Kita sedang berada dalam satu seri pembahasan mengenai pertemuan-pertemuan orang dengan Tuhan; dan ini pertemuan yang ke-8. Kita sudah membahas tentang Paulus dengan pengalamannya diangkat ke langit ketiga, pengalamannya soal duri dalam daging; dan sekarang kita mundur sedikit, membahas satu pengalamannya yang merupakan awal dari semua itu, yaitu pertemuannya dengan Tuhan di jalan menuju Damsyik. Ini bukan cuma cerita mengenai Paulus, tapi juga Ananias; kita akan melihat dua cerita ini bersamaan.
Sebelum masuk ke dalam ceritanya, ada 2 alasan kita perlu mempelajari bagian ini. Pertama, karena ini satu peristiwa yang seringkali disebut “the conversion of St. Paul”. Istilah konversi ini lumayan tepat, karena ini satu pertemuan yang mengakibatkan putar baliknya seluruh kehidupan Paulus. Dalam hal ini, ada satu masa para sarjana Alkitab mencoba menyelidiki Alkitab dengan metode psiko-analisa; dan Carl Jung pernah mencoba menganalisa psikologinya Saulus dari Tarsus ini. Dia menemukan bahwa Saulus menunjukkan ciri khas orang yang overcompensating. Saulus ini begitu semangat, fanatik, nafsu tingkat dewa, dan juga violent, untuk mengejar orang-orang Kristen dan memenjarakan mereka; ini cocok dengan gejala orang yang ada kekosongan atau lubang besar dalam dirinya, sehingga dia kompensasi ke luar. Kembali ke pembahasan kita, yang menarik adalah Saulus ini berubah setelah kejadian dalam perjalanan ke Damsyik tersebut. Belakangan, misalnya di Filipi 4, Paulus memberi kesaksian bahwa dia sekarang telah mengerti rahasia untuk bisa merasa cukup dalam segala sesuatu, dalam situasi kenyang ataupun lapar, dalam situasi berkecukupan ataupun kekurangan. Orang inilah juga, yang belakangan bisa memandang kematian dengan mengatakan, “Hai maut, di mana sengatmu?” Jadi, menarik untuk kita meneliti mengapa Paulus bisa jadi seperti ini, apa yang terjadi dalam turning point atau conversion ini, sehingga Saulus begitu berubah.
Yang kedua, kalau Saudara perhatikan kalimat Paulus dalam 1 Timotius 1:16, ternyata dia menempatkan pengalaman pertobatannya itu sebagai satu sketsa, satu pola, bagi semua orang Kristen yang lain; “Tetapi justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian aku menjadi contoh –bahasa Yunani: sketsa/ pattern/ pola– bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal.” Tentu saja bukan berarti kita juga harus jatuh dari kuda – melihat terang – buta 3 hari, melainkan satu pola yang lebih dalam dari itu. Inilah alasan singkat kita perlu mempelajari cerita ini.
Kita akan mulai dengan cerita mengenai Paulus dulu. Ini satu cerita yang Paulus ceritakan ulang sampai 3 kali di seluruh Kisah para Rasul (pasal 9, 22, 26); dan masih ada lagi di bagian yang lain. Bagi Alkitab yang gaya penulisannya singkat padat, kalau satu cerita diulang sampai 3 kali, itu ibarat tulisan yang di-bold, italic, underlined, dan font-nya dibesarkan. Ini berarti, kita mungkin sudah kenal cerita ini, tapi belum benar-benar menangkap nuansa/bobot yang sebenarnya. Saya ingin mengajak Saudara untuk lebih mengerti hal ini.
Waktu kita melihat cerita ini, kita melihat diri Paulus (Saulus). Jelas sekali dia ini ibarat seorang yahudi-nya orang Yahudi, orang yang sejak awal tingkat keagamaan Yahudinya kelas hard core, farisi-nya orang Farisi, murid Gamaliel. Itu berarti kita bisa sedikit berspekulasi, bahwa Paulus sangat familiar dengan doa-doa dan pola-pola meditasi orang Yahudi pada zaman itu. Hal ini ada hubungannya dengan penampakan Tuhan dalam perjalanan menuju Damsyik tersebut. Kita tahu di semua agama, termasuk Yudaisme, ada semacam teknik-teknik perenungan/meditasi [meditasi Alkitab adalah mengisi pikiran dengan Firman Tuhan]; dan pada zaman Paulus, dalam Yudaisme diajarkan satu pola meditasi Firman Tuhan yang cukup populer, yaitu merenungkan kisah Yehezkiel yang bertemu dengan kemuliaan Tuhan dalam Yeh. 1.
Yehezkiel 1 adalah kisah nabi Yehezkiel melihat kemuliaan Tuhan, dimulai dari penglihatan akan 4 mahkluk (semacam malaikat) dengan 4 muka, dan ada sesuatu menyerupai kereta, ada roda-roda, cahaya luar biasa, dsb. Perenungannya mulai dari malaikat yang membawa kereta-kereta itu, selanjutnya tentang keretanya sendiri, dan klimaksnya melihat kemuliaan Allah yang berada di atas kereta-kereta tersebut. Bagian Alkitab ini seringkali dipakai orang-orang Yahudi untuk merenungkan/bermeditasi, karena mereka rindu suatu hari diizinkan seperti Yehezkiel, melihat kemuliaan Allah secara langsung, melihat muka dan rupa Tuhan sendiri. Satu motif yang terus-menerus muncul tentang kemuliaan Tuhan dalam Yeh. 1 adalah terang, cahaya yang bersinar ke mana-mana, gilang-gemilang di mana-mana. Dari bukti sejarah, kita mengetahui bahwa metode meditasi seperti ini cukup populer di antara orang Yahudi; dan, karena Paulus ini seorang yahudi-nya Yahudi, farisi-nya Farisi, kita bisa berspekulasi sedikit –ini tidak ada di Alkitab—bahwa Saulus paling tidak sangat familiar dengan metode ini. Ini membuat kita lebih bisa melihat pertemuannya dengan Tuhan di Damsyik sebagai satu pertemuan dengan bobot yang lebih dalam untuk bisa mengerti pikiran yang kira-kira ada di kepalanya ketika Saulus menemui cahaya Tuhan di tengah jalan itu.
Perlu kita ingat, perjalanan ini bukan sekedar jalan-jalan. Dia sedang mengemban satu misi religius untuk membela kemuliaan Allah yang dia sembah, yang menurutnya diinjak-injak oleh para pengikut Yesus orang Nazaret itu, yang mengatakan tentang Allah jadi manusia, Allah bisa mati, dan segala macam lainnya. Dan mungkin saja, dalam perjalanan ini Saulus merasa harus terus merenungkan kemuliaan Allah yang sedang dia bela itu, berfokus kepada Allah, mencoba dan berharap melihat seperti Yehezkiel melihat. Lalu satu hari, tiba-tiba tampak baginya suatu cahaya yang begitu terang, cahaya yang begitu ajaib. Kita tahu dari pasal 22 dan 26, Paulus mengatakan bahwa itu bukan cahaya matahari, itu cahaya yang begitu kuat karena munculnya ketika hari sedang siang. Di sini Saudara bisa bayangkan, mungkin awalnya Saulus excited, mengira harapannya terpenuhi, bukan saja bisa melihat kemuliaan Tuhan lewat perenungan rohani tapi sekarang mata jasmaninya pun diperbolehkan untuk melihat kemuliaan Allah, untuk melihat bentuknya Allah sebagaimana Yehezkiel melihatnya, untuk melihat api-Nya dan cahaya-cahaya yang luar biasa itu, untuk memandang wajah Allah. Tapi ternyata, wajah yang dia lihat itu adalah wajah Yesus dari Nazaret.
Memang ini spekulasi, tapi spekulasi yang ada alasannya, karena belakangan Paulus menulis satu kalimat yang spesifik, bahwa terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah, itu tampak pada wajah Kristus (2 Kor.4: 6). Di bagian lain, 1 Kor. 9, Paulus mengatakan “bukankah aku rasul?” yang dilanjutkan –maksudnya–“bukankah aku telah melihat Yesus, Tuhan kita?” Jadi ini spekulasi yang ada argumennya, tapi tetap spekulasi, karena kita tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi; tapi di sini saya cuma ingin membuat Saudara lebih mengerti nuansa/bobotnya ketika Paulus mengalami hal tersebut.
Saudara bisa bayangkan, apa yang kemudian ada dalam pikiran Paulus, yang memenuhi seluruh tubuhnya? Mungkin satu perasaan teror. Mungkin perasaan bingung yang dahsyat, rasa malu, horor, dunia seperti dijungkirbalikkan; karena hal yang selama ini dia anggap sebagai kebenaran, yang sudah diajarkan sejak kecil, yang dia perjuangkan mati-matian, pada saat yang sama dikonfirmasi sekaligus dijungkirbalikkan. Dikonfirmasi, karena Allah yang dia sembah itu –Allah Abraham, Ishak dan Yakub; Allah yang dilihat Yehezkiel—itu riil! Itu sungguhan! Inilah Allah yang selama ini dia sembah. Inilah Allah yang selama ini dia –mungkin—bermeditasi, yang dia begitu rindu melihat wajah-Nya, dan hari ini dia benar-benar melihatnya –ada konfirmasi luar biasa yang datang kepada Saulus. Di sisi lain, seluruh hal yang diajarkan, seluruh yang dia tahu, seluruh kebenaran yang atasnya dia mendasarkan hidupnya, itu dijungkirbalikkan habis-habisan karena ternyata Allah yang dia sembah itu adalah Yesus, Orang Nazaret, yang pengikutnya sedang mau ia seret masuk penjara!
Saudara bayangkan, Allah yang kehormatannya sedang Saulus perjuangkan, yang demi itu dia pergi ke sana ke mari untuk menyiksa, menganiaya, memenjarakan orang, ternyata adalah Yesus dari Nazaret, Pemimpin orang-orang yang dia sedang penjarakan itu. Yesus itu, yang dalam pandangan Saulus telah menyesatkan Israel dengan ucapan-ucapan hujatan-Nya, dengan nubuatan-nubuatan-Nya yang ngawur bahwa Bait Allah akan dirubuhkan, dsb., yang akhirnya membuat dirinya sangat bersyukur ketika Allah memakai orang-orang Romawi menyalibkan “Si Penyesat” itu sehingga terbukti Orang ini tidak bisa jadi Mesias karena Dia mati; ternyata Yesus itu adalah Allah yang selama ini dia layani, Allah yang selama ini dia cari, Allah yang selama ini diajarkan kepada dia lewat Gamaliel dan guru-guru yang lain. Dan, Allah yang dia sembah itu ternyata selama ini telah menggenapi janji-Nya berkali-kali selama ratusan tahun bahwa Dia akan menyelamatkan umat-Nya, namun Dia memilih caranya dengan menjelma menjadi Yesus, Orang Nazaret itu.
Paulus orang yang sangat brilian pikirannya, maka bisa dibayangkan apa yang berkelebat dalam pikirannya pada momen seperti ini, bagaimana kejadian ini mau tidak mau menuntutnya untuk melihat kembali seluruh peristiwa sepanjang sejarah dalam kacamata yang berbeda. Semua itu berkelebat dalam pikirannya. Mulai dari kejadian yang paling segar di ingatan yaitu kisah eksekusi Stefanus yang dirinya setuju orang ini dibunuh; lalu sekarang ternyata Stefanus yang benar?? Lebih jauh lagi, mungkin dia mengingat kisah-kisah kuno ketika Allah berjanji kepada Abraham bahwa dari keturunannya akan lahir seseorang; juga nubuat-nubuat lain dalam Alkitab, seperti Yesaya yang mengatakan, “Sebab bagi kita, seoarang anak telah dilahirkan.” Maka kemudian berkelebat dalam pikirannya, “kalau begitu, Orang itu, Anak itu adalah …. “ Belum selesai dia berpikir, dia jatuh ke tanah, dia dibutakan oleh cahaya tadi. Masih belum cukup syok yang dia rasakan, kata-kata Yesus yang muncul berikutnya adalah, “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” Menganiaya Engkau?? Jadi selama ini saya bukan cuma salah telah menganiaya, tetapi bahwa ketika saya menganiaya orang-orang itu, yang merasakan sakitnya adalah Engkau?? Orang-orang yang saya penjarakan atas nama Allah, waktu saya menyiksa mereka, ternyata Engkau merasakan derita mereka?? Engkau adalah Allah yang memanjangkan diri-Mu kepada orang-orang ini?? Semua ini mungkin terlalu besar bagi Paulus, terlalu overloaded, sehingga dapat dimengerti kalau selanjutnya dia harus dituntun masuk ke Damsyik, dan 3 hari lamanya dia tidak makan, tidak minum. Orang-orang mengatakan ini sebagai peristiwa konversi, tapi mungkin itu istilah yang terlalu lembut; yang dialami Paulus ini seperti letusan gunung berapi, tsunami, gempa, dan likuifaksi menjadi satu.
Cerita yang kedua adalah tentang Ananias. Ini cerita yang juga menarik karena Ananias di sini ibarat seorang pemain cymbal dalam orkestra. Dalam orkestra, tidak semua alat musik diciptakan untuk dimainkan sama rata. Biola dimainkan terus dari awal sampai akhir, mungkin kadang-kadang berhenti, diam, tapi itu tidak terlalu lama; sedangkan alat-alat musik lain yang diletakkan di belakang tidak dimainkan terus-menerus, dan salah satunya yaitu cymbal. Kalau kita menonton sebuah konser, pemain cymbal mungkin menanti sepanjang konser untuk cuma memainkan 1 not, dan itu not terakhir, yang paling klimaks. Dia membuat satu suara yang nyaringnya melebihi semua alat musik lainnya, membawa musiknya naik melampaui bagian manapun sebelumnya, lalu semua orang berdiri, tepuk tangan, conductor memberi hormat, lalu selesai, dan penonton pulang. Itulah mungkin perasaan Ananias di bagian ini.
Kita tidak tahu siapa Ananias, dia orang yang hanya muncul satu kali dalam kisah konversinya Paulus ini, dan kita tidak pernah mendengar tentang dia lagi. Kita tidak pernah diceritakan mengenai konversinya Ananias sendiri, kita tidak tahu bagaimana dia bertobat, kita tidak tahu apapun dalam hidupnya selain yang diceritakan di bagian ini. Dia masuk dalam cerita ini, melakukan satu hal yang besar, lalu hilang begitu saja. Tapi mungkin ini justru satu hal yang mengagumkan dari Ananias, karena dari bagian ini kita jadi tahu betapa Ananias peka mendengar suara Tuhan Yesus dan juga bersedia untuk menaatinya, walaupun perintah tersebut sebenarnya kurang masuk akal baginya. Dan kalau kita perhatikan konteksnya, yang mengagumkan juga adalah banyak orang Kristen yang masih bertahan di kota Damsyik.
Berita tentang seorang muda yang sangat ekstrim telah diberikan otoritas oleh Imam Besar untuk pergi membawa misi khusus, menyidak sinagoga-sinagoga di Damsyik untuk menangkap pengikut-pengikut sekte sesat atas nama Yesus Orang Nazaret, adalah berita yang sangat cepat viral. Bahkan waktu Ananias berdoa menyampaikan keluhannya kepada Tuhan, dia mengatakan hal itu, bahwa dirinya dan orang-orang sebangsanya di kota itu sudah tahu siapa Saulus. Mereka mungkin sudah gemetaran menanti hari Saulus sampai di gerbang kota, tapi sekarang justru Tuhan Yesus menampakkan diri kepada Ananias dan menyuruhnya pergi menemui Saulus –menjemput bola. Ini tidak masuk akal. Lalu Tuhan berusaha meyakinkan Ananias bahwa melakukan hal ini aman. Pertama, dengan Tuhan mengatakan “Saulus sedang berdoa”; tapi mungkin Ananias berpikir, “bisa saja dia berdoa untuk memfokuskan diri demi menyiksa dan menganiaya kami.” Namun Tuhan menambahkan, Saulus ini telah menerima penglihatan bahwa seorang bernama Ananias akan datang, menumpangkan tangan atas dirinya, dan membuat dirinya bisa melihat kembali. Sampai di bagian ini, Ananias masih tetap ragu. Dia mengatakan kepada Tuhan, “Sekali lagi, Tuhan, semua orang di sini sudah tahu alasannya orang itu datang ke Damsyik. Semua kabar tentang yang dilakukannya di Yerusalem terhadap orang-orang Kristen di sana, telah menyebar ke mana-mana.” Di momen inilah, Allah memberikan kepada Ananias satu jawaban yang menyibak tirai rencana Allah; Tuhan Yesus mengatakan, "Pergilah, sebab orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku –My chosen instrument– untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain.” Ini adalah momen Allah memanggil Saulus untuk menjalankan satu misi spesifik, bahwa waktunya sudah tiba untuk kabar baik dari Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, Alllah Israel, Allah orang-orang Yahudi, dibuka bukan saja bagi bangsa Yahudi melainkan juga bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia, bangsa-bangsa lain yang selama ini dilabelkan “kafir”.
Rencana Allah untuk menjangkau orang-orang dunia kafir ini, adalah justru dengan mengirim seseorang yang paling super Yahudi, yang paling tulen Yahudinya, yang paling radikal ke-Yahudi-annya, yang paling fanatik –atau kalau pakai istilah sekarang ‘ultranasionalis’– yang super ortodoks, orang Farisi. Orang yang paling semangat untuk membungkam Injil ini, sedang dipakai justru untuk membawa Injil itu keluar, kepada orang-orang yang berbeda sama sekali dengan dirinya. Itulah justru rencananya Allah. Mengapa bisa begitu? Sepertinya tidak masuk akal! Tetapi ini pilihan yang sangat tepat, karena dengan demikian tidak ada orang yang bisa mengklaim bahwa kabar Injil dibuka ke bangsa-bangsa lain karena pengabar-pengabar Injil ini meremehkan tradisi Israel, menganggap rendah ke-Yahudi-an orang Yahudi. Alasannya Allah memilih orang “yang sangat tidak tepat itu”, memilih orang yang super tulen ke-Yahudi-annya untuk menjangkau orang-orang kafir, mungkin justru karena dengan demikian tidak ada orang yang bisa mengatakan bahwa Injil bocor kepada orang-orang Yunani, orang-orang non-Yahudi itu,dikarenakan orang-orang yang tidak sinkron dengan Yudaisme.
Bukan cuma itu, poin berikutnya adalah: Tuhan Yesus mengatakan, “Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku.” Sama dengan yang tadi, lewat hal ini, tidak ada yang bisa mengklaim bahwa Saulus (Paulus) –atau siapapun orang Kristen yang lain–masuk ke dalam pengabaran Injil ini demi mendapatkan kehidupan yang nyaman, kemuliaan duniawi, kuasa, harta, dsb. Demikianlah Paulus, Ananias, dan demikian juga harusnya kita.
Ceritanya sampai di situ; lalu pertanyaannya: apa yang bisa kita pelajari dari hal ini? Satu poin besar, dari semua pertemuan-pertemuan dengan Tuhan, dan khususnya cerita ini, Saudara menemukan baik dalam kisah Saulus maupun kisah Ananias, bahwa Allahmu bukanlah Allah yang jinak. Itulah poin yang selalu kita temukan berulang kali.
Sebenarnya apa sih problem Saulus? Dan meskipun tidak sampai seperti Paulus, problemnya Ananias sebenarnya apa? Apa problem kedua orang ini yang mirip? Yaitu Saulus merasa dirinya tahu Allahnya seperti apa. Dia mengira dirinya sudah figure out Tuhan, dia mengira sudah memahami Tuhan itu seperti ini dan bukan seperti itu. Itulah sebabnya dia syok berat dengan semua ini. Saulus yakin, bahwa Allah tidak mungkin jadi manusia, maka semua klaim tentang Yesus tentunya sesat. Dia sebelumnya juga mendengar pembelaan Stefanus pada saat eksekusinya; salah satu klaim Stefanus adalah mengenai Bait Allah, keimaman Yahudi, dan semua sistem kurban itu sudah lewat, sudah tidak zamannya lagi –dan Saulus tidak bisa terima. Saulus mungkin mau mengatakan, tidak mungkin, kalau begitu, mau diapakan berjuta-juta ayat di Alkitab, yang semuanya bicara mengenai itu?? mau disobek dari Alkitab?? tentu tidak mungkin; maka berarti orang ini sesat.
Intinya, Saulus dan Ananias jelas punya konsep mengenai siapa Tuhan dan bagaimana Dia bekerja, tapi ternyata tuhan menurut konsep ini bukan Tuhan yang sungguhan. Ini adalah tuhan yang Saulus mau lihat, ini adalah tuhan yang cocok dengan ekspektasinya Saulus, tuhan yang pas dengan pandangannya; yang ujungnya jadi bukan Tuhan yang mencipta Paulus dalam gambar dan rupa-Nya, melainkan justru tuhan yang Saulus ciptakan dalam gambar dan rupa dirinya. Lalu suatu hari Saulus bertemu dengan Allah yang riil, Allah yang punya realitanya sendiri, Allah yang punya kehendaknya sendiri, Allah yang tidak eksis dalam realita yang Saulus ciptakan. Perhatikan, kalimat Saulus waktu dia bertemu dengan Tuhan, bukanlah kalimat yang mengatakan, “Wah, Allah ternyata Engkau persis sama, atau cuma beda sedikit dari yang aku pelajari selama ini”; tidak seperti itu, kalimatnya justru mengatakan, “Siapa Engkau, Tuhan?”
Kalau sedikit banyak Saulus saja seperti itu, bagaimana dengan Saudara dan saya? Kita perlu berani menghadapi fakta –atau setidaknya satu kemungkinan yang sangat besar– bahwa yang hari ini Saudara dan saya anggap dan kenal sebagai Tuhan, ternyata sangat dipengaruhi oleh keinginan-keinginan kita, sangat dibentuk oleh subjektifitas kita. Allah yang selama ini kita pikir sebagai Allah, bisa jadi bukan Allah yang asli, melainkan allah hasil ciptaan kita karena kita merasa perlu allah yang seperti itu. Dan poin pertamanya adalah, bahwa allah yang seperti itu, tidak akan pernah mampu mengubah/mengkonversi Saudara; allah yang seperti itu tidak akan pernah mampu memutar balik diri Saudara dari orang yang kosong menjadi orang yang terisi. Allah yang seperti itu tidak akan mungkin mengubah Saudara dalam level yang paling dalam, karena allah tersebut pada esensinya adalah diri Saudara sendiri. Allah yang sanggup mengubah/mengkonversi kita, sebagaimana Dia mengkonversi Paulus begitu dahsyat, adalah Allah yang tidak sesuai dengan ekspektasi kita, yang melampaui bahkan menabrak ekspektasi-ekspektasi kita mengenai Dia. Dengan kata lain, kebutuhan hati kita yang terdalam, mungkin adalah mendapatkan Allah yang justru bukan produk atau hasil bentukan kebutuhan hati kita. Inilah poin yang saya ingin kita sungguh-sungguh renungkan, yaitu bahwa kita hanya bisa benar-benar diubah/dikonversi, hanya bisa benar-benar bertemu dengan Tuhan, jikalau kita senantiasa merasa, menyadari, dan menemukan Allah yang tidak sesuai/tidak pas dengan ekspektasi kita. Mungkin itulah justru tandanya kita menemukan Allah yang sejati, Allah yang menakutkan, Allah yang pada-Nya kita menemukan hal-hal yang Dia katakan atau Dia lakukan sulit kita terima. Ada hal-hal dalam Alkitab yang kita sulit jelaskan. Ada hal-hal yang mengganggu dari perilaku-Nya. Mungkin ketika kita bertemu dengan Allah yang demikian, barulah itu Allah yang sejati, Allah yang bisa mengubah hati kita.
Saya bukan mengatakan Allah seperti ini adalah Allah yang sama sekali baru, lalu namanya jadi bukan Yesus, bukan Tritunggal, dst.; tentu saja bukan itu maksudnya. Seperti Saulus tadi, pada saat yang sama ada bagian yang dikonfirmasi tapi juga ada hal yang dijungkir balik; sebagaimana Saulus waktu bertemu Allah ini, dia mengatakan “ini Allah yang sama, yang selama ini aku sembah, tapi mengapa begitu berbeda??” Pada saat yang sama ada yang dikonfirmasi tapi juga dijungkir balik. Yang menjadi pertanyaan, waktu kita datang kepada Allah kita, apakah kita mengharapkan bertemu dengan Allah yang seperti ini? Atau, kehidupan kita isinya adalah mengharapkan bertemu allah yang makin lama makin stabil, makin gampang, makin predictable, makin pasti?
Waktu saya mengajar PA, dalam interaksi dengan jemaat, saya menemukan bahwa yang membuat mereka bingung bukanlah karena hal yang saya bawakan itu membingungkan, melainkan mereka bingung koq, ada hal yang baru seperti itu. Ini berarti seakan-akan jemaat tidak berharap menemukan hal yang baru, tidak expect bahwa yang namanya Kekristenan senantiasa dibangun dan diarahkan pada hal-hal yang mencengangkan. Mereka pikir, yang namanya Kekristenan dan mengikut Tuhan adalah kisah yang lama itu, yang berulang-ulang dan berulang-ulang lagi diceritakan, yang mengulangi dan mengkonfirmasi dirinya terus-menerus. Seakan-akan jemaat ini mengatakan, ‘caranya saya bisa tahu bahwa saya berada dalam jalan yang benar adalah ketika jalan ini makin lama makin pasti, makin jelas, makin tidak ada belokannya.’ Yang saya mau katakan pada hari ini, kalau Saudara kembali ke Alkitab, bagaimana seandainya kebalikannya yang justru benar; bahwa Saudara bertumbuh dalam Tuhan dan Saudara bisa tahu diri Saudara berada dalam jalan yang benar, ketika jalan Saudara justru belok, belok, dan belok ke arah-arah yang Saudara tidak sangka-sangka, yang Saudara bingung luar biasa? Jika Ananias –bukan cuma Saulus– bersikukuh untuk bertahan pada hal-hal yang dia sudah tahu, yang dia sudah pasti, yang dia sudah nyaman, maka dia tidak akan bisa melihat rencana Tuhan yang begitu luar biasa, yang mengutus seorang ultra-Yahudi kepada orang non-Yahudi.
Mungkin Saudara berkata, “O, tidak, saya justru senang mencari yang baru seperti itu, Pak; justru saya kepingin dapat insight yang baru, yang segar itu”; tapi yang saya maksudkan bukan “baru” dalam arti seperti itu, melainkan “baru” dalam pengertian hal itu menjungkirbalikkan Saudara. Ini bukan tanpa konfirmasi; Saudara sudah ada basisnya, dan basis itu dipakai oleh Tuhan; tapi Tuhan mendirikan bangunan di atas pondasi tersebut ke arah-arah yang Saudara tidak sangka, yang mungkin Saudara rasa salah. Ada pondasi dan ada konfirmasi. Tuhan bekerja di atas pondasi itu; dan juga Tuhan membangun ke arah-arah yang “aneh”, yang tidak nyaman, yang mengganggu, yang mungkin kita rasa bertabrakan dengan apa yang selama ini kita sudah tahu.
Saya pakai analogi dari film Toy Story, film yang sangat bagus mengenai jungkir balik. Ceritanya tentang mainan-mainan milik seorang anak. Pada waktu si anak memainkannya, mereka ini jadi mainan; tapi ketika si anak pergi, mainan-mainan ini hidup dan bermain-main sendiri. Tapi satu hal yang menarik, semua mainan itu sadar bahwa dirinya mainan, kecuali satu mainan yang paling baru, Buzz Lightyear. Mainan ini bentuknya seperti tentara space marine, dan dia pikir dirinya benar-benar space marine. Semua mainan lain berusaha meyakinkan dia bahwa mereka itu mainan, tapi dia tidak peduli. Suatu hari dalam petualangan mereka, mereka nyasar, masuk ke satu toko mainan, yang etalasenya dari ujung ke ujung dipenuhi kardus-kardus berisi mainan Buzz Lightyear. Di situ Buzz Lightyear mau tidak mau harus menghadapi fakta bahwa semua yang selama ini dia pikir sebagai kebenaran, ternyata kebohongan. Ini cerita “jungkir balik”. Bagi Saudara dan saya pertanyaannya, bagaimana jikalau kehidupan Kristen adalah senantiasa mengalami yang seperti itu di hadapan Tuhan? Apakah Saudara expect hal ini? Apakah Saudara mencari Kekristenan yang seperti ini? Tetapi, kalau Saudara melihat pertobatan Paulus dan pertobatan-pertobatan orang-orang yang lain, melihat pertemuan-pertemuan mereka dengan Tuhan, yang Paulus katakan sebagai satu sketsa bagi semua orang yang bertemu dengan Tuhan, berarti jawaban Alkitab sebenarnya cukup jelas.
Satu contoh, sebagai poin terakhir yang sekaligus untuk menutup juga; seseorang bertanya begini: dalam kehidupan hari ini, kalau hidup kita penuh dengan penderitaan, apakah salah atau tidak, jika kita sebagai orang Kristen mengharapkan kehidupan yang akan datang itu, dan berdoa kepada Tuhan untuk mati saja, cepat-cepat bertemu dengan Tuhan, cepat-cepat bersama-sama dengan Kristus? Kalimat tadi resonans dengan hati saya, karena saya sendiri orang yang lebih gampang melihat kerusakan daripada kebaikan, dan sejak kecil saya melihat sepertinya kerusakan banyak sekali. Ada waktunya kita merasa dunia ini terlalu rusak, terlalu hancur, terlalu menderita, sehingga kita mengharapkan cepat-cepat bertemu Tuhan, bersama dengan Kristus, sehingga muncul pertanyaan seperti tadi. Di satu sisi saya simpati dengan pertanyaan seperti ini; tapi di sisi lain saya mengatakan kepada orang ini untuk melihat sekali lagi apa artinya bertemu dengan Tuhan. Bagaimana kalau ternyata bertemu dengan Tuhan justru bukan bertemu dengan terlepas dari penderitaan, melainkan bertemu dengan Dia di dalam dan melalui penderitaan?
Premisnya “saya menderita, jadi saya ingin bertemu Tuhan”; berarti dalam bayangan dia, bertemu Tuhan itu sesuatu yang berlawanan dengan penderitaan. Itu memang ada benarnya. Tapi ketika melihat Alkitab, Alkitab berkali-kali menyatakan kita bertemu dengan Tuhan, kita bersama-sama dengan Kristus, dipersatukan dengan Kristus, justru paling erat di dalam dan melalui penderitaan. Dalam kisah Saulus, kalimat yang paling mencengangkan baginya, yang benar-benar menjungkirbalikkan dunia dan segala pengertiannya, yang membuat dia akhirnya bertanya “siapa Engkau, Tuhan”, adalah ketika Yesus mengatakan, “Akulah Yesus, yang kauaniaya itu”. Dengan kata lain, Saudara bertemu dengan Allah ini di dalam dan melalui penderitaan umat-Nya. Allah ini adalah Allah yang justru menghadirkan diri-Nya dalam penderitaan umat-Nya, dalam penderitaan Gereja-Nya. Ketika Gereja-Nya menderita, bukan cuma Dia berada di situ, tapi Dia-lah yang menderita. Ini satu hal yang menghancurkan habis-habisan kacamata yang selama ini Paulus pakai; dia mau tidak mau harus bertanya, “siapa Engkau, Tuhan?” –siapa Engkau, aku tidak pernah melihat Allah yang seperti ini!
Itu berarti, yang namanya bertemu dengan Tuhan adalah justru bertemu di dalam penderitaan-Nya; di situlah kita benar-benar bertemu dengan Dia. Bukan cuma kita menemukan Allah di dalam penderitaan orang Kristen, tapi juga berarti kalau Saudara mau mencari Allah, di mana lagi Saudara dapat mencari-Nya kalau bukan di dalam penderitaan orang Kristen. Ini hal yang tidak enak, hal yang menjungkirbalikkan, tapi inilah kebenarannya. Tentu saja bertemu dengan Tuhan bukan cuma menderita doang, tapi dalam penderitaan kita boleh mengalami satu hal yang positif. Namun bagaimana pun juga, penderitaan, kesulitan, tantangan itu esensial dalam bagian ini.
Kalau Saudara ingat cerita Abraham dan Ishak, yang paling indah adalah saat terakhir cerita itu; ketika Abraham sudah siap menghujamkan pedangnya kepada Ishak, Allah mengatakan “stop!”, dan kata-kata selanjutnya membuat Saudara seharusnya sulit untuk tidak menangis, karena Allah di situ mengatakan, “Sarungkan pedangmu, sekarang Aku mengetahui bahwa engkau sungguh mengasihi Aku, Abraham, karena engkau tidak segan-segan untuk mengorbankan anakmu yang sulung, anakmu yang tunggal, anakmu yang satu-satunya, anakmu yang kaukasihi, bagi Aku.” Dan tahukah Saudara, seandainya Abraham berdiri di bawah kayu salib ketika Yesus disalibkan, dia akan mengerti alasannya ada kalimat itu; yaitu untuk dia mengatakan kembali kepada Allah, “Allah, sekarang aku mengetahui bahwa Engkau mengasihiku, karena Engkau tidak segan-segan untuk mengorbankan Anak-Mu yang sulung, Anak-Mu yang tunggal, Anak-Mu yang satu-satunya, yang Kaukasihi, yang kepada-Nya Engkau berkenan, bagi aku.” Ini cerita bertemu dengan Tuhan, begitu positif, begitu luar biasa indah, begitu amazing. Tapi sekali lagi, pertemuan yang seperti ini, lahir dalam penderitaan dan melalui penderitaan. Di situlah Saudara menemui Tuhan.
Satu hal yang berat sekali buat kita, waktu Tuhan Yesus mengatakan “Aku memiliki persekutuan yang begitu erat dengan umat-Ku/Gereja-Ku, sehingga apa yang mereka alami, Aku alami; apa yang mereka rasakan, Aku rasakan. Aku di dalam mereka, mereka di dalam Aku”. Kalimat ini begitu mengubah Paulus, sehingga kalau Saudara membaca tulisan-tulisan dia selanjutnya, kalimat itu terus muncul. Di Roma 6, Paulus bersikeras bahwa ketika Yesus mati, kita ikut mati disalib bersama Dia; ketika Dia dikuburkan, kita dikuburkan bersama dengan Dia. Di Efesus 2:6, dia melanjutkan tema ini, ketika Yesus dibangkitkan, kita ikut dibangkitkan bersama dengan Dia; ketika Dia duduk di sebelah kanan Allah Bapa, kita juga duduk bersama dengan Dia; bukan “akan”, bukan “nanti”, melainkan “sudah”. Siapa lagi yang menelurkan teologi Gereja sebagai tubuh Kristus, kalau bukan Paulus.
Ini semua banyak implikasi positifnya; salah satunya, bagi kita yang suka merasa malu atas Gereja, kita harus tahu bahwa Tuhan sendiri tidak takut untuk mengalami rasa malu tersebut; Dia tidak takut di-identikkan dengan Gereja yang mempermalukan itu, yang malu-maluin itu. Jikalau Yesus sendiri tidak merasa terlalu kudus, terlalu suci, untuk diasosiasikan dengan kelemahan-kelemahan Gereja —apalagi penderitaan-penderitaan Gereja– maka seharusnya Saudara dan saya juga tidak –ini hal yang pertama.
Selain itu, ada implikasi kedua yang lebih mengerikan. Ada 2 arah di sini; bukan cuma Saudara menemukan Dia di dalam apa yang Gereja alami, tapi harusnya Saudara juga menemukan Gereja di dalam apa yang Dia alami. Ini poin yang memulai seluruh seri pembahasan kita, bahwa Gereja bukan cuma dipanggil untuk menerima penyertaan Tuhan, tetapi juga dipanggil untuk menyertai Tuhan; bukan cuma melulu bernyanyi “adakah Tuhan peduli ketika hatiku pedih”, tetapi harusnya juga bernyanyi “adakah aku peduli ketika hati Tuhanku pedih”. Mengerikankah? Mungkin justru itu tandanya Saudara sedang bertemu dengan Allah yang sejati. Mungkin justru itu tandanya Allah sedang memperlihatkan diri-Nya yang sesungguhnya bagi Saudara.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading