Dalam ayat 34, orang buta yang dicelikkan ini ditegur dengan keras lalu diusir keluar oleh orang-orang Farisi. Diusir ini artinya bukan sekedar pengusiran keluar dari satu ruangan untuk pindah ke luar atau ruang lain –itu pengusiran yang sederhana, meski sakit hati juga—tetapi ini pengusiran dalam arti ekskomunikasi. Jadi orang ini, yang tadinya dianggap sebagai orang Yahudi sejati yang boleh beribadah kepada Yahweh di Bait Allah, sekarang sudah di-cut dari komunitas itu.
Kita sulit memahami pengusiran seperti ini karena kita hidup di zaman modern, tinggal di kota besar, yang juga banyak pilihan gereja. Tetapi waktu kita melihat kehidupan Martin Luther setelah dia di-ekskomunikasi, di situ dia tidak ada lagi tempat untuk beribadah, tidak ada variasi gereja yang lain. Dia tidak mungkin pergi ke Gereja Eastern Orthodox yang ada di Yunani, atau Rusia, atau Rumania, dsb., pilihannya cuma Gereja Roma Katolik atau tidak ada gereja. Mungkin kalau kita mau memakai gambaran yang sedikit mirip, meski tidak sempurna, ini seperti orang-orang yang masuk ke dalam suatu sekte, yang biasanya merupakan closed-system. Orang yang sudah masuk dalam sekte, biasanya hampir tidak bisa keluar karena keterikatannya bukan cuma hari Minggu beribadah bersama-sama, melainkan juga dalam hal pekerjaan, sekolah anak, dsb., sangat terikat satu dengan yang lain, sehingga kalau sampai berani keluar dari komunitas tersebut, betul-betul bisa hancur kehidupannya. Orang-orang seperti ini kalau sampai diusir keluar, itu bahaya, kehidupannya bisa runtuh.
Gambaran inilah yang dialami orang buta yang dicelikkan itu. Dia memilih untuk dengan berani bersaksi tentang Kristus, yang dia belum kenal secara sempurna, daripada cari aman, daripada memelihara kenyamanan akses sosial dengan diterima oleh masyarakat dan pemeluk-pemeluk agama. Bagi dia, itu tidak lebih berarti daripada kesaksian yang jujur tentang siapa itu Kristus.
Dalam pengikutan kita akan Kristus, selalu ada harga yang harus dibayar (cost of discipleship). Yesus sendiri membayar harga itu waktu Dia mati di atas kayu salib, dengan darah-Nya sendiri. Maka waktu Dia mengajak kita untuk mengikut Dia, kita juga ada biaya itu. Tapi ini adalah biaya yang kita tahu tidak mungkin hilang, yang kita tidak mungkin rugi, yang tidak akan menghancurkan kita. Alkitab mengatakan paradoks ini: “barangsiapa menyerahkan nyawanya, ia akan memperolehnya kembali; barangsiapa mempertahankan dirinya sendiri, dia justru akan kehilangan”.
Kalau orang dalam kehidupannya ada pengalaman diusir, ditolak, tidak diterima, dihina, dsb., saya percaya ketika dia mengerti cinta kasih Tuhan, dia mengertinya secara lebih dalam. Orang-orang Farisi tidak mengerti itu. Mereka bukan saja tidak diusir, mereka malah berada pada posisi yang mengusir. Gereja yang betul-betul celaka adalah gereja yang melakukan pengusiran-pengusiran seperti ini; ini gereja yang paling tidak diberkati Tuhan, dan mungkin juga bukan Gereja. Gereja yang sedikit lebih baik, tidak melakukan pengusiran seperti itu; orang-orang Kristen tidak melakukan pengusiran seperti itu, tapi mungkin tidak melakukan penerimaan juga. Yang paling diberkati Tuhan adalah Gereja yang bisa menerima orang-orang yang diusir dalam masyarakat. Gereja yang isinya cuma orang-orang eksklusif –mungkin eksklusif dalam hal kekayaan, eksklusif dalam hal pengetahuan, atau eksklusif dalam hal kekuasaan-kekuasaan yang lain—tapi tidak ada orang-orang yang sederhana, tidak ada orang-orang yang biasa, itu adalah gereja yang gagal.
Yesus datang ke dunia, Dia bergaul dengan orang-orang sederhana, bersekutu dengan orang-orang berdosa, seperti pemungut cukai, para pelacur, dsb. Ini adalah orang-orang yang diusir dalam masyarakat, orang-orang yang dibuang, tapi kemudian diterima oleh Tuhan. Maka ayat 35 ini adalah salah satu ayat yang terindah dalam pasal 9: Yesus mendengar bahwa ia telah diusir ke luar oleh mereka. Kemudian Ia bertemu dengan dia –Yesus menjumpai orang-orang yang diusir ini. Adalah berbahagia kalau kita ini diusir oleh dunia, dibenci oleh dunia, dan akhirnya Tuhan menerima kita, daripada dikasihi oleh dunia, ditepuktangani oleh dunia, dipuji oleh dunia, diterima oleh dunia, tapi Tuhan sebetulnya membuang kita.
Kalau kerohanian kita bertumbuh, kita lebh takut dan lebih peka akan penolakan dan penerimaan Tuhan, daripada penolakan dan penerimaan manusia. Saya bukan mengatakan bahwa ketika Saudara mencoba menghidupi hal seperti ini, berarti kita jadi tidak peduli dengan kritikan orang lain sama sekali, pendapat orang sama sekali tidak penting, ‘saya tidak mau dengar apapun perkataan orang, semua itu tidak saya gubris sedikit pun, pokoknya paling penting pendapat Tuhan terhadap saya’; pastinya bukan itu maksudnya. Setiap kali ada kritikan, ada baiknya kita introspeksi. Setiap kali ada masukan dari orang lain, kita bisa gumulkan di hadapan Tuhan. Tetapi yang sedang saya mau tekankan, bahwa yang terpenting pada akhirnya apakah kita diterima oleh Tuhan atau justru ditolak oleh Tuhan. Kalau kita bertumbuh, kalau kita semakin dewasa, kita lebih takut kalau tidak mendapatkan penerimaan dan perkenanan Tuhan, daripada mendapatkan penerimaan dan perkenanan manusia yang sangat tidak stabil itu. Orang yang hari ini senang kepada Saudara, bisa sama sekali berubah dalam beberapa waktu kemudian. Orang yang hari ini membanggakan Saudara, mungkin besok bisa menginjak-injak Saudara. Di dalam kehidupan tidak ada yang stabil, kecuali kita meletakkannya di dalam Tuhan.
Maka di bagian ini, waktu Yesus mendengar dia diusir keluar, Yesus bertemu dia –Yesus yang menjumpai dia—dan kemudian berkata: "Percayakah engkau kepada Anak Manusia?” Mujizat kesembuhan ini belum selesai –sebagaimana sudah sering kali kita katakan bahwa yang penting bukan mujizatnya. Mujizat adalah membawa seseorang yang dalam hal ini tadinya buta secara jasmani untuk kemudian melihat secara jasmani, dan ini adalah tanda (dalam bahasa Yunani: semeia) yang menunjuk kepada realita yang lebih tinggi, yaitu Pribadi Yesus. Yesus bukan hanya mau menyembuhkan orang yang buta secara jasmani supaya dia bisa melihat secara jasmani, tapi terutama Dia mengeluarkan orang yang berjalan di dalam kegelapan dosa –buta secara rohani—supaya dia bisa melihat secara rohani. Kalau cuma buta secara jasmani menjadi melihat secara jasmani, itu memang hal yang luar biasa, tapi tetap belum selesai. Di dalam prinsip Injil Yohanes, yang penting adalah apakah seseorang semakin mengenal Kristus, dengan atau tanpa tanda.
Orang buta yang sudah dicelikkan ini, tahu bahwa itu suatu perbuatan ajaib yang dirinya sudah alami, tapi kemudian Yesus menyelesaikan yang belum terjadi, yaitu supaya orang ini bisa melihat Kristus, melihat Mesias, melihat Anak Manusia, dan percaya kepada-Nya. Maka waktu Yesus menanyakan "percayakah engkau kepada Anak Manusia”, ini suatu progressive revelation, yang tidak berhenti hanya pada mujizat penyembuhan, tetapi membawa orang ke dalam pengenalan akan diri Yesus sendiri.
Waktu Saudara baca Firman Tuhan lalu merasa ‘lho, koq sekarang jadi begini, ya, pengertiannya; saya dulu mengertinya bukan begini’, atau di dalam pengalaman mengikut Tuhan tadinya Saudara mengenal Tuhan seperti ini, namun setelah berjalan dalam kehidupan, mungkin mengalami penderitaan, goncangan, pencobaan, juga hal-hal yang baik dalam pemeliharaan Tuhan, lalu Saudara mendapati ‘lho, Tuhan koq seperti ini ya, dulu tidak begini’ –inilah element of surprise, yang kalau tidak ada, berarti Saudara dan saya tidak sebenarnya bertumbuh. Kalau Saudara pengertiannya tentang Tuhan sama terus, pembacaan Firman Tuhan seperti sama terus, mendengar kotbah apapun selalu hanya mengukuhkan apa yang Saudara sudah tahu, maka berarti kita tidak bertumbuh kehidupannya. Dan kalau kehidupan seperti itu dilanjutkan terus, mungkin ternyata allah palsu yang ada di dalam pikiran Saudara. Tuhan yang asli tidak bisa diprediksi seperti itu. Di dalam kehidupan, tidak bisa kita mengatakan “kalau saya berdoa, pasti akan begini jawabannya; kalau saya mengalami ketidakadilan, paling lama Tuhan selesaikan dalam 3 hari, tidak pernah dalam hidup saya hal seperti itu tidak dibereskan Tuhan lebih dari 3 hari ”. Kalau kita seperti itu, lalu suatu ketika lebih dari 3 hari belum beres, Saudara akan mulai goncang, Saudara rasa Tuhan tidak seperti yang dulu lagi. Itu karena kita memaksakan pengenalan yang statis tentang Tuhan.
Tuhan tidak berubah, itu betul. Tuhan-nya sendiri tidak berubah, tapi pengenalan kita akan Tuhan pasti harus berubah. Sebetulnya, orang itu tidak suka perubahan, orang lebih suka sesuatu yang mapan, establish, secure. Orang bekerja itu karena ingin penghasilan yang lebih baik daripada sebelumnya yang tidak jelas, dan alasannya tidak tentu karena sombong atau mau memamerkan kekayaannya. Memang ada juga yang seperti itu, tapi saya percaya, tidak semua. Saya pikir tidak ada orang Kristen berpikir: ‘saya ingin punya kolam renang isinya koin-koin emas lalu kalau saya terjun ke dalamnya bukan basah air tapi berdenting suara koin-koin emas’ –itu visinya Paman Gober, orang sakit jiwa. Tetapi banyak orang yang cukup normal –mungkin Saudara dan saya– berpikir seperti ini: ‘saya ini kerja bukan karena cinta uang, saya kerja mau mendapatkan income yang lebih baik, supaya hidup ini lebih dapat diprediksi, supaya hidup ini lebih bisa dikalkulasi; kalau saya kerja di tempat yang tidak jelas, hari ini kerja lalu besok tidak tentu kerja, jadi tidak predictable, saya jadi susah mengontrol hidup yang kayak begini’. Berpikir seperti ini nampaknya wajar, bukan orang yang cinta uang, bukan orang yang mau pamer kekayaan bikin kolam renang koin emas, semata-mata hanya ingin hidup yang bisa diprediksi, karena kalau tidak, jadi tidak bisa tidur. Kalau saya tidak tahu besok makan apa, kerja di mana, lalu tidak tahu minggu depan atau bulan depan apakah penghasilan akan tetap atau tidak, hidup jadi stres; saya mau hidup yang tenang! Hidup yang tenang itu maksudnya apa? Yaitu bisa diprediksi. Kalau Saudara menerapkan gambaran seperti ini terhadap Tuhan, Saudara bisa kecewa.
Saya bukan menakut-nakuti, tapi inilah gambaran Kekristenan yang asli: kalau kita mengenal Tuhan, berjalan mengikut Tuhan, akan ada hal-hal yang unpredictable, yang membuat kita berpikir ‘Tuhan koq seperti ini, ya??’ Sebetulnya inilah gambaran orang-orang yang bertumbuh. Di dalam Alkitab, orang-orang seperti Ayub, Habakuk, Yesaya, Yeremia, mereka semua tidak bisa memprediksi Tuhan. Mereka tidak bisa bilang kepada Tuhan, “Tuhan begini, begini, begini ya”, lalu Tuhan jawab, “Ya, ya, thank you sudah mengingatkan, Saya sudah tahu sih sebetulnya”. Bukan seperti itu. Mereka sendiri terkejut, tidak mengerti mengapa Tuhan seperti ini, tetapi mereka betul-betul bertumbuh kehidupannya.
Saya tidak tertarik dengan Kekristenan yang mengulang-ulang lagu yang sama terus, Kekristenan yang cuma justify keadaan kita sekarang bahwa kita sudah benar, lalu pakai ayat-ayat Firman Tuhan yang menyatakan bahwa kita already on the right track. Saya tidak tertarik model Kekristenan seperti itu, karena model yang di dalam Alkitab bukan begitu. Petrus bilang: “Jangan sekali-kali Engkau tersalib, kiranya Tuhan menjauhkan hal itu dari pada-Mu” –ini gambaran mesiasnya Petrus– tapi kemudian yang dikatakan Yesus: “Enyahlah engkau Iblis, engkau bukan memikirkan hal yang dari Tuhan, melainkan yang dipikirkan manusia”. Orang yang mendapat goncangan seperti inilah, orang yang bertumbuh. Orang yang tidak bertumbuh, pandangannya tentang Kekristenan dari dulu tetap sama begitu terus. Waktu mendengar kotbah, dia cuma merasa ‘thank you sudah diingatkan, thank you sudah diingatkan, saya sudah tahu juga, supaya tidak lupa jadi diingatkan lagi’, tapi sebetulnya tidak ada perkembangan apa-apa di dalam pengenalannya akan Tuhan, Tuhan-nya seakan-akan statis begitu terus, masalahnya cuma soal lupa dan ingat saja. Ini bukan Kekristenan. Kekristenan yang asli membawa kita untuk terus bergumul waktu kita mengenal Tuhan, waktu kita membayar harga pengikutan, dsb.
Termasuk juga ketika kita baca di bagian ini, orang yang buta lalu bisa melihat, betapa itu sesuatu yang hampir segalanya bagi seorang yang buta –dia tadinya buta, sekarang bisa melihat, kurang apa lagi?? Coba Saudara bayangkan, tadinya buta sejak lahir lalu sekarang bisa melihat, bukankah sudah seperti di surga?? Orang yang miskin lalu jadi kaya saja banyak yang lupa diri, pikirnya sudah seperti di surga, apalagi buta lalu bisa melihat, betapa lebih daripada itu. Tapi ternyata masih kurang. Pengenalan itu masih kurang. Menurut Tuhan masih kurang, belum selesai, baru bisa melihat terang jasmani, terangnya matahari, tapi belum bisa melihat Terang dunia ini, yaitu Yesus sendiri. Maka Yesus mengatakan kalimat ini, “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?”
Istilah ‘Anak Manusia’ –tradisi Daniel– dalam teologi Perjanjian Lama berkaitan dengan penghakiman. Menurut perspektif teologi Reformed, di dalam berita penghakiman ada berita anugerah, di dalam berita anugerah ada berita penghakiman. Yohanes 3:16 yang terkenal itu, adalah berita anugerah; hampir semua orang Kristen hafal ayat itu. Ayat 17-nya: “Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” –berita anugerah. Ayat 18: “Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah” –berita penghakiman. Jadi ayat 16 berita anugerah, berita keselamatan; ayat 17 berita anugerah, berita keselamatan; ayat 18 berita anugerah, berita keselamatan, dan berita penghakiman. Kemudian ayat 19: “Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat” –berita penghakiman. Yohanes 3:16 tidak bisa berdiri sendiri tanpa ayat 17, 18, 19, dst.; di dalam berita anugerah ada berita penghakiman, di dalam berita penghakiman ada berita anugerah.
Waktu Yesus mau membawa orang buta yang dicelikkan ini ke dalam pengenalan akan diri-Nya, Dia mengatakan “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?” –ini berita penghakiman sebetulnya. Tetapi Saudara tahu, Pribadi Anak Manusia, yang nuansanya berita penghakiman, ternyata menjadi berita keselamatan bagi orang buta yang dicelikkan ini.
Saudara jangan paranoia, tersinggung, apalagi marah, waktu mendengar teguran dari atas mimbar –kecuali pengkotbahnya menegur dengan kedagingan. Kalau Saudara mendengar kalimat teguran dari atas mimbar, yang betul-betul dari Tuhan, lalu Saudara marah dan tersinggung, dsb., berarti Saudara tidak mengerti bahwa di dalam teguran ada berita anugerah. Coba lihat anak-anak kita yang masih kecil kalau dimarahi, mereka tidak mengerti itu ekspresi cinta kasih kita melalui marah. Waktu dimarahi, anak yang masih kecil itu ngambek –kita semua tahu pengalaman seperti itu. Tapi mengapa orang kalau ditegur jadi ngambek, marah, tersinggung? Yaitu karena dia tidak bisa melihat perspektif anugerah di situ. Dia paranoia, baginya teguran selalu hanyalah penghakiman semata. Reformed sedikit berbeda dengan Lutheran dalam hal ini. Lutheran punya kecenderungan melihat Law-Gospel; di dalam Law cuma ada penghakiman, menyatakan keberdosaan kita, ketidakberdayaan kita, kemudian dialektikanya adalah ‘datang kepada Gospel (Injil)’, ini berita pengampunan dosa. Reformed melihatnya tidak seperti itu, melainkan di dalam law ada gospel, di dalam gospel ada law –di dalam teguran ada cinta kasih, di dalam cinta kasih juga ada disiplinnya. Inilah spiritualitas Reformed. Coba kita terapkan ini dalam mendidik anak, dalam filosofi pelayanan di gereja, dalam konseling pastoral, dst. Kita musti mengintegrasikan hal ini di dalam keseluruhan, bukan cuma percaya secara doktrin Reformed begini, tapi kemudian dalam kehidupan tidak ada kaitannya sama sekali dengan yang kita percaya. Saudara dan saya musti bertumbuh di dalam hal ini.
Waktu Yesus memperkenalkan diri-Nya ‘percayakah engkau kepada Anak Manusia’, kalau perspektif orang ini salah, dia tidak akan menjawab “Siapakah Dia, Tuhan?”, tapi dia akan bilang: “Anak Manusia? Menakutkan sekali. Sudah tidak usah ceritain siapa Dia, kita sampai di sini saja, kita ngomong yang lain saja”. Tapi dia tidak begitu. Mengapa dia berani tanya ‘siapakah Dia, Tuhan’? Menantang?? Tidak sadar kalau dirinya berdosa?? Bukan. Dia mengerti bahwa di dalam spektrum penghakiman ini ada berita keselamatannya, oleh karena itu dia tanya “Siapakah Dia, Tuhan?”
Istilah ‘Tuhan’ di dalam kalimat ini, meskipun dalam bahasa aslinya memakai istilah Kúrios / Kúrie, lebih tepat diterjemahkan ‘Tuan’, atau ‘Sir’ sebagaimana dalam salah satu terjemahan bahasa Inggris. Kesulitannya kalau diterjemahkan ‘Tuhan’, berarti dia sudah tahu bahwa itu Tuhan, lalu bagaimana mungkin dia masih tanya ‘siapakah Dia, Tuhan’. Yang berhak dipercaya dan disembah sujud itu cuma yang Ilahi, dan Yesus di sini mengatakan “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?”, berarti Dia memperkenalkan konsep Anak Manusia sebagai Ilahi, dengan demikian seandainya orang ini sudah mengetahui bahwa Yesus adalah Tuhan, pertanyaan ‘siapakah Dia, Tuhan’ jadi aneh. Kalau yang layak dipercaya adalah Tuhan, dan Anak Manusia itu adalah yang layak dipercaya, maka berarti Tuhan sama dengan Anak Manusia; dengan demikian berarti yang sedang berbicara adalah Tuhan, dan adalah Anak Manusia itu juga. Kalau begitu, tanya ‘siapakah Dia, Tuhan’, jadi maksudnya apa?? Pembacaan seperti ini jadi tidak masuk akal. Yang lebih tepat, orang ini bertanya: “Siapakah Dia, Tuan?” (“Who is He, Sir?”). Waktu dia mengatakan “Siapakah Dia, Tuhan? Supaya Aku percaya kepada-Nya?”, kata ‘Nya’ itu pastinya menujuk kepada Anak Manusia, dan Anak Manusia ini Ilahi; maka dalam pembacaan yang sederhana berarti dia tidak tahu bahwa yang sedang berbicara kepadanya adalah Anak Manusia, Ilahi, dan karena itu tidak mungkin dia menyebut dengan ‘Tuhan’ melainkan ‘Tuan’. Terjemahan Bahasa Indonesia yang menerjemahkan setiap kata Kúrios / Kúrie dengan ‘Tuhan’, seharusnya tidak perlu dimengerti seperti itu karena pembacaannya jadi sangat membingungkan.
Orang ini belum mengenal bahwa yang menyembuhkan adalah Tuhan, adalah Anak Manusia, yang layak dipercaya dan layak disembah sujud. Jangan lupa, sebelumnya dia mengatakan tentang Yesus “dia ini seorang nabi”, dan nabi tidak harus berarti Tuhan. Yesus adalah Nabi, itu betul; dan Dia Tuhan juga, Dia adalah Allah yang sejati. Dia Nabi yang sejati, Dia Imam yang sejati, Dia Raja yang sejati. Tetapi nabi, imam, raja, tidak harus berarti Tuhan. Ada nabi yang cuma manusia dan bukan Tuhan, bahkan lebih banyak tentunya daripada Nabi yang adalah Tuhan, yang cuma Yesus. Jadi ketika dia mengenal bahwa yang menyembuhkannya adalah nabi, memang sebatas itu pengertiannya. Waktu membaca bagian ini, memang kita tidak tahu, apakah dia tahu atau tidak bahwa Pribadi yang sedang berbicara kepadanya adalah Pribadi yang menyembuhan dia –dalam hal ini Alkitab tidak jelas. Ada kemungkinan dia tahu, ada kemungkinan dia tidak tahu. Yang pasti, kalaupun dia tahu bahwa yang berbicara itu adalah yang menyembuhkan dirinya, dia pasti belum tahu bahwa Pribadi tersebut adalah Tuhan, Sang Anak Manusia.
Maka waktu Yesus menjawab di ayat 37, "Engkau bukan saja melihat Dia; tetapi Dia yang sedang berkata-kata dengan engkau, Dialah itu!", barulah dia mengatakan, "Aku percaya, Tuhan!" –di sini pemakaian istilah ‘Tuhan’ tepat; lagipula ditambahkan di situ: ‘ia sujud menyembah-Nya’. Dia percaya dan sujud menyembah Tuhan, Sang Anak Manusia. Saudara melihat di sini bukan saja pencelikan jasmani tapi terutama pencelikan secara rohani.
Kita tidak seperti orang ini yang melihat Kristus, kita tidak hidup sezaman dengan Kristus, tetapi Yesus di kemudian hari berkata kepada Tomas, “Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya” –yang tidak melihat, yang tidak hidup sezaman dengan Yesus, yang juga tidak melihat tanda, tidak melihat mujizat, tapi percaya. Seeing is believing, itu paradigma dalam profil teologi Yohanes. Tetapi di sini Yesus mengatakan, "Engkau bukan saja melihat Dia –melihat dengan mata—tapi engkau juga mendengar Dia yang sedang berkata-kata denganmu”. Yang melihat itu mendengar; yang mendengar itu melihat.
Kita tidak melihat seperti orang buta yang dicelikkan ini, tapi kita melihat dengan mata iman, kita ada kemungkinan sedang mendengar perkataan Kristus. Orang yang mendengar perkataan Kristus, dia melihat Pribadi Kristus. Mendengar itu melihat, melihat itu mendengar; ini 2 indra yang paling penting dalam alkitab, terutama kalau dikaitkan dengan spiritual realm. Melihat, kalau dalam tradisi Keluaran, biasanya dikaitkan dengan melihat kemuliaan Allah –seeing the glory of God (Shekhinah) –melihat tiang awan dan tiang api, itu hal melihat, tetapi juga mendengar. Mendengar apa? Mendengar perkataan Firman Tuhan yang disampaikan, mendengar Tuhan berkata-kata kepada Israel: “Hai Israel, dengarlah”. Mendengar bukan cuma dengan telinga yang jasmani, tapi juga mendengar dengan telinga yang rohani. Waktu Saudara mendengar khotbah seperti saat ini, mudah-mudahan bukan cuma mendengar dengan telinga jasmani tapi juga dengan telinga rohani.
Mendengar Firman, itu namanya the audible word (Firman yang terdengar); sementara Perjamuan Kudus, para reformator mengatakannya sebagai verbum visible / the visible word –Firman yang terlihat. Bukan cuma bisa dilihat tapi juga dipegang, dan akhirnya juga dikecap, “Lihatlah dan kecaplah, betapa baiknya Tuhan itu” –lihatlah dan kecaplah Firman, itulah Perjamuan Kudus. Tetapi bukan cuma melihat secara jasmani; kalau melihat di dalam jasmani, Saudara cuma lihat roti dan anggur saja. Mereka yang melihat dengan mata iman, bukan cuma melihat roti dan anggur, dari perspektif iman kita melihat tubuh Kristus dan darah Kristus.
Kembali pada bagian ini, orang buta yang dicelikkan itu melihat Pribadi Kristus, tapi juga mendegar perkataan yang diucapkan oleh Kristus. Dan dia berespons: “Aku percaya, Tuhan!” Siapakah orang yang percaya? Yaitu orang yang terus-menerus diperbaharui penglihatannya akan Kristus, yang tidak statis, yang gambarnya terus berubah. Bukan karena Yesus-nya berubah, melainkan karena pengenalan kita yang semakin lama semakin jelas melihat Kristus. Tadinya kita mau Tuhan itu harus seperti ini, tadinya kita pikir Tuhan itu kayak begini, Tuhan itu tidak boleh mengecewakan kita, Tuhan itu kalau kita berdoa harus segera menjawab, Tuhan itu tidak boleh berdiam diri; inilah pemahaman kita yang sangat parsial dan banyak kelirunya. Tapi semakin kita mengenal Tuhan, terus-menerus bertumbuh dalam pengenalan akan Dia, kita melihat Dia semakin jelas dan kita semakin tajam mendengar kata-kata Tuhan.
"Aku percaya, Tuhan!" Lalu ia sujud menyembah-Nya, dan Yesus berkata: "Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi” –spektrum ‘Anak Manusia’ tadi, bahwa Anak Manusia datang untuk menghakimi– “supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat” –ini berita keselamatan. Tadi dibilang menghakimi, tapi ternyata yang buta bisa melihat, jadi ini sebetulnya berita keselamatan, bahwa orang buta ini yang tidak bisa melihat akhirnya bisa melihat, buta secara jasmani akhirnya melihat secara jasmani. Tapi lebih daripada itu, tadinya buta rohani, berjalan di dalam kegelapan, tidak tahu siapa itu Yesus, dan sekarang mengenal siapa itu Yesus.
Namun kemudian dilanjutkan: “dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta." Perhatikan reversal motif ini. Hal seperti ini diulang-ulang dalam Alkitab, misalnya: “Yang terdahulu itu yang terakhir, yang terakhir itu yang terdahulu”, “Berbahagialah mereka yang lapar karena mereka akan dipuaskan, tapi celakalah kamu yang kenyang karena kamu akan lapar” –yang lapar akan kenyang, yang kenyang akan lapar. Ada lagi: “Berbahagialah mereka yang berdukacita, mereka akan dihibur. Tapi celakalah kamu yang tertawa, karena kamu akan meratap” –yang menangis itu tertawa, yang tertawa sebetulnya akan menangis. “Orang miskin akan dtinggikan oleh Tuhan, orang kaya disuruh pergi dengan tangan hampa” –yang miskin itu kaya, yang kaya itu miskin. Penjungkirbalikan semua. Sulit memahami bagian ini.
Maka orang Farisi waktu mendengar kalimat ini, juga sulit. Mereka bukan tidak mengerti logikanya. Yesus bilang “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, barangsiapa tidak melihat, dapat melihat, barangsiapa melihat, menjadi buta”. Orang Farisi mendengar Yesus bilang ‘yang tidak melihat jadi melihat’, lalu menganggap diri mereka melihat, tidak buta seperti orang buta yang kemudian jadi melihat itu; tapi kata Yesus tadi ‘yang melihat akan jadi buta’, maka mereka tanya “Apakah itu berarti kami akhirnya juga menjadi buta, karena kami melihat?” Tetapi di sini maksudnya bukan melihat secara jasmani; dalam bahasa Yohanes, kata ‘melihat’ ini bermakna ganda, baik jasmani maupun rohani –selalu dipakai dalam pengertian itu. Orang yang merasa dirinya melihat, itu justru yang buta sebetulnya. Orang yang merasa dirinya buta, itu yang sebetulnya melihat. Saya ambil perbandingan sederhana: Gereja yang sehat adalah Gereja yang merasa dirinya sakit, Gereja yang merasa dirinya sehat, itu Gereja yang sakit. Yesus datang bukan untuk orang benar, Yesus datang untuk orang berdosa.
Kalau kita pikir diri kita sudah melihat, dan kita pikir kita melihatnya secara God’s point of view lalu kita susah digeser pandangannya, ‘pokoknya yang saya lihat seperti ini pasti betul, tidak usah debat lagi, saya sudah tahu semuanya kayak begini, tidak usah diskusi lagi’, ini ciri-ciri orang yang ada di dalam kegelapan rohani. Tidak bisa diajak bicara, tidak bisa diajak diskusi, tidak bisa dialog, dan sudah pasti tidak bisa dikritik. Orang-orang Farisi seperti ini karena mereka berada di dalam kegelapan rohani. Mereka berjalan di dalam kegelapan. Mereka membenci terang. Alkitab sudah mengatakan dengan jelas di pasal 3, “Terang itu datang ke dalam dunia, tetapi mereka membenci terang”, mereka lebih suka hidup dalam kejahatan. Mereka tidak suka waktu ditelanjangi kejahatannya, kelemahannya, keberdosaannya. Mereka lebih suka merasa diri bisa melihat, dan bahwa penglihatan mereka itu begitu pasti, begitu tepat.
Waktu orang-orang Farisi mendesak orang buta yang dicelikkan itu untuk memberi kemuliaan kepada Allah dengan mengatakan ‘Yesus adalah orang berdosa’ (ayat 24), mereka mengatakan: “Kami tahu bahwa orang itu orang berdosa” –kami tahu, kamu yang tidak tahu; kamu yang buta, di dalam kegelapan, sampai kamu tidak tahu bahwa Yesus adalah orang berdosa, kami ini bisa melihat bahwa Yesus orang berdosa—“sekarang katakan kebenaran di hadapan Allah”. Betapa luar biasa menakutkan orang yang berjalan di dalam kegelapan rohani, mereka merasa berada di dalam terang dan mengenal kebenaran dan tidak perlu lagi digoyang. Alangkah bahayanya orang seperti ini. Maka ciri khas orang yang sehat di dalam Tuhan, dia adalah orang yang terus merasa dirinya sakit dan masih terus perlu disembuhkan oleh Kristus.
Seperti Saudara tahu, di dunia akademis ada istilah ‘Magister, Master, Doktor’; lalu Spurgeon pernah mengatakan kalimat seperti ini: “Doctor? Kita ini bukan doctor tapi patient, patient-nya Kristus, tidak pernah doctor”. Atau mengenai ‘master’: “Master? Kita ini murid (disciple), The Master itu Kristus”. Memang tidak salah dengan istilah-istilah tersebut kalau pemahamannya benar karena kita tidak main dalam istilah, tetapi ada orang yang salah menghayatinya, dia pikir dirinya the master. Dalam hal ini Spurgeon mengingatkan, kita ini servant, kita bukan the master, The Master itu Tuhan; kita ini bukan doctor lalu ‘siapa yang sakit saya obati’, kita ini pasien, kita ini yang sakit, yang Doctor itu Yesus, Dia yang akan mengobati kita, Dia akan menolong kita untuk mengenal kebenaran, dan Dia akan menolong supaya kita disembuhkan.
Kembali ke perkataan Yesus, di ayat 41 Dia mengatakan: "Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu." Karena kamu berkata bahwa kamu melihat, itu sebetulnya menunjukkan kamu itu buta. Kalau kita merasa diri benar, itu sudah menyatakan bahwa sebetulnya kita tidak benar. Orang yang benar, dia merasa dirinya tidak benar. Ini konsep paradoks. Dan bukan dalam pengertian retorik seperti orang yang pura-pura merendah, “saya tidak bisa apa-apa”, maksudnya supaya orang lain dorong-dorong, puji-puji, “kamu orangnya hebat” dsb., lalu senang mendengarnya. Itu namanya munafik. Tetapi di sini bukan pembicaraan munafik, melainkan kita betul-betul jujur di hadapan Tuhan, mengaku bahwa kita ini memang adalah orang-orang yang buta, kita ini perlu koreksi dari orang lain, perlu masukan dari orang lain, perlu pertolongan dari orang lain supaya kita bisa mengenal kebenaran.
Tetapi kalau kita merasa diri bisa meihat God’s point of view, inilah ciri khas orang yang berjalan di dalam kegelapan rohani. Tidak ada harapan di dalam hidupnya. Tuhan pun tidak bisa menolong dia. Mengapa? Karena dia sudah memastikan dirinya itu bisa melihat.
Kiranya Tuhan menolong kita, kiranya Tuhan memberkati kita, kiranya Tuhan menguduskan kita dengan Firman-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading