Hari ini kita Kebaktian Paskah; tapi, seperti biasa saya mendapat sense bahwa kita tidak benar-benar mengerti apa yang sedang kita rayakan. Di dalam Kebaktian Natal, problemnya adalah: orang mengira mereka tahu apa yang sedang mereka rayakan, padahal yang mereka rayakan itu biasanya sudah terlalu terisi dengan hal-hal yang dunia rayakan, bukan yang benar-benar Alkitab rayakan; sedangkan dalam Kebaktian Paskah problemnya lain, problemnya adalah kita sepertinya bingung, sebenarnya apa sih yang sedang kita rayakan hari ini. Di dalam masa Natal, kertas kita bisa jadi diisi dengan hal-hal yang dunia tuliskan, sedangkan mungkin dalam Kebaktian Paskah kertas kita kosong, kita tidak tahu apa yang sedang kita rayakan, kita sedang ngapain. Itu sebabnya, khotbah-khotbah Paskah pada umumnya –juga yang kadang saya khotbahkan dalam Paskah-paskah sebelumnya– biasanya terdiri dari 2 bagian besar: bagian utama membahas apa sebenarnya signifikansi kebangkitan Yesus bagi orang Kristen, yang sangat penting dan perlu selalu kita ingat; lalu bagian lain yang lebih mendasar sebelum membahas signifikansi tsb., yaitu mengenai mengapa kita yakin Yesus benar-benar mati dan benar-benar bangkit dari antara orang mati. Dua poin inilah yang biasa dikhotbahkan di dalam masa Paskah; dan hari ini pun tidak berbeda, meskipun tentunya saya tidak akan mengulang khotbah-khotbah sebelumnya. Kita akan mulai dari ‘fakta kebangkitan, kenapa kita bisa yakin bahwa Yesus benar-benar bangkit’, kemudian kita akan mendiskusikan ‘apa maknanya’.
Pada tahun 1996 sekitar bulan-bulan Paskah, di Inggris ada acara televisi BBC yang membahas mengenai kebangkitan Tuhan Yesus. Para produser acara ini ingin membuka diskusi mengenai kebangkitan Yesus, yang dimulai dengan satu pertanyaan sbb.: “Seandainya hari ini ada orang yang menemukan tulang-tulang Yesus di Palestina, kira-kira dampaknya apa terhadap iman Kristen?” Para produser ini benar-benar pergi ke sana dan mencari ossuary, kotak tempat menyimpan tulang-tulang orang mati yang biasa digunakan orang Yahudi pada abad pertama, biasanya berbentuk balok persegi panjang ukuran sekitar 60 cm x 30 cm x 30 cm. Waktu mereka mencoba mencari-cari gua di Yerusalem yang menyimpan ossuary-ossuary, mereka menemukan sebuah ossuary berlabel “Yesus, anak dari Yusuf” (Jesua, anak dari Josef) –sebenarnya mereka menemukan beberapa ossuary berlabel demikian, tapi dalam acara TV tersebut hanya diperlihatkan satu saja, seakan-akan memang cuma ada satu. Ossuary ini ditemukan dalam sebuah gua di pekuburan keluarga. Di kuburan keluarga tersebut juga ada ossuary-ossuary lain dengan label yang menyatakan tulang-tulang Yusuf, tulang-tulang Maria, dan ada pula tulang Maria yang lain, tulang Matius, bahkan yang menarik ada yang berlabelkan “Yudah, anak dari Yesus”. Kotak-kotak ini semuanya kosong, tidak ada tulang atau apapun lainnya, maka para produser tersebut berteori bahwa mungkin isinya sudah dirampok orang entah sejak kapan. Namun karena ini sebuah acara TV, para produser itu tentunya sangat pintar mengambil kesempatan untuk menarik perhatian. Mereka mengajukan pertanyaan: “Apakah ini kubur Yesus?” dan “Apakah eksistensi kuburan ini akan menggoncang pondasi tiang-tiang iman Kristen?” Itulah acara TV-nya, lalu mari kita sekarang kembali ke dunia nyata, untuk berespons dengan kepala dingin terhadap hal-hal seperti ini.
Bagaimana kita akan berespons? Yang pertama, menyadari bahwa kalaupun tidak pernah dicatat Yesus bangkit dari kematian, kemungkinannya tetap sangat kecil bahwa kuburan yang ditemukan itu adalah kuburan Yesus, atau juga Maria dan Yusuf yang kita kenal dari kitab-kitab Injil. Mengapa? Karena “Maria” adalah salah satu nama wanita yang paling pasaran di antara orang Yahudi zaman tersebut, demikian pula nama “Yusuf” dan “Yesus”. Kalau Saudara pergi ke Palestina hari ini dan menemukan kuburan kuno dengan nama Maria, Yusuf, ataupun Yesus di sana, itu agak mirip seperti kalau di Jakarta sekarang Saudara menemukan kuburan yang namanya Budi, atau Eko, atau Sri. Yang menarik, arkeolog-arkeolog dari Israel (Palestina) sendirilah yang pertama-tama mengatakan bahwa adalah ide yang sangat bodoh untuk mengklaim kubur tersebut sebagai kubur Yesus orang Nazaret yang ada di Alkitab. Arkeolog-arleolog ini sendiri orang Yahudi, yang tentunya sama sekali tidak ada agenda untuk membela Kekristenan.
Selain soal nama yang pasaran, masih banyak kejanggalan lain dalam hal mengklaim kubur ini sebagai kubur Yesus. Misalnya, mengapa kuburannya ditemukan di Yerusalem sedangkan keluarga Yesus tinggal dan hidup di Nazaret? Selain itu, Yusuf, papanya Yesus tidak pernah disebut-sebut dalam masa pelayanan Yesus, kemungkinan besar karena Yusuf sudah meninggal sebelum Yesus memulai pelayanan-Nya secara publik; artinya kemungkinan besar Yusuf ini dikubur di Nazaret, bukan Yerusalem. Lalu, kalaupun misalnya kuburan tersebut berisi ossuary-ossuary keluarga Yesus, mengapa tidak ada ossuary yang berlabelkan ‘Yakobus’, saudara Yesus yang amat sangat terkenal, yang adalah penulis Surat Yakobus? Juga bagaimana dengan nama Yoses atau Simon, saudara-saudara kandung Yesus yang lain sebagaimana kita dapatkan daftar namanya di Markus 6:3?
Adanya kotak dengan label “Yudah, anak Yesus”, sama sekali tidak ada bukti catatannya dari abad pertama, baik dari Gereja ‘mula-mula’ ataupun dari tempat lain, bahwa Yesus punya anak, entah dari pernikahan ataupun di luar pernikahan. Mendengar ini, beberapa orang –mungkin yang kebanyakan nonton teori konspirasi– akan mengatakan, “Nah, itulah, bukankah justru ini menariknya, tidak ada yang tahu bahwa Yesus punya anak, dan sekarang ada buktinya!” Tidak, Saudara, itu tidak menarik. Mengapa? Karena Saudara perlu ingat bahwa di abad pertama dan kedua, keluarga Yesus sangat dikenal oleh Gereja ‘mula-mula’. Saudara bisa bayangkan rasanya jadi anggota keluarga Yesus di tengah-tengah Gereja ‘mula-mula’, semua orang akan tahu siapa diri Saudara. Bahkan yang menarik, keluarga Yesus ini bukan cuma terkenal di tengah orang-orang Kristen; ada catatan sejarah bahwa 60 tahun setelah kematian Yesus, cucu salah satu saudara kandung Yesus pernah ditangkap oleh kaisar Romawi, Domitian, karena mereka merupakan keturunan dari lini Daud dan masih berhubungan dengan Yesus. Mereka dianggap berbahaya karena berpotensi jadi raja saingan. Inilah keluarga Yesus, mereka disorot masyarakat; bukan hanya Gereja tapi bahkan sampai dengan pemerintah. Jadi, kalau Yesus benar-benar punya anak, bagaimana mungkin hal tersebut ditutupi dan tidak diketahui masyarakat, lalu tiba-tiba muncul tulang-tulangnya?
Problem yang paling fatal dari acara TV BBC tersebut adalah mengenai ossuary itu sendiri. Sekali lagi, ossuary adalah kotak tempat menyimpan tulang; dan kebiasaan orang Yahudi abad pertama dalam menguburkan tulang, ternyata ada 2 tahap. Menaruh tulang-tulang ke dalam ossuary adalah justru tahap yang kedua, sedangkan tahap pertamanya adalah seperti yang kita baca di kitab Injil. Orang yang meninggal biasanya akan dibalut kain kafan berisikan rempah-rempah, dibaringkan di atas meja batu di dalam sebuah gua (anggota keluarga lainnya yang cepat atau lambat juga akan meninggal, bakal dimasukkan ke dalam gua yang sama, dibaringkan di meja-meja yang lain). Setelah kira-kira satu tahun, ketika seluruh daging dan organ-organ mayat tersebut sudah hilang, maka keluarga dan teman-teman mereka akan datang kembali, mengambil sisa tulang-tulangnya, barulah kemudian memindahkannya ke ossuary-ossuary yang akan disimpan di gua tersebut, bisa di pojok tertentu atau di rak-rak yang ada dalam gua tersebut, karena meja batunya diperlukan untuk membaringkan tubuh orang lain yang baru meninggal. Saudara lihat, ada 2 tahap dalam hal penguburan orang Yahudi, dengan demikian kita bisa bayangkan para pembaca Injil di abad pertama mengerti sekali ketika membaca catatan tentang penguburan Yesus, bahwa yang dicatat itu hanyalah tahap pertama dari penguburan Yahudi.
Gereja ‘mula-mula’ tahu, bahwa mereka tidak perlu kembali ke gua tersebut setahun kemudian untuk mengambil tulang-tulang Yesus dan memasukkannya ke sebuah ossuary, karena mereka tahu tubuh Yesus tidak lagi berada di sana. Mereka percaya Allah telah membangkitkan Yesus dan mengubah tubuh-Nya. Inilah bedanya resurrection dengan resuscitation. Resuscitation adalah seperti yang terjadi pada Lazarus, yang hanya dikembalikan dari kematian kepada hidup yang sekarang, tidak jadi mati tapi akan mati lagi nantinya; sedangkan resurrection adalah melewati kematian, menembus kematian, keluar di sisi yang satu lagi ke dalam suatu mode hidup yang baru, dengan tubuh yang baru, permulaan dari ciptaan Allah yang diperbaharui.
Lagu ke-4 yang kita nyanyikan hari ini, kata-kata terakhirnya mengatakan, “kau tanya bukti Dia hidup; Dia hidup dalamku”. Ceritanya, ketika si penulis ditanya orang, apa buktinya Yesus hidup, dia tidak bisa jawab; akhirnya penulis ini mengatakan, “inilah buktinya, He lives within my heart”, Dia hidup dalamku, Dia hidup melaluiku. Saya yakin tentu intensi si penulis ini positif, tidak salah, dan kita juga tidak perlu membuang lagu ini; tapi jawaban seperti itu ada bahaya seakan-akan kebangkitan Yesus hanyalah semacam kebangkitan spiritual, kebangkitan yang sekarang hidup melalui aku.
Jika para murid percaya bahwa Yesus hanya bangkit di hati mereka, dan tubuh Yesus masih ada di kubur gua tersebut, maka cepat atau lambat mereka harus kembali ke sana, mengambil tulang-tulang Yesus untuk dimasukkan ke dalam ossuary dan disimpan secara pantas. Mereka tidak bisa meninggalkan tubuh Yesus terbaring begitu saja di atas meja batu tersebut, yang artinya hanya tahap pertama penguburan-Nya, karena kuburan pada zaman itu adalah kuburan keluarga, dan cepat atau lambat anggota keluarga yang lain akan datang kembali membawa mayat-mayat yang baru –itulah sebabnya meja batu tadi perlu dikosongkan. Tapi, jika ada orang yang suatu hari kembali untuk merapikan tulang-tulang Yesus dan menaruhnya ke dalam ossuary, ini akan menghancurkan Kekristenan jauh sebelum Gereja pernah berdiri. Itu sebabnya para pakar Alkitab yang menyangkal kebangkitan Yesus pun tidak bisa menyangkal satu hal, bahwa semua indikasi menunjukkan para murid dan Gereja ‘mula-mula’ jelas percaya Yesus telah bangkit secara tubuh, dan ini telah dijadikan basis hidup mereka. Jadi kasus penemuan ossuary oleh BBC ini lucu, jika hanya melihat di permukaan, seperti sensasional, kontroversial, mengundang tanda tanya –dan memang itulah yang kita temukan di media-media hari ini yang 90 % isinya cuma cari sensasi.
Ketika kita memperhatikan dengan lebih seksama dan lebih teliti, dengan mengerti konteks budaya serta kebiasaan orang-orang Yahudi di abad pertama, itu justru malah membuat kita bisa lebih yakin akan kebangkitan Yesus. Dengan mengetahui kebiasaan orang Yahudi menguburkan orang dalam 2 tahap tadi, kita jadi lebih mengerti betapa impossible-nya Kekristenan bisa lepas landas seandainya penguburan Yesus mencapai tahap yang kedua, yaitu masuk ke ossuary; tetapi justru karena hal tersebut memang tidak pernah terjadi, Kekristenan bisa lepas landas. Adakah penjelasan yang lain?? Acara-acara TV seperti tadi ingin membuat berita baru, tapi akhirnya mereka malah secara tidak sengaja memperlihatkan kepada kita berita yang lama itu, kabar baik itu, kabar Injil dari Yesus Kristus yang telah bangkit.
Kita tidak bisa membahas/menjawab semua keberatan mengenai kebangkitan Yesus, tapi setidaknya melalui satu hal ini kita bisa melihat, bahwa penemuan-penemuan seperti ini tidak usah membuat Saudara terlalu kuatir, karena biasanya itu cuma permukaan, sementara ketika Saudara melihat ke dalamnya, seringkali penyelidikannya malah membuat kita lebih yakin akan kebangkitan Yesus Kristus. Sekarang kita mulai masuk ke tema besar yang kedua: kalau Yesus sungguh bangkit dari kematian, apa sesungguhnya kabar baik dari kebangkitan Yesus, apa signifikansinya bagi kita pada hari ini.
Lewat semua urusan ossuary tadi, kita diingatkan bahwa kebangkitan Yesus bukanlah hanya merupakan cara orang zaman itu bicara itu tentang eksistensi setelah kematian. Meresponi acara BBC tadi, ada orang-orang Kristen yang berusaha mengatakan seperti ini: “Kalau tulang-tulang Yesus ditemukan pun tidak apa-apa, itu tidak ada artinya, karena waktu saya meninggal saya ‘kan akan dibawa ke surga, jadi saya tidak perlu bawa tulang-tulang saya, karena buat apa, sama juga dengan Yesus”. Konsep seperti ini cukup luas ada di antara orang-orang Kristen; dan kita perlu mengingatkan bahwa berita kayak begini –bahwa Yesus bangkit secara spiritual dengan meninggalkan tulang-tulang-Nya– tidak akan jadi berita yang bisa meluncurkan sebuah gerakan baru yang global bernama “Gereja”. Jika kebangkitan Yesus cuma urusan bahwa Yesus telah dibawa ke surga setelah kematian-Nya, bagi orang Yahudi zaman tersebut, itu bukan “berita”, itu hal yang biasa-biasa saja, karena itu berarti Yesus hanyalah orang yang kudus seperti Henokh yang diangkat oleh Tuhan, atau seperti Elia yang diangkat naik oleh kuda-kuda berapi. Mereka percaya itu, koq. Itu sesuatu yang sudah masuk di dalam pikiran mereka, bukan hal yang baru, itu hal yang “biasa-biasa” saja. Hal yang mengagetkan mengenai kebangkitan Yesus bagi orang-orang Yahudi abad pertama itu, bukanlah tentang Yesus bangkit dari kematian, tapi bangkit setelah kematian.
Yesus bukan bangkit kembali dari kematian, tapi bangkit melalui kematian. Dia bangkit menembus ke sisi yang sebelah sana, ke dalam satu mode kehidupan yang baru, dalam sebuah tubuh yang diperbarui. Sudah jelas bukan cuma roh, tapi juga bukan hanya meninggalkan tubuh yang lama. Dengan demikian, Saudara lihat dalam penggambarannya, tubuh Yesus ini punya karakteristik yang lama –mereka bisa mengenali hal itu– tapi juga ada sesuatu yang baru, ada sesuatu yang lebih di dalam kehidupan-Nya, dalam tubuh Yesus yang baru ini. Tetap tubuh, tapi tubuh yang baru. Itu sebabnya ketika Paulus berbicara mengenai kebangkitan kita yang akan datang, dia menarik beberapa paralel antara kebangkitan kita dan kebangkitan Yesus. Perhatikan ayat-ayat yang kita baca tadi, dikatakan bahwa tubuh kita akan diubah, bukan ditinggalkan. Inilah yang Paulus pikir mengenai kebangkitan, karena inilah yang terjadi pada Yesus Kristus. Lalu apa signifikansinya?
Tentu saja ada signifikansi yang kita sudah lebih familier; Paulus mengatakan, “Jika Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah imanmu, dan kamu masih hidup di dalam dosamu”. Kebangkitan Yesus memang ada hubungannya dengan penyelesaian masalah dosa. Seperti yang kita sudah pernah bahas dalam Paskah-paskah sebelumnya, kebangkitan Yesus penting karena kebangkitan itu bukan kekalahan, melainkan kemenangan. Salah satu ilustrasinya, kebangkitan adalah seperti sebuah bon belanja; bon itu memperlihatkan bahwa barang-barang di kantong belanjaan Saudara bukan curian tapi sudah lunas terbayar –buktinya: bon. Kebangkitan adalah seperti bon atas orang yang keluar dari penjara, membuktikan orang tersebut sudah lunas membayar hukumannya, sebagaimana kita sudah lunas membayar belanjaan kita. Bahwa Yesus bangkit, keluar dari penjara maut, itu membuktikan bahwa yang Yesus lakukan di salib adalah cukup, lunas, menyelesaikan hutang maut dan dosa. Ia telah mengalahkan maut. Jikalau Yesus tidak bangkit, itu ibarat salib sebagai usaha Yesus membayar belanjaan kita tapi uangnya tidak cukup sehingga bon-nya tidak keluar, transaksi gagal, kasir mengatakan, “Maaf Pak, kartu kredit Anda tidak berlaku, ada kartu kredit yang lain?” –kalau Yesus tidak dibangkitkan. Dengan demikian, memang benar kalau Yesus tidak dibangkitkan, sia-sialah imanmu terhadap “kartu kredit” itu, iuran tahunanmu yang selama ini kamu bayar tidak ada gunanya, dan engkau masih tetap di dalam dosa-dosamu. Itulah yang Paulus katakan.
Jelas bahwa kebangkitan Yesus ada signifikansi dalam hal keselamatan. Hal ini kita sudah familier, tapi pertanyaan berikutnya adalah: apa sesungguh-nya keselamatan itu? Atau lebih tepatnya, siapa atau apa yang jadi objek keselamatan di sini? Sesungguhnya siapa atau apa yang diselamatkan? Apakah bolak-balik urusan kita lagi dan kita lagi saja? Tidak. Mengapa? Karena kebangkitan. Sekali lagi, bagi orang Yahudi pada waktu itu, kebangkitan Yesus bukanlah kebangkitan kembali dari kematian, melainkan kebangkitan yang melalui kematian; dan resurrection ini –bukan resuscitation— punya makna yang khusus bagi orang Yahudi. Orang Yahudi mengenali 2 jenis kebangkitan ini. Mereka mengenali kalau orang bangkit melalui kematian, itu bukan cuma menandakan ada suatu pekerjaan Tuhan dalam hidupnya, itu menandakan ada satu fase yang baru bagi seluruh realita; bahwa jikalau ada seorang manusia yang dibangkitkan melalui kematian dan masuk ke satu fase yang baru bagi dirinya, itu adalah tanda dimulainya sebuah realita yang lebih luas, sebuah implikasi yang lebih luas dari sekadar dirimu atau diriku kembali hidup. Resurrection ini, bagi orang Yahudi menandakan suatu eksistensi yang baru, menandakan suatu era yang baru, menandakan suatu periode zaman yang baru, yaitu zaman yang telah dinanti-nantikan dan dinubuatkan oleh para nabi. Jadi, bahwa ada manusia yang mengalami resurrection, itu adalah tanda pemulihan seluruh ciptaan. Itu bukan suatu hal yang terjadi bagi dia saja, itu adalah tanda yang mewakili era baru bagi ciptaan ini. Suatu zaman di mana langit dan bumi yang rusak ini akan diubah menjadi langit dan bumi yang baru, zaman di mana Allah akan mendatangkan ciptaan-Nya yang baru, zaman di mana Allah akan menyelesaikan problema dosa dan segala kerusakannya, apa tandanya? Tandanya adalah: ada manusia yang mengalami kebangkitan melalui kematian. Kalau ada seorang manusia yang mengalami tubuh yang baru, eksistensi yang baru, maka itu adalah tanda bagi sebuah realita yang baru –bukan sekadar satu kehidupan yang kembali lagi.
Saudara, mengapa bisa ada konsep seperti ini? Sekali lagi, seperti sudah kita bahas dalam Seri Khotbah “Calling”, yang namanya manusia menurut orang Yahudi/Alkitab/Perjanjian Lama, urusannya tidak pernah cuma urusan Saudara dengan Tuhan, Saudara dengan Tuhan, Saudara dengan Tuhan, I and thou, I and Thou, I and Thou, lagi dan lagi. Manusia diciptakan bukan hanya untuk jadi objek kasih Tuhan saja; manusia diciptakan untuk jadi agen/penyalur kasih Tuhan. Alasannya Tuhan memberikan kepadamu kasih-Nya, bukanlah demi engkau sendiri, melainkan supaya engkau menyalurkannya, supaya engkau menjadi agen kasih Tuhan, agen pemerintahan Tuhan atas bumi ini, atas ciptaan yang baik ini. Omong-omong, ini juga menyangkut pembahasan kita dalam Seri Khotbah “Hakim-Hakim”; setiap kali Allah menyelamatkan Israel melalui para hakim, ada catatan yang bukan cuma mencatat bahwa orang Israel –manusianya– dilepaskan dari penindasan, tapi ada catatan bahwa tanahnya mendapatkan peristirahatan. The land have rest atau tidak, itulah yang jadi pertanyaan. Mengapa? Karena dalam gambaran/skema Alkitab, manusia bukan hanya sebuah cermin bagi Tuhan tapi sebuah kaca spion. Relasi kita dengan Tuhan ada, adalah demi Tuhan bisa berelasi melalui kita dengan dunia ciptaan ini.
Sekarang Saudara bisa mengerti, waktu manusia berdosa, dosanya juga merusak ciptaan ini; sama seperti itu, ketika manusia diselamatkan, keselamatannya juga bukan hanya bagi manusia, implikasi keselamatan itu juga sampai kepada bumi ini. Dan kebangkitannya —resurrection-nya– sekali lagi, bahwa manusia dibangkitkan melalui kematian, bukan hanya kembali ke kehidupan yang lama tapi mendapatkan satu hidup yang baru, tubuh yang barusuatu fase kehidupan yang berikutnya, itu juga berarti implikasinya kembali lagi ke ciptaan; ciptaan juga mengalami fase yang berikutnya, ciptaan juga mengalami langit dan bumi yang baru. Jadi, signifikansi Paskah bukan hanya mengenai Tuhan dan dosa-dosamu; Paskah adalah peristiwa di mana Tuhan membereskan dosa-dosamu demi membereskan yang rusak dengan dunia ini. Paskah bukan mengenai Satu Orang mengalami kematian dan kebangkitan dalam satu peristiwa yang tidak berhubungan dengan apapun lainnya; Paskah merupakan satu pertanda pertama, sebuah soft opening, sebuah brosur pengumuman, tentang akan datangnya solusi yang Tuhan final bagi dunia ini. Saudara bisa melihat hal ini sekarang.
Kesalahan banyak orang Kristen hari ini dalam mengerti kebangkitan bukanlah dalam arti kita mempunyai pengertian yang salah –kita sudah mengertinya yang benar, kita mengertinya yang dari Alkitab– tapi bahwa pengertian kita mungkin terlalu sempit. Waktu dikatakan jika Yesus tidak bangkit maka kita masih berada di dalam dosa-dosa kita, kita mengertinya cuma itu saja, cuma urusan Tuhan dan saya, Tuhan dan saya. Kalau selama ini kita berpikir bahwa kita diciptakan hanya untuk memuliakan Allah –ujung-ujungnya saya dengan Tuhan, saya dengan Tuhan— maka kita juga berpikir bahwa kita diselamatkan hanya bagi Allah –saya dengan Tuhan, saya dengan Tuhan; akhirnya kita juga berpikir bahwa kebangkitan Yesus, dan kebangkitan saya nantinya, signifikansinya hanya bagi saya dan dosa-dosa saya, dan keselamatan saya saja. Sekali lagi, pertanyaan kita dalam khotbah “Calling”, di mana tempat ciptaan dan bumi ini dalam gambaran kerohanian yang seperti ini? Ini adalah kerohanian ‘cermin’, bukan kerohanian ‘kaca spion’.
Saudara, inilah sebabnya kepercayaan akan kebangkitan Yesus adalah percaya bahwa Yesus bangkit secara tubuh. Kebangkitan ini tidak bisa direduksi jadi urusan bangkit secara spiritual, “Oh, pokoknya Dia bangkit dalam hatiku” –tidak bisa seperti ini– karena kebangkitan ini bagi Gereja ‘mula-mula’ adalah tanda bagi bumi ini, tanda akan sesuatu yang akan terjadi atas bumi/dunia ini, dan memang adalah tentang bumi serta ciptaan ini. Kebangkitan adalah bicara mengenai apa yang ada di sini, dengan materi di sini, karena urusannya adalah tubuh –memang ini tubuh yang diperbarui, tapi tetap saja tubuh. Ini bukan mengenai suatu dimensi rohani yang transenden dan mengawang-awang. Sama sekali bukan itu. Kebangkitan Yesus adalah satu permulaan, satu cetusan, dari realita yang baru. Inilah yang seperti Paulus katakan, bahwa kita juga suatu hari akan diberikan tubuh yang diperbarui seperti Yesus, supaya kita bisa berbagian dalam langit dan bumi yang juga diperbarui itu. Sepaket; hanya saja ini baru yang pertamanya.
Itu sebabnya, signifikansi dari kebangkitan Yesus adalah bahwa dunia ini penting, bumi ini penting; bahwa solusi yang Tuhan tetapkan atas semua problem dunia ini bukanlah “penghapus”. Bukan menghapus dunia dengan segala kerusakannya, tapi Tuhan telah masuk menginvasi dunia ini dengan kuasa-Nya yang dinyatakan lewat kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus, yang juga akan dialami oleh orang-orang yang percaya kepada-Nya, Gereja-Nya, Tubuh-Nya. Inilah sebabnya kita berdoa “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”. Hari Paskah yang pertama itu adalah jawaban yang mendasar dari doa tersebut. Itu berarti iman Paskah, iman Kebangkitan, tidak pernah hanya percaya ‘Oh, oke, ada sesuatu setelah kematian nanti; Tuhan akan menyediakan hidup setelah kematian, buktinya lihat saja Yesus’. Bukan itu message Paskah, atau setidaknya bukan hanya itu.
Iman akan Paskah bukan suatu iman yang menerawang ke surga saja; iman Paskah adalah iman yang juga melihat ke bawah, melihat Kerajaan Allah di bumi ini, seperti di surga. Iman Paskah bukanlah angan-angan mengenai suatu hari nanti kita akan pensiun, berhenti kerja, sambil memandang ke atas. Iman Paskah adalah justru kita menggulung lengan baju dan memandang ke sekeliling kita, bahwa kita punya pekerjaan sekarang. Jika iman Saudara mengenai Paskah adalah soal pensiunnya Saudara dari bumi ini, itu baru bisa cocok dengan Alkitab jika Injil mencatat Yesus bangkit dengan meninggalkan tulang-tulang-Nya di bumi ini. Ini iman pensiun. Tetapi, Injil mencatat bahwa Yesus bangkit dengan tulang-tulang yang diperbaharui, dengan tubuh yang diperbaharui. Dia bangkit di sini, di bumi ini, dan melancarkan Kerajaan-Nya di dunia ini seperti di surga. Pertanyaannya, apakah iman seperti ini yang kita imani, atau tidak? Jangan-jangan iman Paskah kita ujung-ujungnya hanya bolak-bali kembali mengenai dirimu atau diriku, soal kita perlu menemukan dan menumbuhkan kepekaan rohani pribadi kita masing-masing. Kalau ujungnya kayak begini, Kekristenan jadi semacam agama untuk menghangatkan hatimu saja. Dan ini jadi akan sangat jauh dari sebuah berita mengenai Kerajaan Allah di bumi ini seperti di surga. Kekristenan yang seperti itu, Kekristenan yang ujung-ujungnya hanya mengenai diri-ku (atau dirimu), mengenai keselamatan-ku, yang cuma terfokus pada diri kita dan survival-nya kita –bagaimana supaya saya tidak masuk neraka, bagaimana supaya saya menghindari dosa; atau terfokus pada kerohanian kita, kepekaan kita akan Tuhan– Saudara perhatikan, ada satu bolong besar dalam kerohanian seperti ini. Kerohanian seperti ini tidak ada arah ke luarnya, baik kepada Tuhan ataupun kepada dunianya Tuhan, ciptaan Tuhan yang baik itu. Iman ini sesungguhnya iman yang tidak percaya bahwa Yesus bangkit; dan benar kata Paulus, bahwa kita masih berada dalam dosa-dosa kita, karena apatah dosa itu kalau bukan self-centeredness, ke-egoisan, ketidakmauan meman-dang ke luar dan hanya memandang ke dalam.
Jika Yesus tidak dibangkitkan –jika iman kita tidak percaya bahwa Yesus dibangkitkan, yang implikasinya adalah tanda bagi seluruh dunia (bukan cuma tanda bagi saya)– maka benar bahwa ujungnya kita masih di dalam self-centeredness kita, keegoisan kita, dan kita masih tinggal di dalam dosa-dosa kita. Tapi jika Yesus sungguh-sungguh dibangkitkan (resurrected) menjadi tanda pertama, brosur pertama, dari datangnya langit dan bumi serta realita yang baru, maka inilah Kekristenan menurut Perjanjian Baru, suatu kabar baik bagi seluruh bumi, bukan cuma manusia-manusia yang tinggal di atas bumi tersebut tapi bagi seluruh ciptaan Tuhan. Kabar seperti inilah yang baru bisa mengobarkan hati kita, ada sesuatu di dalam kabar seperti ini. Mengapa? Tentu saja karena kabar ini bukan cuma kabar yang berurusan dengan hati Saudara tok, tapi suatu kabar yang menyentuh realitas yang besar. Barulah ada sesuatu yang lebih di dalam kabar seperti ini, yang mengobarkan hati kita, karena ini bukan cuma mengenai saya.
Saudara-saudara, waktu zamannya ISIS masih santer, orang-orang di Barat bingung, kenapa begitu banyak orang Barat yang bisa mau masuk ISIS, sedangkan hidup di Barat sudah enak dan ada segala macam; ngapain mereka mau masuk jadi tentara ISIS, yang seringkali tidak cukup makanan, tinggal di iklim yang begitu panas, harus berjuang dan mungkin juga harus mati. Apakah hanya dengan dijanjikan soal 70 perawan, bisa menjelaskan semua hal ini, Saudara?? Kayaknya tidak, kalau kita mau jujur; saya tidak yakin semua orang itu begitu tertariknya dengan janji soal mendapat 70 perawan, ada sesuatu yang lebih tentunya yang membuat orang-orang Barat itu bisa tertarik masuk ISIS. Kemudian ada orang yang mewawancarai seorang perekrut tentara ISIS, seorang bule yang tinggal di Australia dan merekrut orang-orang tersebut melalui sosmed, dsb. Dia ditanya, pakai cara apa bisa membawa orang-orang itu masuk ISIS. Dia menjawab bahwa yang dia katakan adalah seperti ini: ‘Kamu, orang-orang Barat, apakah kamu mau terus hidup seperti sekarang ini, yang pokoknya kerja, lalu dapat uang, lalu kamu pakai buat bir, pizza, dsb. sambil nonton bola bersama teman-temanmu Sabtu malam, lalu besoknya mabuk, lalu Senin masuk kerja lagi, dan kembali mengulangi pola yang sama lagi –melakukan apa yang kamu mau. Kamu mau hidup kayak begitu?? Atau, kamu mau masuk ke dalam satu peperangan yang kekal, peperangan yang akan memutuskan nasib dunia ini, peperangan di mana kamu akan jadi pejuang-pejuang ilahi?’ Saudara, dalam arti tertentu, Kekristenan kita seringkali jadi Kekristenan yang seperti hidup orang Barat itu tadi, yang ujungnya cuma buat kita, kita, dan kita; yang ujungnya cuma supaya saya bisa menjalankan apa yang mau saya kerjakan, saya hidup baik-baik, saya punya istri baik-baik, saya punya anak baik-baik –begitu doang. Yang seperti itu, bukankah tidak mengobarkan hati Saudara? Orang-orang ISIS, dalam arti tertentu mungkin sebenarnya lebih peka dengan berita “injil”, meskipun tentu saja injil mereka lain sama sekali.
Saudara, mengapa berita yang seperti itu tidak mengobarkan hati kita? Karena hanya mengenai hati kita tok, ujung-ujungnya cuma mengenai kita tok. Yang mengobarkan diri kita, adalah kabar bahwa Allah sedang memakai kita, demi langit dan bumi ini, demi mendatangkan suatu realitas yang baru ini; bahwa kabar baik yang Saudara terima itu tidak cukup hanya untuk dirimu, itu harus dilimpahkan, tertuang dan tertumpah bagi seluruh bumi. Itulah kabar yang akan mengobarkan hati Saudara, pastinya karena hatimu bukan satu-satunya hal yang ada di dalam kabar itu. Inilah kabar bahwa Allah, setelah sekian lama, akhirnya telah memulai era baru dengan apa yang dikerjakan Anak-Nya di atas kayu salib. Dan sekarang, melalui Roh Kudus-Nya yang dicurahkan kepada setiap kita, sedang melanjutkan dan melebarkan pekerjaan pembaruan ini kepada diri kita masing dan kepada seluruh bumi. Melanjutkan dan melebarkan pekerjaan pembaruan yang telah Dia kerjakan, lewat tubuh Yesus yang telah diperbarui itu, yang bangkit pada hari Paskah itu.
Sekali lagi, inilah sebabnya kita merayakan Kekristenan bukan dengan bermeditasi di lantai yang dingin sambil mengosongkan pikiran; inilah sebabnya ibadah kita penuh dengan hal-hal yang bersifat material. Inilah sebabnya Baptisan kita menggunakan air, dan bukan sekadar mantra-mantra. Inilah sebabnya Perjamuan Kudus kita menggunakan roti dan anggur; bahkan inilah sebabnya kita membatasi Perjamuan Kudus hanya bagi jemaat yang hadir secara fisik –dan inilah sebabnya kita menginginkan Saudara hadir secara fisik. Mengapa? Karena dalam Kekristenan, hal yang fisik itu riil, yang fisik itu penting, yang fisik itu sentral dalam rencana Tuhan. Paskah adalah mengenai Allah yang bukan hanya mengklaim hatimu atau jiwamu sebagai milik-Nya; Paskah adalah Allah yang mengklaim kembali dunia ini sebagai milik-Nya. Ruang dunia ini sebagai ruang-Nya. Waktu dunia ini sebagai waktu-Nya. Materi-materi dunia ini sebagai materi-Nya. Itu sebabnya kita merayakan Paskah ini dengan ada spanduk-spanduk adalah materi. Kita merayakan Paskah dengan perjamuan kasih –artinya dengan makanan– yang hari ini masih terhalang karena pandemi. Kita merayakannya dengan musik, dengan nyanyian, dan biasanya ada koor –yang hari ini pun masih terhalang. Kita akan segera melakukan itu kembali, karena Paskah berarti merayakan bumi ciptaan Allah yang sedang pelan-pelan diubahkan oleh kuasa Tuhan yang hidup, yang nyata melalui kematian dan kebangkitan Anak-Nya. Bahkan puasa orang Kristen pun berbeda; kita buka puasa bersama setelah Persekutuan Doa pagi, artinya kita merayakan makanan yang kita makan itu. Kita bukan puasa lalu merasa lebih baik kalau bisa puasa terus, menghindari materi. Waktu kita berpuasa, itu sifatnya temporer, suatu momen untuk kita memfokuskan diri; tapi setelah itu, ketika kita kembali dari puasa, kita bukan merasa kembali harus menyentuh hal-hal yang kotor, dengan rasa guilty feeling, sebaliknya kita berdoa mengucap syukur, merayakan kebaikan Tuhan dalam banyak hal –salah satunya melalui kekayaan dan kelimpahan dalam hal makanan. Itulah Kekristenan;
Ketika Saudara punya iman yang bersentuhan dengan realitas/materi ini, ketika Saudara menyadari bahwa Paskah adalah mengenai Allah yang sedang mengklaim dunia yang rusak ini, maka efek berikutnya adalah: perhatian Saudara teralihkan kepada fakta bahwa dunia ini sangat jauh dari ideal tersebut, bahwa dunia ini masih penuh dengan kekerasan, ketidak-adilan, kerusakan, kelaparan, kemiskinan. Selagi kita merayakan Paskah, atau kembali dari puasa dengan makanan berlimpah dan mensyukurinya sebagai berkat karunia Tuhan, tidak jarang kita mendengar pemimpin doa mengatakan ‘kami berdoa bagi mereka yang di luar, yang belum menikmati berkat seperti kami’. Saudara lihat, betapa iman yang material seperti ini, iman yang sejati seperti ini, ujungnya harusnya selalu mengarah ke luar, secara natural. Yang merayakan Paskah dengan musik yang indah, mengerti kebaikan dan keagungan Tuhan melalui musik, dia akan bertanya-tanya bahwa di luar sana masih banyak orang yang mendengarkan musik-musik sampah yang dangkal, yang efeknya cuma buat narkotik saja. Yang merayakan persekutuan relasi fisik yang riil, menyayangkan kenapa masih banyak orang di luar sana yang menghidupi hidup sendirian tanpa komunitas riil apapun. Sekali lagi, ketika mata kita memakai mata iman yang sejati, mata iman yang peduli dengan hal-hal yang material ini, maka mata Saudara akhirnya memandang ke luar, bergerak ke luar, mengingat orang-orang yang belum mendapat hal-hal yang Saudara dapatkan itu. Ketika Saudara mendapat sesuatu yang Saudara sadari sebagai berkat Tuhan dalam ciptaan ini, secara natural yang muncul dalam benak kita apa? Kalau Saudara ketemu bakmi yang enak saja, Saudara langsung kepikir siapa yang ingin Saudara ajak makan di restoran tersebut. Inilah iman Kristen, dan tidak kurang dari ini.
Lalu mengapa Karl Marx, atau orang-orang lainnya, bisa berpikir bahwa Kekristenan adalah iman yang jadi opium masyarakat? Opium membuat Saudara terbius, opium membuat Saudara terputus dari dunia dan Saudara asyik dengan duniamu sendiri. Inilah yang dituduhkan Marx dan kawan-kawannya, karena mereka melihat orang Kristen di zaman mereka, koq cuma asyik sendiri dengan kerohanian mereka, mereka tidak protes terhadap ketidak-adilan, mereka tidak peduli dengan kemiskinan, mereka tidak peduli dengan orang-orang yang ditindas oleh orang-orang kaya. Dan, Marx benar, karena memang Kekristenan yang dia lihat demikian. Ini Kekristenan yang tidak percaya signifikansi kebangkitan Yesus, Kekristenan yang tidak mengerti dampak dari kebangkitan Yesus; Kekristenan yang hanya bicara mengenai surga yang rohani, dan di masa depan pula, bukan sebagai suatu proses yang sudah dimulai oleh Yesus Kristus lewat kebangkitan-Nya dan sedang berlangsung, bahkan sampai hari ini, melalui Saudara dan saya. Itu sebabnya Marx memberikan kritik yang sebenarnya sangat fair dan tepat, karena yang dia lihat adalah Kekristenan ala bensin yang dijual di pinggir jalan, yang sudah dicampur air, yang nilai oktan-nya sudah sangat jauh. Tapi itu bukanlah Kekristenan yang asli. Itu bukanlah Kekristenan yang menempatkan kebangkitan Yesus sebagai sentral.
Saudara perhatikan bagaimana jawaban Injil; semua saksi-saksi kebangkitan dicatat ‘berlari-lari’ –bergerak cepat. Kalau Saudara kumpulkan catatan tentang ‘berlari-lari’ dalam Injil, lebih dari separuhnya muncul dalam narasi-narasi kebangkitan. Para wanita berlari dari kubur Yesus. Petrus dan Yohanes berlari ke arah kubur Yesus. Kleopas bergegas-gegas ke Yerusalem setelah bertemu Yesus di jalan Emaus. Mengapa bisa ada energi seperti ini; dan mengapa dalam Gereja hari ini tidak ada energi seperti ini? Karena banyak dari kita sudah dibodohi dengan “kekristenan” yang dijual di pinggir jalan, yang mengira bahwa Tuhan tidak lagi peduli dengan dunia ini; bahwa yang hari ini ada boro-boro realitas yang baru, karena ‘yang saya lihat hanyalah realitas yang lama, maka kita lebih percaya Kekristenan sebagai agama urusan surga-surgaan, Pak; yang seperti itu lebih bisa dihidupi, buktinya lihat saja dunia ini rusak, kotor, dan lebih baik diapkir semua saja, ini proyek gagal!’ Melihat ini, Marx mengatakan, Kekristenan itu opium.
Saudara-saudara, bagaimana kita menghadapi ini? “Oke, Pak, saya jadi mengerti bahwa kita selama ini mungkin sudah terlalu terbawa dengan Kekristenan yang cuma urusan surga-surgaan; kita tidak mengerti signifikansi kebangkitan Yesus di atas dunia ini dan bagi dunia ini; kita terlalu memfokuskan urusan Yesus mati dan bangkit dalam hal keselamatan saya, dan dosa-dosa saya; kerohanian kami itu kerohanian cermin dan bukan kerohanian kaca spion. Saya mengerti, tapi bagaimana ya, Pak, dunia ini ‘kan memang masih banyak kerusakan; katanya realitas baru sudah dimulai oleh Yesus Kristus, tapi koq tidak tambah-tambah bagus? Oke, saya mengerti tentang proses, tapi saya tidak lihat proses itu; dan kalaupun ada proses, kayaknya prosesnya makin lama makin hancur, bukan makin bagus??” Saudara, soal makin lama makin hancur itu debatable, karena Saudara membandingkannya antara sekarang dengan 20 tahun lalu, atau dengan 500-700 tahun lalu. Kalau Saudara membandingkannya dengan skala waktu yang lebih panjang, Saudara mungkin akan melihat betapa politik berubah, betapa humanisme berubah, hak-hak azasi manusia muncul, ekonomi berkembang, teknologi dan sains –yang pertama-tamanya banyak dicetuskan oleh orang Kisten juga–berkembang, teknologi medis berkembang; dan Saudara bisa argue apakah benar prosesnya menurun, atau justru meningkat? Saudara bisa mempertanyakan itu, saya tidak mau bilang ‘ya’ atau ‘tidak’, ini topik yang panjang dan kompleks. Tetapi, satu hal yang pasti, waktu Saudara hari ini melihat dunia begitu rusak, Saudara jangan lupa bahwa cara Allah bertakhta di dunia ini lain dengan caramu atau caraku ingin bertakhta.
Waktu kita memikirkan takhta, kalau kita ingin bertakhta, sedikit banyak kita akan memakai cara Putin bertakhta; yang kita pikirkan mengenai takhta, kuasa, kerajaan, adalah bahwa yang berkuasa adalah mereka yang mengirim tank. Itu sebabnya kita protes ‘di mana Kerajaan Allah’ ketika kejahatan masih merajalela. Kita melihat yang bertakhta adalah evil bukan Kerajaan Allah, jadi di mana realitas yang baru itu? Yang mengirim tank adalah evil dan kejahatan, lalu di mana Tuhan, mana tank-nya Tuhan? Saudara, kalau Tuhan juga kirim tank, itu artinya bukan realitas yang baru, itu realitas yang lama. Saudara lihat, inilah yang orang tanyakan di kaki salib, ‘di mana juruselamat, wong Diri-Nya sendiri Dia tidak bisa selamatkan??’ Tapi heran, para penginjil melihat salib dengan mata yang lain. Dalam ibadah Kamis Kudus yang lalu, kita melihat Lukas tahu bahwa orang melihat Yesus sebagai si terhukum, tapi Lukas mencatat bahwa Sang Terhukum malah mendeklarasikan pengampunan, “Bapa, ampuni mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” —Sang Terhukum malah memberikan pengampunan. Lukas tahu bahwa orang melihat Yesus sebagai korban Romawi yang kalah oleh Romawi, tapi Lukas mencatat bahwa Sang Korban ternyata bukan jadi korban karena dikorbankan, sebaliknya Sang Korban jadi korban karena Dia mengorbankan Diri-Nya; Lukas mencatat bahwa nyawa Yesus bukan diambil, Lukas mencatat bahwa nyawa Yesus diserahkan, “Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku”. Saudara mau melihat dari perspektif yang mana?
Kalau Saudara mau melihatnya dari perspektif dunia, memang benar dunia ini penuh dengan kerusakan, kehancuran, kejahatan yang merajalela –meskipun kita bisa bicara soal hak azasi manusia dsb. yang tadi itu. Dan waktu Saudara melihat dari perspektif seperti ini, Saudara akan melihat yang tergantung di atas kayu salib itu adalah pihak yang kalah, dan Saudara lalu bingung di mana Kerajaan Tuhan?? Itu karena Saudara pikir Tuhan baru jadi Raja jika Tuhan me-rajalela, sebagaimana kehancuran dan kejahatan merajalela –seperti Putin kirim tank. Jika Tuhan pakai tangan besi, jika semua orang jahat itu mampus, jika Tuhan turun dengan segala kemahakuasaan-Nya, jika semua koruptor begitu dia korupsi langsung kepalanya pecah, dsb., barulah Tuhan berkarya, Tuhan bertakhta, Tuhan menjadi Raja, maka sebenarnya itu adalah Tuhan yang merajalela dan bukan Tuhan yang bertakhta, karena Tuhan kita punya takhta yang berbeda. Itulah sebabnya Tuhan tidak pakai cara ini.
Kalau Tuhan pakai cara ini, Dia mungkin akan mendapatkan ketaatanmu, tapi Dia tidak akan mendapatkan hatimu. Orang yang pakai kekerasan, dia bisa mendapatkan tubuh seseorang, tapi dia tidak akan pernah mendapatkan jiwa mereka. Itu sebabnya Tuhan tidak pakai cara ini. Jika Tuhan memakai cara ini, maka Dia tidak sedang memperbarui dunia. Apa yang baru di situ? Tidak ada yang baru. Itu hanyalah lagi-lagi cerita lama. Tetapi Allah sungguh sedang memperbarui dunia ini, itu sebabnya caranya juga harus baru, dan Saudara harus melihatnya dengan perspektif yang baru juga.
Kuasa Allah yang baru ini, tidak datang melalui kekuatan, tapi melalui kelemahan. Kuasa Allah yang baru ini tidak datang melalui pemaksaan, tapi lewat pengorbanan. Kuasa Allah yang baru ini tidak datang melalui kemuliaan, tapi kehinaan. Dan permisi tanya, bukankah ini yang memenangkan hatimu di hadapan Tuhan? Ya, ketaatan kita masih proses, fifty-fifty-lah, Paulus pun kadang masih bisa berdosa, tidak sempurna, masih dalam proses soal ketaatan; tapi bukankah hati kita sudah dimenangkan oleh Tuhan sejak kita mendengar apa yang telah Ia lakukan bagi engkau dan saya? Bukankah kita mengalami kuasa yang aneh itu? Kuasa yang seperti begitu lemah tapi entah bagaimana kita juga tahu kuasa ini punya kekuatan untuk menghancurkan hati yang paling keras. Kuasa pengorbanan. Dan lucunya, dalam kuasa pengorbanan itu keberadaan kejahatan (evil), penderitaan (suffering) tidaklah bisa menjadi sanggahan atas kuasa tersebut. Di dalam kuasa pengorbanan, keberadaan evil dan suffering justru menjadi bukti kesungguhan kuasa tersebut —bukan sanggahan tapi kesungguhan. Kita bukan percaya Kristus karena hidup-Nya tidak mengalami kejahatan, ‘kan? Hatimu dimenangkan oleh Yesus bukan karena Kristus tidak mengalami penderitaan, ‘kan?
Kita percaya Yesus Kristus justru karena Ia mengalami semua itu, karena Ia melalui semuai itu; karena setelah seluruh evil ditumpahkan kepada-Nya, Ia melaluinya, menembusinya, dan keluar di sisi yang satunya lagi —resurrection, bukan resuscitation. Bukan tidak jadi mati, tapi menembus dan melalui kematian. Inilah signifikansi dari kebangkitan Yesus, dan kiranya kita kembali boleh diingatkan, diberikan satu iman yang diperbarui, iman yang sejati, bukan iman jualan di pinggir jalan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading