Bagian ini tidak ada dalam manuskrip yang tertua, adanya dalam manuskrip yang lebih belakangan, tapi bagaimanapun ini adalah catatan yang penting sekali. Dan bagian ini secara keseluruhan tidak ada paralelnya dalam Injil sinoptik, hanya ada beberapa pecahan kalimat saja. Dengan begitu, bagian ini menyatakan keunikan Injil Yohanes, sebagaimana pasal-pasal yang cuma ada di Injil tertentu menyatakan keunikan profil teologi kitab Injil tersebut. Dalam hal ini, yang disajikan Yohanes 8 seperti menggemakan kembali Yoh 3:17, ‘Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.’ Ceritanya cukup jelas, satu bagian yang begitu gamblang, kita tidak perlu tafsirkan karena pesannya juga sudah sangat jelas. Meskipun demikian, kita akan coba melihatnya dengan kacamata yang lebih detail.
Dalam bagian pertama, setting-nya di Bukit Zaitun. Kemudian di pagi-pagi benar Yesus berada di Bait Allah, seluruh rakyat datang kepada-Nya, dan sebagaimana biasanya Yesus duduk mengajar mereka. Selanjutnya datang ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Yang menarik, dikatakan bahwa mereka membawa perempuan ini ‘untuk mencobai Yesus, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkannya’ (ayat 6). Mencobai dalam hal apa?
Dalam bagian-bagian yang lain jelas bahwa pencobaannya dengan membuat Yesus seakan berada dalam satu dilema, pilih ini salah pilih itu salah, misalnya waktu mereka menanyakan ‘apakah boleh membayar pajak kepada Kaisar’. Dalam bagian ini, ada penafsir yang mengatakan bahwa ini bukan awal dari pelayanan Yesus melainkan sudah agak di tengah atau bahkan akhir. Maka kita bisa berasumsi, bahwa orang-orang ini sedikit banyak mengenal tentang Yesus, yang suka bergaul dengan orang-orang berdosa, yang sepertinya lebih memihak orang-orang miskin (the poor and the needy), dan sangat kritis terhadap orang kaya, bahkan juga mengkritik pemimpin-pemimpin agama. Gambaran seperti ini tentu saja menjengkelkan pemimpin-pemimpin agama tersebut. Tapi yang jadi masalah, Yesus ini kelihatannya seperti tidak menghormati Taurat, tidak menghormati Musa, Yesus ini breaker of the Law –Dia menyembuhkan orang pada hari Sabat– dan dalam isu-isu lain seperti beyond the Law. Oleh sebab itu, waktu mereka menangkap perempuan tadi dan membawanya kepada Yesus, mereka ingin mendapat konfirmasi dengan disaksikan orang banyak, bahwa Yesus memang betul-betul melanggar hukum. Itu sebabnya dalam ayat 5, mereka berkata, “Musa dalam hukum Taurat [the Law] memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian”. Mereka tahu Yesus ini suka berbelas-kasihan, mengasihi orang-orang sakit, mengasihi orang berdosa, dsb., sementara sekarang ini ada orang yang berzinah, dan kalau menurut Taurat Musa mereka harus melempari perempuan yang demikian.
Ada 2 tafsiran dalam hal ini. Tafsiran yang lebih awal, yaitu sebagaimana kalau kita membaca bagian ini, konotasi kita perempuan ini sudah menikah. Tafsiran yang belakangan, menyelidiki soal hukuman rajam ini sebetulnya diperuntukkan bagi wanita seperti apa. Dalam tafsiran ini, dibedakan antara hukuman untuk wanita yang sudah menikah dan yang belum menikah; untuk yang sudah menikah, hukumannya di-strangle, bukan dilempari batu. Singkat cerita, menurut tafsiran ini, perempuan tersebut belum menikah, tapi juga sudah dewasa, artinya dia berusia antara 12 – 12 ½ tahun. Dalam gambaran seperti ini, kita bisa betul-betul tercengang atas respons orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang tega-teganya membawa perempuan semuda itu untuk dilempari batu, hanya dengan motivasi untuk menjebak Yesus. Seakan-akan perempuan ini bukan manusia tapi cuma sekedar barang yang mereka pakai untuk motivasi tersebut. Tafsiran ini jadi punya pesan yang kuat, khususnya memperlihatkan kerusakan pemikiran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. [Belakangan ada koreksi di antara para scholars, bahwa dalam zaman Yesus hukuman rajam tidak diterapkan secara kaku seperti itu, sehingga bisa diterapkan pada perempuan yang sudah menikah ataupun yang belum, tapi tetap saja dua-duanya menyatakan kekejaman ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi].
Saudara, waktu kita membaca Alkitab, kita bisa menempatkan diri di dalam berbagai tokohnya, karakter-karakter itu dihadirkan supaya kita bisa melihat diri kita ada dalam posisi yang mana. Tentu pertama-tama kita bisa melihat keindahan yang ada pada Yesus dan belajar daripada-Nya. Kita melihat diri kita kurang seperti Yesus, kita harusnya hidup seperti Yesus, karena Dia adalah jalan, kebenaran, dan hidup, dan tidak ada orang sampai kepada Bapa kalau tidak melalui Yesus. Tapi kita juga bisa menempatkan diri di dalam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini, dalam kerusakan mereka, kebencian hati mereka, dsb. yang seringkali juga menunjukkan kesempitan hati dan kebencian kita. Kita juga bisa menempatkan diri di dalam perempuan ini, orang berdosa yang kemudian diampuni Tuhan.
Kembali ke soal pencobaan yang dilakukan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Di mata mereka, Yesus meskipun berkharisma namun sepertinya tidak peduli dengan Taurat/ hukum Musa. Maka ketika mereka menyeret perempuan ini kepada Yesus, mereka mau membuktikan kepada orang-orang: ‘Ini lho, Guru yang menarik ini, yang kamu hargai ini, sebetulnya adalah orang yang tidak menghargai Musa dan Tauratnya, padahal kita, bangsa Yahudi, dididik untuk menghargai Taurat, Taurat yang adalah menyatakan kehendak Allah. Tapi Orang ini tidak menghargai Taurat, buktinya Dia suka bergaul dengan orang-orang berdosa. Jadi sekarang kita coba saja lihat apa yang akan dilakukan Yesus, sedangkan Musa sudah jelas memberi perintah supaya perempuan yang berzinah ini dilempari dengan batu’. Secara sederhana, mereka mau mengetes Yesus, apakah Dia mengikuti Taurat atau tidak. Lalu apa yang dilakukan Yesus?
Dalam cerita ini, Saudara membaca bahwa Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah (ayat 6). Ini artinya apa? Jawaban paling sederhana: kita tidak pernah bisa tahu apa yang Yesus tulis di tanah itu, karena Alkitab tidak mencatat. Alkitab hanya mencatat ‘Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah’. Alkitab sangat berbeda dengan novel-novel yang suka memberikan satu atmosfer tertentu, dsb., maka ketika Alkitab mencatat keterangan seperti itu, sudah pasti ada artinya, hanya saja ‘artinya apa’ masih menjadi pertanyaan. Ada banyak tafsiran yang spekulatif, meski ada argumentasinya. Pandangan-pandangan tersebut sangat kompleks, bahkan ada yang sampai menebak-nebak Yesus menulis ayat yang mana. Tetapi kalau dibaca dari ayat 6, sebenarnya tidak pernah bisa memberi kepastian Yesus menulis apa.
Di tengah-tengah kompleksitas penafsiran bagian ini, ada satu ayat yang mungkin bisa sedikit menolong kita, yaitu Yeremia 17: 13 “Ya Pengharapan Israel, TUHAN, semua orang yang meninggalkan Engkau akan menjadi malu; orang-orang yang menyimpang dari pada-Mu akan dilenyapkan di negeri, sebab mereka telah meninggalkan sumber air yang hidup, yakni TUHAN.” Terjemahan bahasa Indonesia di sini kurang jelas, bahasa Inggrisnya mengatakan: ‘Those who turn away from You (semua orang yang meninggalkan Engkau) will be written in the dust (akan ditulis di tanah)’ –bandingkan dengan Yoh 8:6 ‘Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah.’ Yohanes tidak mencatat Yesus menulis apa –berarti memang tidak penting apa yang ditulis Yesus karena kalau penting pasti dinyatakan kepada kita– maka gestur menulis itu sendiri sudah cukup untuk mengajarkan sesuatu, mengenai apa yang sedang dilakukan Yesus. Dan nampaknya itu bukan sekedar mengulur-ulur waktu. Ada juga tafsiran-tafsiran yang lebih ke arah psikologi, bahwa Yesus sembari menunggu ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu sadar, Dia lalu coret-coret. Tapi itu tafsiran yang sangat modern, seakan memberi mereka waktu untuk berpikir, berefleksi, ataupun bertanya-tanya (kalau ditafsir seperti itu, Yesus tidak harus menulis di tanah, bisa saja Dia cukup diam sambil melihat mereka satu per satu tanpa berkedip, dsb.).
Jadi, kalau kita kaitkan ini dengan Yer 17:13, sedikit pencerahan yang bisa kita dapatkan, bahwa waktu Yesus membungkuk dan menulis dengan jari-Nya di tanah, itu menyatakan ‘inilah orang-orang yang akan meninggalkan Engkau’. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu harusnya tahu tradisi kitab Yeremia, sehingga itu mengingatkan mereka kepada orang-orang yang meninggalkan Tuhan. Siapakah yang meninggalkan Tuhan? Di dalam Yer 17:13 memakai kata ‘those/ semua orang’. Maksudnya, menurut Yer 17:13 yang meninggalkan Tuhan adalah semua orang, termasuk mereka itu. Jadi ini memberikan momen supaya mereka sadar, bahwa yang tidak taat kepada Taurat bukan cuma perempuan itu, tapi mereka semua. Ini poin klasik dari cerita ini, yang tanpa saya kotbahkan pun Saudara akan mendapatkan hal ini waktu membaca Firman Tuhan.
Waktu kita membaca atau mendengarkan Firman Tuhan, seringkali yang menjadi suatu refleksi bagi kita bukan kekurangan diri kita sendiri, melainkan kekurangan orang lain. Dan di dalam cerita ini gambarannya lebih jahat lagi, yaitu untuk menjebak orang lain. Satu keadaan yang tidak dewasa, kalau waktu kita membaca Firman Tuhan, bukannya introspeksi kekurangan diri melainkan justru dikuasai self righteousness, merasa diri lebih baik daripada orang lain, lalu mengharapkan Tuhan menghukum orang-orang lain yang berdosa itu –persis dengan yang terjadi di sini. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat memang kesalahannya pertama-tama mau menjebak Yesus –itu kesalahan yang besar– tapi selain itu Yesus mau menyingkapkan sesuatu yang lain, bahwa mereka bisa melakukan hal seperti itu karena self righteous, ketika berhadapan dengan Firman Tuhan/ Taurat, bukan melihat kepada dirinya sendiri tapi melihat orang lain. Ini bisa terjadi secara individual, dan bisa terjadi secara komunal juga. Self righteous secara komunal, ketika Israel merasa bangsanya lebih baik daripada bangsa lain. Self righteous yang individual, ketika saya merasa diri lebih baik daripada orang lain. Ini juga bisa terjadi secara Gereja, yaitu waktu merasa Gereja kita lebih baik daripada komunitas yang lain. Baik komunal, maupun individual, dua-duanya pasti salah.
Di dalam gambaran ini, waktu Yesus menampilkan gestur membungkuk dan menulis dengan jari-Nya, memang betul juga bahwa Yesus memberikan kesempatan kepada mereka, tapi bukan tanpa gestur ini, karena Yesus mau mengingatkan akan orang-orang yang sudah meninggalkan Tuhan (kalau tafsiran tadi –Yer 17:13– kita terima).
Kalau kita kembali kepada Taurat, apa isi Taurat? Isinya bukan cuma justice and righteousness, tapi juga ada tentang mercy, forgiveness of sin. Oleh sebab itu kalau orang belajar Taurat dan yang dia tahu cuma keadilan, kebenaran, kesucian, dsb., tapi tidak mengerti regulasi tentang pengampunan dosa, belas kasihan, dst., jangan lupa di dalam Matius 23:23 Yesus mengatakan “tiga hal yang terpenting dalam Hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan (righteousness/ justice), belas kasihan (mercy), dan kesetiaan (faith/ faithfulness).” Orang-orang ini mengangkat Taurat Musa secara sangat parsial. Mereka cuma membicarakan keadilan, keadilan, keadilan, dan kebenaran, tapi mereka tidak tahu berbelas-kasihan. Itu adalah orang-orang yang condemned by Torah sebetulnya.
Kita jangan mengatakan bahwa Taurat cuma mengajarkan kebenaran keadilan, kemudian Injil mengajarkan belas kasihan, kasih, dsb. Itu salah. Khususnya di dalam tradisi Calvin, orang-orang Reformed tidak melihat kontras antara Taurat dan Injil sebagaimana orang-orang Lutheran. Di dalam teologi Lutheran, Taurat dan Injil dilihat sebagai sesuatu yang kontras, bahwa dari Taurat kita mengenal dosa dan diri kita tidak mampu, lalu Injil menyatakan penerimaan Tuhan. Hal ini memang ada tempatnya, ada kebenarannya, karena ini bukan sekedar tafsiran Luther tapi kita dapati misalnya dalam Surat Roma, tulisan Paulus. Namun Calvin melihat Taurat dan Injil secara kontinuitas, bahwa di dalam Taurat (Perjanjian Lama) bukan cuma ada tuntutan-tuntutan atau divine commandmends, tapi juga ada announcement of grace. Satu contoh, waktu Sepuluh Perintah diberikan, sebelumnya diumumkan “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membebaskan engkau keluar dari Mesir”. Itu satu proklamasi anugerah yang bahkan mendahului perintah. Jadi pemberitaan anugerah terlebih dulu, baru setelah itu ada perintah. Bukan memberikan perintah dan perintah, menjelaskan, lalu ternyata tidak bisa melakukan, maka datanglah kepada Injil, dan Injil artinya cuma penerimaan. Tafsiran seperti ini ada bahayanya, yaitu kalau kita melihatnya sebagai kontras –Taurat hanya memberikan perintah, lalu Injil hanya memberikan penerimaan, kasih karunia dan setelah itu tidak ada perintah lagi. Itu gambaran yang agak ceroboh/ simplistik di dalam melihat Taurat dan Injil. Sedangkan kalau perspektifnya kontinuitas, kita akan melihat di dalam Taurat ada perintah Allah dan ada kasih karunia, di dalam Injil ada kasih karunia dan ada perintah Allah juga.
Waktu dalam cerita ini mereka mau mengangkat Taurat, kebenaran keadilan, dengan mengatakan: "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian” (ayat 5), Yesus mengajarkan, bagaimana dengan belas kasihan, kesetiaan?? Kalau kita mengatakan kebenaran, keadilan, kekudusan, tapi tidak ada belas kasihan dalam kehidupan kita, berarti kita adalah orang yang sama sekali tidak mengerti Firman Tuhan. Karena di dalam Taurat pun kita mendapati –seperti yang Yesus katakan dalam Mat 23:23– yang terpenting bukan cuma keadilan, tapi juga belas kasihan, dan kesetiaan. Mereka sudah jelas tidak ada belas kasihan, apalagi kalau kita pakai tafsiran tadi yang mengatakan perempuan ini berusia antara 12-12 ½ tahun.
Ketika kita melayani dalam kehidupan ini, entah di dalam masyarakat, atau keluarga, atau Gereja, atau di mana pun juga, salah satu yang tidak bisa tidak ada, adalah: belas kasihan. Kalau kita kehilangan belas kasihan, kita jadi tidak manusiawi, jadi orang yang tidak berbelas-kasih. Itu tidak seperti Tuhan, karena Tuhan penuh belas kasihan. Dia adalah Allah yang adil, tapi Dia juga Allah yang penuh belas kasihan. Dan “paradoks” tersebut dinyatakan dalam cerita ini dengan begitu indah, tentang apa artinya belas kasihan, apa artinya memahami Taurat. Yesus yang disalib itu adalah Yesus yang memenuhi keadilan Allah, dan Dia menyatakan artinya belas kasihan Allah. Gereja dipanggil untuk menyatakan ini.
Waktu dalam cerita ini Yesus membungkuk dan menulis dengan jari-Nya di tanah, mereka yang tadinya pikir mau mengetes Yesus/ menguji Yesus, sebenarnya mereka sendiri sedang diuji. Hati-hati terhadap orang yang suka “menguji” orang lain, membuat profil tertentu atas orang lain. Dalam hidup, tidak bisa tidak, kita menilai orang lain. Tapi ada orang yang begitu bangga akan penilaiannya atas orang lain, sementara dia lupa bahwa dia sendiri juga dinilai, dan terutama oleh Tuhan. Di sini orang-orang mau menguji, menjebak Yesus, tapi sebenarnya Yesus sendiri menguji mereka. Yesus memperlihatkan apa yang jadi motif mereka terdalam, bagaimana kehidupan mereka di hadapan Tuhan. Dan mereka gagal dalam ujian ini.
Yesus membungkuk dan menulis dengan jari-Nya di tanah, mudah-mudahan Yer 17:13 muncul dalam pikiran mereka, tapi sepertinya tidak. Dikatakan bahwa ‘mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya’ (ayat 7). Ini orang yang tidak bertanya kepada dirinya sendiri tapi terus-menerus bertanya kepada Yesus. Bertanya bukan mau mendapatkan kebenaran, tapi bertanya karena mau membenarkan motivasinya. Bertanya bukan ingin tahu, bukan rendah hati mau belajar, tapi bertanya untuk memaksakan pendapatnya kepada Yesus. Kalau kita kontekstualisasi dalam kehidupan kita, orang-orang seperti ini akhirnya tidak pernah bertumbuh di dalam Kekristenannya. Orang yang bertanya dan terus bertanya, semestinya ada saatnya dia bertanya kepada dirinya sendiri. Tapi mereka ini tidak bertanya kepada dirinya sendiri, tidak ada kemampuan melihat dirinya di bawah terang Firman Tuhan, mereka terus bertanya kepada Yesus.
Akhirnya Yesus bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka; mereka ini tidak juga mengerti gestur Yesus tadi, sampai Yesus harus memakai kalimat. Mungkin kita juga berada dalam kategori yang sama di dalam kebebalan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini, yang membuat Yesus sampai mengeluarkan kalimat karena gestur saja –yang seharusnya cukup– itu tidak cukup. Ilustrasi sederhana, kalau kita punya sahabat baik, atau sebagai suami istri, kita bisa membaca gestur orang itu karena kita sudah sangat mengenal dia; dengan melihat gesturnya sedikit saja, kita langsung mengerti dia senang atau tidak senang, sementara orang lain mungkin tidak peka karena tidak terlalu mengenal. Di sini mereka tidak mengerti gestur Yesus, berarti mereka memang tidak mengenal Dia. Mereka jauh dari Tuhan, sampai gesturnya Tuhan mereka tidak mengerti; Tuhan sedang memalingkan wajah-Nya, tidak sadar. Gereja yang diberkati Tuhan peka akan gesturnya Tuhan. Sedangkan Gereja yang tidak diberkati Tuhan tidak mengerti gesturnya Tuhan, sudah salah masih tidak mengerti.
Tapi kita “bersyukur” ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini bebal sehingga Yesus mengeluarkan kalimat, dan karena itu kita menjadi jelas maksud-Nya. Itu menunjukkan bahwa kita ini tidak jauh beda bebalnya dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Seandainya Alkitab hanya mengatakan ‘Yesus membungkuk dan menulis dengan jari-Nya di tanah, lalu tiba-tiba mereka satu per satu menjatuhkan batu dan pergi’, maka kita bingung mengapa bisa begitu, karena kita bebal, dan mereka yang sensitif. Tapi yang dicatat di sini, mereka akhirnya mendapat perkataan dari Yesus (ayat 7): "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Ternyata ini maksudnya Yesus membungkuk dan menulis di tanah –‘ini bukan cuma tentang perempuan itu tapi juga tentang kamu; waktu Taurat menyatakan condemn, itu bukan cuma terhadap perempuan ini, tapi juga terhadap kamu, buktinya kamu tidak ada belas kasihan, sedangkan Taurat bicara tentang belas kasihan, Taurat mengatur soal pengampunan dosa, dst.,’
Saudara perhatikan cara Yesus menyelesaikan persoalan keadilan. Ada orang yang suka mempertanyakan keadilan dan kebenaran, yang secara fenomenal kelihatan seperti cinta Tuhan, sangat memperhatikan isu keadilan, kebenaran, dsb., tapi Alkitab membongkar, sebetulnya mereka adalah orang yang kanak-kanak dan tidak dewasa, yang tidak tahu berbelas kasihan. Ada perbedaan antara kompromi dan toleransi. Waktu saya melihat kelemahannya orang lain dan saya kompromi, istilah ini langsung konotasinya negatif (ditambah lagi ‘di dalam Reformed kita diajar tidak boleh kompromi, maka setiap kesalahan orang kita koreksi sedetail-detailnya!’). Namun ada hal-hal yang kita sebut dalam istilah ‘toleransi’. Toleransi itu bukan karena kita bodoh, naif, tidak tahu kelemahannya orang lain, melainkan karena kita punya toleransi.
Kalau Saudara punya anak dan dia berbuat salah, misalnya menjatuhkan gelas sehingga airnya tumpah, basah, dsb., kadang-kadang kita marah, kadang-kadang tidak perlu marah tapi toleransi saja. Waktu kita toleransi terhadap kesalahannya anak-anak, bukan berarti kita sedang menyetujui perbuatannya, ‘gak apa-apa gelas pecah, pecahin saja gelasnya. Tapi sebaliknya, orang yang selalu bilang ‘kita musti kasih tahu, kalau tidak nanti dia ‘gak mengerti itu salah’, itu orang yang menyebalkan, semua yang salah dikoreksi satu per satu, lalu bilangnya ‘kita ‘gak kompromi dengan kesalahan sekecil apapun, kita harus setia menegakkan kebenaran’. Kalau seperti itu, mungkin betul Saudara tidak kompromi, tapi Saudara juga tidak bisa toleransi. Tidak kompromi itu satu hal, tidak bisa toleransi itu hal yang lain lagi. Tidak ada belas kasihan, yang ada cuma berpikir keadilan–kebenaran–keadilan–kebenaran, menurut kategori Taurat ini adalah orang-orang yang condemned. Bagaimana mungkin mengerti Taurat cuma di dalam perspektif keadilan, justice, righteousness, tapi tidak tahu apa-apa tentang forgiveness, mercy, dsb.; itu artinya tidak mengerti Taurat.
Maka waktu Yesus mengatakan “barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu”, kalimat tersebut tidak bisa lebih jelas lagi, dan akhirnya mereka satu per satu sadar. Saya mau kaitkan ini dengan mercy/ belas kasihan. Kapan kita jadi tidak berbelas-kasihan terhadap orang lain? Yaitu waktu kita buta terhadap keberdosaan kita sendiri. Orang yang tidak ada belas kasihan adalah orang yang tidak sadar akan dosanya sendiri, sehingga waktu dia melihat kelemahan orang lain, dia selalu mau membereskan itu. Dia selalu merasa ‘ini harus dirapikan, kekudusan Tuhan harus ditegakkan’ karena dia sendiri tidak melihat berapa besar kelemahan yang ada pada dirinya sendiri, yang dilihat selalu dosanya orang lain. Dia lalu berkata atas nama keadilan, kebenaran, tapi bagaimana dengan belas kasihan?? Yang lebih kacau lagi, waktu kita bicara toleransi, bicara belas kasihan, masih juga ditanggapi ‘tapi kita ‘kan ‘gak boleh kompromi’ –itu orang yang tidak bisa dikasih tahu.
Memang kita tidak boleh kompromi, Yesus di atas kayu salib juga tidak berkompromi atas dosa. Keadilan Allah tetap dipuaskan di sana. Tapi di dalam salib kita juga bicara tentang belas kasihan Allah. Kalau kita tidak mengerti ini di dalam Kekristenan, kita sebetulnya tidak mengenal Tuhan. Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang mencintai keadilan. Tapi righteousness itu bukan saja tidak berbenturan dengan mercy atau “paradoks” dengan mercy, justru di dalam Alkitab righteousness itu pada dasarnya adalah mercy. Allah kita adalah Allah yang adil, maksudnya yaitu Allah yang bergaul juga dengan orang berdosa, bukan cuma dengan kelompok elit. Itulah artinya adil. Kalau saya mengaku orang yang adil, tapi kenyataannya saya dikuasai oleh parsialitas, cuma bergaul dengan orang-orang tertentu saja, berarti saya bukan orang yang adil. Yesus itu adil karena Dia bergaul dengan semuanya. Dia bergaul dengan ahli Taurat. Dia bergaul dengan orang Farisi. Dia menerima Nikodemus, tapi juga menerima pelacur dan pemungut cukai. Adil berarti untuk semua orang. Waktu ada kelompok orang berdosa dan Yesus menerima mereka, itu tidak mungkin tanpa belas kasihan. Maka waktu kita bicara keadilan, itu tidak bisa dimengerti tanpa belas kasihan.
Kita tidak bisa mengerti divine righteousness without divine mercy. Kalau kita mengerti righteousness without mercy, itu pasti bukan divine righteousness, melainkan keadilan manusia yang kejam. Persis seperti dalam cerita ini, mereka bawa-bawa Taurat, “Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian”, maka Yesus mengoreksi, ‘ini bukan righteousness yang asli, karena righteousness yang asli tidak bisa dipisahkan dari belas kasihan; kamu tidak ada belas kasihan, pasti kamu tidak bisa mengerti artinya keadilan Tuhan’.
Dari kehidupan Yesus ini, kita bisa banyak belajar. Dalam cerita ini, mereka akhirnya satu per satu meninggalkan Yesus, mulai dari yang paling tua sampai yang termuda. Kalau kita baca dari perspektif tentang ahli Taurat dan orang Farisi, Alkitab berhenti di sini. Sampai di sini memang mereka akhirnya sadar bahwa mereka orang berdosa, tapi kemudian mereka meninggalkan Yesus. Kita tidak tahu apakah mereka akhirnya mengerti belas kasihan Allah yang akan dinyatakan oleh Yesus atau tidak, karena mereka sudah meninggalkan. Sedangkan di bagian akhir perikop ini Yesus berkata: “Akupun tidak menghukum engkau” –‘engkau’ dalam bentuk singular. Seandainya orang-orang banyak tadi masih ada di situ, mungkin ‘engkau’ di sini bisa plural. Tapi kenyataannya orang-orang banyak ini sudah meninggalkan Yesus. Saya percaya, the mercy of God sebenarnya juga untuk mereka. Seperti dalam cerita “Anak yang Hilang”, the mercy of God bukan cuma bagi si anak bungsu yang tadinya berfoya-foya, tapi the mercy of God juga menjemput si anak sulung yang tidak mau masuk, yang ada di luar itu. Tapi dalam akhir cerita perumpamaan tersebut, kita tidak membaca adanya tanggapan dari si anak sulung. Ceritanya berhenti sampai pada bapa yang siap merangkul, tidak ada catatan si anak sulung akhirnya mau dirangkul dan kembali kepada bapanya lalu ikut pesta bersama adik bungsu yang kembali ke rumah. Di dalam bagian ini, saya percaya, Yesus juga bisa memperluas the divine mercy kepada orang-orang yang juga condemned by Torah bukan karena berzinah tapi karena tidak ada belas kasihan ini.
Tapi yang kita baca di ayat 9: “…pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua”. Sedih sekali. Mereka pergi seorang demi seorang. Mereka seperti tetap mempertahankan konsep keadilan sementara mereka juga tahu sudah mentok –ternyata saya sendiri juga tidak adil, terkutuk—tapi mereka tidak ada pengalaman mendengar kalimat Yesus “Aku pun tidak menghukum engkau”. Sebelumnya dikatakan "barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu”, itu berarti mereka sendiri juga berdosa, dan orang berdosa perlu belas kasihan, perlu pengampunan. Tapi sebelum berita pengampunan keluar dari mulut Yesus, mereka sudah pergi lebih dahulu. Dan kita tidak tahu bagaimana nasib mereka.
Kemudian waktu Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya, Yesus bangkit berdiri dan berkata: "Hai perempuan, di manakah mereka?” Pertanyaan sederhana, tapi menarik untuk kita renungkan. Perempuan ini tentunya dalam keadaan tertekan oleh orang-orang yang tidak berbelas-kasihan itu, sama seperti kita juga tertekan oleh dunia yang tidak berbelas-kasihan, yang banyak tuntutannya, yang selalu menekan kita dengan berbagai hal yang bukan-bukan, dengan konsep ketidak-adilan yang dikatakan sebagai keadilan, dst. dst. Lalu Yesus tanya, “di manakah mereka?” Orang-orang ini sudah tidak ada. Yang ada cuma perempuan ini dan Tuhan Yesus. Kita tidak mengerti bagian ini, kalau dalam kehidupan kita tidak menerima release seperti ini. Kalau waktu Tuhan tanya ‘di manakah mereka’, kita masih jawab ‘mereka ada di sini, di situ, mengepung saya, satunya menginjak kepala, satunya menyalahkan, satunya menghakimi, saya ini korban, dsb. dsb.’, berarti mereka masih di situ, masih mengelilingi kita. Dunia ini berusaha menghukum kita, memberikan kepada kita tekanan yang bukan-bukan. Tapi kemudian Yesus tanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?"
Kalau Saudara baca secara kritis, seakan-akan tadi kita mengatakan bahwa mereka pergi itu sesuatu yang salah, tidak seharusnya pergi, tapi mengapa sekarang dalam hal ini jadi positif? Karena kita membacanya dari perspektif si perempuan, bukan dari perspektif mereka. Dalam kehidupan kita, kita seringkali terlalu aware/ conscious/ sadar dengan manusia yang ada di sekeliling kita yang memberikan tekanan, dan bukan dengan tuntutan Tuhan. Kita tidak bisa hidup stabil kalau seperti ini. Maka Yesus menanyakan kalimat ini, "hai perempuan, di manakah mereka?” Pengampunan dosa itu bukan urusan horisontal. Ini bukan pemberesan tekanan masyarakat kepada saya sebagai individu, ini adalah urusan saya dengan Tuhan. Dan jawab perempuan itu: "Tidak ada, Tuhan." Ini satu-satunya kalimat yang keluar dari mulut si perempuan –‘tidak ada, Tuhan, tidak ada manusia lagi di sini, yang ada cuma Tuhan, cuma Yesus’. Saudara lihat pembebasan ini.
Lalu Yesus mengatakan kalimat: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." Ada penafsir yang mengatakan seperti ini: biasanya kita belajar dari prinsip Firman Tuhan, bahwa pengampunan dosa itu didahului oleh pertobatan, tidak ada pengampunan dosa tanpa pertobatan; tapi di bagian ini, tidak ada catatan perempuan ini mengatakan kalimat pertobatan; seperti cuma satu sisi yaitu Tuhan yang mengumumkan anugerah. Lalu apakah ini satu perkecualian? Atau jangan-jangan teologi sistematika kita yang keliru dan perlu dikoreksi? Saya percaya tidak begitu, polanya tetap, pertobatan kemudian pengampunan dosa. Pengampunan dosa tidak diberikan kepada orang yang tidak bertobat. Tapi mengapa di sini Yesus bahkan tidak menantang perempuan ini untuk bertobat, tidak ada calling, yang ada cuma pemberitaan anugerah?
Kita seringkali begitu paranoia kalau tidak tantang orang bertobat, nanti mereka tidak bertobat, jadinya anugerah murahan. Jika seperti ini, berarti Yesus tidak lulus dalam penginjilan-Nya. Mungkin kita yang perlu rendah hati belajar dari penginjilannya Yesus, bukannya kita yang mengajar Yesus penginjilan yang benar menurut cara kita. Kita ini banyak sekali yang masih harus dikoreksi, diperkaya dalam pengertian yang lebih limpah tentang Firman Tuhan, tentang bagaimana Yesus memberitakan Injil. Ada orang-orang yang sudah tahu dirinya orang berdosa, yang menjijikkan, dan mereka cuma perlu penerimaan saja, tidak perlu dikoreksi lagi. Cukup Saudara peluk, dan mereka akan menangis bertobat. Tapi dasar kita ini terlalu kaku berpikirnya, orang sudah siap untuk bertobat lalu kita marah-marah suruh dia bertobat, akhirnya malah tidak jadi bertobat karena terlalu discourage. Contoh sederhana, kalau anak kita sudah mati-matian belajar, sudah melakukan yang terbaik, sampai tidurnya kurang, dsb. lalu Saudara masih bilang “kamu harus belajar baik-baik, hidup ini penuh kesulitan!”, bisa jadi besok dia bunuh diri. Anak yang sudah seperti ini, Saudara harusnya peluk dia, bilang “tidurlah, sudah cukup”. Tapi kalau anak malas, tidak bertanggung-jawab, lalu Saudara peluk-peluk suruh tidur saja, ya, habislah masa depannya; Saudara harusnya bilang “kamu musti belajar, kamu tidur terlalu lama, ayo belajar!”
Cara Yesus bicara dengan ahli Taurat dan orang Farisi pun berbeda-beda. Tapi kalau kita boleh melihat secara umum, biasanya Yesus keras terhadap mereka karena ini kelompok orang-orang bebal. Sedangkan kepada perempuan ini, Yesus tidak bicara, “Hai kamu pezinah! Bertobatlah dari dosa zinahmu!” Mengapa tidak ada kalimat seperti itu? Apakah Yesus sedang kompromi dengan dosa perzinahan? Tidak. Yesus sangat peka, sangat mengenal siapa yang dilayani. Yesus sangat mengenal mereka karena cinta. Yesus tahu bahwa untuk orang-orang seperti ini, yang dibutuhkan bukan penghakiman tapi belas kasihan Tuhan. Sementara orang-orang yang berbicara “keadilan, keadilan”, satu per satu pergi. Mereka ini orang-orang yang tidak mengerti belas kasihan, bahkan sampai saat terakhir pun tidak mengerti, padahal mereka sangat membutuhkan belas kasihan. Mereka ketinggalan.
Kepada perempuan ini Yesus mengatakan: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." Perkataan ‘jangan berbuat dosa lagi’ bukannya tidak ada, tetap ada tapi di bagian belakang. Yesus tidak mengatakan “Ayo, mau bertobat ‘gak? Kalau bertobat, Saya ampuni, kalau tidak bertobat, Saya tidak ampuni”. Inilah unconditional love of God, berita anugerah. Tapi bukan anugerah yang murahan. Waktu kita dibebaskan dari dosa, Tuhan mau supaya kita masuk ke dalam hidup yang baru. Ini bukan kompromi dosa, maka istilah ‘kompromi’ tidak pernah tepat. Waktu Yesus menerima perempuan ini, kuasa penerimaan itu, pelukan itu, menghasilkan pertobatan. Perempuan ini, karena dia sudah menerima kuasa penerimaan, belas kasihan, anugerah yang dari Tuhan, dia diberikan kalimat “sekarang kamu pergilah”. Ini ‘pergi’ yang terakhir, pergi yang released. Mereka tadi juga pergi satu per satu, sama-sama pergi, tapi lain artinya. Ada orang yang pergi setelah encounter belas kasihan Tuhan. Ada yang pergi tanpa encounter belas kasihan Tuhan –inilah orang-orang yang hilang.
Waktu Saudara keluar dari gereja ini, Saudara pergi dengan mengerti dan membawa damai sejahtera serta belas kasihan Tuhan, atau Saudara pergi tanpa itu? Yesus mengatakan kepada perempuan ini: “Akupun tidak menghukum engkau.” Kita ini semuanya berdosa, semuanya perlu dihukum Tuhan, lalu kemudian Yesus mengatakan ‘pergilah’, maksudnya ‘beritakanlah’. Beritakan apa? Pengampunan Tuhan, belas kasihan Tuhan. Kita tidak usah terlalu banyak bicara keadilan, karena kita lumayan mengerti keadilan; yang kita tidak terlalu mengerti adalah belas kasihan. Kita tidak usah takut kebablasan belas kasihan lalu akhirnya jadi orang yang tidak adil –itu mungkin cuma alasan–, tapi seringkali yang kebablasan adalah kebablasan bicara keadilan yang akhirnya sama sekali tidak mengerti tentang belas kasihan.
Waktu Yesus mengatakan “jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”, belas kasihan itu diberikan kepada kita supaya kita bisa bebas dari dosa, karena orang yang hidup di dalam dosa itu menghambat pengalaman dia akan the mercy of God. Kalau kita pikir Tuhan selalu penuh cinta kasih, selalu menerima keberdosaan kita, dst., dst., dan akhirnya kita terus dalam keadaan mencintai dosa, berarti Saudara salah mengerti Kekristenan. Itu bukan Kekristenan. Dalam Kekristenan ada pertobatan, pertobatan yang kuasanya berasal dari kehidupan yang diampuni oleh Tuhan.
Dalam kehidupan Gereja, kita belajar menjadi Gereja yang mengampuni, komunitas yang saling mengampuni, bukan komunitas yang menuntut orang bertobat. Memang pertobatan perlu, tapi bagian ini mengajarkan forgiveness of sins. Dan dengan penerimaan itu, perempuan ini cuma menjawab: “Tidak ada Tuhan” –tidak ada lagi yang menekan saya, tidak ada yang accuse saya, tidak ada yang condemn saya, mereka semua sudah pergi. Lalu di situ Yesus mengatakan berita anugerah, yang mengisi keseluruhan hidup perempuan ini. Alkitab memang tidak mencatat bagaimana kehidupannya setelah itu, tapi kita boleh berasumsi –juga karena Alkitab tidak mencatat ‘dia berbuat dosa lagi’—bahwa perempuan ini betul-betul mengalami pertobatan yang sejati, karena bagian ini ditutup dengan berita anugerah tadi. [Kalau kita bandingkan dengan kisah pemuda kaya yang dipanggil untuk menjual semua hartanya lalu mengikut Yesus, Alkitab menutup dengan catatan bahwa dia menolak, sehingga kita boleh mengasumsikan dia binasa].
Apa yang kita –Gereja– bisa pelajari dari cerita ini? Kuasa belas kasihan yang membawa orang kepada pertobatan sejati.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading