, betapa sedemikian helpless-nya kehidupan manusia, sampai-sampai malaikat mengajak bicara pun sudah tidak terlalu menarik buat kita. Orang-orang yang pikirannya beriman kepada malaikat ini dan itu –seperti Paulus pernah mengkritik orang-orang yang beribadah kepada para malaikat—akhirnya menyesatkan. Di dalam cerita Injil, Saudara baca bahwa malaikat pun tetap tidak bisa menolong. Di sini Alkitab tidak mencatat Maria Magdalena tidak menyadari bahwa yang dilihatnya itu adalah malaikat. Yohanes khusus mencatat Maria Magdalena tidak menyadari kehadiran Tuhan Yesus, dia mengira itu tukang kebun, tapi Yohanes tidak pernah mencatat Maria tidak mengenali kedua orang berpakaian putih itu malaikat. Berdasarkan prinsip ini, kita boleh berasumsi bahwa Maria tahu itu adalah malaikat, tapi malaikat pun tidak bisa menolong. Malaikat menyatakan belas kasihan –meski saya percaya mereka tidak terlalu bisa mengerti. Malaikat tidak ada kemampuan untuk mengerti kesulitan hidup manusia dari perspektif pengalaman, karena malakat yang jatuh sudah tidak ada penebusan, sedangkan malaikat yang tidak jatuh, ya, tidak jatuh. Waktu malaikat melihat kehidupan manusia dengan segala kesulitannya, mereka selalu melihatnya dari outsider’s perspective. Tetapi Yesus melihat bukan dari perspektif orang luar; Yesus melihat dari perspektif di dalam diri-Nya sendiri, karena Dia betul-betul mengalami hal itu, bahkan sampai mengalami kuasa kematian. Dia mati seperti Saudara dan saya. Maka di bagian ini malaikat cuma bisa mengatakan “Ibu, mengapa engkau menangis?” dan Maria bahkan tidak tertarik dengan keberadaan malaikat-malaikat itu, dia tidak mengatakan, ‘kamu ‘kan malaikat, harusnya lebih tahu Dia ada di mana daripada saya yang cuma manusia, ayo, tolong dong cari’. Kalimat seperti itu tidak ada sama sekali; yang keluar dari mulutnya adalah: "Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana Ia diletakkan.”
Pikiran Maria begitu fixed, berfokus kepada kesulitan hidup manusia, di dalam kegelapan total, seperti tidak ada pengharapan sama sekali. Inilah bahayanya kehidupan orang yang terus-menerus memberi kesempatan kepada kesulitan hidup untuk menguasai pikirannya. Dalam Alkitab tidak ada yang ditutup-tutupi, termasuk juga kehidupan Maria Magdalena. Saya tidak merasa perlu membuat semacam hagiografi di sini, yang seakan perlu menyelamatkan Maria Magdalena dari semua kekeliruan sehingga semua yang dikatakannya jadi benar, jadi kudus, dan jadi berkenan kepada Tuhan; sudah pasti tidak ada tekanan seperti itu dalam iman Protestan, karena semua orang-orang berdosa seperti Saudara dan saya. Kalimat Maria ini, "Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana Ia diletakkan”, memperlihatkan betapa sudah ada malaikat pun di sana, tetap tidak bisa membawa Maria keluar dari persoalannya. Saya tidak mau mengatakan itu karena malaikatnya kurang berkuasa, atau kurang berkilauan, atau pancaran auranya kurang sehingga kalah oleh redupnya problem Maria; persoalannya bukan ada pada malaikat, persoalannya ada pada manusia, Maria, Saudara dan saya. Waktu dalam kehidupan ini, kita terus-menerus memberi kesempatan kepada pikiran-pikiran negatif dan kesulitan-kesulitan hidup untuk menguasai kita, maka kita akan terus berada di dalam kubur, tidak ada kuasa kebangkitan. Itu berarti kita sedang menyembah dan beribadah kepada kesulitan kita.
Adalah semacam berhala dalam kehidupan manusia, ketika manusia terus-menerus minta dirinya dibelaskasihani karena hidupnya begitu sulit, tidak ada jalan keluar, dsb. Itu berarti terus-menerus memanjakan kuasa kematian untuk menguasai kehidupan manusia; bahkan sampai Yesus ada di situ pun, Maria tetap tidak bisa mengenali. Yesus ada di situ, hadir secara tubuh/fisik –meski itu tubuh yang berbeda, tubuh kebangkitan—tapi Maria tetap berada dalam awan kegelapan.
Tetapi ayat 15 Yesus bertanya kepada Maria, "Ibu, mengapa engkau menangis?” Ini kalimat yang sama dengan yang dikatakan malaikat tadi; malaikat sebetulnya mengantisipasi apa yang akan dikatakan oleh Yesus Kristus, tetapi malaikat tidak bisa menolong lebih jauh lagi. Setelah Maria mengatakan “Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana Ia diletakkan" selesai, tidak ada pembicaraan lagi dengan malaikat. Dan yang ada sekarang adalah Yesus Kristus.
Yesus Kristus tanya lagi kepada Maria, "Ibu, mengapa engkau menangis?” Banyak yang kita bisa gali dari bagian ini, termasuk dalam hal pelayanan pastoral; meskipun ada kalimat keras yang kita katakan tadi supaya Saudara jangan menyembah kesulitan-kesulitan karena kesulitanmu itu bukan Tuhan, bukan lalu berarti Tuhan tidak mau mengerti kesulitan kita. Jika tidak hati-hati, kadang-kadang kita mengarahkan orang untuk menghidupi satu kehidupan yang teosentris (berpusat kepada Tuhan), lalu kita jadi kurang belas kasihan, kurang pengertian, kurang sabar, dsb. Ini memang seni yang tidak mudah, tapi kalau kita melihat kehidupan Yesus, Yesus masuk ke dalam dukacitanya Maria, "Ibu, mengapa engkau menangis? Siapakah yang engkau cari?" –satu pendekatan pastoral, membiarkan Maria berbicara tentang kesulitannya.
Tetapi di dalam kalimat tanya tersebut –“Siapa yang engkau cari?”—sudah ada semacam koreksi kalau Maria mendengarkan dengan baik. Istilah “siapa” hanya bisa menunjuk kepada orang yang hidup; istilah “siapa” tidak ditujukan kepada mayat. Mayat adalah mayat, tinggal kenangan saja, bukan orang itu lagi karena jiwanya sudah tidak ada di situ lagi. Waktu Yesus tanya “mengapa engkau menangis, siapa yang engkau cari”, Saudara perhatikan di sini, bahwa dalam semua kesulitan hidup manusia, yang penting adalah relasi pribadi dengan ‘siapa’, bukan dengan ‘kenangan’; kenangan bukanlah pribadi. Waktu kita susah, dalam pergumulan, menangis, di situ tangisan kita lebih baik satu tangisan yang personal, bukan impersonal. Kita menangis bukan karena kehilangan uang; uang tidak pernah jadi person. Kita menangis juga bukan karena keadaan; keadaan juga bukan person. Kalau Saudara dan saya menangis, lebih baik kita menangis karena ‘siapa’, satu tangisan yang bukan impersonal melainkan personal, bahwa ada hubungan yang sudah terpatahkan –karena Yesus sudah tidak ada lagi, setidaknya dalam pikiran Maria.
Tetapi Maria menyangka yang berkata-kata kepadanya itu penunggu taman –malaikat saja tidak dianggap, apalagi cuma penunggu taman– lalu berkata kepada-Nya: "Tuan, jikalau tuan yang mengambil Dia, katakanlah kepadaku, di mana tuan meletakkan Dia, supaya aku dapat mengambil-Nya." Di sini Maria memakai istilah ‘dia’ (kata ganti orang) maka harusnya berarti orang yang hidup, padahal yang dicari mayat. Gambaran ini agak metaforis ketika kita aplikasikan dalam hidup Saudara dan saya; Yesus yang kita cari adalah Yesus yang hidup, bukan Yesus yang mati. Kalau Yesus yang mati, berarti Dia sudah tidak bekerja lagi, dan sekarang pekerjaannya tergantung Saudara dan saya, terserah mau melakukan apa dengan mayat-Nya, Saudara bisa menghias itu, Saudara bisa taruh itu di sini atau di museum yang sangat terkenal, dsb., semuanya tergantung pilihan saya. Tetapi kalau Yesus hidup, kalau Yesus bangkit, maka kita yang musti mati. Saudara dan saya dipanggil untuk menyangkal diri, untuk memikul salib kita, dan menuju kepada kematian.
Orang tidak senang dengan berita Paskah; mengapa? Karena berita Paskah mengundang kita untuk masuk ke dalam kuasa kematian diri –dan ini sangat tidak enak. Orang lebih senang dengan gambaran Tuhan yang bisa diprediksi, bisa didikte, bisa dirumuskan. Kita tidak senang dengan Tuhan yang penuh kejutan karena kita jantungan ikut Tuhan yang seperti itu, yang seperti tidak bisa dipegang. Saya bukan mengatakan bahwa Tuhan tidak bisa dipegang sama sekali jadi totally random; kalau sama sekali acak seperti itu, kita jadi tidak usah baca Alkitab, tidak perlu ada pengenalan akan Tuhan karena bagaimanapun Tuhan selalu random. Tuhan bukan random, Tuhan bekerja dengan cara bijaksana, hanya saja bijaksana-Nya seringkali melampaui bijaksana Saudara dan saya.
Kalau kita percaya Yesus hidup, Saudara dan saya dipanggil untuk mematikan diri kita sendiri. Atau sebaliknya, kita tidak percaya Dia hidup, maka kitalah yang berdaulat, kita yang kerja, kita yang atur, karena Dia cuma mayat, tidak bisa ngapa-ngapain, semuanya diserahkan kepada kita. Maria mengatakan, "Tuan, jikalau tuan yang mengambil Dia, katakanlah kepadaku, di mana tuan meletakkan Dia, supaya aku dapat mengambil-Nya", karena ini cuma barang/mayat yang bisa diambil oleh si tuan itu, yang sekarang harusnya dikembalikan, diletakkan lagi, dan sekarang saya yang mau mengambilnya; subyeknya si tuan atau saya, lalu Tuhan di mana? Tuhan mati, maka bisa dicuri orang; Tuhan ini jangankan berdaulat, bergerak pun tidak, jadi sekarang semuanya tergantung kita sendiri, tergantung peperangan kita dengan si tukang kebun yang mungkin mencuri ini. Akhirnya kita terlalu banyak bicara tentang human efforts. Kita terlalu banyak bicara tentang kehebatan manusia, perencanaan manusia, bijaksana manusia. Kita terlalu banyak bicara tentang kalkulasi manusia –itulah orang-orang yang tidak percaya kebangkitan Kristus.
Tapi kemudian Yesus menarik Maria dari kubur, dari clouds of darkness ini, hanya dengan satu kata, “Maria!”. Satu panggilan yang sangat intim, satu panggilan yang menyatakan pengenalan, cinta kasih, belas kasihan, pengertian, tapi juga teguran untuk keluar dari awan kegelapan tadi.
Di dalam Alkitab, kita memang membaca bahwa Tuhan mati untuk semua orang. Dalam Teologi Reformed, sesuai dengan The Canons of Dort, formulanya adalah: Yesus mati sufficiently untuk semua orang, dan effectively/efficiently untuk orang-orang pilihan, yang disebut limited atonement (penebusan terbatas); jadi both limited and universal. Memang Yesus mati untuk semua orang (dalam pengertian sufficient), tapi dalam Alkitab juga dinyatakan bahwa Tuhan mengenal kita secara pribadi. Kita dipanggil pribadi demi pribadi. Tuhan bukan menebus orang secara borongan, tapi pribadi demi pribadi. Tentang prinsip ini, seorang pengkotbah mengatakan, “Seandainya pun di dunia ini cuma ada saya yang jatuh dalam dosa, Yesus juga tetap akan mati di atas kayu salib”; maksudnya bukan untuk dihayati secara ge-er bahwa saya ini penting luar biasa, melainkan mau menyatakan bahwa Yesus mati di Golgota juga untuk pribadi, bukan cuma untuk satu kelompok umat. Di bagian ini kita melihat Yesus menarik Maria keluar secara pribadi, Dia memanggil namanya secara khusus, “Maria!” Ini panggilan yang tidak tepat kalau diberikan kepada Petrus, atau Yakobus, atau Paulus, dsb., tetapi Tuhan tidak panggil orang dengan “hei!” Tuhan tidak memanggil dengan kalimat-kalimat borongan, Tuhan betul-betul mengenal priadi kita dengan persis, lebih daripada kita mengenal pribadi kita sendiri.
Maria maunya terus-menerus tenggelam dalam ingatan sentimental, “merayakan” Yesus yang sudah jadi mayat, atau paling banter cuma bisa mengambil-Nya lalu menghiasi-Nya lagi, dst. Tapi Yesus, yang adalah kehidupan itu sendiri, memanggil Maria keluar dari kuasa kematian ini, keluar dari perenungan kuasa kubur. Maria berpaling dan berkata kepada-Nya dalam bahasa Ibrani: "Rabuni! ", artinya Guru (atau Master). Maria –menurut catatan Yohanes—langsung mengenal suara itu. Saudara lihat di sini dua sisi; di satu sisi, Tuhan mengenal secara pribadi domba-domba-Nya, dipanggil-Nya nama demi nama, tapi di sisi lain, domba-domba-Nya juga mengenal suara Gembalanya, mengenal suara Tuhan. Kalau kehidupan kita bertumbuh, kita akan bisa membedakan apakah suara yang keluar dari mimbar adalah suara dari Tuhan atau suara dari manusia, suara orang yang diutus oleh Tuhan atau suara gembala palsu, karena menurut Alkitab domba-domba itu mengenal suara Tuhan, mengenal suara Gembalanya.
Ayat 17, kata Yesus kepadanya: "Janganlah engkau memegang Aku”. Saya membandingkan terjemahan bahasa Latin dari Vulgate yang baru dengan Clementine Vulgate yang lama; Clementine Vulgate masih pakai istilah “Noli me tangere” (“do not touch me”), sedangkan Vulgate yang baru memakai “Noli me tenere”, yang bukan dalam pengertian ‘menyentuh’ melainkan ‘memegang’ atau “do not cling to me” (jangan mempertahankan aku), sebagaimana terjemahan ESV. Artinya, jangan terus memegang dan tidak lepas-lepas, karena –sebagaimana Yesus katakan– “sebab Aku belum kembali kepada Bapa”. Mengapa Yesus mengatakan kalimat ini? Ada beberapa poin yang bisa kita renungkan tentang hal ini.
Yang pertama, mengenai keadaan over-excited, kegembiraan yang berlebihan, eforia; Yesus yang mati ini tanpa disangka-sangka menyatakan diri-Nya, sehingga kita masuk dalam keadaan luar biasa bahagia, saking bahagianya sampai lupa diri, lalu kita ingin senantiasa berada dalam keadaan seperti itu. Ini satu pola yang bukan muncul untuk pertama kalinya; di dalam cerita transfigurasi, ketika Yesus berubah, dan di situ ada Elia serta Musa, murid-murid kemudian mau mendirikan tenda, satu untuk Yesus, satu untuk Musa dan Elia, karena mereka over excited. Gereja juga bisa masuk ke dalam keadaan eforia seperti ini; mungkin setelah event-event besar, kita merasa sudah berhasil melakukannya, lalu masuk ke keadaan eforia itu dan jadi tidak realistis, akhirnya tidak sadar lagi bahwa peperangan di dunia ini belum selesai.
Profesor saya di Heidelberg menulis tentang kebangkitan, dia mengangkat satu poin, bahwa ketika Yesus berada kembali bersama mereka, Dia tidak seharusnya ditanggapi dengan “how nice to see You again!”, lalu peluk-pelukan, reuni, seperti orang yang baru turun dari pesawat di bandara. Bukan itu maksudnya. Ini bukan satu perjumpaan dengan Yesus yang dulu, yang sudah mati lalu sekarang ada lagi, jadi senang sekali ketemu teman lama. Cerita kebangkitan bukan dihayati seperti itu. Ini bukan gambaran bertemu teman, yang sama sekali tidak ada perubahan apa-apa; meski ada kontinuitas, tapi bukan berarti tidak ada diskontinuitas. Yesus yang bangkit ini ada di dalam rupa yang lain (another form), di dalam tubuh kemuliaan (in a glorious body), bukan seperti Yesus yang dulu. Memang ini juga Yesus yang dulu, ada kontinuitas tertentu, tapi bukan Yesus yang sebelum Dia naik ke atas kayu salib dan sebelum Dia bangkit. Ini bicara post ressurection, setelah kebangkitan.
Waktu Maria mengharapkan Yesus tetap berada di sana –sebagaimana dikatakan dalam tafsiran Matthew Henry—dia, dan juga orang-orang Israel yang lain, bisa mengharapkan Tuhan mendirikan semacam temporal kingdom. Maksudnya, Yesus sekarang sudah ada di sini, Dia mengalahkan kuasa kematian, lalu mau apa lagi, tinggal mendirikan kerajaan saja. Seperti juga dalam Kisah Para Rasul, sebelum Yesus terangkat ke surga, murid-murid masih tanya kalimat itu, “Maukah Engkau memulihkan kerajaan Israel?” –jadinya temporal kingdom, kemuliaan Tuhan yang kelihatan secara kasat mata di dunia ini. Gereja musti berhati-hati untuk tidak mengejar kemuliaan Tuhan dengan cara yang impresif secara kasat mata, itu seperti orang yang tidak mengerti prinsip kebangkitan Kristus. Kalau sebagai orang Kristen, kita berusaha untuk mengesankan dunia dengan cara-cara yang kelihatan –termasuk dengan gedung yang diperluas, dsb.– lalu berpikir itu menyatakan kita diberkati Tuhan, itu bukanlah teologi salib, juga bukan teologi kebangkitan yang diajarkan dalam Alkitab; jika tidak, Yesus tidak akan mengatakan kalimat ini, “jangan memegang Aku”.
Istilah “jangan engkau memegang Aku” sepertinya sederhana, sedang tidak mau dipegang saja; tapi bukan itu maksudnya. Yang dimaksud adalah supaya Maria tidak menyempitkan Yesus dalam satu keadaan yang kelihatan –memang betul kelihatan tapi dalam tubuh yang berbeda– dan bahwa Yesus akan naik ke surga, tidak akan bersama-sama dengan mereka lagi. Dalam kalimat “jangan memegang Aku”, terkandung maksud supaya jangan kamu terbius dengan sukacita pribadimu; atau dalam bahasanya Matthew Henry: Note, Public service ought to be preferred before private satisfaction. Ini mengantisipasi kalimat berikutnya, “pergilah kepada saudara-saudara-Ku”. Kesaksian di luar (public service) lebih penting daripada Saudara dan saya tenggelam dalam sukacita privat/subyektif. Sukacita privat tidak harus salah, tapi kalau Saudara mengalami Tuhan dalam kehidupan Saudara sendiri, lalu tenggelam dalam sukacita pribadi sendiri, tidak menggerakkan kita untuk bersaksi di luar, itu bukan seperti yang dinyatakan dalam cerita kebangkitan.
Pengertian yang lain lagi dari kalimat “jangan engkau memegang Aku”, adalah bahwa kita harus belajar melihat lebih tinggi daripada bodily presence of Christ. Poin ini bisa kita kembangkan, termasuk juga dalam penghayatan Perjamuan Kudus. Dalam hal ini, Calvin bersama dengan Zwingli percaya bahwa tubuh Kristus, dalam arti natur manusia-Nya, berada di surga, tidak mahahadir; oleh sebab itu waktu Perjamuan Kudus kita tidak menghayati Kristus hadir secara tubuh-Nya di sini, sebaliknya Saudara dan saya yang diangkat ke atas, look higher, lihat yang lebih tinggi daripada yang kelihatan, lihat yang lebih tinggi daripada kehadiran tubuhnya Kristus.
Di dalam cerita kebangkitan ini Yesus memang betul-betul hadir, tapi Dia mengatakan “Aku belum pergi kepada Bapa”. Maksudnya apa? Kalau cuma ditafsir “jangan memegang”, mengapa Tomas boleh memegang? Ada satu parafrasa menarik tentang hal ini untuk kita lebih memahami dalam pengertian apa dikatakan “jangan engkau memegang”, yang dilanjutkan “sebab Aku belum pergi kepada Bapa”, kemudian “sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu”. Parafrasanya sbb. (terjemahan): “Jangan bersikeras untuk menyentuh Saya, karena Saya belum pergi kepada Bapa; meskipun demikian, Saya tidak akan menunda-nunda untuk pergi ke sana. Pergilah kepada saudara-saudara-Ku, katakanlah kepada mereka, supaya mereka lebih bisa mempersiapkan diri, tidak seperti kamu yang tidak siap dengan penyataan kebangkitan Kristus lalu diresepsi secara salah. Katakan kepada saudara-saudara-Ku supaya mereka bisa lebih siap waktu Saya menampakkan diri kepada mereka, supaya tahu bagaimana berurusan dengan hal ini, bukan dengan cara memegang lalu mempertahankan seperti ini.” Kalau tidak begitu, seakan-akan kita merasa Yesus sudah bangkit, ya, sudah, di sini terus, kita pasti aman, pokoknya kita bareng Yesus terus, di mana Yesus tinggal kita ikut di rumah itu sehingga akan aman selama-lamanya, karena Orang ini untouchable by the power of death, Dia tidak bisa dikalahkan oleh kuasa kematian. Akhirnya, bukan jadi Kerajaan Allah melainkan satu gambaran yang berbeda.
Sebagaimana diajarkan oleh Calvin dan orang-orang yang lain, kita perlu belajar melihat ke atas, bukannya terus mempertahankan kehadiran-Nya secara tubuh. Dalam tafsiran teolog yang lain, Blank mengatakan: “Contacts belongs to the primary ways in which man in this world becomes aware of outward reality. But meeting and contact with the risen Jesus takes place on another place, namely in faith, through the Word, or in the Spirit.” Kalau kita berurusan dengan dunia yang kelihatan (dunia fisik), kontak fisik memang penting; tetapi di sini kita berurusan dengan Yesus yang sudah bangkit, dan Yesus yang sudah bangkit itu bukan ditanggapi dengan pegang-memegang. Yesus yang sudah bangkit itu, kita mengenal Dia melalui iman di dalam iman, melalui Firman, dan di dalam Roh. Tanpa iman, tanpa Firman, dan tanpa Roh Kudus, tidak mungkin kita ada kontak yang benar dengan Yesus yang sudah bangkit. Yesus yang sudah bangkit itu bukan dinyatakan dengan kuasanya Gereja, dengan berapa besar dan mulianya Gereja, dengan betapa impresif gedungnya, dsb.; ini bicara tentang jiwa manusia, bukan bicara tentang impresi Gereja secara dunia yang kelihatan, bicara tentang tubuhnya Yesus, maka Yesus mengatakan, “Jangan engkau memegang Aku”. Bahkan atas tubuh-Nya sendiri yang adalah Yesus riil, bukan Yesus palsu, Dia mengatakan “jangan engkau memegang Aku”, seolah Yesus mau mengatakan –kalau mengikuti tafsiran Blank—“kalau mau berurusan dengan Aku yang sudah bangkit, berurusanlah dengan Aku melalui iman, melalui Firman, dan di dalam Roh Kudus”, bukan dengan mempertahankan secara bodily (jasmani). Itulah yang menjadi berita kebangkitan di sini.
Itu sebabnya dalam Injil Yohanes, doktrin Roh Kudus dibahas dengan perspektif yang berbeda dari Lukas. Waktu Lukas bicara tentang Roh Kudus, hal itu dikaitkan dengan mission empowerment, penginjilan, dsb.; sedangkan pembicaraan tentang Roh Kudus dalam Injil Yohanes diletakkan dalam diskursus perpisahan, bahwa Yesus ini mau terangkat ke surga, lalu kontinuitasnya bagaimana, apakah murid-murid ditinggalkan sendirian jadi yatim piatu? Di sinilah Yohanes menyelesaikannya dengan mencatat cerita Parakletos, pendamping yang akan datang, penghibur, advocate, dsb., yang berarti Roh Kudus me-mediasi kehadiran Kristus di dalam dunia ini. Roh Kudus juga bisa disebut Roh Kristus, dan kita juga bisa mengatakan sebagai Roh Bapa; Roh Bapa, Roh Anak, Roh Kristus, yaitu Roh Kudus. Kalau kita mau mengerti kuasa kebangkitan, bukanlah dengan memegang dan mempertahankan tubuh Kristus, melainkan dengan belajar hidup dipenuhi oleh Roh Kudus, tidak mendukakan Roh Kudus, dipimpin oleh Roh Kudus. Yesus mengatakan “Jangan engkau memegang Aku”, Yesus akan naik ke surga, dan Roh Kudus yang akan diutus turun ke dalam dunia; ada pekerjaan Roh Kudus setelah Yesus naik ke surga.
Lalu bagaimana dengan bodily presence? Tadi kita sudah mengatakan, bahwa Calvin dan Zwingli mengajarkan bodily presence of Christ terbatas di surga, tidak mahahadir, karena kalau mahahadir jadi rancu antara natur Ilahi dengan natur manusia. Menurut natur manusia-Nya, kehadiran Kristus secara tubuh bukanlah omnipresent, Dia ada di surga. Kalau begitu, apakah kita jadi newplatonic, yang tidak ada urusan dengan yang kelihatan sama sekali? Di sinilah Alkitab mengajarkan, bahwa kita –Saudara dan saya—adalah tubuh Kristus. “Jangan engkau memegang Aku”, karena Yesus, Sang Kepala, akan naik ke surga, jadi –kalau saya teruskan– kalau mau memegang atau mengharapkan bodily presence, maka “pergilah kepada saudara-saudara-Ku”, di situlah kamu ada bodily communion.
Orang Kristen, kalau mengatakan dirinya bersekutu dengan Kristus, dia harus bersekutu di dalam tubuh Kristus. Kristus, Sang Kepala, ada di surga; dan Dia dengan dimediasi oleh Roh Kudus, hadir di sini juga. Tetapi kalau kita mengharapkan kehadiran Kristus secara tubuh, mari kita mencarinya di dalam Gereja, bukan di luar Gereja. Calvin, mengikuti Agustinus dan juga Cyprianus, mengatakan “di luar Gereja, tidak ada keselamatan”. Maksudnya bukan Gereja adalah juruselamat, melainkan bahwa di dalam Gerejalah orang mengalami embodiment itu, yaitu waktu kita bersekutu dengan sesama orang percaya, termasuk juga saling menyinggung dan saling menginjak kaki yang tidak berhenti di situ tapi dilanjutkan dengan cerita pengampunan. Karena kita percaya ada pengampunan di dalam Kristus, saya bisa menyinggung Saudara, Saudara juga bisa menyinggung saya, tapi dalam kehidupan yang saling menyinggung bahkan saling melukai itu, kita percaya ada kuasa pengampunan. Dan itu dimungkinkan karena Yesus sudah bangkit.
Waktu Yesus mengatakan "Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu”, Dia mengajarkan kepada Maria dan kepada kita semua untuk menikmati persekutuan, yang kalaupun dikatakan “persekutuan dalam Kristus”, itu adalah persekutuan dengan tubuh Kristus. Seakan Yesus mengatakan ‘Jangan memegang Aku, Aku akan naik ke surga –tapi Petrus, Yakobus, Yohanes ada di dunia, jadi have a blessed communion dengan mereka– pergilah kepada saudara-saudara-Ku’. Berita kebangkitan bukan cuma memberikan pengharapan supaya kita jangan pesimis lagi, supaya kita bisa keluar dari kesulitan kita –meski itu juga termasuk—berita kebangkitan mendorong kita untuk lebih mencintai tubuh Kristus, karena Yesus mengatakan "Janganlah engkau memegang Aku”. Seolah-olah Yesus mau bilang, “kalau engkau mau mengasihi Aku, kasihilah saudara-saudara-Ku”, kasihilah orang-orang yang dikasihi Tuhan, yang untuknya, Yesus mati; “Pergilah kepada saudara-saudara-Ku”, kuatkanlah mereka yang juga di dalam kesulitan, di dalam awan kegelapan.
Kalau kita mengerti kuasa kebangkitan, kalau kita betul-betul mengakui Yesus adalah kebangkitan dan hidup, itu akan dinyatakan dengan satu kehidupan yang berani masuk ke dalam wilayah kematian. Kalau Saudara percaya terang, bahwa kita ada terang, maka kita akan masuk ke tempat gelap; kalau Saudara tidak ada terang lalu masuk ke tempat gelap, hati-hati, nanti ditelan oleh kegelapan. Yang ada terang, berani masuk ke dalam tempat yang gelap. Yang ada kebangkitan, yang ada kehidupan, berani masuk ke dalam wilayah kematian.
Maria di sini sudah bertemu dengan Yesus yang bangkit, tapi murid-murid yang lain belum, mereka masih di dalam kegelapan itu. Matthew Henry mengatakan, sebetulnya bisa saja Yesus kecewa kepada mereka karena mereka sudah meninggalkan Dia dan cuma perempuan-perempuan ini yang berani bersama dengan Yesus dalam kematian-Nya itu, tapi Yesus tidak mengusir mereka, tidak kecewa kepada mereka dan mengatakan angry message, misalnya (kutipan dari Matthew Henry): "Go to yonder treacherous deserters, and tell them, I will never trust them any more, or have any thing more to do with them’’ (“pergi kepada orang-orang yang sudah berkhianat meninggalkan Saya itu, beritahu mereka, Saya tidak akan percaya lagi dan tidak berurusan lagi dengan mereka; kamu Saya terima karena waktu di salib, Saya lihat kamu ada di situ, tapi mereka mana??”) Yang seperti itu bukan Yesus. Yesus yang kita kenal adalah Yesus yang mengampuni, Yesus yang menerima murid-murid-Nya yang gagal itu. Kalau kita mengerti kuasa kebangkitan, seperti Maria, kita diundang untuk menguatkan saudara-saudara, baik laki-laki maupun perempuan, yang ada di dalam kesulitan, di dalam keadaan yang helpless dan hopeless, keadaan yang tidak sanggup beriman, keadaan yang kecewa, dsb. Saudara dan saya diundang untuk bersabar dan masuk ke dalam keadaan orang-orang seperti itu.
Terakhir, kalimat yang menarik yang dikatakan oleh Yesus: “Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu." Kalimat ini kedengarannya familiar; ini kalimat yang keluar dari mulut Rut kepada Naomi. Mengapa Yesus pakai kalimat ini? Dalam kitab Rut pasal-pasal yang pertama, setelah Rut mengatakan “bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (Rut 1:16), perhatikan ayat 17 “di mana engkau mati, aku pun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan”. Rut mengatakan kepada Naomi, ‘bangsamu juga bangsaku, umatmu juga umatku, Allahmu juga Allahku’, lalu disambung ‘di mana kamu mati, di situ juga aku akan mati’; kalimat inilah yang digenapi oleh Yesus Kristus. Yesus betul-betul masuk ke liang kubur, di mana Saudara dan saya mati, Lazarus mati, semua orang mati. Yesus bukan cuma masuk ke tempat itu, Yesus menggantikan tempat itu sehingga kita tidak harus dikubur selama-lamanya dan ditelan oleh kuasa kematian lalu tidak bangkit untuk selama-lamanya. Yesus menanggung kuasa kematian itu, menggantikan kita. Rut tidak bisa menggantikan kematiannya Naomi. Rut paling mentok cuma bisa solidaritas saja –kamu mati, saya akan mati bersamamu.
Jadi kalau Saudara melihat kalimat ini dari terang Perjanjian Lama, Saudara akan melihat keindahan dari Injil Yohanes. Apa sebetulnya yang dilakukan Rut? Naomi itu sudah tidak bisa apa-apa, tidak mungkin juga hamil lagi lalu anaknya diberikan kepada Rut. Naomi tidak mau jadi beban bagi Rut, maka dia suruh Rut kembali. Tapi kemudian Rut mengatakan “bukan saja saya mau dibebani, saya bahkan akan mati bersama dengan engkau, –di mana engkau mati, akupun mati di sana”. Dan kalau diteruskan lagi, kalimat dalam kitab Rut seringkali dipakai dalam janji pernikahan, yaitu ketika Rut bersumpah, “kecuali maut memisahkan”. Tetapi dalam kitab Rut kalimat itu konteksnya antara 2 perempuan; lalu apa poinnya? Saya percaya, bukan saja dalam pernikahan tapi juga dalam seluruh kehidupan Kristen, kehidupan Yesus menyertai kehidupan manusia yang rusak menuju kebinasaan. Saudara dan saya berjalan menuju kebinasaan –itu tidak bisa dihindari—maka kemudian Tuhan menahan kita, di tempat di mana engkau mati, Aku mati di situ, Aku mati menggantikan engkau. Bukan cuma mati menggantikan, tapi Aku bangkit, supaya perjalanan matimu menjadi perjalanan kematian yang bermakna.
Kalau Yesus tidak bangkit, kita mati, busuk, habis, tidak ada lagi. Tapi karena Yesus mati, perjalanan decay itu, kehidupan tubuh kita yang dipecah-pecahkan, yang hancur, yang memikul salib, jadi meaningful karena Yesus bangkit. Justru karena Yesus bangkit, Saudara dan saya lebih lagi ada kekuatan untuk bisa memikul salib. Terus memikul salib, terus menyangkal diri, terus memecah-mecah diri, karena itu bukan berakhir pada kematian. Sama seperti Rut, yang di sini kita melihat gambarannya tentang Kristus, Kristus juga menghadapi dunia kematian itu. Waktu Rut mengatakan kalimat tadi, Rut berjanji kepada Naomi. Waktu Yesus mengatakan kalimat ini, Yesus membuka hubungan kepada Bapa; Yesus yang menawarkan kepada kita dan bukan Saudara dan saya yang berjanji kepada Tuhan.
“Seperti Engkau mati, aku juga akan mati bersama-Mu”, ini perkataan Petrus, tapi waktu Yesus disalib, satu per satu meninggalkan Yesus. Kalimatnya manusia, Saudara dan saya, waktu kita bilang “aku mengasihi Tuhan”, “aku mau pikul salib demi Engkau”, cuma ngomong doang, sama seperti perkataannya Petrus. Tapi waktu Yesus mengatakan kalimat ini, “Bapamu dan Bapa-Ku”, Dia bukan ngomong doang, Dia betul-betul membuka satu kehidupan relasi yang paling penuh yang bisa dialami oleh manusia selama berada dalam dunia ini, yaitu relasi dengan Tuhan sendiri.
Kiranya kuasa kebangkitan bekerja dalam kehidupan kita. Kiranya Tuhan menolong kita untuk menjalankan panggilan kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading