Dalam pembahasan 1 Samuel 13 sebelumnya, kita melihat sedikit berlainan dengan yang biasa dimengerti secara umum, bahwa dalam cerita ini seolah-olah Yonatan yang mulai perang, dan itu sebabnya orang Filistin merespons dengan mengepung Israel; tapi Alkitab memperlihatkan bahwa peperangan ini, yang membuat orang Israel dalam situasi terdesak ini, sebetuklnya adalah gara-gara Saul. Gara-gara Saul yang mau jadi pahlawan, Saul yang ada hero complex, messiah syndrome, mau revolusi, itulah yang membuat orang Filistin marah lalu mengumpulkan semua prajuritnya, dan orang Israel menjadi takut, mereka lari. Sebelum peperangan, harusnya ada satu liturgi/ibadah yang dipimpin oleh Samuel, tapi Samuel seolah-olah telat, tidak datang, dan lebih banyak lagi prajurit yang meninggalkan Saul. Itulah alasannya Saul memberikan persembahan; bukan karena dia mau mempermuliakan Tuhan, melainkan karena dia kepepet, terdesak. Dia memberikan persembahan bukan untuk meninggikan Tuhan, tapi supaya melalui persembahan itu dia bisa memperalat Tuhan, memanipulasi Tuhan, agar Tuhan memberkati dia, lalu memanggil balik semua prajuritnya supaya dia cukup kuat untuk menghadapi krisis saat itu. Dengan kata lain, Saul memberikan persembahan hanya untuk kebaikan dirinya sendiri, tidak ada kaitannya dengan kemuliaan Tuhan, kekudusan Tuhan, atau apapun. Dia tidak pedulii itu.
Di ayat 10, langsung ditulis bahwa ketika Saul selesai mempersembahkan korban bakaran, tampaklah Samuel; baru selesai, dan Samuel datang. Artinya apa? Artinya, Samuel kalaupun telat, telatnya cuma sedikit. Dunia kuno tentunya tidak seperti sekarang, yang setiap orang punya jam, sangat tepat soal jam berapa mulai, dsb.; dan di sini Alkitab sengaja menulis bahwa Saul baru saja selesai, lalu Samuel datang. Dengan kata lain, Saul sebetulnya hanya perlu menunggu sedikit waktu lagi untuk Samuel tiba dan memimpin ibadah tersebut. Tetapi kenapa Saul langsung memberikan persembahan? Alasannya sangat jelas, karena Saul takut. Saul tidak bisa menunggu, karena dia takut. Dari sini kita bisa melihat bahwa salah satu alasan kenapa sebagai manusia, kita tidak suka menunggu, adalah karena kita sebetulnya takut.
Secara sosial kita hidup di dalam dunia yang sangat produktif, kita dituntut efisiensi, hasil, dll., sehingga menunggu membuat kita merasa akan ditinggalkan, tertinggal di belakang, tidak bisa mengejar, dll. Itulah sebabnya di zaman ini semua orang sibuk, semua orang buru-buru; dan kalau kita harus menunggu, itu sangat menjengkelkan. Menunggu apapun, kita tidak mau. Satu contoh, pengalaman saya di GRII Karawaci, lift di sana entah bagaimana bergeraknya sangat pelan, cuma 3 lantai tapi pelan sekali, saking pelannya sampai ada jemaat yang pakai stopwatch hitung waktunya; menunggu untuk sampai lantai 3 pakai lift itu, benar-benar susah rasanya, lebih cepat naik tangga. Kita tidak suka menunggu. Tapi secara teologis, di belakang semua kejengkelan karena kita tidak suka menunggu, sebetulnya adalah kita takut, karena menunggu memaksa kita untuk lepas kontrol. Ketika menunggu, kita pasif, kita tidak bisa kontrol situasi, tidak bisa kontrol diri kita, tidak bisa kontrol apapun –dan hanya bisa menunggu. Dan, ketika kita dipaksa untuk melepas kontrol atas diri kita, atas lingkungan kita, atas hidup kita, kita takut, kita gelisah; itulah sebabnya kita tidak suka menunggu.
Tapi kalau kita kembali ke Alkitab, kita akan melihat bahwa Kekristenan adalah agama yang menunggu. Ini bukan cuma urusan bersabar menunggu lift, bersabar menunggu dalam kemacetan, dsb., tapi menunggu pimpinan Tuhan, menunggu saatnya Tuhan, menunggu kedatangan Tuhan. Seluruh pengalaman Kekristenan adalah pengalaman menunggu; kita sedang menunggu Kristus datang kembali kedua kalinya. Itulah sebabnya teologi ‘menunggu’ adalah teologi ‘pengharapan’. Ketika kita mengatakan “kita menunggu waktunya Tuhan”, itu artinya kita bukan berharap pada dunia ini tapi berharap kepada Tuhan, kita bukan bersandar pada dunia ini tapi bersandar kepada Tuhan. Kita tidak menunggu manusia siapa pun, dalam konteks apa pun, yang bisa menghadirkan world peace; itu bukan yang kita tunggu, tapi kita menunggu Tuhan sendiri, Yesus, yang datang kembali memperbarui dunia ini.
Kita semua harus belajar menunggu waktunya Tuhan. Orang yang bisa menunggu waktunya Tuhan, adalah orang yang sungguh-sungguh bisa melepaskan diri dan bersandar kepada Tuhan. Ketika kita bersandar kepada Tuhan, dan pada saat yang sama kita sadar bahwa Tuhan benar-baik-tepat di dalam segala sesuatunya, baru hidup kita bisa ada sabat, bisa ada damai. Orang yang tidak bisa menunggu waktunya Tuhan, coba perhatikan, dia hidupnya penuh dengan kegelisahan dan kekhawatiran, apapun harus buru-buru; lalu kalau tidak terjadi, dia bertanya-tanya, “what’s wrong?? apakah Tuhan marah??” dsb.Orang yang tidak bisa menunggu waktunya Tuhan dalam bentuk apa pun –calon pasangan hidup saya koq belum muncul-muncul, saya koq belum dikaruniai anak, dst. –orang yang tidak sadar bahwa Kekristenan adalah agama ‘menunggu waktunya Tuhan’, maka dia jadi capek sekali, terus saja gelisah. Kiranya kita bisa belajar menunggu, karena Kekristenan adalah agama ‘menunggu’.
Dalam hal teologi menunggu, saya mau tambahkan dua poin. Pertama, kalau kita mau serupa dengan Kristus, kita harus sadar bahwa Kristus adalah Tuhan yang menunggu. Di dalam setiap fase perjalanan kehidupan Dia, Kristus menunggu. Ketika Dia di dalam dunia, Dia menunggu murid-murid-Nya bertumbuh. Murid-murid yang Dia panggil itu awalnya tidak mengerti apa-apa, bodoh, egois, sombong; dan Yesus sabar menunggu sampai mereka mengerti. Ketika Yesus sudah mati, bangkit, dan menjadi Raja atas segala raja, seharusnya dengan seluruh otoritas yang Dia miliki itu, Dia tidak perlu tunggu apa pun, karena yang namanya raja, tidak perlu menunggu, apa pun yang dia mau harus langsung ada. Saya pernah nonton sebuah talk show, kalau tidak salah Jimmy Kimmel, yang sedang meng-interview Joe Biden di White House; di situ waktu Joe Biden pencet intercom, bilang, “I want an ice cream”, langsung dalam 3 detik ada es krim –tentu saja karena dia presiden. Orang yang di posisi tinggi, dia tidak perlu menunggu, karena waktu dia berharga, apa pun harus segera. Tetapi ketika Yesus sudah mati dan bangkit kembali, Dia tetap menunggu. Dia tetap menunggu kita dikuduskan. Dia tetap menunggu orang-orang diselamatkan. Dia tetap menunggu umat pilihan yang sedang menolak Dia, mengeraskan hati, menghina Dia, menghujat Dia, untuk bisa dibukakan hatinya supaya kembali kepada Dia. Kristus itu senantiasa menunggu. Dan, kalau kita bilang, “Saya mau serupa dengan Kristus”, berarti kita harus belajar bsia menunggu. Karakter-karakter di dalam Alkitab, mereka semua adalah orang-orang yang menunggu; the people of faith are the people who wait. Abraham menunggu, Hana menunggu, Yusuf menunggu, Maria menunggu, Elisabet menunggu, Simeon menunggu. Orang-orang dalam Perjanjian Baru, seperti Paulus, juga menunggu. Terus-menerus menunggu Kristus datang.
Yang kedua dalam teologi menunggu, kita harus membedakan bahwa ada menunggu yang pasif, ada menunggu yang aktif. Ketika kita bilang bahwa kita menunggu waktunya Tuhan, itu bukan berarti menunggu secara pasif, bukan goyang-goyang kaki sambil tunggu, “O, ya, Tuhan, … mana Engkau …”, menunggu secara pasif saja. Bukan demikian. Menunggu yang sejati adalah menunggu yang aktif. Orang-orang di dalam Alkitab yang menunggu, mereka menunggu secara aktif. Artinya apa? Orang yang menunggu secara aktif, mereka mengenal Siapa yang ditunggu, mereka tahu apa itu janji Tuhan dan mereka mengejarnya. Terus menunggu, tapi mereka mengenal Tuhan, mereka tahu janji Tuhan, dan mereka memegang janji ini sambil menunggu. Itulah menunggu yang aktif, mempersiapkan diri sampai janji Tuhan digenapkan. Kita ingat dalam injil Matius, perumpamaan “gadis-gadis yang bijak dan gadis-gadis yang bodoh”. Ada 5 gadis yang bijak dan 5 gadis yang bodoh, mereka sedang menunggu mempelai laki-laki datang. Apa yang membedakan yang bijak dengan yang bodoh? Yang bodoh, menunggu secara pasif; mereka tahu mempelai laki-laki akan kembali tapi mereka tidak mempersiapkan diri, maka habis minyaknya, tidak ada lampu lagi. Gadis-gadis yang bijak, yang pada akhirnya diterima, mereka menunggu secara aktif karena mempelai laki-laki itu mutlak pasti akan datang, dan mereka mempersiapkan. Itulah active waiting; di dalam hal ini, Saul passive waiting, dan Saul gagal. Saul menunggu secara pasif. Kalau kita mundur ke pasal 12, di ayat 22 ada janji Tuhan, “Sebab TUHAN tidak akan membuang umat-Nya, sebab nama-Nya yang besar. Bukankah TUHAN telah berkenan untuk membuat kamu menjadi umat-Nya?” –‘jangan berdosa, jangan menolak; kalau kamu tidak menyembah ilah-ilah palsu, Tuhan akan terus bersama-sama dengan kamu, Tuhan tidak akan membuang kamu’, inilah janji Tuhan. Di pasal 12, janji Tuhan baru saja diberikan oleh Samuel kepada Saul dan seluruh orang Israel. Saul tahu janji Tuhan, dia menunggu, tapi dia menunggu secara pasif. Dia gagal memegang janji Tuhan. Bagaimana dengan kita?
Di Alkitab, janji Tuhan banyak sekali. Terhadap janji-janji Tuhan, kita menunggu secara pasif, atau kita menunggu secara aktif? Tuhan bilang, “Pergi ke semua bangsa, ajarkan dan baptiskanlah mereka; Aku akan menyertai kamu sampai selama-lamanya”. Itu adalah janji. Dengan janji ini, kita ini sedang menunggu secara pasif, atau kita sedang menunggu secara aktif? Paulus mengatakan, “Sekarang kamu mengenal Dia secara samar-samar, nanti kamu akan melihat Dia muka dengan muka”; sekarang samar-samar, tapi nanti muka dengan muka you know God! Ini janji Tuhan. Kita sekarang menunggu janji ini secara pasif, atau secara aktif? Apakah kita sekadar menunggu, ‘o, ya, nanti saya akan mengenal Tuhan seluruhnya, ya, sudahlah, santai-santai saja, sekarang tidak perlu tahu apapun, nanti juga bakal tahu semuanya ‘kan’; atau, kalau kita tahu janji Tuhan maka kita sekarang juga mau mulai mengenal Dia? Alkitab berjanji dunia ini akan diperbaharui, langit yang baru dan bumi yang baru, di mana tidak ada tangisan, ada kemuliaan Tuhan, ada kebenaran keadilan. Ini janji Tuhan. Dengan janji ini, apakah kita sekarang juga sedang menunggu secara aktif, dengan sebisanya kemampuan kita mau menghadirkan janji ini; atau, kita benar-benar cuma tunggu, kita retreat, kita menarik diri, ‘dunia ini tidak apa-apalah, kita tunggu saja, nanti juga baru sendiri, we don’t have to do anything’ ?
Sekali lagi, kita menunggu secara pasif atau aktif? Saul gagal di dalam hal ini, dia tidak memegang janji Tuhan, dia melanggar, dia tidak bersandar kepada Tuhan. Itulah sebabnya di ayat 11 Samuel marah, “Apa yang telah kauperbuat?” Cukup jelas bahwa Samuel bukan marah karena urusan pribadi dia, tapi dia marah terkait dengan Tuhan; ‘kamu sudah melanggar Tuhan, kamu tidak taat kepada Tuhan, kamu tidak bersandar kepada Tuhan’, itulah alasannya Samuel marah. Samuel pasti bukan marah gara-gara masalah personal, ‘Hei! Saya ‘kan imam, kamu ‘kan raja, lalu sekarang kamu ambil posisi gua?? Kamu ambil pekerjaan gua? Lalu sekarang saya jadi ‘gak ada kerjaan dong, ‘gak boleh dong, ini ‘kan porsiku!’ –pasti bukan seperti ini. Samuel bukan marah gara-gara alasan personal; tapi sebaliknya yang sering terjadi dalam Kekristenan: masalah Tuhan, kita tidak terlalu marah, tapi kalau sudah terkait dengan pribadi, kita amat sangat marah –dan kita anggap itu kemarahan yang suci. Kalau Yesus diejek, Firman ditolak, dipelintirkan, diselewengkan, kita panjang sabar, kita bilang, “O, tidak apa-apa; ampunilah orang-orang yang berdosa”. Tapi kalau kita yang diserang, integritas kita yang diserang, bagian kita yang diserang, marahnya luar biasa. Samuel pastinya bukan demikian; Samuel marah gara-gara ini terkait dengan Tuhan, bukan gara-gara Saul mengambil pekerjaan dia atau apa pun.
Saul sadar bahwa Samuel marah; lalu apa respons Saul? Saul mencoba memberi alasan dengan mengemukakan 2 hal. Pertama, dia mencoba memaparkan dirinya sebagai korban (victim). “Samuel, kamu marah?? Kamu yang telat! Sekarang kamu salahin saya?? Kamu yang telat, saya cuma korban, saya bukan offender!” Di sini kita sadar, ketika Saul menganggap diri sebagai korban, itu karena apa? Karena kesombongan dia, pride. Dia, sebagai orang yang dipenuhi kesombongan, tidak bisa terima bahwa di dalam dirinya ada kesalahan, ‘there is no mistake in me, I’m always the victim; kalau salah, salahnya di kamu, di luar, di orang lain’. Jadi, kita bisa melihat bahwa mentalitas ‘anggap diri sebagai korban, self victim’, yaitu kalau kita selalu selamanya menganggap diri adalah korban di dalam segala situasi dan tidak pernah kitalah yang melanggar, itu bukan sekadar kita mau cari perhatian atau apa pun, itu kesombongan, bahkan kesombongan terhadap Tuhan. Kesombongan kita, yang membuat kita tidak bisa melihat what we have done. Yang kedua, Saul menganggap dirinya pahlawan. “Karena kamu, Samuel, yang tidak datang tepat waktu, itulah sebabnya saya harus memberikan persembahan! Aku harus memberanikan diriku! Kamu kira aku yang salah?? Aku ini korban, bahkan aku melampaui status ‘korban’-ku, aku menjadi pahlawan itu, dan memberikan persembahan. Kalau bukan aku memberikan persembahan, orang Israel bakal melakukan dosa yang sebelumnya; mereka dulu juga pergi berperang tanpa berdoa kepada Tuhan ‘kan, tidak menghormati Tuhan ‘kan, jadi saya penolongnya. I am the saviour. Kamu tidak boleh mencela aku; harusnya kamu memuji aku!” –ini kesombongan juga.
Kesombongan itu bentuknya banyak sekali, bisa ‘self victim’, bisa ‘menjadi pahlawan (hero)’. Dalam hal ini, kita bisa langsung memperbandingkan Saul dengan Kristus. Saul is the embodiment of pride, Christ is the embodiment of humility; Kristus itu rendah hati, bertolak belakang dengan Saul. Kristus adalah sungguh-sungguh korban (victim), “Dia yang tidak berdosa, dijadikan dosa”, tapi kita tidak pernah melihat di dalam Pribadi Kristus Dia self-pity dan self-victim. Tidak ada yang demikian pada Kristus. Ketika Dia dipukul, dihina, harus memikul salib, di Lukas 23 ada perempuan-perempuan yang menangisi Dia, dan apa yang Yesus katakan? “O, ya, memang Saya kasihan, tangisilah Saya” ? Tidak. Yesus mengatakan, “Hai putri-putri Yerusalem jangan kamu menangisi Aku, tangisi dirimu sendiri”. Kenapa Yesus tidak pernah jatuh ke dalam mentalitas ‘jadi korban’? Karena kasih-Nya bukanlah kepada diri-Nya sendiri, kasih-Nya adalah kepada Tuhan, kepada orang yang lain. Bahkan di dalam jalan-Nya ke Golgota, Yesus tetap mengasihi yang di luar diri-Nya. Orang yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan, tidak akan jatuh kepada mentalitas ‘korban’; sebaliknya, orang yang tidak ada kasih, senantiasa dan selamanya merasa diri korban.
Di dalam hal ini, kita juga bisa aplikasikan diri kita sebagai Gereja. Kalau kita sebagai Gereja –bahkan di cabang ini saja– hanya mengerti hidup sebagai victim, itu artinya kesombongan. Kalau kita sebagai Gereja lokal merasa salahnya selalu di cabang lain, di luar, di dunia, di masyarakat, di RT/RW –semua yang lain yang salah– dan kita sendiri yang tidak ada salahnya, itu artinya pride, bukan gara-gara kita ditindas atau apa pun lainnya. Di dalam lingkungan kita, masalah ini harus sangat kita perhatikan karena Pak Tong sering mengingatkan bahwa kita minoritas, bahkan minoritas di antara yang minoritas (Kristen minoritas, Reformed lebih minoritas, dan Reformed Injili lebih minoritas lagi); dan, orang yang dalam lingkungan minoritas akan sangat gampang menganggap dirinya korban, ‘O, saya tidak bisa lawan, kuasa di luar terlalu besar, kita lemah, kita setia dalam kebenaran, mereka yang menindas’. Maaf saja, kalau sudah sampai dalam tahap seperti itu, di mana kita tidak lagi bisa melihat diri kita juga ada kekurangan, itu pride, bukan kita benar-benar ditindas.
Yang kedua, kita juga bisa melihat Yesus adalah Pahlawan yang sejati, tapi Dia tidak pernah mau berperan sebagai pahlawan yang kuat, tidak ada rentannya, dsb. Yesus sebagai pahlawan yang sejati, Dia tidak seperti hero-hero tipikal yang kita lihat dalam naras-narasi lain. Dalam naras-narasi yang lain, pahlawan tidak boleh rentan, tidak boleh lemah, harus senantiasa strong, maskulin; tetapi Kristus sebagai the true hero, Dia bisa rentan. Di Taman Getsemani, Dia juga bisa menunjukkan Dirinya takut, gemetar, “Bapa, kalau bisa singkirkan cawan ini”. Dia tidak menutup-nutupi diri, harus kelihatan kuat atau apapun, walaupun Dia pahlawan yang sejati. Yesus juga tidak menolak pertolongan orang lain. Ketika Yesus pikul salib, ketika Dia sudah begitu capai, begitu sengsara, dipukul, dicambuk, dst., dan Dia tidak bisa lagi memikul salib-Nya, lalu prajurit Romawi memanggil Simon dari Kirene untuk bantu Yesus pikul salib sampai ke atas bukit, Yesus tidak bilang, “No! No! Saya saja urusan keselamatan, tidak ada bagian orang lain!” –tidak ada yang seperti itu. Yesus tidak kelihatan sok mau jadi pahlawan, ‘Saya saja, kamu tidak perlu bantu’. Kenapa Yesus tidak menolak pertolongan Simon dari Kirene? Karena Dia juga tidak mengejar pengakuan bagi diri-Nya sendiri. Dia bukan mengejar pengakuan dengan ‘harus Saya yang memikul, only My part, supaya nanti pada akhirnya Saya saja yang diakui oleh dunia; Simon tidak boleh diakui’ ; yang seperti itu tidak ada. Simon benar-benar dipakai, memikul salib itu sampai akhir. Inilah Pahlawan Sejati. Tetapi pahlawan yang palsu maunya semua dia sendiri, tidak bisa kerja sama dengan orang lain, bukan gara-gara mereka terlalu capable –memang itu mungkin– tapi gara-gara dia mau seluruh kredit jadi miliknya sendiri, sedangkan kalau kerja sama berarti harus berbagi kredit, kemuliaannya harus dibagi-bagi. Orang yang tidak bisa bekerja sama, mungkin mereka didorong oleh sifat ‘pahlawan yang palsu’ seperti ini. Di dalam Injil Yohanes 17, Yesus berkata, “Dan segala milik-Ku adalah milikmu, milimu adalah milik-Ku; dan –berikut ini kata kuncinya–Aku telah dipermuliakan di dalam mereka”. Siapa yang disebut ‘mereka’? Murid-murid-Nya. Yesus tidak mengatakan, ‘Aku telah dipermuliakan di dalam diri-Ku sendiri, only Me’, tapi ‘Aku telah dipermuliakan di dalam mereka’. Yesus dipermuliakan melalui murid-murid-Nya.
Sekali lagi, kita bisa aplikasikan ini, kalau kita sebagai Gereja, atau bahkan sebagai individu, tidak bisa kerja sama dengan siapa pun, hanya ada diri kita sendiri, itu artinya kesombongan. Itu mungkin karena kita maunya hanya diri kita saja yang ditinggikan, kita mau diakui sebagai pahlawan, the one and only yang bisa menyelamatkan. Dan, sulit untuk mengatakan yang seperti itu adalah pekerjaan Roh Kudus. Sekali lagi, kalau kita mau serupa dengan Kristus, dalam hal ini Kristus, The True Hero, Dia rendah hati, Dia bisa menerima orang lain ikut berbagian, bersama-sama.
Kembali ke pembacaan hari ini, kita bisa dengan jelas melihat bahwa masalah utama di sini adalah kesombongan Saul yang menghalangi dia untuk sungguh-sungguh mengakui dosanya. Ketika kita mengerti hal ini, kita bisa mengerti ayat 13 dan 14 alasannya Samuel mengatakan kepada Saul, “Perbuatanmu itu bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah TUHAN”; dan setelah itu Samuel menurunkan penghukuman kepada Saul: “…sebab sedianya TUHAN mengokohkan kerajaanmu atas orang Israel untuk selama-lamanya. Tetapi sekarang kerajaanmu tidak akan tetap.” Penghukumannya sadis; gara-gara satu hal tadi, kerajaan Saul tidak akan tetap, padahal Tuhan sedianya mau mengokohkan kerajaan Saul. Di dalam hal ini Tuhan tidak mungkin berbohong; ketika Tuhan memilih Saul, Dia memang mau memilih Saul, dan ketika Tuhan mau menetapkan kerajaan Saul, Dia memang mau menetapkan kerajaan Saul. Alasannya Saul ditolak adalah karena Saul sendiri yang menolak Tuhan. Dan sekarang Tuhan bilang kepada Saul, “Gara-gara dosa kamu ini, gara-gara kamu sudah mengeraskan hati, menolak perintah Tuhan, sekarang kerajaanmu tidak akan tetap”. Sekali lagi, dosanya Saul bukan dosa masalah liturgi, bukan masalah bahwa dia raja tapi dia mengambil porsinya imam sehingga secara keagamaan dia melanggar; kalau pengertian kita seperti itu, seolah-olah Tuhan kekanak-kanakan, cuma masalah kecil seperti itu lalu Saul dibuang. Sepertinya sulit untuk mengerti pembacaannya secara demikian; kalau memang cuma masalah religious liturgy lalu Saul dibuang sabagai raja, hari ini tidak akan ada orang yang berani jadi liturgis di gereja, takut, salah sedikit langsung dihukum. Tapi pastinya tidak demikian. Sangat jelas bahwa di sini adalah gara-gara Saul sendiri yang mengeraskan hati dan menolak Tuhan.
Ayat 14b, Samuel mengatakan, “TUHAN telah memilih seorang yang berkenan di hati-Nya dan TUHAN telah menunjuk dia menjadi raja atas umat-Nya” —ini jelas menunjuk kepada Daud. Tuhan sudah memilih seseorang, yaitu Daud. Perhatikan bagaimana Alkitab mendeskripsikan Daud; Daud yang dipilih menjadi raja atas Israel, yang akan menggantikan Saul, adalah seorang yang berkenan di hati Tuhan. Dalam hal ini penerjemahan LAI tidak terlalu tepat, seakan-akan maksudnya Tuhan yang berkenan kepada dia, sementara bagian Daud-nya tidak ada, hanya urusan Tuhan berkenan kepada dia dan pilih dia. Tapi kalau kita melihat terjemahan NIV atau terjemahan bahasa Inggris yang lain, cukup jelas bahwa bukan Tuhan memilih Daud karena Tuhan berkenan kepada dia, tapi dikatakan: “The Lord has sought a man after His own heart”. Daud sebagai a man after His own heart, diambil dari ayat ini. Daud dipilih sebagai raja karena Tuhan sudah mencari seseorang yang mengejar hati-Nya, orang yang terus mengejar hati Tuhan. Itulah sebabnya Tuhan memilih Dia.
Pertanyaannya, apa artinya ‘a man after His own heart’? Apa artinya orang yang mengejar hati Tuhan? Ini kalimat abstrak, seperti juga ada kalimat-kalimat Kristen yang abstrak, misalnya “dipuaskan oleh Kristus”, yang kita sebenarnya tidak terlalu tahu apa artinya. Orang yang mengejar hati Tuhan, itu apa? Kalau kita mau tahu, kita kembali ke teksnya saja; dalam bagian ini, artinya ‘orang yang mengejar hati Tuhan’ bisa langsung kita kontraskan dengan Saul. Saul bukan Daud, Daud bukan Saul. Saul tidak mengejar isi hati Tuhan, Daud mengejar isi hati Tuhan. Dalam hal apa Saul tidak mengejar isi hati Tuhan? Dalam kesombongannya, dan dalam hal dia tidak bersandar kepada Tuhan. Simpel saja. Di dalam hal inilah Saul tidak mengejar isi hati Tuhan. Sebaliknya Daud, yang sudah dipilih sekarang, yang mengejar isi hati Tuhan, artinya Daud itu rendah hati, dan Daud mengejar isi hati Tuhan. Kalau kita pakai sudut pandang Perjanjian Baru, kitab Kisah Para Rasul mengatakan bahwa Tuhan sudah memilih Daud karena dia mengejar isi hati Tuhan dan dia taat. Dia melakukan kehendak Tuhan. Inilah artinya ‘a man after God’s own heart’. Daud dipilih gara-gara dia taat dan rendah hati. Secara kriteria, Daud pasti jauh dari sempurna. Kita tahu Daud kuat; tapi Saul juga kuat, bahkan mungkin lebih kuat, dia satu kepala lebih tinggi daripada semua orang Israel. Secara karakter, Daud juga berdosa, Daud juga ada kesombongannya, tapi yang membedakan dengan Saul adalah Daud itu rendah hati; walaupun dia tidak sempurna, dia tetap mau kembali bersandar kepada Tuhan, dia tetap mau mengakui dosanya, dia mau mencoba untuk taat kepada Tuhan. Dan dalam hal ini, Tuhan memilih Daud sebagai raja atas Israel.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, saya percaya di dalam pengalaman Kekristenan kita, ini juga yang sering kali kita cari dalam diri seorang gembala/pemimpin. Yang sering kali sangat menggerakkan kita untuk kita mau mengikut seorang gembala, bukanlah gara-gara dia super jenius, brilian, teologinya sangat dalam, atau apa pun; kita sangat tergerak atau sangat dipengaruh seseorang, pada akhirnya adalah karena orang tersebut kita lihat sebagai orang yang rendah hati, bersandar kepada Tuhan, dan taat. Itulah yang sungguh-sungguh powerful yang membuat kita merasa ‘inilah orang yang harus aku ikuti’. Coba saja kita perhatikan kesaksian-kesaksian orang-orang Kristen, kesaksian-kesaksian orang yang menyerahkan diri sebagai hamba Tuhan, mengenai ‘apa yang membuat kamu memegang iman, apa yang membuat kamu bisa mau jadi hamba Tuhan’, di situ jarang sekali dalam kesaksiannya mereka mengatakan, “O, saya terinspirasi oleh orang jenius ini, pemikirannya begitu dalam, begitu tuntas, begitu komprehensif, maka akhirnya saya menyerahkan diri jadi hamba Tuhan”. Saya sendiri tidak pernah dengar yang seperti itu. “Saya begitu terinspirasi oleh Karl Barth! Saya langsung mau jadi hamba Tuhan”, kayaknya tidak ada yang seperti itu. Sebaliknya, sering kali ada hamba Tuhan yang sederhana, yang taat, yang rendah hati, yang menggerakkan mereka. Waktu anak-anak remaja disurvei, “Apa yang membuat kamu terus mau berada dalam Gereja, apa yang membuat kamu terus memegang iman”, dalam suatu survei di Amerika, peran hamba Tuhan cuma 15%, angka yang minim. Yang paling banyak berperan adalah orangtua; “saya terus memegang iman karena saya lihat orangtua, orangtua yang terus rendah hati, orangtua yang terus berdoa, ibu yang terus bersandar, yang terus setia sampai mati” –yang seperti itu, terus-menerus menggerakkan. Dan dalam hal ini, ketika kita mengikut Kristus sebagai Pemimpin Agung kita, sebagai Raja kita, kita juga sebetulnya melihat hal yang sama. Kalau Kristus itu berkuasa, brilian, jenius, eksposisi Alkitab Perjanjian Lama tuntas, mengusir setan, dsb., tapi Dia tidak taat, buat apa? Kalau Dia tidak taat, Dia bukan raja kita. Kristus bisa dikatakan “dipilih” menjadi raja karena Dia rendah hati dan taat. Ini kesaksian Alkitab. Kita tahu Kristus pastinya dari natur ilahi-Nya, sebagai Pribadi Kedua Allah Tritunggal, sejak momen kelahiran-Nya Dia adalah Raja, Raja atas segala raja; tapi dari natur manusia-Nya, Alkitab mempersaksikan bahwa Kristus itu diangkat menjadi Raja, bukan karena Dia powerful tapi karena Dia taat, karena Dia rendah hati. Paulus dalam Surat Filipi pasal 2 menuliskan kerendahan hati Kristus yang sangat terkenal itu; dikatakan: ‘Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan”’.Dari natur manusia Kristus, Dia diangkat dan ditinggikan, diberikan seluruh kuasa menjadi Raja, karena apa? Karena Dia merendahkan diri dan taat, bahkan Dia taat sampai mati.
Ini kita juga bisa aplikasikan dalam diri kita sebagai individu orang Kristen, dan sebagai Gereja. Kita sering kali mendengar dalam lingkungan Reformed, ‘Kristus itu Raja, Imam, Nabi; kita, walaupun bukan raja, imam, nabi, tapi kita menjalankan fungsi raja, imam, nabi’. Dalam bagian ini, ketika kita sadar Yesus itu diangkat menjadi Raja (Lord) karena Dia rendah hati dan taat, maka bagaimana kita menjalankan fungsi ‘raja’ kita? Ketika kita katakan bahwa kita mau menjalankan fungsi ‘raja’ dalam Gereja, itu bukanlah soal kita bisa menikmati semua kekayaan, kenikmatan, luxury; itu bukanlah berarti kita menjalankan dominasi, jadi yang harus menaklukkan, dst., tetapi artinya adalah kita taat dan bersandar, karena Kristus adalah Raja gara-gara Dia taat dan bersandar. Gereja yang menjalankan fungsi ‘raja’ dengan tepat adalah Gereja yang sungguh-sungguh rendah hati dan taat kepada Tuhan. Gereja yang gagal rendah hati dan bersandar kepada Tuhan, tidak bisa mempersaksikan Kristus itu Raja. Itu impossible! Kalau kita tidak mau rendah hati dan taat dan sepenuhnya bersandar kepada Tuhan, lalu ke mana-mana kita keluar mengatakan, “Yesus itu Raja, Yesus itu Raja”, itu adalah propaganda, itu bukan Injil. We cannot proclaim Christ as King if we don’t rely upon Him, tidak bisa, karena tidak sesuai dengan narasi Alkitab. Itu bermain agama. Kalau Gereja tidak sungguh-sungguh mau rendah hati, berlutut; kalau Gereja tidak mau berdoa sebagai bukti nyata kita ini orang yang helpless, yang betul-betul bersandar kepda Tuhan, Gereja tidak bisa mempersaksikan Kristus itu Raja! We cannot! Kita gagal.
Kiranya kita bisa sungguh-sungguh lebih serupa dengan Kristus, dalam hal ini menjalankan fungsi ‘raja’ kita sebagai Gereja, melalui ketaatan kita, melalui kerendahan hati kita, bersandar sepenuhnya kepada Tuhan, dan barulah kita bisa mempersaksikan Yesus adalah Raja, barulah kita bisa sungguh-sungguh menyatakan Injil, Christ is Lord and God. Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading