Kita bersyukur hari ini kita merayakan Hari Reformasi. Seperti dikatakan Pdt. Stephen Tong dalam sesi pembukaan Seminar Reformasi, ada banyak hal yang kita take it for granted, padahal itu suatu anugerah Tuhan yang besar bagi Gereja-Nya. Itu sebabnya dalam seminar tersebut kita memikirkan tentang ‘bagaimana jika reformasi tidak terjadi’. Saya percaya, ini juga karena kita seringkali baru bisa menghargai sesuatu, ketika hal tersebut tidak ada pada kita.
Hari ini kita akan merenungkan satu bagian Alkitab yang juga berkaitan dengan tema reformasi, yaitu tentang kebebasan. Perenungan ini diambil dari Surat Galatia, yang juga sangat menginspirasi Martin Luther, dari pasal 5:1-6.
Waktu kita membicarakan tentang ‘kebebasan’ (freedom), apalagi di zaman kita sekarang, semua orang akan punya definisinya sendiri-sendiri; atau mungkin bukan definisi individual, tapi definisi yang lumayan komunal. Namun entah individual ataupun komunal, definisinya ternyata tidak cocok dengan yang dikatakan Alkitab.
Kita hidup di tahun 2000 sekian, kita mendefinisikan, mengartikulasikan, bahkan mengekspresikan kebebasan menurut selera zaman kita. Kita sebetulnya hidup di dalam perhambaan, tapi kita tidak sadar itu perhambaan, kita justru mengira itu adalah ekspresi kebebasan. Kita tidak menghargai kebebasan yang disediakan oleh Tuhan, kita justru merasa itu suatu kuk yang berat. Mengikut Kristus, kita anggap itu sesuatu yang berat, kita tidak menganggapnya kebebasan. Akhirnya kacau balau, saling tertukar; yang kebebasan, kita bilang perhambaan, dan yang perhambaan, kita bilang kebebasan.
Persoalan freedom ini sudah dugumulkan Martin Luther 500 tahun yang lalu; dan tentu juga sebelumnya oleh Paulus dalam Surat Galatia. Kita akan melihat ayat demi ayat dalam bagian Surat Galatia yang kita baca hari ini.
Pertama, saya ingin menyoroti adanya perbedaan dalam terjemahan Bahasa Indonesia dibandingkan dengan terjemahan Bahasa Inggris. Dalam Bahasa Indonesia, kalimat pertama, dikatakan “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka …”, sedangkan dalan Bahasa Inggris lebih simpel “For freedom …” (demi kebebasan/untuk kebebasan); sementara kalimat utamanya sama: “Kristus telah memerdekakan kita”, atau dalam Bahasa Inggris: “Christ has set us free”. Jadi, Bahasa Indonesis di sini menerjemahkan lebih panjang, ‘supaya kita sungguh-sungguh merdeka’ sementara Bahasa Inggris menerjemahkan lebih simple ‘untuk/demi kemerdekaan/kebebasan’.
Dari kalimat tersebut kita bisa membayangkan seperti ini: Kristus memerdekakan kita, itu demi sesuatu; dan sesuatu tersebut adalah kebebasan. Di sini Saudara mungkin berpikir, apa ya, yang bisa lebih tinggi daripada Kristus sehingga Kristus melakukannya demi hal itu; apakah maksudnya kemerdekaan atau kebebasan kita itu merupakan chief end dari kematian dan kebangkitan Kristus?? Teologi yang seperti ini terasa agak mengganggu. Tentu kita sulit menerima konsep seperti itu. Tapi Paulus memang mengatakan “for freedom” (demi kebebasan); dengan demikian, kita musti mengertinya bahwa “demi kebebasan” ini tidak mungkin tidak berkaitan dengan Kristus sendiri. Atau untuk lebih jelas lagi, bisa dikatakan “for freedom in Christ” atau “for Christ himself”, karena Kristus adalah kebebasan/kemerdekaan kita yang sesungguhnya.
Sudah pasti Kristus bukan budak, yang setelah membebaskan kita lalu kita bisa melakukan apapun terserah kita. Sudah pasti yang dimaksud di sini bukan kebebasan dalam pengertian otonom seperti itu, lalu Kristus adalah hambanya yang bisa menolong kita mengekspresikan apapun yang kita mau. Yang seperti itu, jelas tidak ada dasarnya sama sekali di dalam Alkitab. Seandainya Kristus melakukannya untuk itu, jadi sia-sia, karena yang seperti itu bukanlah kebebasan melainkan perbudakan, karena orang yang dikuasai oleh kebebasan otonom (autonomous freedom), dia masih di dalam kuk perhambaan, bukan kemerdekaan. Kemerdekaan yang sejati adalah di dalam Kristus.
Dari kalimat sederhana di bagian awal ini, kita bisa mengintrospeksi diri. Dalam kehidupan Saudara, Saudara merasa Kristus membebaskan –Kristus itu berita pembebasan– atau Saudara justru berpikir Krstus itu membebani dan terasa berat bagi saya; yang mana? Kalau Saudara masih berpikir Kristus itu membebani, kuk perhambaan, keterbelengguan, dsb., saya sangat kuatir, mungkin Saudara belum lahir baru. Saudara bisa saja berpikir, ‘saya ini orang Kristen, masa iya saya belum lahir baru’, tapi orang yang sudah lahir baru, ada karakteristiknya. Perhatikan perkataan Paulus di bagian yang lain: ‘setelah aku mengenal Kristus, segala sesuatu yang lain aku anggap rugi; aku menyampahkan segala sesuatu’. Bisakah kita mengatakan kalimat yang sama seperti ini bersama dengan Paulus? Banyak orang Kristen bukan menyampahkan yang lain, tapi maunya ‘Kristus plus yang lain’, kalau bisa dapat Kristus sekaligus dapat dewa-dewa yang lain. Kristus plus dewa kesehatan, misalnya. Kristus plus dewa keamanan (security), misalnya. Kristus plus dewa penerimaan, misalnya. Jadi tidak keruan Kekristenan yang seperti ini. Dan, yang paling bahaya adalah orang seperti ini tetap merasa dirinya orang Kristen sejati.
Bagaimana kita merenungkan Kristus yang sungguh-sungguh memerdekakan kita? Kecuali kita ini mengerti dan menyadari kuk perhambaan itu, kita sulit sekali menghargai kebebasan Kristen yang sejati yang dikaruniakan oleh Kristus. Waktu membaca Firman Tuhan, mari kita berefleksi dengan jujur, ‘keterbelengguan apa sih sebetulnya yang ada dalam kehidupan saya’. Sama seperti waktu Saudara membaca Firman Tuhan dan merenungkan kekudusan Allah, seharusnya kita memikirkan ‘dosa apa ya, yang ada di dalam kehidupan saya’, setelah kita melihat kekudusan Allah itu. Orang yang tidak merasa dirinya berdosa, ya, Kristus bukan Juruselamat untuk dia, karena juruselamat untuk apa, toh dia rasa tidak berdosa; bukankah Yesus tidak datang untuk orang benar. Demikian juga orang yang dalam kehidupannya merasa ‘saya ‘gak pernah terbelenggu, kami bukan hamba siapa-siapa, kami keturunan Abraham sudah sejak kapan-kapan’, ya, sudah, berarti Kristus juga tidak perlu membebaskan dia, toh dia katanya sudah merdeka dari kapan-kapan, koq.
Jangan-jangan, banyak orang mirip seperti pendengarnya Yesus yang dicatat dalam Injil Yohanes, yang merasa merdeka tapi sebetulnya terpenjara dan terbelenggu, hanya saja mereka tidak mau mengakuinya. Dan, salah satu kalimat yang mungkin paling keras, yang pernah muncul dan dicatat di dalam Injil, yaitu kalimatnya Yesus waktu orang-orang Yahudi merasa ‘Abraham adalah bapa kami, bahkan Allah adalah bapa kami’, di situ Yesus mengatakan: “Bukan, bapamu Iblis sebetulnya”. Mengapa Iblis adalah bapa mereka? Karena mereka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih mirip dengan yang dikerjakan Iblis daripada yang dkerjakan Allah. Sekali lagi, apakah di dalam kehidupan ini kita menghargai bahwa Kristus adalah pembebasan kita?
Di dalam perumpamaan Injil Matius tentang pedagang yang menemukan mutiara yang indah itu, dia menjual semua mutiara-mutiara lain, yang tidak terlalu berharga itu, untuk mendapatkan satu mutiara yang paling berharga tersebut. Apakah kita menikmati kebebasan seperti ini, kebebasan menjual semua yang lain demi mendapatkan Kristus? Tentu ini jangan ditafsir salah; bukan kita mau membeli Kristus dengan cara menjual semua yang ada pada kita –bukan itu poinnya– tetapi di dalam pengertian bahwa Kristus begitu berharga sehingga saya tidak tertarik lagi dengan semua yang lain kecuali Kristus. Ini adalah tanda orang yang lahir baru normal; ini bukan tanda-tanda para raksasa iman (spiritual giants), ini tanda-tanda orang yang lahir baru normal.
Dalam khotbah seperti ini, mungkin orang merasa ‘koq, tidak memberitakan penerimaan di dalam Kristus; koq, tidak membicarakan justification by faith alone yang lebih menyenangkan itu?’ Saudara, kita tidak menolak hal-hal itu, kita tidak berusaha untuk menggeser doktrin yang penting ini; tapi saya kuatir, banyak orang yang merasa dirinya diselamatkan, padahal sebetulnya tidak pernah diselamatkan. Buktinya, mereka lebih suka diperhamba oleh dunia daripada menikmati kemerdekaan di dalam Kristus; bagaimana mungkin orang yang diselamatkan oleh Kristus, tapi masih seperti itu. Kecuali Saudara dan saya menyadari kuk perhambaan, yang daripadanya kita tidak bisa membebaskan diri sendiri, kita sulit untuk menghargai kebebasan sejati yang diberikan di dalam Kristus.
Perhatikan di sini, waktu bicara tentang kebebasan, ini bukanlah sesuatu yang kita raih, bukan sesuatu yang Saudara dan saya usahakan sampai kita mendapatkan. Ini memang sulit; termasuk waktu kita membandingkan dengan cerita-cerita nasionalisme misalnya. Saya masih ingat waktu SD atau SMP, ada pertanyaan pilihan berganda seperti ini: “Kemerdekaan Indonesia diperjuangkan oleh bangsa Indonseia sendiri, atau merupakan hadiah dari Jepang?” Tentu saja tidak usah pikir lagi, pasti jawaban yang benar adalah bangsa Indonesia sendiri yang berjuang mendapatkan kemerdekaan, mana mungkin hadiah dari Jepang, ngawur saja. Lalu kita pikir, kemerdekaan dari dosa, kemerdekaan dari kuk-kuk perhambaan, juga lebih keren kalau kita bukan menerimanya sebagai hadiah melainkan sebagai hasil dari usaha kita, bahwa memang kita yang berjuang sampai akhirnya bisa seperti ini. Saya kuatir akan model-model Kekristenan yang lebih memberitakan tentang hebatnya perjuangan kita, daripada memberitakan Kristus yang memberi hadiah.
Paulus sangat mengerti poin ini; dia jelas sekali bahwa dirinyalah yang ditangkap oleh Kristus, dan bukan dia yang menangkap Kristus. Dia sangat sadar bahwa Kristus yang memilih dirinya, dan bukan dia sendiri yang memilih Kristus; Paulus sendiri tidak ada rencana memilih Kristus.
Di dalam cerita Reformasi, juga demikian. Luther tidak ada rencana menjadi orang heroik, apalagi di seluruh Eropa. Dia hanya mau melakukan disputasi. Dia mengharapkan ada disputasi karena sudah tidak tahan lagi dengan kerusakan Gereja pada waktu itu. Itulah sebabnya dia mengirimkan surat tersebut. Di bagian awal kehidupannya, Luther sebetulnya masih optimis, dia percaya pada kebaikan Paus, dia bilang Paus itu sebetulnya orang baik tapi dikelilingi oleh orang-orang yang tidak baik. Namun ternyata dia keliru, Paus pada saat itu ternyata tidak demikian. Tetapi dari cerita ini, kita bisa melihat bahwa Luther tidak ada rencana sama sekali untuk mendirikan Gereja baru, dsb., dia hanya digerakkan Tuhan untuk mereformasi Gereja. Itu saja.
Sekali lagi, kemerdekaan/kebebasan, itu bukan hasil usaha kita; bukan Saudara dan saya yang merencanakan dan menyusun strategi, yang meraih dan merebut, dsb., tapi itu adalah perbuatan Kristus. Tanpa Kristus, tidak ada orang yang sungguh-sungguh merdeka. Itu sebabnya, Kekristenan adalah kerendahan hati. Kita mengakui ketidakmampuan kita dan datang kepada Kristus. Kalau hal ini tidak terjadi, kita akan berjuang terus dengan kekuatan sendiri, dan itu adalah gang buntu, itu adalah jalan yang lebar yang berakhir pada kebinasaan.
Apa sebenarnya yang membedakan Luther dari orang sezamannya? Bukan karena Luther lebih saleh, lebih pintar, lebih berbakat, IQ-nya lebih tinggi, lebih bisa kerja dan punya spirit entrepreneur –bukan itu semua– tapi dia punya kesadaran bahwa dirinya dalam belenggu dan tidak bisa keluar dari sana. Dia mempunyai pengalaman yang dalam, bahwa dosa itu betul-betul memperhamba dan memperbudak.
Dosa itu memperbudak siapa pun; tidak ada dosa yang tidak memperbudak. Dalam hal ini seharusnya pengalaman setiap orang sama –karena dosa memperbudak siapa saja. Tetapi ada orang yang punya kesadaran mendalam bahwa dosa memperbudak; ada juga yang meskipun sudah diperbudak oleh dosa, namun tetap merasa lumayan merdeka, merasa bebas memilih dalam hidupnya –inilah persoalan. Orang seperti ini, tidak akan menghargai Kristus. Yesus sampai harus mengeluarkan kalimat yang paling klimaks itu, “sebetulnya bapamu adalah Iblis”, karena orang seperti ini betul-betul tidak bisa disadarkan bahwa mereka sebetulnya tidak memiliki Allah sebagai Bapa, bahwa mereka sebetulnya bukan keturunan Abraham yang asli.
Ayat 2, Paulus bergumul melawan ajaran orang-orang yang disebut Judaizers (penganut Agama Yahudi), yang sepertinya juga tertarik dengan Injil Kristen, tapi mereka mengharuskan orang untuk disunat jika mau betul-betul diselamatkan –artinya harus menjadi Yahudi dulu. Apa persoalannya? Kenapa disebut kuk perhambaan? Ini adalah orang-orang yang suka main power –jadi di sini ada urusan power— “kamu mau jadi Kristen, boleh saja, melalui saya; saya musti kasih stempelnya dulu, kamu disunat dulu, nanti saya kasih sertifikat ‘sudah disunat’”. Kalau tadi kita membicarakan tentang kuk perhambaan dosa, yang memang kita tidak bisa keluar daripadanya –ini pembicaraan yang penting sekali—di sini ada kuk perhambaan lain, yaitu kuk perhambaan yang dilakukan oleh manusia.
Di dalam sepanjang sejarah, Saudara bisa membaca dan melihat betapa rapuhnya manusia terhadap yang namanya kuasa (power). Manusia bisa sangat menikmati keadaan di mana dia punya dominasi terhadap yang lain; hal itu terasa menyenangkan. Ini ironis, karena bukankah yang paling berhak mendominasi sebetulnya adalah Allah?? Allah itu yang paling berkuasa, sehingga yang paling berhak mengontrol tentu saja Allah; sedangkan manusia bukan Allah. Kristus justru memberikan kebebasan, memberikan ruang; sedangkan manusia maunya mencengkeram, manusia tidak memberikan ruang, kalau bisa dia mau mengontrol habis-habisan sampai semua yang lain musti taat pada dia. Gambaran seperti ini –yang mencengkeram, yang tidak mau melepaskan, yang memperbudak– sebetulnya adalah Iblis; ini bukan Allah.
Kalau Saudara dan saya mengenal Kristus, kita akan menularkan narasi kemerdekaan/kebebasan; kita senang dengan kebebasan. Sebaliknya, para Judaizers ini tidak senang dengan kebebasan, karena itu bikin mereka bisa kehilangan power. Bahaya sekali kalau institusi agama menikmati power seperti ini. Tidak terkecuali, Gereja pada zaman Martin Luther juga seperti itu, mirip seperti Judaizers. Mereka bukan memberikan kebebasan. Mereka memberitakan ‘siapa mau diselamatkan di dalam Kristus –tetap pakai istilah “Kristus”– harus mengikuti aturan-aturan Gereja ini dan itu’; tapi sayangnya, itu bukan Firman Tuhan melainkan hukum-hukum buatan manusia. Sebetulnya mereka sedang menikmati power, menikmati bagaimana mendominasi, khususnya terhadap orang-orang kecil, yang lemah, yang tidak tahu musti pergi ke mana kalau ada persoalan dalam kehidupannya.
Ada satu film tentang Martin Luther (saya lupa tahun berapa), dan di situ ada satu adegan yang sangat menyentuh. Saya tidak tahu apakah itu merupakan bagian dari sinematografi saja atau betul-betul historis; namun bagaimanapun, kejadian seperti dalam adegan tersebut sangat bisa dibayangkan terjadi di zaman Luther. Dalam adegan tersebut ada seorang yang miskin bersama anaknya yang memakai kruk, ini orang yang sangat bergumul dalam kehidupannya; tapi karena diberitakan oleh Johann Tetzel bahwa orang bisa meringankan orangtua/kakek-nenek/nenek moyang mereka yang di Purgatori dengan mempersembahkan uang, maka orang miskin ini pun dengan susah payah memberikan uangnya untuk Gereja. Dalam keadaan seperti ini, Luther menjumpai mereka, dia bertanya, “Ini apa?” Mereka bilang, “Ini untuk surat penghapusan dosa, katanya dengan memberikan ini, bisa membebaskan keluarga kami yang sedang di Purgatori”. Lalu Luther menatap mereka dan mengatakan, “Tidak usah, ini tidak perlu”. Kemudian Luther mengembalikan uangnya, “Lain kali tidak usah beli ini; ini tidak perlu”. Sangat menyentuh sekali adegan itu. Saudara lihat di sini, Gereja pada saat itu menikmati power yang demikian, yang akhirnya mendominasi dan mencekik, khususnya orang-orang lemah dan miskin yang tidak tahu harus pergi ke mana.
Paulus mengatakan, kalau kita masih dikuasai hukum-hukum manusia seperti ini, Kristus sama sekali tidak berguna bagi kita. Dari sisi manusia yang menyalahgunakan kuasa, yang over controlling, mereka akan dihakimi oleh Tuhan; tetapi manusia yang memberikan dirinya untuk diperlakukan seperti itu, dia juga harus bertanggung jawab. Saudara perhatikan, Paulus bukan menulis surat ini kepada Judaizers, dia menulis kepada jemaat Galatia. Jemaat Galatia ini bukan pihak yang menyalahgunakan kuasa, mereka dalam posisi pihak yang diperbudak oleh aturan-aturan manusia; tapi perhatikan, Paulus bicara kepada mereka juga dengan keras. Maksudnya, bahwa orang yang memberi dirinya diperbudak, dia bersalah terhadap Kristus. Dia harus keluar dari perhambaan manusia, kalau dia sungguh-sungguh mengikut Kristus. Dia tidak bisa terus playing victim, dengan mengatakan, “ya, saya ini di-abuse, saya tidak tahu harus ke mana, saya tidak tahu musti bagaimana, yang jahat ‘kan mereka, saya ini yang dijahatin, lho”; yang seperti ini, tidak menolong sama sekali. Di sini Paulus tidak mendekati secara pastoral, dengan bersimpati kepada mereka, tapi Paulus menegur mereka dengan keras.
Perhatikan ayat 3, ini sebetulnya teguran: “Sekali lagi aku katakan kepada setiap orang yang menyunatkan dirinya, bahwa ia wajib melakukan seluruh hukum Taurat.” Maksudnya, kalau kamu percaya bahwa kamu mendapatkan keselamatan melalui kesempurnaanmu menaati Taurat, ya, sudah, lakukan saja semua Taurat itu sampai sempurna.
Saudara, kadang-kadang di dalam kehidupan kita juga bisa ada taurat-taurat dunia; bukan Taurat-nya orang Yahudi, tapi taurat-taurat new legalism dari dunia ini. Kadang-kadang di dalam zaman kita bisa ada statement-statement yang politically correct. Memang mungkin tidak terlalu terasa bagi kita yang di Indonesia, tapi hal seperti ini masuk khususnya dari luar negeri. Misalnya persoalan pencantuman/penyertaan (inclusion) kelompok-kelompok tertentu, yang maksudnya supaya jadi politically correct, supaya menunjukkan sensitivitas terhadap mereka yang dianggap marjinal, dsb. –yang memang betul ada kemiripan dengan prinsip Alkitab– demikian juga soal memberikan kesempatan bukan hanya kepada laki-laki tapi juga perempuan. Tentu saja kalau kita mendiskriminasi perempuan, kita salah, dan itu tidak sesuai dengan Alkitab; tapi kita musti melihat orang berdasarkan talenta yang diberikan Tuhan. Dan, dalam hal ini tidak perlu ada kuota laki-laki atau perempuan, kuota orang berpenghasilan sekian atau sekian; itu kategori doesn’t matter, sebagaimana juga Paulus mengatakan “bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti”.
Kalau kita masih terlalu sensitif dengan urusan gender seperti itu, kita belum mengerti apa artinya kebebasan Kristen yang sejati dan kita masih berada di bawah perbudakan, karena musti kasih kuota sekian, entah kepada yang berpenghasilan segini atau segitu, kepada yang ras ini atau itu, kepada yang laki-laki atau bukan laki-laki, dsb., jadi rumit sekali. Yang seperti ini adalah hukum-hukum buatan manusia. Sekali lagi, Paulus mengatakan “bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti”. Dia tidak berusaha menjaga keseimbangan, misalnya: ‘O, di jemaat saya, yang bersunat sekian persen, yang tidak bersunat sekian persen; kalau bisa fifty-fifty, jadi kalau orang yang bersunat ada 51%, kita musti usir dia keluar karena itu jatahnya orang yang tidak bersunat’ –rumit sekali. Saya tidak bisa berpanjang lebar lagi menjelaskan ini, Saudara tinggal ikuti perbincangan di medsos, di surat kabar, dsb., yang bergerak ke arah “politically correct nomism”, politically correct taurat sekarang ini, bukan Taurat-nya orang-orang Yahudi tapi taurat dalam model ideologi politis, dsb. Dan, dalam hal ini Gereja seakan-akan juga harus diperbudak oleh taurat-taurat baru tersebut.
Kita bukan mengatakan bahwa Gereja sudah bersih, tidak ada kelemahan, dsb.; kita harus mengakui ada Gereja yang memang diskriminatif terhadap perempuan –ini kenyataan. Memang ada Gereja yang berpihak kepada orang-orang kaya dan tidak mempedulikan orang-orang biasa, yang lebih takut menyinggung perasaannya orang kaya daripada perasaannya orang-orang biasa. Sedihnya, inilah realitas. Kita tidak membenarkan keberdosaan ini; perlu terjadi pertobatan di dalam Gereja, kalau seperti ini. Tapi ini bukan diselesaikan dengan memperkenalkan taurat yang baru, taurat politically correct tadi. Itu bukan Injil. Itu artinya dari perbudakan masuk ke perbudakan yang lain.
Saudara perhatikan, Kristus telah memerdekakan kita; di dalam Kristus ada hukum yang membebaskan. Tapi, kalau kita lepas dari Kristus –sebagaimana dikatakan Paulus– maka kehidupan kita akhirnya mengharapkan kebenaran karena hukum-hukum itu, seperti jemaat dalam konteks Galatia mengharapkan kebenaran karena Hukum Taurat. Kalau di zaman sekarang, orang mengharapkan kebenaran melalui hukum-hukum yang dibuat manusia, dan kemudian merasa benar kalau sudah melakukan itu. ‘O, gereja saya sih balance pengaturan pelayan-pelayan laki-laki dan perempuannya, pas 50%-50%, ‘gak seperti gereja itu yang male chauvinist’. Saudara perhatikan, itu bukan berita anugerah, itu semata-mata kesombongan rohani; dan ini sebetulnya taurat yang lain yang sedang diperkenalkan.
Paulus tidak tertarik membebaskan jemaat Galatia dari hukum-hukum Yahudi supaya mereka mengikuti hukum-hukum Gerika misalnya –yang seperti ini, jadi balik perhambaan lagi. Paulus tertarik membebaskan mereka dari hukum-hukum Yahudi, supaya mereka masuk ke dalam Kristus. Orang yang dalam kehidupannya dikuasai hukum-hukum manusia seperti ini, mereka sebetulnya hidup di luar kasih karunia, mereka tidak mengerti kasih karunia. Mereka yang hidup di dalam/di bawah kasih karunia, mereka menghidupi hukum Kristus; mereka bukan tunduk pada hukum-hukum manusia. Gereja musti berati-hati supaya tidak menciptakan hukum-hukum manusia, yang akhirnya tidak memerdekakan tapi menodai hati nurani yang dibebaskan oleh Kristus.
Ayat 5 mengatakan: “Sebab oleh Roh (Roh Kudus), dan karena iman (melalui iman), kita menantikan kebenaran yang kita harapkan.” Pengharapan akan kebenaran, ini maksudnya apa? Selama kita berada di dalam dunia yang sudah jatuh di dalam dosa ini, dan kita sendiri juga jatuh, kita yang dimerdekakan oleh Kristus ini masih ada pergumulan; pada akhirnya, Kristus akan memberikan kebenaran itu secara sempurna, sampai kita bukan hanya dinyatakan benar (declared righteous) tapi juga dibuat benar (made righteous). Ini adalah proses seumur hidup. Justification, declared righteous, dibenarkan secara status, adalah instan, bukan proses; tetapi transformasi untuk dibuat menjadi benar, itu proses seumur hidup. Berjalannya proses ini ditandai dengan apa? Yaitu ditandai dengan Saudara makin bisa membebaskan diri dari kuk-kuk perhambaan yang diciptakan manusia di dunia ini.
Setelah kita bebas, lalu apa? Jawabannya di ayat 6: “Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih.” Pertama, di sini dikatakan bahwa urusan sunat atau tidak bersunat, bukanlah sesuatu yang berarti; jadi jangan dimutlakkan, entah yang bersunat maupun yang tidak bersunat. Tapi yang lebih penting daripada itu adalah iman yang bekerja oleh kasih.
Tadi di ayat 5 Paulus mengatakan oleh iman/karena iman kita menantikan kebenaran yang kita harapkan; dan di ayat 6 ini dikatakan bahwa iman itu bekerja oleh kasih. Dalam Pengakuan Iman Westminster, ada kalimat yang menarik yang juga mengutip ayat ini. Di situ diajarkan sebagaimana ajaran reformatoris, bahwa waktu membicarakan instrumen keselamatan, maka hanya ada iman –kita dibenarkan oleh iman saja (sola fide); sedangkan di dalam pribadi orang yang dibenarkan, iman tidak pernah sendirian tapi selalu disertai dengan other Christian virtues, dan yang paling utama adalah kasih. Dengan demikian, kita sampai pada poin yang terakhir, apa itu kebebasan Kristen yang sejati?
Kebebasan yang dikaruniakan oleh Kristus adalah kebebasan yang membuat kita mampu untuk mencintai/mengasihi. Kebebasan untuk mencintai; mencintai adalah kebebasan. Kristus itu bebas; sedemikian bebasnya sampai Dia bebas berinkarnasi, bebas mencintai orang-orang berdosa seperti Saudara dan saya. Saudara dan saya diundang untuk menjalani kebebasan ini. Waktu kita enggan mengasihi, kita sebetulnya masih berada dalam keterbelengguan.
Sekali lagi, alangkah kontrasnya cerita autonomous freedom, kebebasan yang berpusat pada diri sendiri, yang terserah saya mau ngapain, human rights, individual, dsb., dengan kebebasan untuk mengasihi (freedom to love) yang diajarkan Alkitab. Ada banyak orang dalam kehidupannya kelihatannya tidak ditindas, ada hak asazi manusia yang bisa dijalankan, tidak ada orang menganiaya mereka, dsb., dan kita mengatakan ini orang yang bebas. Tapi tidak; kalau mereka tidak mengasihi sesama, berarti mereka terbelenggu. Kalau Saudara dan saya menikmati kebebasan yang semacam itu tapi menolak untuk mengasihi sesama, menolak untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, segenap kekuatan, maka berarti kita masih belum mengerti artinya kekebasan yang sejati itu.
Mengapa “justification by faith” itu penting untuk para reformator? Karena kalau kita percaya Kristus sudah membenarkan kita secara status, maka kita bisa bebas untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik tanpa harus ada embel-embel motivasi untuk mendapatkan keselamatan. Kita bisa mengasihi sesama, kita bisa berkorban bagi sesama, tanpa harus ada motif tersembunyi ‘supaya saya diselamatkan’, ‘supaya saya lebih mendapatkan penerimaan Tuhan’ dsb. –tidak perlu ada itu semua– karena kita sudah diterima di dalam Kristus. Bukankah ini kebebasan yang sejati? Dan, narasi ini adalah sesuatu yang diberikan bagi Saudara dan saya di dalam Kristus.
Kiranya Tuhan menolong kita di dalam hari-hari kita ke depan, untuk bisa lebih menikmati kebebasan di dalam Kristus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading