Hari ini Hari Pentakosta. Kita merayakan pencurahan Roh Kudus yang turun ke atas Gereja Tuhan pada suatu perayaan Shavuot yang dirayakan di Yerusalem kira-kira 2000 tahun yang lalu.
Kita tahu bahwa merayakan Pentakosta itu agak kurang meriah, kurang diistimewakan dalam tradisi Gereja-gereja Protestan khususnya, mungkin lebih ditekankan dalam Gereja-gereja di Timur (Gereja Ortodoks).Ini sesuatu yang menyedihkan juga; dan kita kehilangan sesuatu di sini. Veli-Matti Kärkkäinen, seorang teolog dari Skandinavia mengatakan bahwa Doktrin Roh Kudus (Pneumatology) menjadi semacam anak tiri dalam teologi sistematika. Dia menyebutnya sebagai Cinderella of Theology, bahwa di antara cabang-cabang dalam ilmu Teologi, cinderella-nya adalah Pneumatologi, studi mengenai Roh Kudus. Saya kira pengamatan itu cukup tepat, namun kita tahu teolog-teolog yang terbaik tidak melupakan pengajaran mengenai peranan Roh Kudus dalam hidup orang percaya, dalam Penciptaan, juga dalam Konsumasi.
Pentakosta pernah saya khotbahkan dari Kisah Para Rasul tahun lalu. Pentakosta adalah akhir dari suatu era, dan mulainya suatu era yang lain. Ini seperti munculnya tunas di awal musim semi dan akhir musim dingin. Pentakosta adalah hari kelahiran Gereja –walaupun seperti yang tadi kita dengar dari Veli-Matti Kärkkäinen, sering kali dianaktirikan, diperlakukan sepertiCinderella, namun Cinderella yang pada akhirnya terlihat peranannya, kemuliaannya, keanggunannya. Roh Kudus juga demikian. Sepanjang dua ribu tahun sering kali kita melupakannya, menjadi cinderella dari teologi. Namun perlahan-lahan –dan tidak selalu kita melupakannya– kita menyadari juga peranan penting yang tidak tergantikan dari Roh Kudus itu.
Hari Pentakosta adalah hari di mana suatu ketika di Yerusalem, waktu orang-orang Israel merayakanShavuot, mereka menyaksikan bahwa Roh Kudus memenuhi semua orang yang percaya kepada Yesus, tanpa terkecuali. Padahal pada masa-masa sebelumnya Roh Kudus hanya memenuhi para pemimpin dan juga orang-orang tertentu, misalnya Simson, Daud, Musa, Abraham, atau orang-orang yang lain. Namun sekarang, sebagaimana dinubuatkan oleh Nabi Yoel, Roh Kudus memenuhi semua orang yang percaya, baik muda maupun tua, laki-laki maupun perempuan, baik budak-budak maupun orang-orang merdeka, bahkan orang-orang yang tidak bersunat, orang-orang yang berasal dari bangsa-bangsa lain. Petrus menyaksikan di kemudian hari bagaimana Kornelius, yang orang Yahudi tidak boleh masuk ke rumahnya, ternyata bisa juga dipenuhi oleh Roh Kudus kalau dia percaya Yesus Kristus sebagai Mesias.
Pentakosta adalah awal suatu era yang baru, di mana keistimewaan sebagai orang Yahudi jadi tidak istimewa lagi. Namun itu bukan berarti Tuhan jadi kurang, dalam mengasihi bangsa tersebut, melainkan hanya berarti bahwa Tuhan jadi lebih, dalam mengasihi bangsa-bangsa lain, karena Tuhan tidak pernah punya logika karnivor atau predator yang kalau ingin mengasihi lebih pada seseorang maka harus mengambil kasihnya itu dari orang-orang sebelumnya untuk diberikan kepada orang itu (logic of scarcity). Tuhan kita, karena Dia adalah Sang Pencipta, Dia beroperasi dengan logic of abundance –karena Dia bisa menciptakan out of nothing. Dia tidak perlu mengurangi kasih-Nya atas sekeompok orang untuk meluaskan kasih-Nya itu kepada sekelompok orang yang lebih luas. Allah menggenapi janji-Nya kepada Abraham-Ishak-Yakub, dan kepada Musa. Janji kepada Musa ini, satu momen paling penting adalah ketika Hukum diberikan –penandatanganan MOU antara Allah dengan umat Israel– di Gunung Sinai. Itulah yang dikenang pada Hari Shavuot, Hari Pentakosta itu.
Omong-omong, Hari Pentakosta bukan hari raya yang pada mulanya dirayakan oleh orang Kristen; Hari Pentakosta adalah hari raya orang Yahudi. Namun hari raya tersebut, pada salah satu momennya –pada salah satu Shavuot– terjadi sesuatu yang sangat relevan dengan Kekristenan, atau lebih tepatnya terjadi sesuatu yang menghadirkan Kekristenan dalam dunia, yang tadinya tidak ada, yaitu bahwa segala bangsa boleh diadopsi sebagai umat Tuhan. Padahal, mereka bukan orang-orang bersunat. Padahal tadinya orang-orang bersunat yang mengikat janji dengan Tuhan, tidak boleh bergaul dengan mereka, misalnya tidak boleh makan di rumahnya, tapi justru dengan orang-orang ini Tuhan makan di rumahnya, dan orang-orang ini kemudian adalah umat Tuhan sendiri, sejak Hari Pentakosta. Itu sebabnya Hari Pentakosta adalah hari yang mempersaksikan bagaimana hospitalitas/ keramahtamahan Tuhan bukan beralih dari umat yang satu kepada umat yang lain, melainkan meluas dari umat yang satu kepada umat yang lain. Pada hari itu mereka menyaksikan siapakah Israel yang sejati.
Israel yang sejati bukanlah orang-orang ultra-kanan, orang-orang yang nasionalis mentok, yang meninggikan kebangsaan Israel mereka dengan mengorbankan bangsa-bangsa lain; bukan orang-orang yang seperti orang Zelot, yang kebanggaan nasionalismenya begitu tinggi dehingga mereka berharap dan memperjuangkan satu hari kelak, kalau Mesias datang, awas kamu Romawi, karena dalam satu minggu kekaisaran Romawi yang luas itu bakal gulung tikar! Ini mirip seperti kalau kita hari ini mendoakan atau mebayangkan kekaisaran Amerika atau Rusia atau Cina atau apapun tatanan politik, gulung tikar dalam satu minggu. Seperti itulah doa atau harapan orang-orang Zelot dengan sangat beriman.
Yesus dan murid-murid-Nya tidak mendoakan, mengusahakan, menunggu-nunggu hari di mana Romawi gulung tikar dalam satu minggu. Yesus dan murid-murid-Nya tidak menunggu-nunggu waktunya bangsa-bangsa yang menindas umat Tuhan itu dibunuhi semua oleh Mesias, atau bertekuk lutut dengan gemetar dan menjilat sepatu Mesias, mengaku kalah, lalu giliran mereka sekarang yang dieksploitasi, dijajah, dibikin sengsara hidupnya, diperbudak oleh orang-orang Israel, umat Allah. Tidak demikian; bukan mimpi seperti itu. Visi umat Tuhan bukanlah mengalihkan hospitalitas Allah dari satu bangsa kepada bangsa yang lain, melainkan meluaskannya, ketika zaman Kerajaan Allah itu datang, ketika zaman Roh Kudus datang memenuhi umat-Nya. Cita-citanya bukanlah semacam muncul dan berlipatgandanya simson-simson baru yang kemudian menghajar orang-orang Filistin –kali ini mungkin bukan seribu orang Filistin dihajar dengan rahang keledai, melainkan berjuta-juta orang Filistin modern dan menaklukannya di bawah satu bendera kenegaraan tertentu. Bukan seperti itu. Gambarannya adalah adanya persaudaraan di antara bangsa-bangsa, di dalam Mesias itu. Murid-murid Yesus sendiri perlu waktu yang lama untuk menerima hal ini, untuk bisa mengerti hal ini.
Kita melihat dalam Kis. 1 sebelum Yesus naik ke surga, dikisahkan oleh Lukas bahwa murid-murid ini bertanya, “Maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” lalu jawab Yesus, “Mengenai waktu dan masanya, itu ditetapkan oleh Bapa dalam kuasa-Nya. Tetapi engkau … “. Yang menarik, jawaban Yesus bukanlah ‘lu ‘gak usah tanya-tanya, pokoknya Tuhan tahu’; penekanan Yesus nyata dalam kalimat selanjutnya, bahwa waktunya akan ditentukan sendiri oleh Bapa dalam kuasa-Nya, tetapi engkau akan menerima kuasa kalau Roh Kudus turun atas kamu. Jadi Bapa punya kuasa menetapkan waktu, tapi engkau juga akan menerima kuasa itu kalau Roh Kudus turun atas kamu. Apa maksudnya? Ngapain Yesus menjawab seperti itu? Saya kira, jawabannya adalah: kamu bertanya kapan waktunya, Saya menjawab bahwa kamu itu berpartisipasi, bahwa kamu terlibat, kamu akan dilibatkan; kamu akan dilibatkan sejak Roh Kudus turun atas kamu memenuhi kamu, dengan demikian pertanyaanmu mengenai kapan waktunya jadi tidak begitu relevan. Ini seperti bertanya, “Kapan janji-Nya terpenuhi?” kemudian dijawab dengan: “Kamu nanti akan turut serta dalam pemenuhan janji itu”. Kira-kira seperti itu. Jadi, umat Israel yang tadinya punya mentalitas semacam konsumen saja –dan konsumen sering kali menyalah-nyalahkan produsen, seperti kita kalau mengkonsumsi bakmi di warung bakmi, pasti merasa bakminya kurang ini dan itu, entah kebanyakan minyak atau kurang minyak, kurang pedas atau terlalu pedas, dsb.– tapi jawabannya adalah ‘kamu nanti akan dilibatkan jadi tukang bakmi, akan turut bikin bakmi’. Kira-kira begitu.
Kita semua akan menjadi bagian dari jawaban Allah mengenai ‘kapan Engkau memulihkan kerajaan bagi Israel’. Bahkan pembatasan ‘bagi Israel’ menjadi tidak relevan lagi, karena dalam Perjanjian Baru, 30-40 tahun setelah peristiwa itu, Paulus dalam suratnya (Ef.6:3), ketika mengutip hukum Taurat ‘hormatilah orangtuamu supaya panjang umurmu di tanah yang diberikan Tuhan kepadamu’, dia mempelesetkan atau sedikit mengubah ekspresinya. Dia tidak lagi mengatakan ‘panjang umurmu di tanah yang diberikan Tuhan kepadamu’ karena tanah yang diberikan Tuhan kepada umat Tuhan dalam konteks perjanjian yang pertama, Perjanjian Sinai itu, adalah tanah Israel, bukan tanah Mongolia atau Rusia atau apapun –dan mereka sangat melekat dengan tanah itu, lokasi geografis itu– tapi Paulus memperluas menjadi sesuatu yang general, ‘supaya lanjut umurmu di bumi’. Paulus tidak mengatakan ‘di bumi perjanjian (Israel)’, Paulus mengatakan ‘di bumi’; itu saja. Ini adalah suatu universalisasi khas Kristen dari perjanjian Abraham dan Musa.
Sementara dulu segala berkat Allah pertama-tama diturunkan kepada umat Tuhan, bahkan kadang dengan mengalahkan bangsa-bangsa lain, seperti filistin, Girgasi, Amori, dst., sekarang tidak demikian. Sekarang adalah masa penggenapan –dan ini pun sudah terkandung di dalam janji yang mula-mula– yaitu Tuhan sudah menjanjikan kepada Abraham, bahwa melalui keturunannya, segala bangsa akan mendapatkan berkat. Bagian ini memang kurang ditekankan oleh para rabi pada zaman Yesus, karena segala bangsa itu bergiliran menjajah Israel, sehingga ‘bagaimana mungkin kami menyanyikan lagu bagi Allah di tepi sungai-sungai Babilon, di tanah asing; kami merindukan Eretz Yisrael, di mana di sana kami akan menyanyikan lagu-lagu kami’. Namun ternyata puji-pujian kepada Yahweh rupanya bisa di-ekstensikan, bisa juga dinyanyikan di tepi sungai-sungai Babilon, bisa juga dinyanyikan di tepi sungai Gangga, bisa juga dinyanyikan di tepi sungai Cisadane, bisa juga dinyanyikan di negeri-negeri yang lain, karena setiap petak tanah adalah milik Tuhan.
Dalam Kekristenan, kita mengakui sejak Pentakosta bahwa berkat-berkat Allah dicurahkan bukan hanya kepada umat Israel, melainkan sebagaimana sejak semula perjanjian Allah kepada Abraham, Ishak, Yakub, Musa, Daud, itu akan menjangkau bangsa-bangsa. Menjangkau termasuk orang-orang seperti kita, Anda dan saya, yang jelas-jelas –sejauh saya lihat dari luar– tidak ada wajah-wajah Yahudi di gereja ini, namun hospitalitas Allah menjangkau sampai kepada kita. Kita ini bangsa-bangsa. Kita ini orang-orang yang tidak punya Allah, menurut Israel; orang-orang yang barangkali dimusnahkan kalau Mesias datang, kecuali kita menjilat sepatu Mesias, kecuali kita budak-budak yang menyerahkan diri kepada bangsa yang dipilih Tuhan itu, demikian dalam kepercayaan mereka, penekanan mereka yang ultra-nasionalis. Tetapi, Kekristenan melihatnya tidak seperti itu.
Kita melihat bahwa kenyataannya jauh lebih mulia, jauh lebih menggembirakan, daripada sekadar Israel menang dan menaklukkan musuh-musuh-Nya; yang lebih menggembirakan adalah: Israel bisa makan-makan, merayakan kehidupan dengan sukacita dan persaudaraan dengan musuh-musuhnya. Itulah visi akhir zaman yang dibukakan oleh Yesus, yang ternyata konsisten dengan apa yang Tuhan janjikan di dalam Abraham. Ketika Yesus menjelaskan Tanakh, yaitu Torah, Nevi’im (tulisan nabi-nabi), dan Ketuvim (sejarah), hati mereka berkobar-kobar dengan benar karena mereka melihat visi yang masih continual dengan Perjanjian Lama, namun Tuhan bawa ke depan mata mereka, melampaui mimpi-mimpi mereka yang paling liar sekalipun, bahwa mereka akan duduk makan bersama merayakan pemerintahan Tuhan, bersama musuh-musuh mereka, orang-orang dari bangsa-bangsa lain –dan kitalah orang-orang dari bangsa-bangsa lain itu. Itulah makna dari Pentakosta. Itulah cara Yesus menjawab pertanyaan ‘Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?’
Kalau kita yang mengutarakan pertanyaan, mungkin kita tidak akan mengutarakan kayak begitu, karena Kerajaan Israel juga sudah tidak ada, dan kita juga bukan orang Israel. Kita mungkin akan mengutarakan misalnya: Tuhan, maukah Engkau pada masa kini memulihkan kejernihan laut di Raja Ampat, membebaskannya dari penjajahan perusahaan tambang nikel; Tuhan, maukah Engkau pada masa kini mendirikan supremasi hukum di Indonesia, Tuhan, maukah Engkau pada masa kini melakukan pembersihan di tubuh kepolisian di Indonesia –barangkali seperti Tuhan pernah lakukan di Chicago pada zaman Al Capone atau setelahnya, Tuhan, maukah Engkau pada masa kini memulihkan keadaan ekonomi yang adil? Dan, apa jawaban Tuhan? “Aku melibatkan engkau”. Tuhan akan menyatakannya di tengahmu pada waktunya, namun waktunya itu juga tergantung kepadamu, waktunya itu Tuhan co-sharing power-Nya dengan kamu. Salah satu indikator bahwa kamu dilibatkan oleh Tuhan, bahwa kamu orang dalam, subscriber, partner dari Tuhan, adalah: kamu dipenuhi oleh Roh –demikian kata Paulus– bukan dipenuhi oleh yang lain-lain.
Apa yang memenuhi kamu? Apa artinya dipenuhi oleh Roh Kudus? Kita perlu memahami dulu istilah ‘Roh’ ini, soalnya istilah ini sering kali kita pahami secara panteistis, secara mistik populer –khususnya mistik populer Indonesia. Yang kita pahami mengenai istilah roh, adalah semacam kayak orang yang kerasukan setan dalam arti orang yang bertindak irasional, mulutnya keular busa-busa, bicara bahasa-bahasa yang tadinya dia tidak bisa, bertindak yang tidak normal seperti misalnya berjalan dengan cara kayang, atau entah apa lagi yang irasional dan tidak normal. Dipenuhi oleh Roh, gambarannya tidak seperti itu, bukan seperti dirasuki setan –walaupun ada mirip-miripnya juga, tapi sama sekali terbalik dalam sisi yang lain.
Dipenuhi oleh Roh Allah, barulah bisa kita pahami kalau kita memahami Allah itu bagaimana, Allah bekerjanya seperti apa. Jadi, kalau kita potong kata-katanya ‘dipenuhi Roh’ saja, itu tidak membantu (kecuali dalam bahasa tulisan karena pakai huruf besar ‘Roh’); harusnya kita jelas yaitu ‘dipenuhi oleh Roh Yesus Kristus’, artinya dipenuhi oleh Roh yang menggerakkan Yesus Kristus (ini ekspresi yang lengkapnya). Lawan katanya tentu ‘dipenuhi oleh roh-roh dunia ini’. Dipenuhi oleh roh-roh dunia ini, artinya apa?
Secara singkat, roh adalah yang menggerakkan orang atau sesuatu, untuk mencapai aktualitas tertentu. Kita bisa memikirkan penggunaan istilah ini dengan berbagai cara, namun salah satu cara yang saya kira cukup membantu adalah seperti yang diutarakan Aristoteles, ‘energeia adalah aktualisasi dari potensi atau dunamis’, demikianlah Tuhan adalah aktualitas murni (actus purus), Tuhan tidak punya potensi yang tidak dikembangkan lagi semuanya sudah acomplished, sudah genap, sudah telos, sudah tahapan akhir. Kita paham bahwa adalah roh yang memimpin, menggerakkan, energize sesuatu atau seseorang, atau sekelompok orang, atau sekelompok masyarakat, untuk mencapai tujuan akhirnya; dari ‘apa yang bisa dilakukan’ menjadi ‘apa yang terjadi’, dari ‘apa yang baik untuk dilakukan’ menjadi ‘tergenapi baiknya’. Itulah pekerjaan roh. Pertanyaannya, roh apa yang menggerakkan Anda, roh apa yang menggerakkan perusahaan Anda, roh apa yang ada dalam keluarga Anda, roh apa yang menggerakkan Gereja kita, roh apa yang menggerakkan Indonesia?
Hegel, seorang filsuf Idealis Jerman, memakai juga istilah roh dikaitkan dengan zaman (Zeitgeist), dengan bangsa, dengan suatu kebudayaan. Dalam hal ini, roh dicoba dijelaskan dengan sesuatu yang riil; bukan sesuatu yang seperti mistik, atau irasional, atau sesuatu yang hanya orang tertentu bisa paham dan mengalami, melainkan dengan realitas yang semua orang mengetahui rujukannya–dan saya kira ini sangat helpful–yaitu bahwa roh adalah cara kita menjelaskan suatu fenomena yang dinamis, kebalikan dari cara kita menjelaskan suatu fenomena yang statik.
Orang-orang Yunani punya kategori untuk menjelaskan suatu fenomena yang statik dengan baik; yaitu kategori insidensi dan substansi/esensi. Misalnya: kita coba memahami ‘gelas itu apa’. Di sini kita akan menyebutkan bukan bahannya –karena ada gelas besi, ada gelas kaca, ada gelas dari keramik– gelas bukan soal bahannya. Gelas juga bukan soal besarnya, karena ada gelas besar, ada gelas kecil, semuanya sama-sama gelas. Jadi gelas itu apa sih, apa yang membuat gelas jadi gelas, inilah cara orang Yunani menjelaskan, mengenai ousia-nya apa, substansi atau esensinya apa –yaitu ke-gelas-an. Lalu apa itu kegelasan? Mereka coba menjelaskan, mungkin bahwa dari bentuknya ada bagian dalamnya, karena kalau semuanya padat, tentu bukan gelas; atau mungkin dari fungsinya bahwa dipakai buat minum, sedangkan kalau dipakai buat kembang, kita bukan bilang itu gelas melainkan vas, dsb. Jadi kegelasan berkaitan dengan sesuatu yang statik, yang bikin benda ini adalah benda ini dari sekarang sampai selamanya.
Namun itu tidak terlalu helpful kalau menjelaskan sesuatu yang berubah terus, misalnya sejarah, kebudayaan, manusia. Itu sebabnya Hegel pakai kategorisasi yang berbeda, yaitu kategorisasi roh. Jadi, yang membedakan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain adalah geist-nya, volksgeist-nya, roh kebangsaannya; yang membedakan kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain adalah roh kebudayaannya; yang membedakan zaman yang satu dengan zaman yang lain, misalnya bedanya zaman Neoclassical dengan zaman Medieval, adalah roh zamannya. Roh itu apa? Roh tidak sama seperti kategori substansi (substansi adalah yang bikin A jadi A, misalnya yang bikin gelas jadi gelas); roh adalah yang membuat suatu gerakan jadi gerakan, suatu dinamika menjadi dinamika tertentu. Itulah roh. Dengan demikian Saudara bisa menjelaskan bahwa yang bikin suatu perusahaan jadi suatu perusahaan, itu tidak bisa kita cari esensinya apa, substansinya apa, karena suatu perusahaan tentu berubah terus, seperti juga seorang manusia berubah terus. Memang kita bisa mengatakan ‘esensi kemanusiaan Si Jadi’, karena Jadi sama-sama manusia, sama seperti Kim Jong Un manusia juga, Hitler atau siapapun yang lain manusia juga; memang ada syarat esensi kemanusiaan, tapi itu tidak bisa menjelaskan Si Jadi dari dia lahir sampai mati, tidak bisa menjelaskan karakteristik pribadi. Karakteristik pribadi ini, yang lebih bisa menjelaskan barangkali ‘roh’, kategorisasi yang lebih dinamis itu.
Kalau kita paham Roh itu seperti apa karakteristiknya, keunikannya, kita akan mulai bisa memahami apa maksudnya dipenuhi Roh Kudus, apa maksudnya suatu Gereja dipenuhi Roh Kudus, apa maksudnya seseorang dipenuhi Roh Kudus, seperti misalnya Bezaleel dan Aholiab dipenuhi Roh Kudus, Stefanus dipenuhi Roh Kudus. Saya kira, maksudnya adalah begini: kita melacak perubahan-perubahan yang dilakukan, accomplishement yang dilakukan, perjuangan-perjuangan yang dilakukan, itu digerakkan oleh siapa; digerakkan oleh Tuhan yang kamu kenal dalam Yesus, atau digerakkan tuhan yang lain, tuhan yang asing. Di situlah kita bisa memahami arti roh apa yang menguasai, roh apa yang menggerakkan, roh apa yang merasuki.
Sampai di sini, kita bisa bertanya seturut pengkontrasan dalam Surat Galatia; kata Paulus, ada orang-orang yang digerakkan oleh daging, orang-orang yang digerakkan oleh roh dunia ini. Dan, ini kita bisa lihat dari fenomenanya, ada indikasi-indikasinya, ada buah-buahnya. Dari buahnya, kamu tahu pohonnya; dari accomplishement mereka, kamu jadi tahu siapa yang meng-accomplish itu, yang menggerakkan, apa rohnya. Ini yang disebut discernment of the spirit, mengenali roh, seperti kamu mengenali orang, seperti kita mengenali spirit dari sebuah korporasi atau badan/lembaga tertentu –atau orang bilang ‘semangat korsa’. Semangat korsa dari sekelompok orang, entah itu Gereja Reformed, Gereja Lutheran, Gereja Katolik, Gereja Ortodoks, dsb., itu yang harus kita kenali untuk kita discern apakah ini berasal dari Roh Allah atau dari yang lain, dari roh-roh dunia ini.
Sekarang kita mulai dari buahnya. “Perbuatan daging menjadi nyata di dalam hal-hal ini,” demikian kata Paulus mengenai indikasinya/buahnya, yaitu: “percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, … “. Sampai di sini, kita mungkin akan mengatakan, “Penyembahan berhala? Kayaknya enggak, Pak. Sihir? Kayaknya enggak juga; kalau hawa nafsu, percabulan, kecemaran, mungkin iya.” Dalam hal ini, memang ada beberapa hal yang merupakan bagian dalam konteks mereka, walaupun kita bisa juga bikin jembatan hermeneutics-nya kira-kira apa dalam konteks kita. Misalnya tentang penyembahan berhala, tentu kita tidak menyembah Dewa Zeus atau Bacus, tapi kita mungkin menyembah duit, mamon, ketenaran, prestise, kehormatan, atau apapun, jadi kita menyembah sesuatu juga.
Selanjutnya: perseteruan. Ini buah dari bahwa sebuah badan/organisasi/perkumpulan digerakkan oleh spirit tertentu, maka ada perseteruan. Setiap pulang dari gereja, bicaranya soal si ini berantem dengan si itu, soal perselisihan, iri hati, kemarahan. Beberapa orang mengatakan, “Iri hati itu bisa bagus banget, lho, bisa jadi bahan bakar untuk menyemangati, bisa jadi pecut untuk maju, kalau tidak ada iri hati maka orang tidak maju.” Dari ekspresi-ekspresi semacam itu, kita jadi tahu kira-kira roh apa yang menggerakkan, karena kita mendengar advokasi dari roh yang asing, dalam hal ini iri hati. Iri hati koq dibela, dibenar-benarkan, diberikan thological justification. “Iri hati bisa bagus lho, kompetisi bisa bagus lho”, sering kita mendengar itu. Ya, of course iri hati bisa bagus, dosa bisa bagus, pembunuhan juga bisa bagus, karena Tuhan bisa mengubah kejahatan untuk mencapai maksud-maksud-Nya yang baik. Tentu saja bisa bagus. Penyaliban Yesus ‘kan pembunuhan, extra-judicial killing, bisa bagus atau tidak? Bisa bagus. Kalau begitu, yuk, kita lakukan; oke? Tidak oke sama sekali. Jadi, bisa bagus bukan justifikasi untuk kita lakukan. Kita mendapati, sangat sering orang meng-advokasi hal-hal demikian: “Perpecahan bisa bagus karena orang harus potong sesuatu yang sudah membusuk, guilt tripping bisa bagus karena orang yang guilty memang harus di-guilt tripping; perbudakan bisa bagus, kita memang budak-budaknya Tuhan jadi biarkan saja orang saling memperbudak, dalam dunia dunia binatang pun yang kuat berkuasa, hukum rimba biasa saja, bisa bagus koq –asal buat Tuhan”. Ini advokasi hal-hal yang jahat, hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran, tapi kita beri advokasi, kita benarkan, kita beri theological justification.
Demikian juga untuk gila hormat: “Gila hormat bagus juga, lho, karena orang jadi terhormat, jadi menjauhi sikap tidak terhormat, jadi gila hormat bagus juga ‘kan. Coba bayangkan, orang gila hormat mau ‘gak melakukan perbuatan yang hina, misalnya fotokopi buku (membajak buku), gengsi banget ‘kan, itu bagus juga dong, jadi menegakkan sesuatu yang benar”. Kita mendengar begitu sering advokasi akan hal-hal ini –gila hormat, saling menantang, saling mendengki, keserakahan, percabulan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri. Kita mendengar orang bilang: “Egois itu bagus, karena waktu masing-masing orang mengejar kepentingan sendiri dan tidak mementingkan orang lain, malah jadi excellent; orang musti diadu-adu baru yang the best akan muncul, yang tidak bagus akan tersingkir. Jadi bagus ‘kan. Kalau ada kompetisi, ada rivalry, mari kita tuangi bensin biar makin giat, itu keren, nanti yang terbaik akan muncul”.
Benar juga sih, bisa dibikinkan theological justification, tapi kita bisa membaca dengan jujur dalam keheningan hati nurani kita, roh apa sih yang menggerakkan, kalau orang begitu getol menjustifikasi hal-hal yang dari permukaan saja sudah tercium busuk; waktu ikan tercium sudah agak amis, lalu bilang, “Ya, namanya juga ikan; ikan memang baunya begitu, atau mungkin ikan asin jadi agak fermented, atau memang ikan khas daerah sini”, dsb. Padahal bilang saja ikannya memang busuk. Jawaban yang paling simpel, kata William of Ockham, dan barangkali yang paling tepat, yaitu: tidak usahlah menggandakan entitas-entitas penjelasan untuk hal-hal yang bisa dijelaskan dengan penjelasan yang lebih sederhana (Ockham’s razor). Jadi, dalam kategori ini kita bisa bertanya: yang menggerakkan itu apa.
Yang menggerakkan suatu komunitas, seseorang, itu apa; atau dalam bahasanya Paulus, yang memenuhi kamu itu apa? Yang memenuhi kita itu apa? Apakah yang memenuhi kita adalah gila hormat? Apakah yang memenuhi kita adalah kerakusan? Apakah yang memenuhi kita adalah rasa tidak aman? Apakah yang memenuhi kita adalah diri kita sendiri? Kita pernah mendengar ekspresi ‘so full of himself’, saya kira inilah yang ada di belakang ketidaksabaran, perselisihan; beberapa orang so full of himself, full of anger, keduanya ini ada hubungannya.
Kadang-kadang dalam Konseling Pranikah, orang bilang pada saya, “Pak, kami sama-sama keras”. Saya jadi pikir-pikir agak lama, kayaknya ada yang salah di sini. Saya agak jarang dengar ‘kami sama-sama lembut’ atau ‘kami sama-sama lembek kayak bubur’, jadi kalau ‘kami sama-sama keras’, kayaknya ada yang salah, itu eufemisme; dan sekarang saya ketemu istilahnya, saya pikir jawaban yang lebih baik adalah ini: “Ah, jangan bilang sama-sama keras, bilang saja sama-sama egois. Itu yang kamu maksudkan, ‘kami sama-sama begitu penuh dengan diri kami sendiri’”. Bukan sama-sama keras tapi sama-sama egois. Keras itu tidak apa-apa. Yesus itu keras kepala lho, sampai akhirnya Dia disalibkan. Tapi He is not full of Himself, He is not full of egoism, Dia bukan digerakkan oleh roh mencari kepentingan diri sendiri itu. Kita bikin eufemisme ‘saya ini orangnya keras, maklum saja saya ini orangnya keras, keras itu bagus juga dan diperlukan’, dst.; tapi bukan itu. You to full of yourself, itu saja. Bertobatlah kamu.
Jadi, kita bisa bertanya dalam kategori ini: apa yang menggerakkan Anda? Apa yang menggerakkan saya? Apa yang menggerakkan kita secara korporat? Spirit korporasi kita apa, kultur kita apa? Dan, sebagaimana Paulus katakan tentang salah satu dari sembilan indikator buah Roh yang adalah manifestasi dari pekerjaan Roh, kalau Roh yang menggerakkan kamu, kamu akan dipenuhi dengan kasih.
Thomas Aquinas mengatakan, kasih adalah kehendak dan usaha-usaha nyata, perjuangan, untuk kebaikan yang lain. Kita menata keinginan kita, demi kebaikan yang lain. Penataan keinginan supaya yang kita ingini itu adalah kebaikan buat yang lain –buat masyarakat, buat hewan-hewan, air, udara, bumi ini, buat orang-orang lain, Gereja lain, perusahaan lain, saingan kita, buat apapun lainnya– itulah kasih. Apakah itu memenuhi kita? Atau yang memenuhi kita adalah hasrat ingin menang? Hasrat ingin menang (libido dominandi) ini lalu kita justifikasi secara teologis: “Tapi itu bisa bagus juga lho, bisa dipakai Tuhan.” Ya, iyalah bisa dipakai Tuhan; Yudas itu dipakai Tuhan, tapi kamu tidak ingin jadi Yudas ‘kan?? Jadi, apakah kasih yang menggerakkan kita?
Apakah kita dipenuhi dengan sukacita? Ataukah kita dipenuhi dengan keluhan, ketidakpuasan, menyalahkan orang lain, menyalahkan negara ini dan pemerintah, dst.? Apa yang menggerakkan kamu? Sukacita, apakah itu menggerakkan kamu? Apakah itu warna yang ditangkap oleh siapa saja yang mampir ke gereja kita? Kebanyakan dari kita tentu pernah duduk di gereja lain, maksudnya dalam kebaktian; dan Anda tentu mendeteksi spirit tiap Gereja berbeda-beda –beda tapi ada miripnya. Yang mirip-miripnya, yaitu bahwa ini bukan kayak diskotik, atau bukan kayak gedung olah raga, bukan kayak barak militer, atau apapun lainnya; mirip-miripnya bahwa ini memang gereja. Kalau kamu mendeteksi beberapa komunitas Gereja, kamu bisa mengetahui Gereja ini spiritnya apa, apa yang memenuhi Gereja ini. Di beberapa Gereja, kita mungkin bisa merasa wow, ini so full of luxury, atau so full oleh keinginan untuk diakui, so full of insecurity, karena yang kita dengar di situ adalah ‘saya ini sukses’, ‘saya tidak salah’, atau ‘kita ini hebat’, atau ‘kita disertai Tuhan’; yang kita dengar adalah spirit insecurity. Di Gereja yang lain, mungkin spiritnya spirit ingin pamer. Di Gereja yang lain lagi, spirit rasa pengecut, tidak berani menegur, tidak berani berselisih, terlalu takut menyinggung orang lain, dst. Spirit bisa beda-beda, namun yang kita bisa tanyakan adalah: apakah ada kasih, apakah ada sukacita, apakah ada shalom/damai sejahtera? Atau, ketika Anda pulang, Anda mendapati jiwamu chaotic, Anda mengalami begitu banyak dan berlarut-larut self-daubt, meragukan diri sendiri. Tentu saja meragukan diri sendiri kadang-kadang perlu; kalau kamu salah lalu kamu tidak tahu dirimu salah, salahmu jadi berlarut-larut sampai benar-benar masuk neraka. Tapi, kalau meragukan diri sendiri terus-menerus, setiap pulang gereja rasanya kamu salah dan salah terus sampai 30 tahun, 40 tahun, selalu self-daubt, ada yang salah dengan itu.
Demikian juga, apakah kesabaran memenuhi komunitas itu, ataukah ketidaksabaran? Tuhan itu panjang sabar lho. Tuhan kalau mau bejek kita mulai dari kali yang ke-13 kita berdosa, mungkin kita sudah dibejek sejak seribu tahun lalu. Siapa di sini yang berdosa di bawah 15 kali untuk satu jenis dosa? Pasti lebihlah, ya. Kalau Tuhan ingin bejek kita setiap kali kita mengulangi dosa yang sama, kita sudah dibejek sejak kapan-kapan. Jadi, kalau kesabaran tidak ada dalam suatu komunitas, kalau kesabaran sangat langka kayak komik Superman edisi pertama, ada yang salah di komunitas itu, karena kesabaran adalah salah satu flavor dari buah Roh, sebagaimana juga kemurahan.
Kemurahan (generosity), keluar dari apa? Keluar dari natur Allah yang berlimpah, sehingga Dia penuh dengan generosity. Kamu pernah atau tidak, menerima generosity? Atau kamu merasa selalu berada di panggung American’s Idol, panggung di mana kalau kamu meleset sedikit langsung di-judge? Atau sebaliknya kamu mengalami hidup dalam suatu situasi atau komunitas di mana kamu menerima kemurahan hati, kebaikan?
Dalam hal kebaikan, saya pernah mendengar seseorang mengatakan kepada pendeta, dan pendeta itu mengatakan kepada saya sebagai ilustrasi. Pendeta itu bilang: “Saya tanya kepada Bapak itu, ‘Bagaimana, Pak, anaknya sekarang ‘kan sudah lulus, sudah pulang, jadi mau meneruskan usaha Bapak, ya?’ Lalu Bapak itu jawab, ‘O, dia tidak bisa, dia kurang jahat.’” Pendeta itu lalu bilang, “He, he, he, memang kita di Indonesia sih, ya, perlu ada jahat-jahatnya.. “. Lho, kalau dibilang kurang jahat, ‘kan memang sudah jahat, cuma kurang saja, jahatnya memang sudah ada; jadi artinya perlu jahat betul untuk bisa survive. Seperti Andrew Jones bilang, kalau ‘gak paranoid, ‘gak bisa survive, sudah paranoid pun tetap tidak survive –intel soalnya, saingannya berat, survive juga tapi sudah mulai kalah saingan. Anyway, kenapa harus begitu? Karena mungkin dalam komunitas itu kebaikan tidak dirayakan, tidak dihargai, tidak menyentuh hati. ‘Anaknya baik sih, cuma kurang jahat’, ‘anaknya baik sih, cuma kurang pintar’, ‘anaknya baik sih, cuma kurang lihai’. Kamu ingin anakmu kayak bagaimana? “Wah, pintar kayak setan dia, sayang sedikit, rada jahat”; kamu happy dengan itu? Kalau kamu happy begitu, kamu bangga begitu, kamu menciptakan itu dengan ‘he, he, he, anak saya itu hebat, bayangkan saja, masuk Majalah Forbes! Cuma agak jahat saja dia’, silakan kamu bisa nilai sendiri, kamu digerakkan oleh apa? Energeia yang menggerakkan hidupmu, yang membentuk hidupmu, itu apa? Roh Allah atau roh siapa?
Tentang kesetiaan, bahwa kata-katamu, janjimu, bisa dipegang walaupun rugi, itu bisa dihargai atau tidak? Atau kita mengatakan, “Yah, realitislah Bro, hidup dalam dunia ini.” Kita terpanggil dalam komunitas seperti apa sebetulnya? Kita bisa bayangkan, kalau kesetiaan dirayakan, kira-kira dalam komunitas itu bisa bertumbuh apa; dan kalau kesetiaan tidak dihargai, dalam komunitas itu bisa bertumbuh apa dan tidak bisa bertumbuh apa. Kita bisa bayangkan itu.
Saya kemarin membahas Cicero dalam PA Pemuda. Cicero mengatakan tentang nasib seorang tiran (penguasa yang lalim, diantaranya seperti Julius Caesar). Tiran itu punya segalanya. Dia punya segala kenikmatan, kehebatan, kesuksesan, dia ditakuti orang. Dia batuk saja bikin orang terkencing-kencing, apalagi dia ngomong, pasti semua orang nurut. Tapi seorang tiran tidak punya sesuatu; dia tidak bisa memberi kasih, dia tidak bisa menerima kasih. Itu sebabnya seorang tiran tidak pernah minta maaf, tidak pernah berterima kasih –memberi kasih tidak bisa, menerima kasih juga tidak bisa. Kamu mau jadi tiran? Punya segalanya, punya semua kenikmatan, tapi tidak bisa memberi kasih, dan tidak bisa menerima kasih; dengan kata lain, tidak punya teman. Punya ketenaran, punya pengakuan, punya segala duit dan segala kekuasaan, tapi tidak punya teman, dalam arti teman yang benar-benar teman, bukan teman penjilat, bukan teman yang butuh, bukan teman untuk happy-happy, melainkan teman yang benar-benar teman, teman yang ada di sana ketika kamu tidak punya apa-apa, teman yang ada di sana waktu kamu menjengkelkan, cranky, membutuhkan –dan kamu bersyukur dia ada di sana. Kamu mau hidup kayak begitu? Cicero bilang, orang yang mau hidup kayak begitu, dia tidak tahu nilai, dia tidak tahu bahwa the greatest gift from God adalah friendship. Dan, saya kira, itu salah satu yang bisa dihasilkan, kalau ada salah satu flavor dari buah Roh ini, yaitu kebaikan, kindness. Kebaikan, bagi dunia sekarang itu sekadar opsional saja, kalau ada ya oke, tidak ada ya tidak apa-apalah, seperti kalau makan ada krupuk oke, tidak ada krupuk ya tidak apa-apa juga, asal yang dimakan babi panggang misalnya.
Apalagi hal berikut ini, kelemahlembutan. Dalam dunia yang akan datang, yang sedang datang, yang sudah datang, yaitu Kerajaan Allah, Yesus mengatakan orang yang lemah lembut, mereka memiliki bumi. Namun dalam beberapa komunitas, kelemahlembutan diejek, dihina. Ini mungkin yang memenuhi adalah spirit dari Friedrich Nietzsche, dan bukan Yesus Kristus. Kelamahlembutan dihina di antara orang-orang yang digerakkan/dipenuhi roh kekuatan, kekuasaan, libido dominandi.
Berikutnya, pengendalian diri. Pengendalian diri bukan sesuatu yang menarik. Kita mengatakan, “Yah, kalau sultan mah bebas”. Sultan di sini artinya bisa macam-macam; bisa membeli hukum, bisa membeli guru, bisa bikin tugasnya pakai ChatCPT atau apapun, bisa menabrak orang lalu lari, dan karena sultan dia bebas. Sedangkan pengendalian diri hanya untuk orang-orang yang memang perlu mengendalikan diri karena kurang kuasa. Orang yang kurang kuasa, kalau tidak bisa mengendalikan diri, jadi cepat mati ‘kan. Orang yang kurang kuasa lalu menyinggung penguasa, walaupun dia mungkin benar dan penguasa yang salah, dia harus minta maaf walaupun tidak salah; kenapa? Biar hidup agak lebih lama, biar jalan ke depan tidak buntu. Dia perlu untuk tertawa walaupun penguasa melucu yang tidak lucu. Nah, pengendalian diri tidak diperlukan dalam komunitas yang tidak dipenuhi Roh Allah; sedangkan komunitas yang dipenuhi Roh Allah, pengendalian diri adalah sesuatu yang dirayakan, disyukuri, menggerakkan, dihargai, konstitutif dari persekutuan itu.
Apa yang memenuhi kita? Apakah kita dipenuhi Roh Kudus? Saya harap iya. Saya harap kita berdoa, “Roh Kudus penuhilah komunitas kami, relasi-relasi kami, kantor kami”. Kita bisa mendoakan polisi-polisi dipenuhi Roh Kudus. Kita bisa mendoakan arsitek-arsitek dipenuhi Roh Kudus. Kita bisa mendoakan hakim-hakim, dipenuhi Roh Kudus. Kita bisa mendoakan regulator ekonomi, OJK, para pialang saham, orang yang melakukan investasi, spekulan, dipenuhi Roh Kudus. Kita bisa mendoakan dokter-dokter dipenuhi Roh Kudus. Kita bisa mendoakan negeri dipenuhi Roh Kudus. Dan, doa adalah sesuatu yang menurut C.S. Lewis hasilnya lebih pasti daripada usaha kita, karena kalau kita mengusahakan sesuatu, itu sekuat yang kita bisa usahakan, sehebat yang kita bisa usahakan, sedangkan doa itu semau Tuhan mengabulkan; dan bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Jadi, kita bisa mendoakan, dan Tuhan mau kita mendoakan itu, dan Tuhan mau kita berpartisipasi dalam penggenapan doa itu, doa agar komunitas kita, keluarga kita, perusahaan kita, relasi-relasi kita, sekolah kita, universitas kita, Gereja kita, dikuasai dan dipenuhi –di-energize— oleh Roh Allah, bukan oleh roh yang lain. Bukan oleh cerita-cerita dunia ini, bukan oleh hasrat ingin berkuasa, bukan oleh hasrat ingin diakui, bukan oleh hasrat ingin menang, atau secure, atau whatever, melainkan oleh hasrat yang terkandung dalam Yesus, oleh apa yang memenuhi dan menggerakkan Yesus.
Apakah itu yang menggerakkan Anda? Kalau bukan, kita bisa mendoakannya, kita bisa memohonnya, dan Tuhan pasti mendengarnya. Tuhan mendengar doa yang selaras dengan apa yang Dia inginkan. Dan, kita tidak tahu adakah yang lebih Tuhan ingin untuk berikan dan Tuhan ingin untuk kita doakan serta mintakan, selain ini, agar Gereja Tuhan dan anak-anak Tuhan dipenuhi oleh Roh-Nya, sehingga mereka bisa membuahkan buah-buah yang baunya adalah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri –karena mereka adalah milik Yesus, karena Anda dan saya walaupun bukan orang-orang bersunat, tidak punya Allah dalam dunia ini, namun kita diadopsi oleh Roh Allah untuk menjadi anak-anak Allah, milik Tuhan, hari ini sampai kita melihat wajah-Nya kembali.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading