Hari ini kita merenungkan topik tentang Perjamuan Kudus. Kita sudah pernah membahas bagian ini dari konteks Korintus; hari ini kita mempelajarinya menurut yang kita terima dalam warisan tradisi teologi, yaitu dari pemikiran Yohanes Calvin.
Ada banyak ayat dalam Firman Tuhan yang berkaitan dengan Perjamuan Kudus; salah satu yang sangat penting adalah dari tradisi Injil Yohanes, lalu di bagian ini tradisi Paulus, dan juga dari kitab-kitab Injil. Hari ini saya ingin membagikan yang dipelajari Calvin tentang Perjamuan Kudus, yang kita percaya merupakan prinsip kebenaran Firman Tuhan.
YANG PERTAMA. Waktu Calvin membahas tentang Perjamuan Kudus/Secret Supper of Christ/ Lord’s Supper (Buku 4, Bab 17), dia menjelaskan kaitan antara sign (tanda/lambang) dan thing (yang ditunjuk oleh tanda/lambang itu). Tuhan memberikan kepada kita ‘tanda’ di dalam dunia yang kelihatan, yang betul-betul kita bisa raba, kita bisa kecap, kita bisa nikmati secara fisik, dan itu menujuk kepada yang tidak kelihatan. Dua realm ini sama-sama real, baik realm dunia yang kelihatan (visible) maupun yang tidak kelihatan (invisible).
Kalau kita menganut pandangan Materialism, Naturalism, Physicalism, dsb., kita akan berpikir bahwa dunia yang kelihatanlah yang real –setidaknya lebih real —dan yang tidak kelihatan adalah dunia yang tidak real. Sebaliknya, orang-orang Platonic, Neo Platonic, justru menganggap yang lebih real adalah yang tidak kelihatan, sementara yang kelihatan cuma bayang-bayang. Dua-duanya pengajaran yang kacau, tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Menurut Firman Tuhan, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, itu real. Kalau kita cenderung menekankan yang tidak kelihatanlah yang lebih real, berarti kita lebih ke arah Neo Platonic; kalau kita cenderung menekankan bahwa yang kelihatanlah yang lebih real, berarti kita penganut Materialism, Naturalism, dsb. Di dalam konteks ini, waktu kita membicarakan tentang ‘tanda/lambang’ dan ‘yang ditunjuk oleh tanda’, tanda ada di dalam dunia yang kelihatan, dan yang ditunjuk ada di dalam dunia yang tidak kelihatan; dan dua-duanya real.
Waktu Calvin menjelaskan bagian ini, dia membicarakan identitas kita sebagai anak-anak Allah –anggota keluarga Allah– yang perlu dipelihara, diberikan makanan, dibesarkan (nourished) dalam aspek spiritual, seperti juga di dalam kehidupan fisik dunia yang kelihatan. Keduanya sama penting dan sama realnya. Kalau kita tidak mengerti bagian ini, berarti spiritual appetite ataupun kesadaran spiritual kita kurang dalam hal ini. Dan bukan kebetulan, di dalam Perjamuan Kudus betul-betul ada makanan dan minuman, karena di dalam dunia yang kelihatan kita dipelihara dengan makanan dan minuman. Kita perlu makanan dan minuman untuk tubuh, kita juga perlu makanan dan minuman untuk jiwa. Itu sebabnya roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus merupakan nourishment; dalam hal ini yang ditunjuk oleh tanda tersebut adalah spiritual nourishment.
Calvin juga mengatakan bahwa metafornya bicara tentang pesta. Dalam praktek gereja kita, roti dan anggur ini dibagikan –mungkin yang paling dekat dengan praktek ini adalah waktu Yesus memberi makan 5000 orang. Tapi ada juga gereja yang prakteknya dengan cara jemaat maju ke depan dan menerimanya dengan berdiri atau berlutut, dalam pengertian menerima undangan sehingga lebih ada perasaan table fellowship; sedangkan di gereja kita, yang maju ke depan diwakilkan penatua dan diaken. Bagaimanapun, gambaran ini –gambaran pesta, jamuan makan—sangat kuat dalam Perjamuan Kudus.
Tanda pertama yang dibuat Yesus dalam catatan Yohanes adalah mujizat di Kana. Di situ setting-nya pesta; dan itu bukan tentang pestanya kedua orang tersebut –Yohanes tidak tertarik menulis siapa nama mereka. Saya pernah melayani satu pernikahan yang salah satu dari pasangan tersebut bukan orang Indonesia, dan menurut budaya di negaranya, dalam pernikahan ada satu adegan pengantin sembah sujud kepada orangtuanya. Kita tidak melakukan itu di GRII karena orangtua bukan pusatnya kebaktian; pusatnya kebaktian di gereja kita selalu adalah Tuhan, bukan yang menikah, bukan juga orangtua, betapapun mereka sangat berjasa dalam membesarkan kita. Kalau kita melakukan sembah sujud kepada orangtua dalam kebaktian, itu akan mendistraksi, dan pusat dari kebaktian bisa bergeser. Dalam pernikahan memang tidak gampang untuk center kita tidak bergeser. Biasanya orang yang menikah menjadi tuan rumah yang mengundang; tapi yang menarik dalam pernikahan di Kana ini, ketika Yesus masuk, Dia langsung jadi Tuan rumahnya, dan langsung yang menikah jadi tamunya, karena mereka tidak bisa menjamu bukan saja Yesus tapi juga undangan yang lain. Yesuslah yang akhirnya menjamu mereka dengan anggur yang Dia berikan, sedangkan anggur mereka habis.
Dengan referensi cerita ini, yang saya mau katakan adalah ini mujizat yang pertama Yesus menginisiasi datangnya Kerajaan Allah, tanda yang pertama bahwa Kerajaan Allah sudah datang –dan gambaran yang dipakai adalah gambaran pesta. Gambaran yang dipakai bukan gambaran puasa di padang gurun, melainkan gambaran pesta. Kedatangan Kerajaan Allah itu gambarannya adalah feast, banquette, celebration (pesta, jamuan makan, perayaan).
Dalam spiritualitas Reformed, Saudara cukup akrab dengan tradisi spiritualitas yang menekankan penyangkalan diri, asketisme, dst., tapi di bagian ini kita melihat gambaran tentang pesta, tentang spiritual banquette. Hal ini penting untuk kita garap lagi dalam spiritualitas Reformatoris. Kalau kita tidak ada gambaran spiritual banquette, itu akan membuat kita tertarik dengan berbagai banquette yang non spiritual. Dalam kehidupan ini, kalau seseorang tidak ada holy enjoyment, tidak ada spiritual enjoyment, dia akan terjun bebas ke carnal enjoyment (kenikmatan kedagingan), karena hal itu tidak bisa tidak ada. Menjadi manusiawi adalah untuk merayakan, menjadi manusia itu harus pesta. Saudara jarang mendengar yang seperti ini dalam spiritualitas Reformed; biasanya yang dibicarakan menyangkal diri, pikul salib. Dua-duanya betul. Tapi yang mau kita pelajari dari spiritualitas Perjamuan Kudus adalah bahwa dalam kehidupan Kristen, Yesus menginisiasi datangnya Kerajaan Allah dengan gambaran pesta.
Bukan sekedar karena kebetulan sedang ada orang menikah di Kana, lalu Yesus, Tuhan, ikut berbahagia dalam sukacitanya manusia — tafsiran yang agak humanis; ini bukan tentang pernikahan mereka, ini tentang sukacitanya Yesus. Waktu Yesus masuk, mereka ikut diundang dalam sukacitanya Yesus, bukan Yesus yang diundang dalam sukacita mereka. Sukacita mereka soalnya pas-pasan, anggurnya habis, mana bisa menjamu Yesus, mana bisa meneruskan sukacita?? Lalu Tuhan disuruh masuk dalam sukacitanya manusia, Tuhan diundang untuk masuk dalam kebahagiaannya kita?? Itu orang yang pe-de-nya luar biasa. Kalau Saudara berani mengajak Tuhan berbahagia dalam sukacitanya keluarga Saudara, itu over confidence yang keterlaluan. Tetapi yang betul adalah mereka boleh berbagian; di dalam mengundang Yesus, mereka masuk ke dalam sukacitanya Tuhan.
Perjamuan Kudus adalah pesta, yang mengantisipasi pesta eskatologis. Dalam ayat 26 yang kita baca, ada aspek eskatologis meskipun sedikit; dikatakan: “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.” Apakah setelah Dia datang lalu cease? Tidak. Setelah Dia datang, kita akan dijemput lalu masuk ke dalam perjamuan besar itu. Itu adalah eschatological supper, sebuah pesta/ perayaan, dan kita akan makan minum bersama dengan Abraham, Ishak, dan Yakub, beserta semua orang pilihan dari sepanjang sejarah dan segala tempat. Perjamuan Kudus ini adalah anitisipasinya, spiritual banquette.
Orang Reformed tidak puasa pada hari Minggu, karena hari Minggu dalam pengertian Reformed adalah pesta rohani, menghadap Tuhan. Waktu Saudara ke kebaktian, apakah itu suatu pesta bagimu? Atau justru suatu kewajiban yang boleh segera berlalu, supaya setelah ini bisa “pesta”, maksudnya makan siang, bertemu teman, ngobrol-ngobrol, main ping-pong, dsb.? Perjamuan Kudus adalah spiritual banquette; pengertian inilah yang di-share oleh Calvin. Undangan mengikut Tuhan adalah undangan ke pesta. Undangan untuk berjalan bersama dengan Tuhan adalah perjumpaan mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Saudara dan saya bukan tamu undangan, kita mempelainya. Yesus itu Sang Mempelai Laki-laki, dan kita mempelai perempuan, yang masuk ke dalam spiritual banquette.
Gambaran pesta ini sebenarnya satu potensi untuk terus digali dalam spiritualitas Reformed. Saya kuatir kalau kita cuma ada puzzle spiritualitas model asketisme –yang saya percaya bukan saja ajaran teologi Reformed tapi juga ajaran Alkitab—maka kita kehilangan puzzle pesta yang penting. Bagian ini sebenarnya sudah ditangkap, bahwa puzzle-nya tidak bisa yang model asketis saja. Kita pernah membahas tentang Yohanes Pembaptis; dia model orang yang asketis, dan orang-orang Faris tidak bisa terima, lalu Yesus bilang, “Aku datang, makan dan minum, kamu bilang pelahap.” Saudara lihat di sini ada 2 macam puzzle; Yesus tidak pernah bilang ‘Yohanes Pembaptis itu ngawur jadi asketis begitu, yang betul harusnya perayaan, pesta’. Yesus tidak pernah mengatakan kalimat seperti itu, masing-masing ada tempatnya. Yang Yesus bilang kepada orang-orang Farisi: ‘Orang asketis, lu bilang salah; sekarang model yang pesta, lu juga bilang salah. Memang kamu tidak pernah mengerti Kerajaan Allah, soalnya kamu memang di luar’. Kalau di luar, mau model apapun memang tidak bisa. Mau model “asketis”, asketisnya salah; mau model “pelahap” yang makan-makan, salah juga. Ada versi yang palsu di dalam dunia; asketis yang palsu, celebration yang palsu, yang sama-sama bukan model Alkitab.
Kalau kita membaca kehidupan Yesus Kristus dan juga Yohanes Pembaptis, di dalam Injil gambarannya bukan cuma asketis tapi juga gambaran pesta (celebration) secara spiritual. Dan saya kuatir, kalau bagian itu tidak ada maka kita cenderung mencarinya di dalam dunia yang kelihatan saja. Bukan berarti dunia yang kelihatan itu salah an sich, tapi bahwa kita jadi materialis dan naturalis akhirnya –merayakan dunia yang kelihatan tapi tidak tahu apa artinya spiritual feast. Perjamuan Kudus adalah sebuah pesta spiritual; bahkan kita bisa melebarkan bahwa ibadah juga gambaran pesta karena Tuhan hadir di tengah-tengah kita.
Poin yang lain, Yesus Kristus itulah makanan dan minuman kita. Dalam baptisan ada air yang dicurahkan atau dipercikkan, melambangkan darah Yesus Kristus yang membersihkan, Roh Kudus yang turun melahirbarukan; dan yang menyucikan bukan airnya (tandanya), melainkan darah Yesus Kristus. Sama seperti itu, waktu Perjamuan Kudus, yang sesungguhnya ditunjuk bukanlah roti dan anggur itu sendiri; roti dan anggur adalah tanda, dan yang ditunjuk dan dirayakan adalah Kristus sendiri. Kristus adalah makanan dan minuman bagi jiwa kita, direpresentasikan melalui tanda/simbol/lambang roti dan anggur. Yang mau diberitakan adalah Kristus yang mati di atas kayu salib, tubuh-Nya dan darah-Nya sungguh-sungguh makanan dan sungguh-sungguh minuman –seperti dikatakan oleh Yohanes. Yohanes memakai istilah “sungguh-sungguh” di bagian itu, sebagaimana tadi saya katakan, bahwa yang real bukan cuma dunia yang kelihatan tapi juga yang tidak kelihatan. Memang roti dan anggur itu sungguh-sungguh makanan dan sungguh-sungguh minuman, itu di dalam dunia yang kelihatan; sedangkan di dalam dunia yang tidak kelihatan, tubuh Kristus dan darah Kristus sungguh-sungguh makanan dan sungguh-sungguh minuman bagi jiwa kita.
Mungkin poin paling penting yang ditekankan dalam pembahasan Calvin mengenai Lord’s Supper adalah tentang union with Christ. Ini adalah buah yang khusus di dalam Perjamuan Kudus, menurut Calvin. Tradisi ini bukan orisinal dari Calvin; hampir semua teolog yang Alkitabiah akan mengajarkan gambaran seperti ini. Gambaran/ilustrasi/metafor Perjamuan Kudus dalam Alkitab sebetulnya limpah, bukan cuma satu macam, bukan cuma spiritual banquette.
Dalam tulisan Paulus di Roma 6: 2-4 dikatakan: “Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya? Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis, dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan, dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.” Di bagian ini, dalam sakramen Baptisan gambaran/metafor yang dipakai adalah kematian bersama dengan Kristus, yang sebetulnya juga merupakan metafor yang bisa dipakai dalam Lord’s Supper, yaitu being one body with Christ. Kita ini dicangkokkan, menjadi satu tubuh dengan Kristus melalui iman –bukan tanpa iman—di dalam belas kasihan dan kedaulatan Allah. Apa artinya? Sama seperti anggur yang kita minum masuk dan menjadi satu dalam kehidupan kita, demikian juga waktu darah Yesus Kristus kita minum dalam pengertian rohani, maka kehidupan-Nya mengalir di dalam kehidupan kita, dan termasuk juga kuasa kematian, bukan cuma kuasa kebangkitan.
Sama seperti kehidupan Yesus yang tekun memikul salib adalah suatu kehidupan “the art of dying” –ini paradoks– kita percaya dari ajaran Alkitab bahwa orang yang mengerti the art of dying itulah yang betul-betul mengerti the art of living. Orang yang tidak mau belajar the art of dying, yang tahunya cuma the art of living –bagaimana hidup dengan berbagai macam fasilitas, menikmati segala yang terbaik dalam hidup, dsb.—dia itu sebetulnya yang truly dying. Sedangkan yang menjalankan the art of dying, dialah yang truly living. Yesus, selama berada dalam dunia, Dia menghidupi the art of dying; maka waktu dalam Perjamuan Kudus kita minum darah-Nya secara spiritual, kehidupan kita juga seharusnya dikuasai oleh the art of dying seperti Kristus. Jadi ada kemiripan di sini, baik dalam Perjamuan Kudus maupun dalam Baptisan, sebagaimana dicatat dalam Roma pasal 6 yaitu become one body with Christ.
Ini gambaran yang paradoks; di satu sisi ada gambaran partisipasi dalam penderitaan dan kematian Kristus, di sisi lain ada gambaran spiritual banquette. Dan ini tidak berbenturan menurut Alkitab. Kita seringkali pikirannya one-sided, kalau pesta, ya, pesta, tidak ada penderitaaannya, kalau penderitaan, ya, penderitaan; penderitaan bukan pesta, pesta bukan penderitaan. Tapi menariknya, dalam Perjamuan Kudus bisa dibilang pesta tapi juga persekutuan dengan penderitaan Kristus; persekutuan di dalam kebangkitan Kristus tapi juga persekutuan di dalam penderitaan Kristus –seperti dikatakan Roma 6 tentang baptisan.
Mengenai union with Christ, beberapa pakar Teologi Calvin setuju bahwa salah satu yang sangat cocok sebagai pusat dari Teologi Calvin adalah “Union with Christ” ini (Unio cum Christo). Jadi, di dalam perspektif ini, semua yang diajarkan Calvin arahnya menuju ke sana, yaitu mystic union with Christ.
Waktu kita bicara tentang kekayaan, bagi saya, kita tidak bisa bicara tentang kekayaan tanpa Kristus. Saya tidak tertarik membicarakan kekayaan hanya dalam pengertian kita harus jadi orang yang murah hati –tidak perlu jadi Kristen untuk jadi orang yang murah hati, bisa belajar di luar saja– apalagi untuk men-justify kepelitan kita, bahwa ‘saya musti hemat alias pelit’ itu. Waktu bicara tentang kekayaan, kita sebetulnya bicara tentang Kristus. Kekayaan itu sebetulnya adalah Kristus. Dalam pengertian Paulus, waktu mendapatkan Kristus, yang lain jadi seperti sampah. Kalau kita bertumbuh, perkataan yang kedengarannya radikal ini harusnya Saudara bisa amin-kan, bukan secara munafik, tapi secara tulus –“kalau saya sudah mendapatkan Kristus, yang lain itu benar-benar tidak menarik”. Fakta bahwa kita masih tertarik uang, pujian, penerimaan, diprofil bagus oleh orang lain, dan ini, dan itu, menunjukkan kita ini sebetulnya ada encounter dengan Kristus atau tidak? Jangan-jangan itu bukan Kristus; karena waktu kita berjumpa dengan Kristus yang asli, kita akan seperti Paulus yang berubah. Sejak peristiwa perjumpaannya dengan Kristus di Damaskus, kehidupan Paulus secara radikal berubah; karena waktu Kristus menampakkan diri, itu akan mengubah semuanya, semua yang lain langsung lengser. Paulus bilang “yang lain semua itu sampah”. Kita musti bertumbuh ke arah sana. Bukan cuma dalam pengertian bagaimana dealing dengan kekayaan, tapi juga bagaimana dealing dengan problem, kesulitan hidup. Yang bisa jadi berhala bukan cuma kekayaan; kalau kita tidak hati-hati, kesulitan hidup kita juga bisa jadi tuhan. Kalau kita kembali ke perkataan Paulus, bukan cuma kekayaan yang sampah, tapi kesulitan hidup pun sampah jika dibandingkan dengan Kristus. Fakta bahwa kita tidak bisa juga keluar dari kesulitan hidup, menunjukkan sebenarnya kita sudah berjumpa dengan Kristus atau belum. Kalau Kristus datang, kita tidak tertarik lagi, bukan cuma dengan kekayaan, tapi juga dengan persoalan kerumitan hidup. Dalam konseling, saya ingin orang itu bukan menyeret saya untuk kagum betapa sulitnya dia; yang seharusnya terjadi dalam konseling, orang ini bisa tertarik kepada Kristus dan melihat persoalannya tidak ada apa-apanya dibandingkan keindahan yang ada pada Kristus. Itulah konseling. Paulus bilang semuanya sampah; yang rumit kehilangan kerumitannya, yang atraktif kehilangan daya tariknya, semua kehilangan kepentingannya karena posisinya digantikan oleh Kristus. Itu sebabnya Perjamuan Kudus merupakan satu sakramen yang sangat memberkati dalam kehidupan orang percaya, adalah karena dalam Perjamuan Kudus kita dipersatukan dengan Kristus, melihat visi kemuliaan Kristus, menjadi satu tubuh dengan Kristus.
Ini bukan cuma secara pengertian, tapi termasuk juga aspek pengalaman. Sangat tidak mungkin bicara union with Christ hanya dalam aspek pengertian. Menderita bersama Kristus, itu sangat melibatkan pengalaman, tidak bisa tanpa pengalaman. Ini bukan pengetahuan ensiklopedia tentang apa artinya penderitaan bersama dengan Kristus, apa artinya penderitaan, Kristus menderita seperti apa, dsb. Bukan itu. Pengetahuan boleh saja, tapi bagaimana kita bisa mengerti hal menjadi satu dengan Kristus dalam persekutuan dengan penderitaan-Nya, kalu kita sendiri tidak mengalami penderitaan karena nama Tuhan?? Tidak bisa dibayangkan.
Jadi mengenai union with Christ, selain dalam aspek pengertian, kita juga menekankan aspek pengalaman. Ada satu artikel yang khusus membahas pentingnya pengalaman di dalam teologi Calvin. Mungkin ini bukan sesuatu yang favorit dalam Teologi Reformed, yang biasanya bicara tentang doktrin, pengetahuan, dsb. , tapi penulis artikel ini berhasil menunjukkan bahwa dalam pemikiran Calvin, pengalaman amat sangat penting. Salah satunya, adalah tidak mungkin bicara union with Christ tanpa pengalaman, karena ini bukan bicara soal mistik dalam pengertian abstrak semacam menghayati lalu membayangkan Yesus di dalam hati, dsb. Ini bukan soal imajinasi. Kalau cuma imajinasi, jadi tidak ada bedanya dengan kepercayaan tertentu; sebaliknya, ini real union with Christ.
Berikutnya, Calvin mengambil konsep yang terkenal dari Luther, yang disebut “wonderful exchange”; atau kadang-kadang Luther memakai istilah “happy exchange” (pertukaran yang bahagia); yang kalau diterjemahkan secara interlinear literal dari bahasa Latin-nya sebenarnya memakai istilah “miraculous exchange”, maksudnya pertukaran yang ajaib, pertukaran yang mujizat. Apanya yang wonderful/miraculous?
Yang pertama, dengan Kristus menjadi Son of Man with us, maka Dia membuat kita jadi sons of God with Him. Atau dalam kosakatanya Bapa Gereja Athanasius (Eastern Orthodox), “Allah itu menjadi Manusia, supaya manusia bisa menjadi allah”; sementara dalam kosakata kita –kosakata Calvin– ditambahkan “Anak” (Anak Allah). Yesus Kristus menjadi Manusia/Anak Manusia, lalu melalui inkarnasi itu kita dijadikan anak-anak Allah. Ada happy exchange di sini.
Yang kedua, dengan turunnya Yesus ke bawah, Dia mempersiapkan kita untuk boleh naik ke atas (ascend to heaven). Ini poin penting sekali dalam teologi The Lord’s Supper-nya Calvin, merupakan doktrin mystical ascent di dalam Perjamuan Kudus. Dan ini merupakan happy exchange, wonderful exchange, miraculous exchange. Yesus itu inkarnasi, dari surga Dia turun ke bawah, supaya kita yang dibawah ini kelak bisa diangkat ke surga. Dalam hal ini kita mengerti bahwa pemenuhannya yang sempurna adalah nanti (eskatologis), tapi yang mau diajarkan Calvin adalah waktu kita Perjamuan Kudus di sini dan sekarang, ada mystical ascent to heaven, kita diangkat ke surga sebagai cicipan kelak setelah mati kita pulang ke surga.
Zwingli hanya mengerti roti dan anggur sebagai lambang belaka, yang ditekankan hanya mengingat penderitaan Kristus melalui iman, tidak sungguh-sungguh makan dan sungguh-sungguh minum. Salah satu kritik terhadap Zwingli dari Luther –dan ini penting– bahwa dengan penggambaran yang semata-mata simbolis seperti itu, Zwingli seakan-akan menolak inkarnasi; Yesus jadi seperti tidak sungguh-sungguh inkarnasi karena murni cuma lambang saja, dan kita cuma bisa mengingat ke belakang tetapi tidak ada real presence of Christ. Kalau kita belajar dari pengertian Calvin, roti dan anggur ini sesuatu yang bersifat materi/fisik, dan ini seakan menyatakan Yesus yang inkarnasi betul-betul punya tubuh. Kita tidak mengajarkan roti dan anggur berubah substansi jadi tubuh dan darah Kristus (penjelasan menurut Roma Katolik), tetapi kita percaya dalam Perjamuan Kudus itu, sepasti kita makan roti dan minum anggur –dan itu menjadi satu dengan kita– sepasti itu juga kita makan daging dan minum darah Kristus –dan itu juga menjadi satu dengan kita. Kesatuan tersebut sama pastinya. Inilah parafrasa dari formulasi “union with Christ” yang diajarkan Calvin
Kembali kepada doktrin mystical ascent, waktu kita berbagian dalam Perjamuan Kudus, kita diangkat ke surga. Ini mengantisipasi suatu saat kita akan diangkat ke surga bersama-sama dengan Dia. Maka tidak seperti Roma Katolik atau Lutheran, dalam pemikiran Calvin waktu bicara Perjamuan Kudus bukanlah tentang bagaimana natur kehadiran Kristus di tengah-tengah kita, karena pemikirannya bukan Kristus yang ke bawah melainkan kita yang ke atas. Bukan Kristus yang ditarik ke bawah, karena Dia sudah pernah inkarnasi dan sudah naik ke surga. Dia naik ke surga, berarti sudah tidak di bumi lagi. Inilah yang ditekankan dalam Teologi Reformed, bahwa Kristus ada di surga; dan menurut kategori ranah kemanusian-Nya, Kritus tidak mahahadir, bodily presence-Nya ada di surga. Kalau kita belajar dari Chalcedon, kedua natur tersebut tidak boleh bercampur, harus tetap berbeda –manusia tetap manusia, ilahi tetap ilahi. Memang ini kesatuan pribadi, tapi dua natur ini harus tetap berbeda meskipun tidak terpisahkan. Dengan demikian, komitmen dalam Teologi Reformed adalah Yesus naik ke surga, dan Dia membawa tubuh manusia-Nya ke surga, natur manusia-Nya dipertahankan selama-lamanya di surga (bagian ini bukan cuma dipegang Teologi Reformed tapi juga Eastern Orthodox, Lutheran, Katolik). Dari perspektif ini, berarti Kristus tidak mahahadir menurut natur manusia-Nya, karena kemahahadiran bukan sifat manusia melainkan sifat Ilahi.
Dalam pemahaman ini, bukan Kristus yang ditarik ke bawah melainkan kita yang ditarik ke atas. Ini compatible coherent dengan yang kita katakan mengenai perkawinan di Kana; di situ bukan Yesus yang diundang masuk ke dalam sukacita manusia, melainkan kita yang diundang masuk ke dalam sukacita Tuhan. Saudara bukan menarik Kristus ke sini, melainkan Dia yang mengangkat kita ke sana. Eskatologi pengharapan kita adalah kita akan kembali kepada Bapa. Yesus mendahului kita kembali kepada Bapa, Dia naik ke atas; lalu kalau kita mati, kita akan kembali kepada Bapa di dalam Kristus, bersama dengan Kristus. Dengan demikian, bersama dengan Calvin, kita mengatakan bahwa di dalam Perjamuan Kudus, Saudara dan saya terangkat ke surga. Dan, ibadah yang di surga itu sama realnya dengan ibadah yang ada di dunia; bahkan kita bisa mengatakan ibadah kalau cuma di dunia tok dan tidak ada kaitannya dengan kekekalan, itu bukan ibadah Kristen.
Dalam Perjanjian Lama, konsep Bait Suci maksudnya adalah connecting point antara surga dan bumi. Tuhan ada di Bait Suci, tapi Tuhan ada di surga sedangkan Bait Suci di bumi; lalu bagaimana Tuhan bisa ada di situ? Karena Bait Suci adalah satu-satunya connecting point antara surga dan bumi, satu-satunya tempat Yahweh bisa berada di surga dan di bumi. Bait Suci dalam Perjanjian Lama diantisipasi dengan teologi tabernakel, Allah yang hadir di tengah-tengah umat-Nya. Bagian itu bahasanya dekat sekali dengan Bait Suci Salomo; waktu Musa naik ke atas gunung, di situ ada awan, demikian juga waktu Salomo meresmikan Bait Suci, di situ ada awan. Di sini motifnya dekat sekali, berarti cerita tersebut mengantisipasi cerita Bait Suci, yaitu Allah berkemah/tinggal di tengah-tengah umat-Nya. Kemudian dalam Perjanjian Baru, istilah yang dipakai dalam Injil Yohanes bahasa aslinya adalah ‘berkemah’ –Firman itu berkemah di tengah-tengah umat-Nya– ini bahasa Keluaran, maksudnya inkarnasi. Jadi kita tahu bahwa teologi Bait Suci/tabernakel, penggenapannya adalah Yesus Kristus.
Kalau kita kaitkan lagi dengan pemahaman Perjanjian Baru, kita beribadah kepada Tuhan di connecting point antara surga dan bumi, karena kita diangkat ke surga bersama-sama dengan Kristus yang ada di sana. Orang Israel waktu beribadah, mereka tahu Tuhan ada di sana; Tuhan yang “seharusnya” ada di surga dan tidak seharusnya di bumi, Dia ada di sana. Tuhan sekaligus di surga dan di bumi; mediasinya adalah Bait Suci. Dalam Perjamuan Kudus kita merayakan ini. Ini seperti suatu perayaan bahwa kita bukan beribadah secara dunia yang kelihatan, tapi juga masuk ke dalam dunia yang tidak kelihatan. Kristus ada di sini, dan Saudara melihat takhta kemuliaan-Nya. Pemahaman spiritualitas seperti ini, baik dalam Perjamuan Kudus maupun dalam ibadah, akan mengubah kehidupan kita. Dan karena itu, orang ikut Perjamuan Kudus atau tidak, itu sangat penting.
Pendeta David Tong pernah memberikan pertanyaan dalam ujian pendeta: “Apa kaitan antara Perjamuan Kudus dalam pemahaman Calvinis dengan kedaulatan Allah?” Jawabannya: itu berkaitan dengan doktrin mystical ascent; waktu orang percaya diangkat ke surga, yang mengangkat yaitu Roh Kudus, di dalam kedaulatan Tuhan; tidak semua orang diangkat, ada yang tetap di bawah. Betapa menakutkan gambaran seperti ini. Saudara jangan pikir kalau sama-sama ikut Perjamuan Kudus lalu semuanya terangkat. Tidak. Itu di dalam kedaulatan Tuhan. Dari sisi Tuhan, siapa yang diangkat ke surga adalah dalam kedaulatan Tuhan. Ada orang yang tidak ke surga, yang pikirannya tetap di Kelapa Gading; itu namanya ibadah naturalis/materialis yang tidak ada aspek spiritualnya sama sekali, lalu waktu ikut Perjamuan Kudus menganggap cuma makan roti dan anggur semata. Inilah orang naturalis/materialis yang tidak berbagian dalam makan dan minum tubuh dan darah Kristus. Orang seperti ini tidak ada iman, dan juga tidak diangkat oleh Tuhan; dia cuma makan roti minum anggur, selesai. Ini bukan Perjamuan Kudus yang kita rayakan.
Perjamuan Kudus yang kita terima dari tradisi Reformed, dan yang diajarkan dalam Alkitab, adalah kita sungguh-sungguh makan dan minum tubuh dan darah Kristus. Kalu kita tidak sungguh-sungguh makan dan minum tubuh dan darah Kristus, itu ritual kosong, boleh ada dan boleh tidak ada. Di dalam hal ini, Zwingli mengurangi frekuensinya, bisa setahun sekali atau dua kali, sedangkan Calvin ingin setiap Minggu. Tapi karena pengaruh Zwingli di Swis kuat sekali, akhirnya banyak gereja Reformed yang cuma mengadakan 3 bulan sekali, bahkan lebih. Kita bersyukur bisa 1 bulan sekali merayakan karena ini sesuatu yang penting. Tidak ada di sini yang makan sebulan sekali, tapi kalau Saudara bisa oke dengan makan secara spiritual 6 bulan sekali, apa tidak heran?? Saudara bisa kelaparan kalau ada hubungannya dengan perut jasmani tetapi tidak merasa apa-apa waktu hal itu berurusan dengan perut rohani, berarti sebetulnya kita ini punya selera rohani atau tidak?? Jadi kita ini sebetulnya ada dimensi spiritual atau semuanya cuma material?? Kalau semuanya material, berarti kita penganut Materialisme.
Pembicaraan wonderful exchange yang ketiga, Calvin mengatakan Yesus mengambil kesementaraan/kebinasaan kita, mati di atas kayu salib, lalu kita diberikan ketidakbinasaan; kematian ditukar dengan kehidupan. Dia mengambil kelemahan kita, kerapuhan dan kerentanan kita, lalu Dia memberikan kekuatan-Nya, kuasa-Nya.
Hal ini juga dihayati oleh Paulus di dalam pengertian hanya Yesus yang bisa menggantikan seperti ini, Paulus tidak ada kuasa untuk itu, Paulus bukan juruselamat. Namun dalam pengertian mystic union with Christ, Paulus juga mengatakan hal yang serupa, karena dia menjalani jalan yang sama, yaitu jalan salib, persekutuan dengan kematian Kristus. Dia mengatakan kepada jemaat Korintus: “Kami setiap hari dalam bahaya kematian, kamu menikmati kehidupan; kami menjadi miskin supaya kamu diperkaya” –semuanya lawan kata. Ini bukan teori kapitalisme yang bilang ‘saya kaya, dan puji Tuhan kamu kecipratan kaya-nya saya’. Dalam kapitalisme tidak ada “korban” –kamu kaya karena diperkaya saya, dan saya lebih kaya lagi; kalau saya tidak kaya, bagaimana saya memperkaya kamu, jadi saya harus selalu di atas kamu supaya bisa memperkaya kamu. Itu bukan Kristologi, bukan Alkitab; itu jalan kapitalisme. Jalan yang di dalam Alkitab adalah kita memperkaya orang lain dan kita miskin; kita menghadirkan kehidupan di dalam kehidupan orang lain, dan kita sendiri –seperti Paulus—di dalam bahaya kematian. Ini Kristologi.
Jadi di bagian ini Calvin mengajarkan bahwa Yesus menerima kelemahan kita, lalu Dia menguatkan orang lain; dalam hal ini orang lain itu adalah kita. Dia menjadi lemah, Dia mengambil kelemahan kita, supaya kita boleh memperoleh kekuatan. Tapi tidak berhenti di sini. Kita diundang untuk berpartisipasi dalam kehidupan Kristus. Kalau berpartisipasi dalam kehidupan Yesus, maka seperti Paulus, harusnya kita menguatkan orang lain, juga dengan kita sendiri menjadi rentan. Kita bisa menguatkan orang lain, kalau kita sendiri seperti Kristus menerima kelemahannya orang lain. Ada orang yang tidak bisa menerima kelemahannya orang lain; orang seperti itu orang yang lemah. Orang yang kuat, dia menerima kelemahannya orang lain; bahkan dia sendiri hidup rapuh dan rentan, supaya yang lain boleh menerima kekuatan. Itu yang kita pelajari di dalam Kristologi.
Dia mengambil kemiskinan kita, Dia menerima kemiskinan kita, supaya Dia bisa mentransfer kekayaan-Nya kepada kita. Yesus menjadi miskin, supaya kita, orang-orang yang miskin ini, boleh diperkaya kehidupannya.
Dia mengambil beban pelanggaran-pelanggaran kita, lalu Dia memberikan kepada kita pakaian kebenaran-Nya. Kesalahan-kesalahan kita ditimpakan kepada-Nya, lalu kebenaran-Nya diberikan-Nya kepada kita.
Waktu kita Perjamuan Kudus, saya rindu kalimat-kalimat ini bukan tetap tinggal secara eksklusif sebagai Kristologi, tentang Kristus saja. Sebetulnya ada satu ironi yang dikatakan Paulus dalam Surat Korintus; dia bilang: “Kami ini jadi hamba supaya kamu jadi raja” –kalimat anti tesis—tapi kemudian dia melanjutkan, “Oh, alangkah indahnya kalau kamu betul-betul raja, supaya kami juga bisa ikut memerintah bersama dengan kamu”. Ini kalimat yang sangat menusuk. “Kamu menikmati hidup, kita di dalam bahaya kematian setiap hari; kita dalam kemiskinan supaya kamu mendapatkan kekayaan; kita menjadi hamba supaya kamu bisa menikmati jadi raja; Oh, alangkah indahnya kalau kamu betul-betul raja, supaya kita juga bisa ikut memerintah bersama dengan kamu sebagai raja” –ini kalimat sindiran. Maksudnya Paulus mau bilang “Kapan lu turun?? Kamu terus menikmati hidup, menikmati kaya, menikmati raja, tapi kapan giliran lu turun??” Bukan berarti Paulus mengasihani diri, tapi maksudnya kapan Saudara dan saya menjadi miskin supaya orang lain diperkaya? Kapan kita yang keluar air mata supaya orang lain boleh menikmati sukacita yang sejati? Mengapa terus membuat orang lain keluar air mata supaya kita sendiri bahagia? Jadi naik kelasnya kapan? Gambaran seperti ini sampai kapan?? Itulah lamentasinya Paulus. Paulus sedang mengingatkan, bahwa kamu seharusnya sudah sejak dulu-dulu turun ke bawah, tapi kamu tidak turun-turun, kamu di atas terus, karena kamu tidak bertumbuh.
Ini satu peringatan di dalam kehidupan Saudara dan saya, kita semua. Seperti diajarkan dalam pengertian Calvin waktu dia bicara tentang Perjamuan Kudus, dia mengarahkan kita kepada Kristus. Kristus memberikan kepada kita wonderful exchange. Pertukaran itu memang pertamanya diberikan kepada kita; tapi setelah kita mendapatkan manfaat dari pertukaran itu, Saudara dan saya diundang untuk masuk dalam kehidupan Kristus, the art of dying itu, supaya orang lain menikmati kehidupan.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading