Ini adalah minggu-minggu terakhir dari bagian pertama Kalender Gereja, dari Adven sampai Pentakosta, di mana Gereja merunut kisah Yesus Kristus, mulai dari penantian kedatangan-Nya dalam Adven, kedatangan-Nya dalam Natal, identitas-Nya dinyatakan dalam Epifani, penderitaan-Nya di-antisipasi dalam Lent, kematian-Nya dalam Jumat Agung, kebangkitan-Nya dalam Paskah, dan sekarang Minggu Kenaikan (Ascension). Dengan melihat suatu garis besar seperti ini, maka Kenaikan bukanlah peristiwa pinggiran dalam kisah hidup Yesus Kristus; ini justru klimaksnya, turning point-nya. Lukas mengakhiri Injilnya bukan dengan peristiwa salib, bukan kubur kosong, melainkan Kenaikan; dan Lukas pun memulai Kisah Para Rasul dengan Kenaikan juga.
Kenaikan bukanlah ending dari kisah sepak terjang Yesus Kristus, Kenaikan adalah the beginning of the end. Ini sama seperti Saudara nonton film, kadang-kadang struktur dasarnya ada tiga babak; babak satu adalah introduksi, Saudara diperkenalkan tokoh-tokohnya, apa problem utamanya, seperti apa jagoannya, kayak apa musuh-musuhnya. Lalu babak dua, ketegangan utama dalam filmnya mulai di-develop, plot ceritanya makin rumit, ada hal-hal tak terduga yang terjadi, problemnya ternyata lebih dalam daripada yang kita pikir. Dan biasanya babak ini berakhir dengan si jagoan berada dalam titik yang paling rendah, paling susah, paling bergumul. Misalnya, si jagoan kehilangan sahabat terdekatnya, rekan seperjuangan yang paling dia percaya, dia merasa begitu lonely karena orang-orang lain tidak mau berjuang bersama dia, hanya satu sahabat tadi yang mendukung, namun sekarang telah meninggal karena mengorbankan diri. Namun perhatikan, setelah babak kedua berakhir seperti ini, waktu masuk babak ketiga biasanya ada turning point, ada sesuatu yang terjadi. Misalnya, karena pengorbanan si sahabat tadi, orang-orang yang tadinya tidak mendukung, sekarang mulai datang satu per satu. Si jagoan yang sedang terpuruk di depan kuburan sahabatnya itu, pundaknya disentuh oleh satu, dua, tiga, empat, …, dan banyak orang mulai berdatangan satu demi satu, sehingga yang tadinya hanya dua orang berjuang, sekarang jadi dua puluh orang misalnya. Waktu menyaksikan turning point ke babak ketiga seperti ini, bulu kuduk kita mulai naik, merinding-merinding senang, musik filmnya mulai seru. Inilah poin mulainya babak ketiga yang adalah babak terakhir, ini bukan ending-nya melainkan the beginning of the end. Semua bidak caturnya sudah di posisi masing-masing. Secara umum dalam babak ini ceritanya sudah tidak ada perkembangan yang terlalu signifikan lagi, tinggal showdown yang terakhir, konklusi. Filmnya belum kelar namun sudah mencapai puncak, dan sekarang semuanya bergulir maju ke bagian penyelesaian.
Apakah turning point itu dalam kisah hidup Yesus? Ascension. Kalau Ascension adalah demikian, kita jadi menangkap sebabnya kita sering kali tidak mengerti Ascension Yesus, adalah karena kita seperti orang yang telat masuk bioskop, kita masuknya baru di awal babak ketiga ini. Sementara semua penonton sedang menonton dengan pantat di pinggir kursi, bulu kuduk yang mulai naik, dan mulut melongo, kita bingung apa yang terjadi –karena kita baru masuk. Kita tidak menangkap bahwa ini turning point, karena kita tidak tahu ini turning dari apa.
Saudara, ini sebabnya setidaknya sejak tahun 2019, setiap kali kita membahas Ascension di gereja ini, kita selalu membahasnya dari kacamata Perjanjian Lama. Saudara perlu tahu cerita sebelumnya kalau mau mengerti dan menikmati klimaks kisahnya, turning point dari ceritanya. Hari ini kita akan melakukan yang sama, hanya saja dulu kita mengkhotbahkan Kenaikan Yesus dari sudut pandang “rajani Yesus”, hari ini kita mau mengerti Kenaikan Yesus dari sudut pandang “keimaman Yesus” (kita belum pernah membicarakan ini dari sudut pandang “kenabian Yesus”). Dalam hal ini kita harus mundur ke belakang, melihat imam-imam yang naik dalam Perjanjian Lama. Sebelum itu, kita membaca dulu Ibrani 4:14-16.
Penulis Ibrani mengatakan dari sudut pandang Perjanjian Baru, bahwa kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung yang telah melintasi/menembus semua langit, yang telah naik ke surga, yaitu Yesus Kristus; ini satu hal yang kita harus membacanya dalam bayang-bayang kisah kenaikan imam-imam dalam Perjanjian Lama. Ada tiga kisah yang kita akan coba lihat.
Kisah yang pertama adalah kisah naiknya Musa ke Gunung Sinai, yaitu dari keluaran 24. Kita perhatikan pattern sequence-nya. Musa pertama-tama disuruh naik oleh Tuhan; ayat 1: Berfirmanlah Ia kepada Musa: “Naiklah menghadap TUHAN, engkau dan Harun, … Hanya Musa sendirilah yang mendekat kepada TUHAN, tetapi mereka itu tidak boleh mendekat, dan bangsa itu tidak boleh naik bersama-sama dengan dia.” Perhatikan, ini adalah pattern di mana Musa naik. Lalu yang menarik, sebelum Musa besoknya naik itu, dia mendirikan mezbah di kaki gunung (ayat 4-6), mempersembahkan kurban bakaran, menyembelih lembu-lembu jantan, mengambil sebagian darahnya dan menyiramkannya ke mezbah. Jadi sebelum Musa naik, dia melakukan fungsi keimaman. Yang ketiga, Musa lalu naik ke atas gunung, dan di atas gunung itu dia melakukan syafaat, intercession, mediasi kepada Tuhan bagi umat Israel (pasal 25-31). Di atas gunung itu Musa basically menerima hukum-hukum Tuhan, menerima instruksi mengenai pembangunan Kemah suci, dan belakangan dia juga membela bangsa Israel di hadapan Tuhan. Jadi Musa menjadi mediator, penengah antara Allah dengan umat-Nya. Ini tugas imam –mediasi, syafaat. Namun tidak berhenti di situ, setelah Musa disuruh naik, setelah Musa memberikan kurban bakaran, setelah Musa bersyafaat di atas gunung, lalu yang keempat adalah Musa lalu turun.
Ini sesuatu yang sering kali kita galfok waktu membaca kisah kenaikan Kristus di Perjanjian Baru tanpa menyadari latar belakang di Perjanjian Lama, bahwa orang-orang dalam Perjanjian Lama itu waktu naik ke hadapan Tuhan, mereka lalu turun. Mereka naik untuk turun, tidak cuma naik tok. Setelah Musa menerima hukum Tuhan dan instruksi mengenai mendirikan Kemah Suci, Musa lalu turun membawa dan menyampaikannya kepada Israel. Musa turun menyampaikan berkat Tuhan kepada Israel; ini tugas seorang imam juga –tidak cuma naik tok, tapi juga turun (kita tahu waktu Musa turun, dia menemukan orang-orang Israel malah menyembah lembu emas; tapi ini cerita untuk lain kali). Hal yang Saudara perlu perhatikan adalah adanya pola ini dalam Perjanjian Lama jauh sebelum Yesus naik ke surga, yaitu: 1) disuruh naik, 2) mempersembahkan kurban sebelum naik, 3) bersyafaat di atas sana, 4) turun membawa berkat kepda umat Tuhan.
Maju lagi dalam Perjanjian Lama, Saudara akan menyadari bahwa cerita kenaikan Musa ini tidak kurang dari sebuah tipologi untuk digenapi (diisi lebih penuh, di-fulfill) di dalam kisah-kisah yang berikutnya. Dalam kisah yang kedua, kita menemukan pola kisah imam besar yang masuk ke Ruang Mahakudus dalam Kemah Suci ataupun Bait Allah. Saudara menemukan catatan mengenai ini misalnya dalam Imamat 16. Struktur dasar kitab Imamat secara simpel adalah: Imamat 16 merupakan tengah-tengahnya; segala sesuatu sebelum pasal tersebut mengarah untuk mempersiapkan Israel untuk hidup mendekat ke hadirat Allah, lalu di pasal 16 mereka menerima kehadiran Allah, dan semua pasal-pasal berikutnya berbicara mengenai bagaimana Israel bisa bertahan diam di hadirat Allah. Jadi Imamat 16 tepat di tengah-tengahnya. Apa yang terjadi dalam pasal 16 ini? Ini merupakan klimaks, turning point, beginning of the end dari Kitab Imamat, yaitu Hari Pendamaian (Yom Kippur, Day of Attonement), hari di mana imam besar Israel setahun sekali masuk ke Ruang Mahakudus. Poin kenaikan imam seperti ini adalah turning point, puncak, karena liturgi imam besar masuk ke Ruang Mahakudus pada dasarnya adalah liturgi dia mendaki gunung kudus Allah. Sama seperti Musa naik ke gunung kudus Allah, demikian gambaran imam besar yang masuk ke hadirat Allah di Ruang Mahakudus jelas banget mengungkapkan hal tersebut.
Kemah Suci Israel memiliki pembatasan yang sangat jelas. Area paling luar berupa pelataran yang ditutup sekelilingnya dengan kain tenda, bangsa asing tidak boleh masuk; ini seakan-akan di luar kain tenda adalah bumi, lalu ada pelataran yang bangsa asing tidak boleh masuk sedangkan Israel boleh masuk, lalu ditutup dengan kain tenda lagi adalah Ruang Kudus yang cuma imam boleh masuk, lalu ditutup dengan kain tenda lagi adalah Ruang Maha Kudus yang hanya imam besar boleh masuk. Ini menggambarkan stase-stase, tingkatan-tingkatan kosmos; semakin masuk ke dalam, artinya semakin naik, karena rajutan-rajutan gambar kerub di kain tenda tersebut melambangkan bahwa semakin masuk ke dalam sesungguhnya secara simbolis semakin naik ke surga. Jadi, masuknya imam besar Israel ke Ruang Maha Kudus adalah suatu kenaikan, bukan sekadar ke-masuk-an.
Imam besar itu bukan cuma disuruh naik, mereka tentunya juga disuruh mempersembahkan kurban sebelum masuk, mereka disuruh mandi, mengenakan pakaian tertentu, membawa kemenyan, memercikkan darah kurban tersebut ke mezbahnya. Lalu tujuan imam besar masuk untuk ngapain di dalam –atau bisa dibilang di atas— itu? Untuk melakukan syafaat, mediasi. Ketika masuk, imam besar memakai efod yang bertuliskan nama-nama dua belas suku Israel, melambangkan bahwa mereka masuk bukan untuk dirinya sendiri, melainkan mewakili umat Israel di hadapan Allah –mediasi, tugas keimaman.
Dan yang menarik, mereka tidak bertahan di dalam, mereka kemudian keluar, turun. Dalam acara Day of Attonement ada dua kambing yang dipersembahkan kepada Tuhan; yang pertama memang disembelih lalu darahnya dibawa masuk ke Ruang Mahakudus untuk dipercikkan ke mezbah, sedangkan yang kedua tidak dipersembahkan. Waktu imam besar itu telah masuk dan kemudian keluar, dia lalu menumpangkan tangannya ke atas kambing kedua, yaitu kambing hitam atau scapegoat ini (meski tidak harus hitam), dia mengakui dosa Israel dan secara simbolis menaruhnya ke si kambing, lalu kambing ini dilepaskan ke padang belantara. Kambing ini melambangkan Allah telah membuang dosa Israel dari tengah umat-Nya; dan dengan demikian imam besar turun membawa berkat Tuhan bagi umat-Nya. Saudara lihat polanya: naik-kurban-syafaat-berkat.
Gambaran yang ketiga dari Perjanjian Lama, Saudara lihat misalnya dari Daud. Daud adalah seorang raja, namun semasa hidupnya Daud juga banyak melakukan fungsi-fungsi keimaman (ini mungkin juga sebagai bayang-bayang akan disatukannya nanti kedua fungsi ini, imam dan raja). Daud pernah minta roti imam bagi dirinya (1 Samuel 1:21). Daud jugalah yang membawa Tabut Perjanjian ke Yerusalem; dan ke Yerusalem berarti naik ke Bukit Sion (2 Sam. 6). Di sana Daud melakukan tugas-tugas imam, seperti mempersembahkan kurban, dan dia bahkan sempat memakai efod, dia juga memberkati umat Israel ( 2 Sam. 6:14, 18, dst.). Yang menarik, dalam kisah terakhir Kitab Samuel (2 Sam. 24), Daud juga sempat bersyafaat bagi umat-Nya di atas sebuah bukit di Moria, di sebelah Yerusalem, bukit yang sama tempat Abraham mempersembahkan Ishak, bukit yang sama tempat Salomo nantinya mendirikan Bait Allah. Daud bersyafaat bagi umat ini karena waktu itu Israel kena tulah, meskipun tulah itu datang karena dosa Daud yang besyafaat itu sendiri, yaitu melakukan sensus militer. Intinya, Daud semasa hidupnya dihadirkan dengan pola-pola keimaman seperti ini walaupun dia raja.
Sekali lagi, Saudara lihat bahwa poin dari seluruh tangkaian kisah-kisah kenaikan ini bukan simply untuk naik tok, tapi untuk turun dan membawa berkat bagi umat Allah. Dengan demikian, setelah melihat tiga kisah bayang-bayang seperti ini, Saudara jadi menyadari bahwa kisah Kenaikan bukanlah sesuatu yang terjadi one-off begitu saja yang kita temukan di Bukit Zaitun pada abad pertama dalam Perjanjian Baru, melainkan bahwa apa yang terjadi di Perjanjian Baru itu ternyata sedang menggenapi apa yang sudah disusun pelan-pelan, rapi-rapi, jelas-jelas, di Perjanjian Lama.
Hal yang Saudara lihat terjadi dalam diri Yesus itu, bahkan melampaui setiap kisah-kisah kenaikan dalam Perjanjian Lama, karena setiap contoh kenaikan dalam Perjanjian Lama selalu problematik, selalu tidak sempurna. Musa naik ke gunung, bersyafaat bagi umat Allah, namun ketika dia turun, dia menemukan Israel sedang menyembah berhala, maka dia bukan cuma turun membawa berkat Allah tapi juga penghakiman Allah bagi orang-orang Israel. Dalam kisah imam besar masuk ke Ruang Mahakudus, setiap imam besar itu harus terlebih dulu memberikan kurban atas dosa-dosanya sendiri baru kemudian dia bisa bersyafaat bagi umat Allah; ini bukan imam yang sempurna. Dalam kisah Daud, dia bersyafaat di atas gunung bagi Israel adalah justru gara-gara dosa kesombongannya sendiri yang mengakibatkan Israel sampai kena tulah. Daud sangat sadar akan hal ini, tidak heran dia kemudian menuliskannya dalam Mazmur 24, “Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus?” Dan dia menjawabnya sendiri: “Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu.” Siapakah itu? Tidak ada yang seperti itu. Ini sebabnya semua kisah kenaikan dalam Perjanjian Lama hanyalah bayang-bayang, karena justru lewat gambaran-gambaran ini kita menyadari bahwa keimaman di Perjanjian Lama selalu kurang sesuatu, tidak pernah bisa sempurna. Mereka mewakili bangsa yang tidak sempurna, yang banyak cacat celanya; mereka mempersembahkan kurban yang simply cuma lambang, cuma binatang yang tidak bisa menyelamatkan; mereka bersyafaat berkali-kali, tidak bisa permanen satu kali untuk selamanya, mereka harus bersyafaat bagi orang lain dan juga bagi dirinya sendiri. Itu sebabnya ini cuma satu gambaran, yang diberikan di Perjanjian Lama dan sekarang digenapi dalam diri Yesus Kristus, namun pertanyaannya: sadarkah Saudara ini digenapi di mana?
Dalam film Lord of the Rings yang pertama, The Fellowship of the Ring, ada tokoh sentral bernama Frodo. Frodo pernah sekarat dalam satu adegan film tersebut karena tubuhnya tertusuk pedang terkutuk Morgul. Selagi dia sekarat, matanya kabur jadi putih, kejang-kejang dan suaranya tercekik, seorang tokoh bernama Arwen muncul (Arwen ini seorang Elf). Arwen kemudian melarikan Frodo di atas sebuah kuda ke kota Rivendell supaya bisa diselamatkan. Namun di tengah perjalanan, kondisi Frodo semakin parah, dia makin tidak tahan berada di atas kuda, akhirnya Arwen menurunkannya. Dalam keadaan kondisi Frodo yang semakin mengkhawatirkan dan sepertinya tidak bakal sempat, akhirnya Arwen seperti memanjatkan sebuah doa. Arwen mengatakan: “Kiranya karunia apa, berkat apa, yang ada padaku, yang pernah diberikan bagiku, bisa turun dan mengalir kepadanya”. Saudara, ini momen apa? Momen syafaat. Momen mediasi. Momen peran keimaman. Arwen rela menyerahkan apa yang jadi miliknya, demi orang lain. Oming-omong, ini bagian yang tidak ada di novel yang ditulis Tolkien, sehingga para fans Lord of the Rings yang purist marah-marah melihat adegan tambahan oleh Peter Jackson dalam film ini, namun kalau Saudara mengenal karakter Arwen dari novel-novelnya, ini bukan sesuatu yang aneh, karena Arwen dalam cerita novelnya adalah seorang Elf yang tidak bisa mati tapi kemudian menyerahkan immortality ini untuk bertahan di middle earth bersama manusia. Ia menyerahkan karunia dan berkat yang pernah jadi miliknya, supaya ia boleh menyertai manusia-manusia ini, in some sense supaya ia bisa menjadi berkat bagi orang lain. Dengan demikian adegan yang ditambahkan dalam filmnya itu harusnya tidak salah, karena simply menggambarkan karakter Arwen yang bersifat keimaman ini, dia mengorbankan apa yang dia punyai bagi orang lain, atau dalam bahasa Filipi 2, ‘Ia yang tidak menyayangkan apa yang jadi milik-Nya sendiri, melainkan mengosongkan diri-Nya sendiri, bagi orang lain’.
Dalam sense yang sama, Saudara lihat Yesus juga dihadirkan dan digambarkan berkali-kali dalam Perjanjian Baru sebagai tokoh yang memenuhi peran keimaman ini, namun sekarang Ia memenuhinya secara sempurna, melampaui yang bisa dicapai tokoh-tokoh Perjanjian Lama. Yesus memulai pelayanan-Nya pada umur 30 tahun; ini menarik karena umur 30 adalah usia di mana para imam Israel memulai pelayanan mereka. Jadi ini satu signal yang sangat jelas. Yesus juga bersyafaat bagi umat Allah di hadapan Bapa, tapi Dia tidak membawa darah binatang yang tidak sempurna, darah binatang yang cuma lambang tok; Dia membawa darah yang sungguh berkuasa, yaitu darah-Nya sendiri. Jadi Yesus jelas digambarkan sebagai seorang Imam. Tapi sekali lagi pertanyaannya: kapan ini terjadi?
Kapan Yesus naik membawa korban, bersyafaat bagi umat-Nya, atas dasar darah-Nya sendiri di hadapan Bapa? Kita cuma pikir ini terjadi di atas kayu salib, karena Dia naik ke atas kayu salib. Memang benar Dia naik ke atas kayu salib, tapi arah kenaikan Yesus ‘kan tidak berhenti di sini; Dia naik ke atas kayu salib supaya Dia bangkit dari kematian, dan supaya Dia naik ke surga, ke sebelah kanan Allah Bapa. Kalau Saudara peka dengan latar belakang tadi, cerita imam yang berkali-kali disajikan dalam Perjanjian Lama, maka Saudara tahu, bahwa momen klimaks Yesus menjalankan keimaman-Nya, itu bukan di atas kayu salib, itu baru utuh full circle ketika Ia naik ke hadapan Bapa. Ia sudah berperan sebagai Imam di bumi, tapi dalam Kenaikan-lah Dia benar-benar secara utuh menjalankan keimaman-Nya, karena keimaman-Nya sekarang bukan cuma keimaman yang ada di bumi tok, melainkan keimaman yang di surga. Ia bersyafaat bagi kita di surga; dan syafaat surgawi ini selalu sifatnya lebih, bukan kurang, dibandingkan keimaman di bumi.
Saudara, orang-orang Yahudi yang membaca deskripsi Yesus yang seperti ini, mereka melongo, bulu kuduk mereka merinding kesenangan, mereka duduk di pinggir kursinya, sedangkan kita bingung, ‘ada apa, sih??’ –karena kita tidak mengerti Perjanjian Lama. Jadi hal ini ternyata bukan sesuatu yang baru muncul di halaman-halaman pertama Kisah Para Rasul atau di akhir halaman-halaman Injil Lukas, melainkan sesuatu yang sudah di-set-up dengan begitu cermat sejak sekian lama. Yesus naik ke surga, di mata Alkitab adalah momen di mana tugas serta fungsi keimaman-Nya mencapai puncak, inilah momen Imamat 16 bagi seluruh alam semesta, inilah klimaks dari seluruh sejarah penciptaan. Ini tidak kurang dari turning point seluruh kisah manusia.
Kenaikan Yesus tidaklah menghentikan pekerjaan-Nya –sama sekali tidak. Kenaikan Yesus bukanlah momen di mana Dia meninggalkan kita seakan-akan kita sekarang yatim piatu. Bahkan Saudara sekarang bisa melihat kenapa Yohanes mepersaksikan kepada kita bahwa adalah lebih baik jika Ia naik dibandingkan jika Ia bertahan di bumi ini. Kenaikan Yesus adalah kabar baik bagi kita semua. Itu sebabnya Ibrani 4:14 mengkonfirmasikan hal ini: ‘Sekarang –berarti tadinya tidak– kita punya Imam Besar Agung yang telah melintasi semua langit (yang telah naik ke surga), Yesus Anak Allah. Dan Imam Besar yang kita punya ini bukanlah Imam Besar yang seperti dulu-dulu itu, Imam Besar ini bukan Imam Besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan kita; sama seperti kita, Ia telah dicobai, hanya saja tidak berbuat dosa. Oleh karena Dia, kita bisa dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia’.
Omong-omong, salah satu implikasi singkat sebelum kita masuk ke aplikasinya, ini membuat kita menyadari bahwa Yesus bukan naik ke surga tanpa tubuh. Alasannya Pengakuan Iman Kristen mengakui bahwa Yesus membawa tubuh manusia-Nya ke surga, salah satunya adalah karena fungsi keimaman-Nya ini. Ia bukan hanya menjadi Imam di bumi, Ia adalah Imam di surga; dan kalau Ia Imam di surga, artinya Ia Imam di surga dengan tubuh manusia, tubuh bumi, karena salah satu persyaratan keimaman dalam Perjanjian Lama adalah bahwa keimaman harus diambil dari manusia, malaikat tidak bisa menjadi imam, binatang tidak bisa menjadi imam. Ibrani 5:1 mengkonfirmasi hal ini, bahwa setiap Imam Besar dipilih dari antara manusia. Itu sebabnya Ascension benar-benar adalah klimaks, sesuai dengan rencana yang telah kita lihat dalam kehidupan Yesus Kristus, karena ini berarti bahwa dalam kenaikan-Nya, Yesus melanjutkan inkarnasinya. Inilah alasannya inkarnasi-Nya terjadi; Ia tetap menjadi Imam bagi kita sekarang di surga sana, karena Ia bertubuh dan berdaging manusia. Kenaikan Kristus tidak menghentikan kemanusiaan-Nya. Kenaikan Kristus malah melanjutkan kemanusiaan tersebut. Kenaikan Kristus ke surga, dilihat dari aspek keimaman, itu malah mengkonfirmasi kemanusiaan-Nya.
Ini salah satu alasan para Reformator menolak melihat Sakramen Perjamuan Kudus sebagaimana orang-orang Katolik. Orang Katolik menganggap roti dan anggur dalam Sakramen Perjamuan Kudus benar-benar berubah menjadi tubuh dan darah Kristus yang asli; para Reformator menolak hal ini, salah satu alasannya, karena jika demikian berarti setiap kali kita Perjamuan Kudus, kita menyalibkan lagi Yesus, sementara penyaliban Yesus adalah satu pengurbanan yang sempurna, cukup satu kali untuk selamanya. Dalam hal ini, instruksi Yesus kepada kita adalah agar kita mengingat, dan bukan melakukan kembali. Itu jelas. Namun tahukah Saudara alasan berikutnya? Para Reformator mengatakan bahwa yang kita pegang dalam Perjamuan Kudus bukanlah tubuh dan darah Kristus itu sendiri, ini adalah lambang kehadiran Yesus yang kita terima melalui iman; ini saluran berkat dan bukan berkat itu sendiri, ini tidak menyelamatkan tapi mengingatkan karya keselamatan. Kenapa para Reformator mengatakan demikian? Karena para Reformator percaya bahwa tubuh riil Yesus, tubuh daging dan darah Yesus, tubuh yang dibangkitkan dan dimuliakan itu, ada di surga, dibawa ke sana, bukan di bumi.
Naiknya tubuh Kristus –daging dan darah manusia ini– ke atas sana, berarti kenaikan Kristus bukanlah peristiwa Yesus meninggalkan sejarah dunia, sebaliknya justru peristiwa di mana Yesus mengkonfirmasi bahwa ada tempat bagi dunia ini, bumi dan materi ini, dalam kesudahan zaman. Jadi, jika di surga sana sekarang ini ada Tubuh Manusia yang telah dibangkitkan dan dimuliakan, maka ketika nanti surga turun ke bumi, langit dan bumi diperbarui, berarti ada juga tempat bagi tubuh-tubuh kita yang juga akan dibangkitkan dan dimuliakan. Sebagaimana kita sudah khotbahkan dalam Minggu-minggu Paskah, pengharapan kita dalam masa depan adalah pengharapan yang sangat materiil, namun ini materi yang tidak lagi terikat oleh maut. Dari mana kita tahu? Salah satunya lewat keimaman Yesus Kristus. Ia naik ke atas sana sebagai Imam, itu berarti Ia mewakili kita karena Ia adalah daging dan darah. Ia membawa tubuh-Nya, dari bumi ini, naik ke atas sana. Itu teologinya; apa aplikasinya?
Khususnya karena hari ini ada Baptis, Sidi, dan Atestasi, maka ini momen yang pas untuk bukan cuma membereskan teologi kita mengenai Kenaikan Kristus, tapi juga bagaimana kenaikan ini berdampak dalam kehidupan gerejawi kita. Kita tentu bisa membahas ini secara ekstensif, namun satu hal yang saya ingin tekankan adalah sebagaimana Saudara dari tadi melihat apakah tugas keimaman itu. Apa poin sentral tugas keimaman di atas dunia ini, yang bayang-bayangnya ada di Perjanjian Lama dan akhidnya digenapi serta mendapat kulminasinya dalam diri Yesus Kristus? Untuk apa setiap tokoh imam-imam ini naik? Mereka naik untuk bersyafaat. Itu sebabnya inilah aplikasinya, bahwa kita perlu menyadari pentingnya salah satu item Liturgi kita yang paling kita benci, yaitu Doa Syafaat. Ini item yang kita paling benci; kita paling tidak sabar kalau muncul bagian ini dalam liturgi kita. Ini bagian yang paling membosankan, paling ‘gak jelas, namun sekarang Saudara baru menyadari betapa pentingnya dan seberapa besar bobotnya item Doa Syafaat dalam Liturgi Gereja.
Omong-omong, tadi kita sudah jelas bahwa ketika figur-figur imam naik, mereka tidak cuma naik demi naik tok dan tidak turun-turun. Mereka naik, actually untuk turun, untuk menurunkan sesuatu yang bisa jadi berkat bagi umat Tuhan. Dalam kasus Yesus naik, apa yang turun? Dia naik supaya Dia bisa mengutus Roh Kudus turun, supaya seperti kata Paulus, ‘kita menjadi bait Allah karena Roh Allah diam di dalam kita’. Dengan demikian, selagi Yesus membawa tubuh-Nya ke surga, Ia sesungguhnya menjadi Kepala bagi Tubuh-Nya dibumi, yaitu Saudara dan saya. Ini sebabnya naiknya Yesus ke surga bukan berarti berhentinya pekerjaan Yesus di bumi ini, melainkan suatu turning point di mana pekerjaan Yesus dilanjutkan oleh Gereja, oleh Tubuh-Nya. Seperti film tadi, oleh karena pengorbanan seseorang, orang-orang yang tadinya tidak mau ikut berjuang, sekarang mulai datang satu demi satu, mereka mulai ikut masuk ke dalam perjuangan yang membutuhkan pengorbanan ini. Itulah yang sedang terjadi.
Sebagaimana Yesus di atas sana bersyafaat bagi kita, maka berarti Saudara dan saya juga dipanggil untuk bersyafaat bagi dunia ini. Kita dipanggil untuk menjadi seperti Yesus –seperti Arwen– menjadi orang-orang yang menyerahkan karunia yang turun kepada kita untuk boleh diteruskan kepada orang lain, bagi orang lain –syafaat. Itulah fungsi keimaman. Itulah salah satu tugas Gereja yang sangat penting. Itu sebabnya dalam Kebaktian kita, tidak bisa tidak harus ada doa syafaat. Tidak cuma khotbah firman Tuhan yang harga mati, tidak cuma puji-pujian yang harga mati, doa syafaat juga harga mati. Ini hal pertama alasannya Doa Syafaat dalam Kebaktian bukan sesuatu yang pinggiran.
Namun ada hal yang kedua, yang kita bisa renungkan dan menyadari kenapa Doa Syafaat bukan cuma harus ada tapi juga tidak nyaman dan tidak enak. Tugas syafaat ternyata memang bukan tugas yang memberikan rasa enak; ini tugas keimaman, fungsi keimaman. Esensi dari tugas keimaman adalah bahwa apa yang Saudara lakukan, Saudara tidak melakukannya bagi dirimu sendiri. Seorang imam memakai jubah imam bukan karena dia suka, dia pakai jubah itu on behalf of others, mewakili orang-orang lain, demi dan bagi orang-orang lain yang dia wakili. Jika demikian, ini berarti momen Doa Syafaat dalam Kebaktian kita justru momen yang paling sejati, momen di mana Saudara dan saya beribadah dengan paling sejati. Kenapa? Karena sesungguhnya kita tidak mau itu! Sadarkah Saudara?
Kalau kita mendengarkan khotbah, barangkali sedikit banyak karena kita kepingin atau demen dengerin khotbah, which is why Saudara datang ke GRII ‘kan. Kalau Saudara memberikan persembahan, itu mungkin karena Saudara tergerak, kepingin, karena merespons firman Tuhan, atau bisa juga Saudara mau menebus perasaan bersalah. Kalau Saudara menyanyi puji-pujian, mungkin karena Saudara memang senang dengan musiknya, dengan lagu-lagunya, setiap kali “Grace Alone” muncul maka semua menyanyinya semangat, dsb. Ini tentunya tidak salah, tentunya baik kalau Saudara bisa menikmati kebaikan Tuhan yang datang lewat berkat-berkat tersebut. Poinnya, kalau ibadah-ibadah kita semuanya adalah hal-hal yang kita bisa nikmati dan sukai, kita agak sulit membedakan, apakah benar kita sedang menjalankan fungsi keimaman kita bagi kebaikan orang lain dengan cara mengorbankan dan menyerahkan apa yang kita punya, atau jangan-jangan kita menjalankan semua itu simply karena kita sedang mengejar interest kita masing-masing. Jadi, kalau Saudara mau menguji dirimu, ada satu hal dalam Liturgi kita yang sangat sedikit celahnya untuk orang melakukannya karena menikmati atau demen atau sedang melayani interest-nya sendiri; apakah itu? Doa Syafaat. Itu tugas seorang imam. Itu momen di mana kita paling sejati menyembah Tuhan, namun ironisnya itu justru bagian yang selama ini kita ingin buang. Sadarkah Saudara akan hal ini?
Saya mau menekankan ini lebih lagi, dengan mengulang sedikit hal yang sempat saya katakan kepada Bapak/Ibu/Saudara yang ikut atestasi. Kalau orang Baptis atau Sidi, sedikit banyak mereka menangkap acara ini fungsinya adalah pindah aliran keyakinan. Kalau Saudara tadinya mungkin dari agama lain lalu sekarang dibaptis masuk ke dalam Kekristenan, maka Saudara pindah aliran keyakinan. Atau mungkin Saudara tadinya orang-orang dari gereja-gereja lain yang alirannya agak berbeda, Saudara lalu sidi di sini, Saudara imannya diteguhkan sesuai pengajaran para Reformator; jadi Saudara pindah aliran keyakinan. Tapi kalau atestasi, yang sekarang aturannya bukan lagi atestasi dari gereja lain melainkan dari cabang GRII yang lain, jadinya ngapain ya, ‘kan tidak ada perpindahan aliran, apa yang kita percayai di GRII Kelapa Gading adalah sama dengan apa yang GRII-GRII lain percaya, para pendeta dan vikaris bisa ada variasinya sedikit-sedikit tapi secara umum hal-hal yang fundamental kita percaya hal yang sama sebagai satu sinode. Jadi apa poinnya kita melakuan atestasi kalau kita percaya hal-hal yang sama? Ini sebabnya atestasi penting, karena dalam momen Atestasi seperti ini kita baru menyadari bahwa urusan masuk ke dalam satu jemaat, bukanlah urusan teologis lagi melainkan urusan kejemaatan. Ini adalah urusan mengenai bagaimana kita mau menghidupi teologi yang kita sama-sama percaya ini, di jemaat lokal ini. Orang-orang yang baptis dan sidi harusnya bergumul soal kejemaatan ini juga, namun bagi orang-orang yang atestasi, hal ini lebih intens karena mereka tidak terdistraksi urusan teologi sama sekali. Waktu orang atestasi ke Gereja ini, berarti ia sedang mengatakan ‘saya mau menjalankan apa yang benar di hadapan Tuhan di sini, saya mau belajar mengorbankan apa yang saya anggap benar menurut mata manusiaku, menyerahkan itu, dan mengambil apa yang Tuhan anggap benar, untuk dijalankan di Gereja ini’. Itulah atestasi. Atestasi urusannya sangat erat dengan urusan kejemaatan. Saudara atestasi karena Saudara mau melayani jemaat yang baru ini; Saudara mau mempertaruhkan nyawamu, keringatmu, darahmu, uangmu, juga kadang-kadang harga dirimu, untuk melayani apa yang Tuhan anggap baik dilakukan di Gereja ini, di jemaat ini; dan bukan apa yang engkau pandang baik. Itulah yang saya tekankan kepada mereka yang hari ini atestasi.
Sekarang pertanyaannya, Saudara setuju dengan hal ini? Tentu saja pasti setuju. Memang itulah kehidupan bergereja. Saya harus menolak pola kehidupan duniawi yang melakukan segala sesuatu simply sesuai yang apa saya pandang baik. Saya menolak gaya kehidupan model Adam dan Hawa yang mengambil buah karena hal itu baik dalam pandangan mereka. Saya menolak gaya kehidupan seperti Daud yang mengambil Batsyeba karena Batsyeba terlihat indah di matanya. Saya menolak gaya kehidupan seperti itu, saya mau menjadi warga dari Kerajaan Allah, saya mau melakukan apa yang Tuhan pandang baik, bukan apa yang saya pandang baik, bukan apa yang dunia pandang baik. Nah, sekarang apa bentuk konkret dari semua ini?
Waktu mendengar semua ini, kita mengangguk-angguk setuju, memang benar Gereja harus seperti itu. Tapi sekarang, waktu kita masuk ke dalam kejemaatan, rela menyangkal diri, saling memikul salib, dsb., apa bentuk konkretnya? Apa ritualnya, apa praktikanya supaya kita betul-betul mengamini hal ini? Sekali lagi, kalau Saudara cuma percaya teologi yang sama, itu ‘gak ngaruh, atestasi bukan mengenai itu. Atestasi adalah mengenai apa konkretnya yang dijalankan, dalam Gereja yang lokal ini, yang adalah sebabnya kita di-atestasi. Kalau cuma urusan teologi yang sama, tidak perlu pindah, karena kita juga sudah percaya hal yang sama. Lagipula, kalau Saudara cuma percaya teologi yang sama tok tapi tidak menjalankan praktikanya, itu NATO, no action talk only.
Bukan cuma itu, bahkan adalah bahaya kalau kita cuma mengakui teologinya tapi kita tidak ada penghidupannya; kenapa? Karena Saudara sebenarnya tidak tahu Saudara percaya apa, sampai Saudara bisa diperlihatkan dengan nyata seperti apa kehidupanmu. Misalkan Saudara tanya kepada orang, “Pak, menurutmu gadget beguna atau berbahaya bagi anak-anak?” Orang itu lalu mengatakan, “Berbahaya. Gadget harus dibatasi. Mungkin diberikan boleh saja, tapi harus ada pembatasan, karena gadget merusak pertumbuhan anak-anak, gadget bikin anak-anak dalam segala sesuatu kalau tidak suka, tinggal swipe, kalau yang suka, dia lihat. Hal-hal yang ada yang dia suka, secara instan datang; tapi begitu tidak suka, tinggal buang. Bosan sedikit, tinggal buka gadget, tidak pernah belajar kreativitas.” Saudara tentu tahu, anak-anak kalau bosan dalam perjalanan, mereka mulai bikin game, “Ayo, kita tembak-tembak mobil yang putih”, “Eh, ‘gak kena! Itu mobil merah!”, dsb. Kreativitas kayak begini baru akan terjadi melalui bosan. Kalau anakmu bosan sedikit, langsung dapat gadget, otak dia tidak pernah kabel neuron-nya dibikin jalan untuk bahkan bikin game-game lucu seperti itu, sehingga tidak heran pada umur 16, 17, 20, mereka jadi orang-orang yang sangat pasif, tidak ada kreativitas sama sekali. Hal kayak begini, orang bisa setuju, tapi ini ‘gak ngaruh; Saudara perlu datang ke rumahnya dan lihat di rumahnya seperti apa. Bapak tadi, ternyata di rumahnya ada 8 orang, dan gadget-nya 20, artinya satu orang dapat gadget lebih dari satu!
Apapun yang kamu maksudkan dengan teologimu, itu tidak bisa kalau tidak dihidupi; perlu ada ritualnya, perlu ada praktikanya, perlu ada penghidupannya. Dengan demikian kalau Saudara masuk ke dalam kejemaatan, Saudara mengatakan rela menyangkal diri untuk memperjuangkan apa yang Tuhan pandang baik dan menolak apa yang manusia pandang baik, apa praktikanya, apa ritualnya, apa penghidupannya? Kita sering kali sharing departemen kepada jemaat-jemaat yang atestasi, “Ini nih, Departemen Penggembalaan, ini ritual-ritual kamu; mau ikut melayani?” Tim Ibadah bisa menekankan Paduan Suara-nya, Tim Penggembalaan bisa menekankan KTB-nya, Tim Penginjilan menekankan KKR Regional-nya. Namun semua ini, in some sense tetap ada banyak celah; Saudara ikut paduan Suara mungkin karena memang senang menyanyi, Saudara ikut KTB mungkin karena memang suka kongkow-kongkow, Saudara ikut KKR Regional bisa jadi karena kesampatan untuk jalan-jalan. Jadi, apakah salah satu ritual yang actually paling tidak ada celahnya dalam melatih/membuat kita mempercayai dan menghidupi teologi kegerejaan ini, di mana saya pindah ke sini karena ingin involve dalam kejemaatan, mau mulai menjadi umat Kerajaan Allah yang hidupnya atas dasar aturan mainnya Allah dan bukan atas dasar aturan main manusia, meninggalkan apa yang manusia pandang baik menurut pandangannya sendiri, dan mulai hidup dengan cara hidup di mana Allah yang menentukan apa yang baik dan benar? Di mana ritualnya, praktikanya? Persekutuan Doa, syafaat.
Persekutuan Doa adalah pelayanan yang paling membosankan, paling menuntut bangun pagi dan itu tidak masuk akal, tidak kelihatan juga apa faedahnya di mata manusia. Saudara datang ke Persekutuan Doa, lalu waktu keluar dari situ, Saudara tidak keluar dengan hati yang lega dan penuh kedamaian, Saudara keluar dengan lutut yang sakit, punggung yang encok, dan kebingungan ‘sebenarnya saya tadi ngomong pada Tuhan beneran atau cuma ngomong ke kursi??’ Sekali lagi, inilah sebabnya Persekutuan Doa dan Doa Syafaat adalah ritual kejemaatan yang mungkin paling sejati, karena inilah momen di mana minggu demi minggu Saudara dipanggil untuk menanggalkan apa yang baik di matamu, dan mulai menjalankan apa yang Tuhan pandang baik di mata-Nya, meskipun apa yang Tuhan pandang baik di mata-Nya itu tidak selalu sesuai dengan apa yang baik di matamu. Ini sangat nyata dalam Persekutuan Doa. Dan, itu sebabnya saya tidak tertarik untuk membuat Persekutuan Doa lebih menarik bagi orang-orang. Saya tidak tertarik untuk membuat Doa Syafaat lebih engaging bagi orang-orang –misalnya dengan membuat waktu kita berdoa syafaat, piano memainkan lagu-lagu yang sendu, dsb. supaya orang lebih merasa gimana gitu— karena bukan itu poinnya.
Poinnya fungsi keimaman ini, adalah fungsi di mana kita menyerahkan apa yang ada pada kita menjadi sesuatu yang demi orang lain, bagi orang lain –menjadi mediator bagi mereka, menjadi pen-syafaat. Kita melakukan ini bukan karena diri kita, tapi demi mewakili orang lain. Jadi, apa ritual dalam kehidupan Gereja yang bisa melatih kita sampai sejauh ini, kalau bukan ritual Persekutuan Doa, kalau bukan ritual Doa Syafaat. Saudara bisa mengatakan percaya segudang teologi yang saya katakan di awal tadi, bahwa Yesus Kristus adalah Imam yang sejati, bahwa kenaikan-Nya mengkulminasikan apa yang telah di-set-up di Perjanjian Lama dengan begitu rapi; tapi apa praktikanya, Saudara?
Kalau dalam hidupmu tidak ada ketertarikan untuk masuk ke dalam Doa Syafaat, Persekutuan Doa, tidak ada semangat bergumul untuk melakukan pelayanan-pelayanan yang seperti ini, cuma mau ikut pelayanan yang comfortable buatmu, yang sesuai dengan talenta menurut pandanganmu, maka Saudara perlu tanya pada dirimu, sebenarnya Saudara di sini jemaatnya siapa, sih? Engkau di sini mau jadi jemaatnya Tuhan, atau mau jadi apa? Engkau di sini sedang menjalani kehidupan gerejawi, atau cuma sedang berada dalam satu klub hobi yang sama, hobi dengerin khotbah tertentu, dengan cara tertentu, dengan pendeta tertentu, dengan gaya khotbah tertentu itu –makanya setiap kali yang berkhotbah pendeta lain, tiba-tiba ada sejumlah orang yang hilang dari Kebaktian GRII Kelapa Gading, yang jumlahnya itu bisa bikin MRII. Ini apaan?? Bukankah ini yang Yesus berkali-kali katakan waktu Dia menghadapi beribu-ribu orang mengikut Dia semasa hidup-Nya? Yesus, waktu melihat orang banyak mengikuti-Nya, Dia sering kali menghentikan langkahnya dan berputar balik kepada mereka lalu bertanya: “Kalian ini mau ikut Saya, ngapain sih?? Kamu siap atau tidak menyangkal dirimu? Kamu siap atau tidak meminum cawan yang harus Aku minum? Kalau tidak siap, ngapain engkau ikut??” Ini pertanyaan yang kita perlu gumulkan.
Saudara, tidak berarti saya expect hari Sabtu depan seluruh jemaat yang 500 orang ini ikut Persekutuan Doa. Saya tahu kita hidup dalam dunia yang tidak ideal. Kita hidup dalam dunia di mana kita bisa kecapekan banget Jumat malamnya. Kita hidup dalam dunia di mana kita kadang-kadang tidak bisa bangun Sabtu pagi, dsb. Saya sendiri juga sama, koq; berhubung rumah saya jauh banget, saya harus bangun jam 5 untuk bisa ikut Persekutuan Doa, dan kalau terlwat sedikit saja pasti telat. Jadi, poinnya bukan tuntutan untuk Saudara ikut persekutuan dan diabsen paling sedikit ikut 3 dari 4 kali pertemuan, kalau tidak, tidak boleh datang ke Kebaktian, dsb. Bukan itu. Saya tidak tertarik dengan legalisme seperti itu, karena kalau legalisme seperti itu dijalankan, ujungnya Saudara jadi ikut Persekutuan Doa untuk tujuan yang self-serving, yaitu menghapus rasa bersalah, dst. Yang Saudara perlu pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan –bukan di hadapan pendeta, bukan di hadapan vikaris– adalah: pertanggungjawabkan habit ritualmu yang rutin itu, bukan yang sesekali.
Kalau sesekali Saudara tidak datang, silakan, karena memang tidak bisalah selalu datang, kita hidup dalam dunia yang tidak ideal. Sesekali Saudara perlu kerja sehingga tidak bisa datang Persekutuan Doa, itu tidak masalah. Sesekali Saudara harus urus anak yang masih kecil sehingga tidak bisa datang Persekutuan Doa, itu tidak masalah. Sesekali Saudara harus buka toko sehingga tidak bisa datang Persekutuan Doa, itu tidak masalah. Tapi yang rutinnya apa? Yang jadi mode default-nya apa? Apakah mode default malah terbalik, ‘mode default saya adalah kerja lalu sesekali ikut Persekutuan Doa, mode default saya adalah urus anak lalu sesekali ikut Persekutuan Doa, mode default saya adalah buka toko lalu sesekali ikut Persekutuan Doa’? Mode default-nya yang mana?? Mode default sebagai umat Tuhan harusnya yang mana?
Omong-omong, yang saya maksud ‘sesekali’, itu bukan berarti satu minggu ikut, satu minggu tidak, dst. MIsalnya Saudara harus jaga anak yang masih kecil, maka Saudara bisa janji di hadapan Tuhan, ‘sesekali’ itu maksudnya sampai anakmu gede dan sudah mulai bisa diatur. Saudara boleh koq berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, saya tidak bisa datang ke Persekutuan Doa 2-3 tahun karena anak saya masih kecil”; tapi yang jadi pertanyaan: setelah 2-3 tahun lalu apa? Rentang hidup manusia 70 tahunan, jadi sisanya ngapain? Itu pertanyaannya yang Saudara harus pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, kalau Saudara menyadari panggilan kejemaatan di tempat ini sebagai umat Tuhan.
Saudara ngapain di sini? Saudara ngapain di Gereja ini? Melihat angka yang ikut Kebaktian kita naik dan naik terus, saya bukan bahagia, saya ngeri. Saya khawatir Gereja ini lama-kelamaan jadi gereja yang orang-orang berada di sini simply karena menemukan apa yang mereka cari, yang ujungnya tidak beda dengan klub hobi masing-masing. Kalau Saudara mau menguji diri, ‘apakah benar Roh Kudus bekerja dalam hidupku dan hatiku, apakah benar Roh Kudus mengajakku ke arah yang sejati atau jangan-jangan imanku iman yang palsu’, ada satu ritual yang sudah diberikan Gereja, ritual keimaman, ritual di mana engkau dipaksa menundukkan apa yang engkau pandang baik –seleramu, jam bangunmu– di hadapan apa yang baik di mata Allah, untuk berlutut bersama-sama sebagai satu umat, bersyafaat bagi dunia ini, sebagaimana Allah telah bersyafaat, dan sedang bersyafaat bagi kita. Itu yang perlu kau tanyakan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading