Di Ikonium, kedua rasul itu masuk ke rumah ibadat orang Yahudi, sebagaimana metode yang biasa mereka pakai, menghampiri dulu umat Tuhan yang sudah mengerti betul Perjanjian Lama. Perjanjian Lama boleh dikatakan merupakan bab 1-11 dari kisah yang digenapi oleh Yesus, Yesus adalah bab 12-nya.
Ini seperti kalau kamu mengikuti satu serial video atau TV, atau apapun lainnya, kamu tidak bisa mengerti kalau hanya menonton bab terakhirnya, kamu harus menonton semua bab-nya. Dalam hal ini orang-orang yang sudah mengikuti dari awal sampai bab 11-nya, adalah orang-orang Yahudi; maka tidak heran kalau Paulus datang ke sebuah kota di mana pun, kota-kota asing yang bukan ada di Yudea, dia selalu terlebih dulu mencari komunitas orang Yahudi. Kalau di Asia, kita kenal China Town, tempat kita bisa mencium aroma lapchiong, rempah-rempah, teh, dsb.; demikianlah juga dalam komunitas Yahudi mereka bisa menemukan makanan-makanan kosher, mendengar orang bicara pakai bahasa Ibrani, dan juga menemukan sinagoge. Jadi di sini Paulus dan Barnabas berkelana di kota-kota orang kafir, tapi mereka mencari tempat ibadat orang Yahudi untuk memberitakan Injil pertama-tama di situ, sebagaimana biasanya. Yesus begitu, Petrus juga begitu, dan Paulus pun begitu. Mereka menjangkau dari Yudea, kemudian kepada saudara mereka –yang mereka anggap bidat namun mereka jangkau– yaitu Samaria, baru kemudian kepada ujung-ujung bumi, wilayah bangsa-bangsa.
Yesus pun seperti itu. Yesus pernah menolak melayani seorang janda yang anaknya sakit dan dia minta tolong kepada Yesus, Dia mengatakan: “Tidak baik roti yang buat anak-anak itu kita lemparkan kepada anjing”, maksudnya tidak baik memberikan sesuatu yang tadinya buat umat Tuhan, kepada yang bukan umat Tuhan. Namun perempuan itu bersikeras, dan Yesus mengatakan: “Imanmu besar, Ibu”, dan anaknya disembuhkan oleh Yesus sendiri. Itu menyatakan apa? Bahwa ada yang memang lebih dulu atau lebih primer dilakukan, dan setelah itu baru yang kemudian; yang terlebih dulu adalah menjangkau domba-domba yang terhilang dari antara umat Israel, baru kemudian bangsa-bangsa lain. Ini tindakan yang cukup logis, karena mereka sudah membaca bab 1-11, jadi tinggal diberitahu bab 12-nya, lalu lihat apa respons mereka. Namun ini tidak boleh membuat kita berpikir bahwa orang Yahudi punya tempat istimewa. Mereka tidak punya tempat yang istimewa; ini seperti yang Paulus katakan, bahwa mereka itu yang pertama-tama menerima firman Tuhan. Tapi itu tidak membuat mereka jadi umat yang lebih disayangi atau kurang disayangi, tidak membuat mereka jadi umat yang lebih diberkati atau kurang diberkati. Mereka adalah orang-orang yang pertama-tama diberkati; kita, bangsa-bangsa yang bukan keturunan Abraham secara lahiriah, adalah yang terkemudian diberkati. Mereka diberkati untuk menjadi saluran berkat; kita diberkati melalui saluran berkat itu. Jadi tidak ada pilih kasih di sini; tidak ada bahwa Tuhan lebih mengasihi orang-orang Yahudi dan kurang mengasihi orang-orang non-Yahudi, atau sebaliknya Tuhan lebih mengasihi orang-orang non-Yahudi ketimbang orang-orang Yahudi. Tuhan mengasihi semua anak-anak-Nya dari berbagai bangsa, hanya saja ketika Tuhan menjalankan cerita penebusan, Dia harus mendesain, memutuskan ceritanya berjalan dari mana ke mana, yaitu ceritanya berjalan dari Abraham kepada segala bangsa –bukan dari segala bangsa kepada Abraham. Dengan demikian memang logis kalau pemberitaan Injil, soal datangnya Kerajaan Allah itu, dinyatakan lebih dulu ke sinagoge-sinagoge, kepada orang Yahudi. Namun kita melihat dari respons mereka, bahwa mereka ini tidak lebih menerima, bahkan mereka terindikasi lebih menolak dibandingkan bangsa-bangsa lain.
Dalam pasal 13:50, dikatakan orang-orang Yahudi ini menghasut perempuan-perempuan terkemuka yang takut akan Allah. Pertama, ini indikator bahwa perempuan-perempuan punya power juga dalam dunia kuno. Kedua, perempuan-perempuan ini dihasut, karena kemungkinan besar mereka ada gelagat akan bersimpati terhadap berita Injil yang dinyatakan para rasul. Namun kita musti ingat juga, bahwa bukan semua orang Yahudi memusuhi Kristen, maka kita tidak boleh mengatakan ‘orang-orang Yahudi membunuh Tuhan’; kalau pun kita mengatakan itu, kita harus memberi disclaimer ‘tidak semua orang Yahudi’, karena orang-orang Yahudi ada yang mengikut Yesus, bahkan ada yang mati terbunuh karena Yesus, dan Yesus sendiri orang Yahudi, Petrus orang Yahudi, Paulus juga orang Yahudi. Kita tidak boleh bersikap rasis terhadap orang Yahudi (antisemit), sama seperti kita juga tidak boleh bersikap rasis terhadap orang-orang berkulit hitam atau orang-orang Cina atau orang-orang Bali, Batak, Jawa, dst. Jadi yang dimaksud dalam ayat 50 ini, orang-orang Yahudi yang tidak percaya menghasut perempuan-perempuan terkemuka yang berasal dari bangsa-bangsa lain namun simpati pada agama Yahudi, dan juga pembesar-pembesar di kota itu, untuk menganiaya Paulus dan Barnabas. Ini yang kita lihat sebagai latar belakang alasannya Paulus dan Barnabas pergi ke Ikonium.
Cerita dalam pasal 14 ini, pada bagian awal adalah mengenai Ikonium. Paulus dan Barnabas terusir ke Ikonium, dan di Ikonium mereka pakai metode yang sama, yaitu masuk ke rumah ibadat orang Yahudi, berbicara sedemikian rupa sehingga diterima juga, seperti di kota yang sebelumnya. Di kota sebelumnya itu, mereka begitu diterima, sampai-sampai diundang lagi pada minggu depannya, dan seisi kota berkumpul di sana. Saya kira tentu tidak muat kalau seisi kota tertampung dalam satu sinagoge, jadi mungkin sebagian duduk di luar atau mengintip dari jendela; atau memang tidak secara harfiah seluruh kota, maksudnya banyak sekali orang. Namun penerimaan yang mula-mula itu segera berlanjut dengan penolakan yang kuat.
Dari sini kita bisa belajar sesuatu, bahwa pelayanan memberitakan Injil datangnya Kerajaan Tuhan dalam Yesus yang sejati, itu akan menghadapi bukan hanya penerimaan, tapi juga bukan hanya penolakan. Jadi kita tidak boleh salah sangka, seperti misalnya bahwa orang yang memberitakan Injil yang sejati itu tidak boleh ditolak, karena kita nanti jadi fokus ‘wah, ada yang menolak, ada yang mengatakan sesuatu yang jahat mengenai pelayanan itu, berarti ini pelayanannya tidak betul’. Tidak tentu demikian. Pelayanan pemberitaan Injil kalau mendapatkan tuduhan atau pendapatkan persekusi, itu tidak otomatis berarti pelayanannya tidak murni atau keliru. Paulus, Petrus, dan Yesus sendiri pun mendapatkan perlawanan. Di sisi lain, pemberitaan Injil juga tidak tentu harus mengalami penolakan saja. Beberapa orang percaya bahwa pemberitaan Injil harus mengalami ditolak, dihina, dan segala kesulitan; sedangkan kalau diterima, berarti Injil-nya ada yang salah, koq, bisa begitu saja diterima. Yang seperti ini, saya kira juga keliru, karena penolakan bukan bukti pemberitaan Injil tersebut benar, sebagaimana juga penerimaan bukan bukti pemberitaan Injil tersebut benar. Pemberitaan Injil tidak dibuktikan kesejatiannya oleh penerimaan ataupun penolakan saja. Pemberitaan Injil akan menghadapi penerimaan, iya, pemberitaan Injil akan menghadapi penolakan, iya, tapi penerimaan saja tidak, dan penolakan saja juga tidak. Dalam hal ini kita jangan salah sangka, karena nantinya beberapa orang jadi pro bahwa pemberitaan Injil harus gampang, harus tidak menghadapi masalah, kalau menghadapi masalah berarti Tuhan tidak beserta; atau sebaliknya, harus menghadapi tantangan, harus seakan tidak berhasil, tidak berbuah, jadi kalau berhasil/berbuah berarti Injilnya encer, Injilnya kompromi. Dua-duanya itu keliru. Yang benar bahwa pemberitaan Injil akan menghasilkan pertikaian, akan menghasilkan pedang, akan menghasilkan pro kontra; bukan pro saja, bukan kontra saja, tapi pro kontra.
Yesus sendiri pernah mengatakan, “Aku datang jangan sangka membawa damai, Aku datang membawa pedang”. Ini jangan diartikan ‘Aku akan membuat hidup orang susah’; dan bukan juga ‘Aku akan membuat hidup orang gampang’. Perkataan ‘Aku datang membawa pedang’, penjelasannya adalah ‘Aku datang membawa perpecahan, pro kontra, bahkan di antara kaum keluarga sendiri’. Pro kontra-nya adalah karena sebagian menerima bahwa Kerajaan Allah memang datang dalam Yesus, dan sebagian menolak. Artinya, dalam peristiwa pengabaran Injil pelebaran Kerajaan Allah dalam Kisah Para Rasul ini, yang kita lihat adalah gema dari apa yang Yesus alami, yaitu orang-orang tersebut bukan semuanya menerima, bukan semuanya menolak, tapi semuanya bertengkar –bertengkar soal apa yang sedang terjadi. Sebagian mengatakan,yang sedang terjadi adalah: ada penyesat di tengah kita, yaitu Yesus; ada ancaman bahaya, sebab yang dikatakan Yesus itu bisa memprovokasi Romawi untuk membakar Bait Suci, menganiaya orang Yahudi, jadi kita harus berespons menyelamatkan umat Allah dengan cara membunuh Yesus, demikian jalan Kayafas, dia mengatakan ‘kalau Satu Orang ini mati, seluruh umat Allah bisa diselamatkan; kita korbankan saja Orang ini’. Sedangkan dari sisi murid-murid Yesus, yang sedang terjadi adalah: pada akhirnya ada Nabi Tuhan, ada Kerajaan Mesias; Kerajaan Allah pada akhirnya datang, pada akhirnya ada Orang yang berani menyuarakan korupsi/kerusakan dalam Bait Suci, bahwa Tuhan sendiri tidak senang dengan Bait Suci.
Para pengikut Yesus sangat menerima hal ini, bahwa yang sedang terjadi adalah pemurnian/pembersihan umat Allah, yang kemudian dinyatakan lewat baptisan Yohanes. Yohanes membaptis bukan hanya orang tidak percaya, tapi juga orang percaya, maksudnya orang-orang Yahudi pun perlu dimurnikan, perlu bertobat dari kejahatan. Ini berarti mereka tidak bisa berlindung di balik ras mereka, agama mereka, bahwa sebagai orang Yahudi pasti sudah di pihak Tuhan. Baptisan Yohanes menyatakan, kamu agamanya Yahudi, kamu sembahyangnya ke Bait suci, kamu sejak kecil keturunan Yahudi, itu tidak menjamin kamu ada di sisi Tuhan, tidak menjamin Tuhan di sisi kamu –tidak menjamin kamu orang benar, kamu pun harus bertobat. Itulah baptisan Yohanes. Yesus berjalan dalam tradisi tersebut, tradisi bahwa agama Yahudi, Bait Suci di Yerusalem, seluruh kesalehan mereka, itu mungkin tidak berkenan di hadapan Tuhan, mungkin mereka berbuat jahat juga di sana. Jadi, sebagian orang pro kepada Yesus dan mengatakan, “Benar, Bait Suci itu kalau perlu dihancurkan, ya, dihancurkan saja, kita tidak perlu; sistem itu korup!” Hal ini padanannya pada zaman kita yaitu orang-orang yang sering dilabel ‘exvangelical’, maksudnya ex-evagelical, eks gereja Injili. Anak-anak yang keluar dari gereja Injili sering kali mengerti betul kemunafikan pimpinan-pimpinan dan aktifis-aktifis dari gereja Injili, serta kekopongan dari Injil yang diberitakan gereja Injili, bahwa sering kali sekadar propaganda kaum kanan saja –dan tentu ini menimbulkan reaksi sebaliknya, ‘wah, exvangelical itu cuma propaganda kaum kiri’. Kira-kira begitu. Kurang lebih itulah yang terjadi, kalau kita mau tarik jembatan hermeneutics-nya dengan zaman kita.
Intinya ada pro kontra di antara orang-orang yang mengatakan Yesus itu Mesias, Kerajaan Allah sudah datang –alias orang percaya/orang Kristen– dengan orang-orang Yahudi yang menentang Yesus, menentang datangnya Kerajaan Allah dalam Yesus, menentang rasul-rasul, dan juga orang non-Yahudi yang terhasut. Dan, kalau ada itu, saya kira kita bisa mengatakan bahwa pelayanan seseorang atau pelayanan kita adalah pelayanan yang mengabarkan Injil –maka ada pro kontra. Tapi, pro kontra ini juga perlu dilihat dulu soal apa, karena pro kontra juga bisa macam-macam lainnya yang tidak penting, misalnya pro kontra karena kontekstual, pro kontra karena orang yang khotbah pakai celana jeans, dst., yang ‘gak penting banget. Jadi kalau pro kontra-nya urusan seperti itu, jangan buru-buru senang, ‘wah, saya sudah memberitakan Injil yang sejati, buktinya ada pro kontra soal baju saya’ –ini aneh banget; atau juga pro kontra soal bahasa yang dipakai, itu aneh banget.
Pro kontra yang dimaksud di sini adalah pro kontra soal datangnya Kerajaan Allah dalam Yesus, khususnya yang membuka pintu lebar-lebar kepada orang-orang non-Yahudi, seolah-olah Yahudi atau non-Yahudi tidak penting lagi. Hal membuka pintu lebar-lebar ini nantinya di-ekstensi-kan dalam surat Paulus, seolah-olah laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan status di hadapan Tuhan, sama-sama anak-anak Tuhan, sama-sama penting, sama-sama bisa dipakai Tuhan. Demikian juga perbedaan-perbedaan yang lain, misalnya perbedaan status sosial, budak dan orang merdeka; atau perbedaan kebudayaan, orang Skit dan orang Barbar, orang Yahudi dan orang Yunani, orang bersunat dan orang tidak bersunat, semua itu tidak ada bedanya lagi. Dan, hal itu memicu polemik, memicu pertikaian. Khususnya orang-orang yang sudah beribu-ribu tahun punya privilege tertentu dengan berbagai cara, mereka tidak senanglah kalau privilege-nya itu jadi seolah-olah tidak ada artinya, apalagi atas privilege itu mereka sudah bayar harga begitu mahal.
Di satu sisi, privilege bisa dikatakan dialami oleh orang-orang yang aman hidupnya, kaya, nyaman –yang tentu benar juga– dalam hal ini privilege dialami oleh orang Romawi. Namun privilege tertentu, dalam cara yang lain juga dialami orang Yahudi. Orang Yahudi yang terpinggirkan, miskin –atau dimiskinkan secara sistematis– teraniaya, tidak bebas menjalankan agamanya, mereka juga punya privilege. Koq, bisa? Ya, mereka punya privilege untuk meletakkan diri sebagai korban, privilege untuk punya mental korban (victim mentality), privilege untuk self-pity, privilege untuk mengatakan ‘walaupun kita ditindas, tunggu tanggal mainnya, Tuhan akan membalaskan’. Orang-orang Yahudi punya “privilege” semacam itu, untuk mengatakan ‘walaupun kita underdog, selalu jadi bulan-bulanan dan tidak berdaya, tunggu saja tanggal mainnya kalau Mesias datang, Romawi tidak akan berarti lagi, Kekaisaran Romawi yang besar akan dihapuskan dalam sekejap, dan mereka akan tunduk menjilat serta menyembah kepada Mesias’. Dan, ini tentu implied pada mereka itu, yang jadi pejuang, gerilyawan yang mepertaruhkan nyawa, yang meninggalkan rumahnya, bersembunyi di hutan-hutan atau tebing-tebing (seperti Masada), menyangkal diri, berjuang melawan Romawi dan ketidakadilan, bahwa ‘Mesias akan memimpin kita, Tuhan ada di pihak kita’.
Namun pemberitaan Injil merusak itu semua, karena pemberitaan Injil kemudian membuka pintu dan mengatakan ‘Mesias sudah datang, Mesiasnya Yesus, Mesiasnya disalib oleh Romawi dan diam saja, Mesiasnya akhirnya mati, dan Mesias itu seolah-olah dikutuk dan dibuang oleh Tuhan; tapi tidak demikian, karena kami menyaksikan Mesias itu bangkit, kami menyaksikan Dia yang bangkit itu menjumpai kami. Kami tahu Kerajaan Allah datang dengan cara yang berbeda; dan Kerajaan Allah yang datang itu menghasilkan bahwa baik kamu Yahudi atau bukan Yahudi, bersunat atau tidak bersunat, itu tidak berpengaruh’. Hal ini tentu tidak bisa mereka telan. Orang-orang Yahudi yang sudah terbiasa membayar harga dan sengsara demi Tuhan, merasa koq semuanya jadi sia-sia, maka mereka menghasut perempuan-perempuan terkemuka (arguably ini orang non Yahudi yang simpati pada agama Yahudi), dan penguasa-penguasa kota, untuk menganiaya Paulus dan Barnabas.
Demikian juga yang terjadi di Ikonium, orang Yahudi dan Yunani terpecah belah, bukan Yahudi versus Yunani atau Yunani versus Yahusi, tapi terpecah belah antara orang yang percaya kepada Yesus dan orang yang tidak percaya kepada Yesus –orang Yahudi yang percaya kepada Yesus versus orang Yahudi yang tidak percaya kepada Yesus, orang Yunani yang percaya kepada Yesus versus orang Yunani yang tidak percaya kepada Yesus. Jadi sekarang front perpecahannya, pedangnya mencincang secara berbeda, pedangnya mencincang diametrically berlawanan; tadinya mencincang masyarakat seturut serat-serat daging –suku, bahasa, agama, jenis kelamin, status sosial. Kalau kamu masak, mengiris daging tentu lebih gampang sesuai seratnya; kalau kita mau bikin pertikaian/perpecahan di antara sekelompok orang, serat-serat anyaman kebangsaan kita itu paling gampang dicerai-beraikan/dicincang, sering kali berdasarkan suku, status, jenis kelamin. Tinggal dicincang saja, diadu domba saja –Cina lawan Jawa, kaya lawan miskin, orang berpendidikan tinggi lawan orang berpendidikan rendah, orang kota lawan orang kampung, cowok lawan cewek, orang tua lawan orang muda –lalu take advantage dari situ. Tetapi ketika Injil diberitakan, polarisasi-polarisasi yang tadi saya sebutkan itu as if it doesn’t matter. Kata Paulus, it doesn’t matter kamu laki-laki atau perempuan, kamu kaya atau miskin, kamu budak atau orang merdeka, kamu Yahudi atau bukan Yahudi, kamu terdidik atau tidak terdidik, kamu hatinya gembira kalau dengar dangdut atau kalau dengar klasik. It doesn’t matter; yang really matter adalah bagaimana penerimaanmu terhadap Yesus, bagaimana penerimaanmu soal datangnya Kerajaan Allah dengan cara-cara yang kita lihat dalam Yesus.
Di situ kemudian terjadi provokasi oleh orang-orang Yahudi yang jauh-jauh pergi dari kota-kota sebelumnya, dari Antiokhia, dari Ikonium (atau Konya menurut penamaan sekarang; daerah-daerah di Turki); dan kita tahu nantinya Paulus didatangi sampai ke kota Listra, 150 km dari Antiokhia, Pisidia (50 km dari Ikonium). Mereka jauh-jauh jalan kaki, berhari-hari, dengan resiko bisa dirampok di jalan dsb., karena saking bencinya akan cause tersebut. Mereka begitu dedicated untuk melenyapkan orang-orang Kristen ini, khususnya Paulus dan Barnabas. Mereka berkomplot untuk melenyapkan Paulus dan Barnabas. Hasilnya, orang-orang di kota itu terpecah dua –sebagaimana memang ketika berita Injil diberitakan akan menghasilkan polemik/pedang– ada yang memihak kepada orang-orang Yahudi, dan ada yang memihak kepada rasul-rasul. Mulailah orang-orang Yahudi dan orang-orang bukan Yahudi bersama pemimpin-pemimpin mereka berusaha menyiksa dan melempari keduanya itu dengan batu. Kita lihat di sini, mereka adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang bukan Yahudi; jadi front perangnya bergeser, bukan orang Yahudi lawan orang Kristen, atau orang bukan Yahudi lawan orang Kristen, melainkan orang Yahudi dan orang bukan Yahudi berkomplot memusuhi rasul-rasul itu. Frontline perangnya jadi ‘pro-Yesus’ atau ‘kontra-Yesus’.
Mereka melempari rasul-rasul dengan batu. Ini bukan hukuman menurut Taurat. Dalam Taurat ada hukuman ‘dilempari batu sampai mati’, tapi yang dilakukan di sini bukan itu. Kenapa demikian? Pertama, karena yang melakukan bukan orang Yahudi; kedua, melakukannya juga bukan dengan alasan Yahudi, dan juga hukuman melempari batu dalam Taurat harus dilakukan di luar kota sedangkan di sini mereka melakukannya di dalam kota. Jadi ini bukan hukuman/eksekusi berbasis agama/Taurat.
Paulus dan Barnabas kemudian tersingkir ke kota lain dalam wilayah Likaonia. Likaonia ini masih dalam Provinsi Galatia (nama Galatia ini ada yang nama kota, ada yang nama provinsi), jadi ini semacam kabupaten; dan di Kabupaten Likaonia ini ada kota Listra dan Derbe, di situ mereka memberitakan Injil. Nama Likaonia sendiri bukan istilah Romawi, jadi ini kota yang tua, karena namanya bukan nama Latin.
Di Listra, Lukas menceritakan ada seorang laki-laki yang lumpuh. Ini adalah gema dari cerita mengenai Petrus menyembuhkan orang lumpuh. Jadi, kalau kita melihat cerita mukjizat, kita sebaiknya tidak melihatnya misalnya seperti ini: ‘wah, ini ada orang lumpuh disembuhkan, caranya berdoa untuk menyembuhkan orang lumpuh kayak begini nih, orangnya harus ditarik berdiri kayak metodenya Petrus’; atau misalnya: ‘eh, harus dengan suara nyaring nih, suaranya tidak boleh pelan-pelan, musti nyaring kayak pakai speaker, lalu kata-katanya “berdirilah tegak”, jangan sekadar “berdirilah” atau “majulah”, atau “berimanlah”, harus “berdirilah tegak”, itu mantranya. Tidak seperti itu. Kalau ada peristiwa mukjizat, ini bukan untuk kita perlakukan sebagai mantra atau suatu pembenaran aktifitas agamis mengklaim semacam hak mengendalikan Tuhan untuk melakukan lagi apa yang pernah Tuhan lakukan dalam Alkitab; melainkan musti kita pahami sebagai suatu cara Lukas untuk menggambarkan siapa orang ini. Di sini Paulus digambarkan sebagai yang sama-sama disertai Tuhan, seperti Petrus; dan dalam bagian sebelumnya yang menceritakan hal yang sama, Petrus menyembuhkan orang lumpuh, yang digambarkan adalah bahwa Petrus ini orang yang sama-sama disertai Roh yang sama dengan Yesus.
Tiga peristiwa tersebut sama-sama menyembuhkan orang yang lumpuh –Yesus menyembuhkan orang yang lumpuh, Petrus menyembuhkan orang yang lumpuh, Paulus dan Barnabas menyembuhkan orang yang lumpuh– dan ini jangan dibaca sebagai: ‘beginilah caranya menyembuhkan orang lumpuh, yuk, kita tiru, kita bakukan metodenya’. Juga bukan dibaca sebagai: ‘Alkitab ini isinya cerita-cerita takhyul, ini stempel bahwa Alkitab itu buku untuk orang-orang tidak terdidik, buku yang kuno, yang ketinggalan zaman, buktinya peristiwa-peristiwa yang melawan hukum alam koq bisa terjadi’. Atau juga: ‘wah, peristiwa melawan hukum alam bisa terjadi lho, jadi kamu yang belajar sains jangan sombong, kuasa Tuhan lebih besar,’ dst. Tidak seperti itu. Poin saya: kita musti mengetahui cerita-cerita mengenai mukjizat-mukjizat dalam Alkitab itu harus kita pahami secara bagaimana; dan posisi yang saya pegang dalam hal ini adalah bahwa cerita-cerita ini berfungsi sebagai tanda (semeia), dan tanda tersebut tentu bukan untuk dilihat pada dirinya sendiri.
Sebagaimana saya pernah jelaskan, tidak ada orang yang berdiri di bawah sign “Bandung 150 km –>” lalu selfie-selfie ‘eh, gua lagi di Bandung, nih’, atau yang mengagumi sign tersebut, ‘bagus banget ya, objek wisata nih, sign-nya keren banget’. Tidak ada orang yang kayak begitu, karena sign merujuk pada sesuatu yang di luar dirinya. Kalau orang melihat sign “Bandung 150 km –>”, dia tahu kalau dia menuju ke arah sana 150 km akan sampai Bandung. Sign itu tidak penting pada dirinya sendiri; sign merujuk kepada sesuatu. Jadi, mukjizat dan tanda (sign and wonder; semeia) yang terjadi itu, tujuannya bukan untuk kita emulasi, kita repetisi, kita lakukan lagi. Tujuannya, ini tanda bahwa Petrus, Paulus, Yesus, sudah menggenapi janji Tuhan; ini tanda waktu untuk membuat kita tahu akhir zaman sudah tiba, Kerajaan Allah sudah tiba. Kalau kita sudah tahu, tandanya ya tidak diperlukan. Seperti juga kalau kita sudah tahu bahwa Bandung itu ke arah sana 150 km, tandanya tidak perlu ada. Jadi, di sini kita tahu bahwa Paulus pun adalah rasul Tuhan, Paulus pun adalah orang yang lewat karyanya Kerajaan Allah hadir.
Orang banyak melihat yang diperbuat Paulus, namun repons mereka sangat mengejutkan, respons khas Likaonia. Mengenai Likaonia, Ovid (seorang sastrawan klasik) dalam bukunya “Metamorphoses” bab 8, mencatat hikayat seorang petani bernama Philemon dan istrinya yang bernama Baucis; kedua orang miskin ini menerima Zeus dan Hermes di rumahnya ketika Zeus dan Hermes berkunjung dalam rupa manusia ke kota itu. Lalu kota itu dilanda bencana banjir besar, seluruh penduduk kota mati, sedangkan rumah Philemon dan Baucis menjadi temple Zeus yang megah berkilau-kilauan, dan mereka diselamatkan dari banjir itu. Jadi Likaonia ini konon adalah tempat terjadinya mukjizat tersebut beberapa ratus tahun sebelumnya, maka ketika mereka melihat Paulus melakukan hal itu, mereka langsung berseru: “Dewa-dewa telah turun ke tengah-tengah kita!” Artinya mereka harus menyambut dengan meriah, kalau tidak, nanti nasibnya akan seperti orang-orang beberapa ratus tahun lalu ketika Zeus dan Hermes berkunjung tapi tidak ada yang mau menampung di rumahnya, sehingga akibatnya mereka semua dihanyutkan banjir.
Selanjutnya, imam dari Dewa Zeus yang kuilnya terletak di tengah kota, datang membawa lembu jantan serta karangan bunga ke pintu gerbang, mempersembahkan kurban bersama dengan orang banyak bagi rasul-rasul itu. Rasul-rasul dielu-elukan sebagai Dewa Zeus. Kalau kamu dielu-elukan kayak begini, bagaimana? “Wah, lembunya kurang gemuk; mana kambingnya, aku juga doyan kambing”, dsb. Namun mereka tidak melakukan itu, mereka mengoyak baju mereka. Orang Yahudi melakukan itu untuk menunjukkan tanda dukacita dan tanda protes/ketidaksetujuan. Zaman kita mungkin agak susah membayangkan merobek baju sebagai tanda ketidaksetujuan/protes, maka kita musti cari jembatan hermeneutics-nya. Mungkin ini seperti tarian Haka di Parlemen New Zealand; ini tarian yang bisa dipakai untuk menunjukkan penghotmatan kepada para tamu, menunjukkan kegagahan para pejuang Maori, tapi juga bisa dipakai untuk menunjukkan protes di Parlemen New Zealand yang diawali dengan mereka merobek rancangan undang-undang, yang tentu ditujukan untuk menunjukkan protes. Seperti itulah Paulus merobek bajunya (biasanya yang dirobek sebesar telapak tangan, tapi nantinya dijahit kembali; itu sebabnya ada gambaran dalam Pengkhotbah ‘ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit’). Lalu Paulus menerobos ke tengah-tengah orang banyak sambil berseru, memprotes, “Kenapa kamu berbuat begini?? Kami ini manusia biasa sama seperti kamu; kami di sini memberitakan Injil kepada kamu”.
Waktu Paulus mengatakan kalimat-kalimat ini, dia pakai kata-kata yang mereka semua mengerti. Jadi berarti mereka ini mengerti apa itu Injil, karena Injil bukan istilah yang pertama-tama Yahudi, dan juga bukan istilah yang pertama-tama Kristen. Injil adalah istilah yang pertama-tama Romawi dan Yunani. Injil yang mereka dengar kira-kira 50-70 tahun sebelumnya, adalah injil yang dinyatakan saat Kaisar Oktavianus Agustus bertakhta (ini kaisar yang menyuruh mendaftarkan orang-orang di Galilea pada masa kelahiran Yesus). Oktavianus Agustus menyatakan dalam injilnya, tiga berita. Berita yang pertama, bahwa dirinya adalah imperator Romawi (kaisar Romawi, pemerintah Romawi). Yang kedua, bahwa dirinya adalah anak Allah (karena Julius, ayah angkatnya, sudah mengalami deifikasi, orang-orang mengangkat Julius sebagai allah sesudah dia mati terbunuh, diperilah, dijadikan dewa, dibikinkan kuil). Yang ketiga, Oktavianus Agustus mengaku diri sebagai juru selamat dunia (salvator mundi). Jadi, istilah injil adalah satu hal yang mereka mengerti; tapi sekarang injilnya injil apa? Tentu bukan injil Oktavianus Agustus, melainkan Injil Kaisar Yesus. Kita agak jarang mendengar istilah ‘Injil Kaisar Yesus’ ini, boleh juga mulai dipopulerkan ‘the Gospel of Emperor Jesus and His empire’. Tapi mungkin agak tidak cocok juga, karena ‘empire’ mengasumsikan ‘menaklukkan’, ada yang dikalahkan, ada yang ditindas, ada yang dipaksa, diperas, barulah ada kekaisaran, sedangkan Raja Yesus tidak memeras siapa-saiapa, Dia tidak menginjak-injak, tidak memaksa, tidak menaklukkan, tidak mendominasi. Jadi memang beda sifatnya Kerajaan Yesus itu, karena Dia membebaskan, Dia bukan menjajah.
Kembali lagi, Injil Yesus tentu berbeda; dan Injil Yesus itulah yang diberitakan oleh Paulus dan Barnabas. Injil itu diberitakan dengan satu tujuan. Apa tujuannya? Supaya mereka meninggalkan perbuatan sia-sia ini. Yaitu apa? Yaitu menyembah manusia, menyembah ilah-ilah tadi, karena mereka harusnya berbalik kepada Allah yang hidup, yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya. Ini istilah-istilah yang orang-orang itu mengerti. Mereka tahu langit, mereka tahu bumi, mereka tahu laut, mereka tahu segala isinya. Jadi di sini Paulus tidak mengatakan lewat istilah-istilah teologis yang mereka tidak mengerti, misalnya propiasi, justifikasi, election, dsb.; Paulus tidak pakai istilah-istilah itu, Paulus mengatakan: Kamu hidupnya sia-sia, hampa, tidak ada artinya, kamu hidupnya fana banget, tidak substansial, karena kamu menyembah bukan kepada yang menciptakan semua ini, kamu menyembah semua ini, sedangkan semua ini berasal dari Allah yang hidup; dan Allah itu pada zaman lampau membiarkan semua bangsa –termasuk bangsa kamu– menuruti jalannya masing-masing. Jadi kalau kamu mengatakan, “Kami begini, hidup juga koq, it works juga”, memang benar, karena Allah membiarkannya. Dan, Dia bukan tidak menyatakan diri. Artinya apa? Artinya Allah menyatakan diri.
Ada orang-orang yang mengatakan, “Kenapa sih, Tuhan itu menyembunyikan diri?? Coba Tuhan menyatakan diri, ‘kan kita jadi tidak ada perdebatan soal ateis atau apapun. Apalagi menyatakan diri dalam bentuk salib, tiap hari Yesus nampak di langit, wah, jadi tidak ada perdebatan agama mana yang benar. Kenapa tidak begitu saja, simpel ‘kan; kenapa Tuhan menyembunyikan diri??” Dalam hal ini kamu bisa googling, ada banyak tulisan filosofis dibuat untuk menjawab pertanyaan ‘kenapa Allah menyembunyikan diri’, hipotesis hidden God. Namun Allah itu tidak menyembunyikan diri-Nya, demikian Paulus katakan. Allah menyatakan diri-Nya, Dia bukan tidak menyatakan diri, tapi Dia menyatakan diri dengan berbagai-bagai perbuatan baik; bukan secara visual, bukan secara auditorial, melainkan dengan berbagai-bagai kebaikan, common grace. Tuhan memberikan anugerah yang umum. Anugerah adalah free gifts, pemberian yang kita tidak layak terima, gratisan –grazia. Dan, gratisannya Tuhan ini Dia berikan kepada segala bangsa, yang melawan Tuhan, yang Dia biarkan menuruti jalannya masing-masing, bahkan sering kali memusuhi dan melawan Dia –namun Tuhan memberi mereka berbagai-bagai perbuatan baik.
Tuhan menyatakan diri lewat kebaikan. Kita sebagai umat Tuhan, menyatakan Kerajaan Allah lewat apa? Jangan-jangan lewat penghinaan. Lewat ceramah moralitas, yang penyanyi Madonna mengatakan “Papa, don’t preach; I’m in trouble, deep” –udah I’m in trouble, deep, lu preaching-preaching aja. Kita mungkin menyatakan diri kepada dunia ini lewat menasehati, menyalah-nyalahkan, menghina-hina –lewat apapun yang judgemental— tapi Allah tidak. Allah menyatakan diri pertama-tama lewat kebaikan. Mereka ini orang-orang yang tidak mengerti, mereka tersesat dalam ketidakmengertian mereka, dan Tuhan begitu hospitable. Itulah bedanya Allah dari Tuhan kita Yesus Kristus, dengan allahnya orang-orang Likaonia. Allahnya orang-orang Likaonia ini –Zeus dan Hermes– turun ke bumi di antara anak-anak manusia mencari hospitalitas namun tidak ketemu, lalu waktu ketemu cuma satu, yang satu itu diberkati, sementara yang tidak hospitable kepada mereka, dimusnahkan; sedangkan Allahnya Abraham, Ishak, dan Yakub, ketika turun ke tengah manusia, Dia datang dan menjumpai bumi ini tidak hospitable, umat-Nya sendiri pun tidak hospitable terhadap Dia, tidak ada seorang pun yang hospitable pada Dia, dua belas murid yang mengikuti Dia ke mana-mana juga tidak hospitable, ngacir waktu Dia disalib, namun Tuhan menyentuh mereka dengan berbagai-bagai kebaikan. Yesus waktu ketemu Petrus, Dia bukan bilang, “Hayo… kemarin ke mana, kamu ngomong apa waktu orang tanya kita kenal atau tidak, pura-pura ‘gak kenal ya… “; Yesus tidak guilt tripping shaming Petrus seperti itu. Tuhan jalan-Nya tidak seperti itu.
Dia bukan tidak menyatakan diri dengan berbagai-bagai perbuatan baik; dan perbuatan baik ini mereka semua mengerti. Orang-orang pagan ini semua mengerti Dia memberikan hujan dari langit, Dia memberikan musim-musim subur bagi kamu, Dia memuaskan hatimu dengan makanan dan kegembiraan. Coba bayangkan, makanan dan kegembiraan, itu semua orang bisa menikmati. Tentu tidak semua orang bisa makan kaviar yang satu kaleng harganya 750 juta, tapi semua orang bisa menikmati makanan, setidaknya gorengan, dsb. Pernah lihat monyet makan pisang? Kelihatan enak betul makan pisang gratisan yang dia petik dari pohon. Semut makan setetes madu entah dari sari bunga atau apapun, kelihatan menikmati betul. Segala kebaikan, yang semua orang bisa nikmati dan pernah nikmati, itu memuaskan hati anak-anak manusia yang tersesat dalam jalan masing-masing, yang hidup dalam kesia-siaan; dan sekarang Injil sampai kepada mereka. Jadi setelah Tuhan menyentuh mereka dengan segala perbuatan baik, menyatakan diri kepada mereka dengan segala perbuatan baik, tidak menyembunyikan diri-Nya, sekarang Dia menjangkau mereka lewat kata-kata, lewat firman. Dalam hal ini kita mungkin terbalik, tapi Tuhan melakukan itu di tengah mereka.
Tapi apa respons mereka? Mereka tetap melakukan hal yang sia-sia itu, mereka mempersembahkan kurban kepada rasul-rasul, mereka menutup telinga terhadap Injil. Bahkan ketika orang-orang Yahudi datang dari Antiokhia ke Listra (ini jarak yang jauh banget, 150 km kalau jalan kaki sedangkan naik mobil lebih jauh lagi karena memutar; sementara dari Ikonium 50 km), mereka bela-belain datang untuk mempengaruhi orang banyak, akhirnya hasutan mereka sukses juga, banyak orang yang berkomplot melempari Paulus dengan batu. Kali ini kayaknya lebih parah daripada sebelumnya, mungkin Paulus kena kepalanya sehingga dia jatuh dan disangka mati –tapi ternyata tidak mati. Paulus diseret ke luar kota, murid-murid datang mengelilingi dia, lalu dia bangkit. Tidak diceritakan bahwa ini kebangkitan yang mukjizat atau seperti Lazarus, jadi ini sepertinya natural saja, mungkin memang kena batunya tidak parah, pusing-pusing sedikit dan bangun kembali.
Paulus dan Barnabas memberitakan Injil di kota itu, dan memperoleh banyak mmurid. Jadi walaupun ada polemik, bahkan ada resistensi yang besar, tapi juga ada hasilnya, ada murid-murid yang banyak dari kota itu.
Lalu mereka kembali ke Listra, Ikonium, dan Antiokhia. Catatan Lukas di sini menarik, bahwa mereka ini kembali ke Listra, kembali ke Ikonium, kembali ke Antiokhia. Listra dan Ikonium ‘kan menolak mereka, jadi mereka ini kembali ke kota di mana mereka terusir dan dilempari batu –namun kembali lagi. Mungkin karena face recognition technology waktu itu belum ada, mereka bisa menyelip begitu saja tanpa dikenali; riskan namun masih possible. Di sana mereka menguatkan hati murid-murid. Rupanya orang-orang yang menjadi percaya itu masih berkumpul juga dan setia pada Injil. Mereka dikuatkan oleh Paulus, dinasehati supaya bertekun dalam iman, dan diingatkan bahwa mengikut Tuhan memang ada banyak kesengsaraan (tapi jangan terbalik, tidak semua kesengsaraan membawa kepada Tuhan, jangan kita cari-cari sengsara biar lebih dekat pada Tuhan; itu bodoh).
Lalu di tiap-tiap jemaat (maksudnya tiap-tiap Gereja, tiap-tiap kumpulan orang percaya), rasul-rasul menetapkan penatua-penatua bagi jemaat itu; dan setelah berdoa dan berpuasa, mereka menyerahkan penatua-penatua itu kepada Tuhan, yang kepada-Nya mereka percaya. Di bagian ini, dalam struktur bahasa Yunaninya harusnya diterjemahkan bukan seolah-olah di tiap-tiap jemaat itu rasul-rasul dengan single handedly menetapkan siapa jadi penatua dan siapa tidak, melainkan bahwa rasul-rasul dan jemaat itu berdoa dan berpuasa bersama untuk memilih dan menetapkan penatua-penatua. Jadi ini merupakan suatu hasil perundingan, hasil pergulatan bersama antara rasul-rasul dengan jemaat, termasuk dengan penatua-penatua itu sendiri. Mereka saling berdiskusi untuk mengenali siapa yang sebagai titipan Tuhan di tengah mereka, digerakkan oleh Roh Allah, lalu mereka menyerahkan penatua-penatua itu kepada Tuhan, yang kepada-Nya mereka percaya (maksudnya semacam ditahbiskan).
Selanjutnya mereka menjelajah seluruh Pisidia dan tiba di Pamfilia, dan memberitakan firman di Perga. Tidak banyak catatan dalam hal ini, artinya mungkin tidak terlalu ada buah, tidak ada penolakan dan tidak ada penerimaan yang terlalu besar di situ. Lalu mereka berlayar kembali ke Antiokhia. Ini bukan antiokhia Pisidia, ini Anthiokia yang adalah starting point mereka. Jadi ini perjalan misi yang kira-kira dua tahun, para ahli mengatakan kira-kitra tahun 45-47, yang launching pad-nya adalah Gereja Antiokhia, dan sekarang mereka berakhir kembali ke Antiokhia.
Mereka lalu mengumpulkan jemaat, menceritakan segala sesuatu yang Allah lakukan. Construct kalimat Lukas di sini menarik; tidak dikatakan ‘lalu mereka menceritakan segala sesuatu yang mereka lakukan demi Tuhan –segala kisah kepahlawanan, dan pengorbanan, dan kesuksesan, dan kegagalan Paulus dan Barnabas’, melainkan ‘segala sesuatu yang Allah lakukan dengan perantaraan mereka’.
Ada dua paradigma yang kita bisa pakai untuk melihat pelayanan kita. Apakah kita melihatnya sebagai ‘ini adalah yang saya lakukan bagi Tuhan’, lalu kita berdoa, “Tuhan, apa yang saya harus lakukan untuk-Mu, apa yang saya bisa lakukan untuk-Mu, apa yang saya bisa berikan untuk-Mu”. Itu satu paradigma. Namun ada paradigma yang lebih baik: “Tuhan, apa yang Engkau ingin lakukan melalui saya”, dan lebih baik lagi: “Tuhan, apa yang Engkau ingin lakukan melalui kami”. Jadi, awal mulanya dan tujuan akhirnya adalah Tuhan. Itulah contruct kalimat yang dipilih oleh Lukas. Mereka bukan menceritakan apa yang sudah mereka lakukan, mereka capai, mereka berikan, mereka korbankan bagi Allah; melainkan menceritakan segala sesuatu yang Allah lakukan dengan perantaraan mereka. Juga bahwa Allah telah membuka pintu bagi bangsa-bangsa lain; bukan ‘aku, Paulus bersama Barnabas, telah membuka pintu, dan sekarang Tuhan bisa melenggang masuk melalui pintu yang telah aku buka’. Bahkan bukan Allah telah membuka pintu bagi pelayanan Paulus supaya Paulus bisa melayani lebih besar, melainkan Allah membuka pintu bagi bangsa-bangsa lain kepada iman. Jadi what’s really matter bukanlah bahwa Paulus bisa melayani, bukan Paulus pelayanannya berkembang besar, melainkan bahwa bangsa-bangsa lain datang kepada iman, datang kepada Tuhan. Itu yang penting.
Jadi yang pertama, bukan ‘siapa yang Tuhan pakai’ yang penting, melainkan apa yang Tuhan lakukan; dan kedua, hasilnya bagaimana. Orang-orang lain yang mendapat berkat ini, tidak penting mendapat berkatnya lewat siapa, apakah lewat orang Yahudi atau orang Kristen atau orang non-Yahudi, apakah lewat Paulus atau Barnabas atau Petrus atau Yohanes, itu tidak penting sama sekali dalam catatan Lukas. Yang penting adalah bangsa-bangsa lain itu sekarang dapat datang kepada iman karena Allah membuka pintunya, karena Allah melakukan ini dan itu. Paulus dan Barnabas melaporkan dua tahun perjalanan itu, sebetulnya untuk melaporkan apa yang Allah telah lakukan, bukan apa yang mereka lakukan.
Selanjutnya di Antiokhia mereka tinggal bersama murid-murid di situ, mereka memulihkan energi untuk pelayan berikutnya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading