Hari ini Minggu Palem. Dalam Minggu Palem, nuansa umumnya apa? Perayaan. Kadang-kadang dalam gereja-gereja tradisional, Minggu Palem adalah Minggu di mana kita melambai-lambaikan daun-daun palem, lalu biasanya lebih banyak orang datang, dsb. Jadi ini momen yang konotasinya celebration. Namun ironisnya, ketika saya mempersiapkan bagian ini, saya baru menyadari bahwa sepertinya nuansa perayaan bukanlah fokus utamanya; dan memang tepat demikian, karena Minggu Palem selalu dirayakan/diingat untuk memulai Minggu Sengsara, sehingga kalau Minggu Palem adalah minggu selebrasi, kayaknya agak skizofren dengan minggu sengsara.
Kalau kita membahas Minggu Palem dengan tepat, Saudara akan melihat alasannya ini merupakan bagian yang paling cocok untuk memulai rangkaian Minggu Sengsara Yesus Kristus. Kenapa? Karena Minggu Palem sebenarnya bukan cuma bicara mengenai Yesus disambut sebagai Raja, tapi juga sarat dengan makna yang lain, yaitu mengenai Dia itu Raja yang seperti apa. Banyak orang sebenarnya salah menangkap hal ini. Minggu Palem bukan untuk kita merayakan Kerajaan Yesus tok, tapi juga untuk kita refleksi. Kita menyebut Dia Raja, kita menyanyikan bahwa Dia itu Raja, kita mengakui Dia sebagai Raja hidup kita, it’s fine; tapi kita tahu atau tidak, Dia itu Raja yang kayak apa? What kind of king, bukan cuma that He is King.
Salah kaprahnya tema ini akan lebih jelas kalau kita membahas narasi Minggu Palem dalam konteks besarnya. Unit pembahasan hari ini cukup panjang. Unit keseluruhannya dari Lukas 18-15-19:44; dan seluruh unit ini dibagi jadi dua. Bagian pertama, adalah rangkaian-rangkaian narasi di bagian ini yang Lukas mengikuti persis dengan penulis-penulis Injil Sinoptik lainnya, Matius dan Markus. Bagian kedua, yaitu rangkaian-rangkaian narasi di bagian ini yang Lukas sisipkan/tambahkan ke dalam sekwens ini. Lalu apa signifikansi dan makna dari bagian yang semua penulis Injil sinoptik tuliskan? Apa signifikansi dan makna dari bagian-bagian yang Lukas tambahkan; kenapa Lukas sampai merasa perlu menambahkan bagian-bagian yang tidak ditulis penulis Injil sinoptik yang lain? Kita akan melihat dua bagian besar ini, lalu kita akan coba tarik konklusi, kontekstualisasi, aplikasi.
Pertama, kita akan melihat apa makna besar unit ini, kalau kita perhatikan bagian-bagian Lukas yang paralel dengan Injil sinoptik lainnya. Ada empat kisah sepanjang pasal 18-19 yang bisa kita temukan dalam ketiga Injil Sinoptik; sbb.:
Lukas 18:15-19:44 (synoptic parallel):
- 18:15 –> Anak-anak dibawa kepada Yesus
- 18:18 –>Kisah orang muda yang kaya
- 18:35 –> Orang buta disembuhkan
- 19:28 –>Triumphal entry
Kisah yang pertama, tentang anak-anak dibawa kepada Tuhan Yesus, di mana Tuhan Yesus mengatakan satu kalimat yang terkenal: “Jangan halangi anak-anak itu datang kepada-Ku, mereka inilah yang empunya kerajaan Allah; yang tidak menyambut Kerajaan Allah seperti anak kecil, tidak akan masuk.”
Cerita yang kedua, mengenai seorang muda yang kaya (meski dalam versi Lukas tidak disebut ‘muda’ melainkan ‘seorang pemimpin yang kaya’). Dia mengatakan kepada Yesus, “Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup kekal?” Singkat cerita, Yesus mengatakan, “Jual semua hartamu”; dan orang itu pergi dengan sedih karena hartanya banyak. Lalu ditutup dengan Yesus mengatakan satu kalimat lagi yang sama terkenalnya: “Betapa sulitnya orang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah, lebih gampang unta masuk lubang jarum”, dan murid-murid merespons dengan mengatakan, “Kalau begitu siapa yang diselamatkan??” Omong-omong, ini sebabnya ada penafsiran bahwa di Yerusalem terdapat pintu lubang jarum, yang unta harus menunduk untuk bisa masuk. Ini hoax, karena respons para murid bukan mengatakan ‘kalau begitu orang kaya cuma perlu menunduk untuk bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah’, sebaliknya mereka mengatakan, “Siapa yang bisa diselamatkan?? Unta mana yang bisa masuk ke lubang jarum??” dan kemudian Tuhan Yesus mengatakan, “Apa yang mustahil bagi manusia, itu mungkin bagi Allah.” Ini detail yang penting untuk pembahasan kita nanti, harap Saudara ingat.
Cerita yang ketiga, mengenai seorang buta yang disembuhkan. Ini terjadi ketika Tuhan Yesus otw dari Yerikho ke Yerusalem, beriringan dengan banyak rombongan peziarah, yang dalam musim menjelang Paskah itu pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah (jalan utamanya memang dari Yerikho ke Yerusalem). Di sini Saudara notice benang merahnya, yaitu orang buta ini memanggil Yesus sebagai “Anak Daud”, titel rajawi. Tidak cuma itu, Yesus pun merespons layaknya seorang raja; waktu Dia dipanggil, “Anak Daud! Kasihanilah aku”, Dia menghentikan prosesinya –seperti raja– Dia menyuruh membawa orang itu kehadapan-Nya –seperti raja– lalu orang itu ditanya, “Mau apa?” lalu dia menjawab ‘mau kesembuhan’, dan Raja ini dengan begitu berkuasa mengabulkan permintaan tersebut segera dan langsung —royal (inilah asal kata ‘royal’; royal artinya berkaitan dengan kerajaan, tapi juga waktu kita mengatakan, “Teman gua royal”, maksudnya Saudara minta apa saja kepada dia, langsung diberi dengan segala kuasanya dan kemurahan hatinya). Inilah gambaran Tuhan Yesus sebagai seorang Raja.
Kisah keempat, yaitu Triumphal Entry. Yesus dielu-elukan dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem, di mana para peziarah yang menuju Yerusalem sudah semakin banyak, mereka sudah melihat apa yang Yesus lakukan, mereka sudah mulai memuliakan Allah, mereka benar-benar mulai menjadi pengiring dalam prosesi Kerajaan Yesus. Secara eksplisit ini jelas, di ayat 38 mereka berteriak-teriak: “Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan”.
Saudara lihat, semua kisah ini jelas sekali benang merahnya. Mengenai anak-anak dibawa kepada Tuhan Yesus, dikatakan ‘inilah orang yang masuk ke dalam Kerajaan Allah’. Cerita yang kedua, orang kaya yang susah masuk Kerajaan Allah. Cerita ketiga mengenai memanggil kepada Raja, dan Yesus bertindak/mresepons sebagai Raja. Cerita yang keempat, mengenai prosesi Kerajaan itu sendiri. Itu sebabnya semua ini dilihat sebagai satu unit, berhubung ada benang merah yang jelas sekali.
Ketika Alkitab mengabarkan hal ini, kita tentu mengaminkan bahwa Yesus memang Raja, bahwa tema Kerajaan Allah adalah tema sentral dari message yang Yesus bawa. Kalau di Sekolah Minggu ditanya: “Apa tema utama yang Yesus katakan kepada murid-murid-Nya dan kepada orang banyak selagi Dia hidup?” maka temanya bukan keselamatan; jawaban yang tepat adalah Kerajaan Allah. Lukas juga memulai Injilnya dengan hal ini; waktu Malaikat Gabriel mewartakan kelahiran Yesus kepada Maria, yang dia katakan adalah: “Tuhan akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.” Tapi, bukan cuma itu poin dari seluruh unit ini, kita bukan cuma melihat Yesus datang sebagai Raja dan kerajanian-Nya mulai diakui rakyat; dalam bagian ini kita menangkap juga bahwa penulis Injil menyadari ada satu hal yang perlu ditekankan, yaitu bahwa orang-orang banyak ini, yang merayakan dan melambaikan daun-daun palem kepada Yesus, sesungguhnya salah tangkap mengenai Dia itu Raja yang seperti apa.
Saudara perhatikan, atmosfer kisah Minggu Palem adalah atmosfer euforia masyarakat. Para pengiring Yesus ini mabuk dengan mimpi akan suatu kerajaan, tapi sepertinya salah tangkap. Mereka melihat kerajaan ini sebagai cerita sukses, bahwa Yesus akhirnya akan naik menjadi Raja, tanpa penderitaan, tanpa warna gelap. Mereka sedang memimpikan datangnya kerajaan sebagai suatu event politik, bukan suatu momen spiritual. Mereka juga berpikir bahwa kerajaan tersebut akan segera datang, saat itu juga. Kalau melihat bagian sebelumnya, Luk. 19:11, dikatakan mereka menyangka bahwa Kerajaan Allah akan segera kelihatan –bahwa kerajaan ini datangnya tanpa penantian, instan. Dan, mereka juga mengira bahwa kerajaan ini adalah kerajaan Yahudi, di mana orang-orang kafir dalam kerajaan ini tempatnya adalah untuk dikalahkan dan ditundukkan. Jadi orang banyak ini menangkap bahwa Yesus datang sebagai Raja, namun pada saat yang sama mereka salah tangkap Dia itu Raja yang kayak apa. Mereka tahu bahwa He is the King, namun mereka gagal menangkap what kind of king, He is. Inilah sesungguhnya yang terjadi dalam Minggu Palem, nuansa utamanya sebenarnya bukan perayaan tok.
Saudara, ini pada dasarnya adalah contoh dari hal yang zaman sekarang disebut sebagai half truth (setengah benar), sesuatu yang seringkali kita bilang lebih bahaya dibandingkan hoax –tapi juga hoax seringkali adalah half truth. Setengah benar, itu lebih bahaya dibandingkan sekalian salah. Kita pada hari ini sering kali dibombardir dengan informasi lewat internet (media), kita mengalami yang disebut information overload. Namun tahukah Saudara apa salah satu bahayanya information overload? Kita sering kali pikir bahayanya bahwa kita jadi orang-orang yang letih, karena WA group isinya forward-an semua yang bikin ‘aduuuhh.. males deh gua bacanya, kayak ginian semua’. Tapi itu bukan bahaya yang terlalu gimana; salah satu yang paling bahaya dari information overload adalah bahwa sering kali ini bisa bikin orang salah kaprah, dia pikir dia tahu benar, padahal dia cuma tahu banyak. Karena dia terima begitu banyak info —information overload– maka dia pikir dia benar-benar tahu, padahal cuma banyak tahu tok. Dalam hal ini, minta maaf ya, kita harus mengakui bahwa yang di atas umur tertentu memang lebih gampang kena ilusi-ilusi internet.
Belum lama ini seorang yang sudah lebih berumur, cerita sesuatu dari YouTube. Dia buka YouTube, dia ingin cari video mengenai orang Islam bertobat, maka dia ketik di search. Lalu muncul video orang Islam yang memberi kesaksian bahwa dia dulu Islam, lalu bertobat jadi orang Kristen, menerima Yesus. Setelah itu, seminggu ke depannya dia mulai melihat koq, banyak ya (video) orang Islam bertobat, lalu dia mengatakan, “Kamu perhatikan ‘gak, empat hari belakangan ini di YouTube banyak sekali orang Islam bertobat, menerima Yesus, yang memberikan kesaksian.” Dan, kalau Saudara lihat feed YouTube di HP dia, memang benar di situ banyak sekali video kesaksian orang Islam yang bertobat. Tapi Saudara tahu ‘kan ini algoritma, yang kalau Saudara buka sesuatu di YouTube maka algoritma YouTube memperhatikan dan akan menyuguhimu konten-konten yang mirip, sehingga kalau Saudara buka video orang Islam bertobat, maka dalam seminggu ke depan di YouTube-mu, Saudara akan melihat lebih “banyak” orang Islam bertobat. Tapi itu ilusi; orang Islam yang bertobat tidak lebih banyak, hanya saja Saudara lihat lebih banyak video-video orang Islam bertobat. Itu saja. Demikian juga kalau Saudara ketiknya “orang Kristen mualaf”, maka seminggu ke depan Saudara akan melihat lebih banyak video-video orang Kristen mualaf, namun tidak berarti lebih banyak orang Kristen mualaf dalam seminggu tersebut, itu hanya ilusi. Itulah penipuan internet zaman kita. Jadi, betapa mudahnya orang menyimpulkan bahwa dia tahu benar, hanya karena dia tahu banyak tok —information overload. Ini half truth; dan half truth lebih bahaya dibandingkan hoax, meski yang namanya hoax memang half truth.
Hari ini, kadang-kadang waktu mengobrol dengan seseorang, dia tiba-tiba berubah jadi psikolog, dia mengatakan, “Tunggu, tunggu… kamu ini kayaknya autis, lho”, atau “Kamu ini kayaknya ADHD, lho”; atau bahkan mungkin kitalah yang mulai mendiagnosa diri kita sendiri, gua ini kayaknya autis, gua ini kayaknya ADHD. Kenapa begitu? Karena banyak melihat video mengenai ADHD dan autisme dari YouTube. Hanya karena dia banyak melihat video-video mengenai ADHD dan autisme, orang berani mendiagnosa orang lain atau diri sendiri sebagai ADHD dan autisme, sementara seorang psikolog yang benar-benar belajar, kalau mendengar argumentasinya akan geleng-geleng kepala, salah kaprahnya begitu banyak, ‘ini sih bukannya ADHD, ini over pede’. Jadi, sebaiknya kurangilah –atau lebih bagus setop sama sekali– menonton video YouTube apalagi TikTok yang cuma 20 detik itu, mau dapat kedalaman macam apa dari video yang cuma 20 detik?? Sedikit parafrasa dari yang dikatakan Pendeta Eko: jemaat perlu membedakan antara pengajar-pengajar Kristen yang sejati versus influencer sosmed yang pakai kedok “pengajar Kristen”. Saudara perlu belajar membedakan antara pengajar dan pengajaran Kristiani yang sejati versus sekadar influencer sosmed yang pakai kedok pengajaran Kristen; dan kalau Saudara mencarinya di YouTube, TikTok, hampir semuanya itu influencer. Mereka tidak berada di situ untuk mengajarmu, mereka di situ untuk mendapatkan likes, subscribes, dan followers dari kamu. Itu sebabnya mulailah setop –atau paling tidak kurangi– dan mulailah membaca buku.
Kembali ke pembahasan kita; hal yang sama terjadi pada zaman Lukas dalam prosesi triumphal entry. Kesannya sebuah perayaan besar, tapi kalau Saudara perhatikan cara para penulis Injil menyajikannya, mereka bukan sedang mengafirmasi perayaan orang banyak ini –dan saya rasa, mereka bukan mengajak umat Kristen untuk setiap Minggu Palem juga ambil daun-daun palem dan lambai-lambaikan untuk mengingat Yesus datang sebagai Raja. Kayaknya yang seperti itu, terbalik sama sekali. Justru poin yang sedang mau dikatakan para penulis Injil adalah: “Tunggu, tunggu… memang Yesus datang sebagai Raja, kita tahu itu, tapi tahukah kamu, Dia itu Raja yang seperti apa, jangan-jangan kamu salah kaprah, jangan-jangan kamu cuma banyak tahu tok tapi tidak benar-benar tahu”. Ini makna bagian yang pertama, ketika kita melihat bagian yang paralel dengan semua Injil Sinoptik.
Hal ini menjadi lebih jelas ketika kita melihat bagian yang kedua, yaitu pada tambahan-tambahan yang Lukas sisipkan dalam unit ini (bagian sisipan adalah yang dicetak tebal):
Lukas 18:15-19:44 (synoptic parallel with Luke’s additions):
- 18:15 –> Anak-anak dibawa kepada Yesus
- 18:18 –> Kisah orang muda yang kaya
18:31-34 –> Peringatan mengenai penderitaan di Yerusalem
- 18:35 –> Orang buta disembuhkan
19:1-10 –> Kisah Zakheus
19:11-27 –> Perumpamaan 10 Mina
- 19:28 –> Triumphal entry
19:40-44 –> Ratapan Yesus atas Yerusalem
Omong-omong, Lukas menambahkan sisipan-sisipan itu, bukan berarti dia beda pendapat atau tidak setuju dengan penulis Injil yang lain, tapi saya rasa dia mau menajamkan hal yang para penulis Injil sudah peka, yaitu mengenai aspek kesalahpahaman akan Kerajaan Allah. Cerita-cerita yang Lukas tambahkan di sini sepertinya berfungsi menajamkan klarifikasinya, bahwa Dia bukan cuma datang sebagai Raja, tapi juga Raja dan Kerajaan yang seperti apa. Kita akan coba membicarakannya, pertama-tama mengenai koreksi dari Lukas kepada orang-orang Yahudi pada waktu itu, lalu terakhirnya akan kita tutup dengan kontekstualisasinya bagi kita hari ini.
Koreksi yang pertama, bahwa Kerajaan Yesus adalah kerajaan yang berpusat pada salib, kerajaan yang bukan tanpa penderitaan (18:31-34). Sebenarnya bagian ini tidak cuma ada di Lukas, tapi juga di Matius dan Markus. Ini bagian yang para penulis Injil mencatat, bahwa Yesus tidak cuma bicara mengenai Kerajaan tok, tapi juga bahwa dalam Kerajaan ini, ada peringatan/pemberitahuan bahwa yang Dia akan temui di Yerusalem adalah penderitaan, kematian –dan tentu saja juga kebangkitan. Bagian ini bukan cuma ada di Injil Lukas, semua penulis Injil sadar bahwa klarifikasi Kerajaan macam apa, itu sangat diperlukan. Tidak cuma menyatakan bahwa Yesus itu Raja, tapi perlu klarifikasi Dia itu Raja kayak apa, karena orang banyak salah kaprah. Namun dalam hal ini hanya Lukas yang mencatat, di ayat 34, yang mengatakan deimikian: Akan tetapi mereka sama sekali tidak mengerti semuanya itu; arti perkataan itu tersembunyi bagi mereka dan mereka tidak tahu apa yang dimaksudkan.
Murid-murid Yesus menangkap bahwa Yesus adalah Raja, tapi waktu Yesus mengatakan, “Oke, kita ke Yerusalem. Aku memang Raja, tapi di Yerusalem, yang akan Aku terima adalah penderitaan dan kematian”, murid-murid tidak mengerti. Dalam pikiran mereka mengenai skema Kerajan Allah, salib tidak punya tempat. Sebenarnya ini pemberitahuan ketiga mengenai penderitaan Yesus, atau bahkan yang ketujuh kalau kita juga menghitung kalimat-kalimat yang implisit, dan sampai bagian ini pun mereka tetap tidak mengerti. Kenapa? Karena kerajaan yang dalam bayangan mereka, adalah kerajaan tanpa penderitaan, tanpa pergumulan, tanpa salib.
Lagu “Onward, Christian Soldiers”, orang sekarang kadang-kadang malas menyanyikan karena sensitifitas modern tidak terlalu mau menyanyikan lagu yang menghadirkan Kekristenan sebagai perang, dsb. Tapi jangan salah, lagu itu teksnya mengatakan: “Onward, Christian soldiers, marching as to war, with the cross of Jesus going on before!” dan ini berarti tentara Kristiani yang berperang, berperangnya dengan bayang-bayang salib Yesus di depan mereka; maka ini harusnya langsung memberitahu kita mengenai kerajaan macam apa dan tentara macam apa, bukan tentara yang siap membunuh orang lain, ini tentara yang siap mati bagi orang lain. Prosesi orang-orang Yahudi dari Yerikho ke Yerusalem yang begitu antusias, begitu meriah penuh dengan lambaian daun-daun palem, semuanya meaningless jika mereka tidak mengerti hal ini, karena dengan demikian berarti kerajaan yang sedang mereka iringi itu entah kerajaan siapa, tapi yang pasti bukan Kerajaan Yesus Kristus. Saudara tidak bisa perang salib tanpa salib. Demikian koreksi yang pertama.
Koreksi yang kedua, dari kisah Zakheus (19:1-10). Ini kisah yang sangat terkenal, yang Saudara temukan hanya di Injil Lukas. Tentunya kita bisa mendapat banyak hal dengan membahas kisah ini sendirian, namun hari ini kita mau melihat apa bobot kisah ini jika dilihat secara keseluruhan.
Kaitan kisah Zakehus dengan cerita-cerita yang lain, pertama-tama jelas banget koneksinya dengan kisah mengenai pemimpin/orang kaya di awal tadi. Tuhan Yesus tadi mengatakan, “Orang kaya sukar masuk Kerajaan Allah, lebih gampang unta masuk lubang jarum –yang seperti tidak mungkin– tapi apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah.” Dan, bukan kebetulan Lukas menempatkan kisah Zakheus berdekatan sekali dengan kisah orang muda yang susah masuk Kerajaan Allah itu, karena Zakheus inilah orang kaya yang kepadanya Yesus telah melakukan apa yang mustahil di mata manusia, Yesus telah membawa Zakheus masuk ke dalam Kerajaan Allah. Jadi ini semacam koreksi/klarifikasi, ‘kamu jangan pikir dari kalimat Yesus tadi bahwa tidak ada orang kaya di surga; mereka sulit masuk, tapi bukan berarti mereka tidak bisa masuk, ya, karena Allah kita adalah Allah yang sanggup melakukan apa yang mustahil’.
Namun saya pikir, aspek korektif dan klarifikatif dalam kisah Zakheus ini melampaui sekadar urusan ada seberapa banyak orang kaya di surga; perhatikan bahwa kisah Zakheus diakhiri dengan kalimat di pasal ayat 9-10: Kata Yesus kepadanya: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.” Ada deklarasi bahwa memang Zakheus sekarang bagian dari Kerajaan Allah, ‘telah terjadi keselamatan kepada rumah ini’. Masuknya Zakheus dalam Kerajaan Allah, ditandai dengan apa? Orang-orang Yahudi pada waktu itu melihat bahwa ketika Kerajaan Yesus (Kerajaan Allah) datang, datangnya dalam skala sosial-politik-ekonomi, Romawi dijungkirbalikkan lalu Anak Daud menjadi raja politik atas daerah-daerah Israel, dan orang-orang kafir dibabat semua menjadi jongos-jongosnya Israel –kira-kira seperti itu. In some sense, ini satu hal yang bukan salah-salah banget, tentu saja kita percaya ketika Kerajaan Yesus (Kerajaan Allah) datang, itu akan mencapai skala politik, harus mencapai skala sosial secara luas, harus memperngaruhi seluruh kehidupan manusia, namun mungkin yang Lukas sedang mau sampaikan di sini adalah: jangan lupa, dari mana datangnya perubahan-perubahan dalam skala besar itu; perubahan-perubahan yang Kerajaan Allah bawa ke dalam dunia dalam skala besar itu, datangnya dari perubahan hati, perubahan karakter, seperti Zakheus. Inilah keselamatan yang Yesus bawa. Inilah Kerajaan yang Yesus adalah Rajanya.
Saudara bisa menangkap koreksi ini terhadap orang Yahudi pada waktu itu? Orang Yahudi pada waktu itu terbalik; mereka terfokus pada yang di permukaan, mereka mengharapkan Kerajaan Allah datang secara politis, membuat perubahan-perubahan dalam permukaan secara skala global sosial-politik-ekonomi. Itu tidak salah, namun perhatikan ketika Yesus mendeklarasikan keselamatan yang telah masuk ke dalam rumah Zakheus, yang terjadi bukan Zakheus somehow punya negara sendiri terlepas dari Romawi, yang terjadi ketika keselamatan telah masuk ke dalam rumah Zakheus adalah Zakheus dimenangkan secara rohani. Ia yang dikenal orang banyak sebagai pendosa, sebagai kolaborator, sekarang mengalami perubahan karakter yang radikal. Ia yang tadinya mengambil harta orang, sekarang mengambil hartanya sendiri untuk orang lain.Saudara lihat, yang diubah dalam Kerajaan Allah, pertama-tama bukan institusi-institusi manusia atau policy-policy kenegaraan, tapi hati manusia, jiwa yang terhilang diselamatkan.
Sekali lagi, kita mengakui bahwa efek keselamatan Yesus harus menyentuh masyarakat di mana Zakheus berada, tidak bisa cuma menyentuh Zakheus seorang diri; tapi, kalaupun dunia sekeliling Zakheus berubah, itu berubahnya karena ada hati manusia yang berubah terlebih dulu. Itulah kisah Zakheus; dan ini koreksi yang kedua.
Koreksi yang ketiga, dalam perumpamaan Sepuluh Mina (19:11-27). Ini kisah yang mungkin kita sudah familier karena mirip banget dengan kisah Sepuluh Talenta dalam Injil Matius. Dalam Injil Matius, tujuan perumpamaannya adalah menyatakan kesetiaan tiap-tiap pengikut Yesus dalam mengolah talenta mereka masing-masing. Namun dalam perumpamaan Sepuluh Mina ini agak berbeda; dan poin yang Tuhan Yesus pakai pun sepertinya agak lain juga. Dalam perumpamaan Sepuluh Talenta hanya ada dua peran, si Tuan dan si Hamba; sedangkan dalam kisah Sepuluh Mina ada seorang tuan yang pergi ke negara yang jauh untuk dinobatkan jadi raja dan akan kembali, ada hamba-hambanya yang dipercayakan modal untuk diolah, dan juga ada peran musuh-musuh tuan tersebut –yang tidak ada dalam perumpamaan di Matius– yang mengirim utusan ke tempat raja tersebut pergi, untuk mengatakan bahwa mereka menolak dia menjadi rajanya. Saudara melihat apa poinnya?
Di dalam Lukas, dicatat secara eksplisit di bagian depan kisahnya, alasannya Tuhan Yesus mengatakan perumpamaan tersebut, yaitu: Untuk mereka yang mendengarkan Dia di situ, Yesus melanjutkan perkataan-Nya dengan suatu perumpamaan, sebab Ia sudah dekat Yerusalem dan mereka menyangka, bahwa Kerajaan Allah akan segera kelihatan (ayat 11). Poin dari perumpamaan ini adalah: Tuan/raja itu pergi jauh, dan cukup lama, karena waktu yang panjang inilah yang akan menunjukkan siapa yang benar-benar hamba, dan siapa yang sebenarnya musuh. Hanya setelah waktu yang lama inilah, barulah dia akan tutup buku ketika dia kembali sebagai raja, baik terhadap hamba yang sejati maupun hamba yang ternyata musuh. Jadi apa koreksi yang pada dasarnya Lukas mau beritakan kepada orang Yahudi? Mereka pikir, Kerajaan Allah akan segera kelihatan; Lukas mengatakan, ‘tidak, Kerajaan Allah tidaklah instan’; Kerajaan Allah sudah hadir, itu benar, namun kepenuhannya dalam penentuan Tuhan akan pakai waktu yang lama —dan betapa banyak dari kita hari ini juga berpikir bahwa Kerajaan Allah harusnya tidak pakai waktu yang lama.
Koreksi yang keempat, ratapan atas Yerusalem (19:39-44). Ini momen dielu-elukannya Yesus di gerbang Yerusalem. Saudara bisa membayangkan kalau Saudara naik dari Yerikho kemudian turun ke Yerusalem, waktu naiknya saja Saudara intens, karena Yerikho daerah rendah yang kering kerontang lalu sementara naik ke Bukit Zaitun perlahan-lahan terlihat tanahnya berubah total jadi hijau, subur di mana-mana, apalagi dalam musim semi menjelang Paskah –persis seperti prosesi iring-iringan Yesus di sini, yang waktunya menjelang Paskah. Jadi ketika Saudara naik, makin capek tapi makin luar biasa rasanya, makin indah, makin bagus udaranya, makin segar, makin hijau. Begitu sampai puncak Bukit Zaitun, Saudara lihat ke bawah ada Lembah Kidron, lalu naik lagi ke Bukit Zion, itulah tempatnya Yerusalem. Jadi kalau Saudara berada di atas Bukit Zaitun, hal pertama yang Saudara lihat begitu melewati puncaknya adalah kota Yerusalem dengan segala kemegahannya, dengan kubah Bait Sucinya yang berlapis emas, berkilauan terpantul sinar matahari. Itu sebabnya tidak heran orang-orang yang mengiringi Yesus ketika menuruni Bukit Zaitun, di hadapan Yerusalem yang demikian, mereka mulai bernyanyi, mereka mulai bersorak-sorai, mereka mulai mengatakan, “Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan sebagai Raja” –euforia.
Apa yang jadi respons Tuhan Yesus? Ayat 41-42: Dan ketika Yesus telah dekat dan melihat kota itu, Ia menangisinya –respons yang sangat berbeda; dan Dia mengatakan: “Alangkah baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Namun sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu. Sebab akan datang waktunya ketika musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan, mereka akan membinasakan engkau beserta dengan penduduk yang ada padamu dan mereka tidak akan membiarkan satu batu pun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui –engkau tidak menyadari– saat, ketika Allah datang untuk melawat engkau.”
Apa yang sedang terjadi di sini? Apa salah kaprah yang mau dikoreksi Lukas di sini? Memang benar Yesus datang ke Yerusalem dalam nama Tuhan sebagai Raja, tapi yang Dia lihat bukanlah bakal ibukotanya yang megah itu, Dia melihat kota yang akan segera dihancurkan. Tentu saja hal ini benar, pada tahun 70 Setelah Masehi, Romawi datang dan menghancurkan Yerusalem (tidak sampai satu generasi setelah Yesus mati dan bangkit dan naik). Saudara menangkap koreksi di sini? Orang Yahudi mengira Yesus datang bagi mereka dan hanya bagi mereka saja. Kerajaan Allah dalam bayangan mereka adalah Kerajaan Yahudi, maka berpusat di Yerusalem; dan tempatnya orang-orang kafir dalam kerajaan mereka hanyalah untuk jadi babu dan jongos! Mereka pikir kota Yerusalem ini cukup besar, mereka anggap kemuliaan Tuhan terlalu kecil sehingga cukup ditampung hanya untuk kalangan Yerusalem –kalangan sendiri– saja! Namun yang Yesus katakan di sini: Kota ini, kota yang kamu bangga-banggakan ini, adalah kota yang tidak sadar ketika Allah melawatnya, dan oleh karena itu kota ini akan dihancurkan; Kerajaan Allah tidak akan jadi kerajaan bagi orang Yahudi, Aku tidak akan jadi Rajamu.
Yesus tidak akan menjadi raja atas puing-puing dan reruntuhan. Yerusalem terlalu kecil, terlalu remeh bagi Kerajaan Yesus. Segala bangsa dan takhta akan tunduk di bawah-Nya –tidak cuma Yerusalem. Dia adalah Raja dan Juruselamat dunia; ini satu hal yang sudah diproklamasikan oleh setiap penulis Injil sejak awal kitab mereka masing-masing. Kita ingat, tema pertama dalam Epifani adalah kedatangan orang majus; dan maknanya bahwa Allah ini adalah Allah yang menembus batas, Dia adalah Raja yang memanggil sebagai umat-Nya, mereka yang tadinya bukan umat.
Demikianlah empat koreksi yang Saudara lihat dalam Lukas, bahwa memang benar Dia Raja, tapi Raja dan Kerajaan yang seperti apa. Sekarang kita simpulkan koreksinya:
Lukas 18:15-19:44 (synoptic parallel):
- 18:15 –> Anak-anak dibawa kepada Yesus
- 18:18 –> Kisah orang muda yang kaya
- 18:35 –> Orang buta disembuhkan
- 19:28 –>Triumphal entry
Kerajaan Yesus adalah kerajaan yang bukan tanpa penderitaan, bahkan ini adalah kerajaan yang center-nya pada salib. Kerajaan Yesus adalah kerajaan yang tentu saja skalanya menyeluruh, namun dimulai dalam hal yang paling mendasar, yaitu kerohanian seseorang, hati seseorang. Kerajaan Yesus adalah kerajaan yang memakai waktu yang lama, kerajaan yang tertunda. Kerajaan Yesus adalah kerajaan yang bukan hanya untuk-mu tok, bukan hanya untuk kalangan-mu tok; Kerajaan Yesus melampaui batasan yang engkau selama ini tarik. Demikianlah empat koreksinya; dan kita sekarang akan coba kontekstualisasikan bagi hidup kita masing-masing.
Sekarang saya mau memperlihatkan bahwa tidak cuma orang Yahudi pada zamannya yang salah kaprah, kita juga salah kaprah; kita mengakui Dia sebagai Raja, tapi raja yang seperti apa??
Kita akan menggabungkan kontekstualisasi dari cerita yang pertama dan ketiga, bahwa kerajaan ini adalah kerajaan salib, dan kerajaan ini kerajaan yang tertunda –ada delay. Dua hal ini cocok disatukan karena salib dan penundaan sering kali erat hubungannya. Berapa banyak dari kita yang datang ke gereja dan komplain: “Aduh, Pak, nyanyi lagi-lagu di gereja ini, koq saya ‘gak berasa njess langsung ya, koq saya ‘gak kepingin doa syafaat ya, koq khotbahmu ruwet banget ya, susah sekali, ngantuk saya dengerinnya …”. Apa problemnya di sini? Problemnya, Saudara pikir Kerajaan Allah tidak ada salibnya, bisa langsung jess; tidak ada salibnya karena tidak ada penantiannya, tidak butuh penundaan, langsung, instan. Jadi, problemnya di kamu.
Dalam kehidupan Kristiani kita, sering kali kita ada suatu half truth, kita tertarik dengan kehidupan Yesus dan apa yang Yesus janjikan sebagai kehidupan yang bisa Dia berikan bagi kita tapi kita tidak sadar harga yang harus dibayar untuk memperolehnya. Analoginya begini: Saudara melihat janji-janji hidup Kristiani seperti melihat teman-temanmu yang berolahraga, yang body-nya keren-keren (atau melihat Pendetamu ini yang setelah pandemi, berubah total). Saudara kepingin punya body kayak mereka, bisa pakai baju ketat dan kelihatan bagus. Atau kalau kita tidak tertarik dengan penampilan, kita mengatakan, “Wow, teman gua itu tiap hari bangun jam 4 pagi lalu langsung pergi olahraga seperti ‘gak ada apa-apanya. Pertama-tama mereka lari, dan itu cuma warming up, tapi lebih cepat daripada gua nge-sprint!” Saya ini naik sepeda lumayan, tapi kalau lari, saya boncos banget –karena ototnya beda– sedangkan Pak Heru pelari yang sangat hebat, dia lari mundur lebih cepat dan lebih nyantai dibandingkan saya lari maju! Melihat kayak begini, kita kepingin. Banyak orang datang kepada saya dan kepingin langsing seperti saya (saya tahu karena mereka tanya, “Koq, bisa sih, Jeth?? Apa yang terjadi?”). Mereka tertarik melihat life yang di hadapan mereka, tapi Saudara tahu ‘kan apa yang terjadi ketika kita mulai beritahu lifestyle yang ada di balik life tersebut, yaitu mereka semua pergi dengan sedih seperti si orang muda yang kaya itu.
Saudara, kenapa orang-orang itu bisa body-nya bagus pakai baju-baju yang ketat? Kenapa mereka bisa lari, jogging, warm-up jauh lebih cepat dibandingkan kita sprint? Karena mereka tidur jam 9 malam dan bangun jam 4 pagi –7 jam, itu cukup. Thomas Tuchel, pelatih tim bola Inggris yang baru; dan salah satu pemainnya, Dan Burn, diwawancara mengenai pelatih yang baru ini. Dan Burn bilang, “Iya, gua langsung ditegur, dibilang tidak profesional”; kenapa? Karena tidur jam 10. Begitulah atlet bola, memang seperti itu. Kalau Saudara mau life-nya, mau body-nya, mau kekuatannya, Saudara harus melihat seperti apa lifestyle di balik itu.
Tahukah Saudara, kenapa orang bisa lari begitu cepat, begitu endurance, begitu tahan lama? Karena mereka ada latihan yang namanya interval, HIIT (High-Intensity Interval Training). Heart rate kita ini bisa dibagi dalam 5 zone: zone 1, zone yang cuma ecek-ecek; zone 2, zone yang lumayan dan bisa dipertahankan selama-lamanya, zone 3, mulai lebih intens, dan kita bisa mempertahankan ini 1-2 jam; zone 4, mulai ke threshold, yaitu otot mulai mencapai tahap maksimum mengolah oksigen, ini tidak bisa dipertahankan terlalu lama, bisa 1 jam, bisa 20 menit; zone 5, ketika otot melampaui threshold, zone di mana otot-otot mulai menggunakan energi anaerobic, otot-otot mengambil energi bukan lagi dari oksigen melainkan dari tempat-tempat lain seperti lemak, protein, dll., dan tidak bisa dipertahankan lama, 5 menit lalu habis. Yang namanya interval training, artinya Saudara mulai di zone 2, lalu hajar ke zone 5, lalu balik zone 2 lagi. Saya paling benci interval training, tidak tahan, saya inginnya zone 2 terus-menerus, terus putar berjam-jam, rasanya kuat, terus-terusan bisa kayak super power, sedangkan interval training itu tidak enak. Tapi, interval training-lah yang bikin orang bisa lari secepat itu –itu lifestyle-nya. Melihat ini, kita mulai melakukan cost benefit analysys, dan kesimpulannya: kalau kayak begini, gua nonton sajalah.
Kita mau life-nya, tapi kita tidak bersedia untuk mengadopsi lifestyle-nya, seperti itulah sering kali bagaimana kita melihat Kerajaan Allah. Kita melihat Yesus dengan segala hidup-Nya, sukacita-Nya, bagaimana Dia bisa tegas terhadap yang berkuasa dan lembut terhadap mereka yang lemah, lembut tanpa menjadi lemah, kuat tanpa menjadi kasar, humble namun penuh confidence, kudus namun tidak sok suci; kita mengatakan, “Wow!”, kita kepingin punya kehidupan seperti itu, tapi kita tidak rela mengadopsi lifestyle-Nya. Kenapa? Karena harga yang kita harus dibayar adalah salib! Terlihat dan terasa seperti kematian; dan memang Tuhan Yesus pun mengatakan seperti itu, “Barangsiapa mau mengikut Aku, harus memikul salibnya” –meskipun it’s worth it karena kematian dan kubur yang beserta dengan Yesus itu dilanjutkan dengan kubur kosong dan kebangkitan. Kalau Saudara tidak mati bersama Dia, Saudara juga tidak bangkit bersama dengan Dia. In some sense, kalau Saudara tidak mati bersama Dia, Saudara tetap akan mati.
Inilah aplikasi yang pertama bagi kita, salib dan penundaan. Kerajaan Allah adalah seperti ini. Pertanyaannya, apakah kerajaan seperti ini yang ada dalam bayanganmu? Atau engkau cuma banyak tahu tok tapi tidak benar-benar tahu?
Yang kedua, dari kisah Zakheus. Saudara tadi melihat, inilah Kerajaan Allah, Kerajaan yang tentu saja mengubah dunia, Kerajaan yang bisa berdampak sampai ke level politik-sosial-global, dsb., tapi Kerajaan ini datang lewat mengubah hati. Mengubah dunia karena mengubah hati, political karena spiritual. Jadi apa aplikasinya buat kita? Yaitu bahwa Kerajaan Allah itu termasuk praktika-praktika dasar kerohanian pribadi: doa, silence, waktu teduh, solitude di hadapan Tuhan. Kenapa harus ada disiplin rohani seperti ini? Karena relasi dengan Tuhan baru ada, ketika Saudara mengalami hal-hal tersebut. Kenapa harus ada quiet time dulu? Karena dengan demikian ada solitude. Waktu Saudara mengalami solitude dengan Tuhan, solitude itu bukan loneliness, bukan merasa tersendiri. Waktu Yesus berkali-kali digambarkan ‘pergi ke tempat sunyi’, Dia di situ bukan untuk ‘me time’, tapi untuk prayer time; Dia sendiri, maka Dia bersama dengan Allah Bapa. Inilah Yesus. Kadang-kadang orang Kristen bilang, “O, saya tidak perlu saat teduh, saya bisa berdoa setiap waktu”, atau pendeta mengatakan, “Saya tidak perlu persiapan di hadapan Tuhan, saya bisa persiapan kapan pun”, tapi minta maaf, ya, Tuhan Yesus pun butuh waktu sendiri dan tempat sunyi untuk berdoa. Lalu Saudara pikir, Saudara better daripada Dia??
Saudara, kalau hidupmu tidak ada hati yang berubah itu, tidak ada relasi pribadi yang di bawah itu, jangan pikir Saudara bisa melakukan hal-hal yang lain. Kalau Saudara tidak ada quiet time dalam hidupmu, tidak ada silence dan solitude di hadapan Tuhan, omong-omong efeknya bukan cuma kerohanianmu mati, tapi kerohanianmu jadi kerohanian yang pinjam kerohanian orang lain. Ini sebabnya saya benci banget dengan renungan harian di YouTube, saya sangat melawan hal ini, dan saya tidak akan mau memberi Saudara renungan harian di YouTube; tahukah kenapa? Karena renungan-renungan harian seperti itu bikin Saudara tidak mampu renungan harian sendiri, bikin Saudara tidak mampu baca Alkitab sendiri, sehingga kerohanianmu adalah kerohanian yang tidak ada realitasnya, kerohanianmu cuma kerohanian pinjaman orang lain, pinjaman Podcast, pinjaman YouTube. Omong-omong, saya bukan mengatakan tidak ada fase dalam hidup seseorang di mana dia harus pinjam modal dulu dari orang lain; itu tentunya ada, semua anak-anak kayak begitu. Tapi, cepat atau lambat, orang yang bertumbuh harus bisa melakukannya sendiri, harus bisa menjadikan habit-habit disiplin ini their own! Kalau kita bergantung pada kerohanian orang lain, akhirnya kerohanian kita tidak benar-benar ada; kita tidak ada quiet time dengan Tuhan, quiet time kita pinjam punya orang lain.
In fact, inilah problem dengan teknologi. Membicarakan teknologi kadang-kadang susah, kita bingung; memang teknologi berbahaya, seperti urusan smartphone, AI, dan segala macam sosmed, tapi ‘kan ada teknologi-teknologi lain seperti gerobak, pisau dan telanan, yang juga teknologi? Kenapa bisa ada teknologi yang sifatnya membangun, dan ada teknologi yang sifatnya merusak? Itu yang sering kali jadi pertanyaan dalam hal teknologi. Saudara, pembedaannya bukan urusan teknologi, melainkan pembedaan antara instrumen dan device. Intrumen, misalnya musical intrumen, yaitu biola, piano, dll., itu memanusiakan manusia, sementara device (smartphone, sosmed, dkk.), itu kecenderungannya dehumanisasi –tentu saja tidak semua, ini bicara general.
Waktu Saudara menggunakan device —app, smartphone, dkk. –poinnya adalah device memberikan engkau super power. Lihat saja, berapa banyak iklan mengatakan ‘pakai app ini maka presentasimu jadi super power’; dan dalam hal ini, super power berarti Saudara merasa ada peningkatan efisiensi, peningkatan produktifitas, yang datang dari effort yang justru berkurang atau minimal. Rasanya jadi kayak super power, seperti kalau Saudara naik sepeda lalu tiba-tiba ada angin dari belakang, jadi ringan banget, afeketif, lebih cepat, tapi effort berkurang. Teknologi dalam arti devices, memberikan hal tersebut kepada kita hari ini. Instrumen, seperti misalnya alat musik, sebenarnya juga memberikan kepada Saudara super power. Orang yang jago banget main biola, waktu Saudara mendengarkan dia main, Saudara lalu mengatakan, “Dewa!’ –ini super power. Atau misalnya Saudara latihan menanjak naik sepeda lalu bisa memecahkan rekor sebelumnya, Saudara merasa super power.
Tapi lihat, ada bedanya antara device dan instrumen. Yang dari instrumen, semuanya adalah power-power yang datang bukan karena effort-nya minimal melainkan justru effort-nya besar, sedangkan super power yang dari device datang karena effort-nya minimal. Yang dari device, lebih efektif tapi effort-nya minimal; yang dari instrumen, lebih efektif, lebih kuat, jago, dewa, karena memang effort-nya besar. Beda ya. In some sense, kalau Saudara benar-benar berlatih sedemikian lama, effort gede, long term, lama-lama memang membuat jadi super power, karena rasanya kayak ‘gak ada effort. Orang yang main biola, yang latihan habis-habisan, dia mainnya seperti effortless, flow begitu saja. Orang yang sudah jago lari atau bersepeda, waktu jalannya begitu kencang, kita melihat dia kayak ‘gak ada effort-nya, tapi itu ilusi, kita tahu di balik itu ada big effort. Demikian hal instrumen. Bahkan menulis khotbah kayak begini pun seperti itu, sama halnya dengan menulis paper juga, langkah pertamanya selalu sulit, perlu effort besar, dan kita malas-malasan, tapi setelah mulai bergulir, lama-lama kayak nge-flow sendiri, ada semacam generative effect-nya, terasanya kayak super power –tapi bukan karena tidak ada effort, justru karena ada effort. Itulah intsrumen, maka instrumen memanusiakan manusia, karena instrumen membuat manusia benar-benar bisa mencapai potensi mereka, achievement unlocked. Sedangkan device, merusak manusia karena device cuma mensimulasikan perasaan achievement tanpa ada peningkatan apa-apa –karena ‘gak ada effort-nya koq. Kalau sosmed Saudara banyak likes dan subscribers-nya, tidak tentu Saudara benar-benar punya relasi sejati ‘kan? Itu cuma simulasi. Ini sebabnya culture kita sering kali dikatakan paling banyak entertainment sepanjang sejarah dunia, namun juga secara paradoks adalah culture yang paling bosan. Kenapa? Karena it’s not real entertainment. Semua yang Saudara lihat di Netflix, dkk., itu bukan penghiburan yang sejati, itu cuma simulasi perasaan-perasaan dihibur.
Satu lagi bedanya adalah: setelah intrumen dipakai, Saudara bisa meninggalkan instrumen itu, meletakkannya dengan rasa puas, bahkan rasa syukur. Thank you, Tuhan, ada biola. Thank you, Tuhan, ada harpsichord. Ketika lagunya selesai, atau marathon-nya selesai, Saudara bisa berhenti, karena Saudara puas. Ada batasan, dan batasan ini tidak pernah jadi hal yang jelek, batasan ini jadi sesuatu yang Saudara syukuri. Wah, selesai 42 km, puas rasanya, sekarang gua bisa tidur 3 hari, gua ‘gak mau lihat sepatu lari gua lagi seminggu. Kita puas, grateful. Sedangkan gadget/device, persis kebalikannya. Kita main HP, kita tidak bisa berhenti; waktu dipanggil disuruh makan, kita ngamuk, karena merasa terganggu. Kita tidak mau taruh HP itu. Kita datang ke HP bukan karena kita akan dipuaskan, melainkan kita akan tidak pernah puas, terus-menerus disuruh untuk maju dan maju, tidak ada satisfaction-nya, lalu pada akhirnya kita berhenti karena kecapekan, exhausted, dan bukan satisfied.
Kerohanianmu selama ini, kerohanian yang pakai instrumen atau pakai device? Ada atau tidak realitas kerohanianmu sejatinya? Atau, kerohanianmu selama ini cuma kerohanian yang pakai device tok? Itu sebabnya saya mau mengatakan ini: pendeta bajinganlah yang senang dicariin untuk bikin renungan harian. Tidak berarti semuanya, tapi cuma mereka yang senang dicariin untuk bikin renungan harian. Mungkin ada beberapa yang bikin bukan karena senang, tapi karena harus, that’s fine. Sedangkan orang-orang yang seperti guru les di Indonesia, yang kepingin anak didiknya bergantung pada dia seumur hidup dan marah kalau muridnya belajar ke guru lain, itulah pendeta-pendeta bajingan yang bikin umat Tuhan jadi umat yang hidup di atas kerohaniannya si pendeta.
Jadi, Kerajaan Allah tidak hanya menuntutmu jadi orang yang berpengaruh di dunia; Kerajaan Allah menuntut hatimu, rohanimu, apa yang terdalam dalam jiwamu. Tanpa yang di dalam, tidak akan ada yang di permukaan itu bisa muncul. Sadarkah Saudara bahwa inilah Kerajaan Allah? Kerajaan Allah dimulai dari sini.
Yang terakhir, Kerajaan Allah adalah kerajaan yang global, bukan kerajaan yang hanya untukmu tok. Bagaimana hal ini mengoreksi kita? Saya rasa, kalimat Yesus atas Yerusalem tadi, tentang kehacuran kota dan penduduknya, di satu sisi memang merupakan tragedi, namun di sisi lain merupakan peringatan bagi kita, bahwa jika kita mengaku sebagai warga Kerajaan Allah, kita harus secara serius merespons panggilan untuk keluar menginjili seluruh dunia. Ini tidak berarti sekadar, “Hai! Silakan daftar KKR Regional” –yang tentu saja silakan, tapi itu cuma satu bagian kecil tok dari yang kita sebut “penginjilan”. Penginjilan itu tidak cuma kata-kata, tidak cuma secara pribadi; kuasa Injil, arguably paling kuat justru lahir ketika kita melihatnya melalui hidup komunitas Gereja bersama-sama, lewat umat Tuhan menunjukkan secara komunal apa yang bisa terjadi jikalau sebuah komunitas ditebus oleh Kristus, sehingga dunia dari luar melihat ini dan terheran-heran lalu mulai bertanya, “Allah mana yang kamu sembah itu, sehingga hidupmu bisa seindah itu, semenarik itu?”
Tetapi, apakah seperti itu kehidupan Kerajaan Allah yang hari ini kita terima? Dalam grup-grup WA Kristenmu belakangan ini, bicara apa terus-terusan?? Waktu kita lihat dolar naik, apa yang jadi reaksi kita? Jangan-jangan kita juga sama, kita mulai hitung-hitungan harus investasi apa, bagaimana make sure keluarga saya ke depannya tetap survive —myself first, my family first! Bedanya apa dengan orang-orang Yahudi yang juga sama, mengatakan ‘Kerajaan Allah itu Jews first, Jerusalem first’ ?? Orang-orang Kristen, ketika melihat dunia kedoknya terbongkar, semuanya mencari apa yang baik bagi mereka sendiri, harusnya sadar bahwa ini kesempatan untuk kita sebagai umat Tuhan justru hidup untuk memberi, mengutamakan orang lain —others first.
Itu sebabnya salah satu aspek praktika dalam Musim Lent adalah memberi kepada orang miskin. Puasa Lent dalam Gereja-mula-mula sangat erat kaitannya dengan memberi kepada orang miskin, karena puasa Lent bukan me first, bukan self-improvement, bukan latihan ketahanan tubuh yang maraton menahan lapar; puasa Lent adalah puasa garam dan minyak, sehingga komoditi yang mahal pada zaman Gereja-mula-mula ini, uangnya bisa dipakai bagi orang-orang miskin. Ini adalah penginjilan. Ini yang menyebabkan Kekristenan meledak pada abad-abad pertama, dan dalam 200-300 tahun mengambil alih kerajaan Romawi. Politik berubah karena hati yang berubah.
Kalau Saudara selama ini ngeri ikut KKR Regional karena pikir berkhotbah itu sulit, mungkin Saudara hari ini baru sadar bahwa KKR Regional adalah bentuk PI yang paling gampang, maka kita mengundang Saudara melakukannya. Penginjilan tidak cuma itu, Kerajaan Allah terlalu besar untuk ditampung hanya bagiku dan bagi kalanganku dan bagi keluargaku. Itulah yang Lukas teriakkan di sini. Kerajaan Allah bersifat global, menyeluruh, maka seharusnya warga-warganya senantiasa memandang ke luar. Inilah satu-satunya Kerajaan di atas dunia yang harusnya fokusnya tidak pernah me first melainkan others first, karena bukankah Rajanya sendiri seperti itu?
Dalam Minggu Palem ini, selagi kita akhirnya sampai ke Yerusalem bersama dengan Yesus, inilah pertanyaan buat kita: kita ini ikut mengiringi prosesi-Nya, kenapa? Apakah simply karena kita ngarep Dia akan memenuhi agenda kita, harapan-harapan kita? Kita siap menyanyi pujian bagi-Nya, tapi apakah itu hanya selama Dia sepertinya melakukan apa yang kita inginkan, dengan cara yang kita prefer? Inilah sebabnya mengikut Yesus perlu pakai waktu yang lama, tidak instan, karena ini akan jadi momen untuk kita mengenal diri, bahwa kita ini sesungguhnya hamba atau musuh. Ketika kita menaruh jubah-jubah kita jadi karpet merah bagi-Nya, kita siap hanya untuk menonton-Nya lewat tok, atau kita siap mengikut-Nya masuk ke jalan salib, jalan penderitaan, jalan penundaan, jalan kematian? Karena jalan kebangkitan Yesus juga hanya datang melalui semua itu.
Kiranya firman Tuhan hari ini mengingatkan kepada kita, mempersiapkan hati kita, untuk menerima Jumat agung kematian, dan Paskah kebangkitan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading