Hari ini Minggu Exaudi. Saya mengambil bahan kotbah mengikuti Kalender Gereja, dari Yeremia 31: 31-34. Janji tentang perjanjian yang baru ini tidak bisa kita pisahkan dari teriakan yang ada di dalam Mazmur 27: 7 –Exaudi—satu teriakan permintaan kepada Tuhan supaya Tuhan menolong kita.
Saya percaya, doa seperti itu akan dinaikkan dengan cara berbeda, antara waktu kita berada dalam keadaan tenang dengan waktu terhimpit. Dalam keadaan tenang, kita bukan tidak bisa berdoa minta tolong kepada Tuhan, tetap bisa juga, tapi dari kedalaman hati yang berbeda. Mendoakan Mazmur 27: 7 selagi ada bom meledak di gereja, itu jadi berbeda. Dan berbeda lagi kalau bom-nya meledak di gereja kita, dibandingkan meledak di gerejanya orang lain. Berbeda juga kalau gereja tersebut dari sinode kita, dibandingkan sinode lain. Kadang-kadang kita tidak bisa berdoa, tidak bisa mengucap syukur dengan benar, tidak bisa bergantung dengan benar, tidak bisa berteriak dengan benar, tidak bisa minta tolong dengan benar, sehingga Tuhan mengizinkan satu keadaan terjadi atas kita, orang-orang Kristen, yang menolong kita untuk bisa lebih berdoa dari dalam hati. Hal ini lebih penting daripada keamanan itu sendiri. Bisa berdoa dengan hati yang jujur, yang betul-betul bergantung kepada Tuhan, adalah lebih penting daripada keadaan aman atau tidak aman. Kita semua orang normal tentu maunya keadaan aman, tapi keadaan aman mungkin bisa melumpuhkan kehidupan doa kita. Mungkin bisa membuat kita tidak menghargai pemberian Tuhan minggu demi minggu. Mungkin membuat kita tidak mengerti apa artinya perjanjian baru yang dijanjikan Tuhan kepada umat-Nya, termasuk kepada kita semua. Yeremia 31 ayat 31 dst. yang klimaksnya di ayat 33, sangat cocok kalau kita kaitkan dengan Minggu Exaudi –Minggu teriakan minta tolong kepada Tuhan– karena janji tentang perjanjian baru yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya, itu bukan tanpa teriakan Israel yang sedang terhimpit.
Konteks bagian yang kita baca ini adalah suatu keadaan kekalahan di kerajaan Selatan. Jadi penghakiman bukan hanya untuk kerajaan Utara (kaum Israel), tapi juga kerajaan selatan (kaum Yehuda). Tetapi kalau Saudara membaca kitab Yesaya, di situ masih ada keyakinan Zion Theology, bahwa Sion tidak akan pernah runtuh, Yerusalem tidak mungkin runtuh karena adalah kota suci Allah. [Di Israel sampai sekarang masih dalam pengharapan bersama dan meratap bersama, memikirkan gambaran perjanjian baru dengan cara yang berbeda dari yang kita terima dari Firman Tuhan, karena mereka tidak mempercayai Perjanjian Baru. Mereka punya tafsiran sendiri tentang perjanjian baru menurut pemahaman imannya, suatu keadaan dibangkitkannya kembali Kerajaan Daud itu, dst.]. Saat itu kaum Yehuda sudah sama-sama terjepit seperti kaum Israel. Kalau di zaman Yesaya, mereka masih punya keyakinan bahwa kerajaan Utara memang pantas ambruk karena kawin campur, tidak menjaga kemurnian seperti diri mereka –“kita ini lebih murni, lebih taat, tidak mendirikan tempat ibadah yang baru sebagaimana mereka membangun tempat ibadah sendiri. Kita ini di Yerusalem, kota suci Allah, harusnya ‘kan terpusat di sini”. Tapi kenyataannya bukan cuma kerajaan Utara, kerajaan Selatan akhirnya hancur juga. Kehancuran, pembuangan, pengasingan itu mendahului janji Tuhan tentang perjanjian baru. Tuhan seringkali memberikan janji sewaku keadaan kita di bawah, karena waktu kita di atas dan Tuhan memberikan janji, kita menghayatinya dengan cara berbeda daripada waktu kita di dalam keadaan terpuruk di bawah.
Yeremia mengatakan bahwa akan datang waktunya –suatu pengharapan ke depan/ aspek eskatologis—bahwaTuhan mengadakan suatu perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda. Apakah perjanjian baru itu?
Yang pertama, suatu gambaran Kerajaan Allah, yang bukan cuma kerajaan Selatan dan bukan cuma kerajaan Utara. Ayat 31, “Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman TUHAN, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda”. Yeremia sendiri nabi di kerajaan Selatan, berurusan dengan kaum Yehuda. Dan dia sangat tidak populer di kaum Yehuda karena selalu mengkritik kaum Yehuda, padahal orang-orang Yehuda menghayatinya yang perlu dikritik itu kaum Israel, “mereka itu kawin campur, mendirikan tempat ibadah sendiri, the sin of Jerobeam tersebut tidak bisa diampuni; sedangkan kita ini, kerajaan Selatan, tetap memelihara Yerusalem/ Sion, kota suci Allah, kita tidak mungkin dihancurkan”. Kalau mengatakan yang buruk untuk kaum Israel, bagi kaum Yehuda tidak ada persoalan. Tapi, mengatakan yang buruk bagi kaum Yehuda juga, itu berarti nabi ini berada dalam masalah. Namun Yeremia memilih untuk tetap setia mengatakan yang Tuhan mau dia nyatakan, daripada hidup untuk menyenangkan orang-orang sebangsanya. Waktu Yeremia memberitakan firman Tuhan dari Tuhan sendiri, dikatakan bahwa Tuhan akan memberikan perjanjian baru, dan ini bukan hanya untuk kaum Yehuda tapi juga kaum Israel.
Perjanjian baru ini bicara tentang kerajaan Allah. Ini bicara tentang keluasan, bukan tentang satu bangsa, apalagi tentang gereja lokal. Waktu kita bicara perjanjian baru, kita membicarakan visi kerajaan Allah. Yeremia bukan mengatakan janji perjanjian baru untuk kaum Yehuda saja, tapi juga untuk kaum Israel, padahal dia nabi yang bertugas memberitakan Firman Tuhan untuk kaum Yehuda. Prinsip yang sama persis waktu Elia –nabi kerajaan Utara—bergumul melawan dewa-dewa Baal, dia merangkul kedua belas suku, bukan cuma 10 suku di Utara saja, padahal dia nabi kerajaan Utara bukan kerajaan Selatan.
Seorang hamba Tuhan, termasuk juga Saudara, harus memikirkan semuanya, bukan cuma memikirkan dalam komunitasnya saja. Kalau gereja ini cuma memikirkan gereja kita saja, mau bikin akrab di antara kita saja, bikin persekutuan, seminar, pemahaman Alkitab untuk kita sendiri saja supaya kita makin kuat dan makin kuat, itu berarti tidak mengerti artinya perjanjian baru. Kalau waktu melihat gereja lain, kita cuma bisa memandang rendah, berarti kita lebih mirip nabi palsu yang tidak mengerti isi hati Tuhan, bukan seperti nabi Yeremia atau Elia, dsb. Nabi-nabi ini adalah orang yang bertugas di lokal, tanggung jawabnya lokal, tapi jiwanya untuk semuanya. Di sini seperti ada tension; waktu orang mengatakan “saya jiwanya untuk semua, saya anggota gereja universal, saya anggota tubuh Kristus”, akhirnya dia tidak injak kaki ke mana-mana, tidak ada keterlibatan konkrit di dalam gereja lokal, Minggu ini ke Gereja ini, Minggu depan ke Gereja itu, dst. Di sisi lain, ada orang yang sangat terlibat di dalam gereja lokal, dan hatinya pun lokal. Paulus itu melayani di Efesus tapi hatinya bukan cuma untuk Efesus, hatinya luas untuk kerajaan Allah. Yeremia berada di Yehuda, tapi hatinya bukan cuma untuk tanah Yehuda, melainkan untuk kerajaan Allah. [Dalam hal ini, prinsip Reformed adalah progressive revelation, keselamatan itu nantinya untuk semua bangsa, tapi memang pada saat itu di dalam keterbatasan, waktu bicara kerajaan Allah yang dimaksud adalah Israel kedua belas sukunya]. Kalau Gereja mau mengerti artinya Yesus, yang melalui tubuh dan darah-Nya, mengundang kita masuk di dalam perjanjian yang baru, maka inilah poin yang pertama, yaitu jiwa yang global. Yesus itu mati di atas kayu salib untuk segala bangsa, bukan cuma untuk 1 bangsa, apalagi 1 keluarga.
Dalam bagian ini Saudara melihat pergumulan Yeremia waktu dia mengatakan kalimat janji tentang perjanjian baru. Janji tersebut, Tuhan akan mengikatnya dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, seolah-olah seperti sebelum mereka pecah dan masih menjadi satu. Tetapi, di ayat 32 kita terkejut karena Yeremia mengatakan: “… bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir”. Di sini Yahweh seperti “berpolemik” dengan diri-Nya sendiri pada masa lampau. Ini poin yang penting sekali, bahwa Tuhan itu tidak pernah back to square one (kembali ke titik awal) di dalam pekerjaan-Nya. Kita kadang-kadang salah jalan, lalu kita mundur kembali ke tempat yang sama, itu artinya back to square one. Tapi dalam pekerjaan Tuhan kita bukan kembali kepada the glorious Exodus di masa lampau, itu sudah lewat. Dulu memang ada perjanjian dengan Israel sebelum terpecah menjadi Israel dan Yehuda, yaitu kovenan untuk suatu bangsa, lalu apakah Tuhan akan kembali ke sana lagi? Tidak. Yang membawa bangsa Israel keluar dari tanah Mesir adalah Tuhan sendiri, tapi sekarang tidak akan dikembalikan kepada the glorious Exodus itu lagi. Bukan cuma Yeremia yang mengatakan ini, Yesaya pun menangkap isi hati Tuhan yang sama.
Kita ini tidak balik kepada masa lalu dengan kemuliaannya, kita bergerak ke depan. Ini pengharapan eskatologis, bukan nostalgia zaman dulu waktu masih jaya-jayanya apapun, entah itu Kekristenan, atau Gereja, atau keadaan politik yang lebih tenang, atau kebanggaan kerajaan Daud maupun Salomo, atau Musa dan perjanjian yang diikat pada zaman itu, dsb.
Dalam kitab Yesaya bahkan dikatakan, Allah berfirman kepada Yesaya, “Jangan mengingat hal-hal yang dahulu kala”, yaitu tentang Israel keluar dari tanah Mesir, berjalan di tengah-tengah laut kering yang dibelah oleh Tuhan. Itu the old Exodus, sudah lewat, jangan berharap mujizat seperti zaman itu lagi. Itu tidak akan terjadi di sini sekarang, karena Tuhan akan mendatangkan the new Exodus, bukan the old Exodus. Di kitab Yeremia yang kita baca ada kemiripan, meski penekanan Yeremia bukan the old Exodus tapi terutama the old covenant, karena Tuhan akan memberikan perjanjian yang baru. Mengapa? Karena perjanjian yang lama itu, sudah diingkari oleh Israel. Jadi di sini ada 2 kelompok –kerajaan Utara dan kerajaan Selatan—yang waktu dirangkul menjadi satu kesatuan lagi, bukan kembali kepada kejayaan masa lampau, seakan-akan ada tombol ‘reset’, atau kalau dalam komputer kita salah ketik, kita bisa tekan ‘undo’ dan kembali lagi. Di dalam Tuhan tidak ada undo, yang ada adalah Tuhan bergerak terus ke depan. Bangsa Israel ini sudah jatuh, lalu bagaimana? Tuhan jalan terus. Tuhan memulihkan. Tapi waktu memulihkan bukan berarti balik ke masa yang dulu, karena itu sudah lampau.
Mari kita belajar dalam kehidupan ini, waktu kita gagal, mengalami kesulitan, dsb., kita refleksi/ introspeksi ‘Tuhan sekarang mau bergerak ke mana?’ daripada memikirkan ‘alangkah indahnya kalau dulu saya tidak jatuh dan masih ada di sana’, karena tidak ada gunanya. Memikirkan keadaan kejayaan di masa lampau, bukanlah cara Tuhan bekerja. Dalam teologi Reformed, waktu kita membicarakan tentang penciptaan lalu manusia jatuh di dalam dosa, juga sama. Di sini ada sedikit perbedaan dengan teologi Eastern Orthodox, mereka penekanannya dipengaruhi filsafat Yunani, yaitu konsep Exitus Reditus (maksudnya: sebagaimana mulanya, lalu keluar, lalu kembali lagi ke sana) –ciptaan mula-mula indah, lalu manusia jatuh dalam dosa, maka penebusan mengembalikan kepada ciptaan yang mula-mula. Tapi teologi Reformed mengatakan bahwa setelah kita ditebus, kita tidak kembali ke ciptaan mula-mula karena ciptaan mula-mula juga belum sempurna, keadaan mula-mula itu pun bukanlah akhir. Saya sedikit saja berspekulasi, seandainya Adam tidak jatuh dalam dosa, tetap ada pengharapan eskatologis karena manusia diciptakan bukan dalam keadaan statis yang tidak perlu bergerak lagi ke depan; memang keadaannya ada banyak hal yang berbeda, tapi bukan berarti manusia sudah sempurna lalu tidak perlu berharap dan berjalan ke depan. (Pembicaraan ini sampai di sini saja karena jika diteruskan, kita jadi masuk ke dalam kesesatan karena memikirkannya secara spekulatif).
Poinnya adalah setelah kita jatuh dalam dosa bersama dengan Adam, waktu Tuhan memulihkan, Tuhan menyempurnakan kita, menebus kita, memberikan satu keadaan yang bahkan melampaui ciptaan mula-mula. Melampaui di dalam hal apa? Saya tunjukkan perbandingan sederhana ini. Adam di Taman Eden, itu suatu keadaan yang luar biasa indah, hanya ada ular yang memang harus ada untuk pengujian manusia. Dalam keadaan Taman Eden itu, Adam punya pilihan untuk taat atau tidak taat. Dalam keadaan yang begitu indah, Adam –termasuk Saudara dan saya karena kita di dalam Adam—memilih tidak taat. Setelah kita jatuh dalam dosa, lalu Kristus datang, mengeluarkan kita dari dosa, memberikan kemungkinan untuk hidup taat, untuk tidak terus hidup dalam dosa; dan setting dalam dunia ini tidak diperbaiki oleh Tuhan. Waktu Yesus datang ke dunia, mati dan bangkit, dunia ini tidak kembali lagi jadi Taman Eden, dunia tetap dalam keadaan jatuh, keadaan padang gurun; yang dipulihkan adalah orang-orang yang percaya. Kita, orang-orang percaya, diberikan kemungkinan untuk taat di dalam dunia yang sudah jatuh. Sekarang Saudara bandingkan: taat dalam keadaan di Taman Eden, dibandingkan dengan taat dalam keadaan padang gurun, mana yang lebih mulia? Pasti lebih mulia taat dalam keadaan yang ada bom –ada bom tapi tetap bisa ada cinta kasih, ada bom tapi tetap tidak dikuasai oleh ketakutan.
Waktu ada bom, sebenarnya kita bisa introspeksi, mungkin kita kurang menebar cinta kasih. Di dalam dunia ini bersaing antara orang yang menebar cinta kasih dan yang menebar ketakutan. Yang menebar ketakutan/ teror, namanya teroris. Kalau kita tidak menebar cinta kasih, kita sebenarnya mirip teroris. Orang Kristen bisa jadi teroris, bukan berarti meledakkan bom, tapi waktu kita kita gagal menabur cinta kasih, akhirnya yang ditaburkan adalah ketakutan, paranoia, kecurigaan, kekuatiran, pesimisme, rasa tidak aman, dsb. Itu sama saja dengan teroris. Ini self criticism, kita tidak usah lihat orang lain, lihat diri kita saja.
Perjanjian baru bukan kembali pada kemuliaan perjanjian lama seperti zaman Musa, melainkan melampauinya. Dalam hal apa? Perjanjian lama itu, orang-orang Israel sudah mengingkarinya, melanggarnya. Dan yang mengingkari bukan satu generasi, melainkan bergenerasi-generasi, dan Tuhan mengatakan: “… meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mereka.” Perhatikan, ada satu model relasi seperti ini: ada yang di atas yang berkuasa, dan ada yang di bawah yang tidak terlalu berkuasa. Dalam relasi seperti ini, kalau ada ketaatan, itu bisa ketaatan yang tulus. Tapi bisa juga ketaatan karena takut, karena tidak ada pilihan menghadapi yang lebih punya kuasa, takluk karena yang di atas lebih berkuasa. Kita berharap Kekristenan keluar dari persoalan ini, karena ini model perjanjian lama. Padahal, Yahweh sebagai Tuhan yang mahasuci dan mahakudus, Dia tidak pernah menyalah-gunakan kuasa-Nya. Saudara dan saya seringkali menyalah-gunakan kuasa, pakai kuasa untuk menakut-nakuti orang yang di bawah supaya taat, supaya sinkron dengan kita. Di dalam perjanjian lama, Yahweh adalah penguasa Israel, Israel-lah yang seharusnya takluk kepada Yahweh. Tapi Yahweh mengatakan, meskipun Dia tuan yang berkuasa atas Israel, orang Israel tetap mengingkari perjanjian dengan Yahweh.
Ini tahun 2018, generasi milenium. Sekarang ini kita tidak bisa pakai power, makin pakai kuasa, makin dianggap lucu. Saya pernah melihat orangtua marah-marah kepada anaknya; marahnya sedemikian rupa, sampai saya akhirnya sadar itu karena saya ada di ruangan tersebut, mustinya saya keluar dari situ. Dia marah begitu rupa karena kehilangan muka. Hal seperti ini bukan cuma terjadi antara orangtua dengan anak, tapi juga antara suami dengan istri. Istri perlu hati-hati, jangan bantah suami di depan umum, karena untuk orang Timur seperti Saudara dan saya, muka itu sangat penting; kalau kita gagal exercise power kepada ordo yang di bawah kita, kita seperti kehilangan muka, seperti kehilangan dignitas. Yahweh juga punya dignitas. Tapi Yahweh pun mengalami bahwa cara ini tidak jalan, cara ini tidak membuat orang Israel taat/ takluk kepada Yahweh, padahal Yahweh tidak pernah abusing power, tidak pernah showing-off power. Kalau Tuhan saja tidak berhasil pakai cara ini, lalu Saudara dan saya sebagai orangtua Timur mau showing-off power, ya, semoga Anda beruntung, tapi kenyataannya pasti tidak akan beruntung. Itu model perjanjian lama.
Dikatakan tadi “meskipun Aku tuan yang berkuasa atas mereka”, berarti Yahweh adalah tuan. Ini bukan kovenan bilateral antara pihak-pihak yang sepadan, ini kovenan antara Yahweh yang di atas, dengan Israel; dan Israel bukan setara dengan Yahweh. Tapi cara perjanjian dengan gambaran ‘berkuasa’ ini, mereka tetap mengingkarinya. Bagaimana kita di dalam pendidikan keluarga? Bagaimana kita dalam relasi dengan murid? Saudara tidak bisa pakai cara Hitler, pakai kuasa, dsb. Saya tidak melihat cara itu ada dukungannya, terutama waktu kita melihat perjanjian baru. Cara itu lebih mirip perjanjian lama. Cara itu sudah dipakai Tuhan, dan orang Israel tetap mengingkarinya. Jadi kita tidak akan balik lagi ke cara itu. Itu sudah gagal, dan itu begitu menyakitkan Yahweh, padahal Yahweh tidak pernah sekalipun abusing power. Yahweh itu Allah yang sempurna, yang suci, yang kudus; Dia tidak pernah gampang tersulut murka-Nya dsb., sebaliknya yang kita baca dalam Alkitab, Dia adalah Allah itu panjang sabar, berlimpah kasih setia-Nya. Oleh sebab itu, ketika betul-betul terjadi pembuangan, artinya sudah amat sangat keterlaluan. Kalau dalam kehidupan ini kita mengalami murka Tuhan, kita betul-betul harus introspeksi. Jika masih tidak introspeksi juga, tidak ada jalan lain lagi. Tuhan itu tidak gampang marah, namun bagaimanapun juga Israel telah membuat Yahweh marah.
Ayat 33, “Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka”. Maksudnya apa? Taurat sejak dulu sudah ada, sudah jelas, sudah diberikan, namun itu tetap eksternal, selalu ada di luar bangsa Israel. Kita bukan tidak tahu ‘ini salah, itu dosa, ini tidak menyenangkan Tuhan’, kita tahu semuanya itu, tapi tidak kuat menjalankan karena hal itu selalu adanya di luar. Ada perbedaan spiritualitas yang menekankan aspek lahiriah atau keagamaan yang sifatnya eksternal/ di luar, dengan spiritualitas yang menekankan hati, yang di dalam, yang sifatnya batiniah. Kita musti keluar dari gambaran perjanjian lama ini dan masuk ke dalam gambaran perjanjian baru.
Apa itu perjanjian baru? Yaitu perubahan yang dilakukan Tuhan untuk menggerakkan arah hati kita.Salah satu teolog yang mungkin paling mengerti hal ini adalah Agustinus. Dia berbeda dengan Pelagius, yang ajarannya akhirnya dikutuk sebagai ajaran bidat. Pelagius bukan tidak percaya anugerah, tapi menurut Pelagius, Tuhan sudah memberikan anugerah di dalam alam ciptaan ini (eksternal), dan kita ini punya kehendak bebas, maka tergantung kita apakah mau menerima anugerah tersebut atau tidak. Sedangkan Agustinus bersikeras, itu tidak cukup kalau Tuhan tidak mengubah hati manusia. Ini bicara tentang internal grace, kasih karunia yang menyentuh sampai kedalaman hati manusia. Tuhan sudah memberikan anugerah di luar, tapi tetap tidak mengubah sifat hati manusia, manusia tetap jahat. Contoh sederhana, maling kalau ketemu pagar tinggi, dia bertobat atau tidak? Tidak. Dia malah jadi tertantang untuk punya tangga lebih tinggi lagi supaya bisa lompat pagar. Tidak ada maling yang lihat pagar lalu bertobat, mengapa? Karena itu sesuatu yang eksternal. Memang betul pagar menghalang-halangi maling masuk rumah, seperti juga Taurat menghalang-halangi orang untuk berbuat dosa, namun selalu tetap eksternal. Saya kuatir akan orang Kristen yang waktu melihat Firman Tuhan, selalu tetap eksternal saja. Kalau dibilang tahu, memang tahu juga –kita tahu bahwa orang Kristen tidak seharusnya berbuat dosa– tapi hal itu tetap eksternal saja. Tidak ada kekuatan dari hati. Kalau melakukannya, itu pun dengan terpaksa karena bagaimana pun ada rasa takut terhadap Sang Kuasa yang ada di atas karena ‘Dia terlalu kuat, nanti Dia murka, jadi kita musti berhati-hati’, dan tidak pernah berubah di dalam hatinya. Dalam spiritualitas Reformed, kita tertarik membicarakan perubahan di dalam hati. Kita tertarik membicarakan sinkronisasi internal dengan kehendak Tuhan, bukan sinkronisasi eksternal.
Beberapa tahun lalu ada kesaksian seorang apologet Kristen yang katanya cukup terkenal, dia mempunyai anak yang dari kecil dididik teologi, doktrin-doktrin Kristen, dsb. sampai anaknya ini mengerti bahasa Latin, bisa menjelaskan ‘dua natur Kristus’ (communicatio idiomatum), dsb. Lalu akhirnya setelah dewasa, anak ini mengaku mendapatkan kebebasan, yaitu dengan menjadi ateis. Apa yang terjadi di sana? Siapa yang salah, saya tidak tahu. Anaknya sudah tentu salah; tapi saya percaya inilah religiusitas yang sifatnya lahiriah, bukan internal. Menciptakan orang yang loyal tapi sebenarnya dia tidak betul-betul mengerti, maka suatu saat akan meledak, suatu saat akan berubah setia, suatu saat akan meninggalkan Saudara. Kita sendiri juga akan bisa meninggalkan Tuhan kalau model Kekristenan kita seperti itu — taat karena ada powerful being yang namanya Allah.
Waktu Tuhan memberikan perjanjian baru, Dia tidak mau cara itu. Dia tidak tertarik dengan orang-orang yang loyal, tapi loyalnya hanya secara lahiriah bukan batiniah. Tuhan menginginkan perubahan yang ada di dalam hati, maka dikatakan di sini, “Dia menaruhnya di dalam batin kita, menuliskannya di dalam hati kita”. Kalau Saudara baca dalam konteks Perjanjian Lama, waktu Taurat itu ditulis, banyak limitasinya –sudah ditulis, bisa hilang, bisa terselip, dsb. Tapi kalau sudah ditulis di dalam hati, berarti sudah keluar dari keterbatasan tersebut, sudah ada bersama dengan kita. Kita tidak bisa juga berdalih tidak ketemu ayatnya ada di mana, Alkitabnya ada di mana, dsb. karena Tuhan menaruh itu di dalam batin kita, menuliskannya di dalam hati kita. Di situlah baru pemulihan kovenan bisa terjadi. Ini formula Perjanjian Lama sebetulnya, yaitu “Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka menjadi umat-Ku”.
Saudara perhatikan di sini, bahwa Allah menjadi Allahnya Israel dan Israel menjadi umat-Nya, itu di dalam relasi perjanjian yang terjadi secara rela, bukan terpaksa; dan dengan sukacita, karena ada cinta. Inilah love covenantal relationship. Bukan dengan power, tapi dengan cinta, pengorbanan. Yesus mati di atas kayu salib, itu mendemonstrasikan kuasa yang paling besar, yaitu kuasa di dalam keadaan kerentanan, dan di situ Dia memenangkan hormat dari umat-Nya. Bukan dengan teriak-teriak, bahkan juga bukan dengan mujizat. Waktu Yesus melakukan mujizat – Lazarus dibangkitkan–, di situ malah timbul persengkongkolan yang mau membunuh Yesus. Mujizat itu menunjukkan kuasa, tapi tidak membawa orang untuk takluk. Sedangkan di atas kayu salib, waktu Dia menyerahkan diri-Nya, menyatakan kuasa cinta yang mengalir, itulah yang justru menundukkan banyak orang. Oleh sebab itu dalam Teologi Reformed kita mengikuti Agustinus yang mengatakan ‘irresistible grace’, the love of God is irresistible.
Irresistible grace (anugerah yang tidak dapat ditolak) jangan dibaca di dalam paradigma kuasa. Seandainya Hitler ada di sebelah kita dan dia minta ketaatan, lalu kita katakan Hitler irresistible, itu sudah pasti karena dia lebih berkuasa daripada kita. Tapi kalau kita jatuh cinta pada seseorang, lalu kita katakan dia irresistible, itu tentu bicara dalam kategori yang lain. Kita mau bicara ‘irresistible’ (tidak bisa dilawan) dalam pengertian ini, bukan di dalam paradigma power. Oleh sebab itu, kalau Gereja tidak mengerti poin ini, Gereja itu tidak mengerti perjanjian baru. Ada gereja yang berusaha mengesankan masyarakat/ dunia, dengan pakai cara powerful yang bukan powerful dalam gambaran Kristologi –Yesus yang mengorbankan tubuh dan darah-Nya—melainkan powerful cara dunia. Membanggakan orang-orang Kristen yang berhasil dalam kehidupannya, itu gambaran powerful, kemegahan, kemenangan, tapi yang cara dunia. Yesus tidak akan lahir sebagai bayi, tidak akan mati di kayu salib, kalau Dia mau pakai cara ini.
Jadi apa itu perjanjian baru? Yaitu Yahweh adalah Allahnya Israel dan Israel menjadi umatnya Yahweh; bukan dengan cara perjanjian lama karena itu tidak berhasil, tapi dengan perjanjian baru ketika Tuhan mengubah batin kita. Ini bukan bicara religiusitas eksternal, tapi perubahan di dalam hati. Kekristenan tertarik membicarakan yang di dalam, bukan membicarakan sikap, tata cara, moralitas, kultur, sopan-santun, dsb. Itu semua baik; kita orang Timur sangat ahli dalam hal sopan santun, tapi kita juga tahu betapa rentannya sopan-santun itu menjadi kemunafikan. Waktu Alkitab membicarakan tentang hubungan kita dengan Tuhan, Tuhan menghendaki perubahan yang ada di dalam hati, yang internal, sehingga kita bisa mengerti artinya relasi perjanjian, yaitu Yahweh adalah Allah kita dan kita adalah umat-Nya.
Ayat 34, “Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku , demikianlah firman TUHAN, sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka." Ayat ini sangat rentan disalah-tafsir, ‘kalau begitu tutup saja PA (Pemahaman Alkitab)?? STRIJ tidak perlu, buku-buku teologi dibakar saja semuanya, pengajar-pengajar dipecat saja semua karena kita langsung diajar oleh Allah; ini ‘kan akses langsung kepada Tuhan’. Di sini Saudara musti mengerti konteks kitab Yeremia. Tadi kita sudah membahas bahwa Tuhan seperti “berpolemik” dengan diri-Nya sendiri pada masa lampau, untuk jangan ingat lagi hal-hal dahulu kala soal mujizat menyeberang laut kering dsb., bahwa the old exodus itu sudah lewat. Lalu di kitab Yeremia kita baca bahwa the old covenant itu (perjanjian lama) sudah lewat. Jadi ada polemik terhadap gambaran the old exodus, dan juga the old covenant. Dan di bagian ini, polemiknya terhadap kitab Ulangan, karena dalam kitab Ulangan ada ajakan untuk mengenal Tuhan, dan orang harus mengajar sesamanya –anaknya—berulang-ulang supaya mereka mengenal Tuhan. Kitab Ulangan sangat mementingkan Taurat, dan bahwa Taurat harus selalu diajarkan, dan yang mengajarkan selalu adalah orang yang dewasa, yang mengerti, dst. dst., lalu tanpa sadar menciptakan semacam gambaran elitisme –siapa yang berhak mengajar dan siapa yang hanya boleh di posisi yang diajar.
Kita musti hati-hati supaya tidak mengulangi kesalahan seperti ini, merasa jadi agen tunggal kebenaran, susah untuk belajar, tahunya cuma mengajar. Waktu bicara dengan orang lain selalu kasih tahu ini, itu, tapi ketika dirinya harus mendengar malah bilang “saya sudah tahu semua”, bukan saking tahunya tapi sok tahu sebetulnya. Inilah elitisme. Di zaman Yesus ini terjadi, yaitu pengajar-pengajar itu –ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi– waktu Yesus datang, mereka merasa ‘mengapa Yesus ini mengajar keliling-keliling tidak minta izin dulu pada kita, setidaknya sowan, permisi dulu; ini kurang ajar! sudah begitu, kita dikritik pula, apa tidak sadar kita ini yang memimpin, kita ini agen tunggal yang menduduki kursi Musa mengajarkan ajaran yang kita terima dari Musa, sementara Dia ini sepertinya anti Taurat, tidak peduli hukum’, dan seterusnya. Ada polemik dalam Perjanjian Baru antara Yesus dengan pengajar-pengajar itu. Inilah elitisme, merasa diri berhak mengajar selama-lamanya, kalau orang mau belajar tentang Firman Tuhan harus melalui sini; termasuk juga ‘kalau orang mau memberkati orang lain, harus melalui gereja ini, karena kita satu-satunya mercusuar di seluruh dunia’. Saudara musti betul-betul berhati-hati dengan gambaran teologi seperti ini, karena Firman Tuhan mengatakan, “Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya”.
Kalau Tuhan mau mengajar seseorang, Dia bisa pakai cara lain. Salah satu jabatan yang saya merasa kagum adalah guru Taman Kanak-kanak (TK). Perlu hati yang luas untuk bisa jadi guru TK, karena akan menyaksikan bahwa suatu saat –mungkin 2 tahun– hal itu selesai, guru ditinggalkan, dan guru harus rela, tidak bisa tetap mau mengajar anak itu terus. Oleh sebab itu jabatan ini mengagumkan, karena merelakan orang lain meninggalkan kita, seperti Yohanes yang ditinggalkan murid-muridnya karena murid-muridnya belajar pada Yesus. Tapi kita, orangtua Timur, seringkali tidak rela, maunya jadi orangtua selama-lamanya, bahkan sampai di liang kubur pun tetap mau mendidik anaknya, ‘jangan lupakan wejangan saya, meski saya sudah mati, harus tetap diingat’. Menakutkan. Ini orang-orang yang krisis akan eksistensinya, karena tidak bisa rela Tuhan menempatkannya dalam satu bagian waktu lalu setelah itu diambil alih orang lain.
“Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN!” –kitab Ulangan sudah lewat; the elite theological school zaman itu sudah lewat, “kamu bukan satu-satunya pengajar”. Ada banyak sekali pengajar. Orang sekarang bisa belajar di mana-mana, internet menyatakan hal itu. Dulu kita belajar dari seminar berarti kita harus datang, sekarang bisa mendapatkan lewat Youtube, bahkan kuliah-kuliah dari Theological Seminary juga dibuka secara online dan gratis, meski tidak semua. Ini seperti menggenapi ayat 34, “tidak usah lagi orang mengajar sesamanya”, maksudnya yang mengajar bukan cuma kamu tok, tapi terutama adalah Tuhan, “Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku”, demikianlah firman TUHAN. Kalau dulu kamu menempatkan diri di posisi besar –pengajar—lalu kamu merendahkan anak-anak kecil yang selalu belajar kepada yang besar, sekarang Tuhan mengatakan “mereka semua, besar kecil,… “, dan saya boleh teruskan daftarnya dengan kaya miskin, tua muda, laki perempuan, semuanya akan mengenal Tuhan. Inilah perjanjian baru, universalitas pengenalan akan Allah.
Yang mengerti teologi dan tahu menafsir mengerti Alkitab, seharusnya bukan cuma hamba Tuhan tapi semua orang Kristen, karena menurut ayat 34, “mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku”. Perjanjian baru bicara tentang kehausan yang universal dari semua anak Tuhan untuk mengenal dan mencintai Tuhan melalui mengenal Firman Tuhan./ Taurat. Akses ini sudah dibuka. Tapi yang paling sedih, waktu jemaat tidak ada kerinduan untuk mengenal Tuhan. Dari sisi Tuhan pintunya sudah dibuka lebar, tapi dari bawah tanggapannya, ‘siapa yang tertarik mengenal Kamu?? siapa yang mau belajar Firman?? sudahlah ‘gak usah fanatik, percuma ikut PA, ikut pelayanan ini itu, hidup ‘gak berubah, mendingan saya –saya memang hidup ‘gak berubah tapi ‘gak ikut PA, jadi paling tidak saya ‘gak munafik’. Perjanjian baru yang diberikan Tuhan itu membuka the universal knowledge of God, yang tidak seharusnya dimiliki hanya oleh nabi-nabi saja, misalnya Yeremia, tidak seharusnya dimiliki oleh imam-imam saja, tapi oleh semua orang. Pertanyaannya, apakah kita berada dalam perjanjian baru ini, atau jangan-jangan kita masih lebih suka berada dalam perjanjian lama?
Selanjutnya, “… demikianlah firman TUHAN, sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka." Para penafsir Perjanjian Lama sering menyoroti bagian ini. Ayat 34 ini secara bahasa menggunaan perbendaharaan kata kitab Ulangan, yaitu bahasa covenantal, namun secara isinya sangat dekat dengan teologi Imamat karena bicara tentang pengampunan kesalahan, tentang tidak mengingat dosa. Sedangkan penekanan kitab Ulangan adalah pentingnya ketaatan kepada Taurat, deeds – consequence theology, yaitu yang ditabur juga akan dituai, kalau menabur kejahatan akan menuai kejahatan, menabur kebaikan akan menuai kebaikan. Dan yang terjadi di sini adalah integrasi teologi Kitab Ulangan dan Imamat.
Mengapa poin pengampunan dosa ini penting? Karena waktu kita bicara perjanjian baru, perjanjian baru tersebut akan membawa kita semakin peka terhadap kelemahan dan keberdosaan kita. Gereja yang diberkati Tuhan adalah Gereja yang makin lama makin sadar dirinya perlu pengampunan dosa dari Tuhan, yang makin lama makin bisa mengampuni. Gereja yang kanak-kanak, tidak bisa mengampuni, tidak bisa rekonsiliasi; dan itu karena sendirinya tidak merasa diampuni terlalu besar oleh Tuhan. Mengapa tidak rasa diampuni? Karena self righteouss. Memang betul pengakuan dosa bisa jadi excuse –berdosa lagi, mengaku lagi, berdosa lagi, mengaku lagi—lalu apakah tidak usah mengaku dosa? Tentu tidak; Saudara tetap mengaku dosa. Di dalam Mazmur, pengakuan dosa itu ada komunal dan individual, tidak cukup cuma mengaku dosa secara individual dan juga tidak cukup cuma secara komunal. Demikian juga ucapan syukur dalam Mazmur ada baik secara individual maupun komunal.
Kalau Saudara melihat kehidupan Israel, ketika berada dalam keadaan kalah perang, bencana, dsb., mereka mengaku dosa secara komunal, karena ini bencana nasional. Sekarang ada bom meledak, ini bencana nasional, lalu kita tidak ada pengakuan dosa, ini gereja apa?? Gereja yang tidak perlu lagi diampuni dosanya?? Gereja yang cuma berurusan dengan individu-individu, berdosa cuma secara pribadi, sedangkan secara komunal kita tidak ada dosa?? Perjanjian baru itu bukan tentang komunitas lokal, tapi tentang kerajaan Utara dan kerajaan Selatan, kaum Yehuda dan kaum Israel, visinya tentang Kerajaan Allah.
Terakhir, kalau kita betul-betul mengerti perjanjian baru, waktu kita ikut Perjamuan Kudus –Yesus dengan darah-Nya membuka perjanjian baru—kita ingat bahwa kita ini perlu pengampunan dosa, baik komunal dan juga individual. Kalau kita hidup mengaku dosa, saya percaya kita bisa menjadi komunitas yang lebih banyak belas kasihan, yang tidak suka merendahkan orang lain, yang tidak suka men-diskreditkan orang lain, karena tahu kita sendiri perlu pengampunan Tuhan. Waktu kita tahu, kita perlu pengampunan Tuhan dan Tuhan mengampuni kita, kita jadi orang yang gampang mengampuni orang lain. Tapi kalau sendirinya tidak ada pengakuan dosa, tidak ada pengampunan dari Tuhan, pengertiannya minim, self righteouss, maka orang ini pasti judgmental terhadap orang lain. Semua ini saling terkait.
Memang doa kita didengar bukan karena pengakuan dosa kita, tapi karena korban Kristus di atas kayu salib diberikan kepada kita, tapi itu diberikan bukan tanpa pengakuan dosa. Yohanes mengatakan, “Barangsiapa mengaku dosa, Allah itu setia dan adil, Dia mengampuni dosa kita.” Itu kita baca dalam 1 Yohanes; apakah ada ayat yang bilang ‘barangsiapa tidak mengakui dosanya, Allah tetap setia dan adil dan mengampuni dosanya’?? Tidak ada seperti itu. Tidak ada ayat yang mengatakan Dia mengampuni siapa saja, baik yang mengaku maupun tidak mengaku dosanya. Mari kita bertobat.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading