Saudara pasti tahu istilah ‘konspirasi’, yaitu bersekongkol, biasanya dengan maksud jahat. Tetapi kalau kita selidiki akar katanya, ‘konspirasi’ berarti senafas; ‘kon’ artinya bersama-sama, ‘spirasi’ artinya bernafas. Dan, dalam bahasa Yunani ataupun Ibrani, istilah ‘nafas’, ‘angin’, ‘roh’, adalah istilah yang sama; itu sebabnya dalam bahasa Inggris ada kemiripan antara istilah ‘conspiracy’ dan ‘spirit’, sehingga ‘konspirasi’ berarti digerakkan oleh roh yang sama, digerakkan oleh angin yang sama, menghirup nafas yang sama. Ini menarik untuk kita renungkan, karena ketika hari ini kita datang ke tempat ini untuk menyembah Tuhan, kita sedang meluncurkan suatu konspirasi.
Waktu kita menyanyikan puji-pujian, sadar atau tidak sadar, Saudara bukan cuma sedang menyanyikan kata-kata yang sama, tapi juga mengambil nafas bersama-sama (karena kita tidak bisa sembarangan nafas waktu bernyanyi) –konspirasi. Waktu Saudara bersama-sama berdoa, Saudara juga mengambil udara yang sama; mengambil udara yang orang lain buang dan membuang udara yang orang lain akan ambil. Inilah yang kita lakukan dalam Ibadah.
Lebih lanjut lagi, ini bukan cuma terjadi dalam skala lokal di satu gedung ini saja. Seperti Saudara tahu, planet kita ini diselubungi lapisan udara (atmosfir) yang adalah batas antara bumi dengan kekosongan di ruang angkasa. Lapisan udara ini adalah seluruh udara yang ada di alam semesta, udara yang tidak pernah diganti, udara yang kita tarik waktu bernafas, yang sudah bersirkulasi terus-menerus selama ribuan tahun atau bahkan lebih. Nafas yang Saudara tarik saat ini, adalah sama dengan nafas yang ada waktu bumi ini diciptakan, nafas yang sudah pernah ada di hutan tropis Kenya, Meksiko, pegunungan Alpen; nafas yang pernah melewati paru-paru Plato, Mozart, Michael Angelo, atau bahkan Hitler. Setiap kali bernafas, Saudara mengambil udara yang pernah jadi nafas terakhir dari banyak orang yang sudah meninggal, dan suatu hari akan jadi nafas seorang bayi yang baru lahir. Kita hanya meminjam nafas ini sebentar, kita menggunakannya untuk hidup, lalu waktu kita menghembuskan nafas keluar, nafas ini suatu hari akan digunakan oleh seorang yang lain untuk hidup, atau juga oleh sebuah pohon, atau oleh seekor binatang. Jadi, apa artinya ber-konspirasi dengan Yesus?
Ketika Yesus menghembuskan nafas-Nya yang terakhir –karena kasih-Nya kepada kita di atas kayu salib– bisa dikatakan yang terjadi adalah nafas Yesus tersebut keluar lalu memenuhi bumi. Keunikan dari nafas/ roh/ angin ini adalah bahwa nafas Yesus bukan cuma terhambur hilang begitu saja seperti nafas-nafas yang lain, tapi nafas ini berkembang jadi suatu angin keras yang memenuhi sebuah rumah di Yerusalem pada hari Pentakosta. Hari itu, murid-murid Yesus adalah orang-orang yang saat itu atas penentuan Tuhan sedang mewarisi nafas Yesus. Jumlah mereka 120 orang; dan pada hari itu suatu bunyi seperti tiupan angin keras (angin= nafas, roh) masuk ke rumah tempat mereka berada, menyalakan api di atas kepala mereka, dan “insang” mereka terisi penuh oleh nafas Kristus, nafas Allah sendiri. Lalu ketika mereka menghembuskan nafas ini keluar, nafas tersebut keluar dalam bentuk berbagai macam bahasa yang mereka tidak tahu sebelumnya. Keributan ini mengundang kerumunan orang, karena Yerusalem pada hari raya seperti Pentakosta penuh dengan berbagai macam orang dari berbagai tempat. Bisa Saudara bayangkan kebingungan mereka mendengar bahasa-bahasa mereka diucapkan di tempat yang begitu jauh dari tempat asal mereka. Orang Partia mendengar bahasa Partia, orang Frigia dan Pamfilia tergopoh-gopoh datang mengharapkan bisa bertemu dengan sesama orang dari asal mereka, tapi yang mereka temukan adalah sekelompok orang Galilea, yang entah bagaimana semuanya berbicara tanpa henti mengenai perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah, dalam bahasa-bahasa Timur Tengah.
Hari itu jumlah Gereja bertambah, dari 120 orang jadi 3000 orang. Mereka yang tadinya pemalu, berubah jadi pemberani. Mereka yang selama ini sepertinya mengikat tali sepatu pun tidak bisa tanpa Yesus, sekarang menemukan seperti ada sesuatu yang aneh di dalam diri mereka; ketika para murid itu membuka mulutnya, mereka terdengar seperti Yesus yang membuka mulutnya; ketika mereka menumpangkan tangannya di atas orang-orang sakit, yang berikutnya terjadi adalah seperti jika Yesus sendirilah yang menyentuh orang-orang tersebut. Mereka mulai melakukan hal-hal yang sebelumnya mereka tidak pernah lihat orang lain lakukan, kecuali Yesus; dan penjelasan apa yang bisa ditawarkan atas semua hal ini? Hanya penjelasan bahwa pada hari itu –hari Pentakosta– mereka menarik nafas; dan nafas yang masuk adalah nafas dari Allah —nafas, angin, roh Allah.
Sesungguhnya ada banyak paralel antara Natal dengan pasal-pasal pertama Kisah Para Rasul. Dalam Natal, Maria dinaungi Roh Kudus, dan hasilnya: Anak Allah terlahir ke dalam dunia. Dalam Pentakosta, bisa dikatakan Yesus kembali terlahir ke dalam dunia, tapi kali ini bukan lewat satu badan Yesus orang Nazaret, tapi lewat badan-badan orang percaya (Gereja); bukan cuma lewat nafas Seorang Yesus dari Nazaret, tapi lewat nafas tubuh Kristus (Gereja Tuhan) yang lalu jadi penyalur nafas ini kepada seluruh makhluk hidup. Inilah gambaran Pentakosta yang ada di dalam Alkitab. Pertanyaannya: mengapa kita sepertinya sudah tidak begitu percaya lagi akan Allah yang bekerja seperti ini?
Kita boleh bertanya, apakah kita masih percaya terhadap Allah yang meniup terbang pintu yang terkunci, serta memberi api di atas kepala-kepala umat-Nya? Atau, Saudara dan saya hari ini sudah membuat suatu persetujuan tidak tertulis, bahwa Allah kita hari ini sepertinya sudah tua dan capek, bahwa Dia masih bisa menerima permohonan doa-doa kita, tapi kita tidak mengharapkan Dia mengubah hidup dunia, bahkan hidup kita. Masalah klasik banyak orang Kristen dalam momen Pentakosta seperti ini, kita punya cerita-cerita tentang Allah yang melakukan perbuatan-perbuatan besar, tapi hari ini kita tidak menemukan Allah yang bekerja seperti itu. Saudara, setiap kali hal ini terjadi, kita perlu bertanya, apakah problemnya terletak di Allah, atau di cara kita melihat.
Suatu kali, saya pernah diperkenalkan papa saya kepada bosnya; papa saya sudah sering menceritakan tentang bosnya itu, tapi saya belum pernah bertemu langsung. Saya cuma tahu bos papa saya ini seorang wanita, dan sepertinya cukup baik. Bos ini datang ke pernikahan saya, dan di situlah papa saya mengajak saya bertemu langsung dengan dia. Kami menuju kepada dua orang wanita yang berdiri bersebelahan, yang satu tinggi kurus dengan wajah agak masam, satunya lagi agak pendek gemuk berwajah cerah –dan saya tidak tahu yang mana bos tersebut. Kalau seperti itu, Saudara akan menyalami yang mana duluan, itu tergantung ekspektasi Saudara dari cerita-cerita yang selama ini Saudara dengar, gambaran orang yang mana yang sepertinya lebih cocok. Singkat cerita, saya salah salaman, karena ekspektasi saya salah –dan papa saya mungkin agak malu.
Saudara, mengapa hari ini kita tidak melihat kuasa dari nafas Allah? Apakah karena nafas ini memang telah berhenti bekerja, atau karena kita salah ekspsktasi akan kuasa ini, sebab cerita-cerita yang selama ini kita dengar mengenai cara kerja kuasa Allah mungkin tidak cocok dengan gambaran aslinya? Sekarang saya ingin mengajak Saudara sedikit mengerti, cerita-cerita apa yang selama ini kita dengar mengenai cara kerja Roh Tuhan.
Tahun 1792, seorang pengkhotbah di Inggris yang waktu itu tidak terlalu terkenal, William Carey, mengeluarkan satu kalimat yang dampaknya terasa sampai hari ini; dia mengatakan: “Do great things for God, expect great things from God” —lakukanlah hal-hal yang besar bagi Tuhan, dan harapkanlah hal-hal yang besar dari Tuhan. Ini adalah satu era dimulainya misi modern di Inggris; dan semangat Injili biasanya identik dengan semangat bekerja demi Tuhan untuk mengharapkan hal-hal besar dari Tuhan; hal ini seringkali jadi karakter sentral Gereja Injili. Dan, Gereja kita sedikit banyak identik dengan sifat aktif ini; kita menjemput bola, kita mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang besar, dan kita juga mengharapkan hal-hal yang besar.
Pada saat yang hampir bersamaan, di Amerika, ada seorang pengkhotbah lain yang paling mewakili dalam hal ini, yaitu Charles Finney, seorang revivalist dalam Second Great Awakening. Charles Finney unik, karena dia dikenal dengan metode-metodenya yang baru, seperti format KKR, kebaktian di lapangan, altar call, dsb., yang pada zaman itu merupakan terobosan baru. KKR-KKR beliau penuh dengan khotbah-khotbah yang menggugah hati, yang membakar emosi –mirip seperti KKR kita hari ini. Tapi ada satu hal dalam tradisi KKR Finney yang tidak ada pada KKR kita hari ini, yaitu yang disebut ‘the anxious bench’, sebuah kursi panjang (bench) yang diletakkan di antara pengkhotbah dan peserta KKR. Fungsi anxious bench ini untuk orang-orang yang sangat kuatir akan status keselamatannya; mereka ini bisa duduk di kursi tersebut, dan mendapat perhatian khusus dari sang pengkhotbah. Saudara bayangkan bagaimana rasanya duduk sendirian di bangku itu, di hadapan ratusan atau bahkan ribuan orang; itu adalah satu tempat yang bisa membuat orang yang tadinya cemas akan keselamatannya, lalu jadi menyerahkan diri bagi Kristus. Keberadaan anxious bench ini memang disengaja. Finney menyatakan bahwa dalam KKR-nya tidak ada urusan mujizat, dalam arti dia hanya menggunakan metode-metode tertentu yang bisa memanipulasi emosi manusia, dengan tujuan membawa mereka kepada Yesus. Finney terus-menerus mempertajam teori-teori dan metode-metode ini untuk memproduksi petobat-petobat baru lebih banyak lagi. Dalam hal seperti ini, ujung-ujungnya takaran kesuksesan adalah jumlah orang yang maju ke depan menerima panggilan —do great things for God, expect great things from God.
Apa hubungan hal-hal ini dengan diskusi kita mengenai cara kerja Roh Kudus? Yaitu bahwa inilah cerita-cerita yang selama ini kita dengar, yang membentuk ekspektasi kita mengenai bagaimana Roh Kudus bekerja. Bagi kita hari ini, kerohanian identik sekali dengan momen-momen intens seperti itu; bahwa pekerjaan Roh Kudus atau kerohanian adalah momen ketika Saudara menyerahkan diri dalam KKR, momen ketika Saudara memilih di persimpangan, momen-momen ketika Saudara ada di puncak gunung. Dan Saudara tahu, apa efek sampingnya dari gerakan revivalist pada zaman seperti ini? Yaitu bahwa apa yang terjadi secara rutin minggu demi minggu di gereja lokal jadi tidak laku. Orang-orang merasa, yang dibutuhkan bukan lagi gedung gereja melainkan lapangan yang luas; yang dibutuhkan bukan suatu umat yang bersatu melainkan pembaruan pribadi secara personal di hadapan Tuhan. Bukankah itu yang selama ini kita dengar?
Iman yang dibangun di dalam gedung gereja dianggap terlalu pelan pada waktu itu, dianggap terlalu biasa-biasa, tidak terlalu ada hasil yang kelihatan atau bisa diukur –dan dampak ini masih terasa sampai sekarang. Inilah cerita yang membentuk cara kita melihat pada hari ini. Lihatlah bagaimana cara orang hari ini memberi kesaksian –tentu saja kesaksian yang laku– apa isinya? Apakah tentang pengalaman dia di Gereja sehari-hari, minggu demi minggu, tahun demi tahun? Atau, yang seringkali dijual sebagai kesaksian justru pengalaman di luar Gereja? Bahkan boleh dikatakan kita melihat dalam kesaksian banyak orang, yang terkesan lebih rohani adalah adalah ketika pengalaman itu terjadi di luar gedung gereja. Kesaksian pengalaman bersama-sama dengan jemaat menyanyikan lagu yang itu-itu lagi, tidak laku; tapi pengalaman di taman sendirian lalu keluar nyanyian rohani dari dalam hati, entah bagaimana langsung terasa lebih rohani.
Tentunya Charles Finney mendapat kritik selama dia masih melayani. John Nevin, seorang Reformed, yang melayani sebagai profesor dan juga gembala, sangat kuatir dengan metode-metode Finney; dia mulai bertanya-tanya, jangan-jangan Finney bukan cuma beda aliran tapi bahkan beda agama. Nevin mengatakan, jika Finney memakai anxious bench, Gereja harusnya memakai sistem katekismus. Belajar katekismus tidak bisa semalam jadi, tapi lama sekali; belajar katekismus tidak pernah instan, dan pastinya tidak terlalu ada emosi-emosi tertentu. Nevin menggolongkan sistem anxious bench-nya Finney versus katekismus Gereja; dan hari ini Saudara bisa menggolongkan orang Kristen seperti ini juga, ada orang Kristen yang extra ordinary (luar biasa) versus orang Kristen yang ordinary (biasa). Orang-orang Kristen yang extra ordinary, bensin mereka adalah pengalaman-pengalaman rohani pribadinya, pengalaman ketika mereka sendirian; mereka seringkali melihat rutinitas gereja sebagai stagnasi iman. Sedangkan orang Kristen yang ordinary, yang biasa-biasa, tentu juga punya relasi pribadi dengan Tuhan, tapi mereka mendapatkannya lewat struktur-struktur yang ditetapkan oleh para rasul: sakramen, Firman Tuhan, katekismus, minggu demi minggu; struktur ini tidak pernah dilihat sebagai halangan bagi pertumbuhan bagi orang-orang seperti ini.
Charles Finney sendiri pada masa yang belakangan, seperti mulai mencurigai pelayanannya itu menghasilkan efek samping negatif, jangan-jangan kehausan akan pengalaman rohani itu akhirnya berujung pada spiritual exhaustion (kelelahan rohani). Yang menarik, hari ini distrik-distrik di New York tempat Finney memusatkan pelayanan KKR-nya, sampai memiliki nama “the burnout district” (daerah yang sudah kelelahan) –dan Finney sendirilah yang mengeluarkan nama tersebut– dalam arti ini daerah yang sudah terlalu terbakar oleh antusiasme dan emosi berkali-kali, sampai tidak bisa lagi memproduksi buah rohani.
Mengapa kita membicarakan semua ini? Karena inilah yang kita warisi hari ini sebagai orang Injili. Seperti orang yang memeriksakan DNA-nya untuk cari tahu kondisi medis apa yang herediter dalam keluarganya yang membuat dia lebih gampang terkena suatu penyakit dsb., demikian juga kita sekarang sedang mencoba menganalisa DNA kita sebagai orang Injili, untuk melihat ada cerita-cerita apa di belakang kita yang membuat kita hari ini lebih rentan terhadap kondisi rohani tertentu ataupun efek samping tertentu. Dan Saudara harus tahu, orang-orang seperti Charles Finney maupun William Carey –yang tentu saja adalah hamba Tuhan dan dipakai Tuhan– mereka adalah bagian dari DNA kita hari ini. Itu sebabnya bagi kita hari ini, hal-hal yang ordinary, yang normal, yang rutin dalam kehidupan kita, jadi rasanya biasa-biasa saja. Kalau kita mau melihat kecenderungan ini, bukti-buktinya ada di sekitar kita.
Micahel Horton, seorang Reformed dari tradisi Injili, juga mengakui hal ini dalam bukunya. Salah satu kutipan dari tulisannya sbb.: ‘Kecenderungan aktifisme dalam jantung hati gerakan Injili, telah menaruh beban dan tekanan yang sangat besar untuk orang-orang Kristen melakukan hal-hal yang besar; pada hari ini, yang paling kita butuhkan adalah untuk orang-orang Kristen bisa melakukan hal-hal yang biasa, dengan baik; lebih menarik memang, untuk menjadi bagian dari sebuah gerakan, daripada menjadi anggota Gereja’. Horton kemudian mengutip tulisan seorang aktifis Injili lain, seorang wanita yang pada masa mudanya begitu bersemangat menyerahkan diri kepada Kristus, misi ke sana kemari, pergi ke Afrika, dst.; wanita ini pada akhirnya merasa ada sesuatu yang salah, dan dia menulis demikian: “saya baru sadar, saya tidak tahu bagaimana caranya menjadi orang yang beriman dalam kehidupan sehari-hari”. Wanita ini bahkan mulai mempertanyakan apakah mungkin untuk hidup beriman kepada Tuhan di dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah titik balik dalam imannya; “Sekarang saya berumur 32 tahun dengan 2 orang anak, dan saya menghidupi kehidupan yang biasa-biasa saja. Tapi justru dalam kehidupan yang biasa-biasa itu saya baru menyadari, bagi saya, hidup di rumah, dengan 2 anak –1 bayi, 1 lagi baru umur 2 tahun– itu hidup yang jauh lebih menakutkan dibandingkan pergi melayani desa-desa Afrika di zona perang”. Dia melanjutkan, “Kalau saya membutuhkan keberanian di dalam hidup ini, saya paling butuh keberanian itu justru untuk menghadapi hidup yang biasa, yang rutin, yang sehari-hari.” Melayani anak-anak yatim piatu di Afrika terasa lebih menggugah hati wanita ini dibandingkan mengurus popok anaknya yang bau. Terus terang, kita tidak butuh banyak motivasi untuk membagi-bagikan sembako dan baju kepada orang-orang terlantar, kita justru lebih perlu motivasi untuk bersikap baik pada pasangan kita di hari Senin. Seorang penulis lain mengatakan, “orang hari ini tidak terlalu takut dengan kegagalan; orang hari ini paling takut dengan kebosanan”. Saudara, jika ini adalah cerita-cerita yang mempengaruhi hidup kita dan kondisi rohani kita hari ini, maka kita mungkin mulai bisa mengerti mengapa hari ini Saudara dan saya buta terhadap kuasa Roh Kudus di tengah-tengah Gereja.
Kembali kepada Pentakosta dan hidup dalam Roh, tentu saja turunnya Roh Kudus adalah sesuatu yang luar biasa; diutusnya Roh Kudus ke dalam dunia, ke dalam umat Tuhan, berarti sekarang Anak Allah bukan cuma hidup dalam satu orang Yesus dari Nazaret, melainkan dalam setiap tubuh-tubuh yang adalah tubuh-Nya, Gereja-Nya. Tentu saja ini satu hal yang extra ordinary, yang mujizat, tetapi apa yang Paulus serta para rasul simpulkan dari semua ini? Pernahkah Saudara membaca dalam surat-surat Paulus perkataan seperti yang dikatakan William Carey “pergilah dan lakukanlah hal-hal yang besar, yang luar biasa untuk Tuhan” ?
Saudara, ketika Paulus dan para rasul membicarakan pekerjaan besar Allah –dan mereka memang membicarakan itu di Alkitab– mereka membicarakan pekerjaan ini sebagai sesuatu yang sudah terjadi, bukan akan terjadi, sesuatu yang sudah terjadi dalam kematian dan kebangkitan Yesus serta kenaikan-Nya sebagai Raja. Mereka membicarakan ini dalam rangka Yesus yang sedang mengubah dunia, bukan mengenai apa yang hari ini kita bisa lakukan. Lalu apa peran kita? Peran kita bukan tidak ada, tapi menurut Paulus peran kita bukan untuk menambah-nambahi karya Kristus ini. Paulus tidak menyuruh kita untuk tiba-tiba hidup jadi orang-orang Kristen yang luar biasa; berkali-kali gambaran dan visi Paulus akan kehidupan Kristen justru adalah untuk menghidupi hidup yang ordinary, yang biasa-biasa, di dalam Kristus. Paulus mengatakan hal-hal seperti: uruslah dengan baik urusan-urusanmu, bekerjalah dengan tanganmu sendiri, “live a quiet life” —katanya kepada Timotius. Di bagian lain dia mengatakan “jangan bikin anak-anakmu stres, hai bapa-bapa”, hiduplah dengan kudus, jangan nge-gosip (2 Kor. 12). Dia juga mengatakan untuk saling menanggung beban, untuk bersukacita. Inilah misi Roh Kudus, inilah kerohanian Alkitab; di sinilah tempatnya, urusan-urusan fisik sehari-hari, rutin, dengan manusia-manusia yang juga bersifat fisik.
Hari ini banyak orang Kristen mengasosiasikan Roh Kudus dengan urusan-urusan rohani, dalam arti nubuat-nubuat, mujizat-mujizat, hal-hal yang kita anggap berada di atas dari kehidupan yang biasa-biasa ini. Tapi ternyata bagi Paulus dan Gereja mula-mula, menjadi umat yang rohani, yang hidupnya digerakkan oleh Roh, berarti mengambil bagian dalam hidup yang fisik ini, hidup yang di dunia ini, hidup yang biasa-biasa ini. Lihatlah gaya hidup jemaat mula-mula, mereka hanya saling berbagi, senantiasa, setiap hari; dan ‘senantiasa’ maupun ‘setiap hari’ adalah istilah untuk rutinitas –“mereka senantiasa berkumpul untuk memecahkan roti”. Mereka memecahkan roti –bukan memecahkan gitar listrik seharga 200 juta–dan membahas Firman Tuhan. Ranah hidup rohani, bagi mereka ada di dalam ranah sehari-hari yang fisik ini.
Orang yang pertama kali menggunakan istilah ‘kerohanian’ atau ‘spiritualitas’, adalah Bapa Gereja Jerome, di abad 5, dalam salah satu suratnya. Jerome menjelaskan, yang dia maksud dengan spiritualitas bukanlah sesuatu yang kita hendak raih di atas sana, melainkan hidup yang digerakkan oleh Roh ke bawah ini; dan itu terjadi di tempat Roh Kudus diam, di Gereja, di orang-orangnya yang biasa-biasa itu, dalam hal-hal yang mereka lakukan secara fisik, sehari-hari, yang rutin. Baru setelah Jerome, entah bagaimana orang mulai memelintir istilah ‘kerohanian’ dengan sesuatu yang bertabrakan dari maksud Jerome pada awalnya, yaitu semacam kondisi mental yang dicapai ketika kita meninggalkan ‘daging’ kita, yang menghalangi kerohanian tersebut. Inilah cikal bakal apa yang dikatakan orang Barat modern hari ini, “I am spiritual, but not religious” (saya rohani, tapi saya tidak beragama); maksudnya, mereka berhubungan dengan semacam ranah rohani dalam kehidupannya, tapi di luar institusi keagamaan yang fisik seperti Gereja, dsb. Institusi-institusi seperti Gereja dan keagamaan dianggap halangan terhadap kerohanian. Padahal, ketika Saudara kembali ke Alkitab, di halaman pertama Alkitab kita menemukan bahwa momen pertama kita bertemu dengan Roh Allah adalah ketika Roh Allah sedang melayang-layang di atas permukaan air. Ini adalah kisah Roh Allah sedang terlibat dalam urusan penciptaan dunia material ini, tempat terjadinya segala sesuatu yang rutin dan biasa-biasa ini.
Pekerjaan pertama Roh Allah yang Saudara baca di situ adalah menciptakan dunia yang fisik ini, dunia yang mundane (biasa-biasa) ini. Dengan demikian, pekerjaan Roh Allah yang terkemudian, tidak mungkin membawa kita keluar dari ciptaan ini, malah justru membawa kita masuk lebih dalam ke ciptaan ini, supaya oleh Roh kita membawa surga turun ke bumi, melalui kita. Dan itu berarti turun ke dalam pekerjaan kita sehari-hari, lewat pekerjaan kita sehari-hari, lewat apa yang kita lakukan sehari-hari, lewat apa yang biasa-biasa. Ini berarti pekerjaan Roh Kudus bukan urusan mistik yang membawa kita masuk ke dalam suatu relasi dengan Tuhan Yesus yang menghangatkan hati kita –bukan cuma itu; pekerjaan Roh Kudus sangat erat hubungannya dengan ciptaan dan pemulihan ciptaan ini.
Kita pernah membahas Mazmur 104, mazmur pujian; kalimat pembuka dan penutupnya mengatakan “praise The Lord, O my soul” (pujilah Tuhan, hai jiwaku). Ketika mazmur Alkitab menyuruh orang memuji, seringkali juga mengajak pembacanya untuk merenungkan hal-hal yang membuat mereka bisa memuji Tuhan. Dalam Mazmur 104, di dalam 33 ayatnya, di antara kalimat yang menyuruh memuji Tuhan itu, ternyata pemazmur mengajak kita memuji Tuhan bukan karena Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena Dia telah melakukan mujizat-mujizat yang besar, bukan karena dia telah memimpin Abraham, bukan karena Dia telah membebaskan bangsa Israel dari Mesir –bukan semua itu; di dalam Mazmur 104 tidak ada disebutkan hal-hal yang radikal, yang satu kali seumur hidup, yang life changing, yang luar biasa, yang extra ordinary –semua itu tidak ada. Lewat berpuluh-puluh ayat, pemazmur mengatakan alasan Allah kita patut dipuji adalah karena segala sesuatu yang bersifat ordinary, karena Dia adalah sumber segala sesuatu yang bersifat rutin, hal-hal yang kerap terjadi, yang saking seringnya terjadi sampai manusia secara umum tidak lagi memperhatikannya. Mamzur ini meng-atribusikan kepada Allah hal-hal seperti turunnya hujan, terbentuknya awan, kilat dan petir, proses daur air, datangnya kegelapan saat malam, makan minum binatang-binatang liar; pendeknya, mazmur ini bicara mengenai hal-hal yang pada umumnya tidak kita atributkan kepada Tuhan.
Pendeta Jadi pernah memberikan satu contoh yang sangat membekas dalam pikiran saya. Dia mengatakan, kalau suatu hari mobil kita mogok di tengah jalan pada tengah malam, lalu keluar asap, bau gosong, bensinnya habis, maka kita berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, tolonglah saya, tolonglah saya”. Lalu tiba-tiba mobilnya bisa jalan lagi meski dengan setengah mati, sampai bengkel terdekat, dan kemudian benar-benar mati. Di situ apa yang Saudara dan saya akan katakan? Kita bilang, “O, ini pekerjaan Tuhan!” –pekerjaan Tuhan itu tiba-tiba, langsung. Tapi kalau Saudara rawat mobil itu baik-baik, tidak pernah melewatkan jadwal servisnya, tidak pernah dipakai ngebut, tidak pernah masuk lubang-lubang, dan mobil ini bisa terus berjalan, apakah Saudara akan bersyukur kepada Tuhan? Ah, itu sih bukan pekerjaan Tuhan, itu ‘kan pekerjaan manusia.
Kalau seorang petani yang malas, yang tidak memberi pupuk dengan benar, irigasinya berantakan, lalu dia bertobat jadi Kristen dan panennya bagus, kita bilang itu pekerjaan Tuhan; sedangkan petani yang memberi pupuk dengan beres, irigasi dikerjakan sempurna, rajin, dan panennya berlimpah, kita bilang itu bukan karya Tuhan tapi karya manusia. Kalau malam-malam kita sudah di tempat tidur, lampu sudah dimatikan, sunyi, lalu pintu kamar terbuka sendiri, kita mungkin becanda bilang itu setan. Itulah cara kita mengatributkan sesuatu sebagai supernatural, karena kita tidak punya penjelasan yang bersifat natural. Pak Tong pernah memberikan satu contoh, kalau tiba-tiba muncul satu makhluk besar warna merah hitam yang bertanduk dan mengerikan di sebelah kasur kita, kita akan langsung mengatakan itu setan; tapi kalau seorang bintang film Holywood buka baju di layar TV, apakah kita langsung mengatakan itu sebagai pekerjaan setan? Tidak tentu. Inilah mungkin sebabnya kita buta terhadap pekerjaan Roh Kudus dalam Gereja, pada hari ini.
Saudara, setiap kali kita bicara mengenai Roh yang tugasnya memulihkan ciptaan –tema ‘ciptaan baru’–Alkitab selalu memulainya dengan urusan Gereja; karena bagi Alkitab, Gereja adalah pintu gerbang yang darinya mengalir kuasa pemulihan ciptaan. Gereja adalah titik fokus dari mujizat pemulihan ciptaan. Gereja/ jemaat, yang isinya tidak banyak orang-orang yang pintar atau jenius, atau berpengaruh –sebagaimana Paulus katakan; dengan kata lain, Gereja yang biasa-biasa itu, yang dipenuhi orang-orang yang biasa-biasa itu.
Kita bicara mengenai “kita di dalam Kristus” (relasi dengan Kristus), tapi seringkali kita lupa atau salah kaprah mengenai maksudnya; ketika kita disatukan dengan Kristus, kita pikir ini urusan relasi rohani saya dengan Tuhan Yesus. Tetapi tidak demikian; ini bukan cuma urusan ide abstrak tersebut, melainkan ada bagian yang sangat konkret, yaitu Saudara sedang disatukan dengan keseluruhan tubuh-Nya. Dan itu bukan terutama soal lokasi mistik di angkasa, melainkan sebuah lokasi geografis, lokasi yang kelihatan, Gereja, tempat kita disatukan dengan Kristus. Betapa gambaran kita ternyata terlalu berbeda dari apa yang ada di dalam Alkitab, banyak dari kita yang ingin disatukan dengan Kristus tapi tidak terlalu kepingin disatukan dengan saudara-saudaranya Kristus.
Paulus sangat yakin bahwa tempat itulah –Gereja– yang justru akan jadi instrumen pilihan Allah dalam memulihkan dunia ini. Paulus percaya bahwa Gereja akan jadi satu koloni surgawi di dunia, tempat surga pertama kali menginvasi dunia ini, tempat di mana seluruh nafas di bumi bukan cuma bersirkulasi begitu saja terus-menerus, tapi akan diperbaharui, lalu disebarkan ke seluruh dunia. Gereja menjadi sarana di mana seluruh alam semesta ini akan dipenuhi oleh kuasa dan kemuliaan Tuhan. Efesus 1:22-23, ‘Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada. Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu.’ Kalau Saudara bingung membaca ayat ini, bayangkan sebuah air mancur yang 4 tingkat, seperti itulah gambarannya; bahwa kemuliaan Allah pertama-tama tertumpah kepada Kristus, dari Kristus tertuang ke Gereja, dan Gereja melimpahkannya ke seluruh dunia. Inilah gambaran Gereja menurut Paulus. Tapi hari ini waktu kita melihat ke kiri-kanan, kita tidak melihat adanya suatu bukti bahwa sesuatu yang begitu luar biasa terjadi melalui kita yang biasa-biasa ini; itu sebabnya kita senantiasa mencari sesuatu yang luar biasa, suatu pengalaman-pengalaman rohani di luar yang rutin terjadi dalam Gereja. Dan di sini kita tersandung. Ketika kita melongok ke sekeliling kita, melihat Gereja-gereja di dunia –baik Gereja yang kita hadiri maupun Gereja yang di luar kita– koq sepertinya Gereja yang kita lihat tidak sama dengan yang Paulus lihat. Kita melihat ketika orang dunia mencari koloni surga di bumi, mencari suatu tempat mereka bisa merasakan kehadiran Tuhan, mencari tempat yang mereka bisa melihat orang-orang yang diubah oleh kehadiran tersebut, mereka sepertinya tidak menemukannya pada kita?? Bahkan mungkin banyak dari kita yang sudah lebih berumur, sudah lebih lama di Gereja –dan mungkin lebih sinis– melihat Gereja hari ini seperti reruntuhan gereja-gereja di Eropa.
Daerah sekitar Turki dan perbatasan dengan Georgia, 1000 tahun yang lalu adalah daerah Kristen, dan dulunya daerah kaya. Mereka membawa banyak arsitek, pelukis, seniman dari Konstantinopel untuk membangun gereja-gereja di Georgia, yang semegah Hagia Sophia di Turki. Tapi hari ini semua gereja di Georgia sudah jadi reruntuhan karena era Kekristenan di Turki sudah berlalu; orang Mongol datang melibas mereka di abad 13, lalu kekaisaran Otoman masuk, dan saat ini jadi daerah mayoritas umat muslim. Kalau hari ini Saudara mengunjungi daerah Turki, Georgia, sampai ke pedalaman, Saudara akan menemukan reruntuhan gereja di mana-mana; yang tadinya menara tinggi menembus kanopi hutan dan terlihat jelas dari beberapa kilometer, sekarang tinggal tumpukan batu bata merah. Semua karya seni indah dari dalamnya, sudah dibawa pergi, atau dicuri, bahkan batu-batu reruntuhan gedungnya sering diambil penduduk setempat untuk menambal tembok atau atap rumahnya. Pintu-pintu, jendela-jendela, bahkan juga mimbar sudah hilang, kosong, tidak tersisa. Tempat itu sekarang kadang-kadang jadi tempat anak-anak main bola, atau orang berjual beli, dll. Tidak ada yang tersisa, yang dapat kita lihat, kecuali tembok-tembok yang sudah separuh runtuh. Tapi adakalanya di tembok-tembok tersebut kita bisa menemukan sisa-sisa fresco (lukisan di dinding), yang sudah pudar namun entah bagaimana bisa bertahan ratusan tahun; Saudara mungkin menemukan separuh lukisan wajah Tuhan Yesus dengan mata terbuka lebar khas lukisan Eropa Tengah, memandang kepada kita, dengan satu tangan yang terangkat, dan jari-jarinya membentuk tangan yang sedang memberikan berkat itu –memberkati Gereja-Nya, umat-Nya, yang sekarang tinggal reruntuhan. Dan, kita bertanya-tanya, bagaimana Tuhan bisa membawa pemulihan ciptaan seluruh alam semesta lewat reruntuhan-reruntuhan ini??
Memang di tempat-tempat lain gereja masih berdiri, termasuk di tempat kita; bahkan masih banyak gereja yang baru didirikan di tempat-tempat lain. Tapi mungkin tidak sedikit dari kita yang merasa Gereja hari ini adalah reruntuhan-reruntuhan –jika bukan gedungnya, mungkin apa yang ada di dalam gedungnya. Ada keropos yang kita lihat; perselisihan, konflik, kebohongan, penipuan, skandal, kesombongan, keserakahan, narsisisme. Bagaimana Paulus bisa mengatakan inilah tempat di mana surga sedang mendirikan koloninya, tempat di mana kemuliaan Allah sedang dinyatakan?? Mungkin Saudara berpikir, barangkali Gereja di zaman Paulus berbeda, itu adalah Gereja-gereja yang luar biasa. Tapi tidak; dalam studi Alkitab, ada konsensus bahwa Paulus menulis surat Efesus itu di dalam penjara, yang mungkin dingin dan gelap, dengan hanya setitik cahaya keluar dari satu lubang di atap, dan sebentar lagi dia akan menemui ajalnya.
Dalam seluruh hidupnya, Paulus dipenuhi berbagai penderitaan dan juga perselisihan, baik dengan musuh-musuh di luar Gereja ataupun dengan orang-orang di dalam Gereja. Tapi entah bagaimana, itu semua tidak mempengaruhi visinya mengenai Gereja, Paulus tidak ragu sama sekali bahwa Allah akan berhasil melakukan pemulihan ciptaan melalui Gerejanya. Paulus tetap bersikeras bahwa dalam keadaan di mana atap gereja bolong pun, Tuhan Yesus tetap menyertai umat-Nya –seperti gambaran reruntuhan gereja tadi, ada separuh wajah Yesus dengan tangan-Nya sedang memberkati reruntuhan tersebut– bahwa Tuhan tidak akan, dan tidak mau melepaskan diri dari tubuh-Nya. Mungkin Paulus mengingat perkataan “apa yang telah Tuhan satukan, jangan ada manusia yang memisahkan”. Tetapi, bagaimana kita sekarang bisa hidup dengan ketegangan ini, jurang besar antara apa yang Paulus lihat dan yang kita lihat? Antara kebenaran Firman Tuhan mengenai natur Gereja yang begitu mulia, versus kebenaran yang kita lihat dan alami sendiri mengenai diri kita? Antara fakta bahwa kita adalah anak-anak Allah melalui darah Yesus yang dicurahkan bagi kita, namun juga bahwa kita adalah anak-anak Adam dan Hawa yang mewarisi arah hati senantiasa menginginkan buah yang terlarang itu?
Jawabannya adalah: doa Paulus dalam surat Efesus yang kita baca tadi, yaitu untuk menjadikan mata hati kita terang, sehingga kita bisa melihat kemuliaan, kehebatan kuasa Tuhan, bagi kita yang percaya. Hanya saja, kuasa Tuhan yang besar itu bukanlah kuasa yang menurunkan 1 Milyar sekaligus dan seketika, melainkan pemberian-pemberian yang konsisten, yang seumur hidup, yang biasa, yang tidak akan masuk Breaking News di TV atau halaman pertama KOMPAS. Itu adalah hal-hal yang seringkali terlewat dari mata kita, hal-hal yang biasa. Hal-hal seperti cerita-cerita di sebuah Gereja tentang seorang muda yang datang, yang mengalami kerusakan otak, tidak punya uang, tidak punya makan, tidak punya keluarga yang bisa menopang dia; dan dengan sangat tersembunyi ada jemaat yang membawa dia ke warung untuk makan, jemaat lain menyiapkan kamar di rumahnya untuk dia, jemaat lain mengontak dokter untuk cari tahu apa yang bisa dilakukan atas pemuda ini. Lalu bertahun-tahun kemudian, hasilnya juga sesuatu yang biasa-biasa, pemuda ini tetap datang ke gereja seperti biasa, dikelilingi oleh keluarganya, yaitu Gereja. Hal-hal seperti ini, Saudara mungkin melihatnya, atau mungkin tidak melihatnya, tapi itu terjadi, bahkan di tengah-tengah kita di tempat ini.
Cerita yang lain, seorang wanita yang mengidap kanker ganas, divonis dokter umurnya tidak lebih dari 6 bulan. Dia tidak bisa lagi datang ke Gereja, maka Gereja yang datang kepadanya; berkumpul di rumahnya, membawakan dia dan suaminya makanan, membersihkan rumah mereka, memijat kakinya, bahkan ada yang punya ide cemerlang untuk memakaikan kuteks di jari-jari wanita ini –dan sebenarnya, kadang-kadang ini lebih dibutuhkan dibandingkan dikunjungi pendeta. Wanita ini bersiap-siap untuk segera mati, tapi kemudian kondisinya sedikit membaik, dia bisa kembali hadir di gereja, meski dengan tabung oksigen yang harus dibawa terus. Hari itu dia mendapat giliran membacakan Firman Tuhan, dari Yesaya 35: 3-4, ‘Kuatkanlah tangan yang lemah lesu dan teguhkanlah lutut yang goyah. Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: “Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang”‘ ; dan hari itu semua jemaat menyadari, mereka bukan hanya sedang mendengar Firman Tuhan dibacakan, mereka sedang melihat kuasa Firman Tuhan.
Saudara-saudara, solusi dari ketegangan dan kebingungan kita, bahwa hari ini kita seperti tidak melihat kuasa Tuhan, adalah dengan menyadari hal ini, melihat Tuhan dalam hal-hal yang biasa-biasa ini. Menyadari bahwa seberapa pun kita berusaha untuk aktif di dalam sebuah Gereja, seberapa keras pun kita berjuang untuk Gereja ini, Saudara dan saya akan senantiasa jadi faktor-faktor yang merusak Gereja –ini satu sisi. Di sisi lain, pada saat yang sama kita juga perlu menyadari seberapa pun Saudara bisa merusak Gereja, entah bagaimana akan ada kebaikan, akan ada keindahan yang terjadi di pojok-pojok Gereja, karena bukan kitalah yang memegang kendali di Gereja –puji Tuhan, bukan Saudara dan saya yang memegang kendali di Gereja. Siapa yang memegang kendali? Saudara bisa menemukannya di tengah-tengah reruntuhan Gereja, dengan separuh muka-Nya memandang kepada Saudara dan tangan-Nya sedang memberkati Gereja-Nya. Dialah yang memegang kendali di Gereja; yang nafas-Nya adalah nafas kita sekalian, yang Roh-Nya tinggal bersama-sama dengan kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading