Hari ini kita balik ke kitab Yunus, khususnya Yunus pasal 3. Dulu kita pernah membahas keseluruhan kitab ini di PA, sementara di Kebaktian Umum kita pernah bahas secara umum satu kali, dan fokusnya di pasal 4; hari ini kita mau bahas pasal 3, dan penekanannya beda. Harapan saya, setelah mendengar bahan hari ini, kita bisa merespons situasi kota Jakarta hari-hari ini dengan lebih alkitabiah, lebih kristiani, which is to say lebih rendah hati.
Salah satu alasan saya memilih kitab Yunus, karena kitab ini mirip kitab Daniel, sebuah literatur exilic, dialamatkan kepada orang-orang yang mengalami pembuangan, yaitu umat Tuhan yang hidup setelah zaman keemasan Daud serta Salomo, sudah merasakan hidup di bawah pemerintah-pemerintah dunia yang bukan saja tidak mengenal Tuhan tapi juga sering kali menjalankan ketidakadilan di tengah masyarakat, bahkan masyarakatnya pun sering kali jahat dan violent. Sounds familiar buat kita, ya, apalagi beberapa hari terakhir ini. Bedanya dengan kitab Daniel, sementara kitab Daniel berurusan dengan sisa-sisa umat Tuhan dari kerajaan Yehuda yang dilahap kekaisaran Babilonia, kitab Yunus bercerita dari sudut pandang sisa-sisa kerajaan Utara, kerajaan Israel, yang dilahapnya oleh kekaisaran Asyur.
Niniwe adalah ibukota Asyur; dan Yunus diutus ke sana. Ini sedikit banyak mirip seperti Daniel diutus ke Babilonia, namun Asyur pada dasarnya masyarakat dan budaya yang lebih violent dibandingkan Babel. Babel tentunya perang pakai kekerasan, tapi menaklukkan bangsa-bangsanya dengan cara asimilasi, cara soft power, sedangkan Asyur menaklukkan dengan cara subjugation, violence. Asyur punya track record yang mengerikan dalam cara mereka menaklukkan bangsa-bangsa lain itu (Saudara bisa searching sendiri di internet). Di pasal 3:38 bahkan raja Niniwe sendiri mengakui masyarakatnya itu masyarakat yang jahat dan melakukan kekerasan (violence). Jadi Saudara bisa memahami respons Yunus dalam hal ini, Yunus inginnya Asyur dihukum. Yunus punya satu kemarahan yang dalam terhadap Niniwe. Hari ini, kalau kita melihat pejabat-pejabat atau para pemegang kuasa yang bobrok, tambahan lagi masyarakat yang violent dan mengarah pada anarki, kita bisa lebih simpati kepada Yunus, “Gua ngerti deh kayaknya perasaan Lu sekarang”. Itu sebabnya kita perlu membahas bagian ini, karena Alkitab selalu ada plot twist dalam merespons hal-hal seperti ini, yang mungkin bahkan lebih dari satu.
Kita coba melihat bagaimana Allah pada dasarnya tentu menolak violence masyarakat Asyur, namun di sisi lain Allah menolak kemarahan Yunus –kemarahan toxic-nya Yunus. Ada tiga hal utama yang kita akan bahas; setiap hal tersebut akan ada double point, kiri dan kanan, yang seperti bertentangan namun perlu kita ambil bersama-sama.
Hal besar pertama yang perlu kita lihat adalah bagaimana Alkitab mengungkap sumber dari violence. Ketika hari ini kita berhadapan dengan violence, baik yang datang dari atas dalam bentuk penindasan atau ketidakadilan sosial, ataupun dari akar rumput dalam bentuk penjarahan, anarki, dsb., kita sering kali bertanya dari mana sih sumbernya. Bagian ini menceritakan kepada kita dua sumber.
Yang pertama –dan tidak terlalu surprising— bahwa violence memang lahir dari masyarakat Asyur, keluar dari paganisme mereka. Istilah pagan kadang diterjemahkan dengan kafir, namun ini mungkin tidak terlalu tepat karena biasanya kita mengerti ‘kafir’ sebagai simply semua orang lain yang agamanya bukan agama aku. Namun paganisme bukanlah sekadar label payung besar seperti itu, paganisme pada zaman itu sesungguhnya merupakan satu tipe keyakinan tertentu, agama tertentu. Paganisme basically adalah politeisme dunia kuno di mana ada banyak dewa, semua bangsa punya dewa-dewinya masing-masing. Ini menarik, karena kalau Saudara perhatikan bangsa-bangsa pagan pada zaman itu (bukan cuma Asyur), semua pada dasarnya budaya-budaya yang violence, termasuk yang kita anggap budaya masayarakatnya tinggi seperti Yunani kuno atau Romawi (mereka ini bangsa-bangsa yang tontonan populer sehari-harinya adalah gladiator yang berantem sampai mati, atau tahanan-tahanan penjara yang dilempar ke binatang buas tanpa perlawanan; dan ketika badan-badan tahanan tersebut tercabik-cabik lalu darahnya muncrat, masyarakat umum yang menonton itu bersorak-sorak). Masyarakat zaman itu tidak menjunjung tinggi nyawa manusia. Dari rekaman sejarah, kita tahu bayi-bayi wanita sering kali dibuang begitu saja, dan ini dianggap normal; juga tidak ada tradisi memperhatikan orang-orang marjinal seperti yatim piatu atau fakir miskin. Di negara kita, hal tersebut paling tidak masih masuk dalam UUD 1945, meski realitasnya tentu bisa lain; sedangkan dalam masyarakat kuno, sebatas teorinya pun tidak masuk. Pertanyaannya: kenapa?
Agustinus, seorang Bapa Gereja abad ke-4, memberikan analisa dan jawaban akan hal ini dalam bukunya, The City of God. Agustinus membandingkan antara Yudaisme atau Kekristenan (masih sama-sama agama Alkitab), dengan Paganisme/politeisme dunia pada waktu itu. Agustinus mengatakan, dalam Yudaisme atau Kekristenan hanya ada satu kuasa mutlak di atas dunia ini yang mengatasi segala kuasa-kuasa lain, maka berarti sejak awal segala sesuatu baik dan teratur. Tentu saja dunia hari ini dirusak oleh dosa, namun ini pun sedang dalam proyek diarahkan kembali kepada keadilan, kebaikan, keteraturan, dan pemulihan. Dalam kacamata Yudaisme maupun Kekristenan, memang sementara ini dunia kacau, namun pada awalnya baik, dan sedang mengarah untuk kembali baik dan teratur, karena kuasa yang mutlak cuma satu, Allah saja; sedangkan Paganisme atau politeisme sangat lain, sejak awal tidak pernah cuma satu kuasa, melainkan banyak kuasa. Itu sebabnya dalam Paganisme/politeisme sejak awal yang ada bukanlah otoritas mutlak, tidak ada hukum mutlak bagi para dewa-dewi; dari awal yang ada adalah dewa-dewi saling berebut kuasa. Itulah keadaan awal alam semesta menurut Paganisme, tidak pernah ada keadaan ‘segala sesuatu baik adanya’; yang ada adalah ‘segala sesuatu kacau, tegang, saling berebut’. Kalau di Alkitab pada mulanya adalah Allah, dalam Paganisme pada mulanya adalah violence, kekerasan, chaos.
Hal ini lebih nyata lagi kalau kita membandingkan mitologi-mitologi penciptaan dunia Paganisme kuno. Banyak dari mereka menceritakan penciptaan sebagai hasil dari pertempuran, dari violence —dengan demikian yang ada sejak awal adalah violence. Bahkan violence bukan sekadar ada sejak awal, violence itu sakral karena violence adalah cara yang dipakai oleh sekelompok dewa-dewi baik untuk menaklukkan dewa-dewi jahat sehingga alam semesta ini bisa tercipta –jadi violence bukan cuma ada sejak awal tapi juga perlu. Alkitab lain. Di dalam Alkitab, keteraturan dulu pada awalnya, baru belakangan dosa masuk membawa violence; di dalam Paganisme, kekacauan dulu, violence dulu, dan setelah melalui violence barulah sedikit kedamaian bisa datang. Saudara lihat, dunia kuno yang berkonsep politeistis seperti ini tidak heran perang terus satu dengan yang lain, tidak heran budaya-budayanya bukan mengejar keadilan dan kebenaran, tapi mengejar kuasa –karena dari awalnya mereka memang percaya seperti itu.
Agustinus tadi sedang membicarakan Paganisme dunia kuno, namun tidak sulit bagi kita untuk melihat hal yang sama bahkan dalam dunia modern. Misalnya dalam paham Evolusi (makro-evolusi, bahwa segala sesuatu datang dari evolusi saja), apa yang ‘pada mulanya’ di dalam dunia yang segala sesuatu datang dari evolusi? Violence. Prinsip dasar evolusionisme adalah ‘yang kuat makan yang lemah; yang survive adalah yang lebih kuat daripada yang lain’; ini violence. Violence bukan cuma ada sejak awal, tapi juga sakral, karena itulah yang membuat orang bisa survive. Itu sebabnya dalam dunia paganistis tidak ada gunanya membicarakan kebenaran/keadilan, karena dalam dunia seperti itu kebenaran/keadilan merupakan hal-hal yang tidak natural, tidak dari sananya. Apa yang natural? Main kasar. Might makes right. Tentu saja Saudara bisa membicarakan keadilan dan kebenaran, tapi ujung-ujungnya siapa yang benar dan siapa yang berhak mengadili, itu cuma bicara soal siapa yang pegang kuasa.
Saudara bisa lihat bagaimana Agustinus menyerang Paganisme habis-habisan, mengungkap bahwa keyakinan seperti ini ujungnya mensakralkan violence, dan tidak mungkin bisa mengarah kepada keadilan, tidak mungkin menjadi dasar masyarakat yang adil. Hari ini banyak orang free-thinker boleh membaca tulisan Agustinus. Mereka merasa ‘saya ini toleran karena saya tidak percaya ada kebenaran mutlak; saya tidak percaya ada satu kebenaran yang menguasai semua, makanya saya bisa toleransi terhadap orang-orang yang berbeda dengan saya’. Itulah filsafat jalanan yang sebenarnya tidak dipikirkan baik-baik, karena bahkan pemikir-pemikir sekuler pun menyadari hal ini. Misalnya Aldous Huxley, seorang pemikir ateis, mengakui bahwa kalau tidak ada kebenaran mutlak, kalau segala sesuatu cuma random, hasil kecelakaan, maka memang tidak ada cara standar atau penggaris untuk kita mengatakan ‘yang ini lebih benar dibandingkan yang itu’, karena ‘kan pada awalnya violence, semuacuma kekacauan, dan itu yang natural, jadi kenapa lalu sekarang saya tidak boleh main violence, tidak boleh main power di atas orang lain.
Saudara, inilah sumber kekerasan di atas dunia ini. Kekerasan datang dari masyarakat yang paganistis yang membuang kebenaran, dan itulah justru sumber dari sikap intoleran serta penindasan di zaman sekarang. Realitas hari ini jadi salah satu tandanya, karena dalam dunia/masyarakat hari ini yang makin banyak narasi menjunjung tinggi toleransi serta pluralisme, ironisnya justru merupakan tempat yang semakin hari makin paling banyak perseteruan, konflik, ketegangan antar kelompok, lomba teriak dan yang menang yang teriak paling keras.
Dalam hal ini, beberapa orang dari kita mungkin perlu sekali lagi diingatkan sisi gelap pluralisme modern seperti ini, namun saya pikir kebanyakan dari kita tidak akan surprise mendengar ini, dan akan dengan sangat cepat mengangguk-anggukkan kepala, “O, Pak Jethro mau bilang bahwa pluralisme modern yang membuang kebenaran sebagai sumber dari violence; kita setuju, amin, ya amin.” Itu sebabnya di bagian ini ada sumber kedua dari violence yang kita juga perlu soroti, dan sesungguhnya lebih penting, bahwa violence bukan cuma mengalir keluar dari Niniwe, Alkitab mengungkap di bagian ini ada sumber lain dari violence, yaitu Yunus.
Yunus hadir di Niniwe, dan basically Yunus mencekal violence mereka, lalu yang kita lihat adalah Niniwe berespons terhadap Yunus, mereka mengakui diri sebagai orang-orang yang jahat dan violence, lalu seluruh kota dari A sampai Z, dari raja sampai ke akar rumput, bertobat, mengenakan kain kabung, duduk di atas abu. Seperti yang mungkin Saudara pernah dengar, ini khotbah KKR paling sukses sepanjang masa, karena cuma 8 kata dalam bahasa Indonesia (atau 5 kata dalam bahasa Ibrani), sudah mempertobatkan seluruh kota –sementara saya so far sudah 16 menit berkhotbah dan masih belum selesai. Itu sebabnya kita expect inilah harusnya puncak karier Yunus sebagai seorang nabi. Kita expect setelah pasal 3:10 mencatat pertobatan Niniwe mulai dari raja sampai ke bawah, kitab ini lalu berakhir dengan “and Jonah lives happily ever after”, atau paling tidak “pulanglah Yunus ke Israel dengan bersukacita”.
Namun kita tidak menemukan itu; yang kita temukan adalah catatan pasal 4:1, yang dalam bahasa Ibraninya lebih menohok. Dalam terjemahan LAI: ‘hal itu membuat Yunus sangat kesal dan marah’, namun dalam bahasa aslinya, nuansanya begini: ‘hal itu dipandang jahat dalam mata Yunus, maka marahlah dia’, dan di sini ada permainan kata, ‘jahat/evil’ adalah ra’ah, ‘marah di situ pakai kata charah; jadi Yunus memandang hal ini sebagai jahat, maka Yunus jadi penuh dengan kemarahan yang jahat –kira-kira seperti itu. Apa yang Yunus lihat sebagai jahat? Pertobatan Niniwe. Belas kasihan Tuhan yang datang bagi mereka dengan tidak jadi menghancurkan mereka, Yunus lihat sebagai hal yang jahat. Ini ironi tingkat dewa ‘kan. Yunus melihat bahwa Allah tidak jadi bertindak violent terhadap orang-orang yang violent, dan itu membuat Yunus penuh dengan violence. Saudara tahu hal ini karena belakangan Yunus mendirikan pondok di luar kota, dan dikatakan ia menanti apa yang akan terjadi dengan kota itu, maksudnya dia menanti Sodom dan Gomora versi Niniwe. Dia menantikan violence.Dia marah justru karena tidak terjadi violence.
Saudara, di sini kita melihat Alkitab mengatakan sesuatu yang mencengangkan, bahwa memang benar di satu sisi pluralisme dunia modern atau paganisme dunia kuno –sikap yang membuang kebenaran— pada akhirnya pasti membawa penindasan dan kekerasan, namun di sisi lain Alkitab lalu menunjuk kepada agama, sebagai sumber violence.Bahkan lebih dari sekadar agama, Yunus di sini bukan digambarkan sebagai orang yang violent meski dia beragama, tapi justru karena dia nabi; dia bukan violent meski dia nabi, tapi justru karena dia nabi, justru karena dia bermnoral, justru karena dia percaya adanya Kebenaran mutlak dan cuma satu itu. Asyur itu orang-orang kafir, orang-orang jahat, bad guys; kita ini orang baik-baik, Tuhan. Kita ini yang benar, mereka itu yang sesat, jadi kenapa Engkau tidak membinasakan mereka, kenapa Engkau tidak membombardir mereka?! Inilah bahayanya agama ketika agama tidak dibungkus dengan bingkai anugerah dan Injil.
Orang-orang bermoral selalu punya kecenderungan untuk mengatakan: “Ya, sebabnya Tuhan mengasihiku, sebabnya aku selamat, aku bisa diterima, adalah karena aku bermoral, karena aku ikut Tuhan, dsb.”. Atau mungkin versi orang Reformed bukan urusan perbuatan tapi misalnya urusan ‘karena kami tahu apa yang benar, karena kami punya doktrin yang benar, tidak kayak gereja seberang’. Atau kalau Saudara tidak melihat dirimu seperti itu, seperti murid-murid Yesus yang waktu lihat orang buta lalu langsung tanya kepada Yesus ‘yang berdosa ini siapa, Tuhan, dia atau orangtuanya’, coba pikirkan tentang orang-orang yang kena AIDS misalnya, bukankah sangat gampang waktu melihat mereka lalu kita mengatakan dalam hati kita penghakiman Tuhan? Memang benar AIDS adalah akibat dosa, semua penyakit masuk ke dunia ini oleh karena dosa manusia –kita jelas percaya itu– tapi kenapa ya, kita cenderung menganggap AIDS lebih bersifat penghakiman Tuhan daripada pilek??
Itu sebabnya bahkan banyak komentator Kristen –jemaat Kristen– kadang juga berusaha membaca pertobatan Niniwe di pasal 3 ini sebagai pertobatan yang ‘gak sejati-sejati amat. “Lihat ya, mereka cuma memanggil nama Allah dengan Elohim, tidak pakai kata Yahweh, tidak pakai nama personalnya Tuhan, tidak pakai nama kovenannya Tuhan, jadi ini bukan pertobatan sejati, ini cuma di permukaan, ‘kan pertoobatan ini cuma hasil ancaman; mereka beneran ketakutan sih, tapi kita tahulah semua pertobatan yang hasil ketakutan memang tidak bertahan”. Bukankah kita kadang-kadang mendengar pembacaan seperti ini di tengah banyak orang Kristen; dan implikasinya sadar atau tidak sadar adalah: mereka tidak benar-benar bertobat, pertobatan kita lain. Yunus dalam doanya di pasal 4:2-3 pada dasarnya mengatakan hal yang sama: ‘Tuhan, aku tahu Engkau siapa, Engkau adalah Allah yang terlalu murah hati. Engkau itu Allah yang terlalu gampangan, orang bertobat sedikit saja, Engkau langsung main berbelaskasihan, makanya aku kabur waktu Engkau suruh aku dulu itu. Jadi sekarang bunuh aku, Tuhan, ambil nyawaku, karena aku ‘gak mau hidup di dunia yang Allahnya Allah gampangan macam Engkau’.
Saudara lihat, mungkin tidak ada tempat lain di Alkitab di mana kedok keagamaan diungkap, dibongkar, dengan sebegitu jelasnya; bahwa kefasikan besar seperti ini justru bertumbuh mekar di atas tanah keagamaan. Ini yang menyebabkan orang-orang seperti Nietzsche mengatakan, “Coba lihat dari mana datangnya violence yang membunuh Yesus, memangnya siapa sih yang membunuh Yesus? Orang-orang kriminal? Orang-orang miskin? Para pelacur? Para pemungut cukai? Tidak ‘kan??” Kita ini orang-orang beragama, kebanyakan dari kita orang-orang middle class; dan hari ini melihat DPR yang korupsi, kita mengatakan, “O, mereka butuh Yesus”. Kita melihat masyarakat yang anarkis, dan kita mengatakan, “O, mereka butuh Yesus”. Kita melihat orang-orang yang kita rasa berbahaya, dan kita mengatakan, “O, mereka butuh Yesus”. Namun Nietzsche membongkar bahwa violence, kekerasan yang menimpa Yesus sendiri, justru datang dari orang-orang yang beragama, dari orang-orang middle class, dari para ahli Taurat dan orang Farisi.
Betapa Alkitab dalam bagian pertama ini saja begitu luas menunjuk kepada relativisme tapi juga kepada moralisme religius, agama, sebagai akar dari violence. Ini berarti –poin pertamanya– di mata Alkitab, dari manakah sumber violence di atas dunia ini? Yaitu hampir semua jenis manusia, dalam semua jenis masyarakat, semua jenis golongan; semuanya punya potensi yang besar untuk menindas dan menghasilkan violence.Inilah kata Alkitab, inilah plot twist-nya. Demikian yang pertama, sumber dari violence yang dibukakan di bagian ini.
Yang kedua, bagaimana kita merespons violence-violence ini, bagaimana kita hidup di tengah-tengah dunia yang violent –bagaimana Allah meresponsnya, itu yang kita perlu tanya. Kembali lagi ada dua poin.
Yang pertama, di satu sisi Tuhan tidak toleransi terhadap violence,maka Tuhan mengirim Yunus ke Niniwe dengan berita yang sangat tegas dan drastis: empat puluh hari lagi Niniwe akan ditunggang balikkan. Tidak negotiable, kejahatan dan kekerasan harus setop, tidak ada kompromi, tidak ada tawar-menawar, beritanya sangat jelas either bertobat atau mampus. Ada ketegasan yang luar biasa. Di sisi lain, Tuhan mengirim berita ini lewat Yunus, Dia mengirim nabi-Nya, ini berarti Tuhan menggerakkan Niniwe untuk bertobat. Dalam Alkitab, berita penghakiman hampir selalu tujuannya supaya orang yang mendengar berita penghakiman itu justru bertobat; kalau tidak, apa gunanya memberitakan berita penghakiman ‘kan.
Allah mengirim Yunus, nabi; dan nabi rentan. Apa itu suara kenabian? Orang sering pikir suara kenabian itu pokoknya cuma suara Tuhan tok. Misalnya dalam situasi politik hari-hari ini, Gereja harus bersuara kenabian, maksudnya Gereja harus mengeluarkan suara. Di dalam Alkitab, suara kenabian memang di satu sisi adalah suara Tuhan –nabi dipanggil untuk memberikan suara Tuhan– tapi di sisi lain suara kenabian beda juga dengan suara Tuhan, suara kenabian adalah suaranya Tuhan tanpa auranya Tuhan, tanpa bumi bergetar, tanpa api, tanpa angin ribut. Inilah awalnya jabatan kenabian muncul; orang Israel di Gunung Sinai melihat Allah berbicara langsung dengan mereka, tanpa perantaraan nabi, dengan api, gempa bumi, kegelapan, dsb., lalu mereka mengatakan kepada Musa, “Musa, tolong deh, kita ‘gak kuat nih menghadapi Tuhan langsung kayak begini, hari ini kita selamat, besok ‘gak tahu. Jadi tolong kamu saja yang naik ke atas sana, kamu saja yang ngobrol dengan Tuhan, nanti kamu bawa beritanya Tuhan kepada kami. Kami akan dengar, kami akan laksananakan, tapi jangan suruh kami menghadap langsung” (banyak gereja hari ini yang malah pikir sebaliknya, ingin dapat kehadiran Tuhan secara langsung, pagi-pagi minum kopi lalu Yesus muncul, dsb., beda banget dengan Alkitab yang sejati). Anyway, itu sebabnya muncul peran nabi, karena perlu suara Tuhan tapi tanpa aura Tuhan, tanpa kemuliaan Tuhan yang mengerikan itu. Ini suara Tuhan namun datang dalam bungkus manusia, yang sangat mudah digilas kalau kita tidak suka dengan suaranya. Ini sebabnya saya selalu mengatakan kepada murid-murid saya, mimbar bukan position of power melainkan position of vulnerability, jadi tidak heran kalau kita di-abuse jemaat sendiri di atas mimbar, karena demikianlah panggilannya, kita disuruh membawakan suara Tuhan tapi dalam bentuk manusia, yang sangat mudah dicaci-maki, dsb. Kembali ke bagian ini, Tuhan tidak mengirim meteor, Tuhan mengirim nabi. Ini tanda bahwa Allah sesungguhnya sedang memberikan pengharapan, melalui kalimat penghakiman. Di satu sisi tegas, seperti tidak ada kompromi, namun di sisi lain ini undangan yang penuh belas kasihan bagi mereka untuk bertobat. Jadi waktu kita membaca tuduhan Yunus terhadap Allah, actually itu tuduhan yang benar, ini Allah gampangan.
Kita kadang membaca pertobatan Niniwe sebagai pertobatan superfisial, cuma di permukaan; dan memang tidak ada catatan sejarah bahwa setelah itu maka Niniwe menyembah Allah Israel, bahkan beberapa puluh tahun kemudian dalam kesaksian Alkitab sendiri, kira-kira satu generasi setelah ini, Niniwe benar-benar dihancurkan. Namun lebih daripada itu, kita juga tahu bahwa catatan sejarah yang kita punya di luar Alkitab menyatakan bahwa di kota-kota seperti Niniwe pada zaman-zaman itu, pertobatan-pertobatan massal bukanlah sesuatu yang aneh. Kota-kota yang saking violent-nya, terkadang waktu ada kesempatan, rajanya akan meneriakkan pertobatan kepada rakyat, semacam usaha reformasi sosial. Ini satu hal yang lumrah, seperti juga kalau kita melihat kejadian huru-hara di kota kita, maka para pertingginya lalu meneriakkan pertobatan. Jadi pertobatan Niniwe ini tidak sebegitu anehnya. Lebih tidak aneh lagi kalau ada momennya. Misalnya cerita dari seorang rekan hamba Tuhan, yang suatu kali pergi humas untuk KKR-nya Pak Tong di kota tertentu. Hari pertama dan hari kedua tidak ada yang menggubris, tidak ada gereja yang mau buka pintu. Hari ketiga terjadi gempa bumi. Saudara tahu lalu apa yang terjadi? Besoknya semua gereja buka pintu, semua kirim orang ke KKR, dan KKR-nya penuh setengah mati. Saudara lihat, ini bukan hal yang aneh. Kalau terjadi gempa bumi, atau gerhana matahari, atau wahtever dalam kota-kota ancient, itu merupakan kesempatan para pejabatnya meneriakkan reformasi, dan seluruh kota akan ikut. Hal seperti itu terjadi beberapa kali dalam catatan sejarah. Jadi bahwa hal ini terjadi pada zaman Yunus, itu bukan sesuatu yang aneh-aneh banget, dan dengan demikian ini benar-benar mendukung tuduhan Yunus terhadap Tuhan, “Ya elah, Tuhan.. mereka cuma tobat-tobatan gitu loh, dan tobat-tobatan kayak begini Kamu langsung kepincut?? Harga diri-Mu mana sebagai Tuhan??”
Saudara, ini membuat kita menyadari seberapa besar anugerah yang Tuhan berikan kepada Niniwe di zaman itu. Di satu sisi, Tuhan seperti ada garis keras yang no kompromi, tapi di sisi lain Tuhan ada semacam kelembutan, yang kita bahkan geleng-geleng kepala melihatnya bersama dengan Yunus, karena kita rasa itu kelewatan. Dobel sikap Tuhan ini membuat kita belajar mengenai bagaimana kita dipanggil untuk merespons dunia yang violent.
Pertama-tama saya akan memperlihatkan dua strategi yang kita tidak bisa pakai karena Tuhan tidak pakai keduanya itu. Yang pertama, merespons violent dengan jalan balas dendam, vengeance, retribusi. Ketika ada orang yang bersalah kepada kita, melakukan violence terhadap kita, menyakiti kita, maka kita balas gebuk dia. Pembalasan dendam seperti ini tujuannya bukan untuk mencari keadilan, tujuannya menyakiti orang itu sebagaimana dia menyakiti kita, plus bunganya karena sudah lewat waktu beberapa lama. Yang kedua, strategi yang sebaliknya, yaitu let it go, move on, jangan gamon (gagal move on). Beda dengan jalan yang pertama, jalan ini justru tidak mengkonfrontasi orang yang bersalah, kalau dia belok kiri maka kita belok kanan. Yang menarik, jalan ini merupakan jalan yang dipakai oleh banyak orang Kristen, bahkan dianggap lebih kristiani, setidaknya dibandingkan balas dendam. Namun sebenarnya orang yang let it go kayak begini tidak sedang memikirkan keadilan, tidak fokus pada kebenaran, tidak bertanya apa yang dunia butuhkan, melainkan simply berfokus pada rasa sakit hati kita sendiri, memang bukan dengan balas menyakiti melainkan dengan menghindarkan diri sejauh mungkin dari kemungkinan disakiti lagi. Dua-duanya ini sedang berespons terhadap violence secara egois, hanya memikirkan rasa sakit diri sendiri tok, bukan memikirkan keadilan/ kebenaran. Hanya saja yang let it go berurusan dengan cara membuang si orang yang bersalah secara permanen dari lingkaran relasinya selama-lamanya; di luar kelihatan seperti mengendalikan diri, seperti bisa mengampuni, seperti lebih kristiani, namun sesungguhnya tidak beda dengan yang pertama.
Jika demikian, apa panggilan kita kalau bukan kedua strategi tersebut, karena Allah tidak memakai dua jalan tersebut? Yaitu jalan pengampunan. Lewat kontras antara dua jalan tadi, kita bisa lebih menyadari apa itu pengampunan yang sejati. Kita sering kali pikirnya ada balas dendam dan ada let it go, lalu let it go inilah yang pengampunan, karena saya ‘kan tidak menuntut balas. Tapi let it go bukanlah pengampunan. Pengampunan tentu bukan balas dendam, namun juga bukan let it go. Alkitab memanggil kita bukan untuk membalas jahat dengan jahat, Alkitab juga bukan memanggil kita untuk simply move on dari apa yang jahat; Alkitab memanggil kita untuk mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Itulah pengampunan.
Pengampunan tidak pasif. Pengampunan berarti: kita membereskan terlebih dulu rasa sakit hati dan kemarahan kita sebelum kita lalu berurusan dengan pihak yang bersalah. Sedangkan balas dendam beda. Balas dendam berarti: ketika saya ada rasa sakit, dan saya mau bereskan, maka saya membereskan rasa sakit dalam hati saya dengan cara membereskan kamu yang bersalah, berurusan dengan kamu yang bersalah. Orang yang let it go lain lagi. Orang yang let it go berarti: saya punya rasa sakit dalam diri saya, lalu saya tidak membereskan rasa sakit dalam hati saya itu dengan cara tidak berurusan dengan orang yang bersalah kepada saya.
Pengampunan berarti kita membereskan terlebih dulu rasa sakit kita, rasa marah kita, rasa dendam kita, lalu setelah itu selesai, kita pergi berurusan dengan orang tersebut. Dengan demikian pada titik itu kita benar-benar mencari keadilan, kebenaran; fokus kita adalah kepada mereka dan apa yang mereka butuhkan. Ini sebabnya Miroslav Volf, seorang penulis, mengatakan: pengampunan bukan pengganti keadilan. Saudara jangan pikir, jika engkau mengampuni seseorang, maka tidak ada keadilan. Pengampunan bukan berarti kita menghentikan tuntutan bagi keadilan. Kalau begitu, apa dong pengampunan? Volf mengatakan: pengampunan adalah justru satu-satunya bingkai di mana keadilan yang sejati bisa dijalankan. Bukan saja pengampunan tidak bisa digantikan dengan keadilan dan bukan pengganti keadilan, pengampunan adalah satu-satunya bingkai di mana keadilan yang sejati baru bisa dijalankan. Maksudnya apa?
Kalau kita belum mengampuni orang lalu kita berusaha mencari keadilan, Saudara tahu satu hal, Saudara tidak akan mencapai keadilan, atau lebih tepatnya Saudara akan bablas melewati apa yang adil. Kalau Saudara belum membereskan perasaan sakit hatimu, Saudara masih ada perasaan ingin mengembalikan apa yang timpang, maka waktu Saudara mengkonfrontasi orang tersebut, Saudara biasanya akan lebih, akan kebablasan, karena tujuan konfrontasinya bukan dia melainkan untuk diri, Saudara mau balas menyakiti, mau mempermalukan, mau menghukum. Saudara bahkan mungkin tidak benar-benar kepingin mereka menyadari apa yang benar. Itulah yang terjadi kalau kita belum mengampuni lalu langsung mencari keadilan, sementara ironisnya adalah kita tidak bisa mengejar kaeadilan tanpa kita mengampuni terlebih dulu. Pengampunan tidak pernah bertabrakan dengan keadilan. Justru kalau Saudara tidak mengampuni terlebih dulu, maka tidak mungkin ada keadilan, karena yang akan terjadi pasti kebablasan. Itu sebabnya Volf mengatakan: kalau engkau mengejar keadilan, dan hanya keadilan saja, maka engkau justru menciptakan ketidakadilan, penindasan.
Ada ilustrasi untuk hal ini dari tema Khotbah di Bukit. Salah satu bagian Khotbah di Bukit mengatakan ‘kalau pipi kiri ditampar, berikan pipi kanan; kalau disuruh angkut barang sejauh 1 mil, jalanlah bersama dia 2 mil’. Dalam konseling jemaat, saya cukup sering bertemu dengan orang yang tanya pendapat pendeta ‘musti ngapain’, ketika mereka merasa tersakiti oleh orang lain, merasa ditindas dan diperlakukan tidak adil. Waktu saya memberikan langkah-langkahnya, mereka tidak puas karena langkah-langkah tersebut seperti ngalah, dsb., lalu mereka mengatakan: “Kalau kayak begini, bukankah jadinya orang Kristen tidak mengejar keadilan, Pak? Jadinya buat orang Kristen keadilan tidak penting?” Saudara sendiri bisa melihatlah ketika engkau ada konflik dengan orang lain, kadang-kadang inilah yang kita usung untuk meng-kedok-kan pembalasan dendam: ‘saya cari keadilan’.
Kalau Saudara melihat Khotbah di Bukit, kayaknya Tuhan Yesus tidak memanggil kita untuk mengejar keadilan, buktinya dikatakan ‘kalau ditampar pipi kiri, berikan pipi kanan’, ini keadilan dari mana?? Dikatakan juga ‘kalau disuruh jalan 1 mil, jalanlah 2 mil’, ini keadilan dari mana?? Tapi di sinilah kerennya –dan lebih gampang kalau kita melihat contoh ‘disuruh jalan 1 mil, jalanlah 2 mil’. Konteks waktu itu sangat jelas; kalau Saudara disuruh membawakan barang orang sejauh 1 mil, jelas banget konteksnya adalah orang-orang Yahudi yang dalam penjajahan Romawi. Romawi punya satu hukum yang memperbolehkan untuk mepekerjakan orang Yahudi untuk membawakan barang mereka jika perlu. Tapi di sisi lain Romawi juga tahu bahwa aturan ini sangat gampang disalahgunakan tentara-tentara Romawi, maka mereka bikin batasan “hanya boleh satu mil”. Inilah hukum yang berlaku atas orang Yahudi pada waktu itu. Jadi, misalnya Saudara dihentikan di jalan dan disuruh bawakan barang sejauh 1 mil, artinya orang itu sedang melakukan violence terhadap Saudara, memaksakan sesuatu yang Saudara tidak mau terima secara rela, mengatakan ‘hei, aku ini penjajah, kamu jajahan, kamu budakku, aku punya hak untuk memperbudak kamu 1 mil, maka kamu harus nurut’. Lalu apakah di sini Tuhan Yesus berarti mengatakan ‘tidak usah cari keadilan, jalankan saja, berikan lebih –lebih tidak adil’ ? Tidak. Mengapa? Karena waktu Saudara berjalan 2 mil, Saudara sesungguhnya sedang melakukan tindakan yang melawan penjajahan, melawan violence terhadapmu.
Kalau Saudara disuruh bawa barang 1 mil secara paksa lalu Saudara dengan sukarela membawakan barang dia 1 mil lagi, sebenarnya apa yang terjadi, kapan hal seperti ini terjadi dalam hidupmu? Misalnya Saudara sedang membawa barang, lalu ada orang lain datang dan mengatakan, “Sini, berat ya? Aku bawakan, yuk”; itu kapan terjadinya? Dengan siapa terjadinya? Ini adalah relasi teman dengan teman, sahabat dengan sahabat. Kemarin saya baru menjemput istri di bandara, dan begitu bertemu dia, saya langsung ambil kopernya bahkan tanpa ngomong, dan dia juga langsung berikan kopernya kepada saya, karena memang itulah relasi kami, persahabatan seumur hidup. Jadi waktu orang membawakan barang orang lain dengan sukarela, relasinya adalah relasi sahabat. Oleh karena itu, dengan kita membawakan barang tersebut 2 mil, yang disuruhnya cuma 1 mil, sesungguhnya yang terjadi adalah suatu perlawanan, kita sedang mendefinisi ulang relasinya. Kamu bilang aku jajahan, kamu penjajah; tidak lho, aku sahabatmu, aku temanmu, aku bawakan barang ini sukarela satu mil lagi. Ini perlawanan; and yet perlawanan yang beda, perlawanan yang tidak membalas violence dengan violence —tapi ini perlawanan. Apakah ini sesuatu yang mengejar keadilan? Kalau Saudara lihat hasil akhirnya, itu adalah satu gambaran keadilan yang jauh lebih indah, jauh lebih keren, jauh lebih utuh dibandingkan gambaran keadilan yang tadi kita punya. Tapi kenapa keadilan seperti ini bisa muncul? Ketika orang melakukan hal seperti ini, fokusnya bukan urusan ‘aku dijajah, aku disakiti’, melainkan ‘aku sahabatmu’. Fokusnya ke arah sana, fokusnya bagi orang lain, ‘supaya engkau bisa melihat bahwa kita tidak harus seperti ini hidupnya, kita bisa punya alternatif hidup yang lebih baik, kita bisa anggap orang lain sebagai sahabat dibandingkan sebagai jajahan dan penjajah. Fokusnya ke luar. Ini perlawanan –perlawanan yang luar biasa.
Kembali ke poin kita. Kita ini dusuruh mengejar keadilan atau tidak? Keadilan itu penting atau tidak bagi orang Kristen? Jawabannya: iya, tapi –lihat poin dari Volf– Saudara tidak bisa mengejar keadilan yang sejati tanpa mengampuni. Kalau Saudara tidak membereskan terlebih dulu kesakitan dalam hatimu sebelum berurusan dengan orangnya, tidak mungkin Saudara terjadi keadilan. Ketika engkau hanya mengejar keadilan dan keadilan semata-mata sebagai orang Kristen, engkau akan menghasilkan ketidakadilan. Ini mengerikan. Itu sebabnya inilah yang Tuhan panggil untuk kita lakukan: pengampunan. Bukan gebukin orang yang bersalah, bukan juga move on dari mereka, melainkan mengampuni mereka.
Poin yang terakhir, bagaimana kita bisa melakukan hal yang susah sekali ini? Sesungguhnya susah kalau kita lupa diri, karena kunci dari pengampunan adalah tahu diri. Kunci dari pengampunan bukan mengenai tindakan-tindakan apa yang kita perlu lakukan, kunci dari kemampuan untuk mengampuni adalah tahu diri, tahu siapa identitas kita, identitas kita di hadapan Tuhan adalah identitas yang baru atau masih yang lama. Itu sebabnya perkataan Tuhan kepada Yunus setelah Yunus ngomel-ngomel sebanyak itu adalah: ayat 4, Tetapi firman TUHAN: “Patutkah engkau marah?” Ini untuk mengingatkan Yunus, siapa dirinya. Dalam hal ini ada dua poin. ‘Patutkah engkau marah’, maksudnya: engkau lupa, Yunus, kamu itu siapa; kalau kamu ingat kamu itu siapa, kamu akan jauh lebih mudah dan lebih berkuasa untuk mengampuni.
Kenapa kita susah untuk mengampuni? Kalau kita merasa patut untuk marah terhadap seseorang, kalau kita merasa patut untuk memendam kepahitan terhadap seseorang, itu simply karena kita pikir kita lebih baik daripada mereka. Kita tidak mungkin bisa bertahan dalam kemarahan kecuali kita merasa punya hak untuk marah karena kita lebih baik daripada mereka. Orang yang telat melulu, tentu susah memendam kemarahan terhadap mereka yang telat. Saudara bisa lihat, satu-satunya jalan untuk manusia bisa punya rasa patut marah, adalah ketika dia mengatakan ‘aku tidak mungkin sehancur mereka’.
Sekarang mari berpikir bersama saya, ketika kita beberapa hari belakangan ini mungkin marah, ter-trigger melihat berita-berita. Misalnya marah terhadap orang-orang DPR yang korupsi, bukankah itu karena kita mengatakan ‘kalau saya jadi anggota DPR, saya tidak akan kayak mereka’ ? Waktu kita marah melihat para polisi melindas orang yang sudah tertabrak, kita mengatakan ‘kalau saya yang di mobil itu, saya ‘gak bakal melindas kayak begitu’. Kalau kita marah melihat masyarakat yang anarkis, kita sebenarnya sedang mengatakan ‘saya juga hidup susah, tapi saya ‘gak sampai menjarah seperti itu, merusak rumah-rumah anggota DPR’ –meskipun mungkin juga ada yang mengatakan memang lebih baik begitu dibandingkan merusak halte busway dsb. Anyway, Saudara bisa lihat bahwa ketika kita marah terhadap orang-orang seperti ini, kita sedang menganggap diri lebih baik daripada mereka, itu yang membuat kita merasa patut untuk marah. Dan, itu berarti kita sebenarnya sedang mengatakan ‘kalaupun saya dibesarkan di lingkungan tempat mereka dibesarkan, kalaupun saya cuma sekolah sebatas mereka sekolah, kalaupun saya mendapatkan pengaruh sebagaimana yang mereka alami pada masa muda mereka, kalaupun saya mendapat tekanan-tekanan yang sama dengan yang mereka alami seumur hidup mereka, SAYA TETAP TIDAK MUNGKIN MELAKUKAN HAL-HAL YANG MEREKA LAKUKAN’. Itu sebenarnya yang sedang kita klaim; benar ‘kan?
Kalau kita bongkar seperti ini, kita mungkin baru sadar, berani ‘gak sebenarnya kita membuat klaim seperti itu?? Kalau Saudara mengatakan, “Ya, saya berani; saya tetap akan klaim seperti itu. Kalau saya dalam posisi mereka, saya tidak mungkin sebejat mereka!”, yang pasti Saudara tidak berbicara mewakili saya, saya rasa Saudara juga tidak berbicara mewakili banyak orang saya rasa, Saudara mungkin hanya mewakili sebagian kecil kelompok masyarakat yaitu kelompok msyarakat yang masih muda banget, karena engkau sangat naif kalau berpikir seperti itu.
Itu sebabnya hal pertama yang Allah lakukan ketika Dia mengkonfrontasi Yunus adalah Dia mengatakan: “Yunus, patutkah engkau marah?” Coba ingat-ingat, Yunus, cerita Yunus itu bukan cuma di pasal 3. Ingat ‘gak pasal 1, pasal 2, siapa kamu itu, Yunus? Engkau marah kenapa? Engkau marah karena Aku Allah yang terlalu gampang memberikan anugerah kepada orang-orang yang bertobatnya baru sepicis, begitu ya? Well, bagaimana dengan kamu? Kamu adalah nabi Allah, yang kabur dari panggilan untuk menginjili. Tuhan suruh kamu ke timur, kamu ambil perahu ke barat; Tuhan suruh kamu pergi lewat daratan, kamu pergi lewat lautan. Kamu itu juga pendosa, Yunus. Dan sebabnya kamu hari ini bisa sampai Niniwe, karena kasih anugerah-Ku terlalu gampang jatuh kepada orang-orang seperti kamu; Aku mengirim badai yang besar, Aku mengirim ikan yang besar, menyelamatkan kamu, sehingga kamu akhirnya tetap bisa menjalankan panggilanmu sebagai nabi. Kamu itu siapa, Yunus; patutkah engkau marah?? Tahu diri sedikit, gitu loh. Saudara bisa lihat apa yang Tuhan sedang lakukan?
Jadi hal pertama yang kita belajar dari sini kalau kita merasa sulit mengampuni, merasa termakan oleh kemarahan melihat situasi masyarakat dan kota dan segala macamnya, kita perlu sadar bahwa kita pikir kita punya hak, kita pikir kita patut untuk marah, namun realitasnya kita tidak punya –kita tidak punya itu sama sekali. Ini sebuah konfrontasi, hal pertama yang Tuhan lakukan kepada Yunus, Dia menunjukkan Yunus siapa dirinya sesungguhnya, dia tidak punya hak untuk jadi seorang hakim. Tapi bukan cuma itu, di sisi lain coba Saudara perhatikan cara Tuhan melakukan ini kepada Yunus. Tuhan bukan menuding Yunus, “Eh, Yunus, Lu itu A, B, C, D, E, dst.; ini dosa-dosa Lu, bukan cuma dari pasal 1 tapi juga pasal 2, 3, dsb., ini semua dosa-dosamu sejak awal hidupmu sampai sekarang. Lihat tuh hidupmu kayak apa, sehancur itu!” Tidak demikian; bentuknya bukan pernyataan, bentuknya adalah pertanyaan. Bukankah ini amazing?
Seandainya saya adalah Allah –dan untung saya bukan Allah– maka setelah Yunus menuduh Allah gampangan memberi anugerah lalu minta mati, maka –kalau saya adalah Allah– saya langsung deal, dan matilah Yunus. Tapi lihat apa yang jadi respons Tuhan terhadap Yunus? Allah BERTANYA. Bisakah Saudara lihat seberapa butuhnya kita akan kasih karunia yang gampangan itu? Yunus definitely perlu. Betapa kita tidak bisa bayangkan seperti apa kesabaran Tuhan dalam bagian ini, seperti apa kelembutan Tuhan dalam bagian ini. Koq bisa Allah ini mau terus-terusan meladeni nabi brengsek seperti ini?? Namun Allah melakukannya. Kenapa?
Saudara, kalau seseorang bertanya, fokusnya bukan pada ‘melampiaskan kekesalan’. Ini Allah yang mengampuni, karena Allah ini tujuannya bukan melampiaskan kekesalan, fokus-Nya pada orang itu. Kalau kita bertanya, artinya kita ingin orang itu nyadar sendiri, melihat sendiri seberapa dia berdosa, seberapa dia mungkin rasis, seberapa banyak yang Allah lakukan bagi dia, seberapa banyak yang Yunus balikin kepada Allah –penghinaan dan kemarahan Yunus bagi Allah–lalu yang Allah lakukan adalah berdialog, meminta jawaban, mengajak Yunus berespons, dan bukan simply mengatakan, “Diam, Lu! Sekarang dengar Gua ngomong”. Allah bertanya. Allah tidak menyerah, tidak move on, dari Yunus.
Ini lebih lagi kalau kita melihat bukan cuma apa yang Allah lakukan kepada Yunus, tapi refleksi hal ini bagi kita. Kita lihat di ayat 5, Yunus pergi ke luar kota itu, duduk di sebelah timurnya, mendirikan pondok, duduk di bawah naungannya, menantikan apa yang akan terjadi atas kota itu. Di sini Yunus basically diutus sebagai domba di tengah serigala, diutus ke tengah-tengah kota yang bisa dengan gampang melahap nabi Allah yang begitu rentan yang datang dengan suara Allah namun tidak dengan auranya Allah maka dia dengan sangat mudah bisa dihabisi di situ, namun kota itu tidak menghabisi dia. Kota itu bahkan mendengarkan dia dan merespons dengan sangat positif terhadap message-nya. Tapi yang Yunus lakukan adalah langsung keluar dari kota itu dan menunggu bencana datang atasnya, basically dia mengutuki kota tersebut. Dalam kitab Injil, Yesus Kristus datang di luar kota Yerusalem, kota yang benar-benar akan membunuhnya; dan apa yang Yesus katakan? Dia menangisi kota ini. Dia bukan mengatakan, “Nih, nasibmu suatu hari bakal kayak begini, rasain!!” Yesus mengatakan, “Yerusalem, Yerusalem, jikalau saja engkau tahu hal-hal yang berkenaan dengan keselamatanmu; tapi sekarang matamu tertutup kepada mereka. Aku senantiasa merindukan kapan Aku bisa mengambil engkau, melindungi engkau di bawah sayap-Ku seperti seekor induk ayam melindungi anak-anaknya”. Ini satu kalimat yang luar biasa. Bagi kita, ini cuma gambaran kehangatan seekor mama ayam terhadap anak-anaknya. Tapi bagi masyarakat agraris yang terbiasa dengan peternakan, banyak cerita beredar ketika misalnya terjadi kandang-kandang ayam tersambar petir, terbakar, dan ayam-ayam keluar menyelamatkan diri, lalu waktu api sudah padam dan para peternak memeriksa kandang-kandang itu, kadang-kadang mereka menemukan induk ayam yang sudah mati terbakar namun ketika diangkat, di bawah sayapnya ada anak-anak ayam yang masih hidup, karena dilindungi di bawah sayap induknya.
Saudara, kita tahu kalimat tadi adalah nubuat yang Yesus katakan kepada Yerusalem, karena Dia tahu, Dia masuk ke sana untuk mati. Dan Saudara tahu, apa yang bagi Yesus Kristus adalah solusi ultimat terhadap violence dunia ini, adalah bukan dengan menghakimi tok, bukan dengan move on, tapi dengan mengampuni, karena mengampuni adalah menyerap sendiri semua penalti dari kekerasan orang lain, membereskan sendiri semua kesakitan yang diterima dari orang lain, untuk lalu mengkonfrontasi dalam kasih. Itulah yang Yesus lakukan kepada engkau dan saya. Jadi kalau kita melihat Yunus mendapatkan di satu sisi konfrontasi untuk tahu diri, dan di sisi lain tetap mendapatkan satu bentuk karunia dari Tuhan, terlebih lagi kita. Kita sadar seberapa kita berdosa, seberapa kita marah kepada Tuhan, seberapa kita sering kali menganggap diri lebih baik daripada Tuhan dalam urusan mengatur hidup kita, seberapa kita telah melawan-Nya dan menyalibkan-Nya, tapi kemudian untuk itulah Dia mati, untuk menyelamatkan kita. Ketika engkau melihat ini, inilah yang bisa membuat kita menyadari kita punya kuasa untuk mengampuni orang lain. Ini yang membuat kita bisa menyadari apa sesungguhnya panggilan kita atas kota yang rusuh seperti hari ini.
Terakhir, kalau kita mengatakan, “Pak, problem saya lain; problem saya bukanlah saya terlalu ‘gak tahu diri atau merasa diri lebih baik dari orang lain –mungkin ada orang yang seperti itu, tapi saya kayaknya enggak. Problem saya justru saya melihat diriku terlalu hancur, terlau bejat dibandingkan orang lain, itu sebabnya saya tidak mencari pengampunan dan tidak bisa mengampuni –karena saya tidak bisa melihat pengampunan Tuhan bagiku, yang terlalu hancur”, maka singkat saja, satu kabar baik dalam bagian ini adalah waktu Saudara lihat khotbahnya Yunus.
Saya tidak setuju bahwa itu khotbah paling sukses sepanjang masa, itu sebenarnya khotbah yang paling hancur. Dalam formulasi kalimat-kalimat nabi Perjanjian Lama, mereka tidak pernah membawa berita penghakiman dengan cuma memberitahukan penghakimannya tok. Zaman itu zaman politeistis, banyak dewa, maka kalau mau memberitakan berita penghakiman dari seorang dewa, Saudara harus beritahu dewa yang mana. Itu sebabnya para nabi mengatakan: “Demikianlah perkataan Allah Yahweh… ”. Yesaya melakukan itu, demikian juga Yeremia. Kalimat itu selalu memulai nubuatan mereka, karena orang perlu tahu ini datang dari dewa yang mana, apalagi kalau berita penghakiman. Namun kalimat tersebut tidak ada dalam khotbah KKR-nya Yunus, dia cuma bilang, “Empat puluh hari lagi, Niniwe akan ditunggangbalikkan”, sehingga orang mau bertobat pun tidak tahu harus berdoa kepada ilah yang mana. Yang kedua, berita penghakiman diberikan untuk menggerakkan orang bertobat, tapi dalam beritanya Yunus juga tidak diberitahu solusinya apa. Jadi bukan saja pengirimnya tidak diberitahu, solusinya kalau mau menghindarkan diri dari nasib ditunggangbalikkan, juga tidak diberitahu. Ini khotbah yang sangat hancur. Namun apa yang terjadi? Allah menggunakan khotbah yang hancur itu. Tentu saja ini bukan justification untuk tikita tidak mempersiapkan khotbah; ini adalah suatu tempat di mana kita sekali lagi melihat kasih karunia Allah yang luar biasa itu.
Kalau Allah bisa menggunakan khotbah sehancur Yunus ini, Dia bisa menggunakan engkau. Kalau Allah bisa menggunakan semua nabi sehancur Yunus, Dia bisa menggunakan semua dari kita, dengan segala keterbatasan kita, dengan segala kerusakan kita, dengan segala kebodohan kita, dengan kita yang senantiasa tidak tahu diri dan lupa siapa diri kita, dengan kita yang sering kali terlalu marah, terlalu cepat berespons/bereaksi, terlalu cepat ‘send’ hanya karena melihat berita-berita yang tidak tentu benar juga. Tuhan tetap bisa menggunakan orang-orang seperti ini menjadi pelayan-pelayann-Nya di dalam kota ini. Dia menggunakan Yunus, Dia bisa menggunakanmu. Don’t worry about it.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading