Hari ini kita akan merenungkan cerita tentang Daud dan Goliat. Ini satu cerita yang kita sudah cukup familiar, tapi secara khusus kita mau merenungkan bagian mengenai interaksi antara Daud dan Saul di dalam perikop ini.
Cerita tentang Daud dan Goliat sebetulnya secara kasar bisa dibagi jadi tiga bagian. Bagian pertama adalah introduksi, bakcground (ayat 1-27); bagian kedua yaitu yang kita baca hari ini; bagian ketiga mengenai pertempuran itu sendiri antara Daud dengan Goliat. Sebagai pembaca Alkitab, kita selalu fokus pada bagian yang ketiga, kita mengambil kesimpulan bahwa ini cerita mengenai Daud yang lemah, muda, hina, bisa menghadapi segala tantangan di hadapannya, dan bahkan mengalahkan Goliat. Tapi kalau kita kembali ke narasi Alkitab, sebetulnya itu bukan poin utama ceritanya. Cerita ini bukan cuma mau memperlihatkan bagaimana Daud bisa mengalahkan Goliat, melainkan suatu cerita di mana Alkitab mau kita mengenal pribadi Daud, karena di pasal 13 Daud disebut sebagai orang yang dipilih Allah, orang yang berkenan di hati-Nya, a man after God’s own heart. Alkitab mau kita melihat, sebetulnya siapa orang ini, yang disebut sebagai orang yang berkenan di hati Tuhan, orang yang mengejar isi hati Tuhan –walaupun Daud bukan pertama kalinya muncul di pasal 17 ini. Di pasal-pasal sebelumnya Daud juga sudah muncul, namun di situ dia dihadirkan pasif saja, dia tidak berbicara, kita cuma tahu ada pribadi yang namanya Daud tapi kita tidak tahu seperti apa dia, kita tidak tahu karekternya, atributnya; dan pertama kalinya kita bisa mengenal hal tersebut adalah di pasal 17.
Dalam eskposisi pasal 17 bagian pertama, saya mengatakan salah satu hal yang sungguh-sungguh membedakan Daud dari Saul, kenapa Daud disebut sebagai orang yang berkenan di hati Allah, kenapa dia disebut sebagai a man after God’s own heart, adalah: Daud melihat dunia, melihat realitas, dari perspektif theologis. Inilah yang sungguh-sungguh membedakan Daud dari Saul. Saul dan orang-orang Israel melihat realitas hanya dengan kacamata manusia; mereka melihat segala sesuatu dengan human perspective. Itulah sebabnya mereka ketakutan, karena mereka tidak mungkin –secara perhitungan manusia– mengalahkan Goliat. Goliat dalam deskripsi Alkitab, bukan hanya tinggi besar tapi juga impossible to defeat, dia tidak mungkin bisa dikalahkan dalam medan peperangan, maka Saul dan seluruh Israel takut –gara-gara mereka hanya melihat dari human perspective. Tetapi Daud, sebagai pribadi yang berkenan di hati Tuhan, kenapa dia berbeda, yaitu karena dia melihat dari theological perspective: ‘Siapa orang yang tidak bersunat ini, siapa dewa mereka?? Ini orang Filistin! Dewa mereka adalah Dagon; Dagon itu sebelumnya sudah dikalahkan, patung Dagon di kuilnya sendiri sudah dibelah jadi dua, takluk di hadapan Tabut Allah, maka dia tidak bisa menang! Dewa mereka dewa yang mati, tapi TUHAN adalah Tuhan yang hidup; bagaimana mungkin orang yang menyembah dewa yang mati ini bisa menang terhadap TUHAN, Allah Israel, Yahweh yang hidup dan berkuasa dan powerful!’ Inilah yang Alkitab mau kita pertama-tama melihat dalam perikop ini, bahwa Daud melihat segala sesuatu dari perspektif theologis; dan ini yang membuat dia disebut sebagai pribadi yang mengejar isi hati Tuhan. Di dalam hal ini Daud sungguh-sungguh berbeda dari Saul.
Daud berkenan dalam hati Tuhan bukan sekadar karena dia lebih bermoral, etikanya lebih baik, secara kemampuan lebih capable; Saul sebagai raja juga capable, tetapi bukan hal-hal itu yang membedakan mereka, melainkan bahwa Saul hanya melihat dari human perspective sedangkan Daud melihat dari theological perspective. Inilah yang saya mau tekankan. Kalau kita menyebut diri sebagai orang yang mengejar isi hati Tuhan, a person after God’s own heart, kita harus melihat dunia/realitas dari perspektif theologis. Orang-orang yang mengabaikan hal ini, orang-orang yang tidak melihat realitas dengan perspektif theologis melainkan dengan perspektif manusia saja, itulah yang disebut sebagai orang yang tidak berkenan di hati Tuhan, itulah orang-orang yang tidak mengejar isi hati Tuhan.
Waktu saya mempersiapkan bagian ini, saya langsung teringat kata-kata dari dua orang theolog, yang satu Dr.Richard Pratt dan satunya lagi Dr.Michael Heiser, yang satu systematic theology dan satunya lagi biblical theology. Keduanya mengatakan kalimat yang berbeda, tapi prinsipnya sama. Richard Pratt mengatakan, “Live in this world as if you live in Narnia” –hiduplah dalam dunia ini seolah-olah kamu hidup dalam dunia Narnia, dunia fantasi. Dr.Michael Heiser mengatakan kalimat yang kontroversial: “As a Christian, you benefit more if you read the Bible as a fiction” –sebagai orang Kristen, kamu akan lebih menemukan faedah di dalam Alkitab ketika kamu membaca Alkitab sebagai fiksi. Bukan berarti Alkitab palsu, tidak historis, tetapi ketika kamu baca sebagai fiksi, maka bagi Dr.Michael Heiser, kamu akan mendapat faedah lebih banyak. Prinsipnya di mana? Apa yang mau mereka tekankan? Yaitu bahwa di dalam realitas yang terjadi di depan mata kita, sebagaimana narasi yang kita baca di Alkitab, di belakangnya ada satu metanarasi, ada Tuhan; Tuhan adalah realitas yang sejati. Dan Daud, menjalankan hal ini, dia melihat dunia ini bukan dari kacamata manusia saja ‘O, Goliat tinggi besar, pengalamannya tidak mungkin bisa dikalahkan’, tapi dia melihatnya dari perspektif theologis.
Selanjutnya dalam pembacaan hari ini kita akan lebih dalam dan lebih jelas lagi mengenal pribadi Daud. Dari ayat 28-31, diceritakan Daud diutus oleh ayahnya untuk cek kondisi saudara-saudaranya, tapi dia justru dihina oleh Eliab dan saudara-saudaranya. Kenapa? Karena Eliab melihat Daud pergi ke sana kemari dan bertanya kepada orang-orang di sekitar sana, berhubung Daud mendengar bahwa Saul menjanjikan hadiah bagi siapapun yang bisa mengalahkan Goliat. Jadi mendengar itu, Daud mulai bertanya-tanya, kepada orang ini dan kepada orang itu, sampai akhirnya diperhatikan Eliab, dan Eliab menghina-hina dia, “Kamu ngapain di sini? Saya tahu kamu itu sombong, kamu hanya mau rame-rame saja ‘kan, kamu hanya mau melihat Goliat dan melihat pertempuran ini!” Tapi Daud menolak perkataan Eliab itu dan dia mulai lagi, melakukan hal yang sama lagi, pergi ke orang-orang lain menanyakan hal yang sama lagi, “Apakah benar-benar ini yang Saul mau lakukan …?” Pertanyaan kita, buat apa dari awal Daud keliling-keliling bertanya-tanya, lalu setelah dihina-hina oleh Eliab, dia tetap pergi dan bertanya-tanya lagi? Untuk apa dia melakukan itu? Jawabannya di ayat selanjutnya.
Ayat 31 dikatakan, bahwa perkataan yang diucapkan oleh Daud terdengar oleh orang-orang. Inilah tujuan Daud; dia mau mencari perhatian. Dia berputar-putar ke sana kemari, berulang-ulang menanyakan hal yang sama, supaya menarik perhatian dan akhirnya bisa dibawa kepada Saul. Dia sengaja melakukan hal ini supaya dia diperhatikan dan akhirnya dibawa untuk melawan Goliat. Dengan kata lain, pada titik ini Daud ada satu keinginan untuk mau dipakai oleh Tuhan. Awalnya, ketika dia masuk ke medan pertempuran, dia tidak ada intensi sama sekali, karena dia bukan mau pergi ke sana koq, dia sedang damai di rumah menggembalakan domba-domba, tapi ayahnyalah yang menyuruh dia pergi. Dia tidak ada niat sama sekali. Namun dalam titik yang sekarang ini, ketika dia melihat situasi, dia ada satu kerelaan untuk mau dipakai oleh Tuhan –dan dia memang dipakai oleh Tuhan.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, kita tahu Tuhan adalah Tuhan yang berdaulat. Tuhan bisa melalui siapa saja, saat kapan saja, di mana saja, memakai siapa saja untuk menggenapkan rencanan-Nya; kita sadar atau tidak sadar, bisa dipakai oleh Tuhan. Itu betul. Tuhan berdaulat. Tetapi kalau kita kembali ke Alkitab, kita melihat bahwa orang-orang yang dipakai oleh Tuhan, juga adalah orang-orang yang mau dipakai Tuhan, bukan dipaksa. Mereka sungguh-sungguh ada kerelaan, mau dipakai Tuhan. Mungkin ketika kita baca Alkitab kita bilang, “Ah, tidak semua oranglah, lihat saja Yunus”; tapi Yunus itu mau lho, Yunus juga orang yang mau dipakai oleh Tuhan, hanya saja dengan caranya sendiri. Yunus mau dipakai oleh Tuhan, diutus ke Niniwe, untuk menurunkan penghakiman kepada orang-orang Niniwe, dia tidak mau dipakai Tuhan untuk menurunkan belas kasihan –tapi dia tetap mau dipakai oleh Tuhan.
Sama juga dengan kita; ketika kita melayani, itu bukan gara-gara ada tekanan sosial, bukan demi tujuan prestasi apapun, melainkan kita melayani Tuhan karena kita ada keinginan/kerelaan untuk mau dipakai oleh Tuhan. Dalam hal ini, kita bisa bersatu dengan Tuhan; sama seperti Tuhan setiap hari bekerja, kita juga mau melayani, kita mau dipakai Tuhan untuk melayani Dia dan melayani sesama. Kalau kita melayani tanpa ada suatu kerelaan untuk mau sungguh-sungguh dipakai oleh Tuhan, lebih baik kita setop, tidak melayani. Kita harus ada keinginan ini; dan salah satu cara menguji diri dalam hal ini adalah: apakah waktu kita melayani, kita memperoleh sukacita? Atau sebaliknya, ketika kita melayani, yang kita peroleh adalah beban, self-victim, pusing, merasa dipaksa, merasa diperbudak; atau waktu melayani, kita merasa pelayanan kita adalah prestasi kita, pencapaian kita. Kalau kita melayani, dan kita tidak memperoleh sukacita dipakai oleh Tuhan, itu adalah tanda yang amat sangat kuat bahwa kita sebetulnya tidak begitu rela, tidak begitu suka, untuk melayani Tuhan dan dipakai oleh Tuhan.
Kalau kita lihat ke Perjanjian Baru, kita melihat pribadi-pribadi para hamba Tuhan, misalnya Paulus, dia ada prestasi atau tidak? Ada. Paulus sengsara atau tidak dalam pelayanan? Sangat sengsara. Tapi walaupun dia melayani dan ada prestasi sangat besar, walaupun dia melayani dan sengsara, kita tidak melihat Paulus yang kepahitan. Tidak ada Paulus yang membanggakan prestasinya. Tidak ada Paulus yang self-victim, ‘O, saya sudah melayani banyak ya, saya sudah berkorban banyak’. Tidak ada yang seperti itu. Kita melihat Paulus yang full with joy, dipenuhi sukacita. Bukan dipenuhi dengan laughter, di mana-mana dia tertawa-tertawa, senyum terus, melainkan ada inner contentment. Ada kepuasan yang di dalam, yang dia miliki ketika dia bisa berbagian dalam pekerjaan Tuhan, dipakai oleh Tuhan. Kepada Gereja Tesalonika yang sedang dipersekusi, Paulus bilang, “Rejoice at all times, rejoice! Be joyful, karena kamu sekarang bisa berbagian di dalam Kristus.” Bersukacitalah ketika kamu bisa dipakai oleh Tuhan, rela dipakai oleh Tuhan.
Di dalam Pribadi Yesus, kita juga melihat hal yang sama. Kita melihat Dia melayani dengan setia. Dia difitnah, ditolak, harus memikul salib, tapi kita melihat Kristus yang dipenuhi oleh sukacita. Dia bukan memikul salib dengan mentalitas korban, ‘Aduuuhh, Saya sudah begini ya… hai perempuan-perempuan Yerusalem, tangisi Aku!’ –tidak ada kalimat seperti itu, melainkan, “Cry for yourselves, jangan tangisi Aku.” Yesus tidak ada self-victim, mentalitas korban, melainkan dipenuhi oleh joy; karena apa? Karena ada kerelaan –kerelaan dipakai oleh Allah. Daud juga sama, dia ada kerelaan dipakai oelh Tuhan.
Selanjutnya, ayat 32, ketika Daud dibawa kepada Saul, coba kita perhatikan bagaimana Daud berkata kepada Saul: “Jangan sampai orang berkecil hati karena dia; hambamu ini akan pergi bertarung dengan orang Filistin itu.” Ada beberapa hal yang saya mau tekankan di bagian ini. Pertama-tama, cukup jelas kita melihat bahwa kematangan rohani tidak tergantung dari umur. Dalam cerita ini, siapa yang senior dan siapa yang junior, siapa yang tua dan siapa yang muda, siapa yang raja dan siapa yang hamba? Tapi sekarang, Daud ini, yang muda ini, yang masih belasan tahun, dia yang datang kepada Saul dan dia yang menguatkan Saul, menghibur Saul. Harusnya ‘kan Saul sebagai senior yang menghibur Daud, tapi di dalam Alkitab terbalik; Daud yang menghibur dan menguatkan, sementara Saul yang lebih tua dan lebih senior justru yang ketakutan.
Kita sering mendengar “age is just a number” (usia hanyalah angka); ini bisa kita respons dengan positif ataupun juga jadi sesuatu yang sangat negatif. Kalau kita sudah berumur, tapi kita secara fisik masih kuat, kita masih berolah raga, maka “age is just a number” kita acungkan jempol. Saya ini hobi gowes, dan salah satu teman gowes saya adalah jemaat GRII Karawaci, dia sudah umur 61, dan gowesnya masih lebih kencang daripada saya! Badannya masih fit, stamina luar biasa, bisa naik sepeda 1500 km, seluruh Jawa sampai ke Bali disikat habis oleh Dia. Itulah “age is just a number” yang kita acungkan jempol, salut. Tapi kalimat tadi, “age is just a number”, juga bisa sangat negatif, khususnya orang-orang seperti Saul. Dan ini bukan sesuatu yang asing; di Perjanjian Baru, murid-murid Yesus juga sama, khususnya sebelum mereka mengenal Yesus yang mati dan bangkit. Petrus cukup senior, tapi coba lihat dia, kekanak-kanakan, duel dengan murid yang lain “siapa yang paling besar, siapa yang duduk di sebelah kiri dan kanan” –kekanak-kanakan, umur sudah senior tapi tidak ada kematangan rohani.
Pertanyaan bagi kita: apa yang membuat orang bisa matang secara rohani, apa yang bisa membuat orang dewasa? Pastinya banyak faktor; tapi dalam cerita kita hari ini, yang mau ditonjolkan adalah kerendahan hati. Kerendahan hati dan kedewasaan rohani, tidak bisa dipisahkan. Kita perhatikan dalam cerita ini bagaimana Daud orang yang sungguh-sungguh rendah hati; dia rendah hati di hadapan manusia, dia rendah hati di hadapan Allah. Coba bayangkan, Daud adalah orang yang diurapi, orang yang dipilih; Daud bisa membunuh singa, bisa membunuh beruang, dia satu-satunya orang yang berani di antara seluruh bangsa, bahkan berani menantang, sementara yang lain menantang saja tidak berani. Dia lalu datang ke hadapan Saul yang setengah sinting, yang setengah diganggu oleh roh jahat, yang sudah ditolak oleh Allah, yang diikat oleh ketakutan; dan apa yang Daud katakan? “Hambamu —your servant— I’m here, send me, hambamu ini akan pergi”. Harusnya Daud datang kepada Saul, “Hai, Kamu raja yang ketakutan, kamu harus malu; saya bukan siapa-siapa tapi saya sekarang akan pergi!”; tapi Daud tidak demikian, dia mengatakan “hambamu”. Coba perhatikan bagaimana Daud juga rendah hati di hadapan Tuhan; walapupun dia sendiri yang membunuh beruang, membunuh singa, apa yang Daud katakan? Ayat 37: “Tuhanlah yang telah melepaskan aku”. Dia tahu, pada akhirnya yang memberikan dia kekuatan adalah Tuhan. Doksologi.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, lebih dalam kita sungguh-sungguh mengenal siapa diri kita di dalam realitas dunia dan di hadapan Tuhan, lebih banyak kita bisa menerima fakta siapa diri kita sesungguhnya, kita akan lebih rendah hati. Ketika kita mengenal dunia ini, kita sungguh-sungguh belajar dan menambah pengetahuan kita, kita akan lebih disadarkan bahwa kita sungguh-sungguh sangat relatif. Alkitab mengatakan kita adalah debu; dan we are truly dust. Debu itu mikroskopis, microscopic in the whole galaxy, microscopic in the time. Di dalam waktu dan di dalam ruang, kita ini debu. Semakin kita mengenal kebenaran, memperoleh ilmu/knowledge, kita lebih disadarkan bahwa apa yang benar di tempat ini, di tempat lain mungkin salah. Apa yang benar di Kelapa Gading, mungkin di Bekasi sudah salah. Apa yang benar di Indonesia, waktu kita ke Afrika mungkin itu salah; apa yang salah di Afrika, mungkin di sini benar. Apa yang benar di zaman ini, dua generasi berikutnya mungkin dihujat habis, seperti kita sekarang dalam dunia post-modern menghujat habis dunia modern, padahal dunia modern anggap konsep mereka sudah yang paling benar. Kita sangat relatif.
Di hadapan Tuhan juga sama; ketika lebih mengenal Tuhan, kita akan lebih disadarkan seberapa kecil diri kita, we are nothing. Inilah salah satu frustrasi ketika kita belajar, khususnya Theologi. Waktu saya mengambil keputusan mau jadi hamba Tuhan, menyerahkan diri, masuk Sekolah Theologi, itu berapi-api, semangat. Saya tidak tahu apa-apa, theologinya dangkal, jadi mau belajar, mau tahu dan mau memperoleh lebih banyak, maka mendaftarlah saya dan masuk Sekolah Theologi. Setelah 3½-4 tahun, hasilnya apa? Hasilnya: sekarang saya lebih tahu bahwa lebih banyak hal yang saya tidak tahu! Dulu saya tidak tahunya sedikit, cuma beberapa hal yang saya rasa tidak jelas, lalu setelah 4 tahun belajar, baru saya sadar ternyata yang saya tidak tahu sedemikian besarnya. Wah, ini bagaimana?? Saya sudah bayar uang, keluarkan waktu, keluarkan upaya untuk tahu lebih dalam lagi, ternyata yang saya tahu adalah: there is too many that I don’t know, I don’t know what I don’t know, kita tidak tahu apa yang kita tidak tahu. Kita belajar, hanya untuk mengetahui bahwa apa yang kita tidak tahu bahkan lebih banyak lagi. Saya sekarang lebih banyak pertanyaan lagi daripada dulu sebelum masuk Sekolah Theologi. Banyak hal yang saya tidak tahu tentang Alkitab dan tentang Tuhan sekarang daripada dulu. Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh we are nothing. Dan, ketika kita bisa mengenal siapa diri kita sesungguhnya dalam realitas dan di hadapan Tuhan, itu akan membuat kita pasti –kalau kita mau jujur– rendah hati.
Kerendahan hati ini akan menuju pada kematangan/kedewasaan. Tapi sebaliknya, kalau kita tidak mau menerima diri, tidak mau rendah hati, kita tidak mungkin jadi orang yang dewasa. Keduanya ini kontradiksi, konflik. Orang yang sombong dan kedewasaan, itu tidak match. Kalau kita hanya memperoleh sedikit tapi kita anggap sudah memiliki segala-galanya, mana mungkin kita dewasa; sebaliknya justru kita akan jadi batu sandungan, kita justru jadi pribadi yang negatif dalam masyarakat. Dalam hal ini kita harus hati-hati dengan semangat OKB (orang-kaya-baru). Semangat OKB bukan hanya di luar Gereja –orang yang secara ekonomi ada peningkatan karena bisnisnya meledak lalu jadi sombong– OKB juga bisa terjadi di Gereja, OKB secara theologis, OKB secara kerohanian, itu juga bisa, memperoleh sedikit lalu langsung merasa diri sudah segala-galanya. Kalau kita ada hati seperti demikian, kita tidak mungkin bisa dewasa karena kita tidak mungkin rendah hati. Daud sungguh sadar siapa dia di hadapan manusia, siapa dia dihadapan Allah; dan sangat jelas dia jauh lebih dewasa daripada Saul.
Setelah Daud coba meyakinkan Saul, Saul tidak convinced, “Okelah kamu berani, tapi keberanian ‘kan gratis, sedangkan dia itu Goliat, dia ada pengalaman, kamu tidak ada apa-apanya.” Lalu dari ayat 33-40 kita melihat bagaimana Daud mencoba meyakinkan Saul, berespons terhadap Saul. Ada beberapa hal yang kita bisa perhatikan. Pertama-tama, Daud itu setia pada perkara yang kecil. Daud meresikokan nyawanya melawan singa dan beruang, untuk apa? Untuk domba-domba, yang tidak ada nilainya, yang tidak akan dilihat, tidak diakui, tidak ada prestasinya, tidak ada achievement-nya. Ini adalah domba-domba, yang bahkan bagi keluarga Daud pun tidak ada artinya. Keluarga Daud bukanlah peternak domba, mereka tidak hidup dari domba, mereka tidak butuh domba-domba ini untuk hidup; dan justru hal yang paling tidak signifikan ini, paling remeh ini, yang bagi mereka sampah, dilempar ke Daud, seperti kita lihat Eliab menghina demikian: “Kenapa kamu tinggalkan dua tiga ekor domba itu…”. Jadi Daud itu gembala yang nothing, dia tidak signiffikan; entah semua dombanya mati, entah semua dombanya tenggelam, tidak ada yang peduli. Isai pun tidak peduli, “Who cares?? Memang kami suruh kamu gembalakan domba-domba ini karena kamu itu nothing for me, jadi pergi saja jadi gembala bagi domba-domba ini”. Tetapi bagi Daud, domba-domba yang tidak bernilai itu, atasnya Daud setia, meresikokan hidupnya melawan singa dan beruang.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, ketika kita diberikan tanggung jawab yang besar, pekerjaan yang besar, pastinya secara natural kita akan lebih lagi bertanggung jawab, kita mau lebih lagi memberikan yang terbaik, kita menyatakan kesetiaan kita. Tapi, ketika kita diberikan perkara yang kecil tanggung jawab yang kecil, jangankan omong meresikokan nyawa, setia saja sulit. Cuma begini saja, yah, ‘gak usahlah terlalu persiapan sampai memberikan yang terbaik, dsb.; kalau jadi hamba Tuhan berdiri di atas mimbar di depan jemaat, ya harus persiapan, harus bertanggung jawab, give the best effort, tapi kalau cuma usher, ya, ini perkara kecil, tidak perlu terlalu setia, apa adanya saja. Menjadi usher pun perlu persiapan, karena kita mau tulus menyambut orang ke gereja, kita mau sungguh-sungguh menyambut mereka sebagai saudara kita. Itu juga perlu persiapan; khususnya orang-orang yang introvert –apalagi di lingkungan Gereja Reformed rata-rata orangnya lebih introvert, kita lebih pemikir, sehingga itu juga sebabnya lebih dingin, karena kita memang lebih suka berpikir, reasonable people. Orang yang introvert waktu jadi usher, mau senyum secara tulus pun itu butuh persiapan. Ini perkara kecil sih, tapi kita tetap dituntut dengan hal yang sama: setia pada hal yang kecil.
Daud itu setia; dan ini langsung mengingatkan kita pada ajaran Yesus di Injil Lukas pasal 16: “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.” Dalam hal ini, Daud sungguh-sungguh mencerminkan Kristus, he is a type of Christ, karena Kristus sendiri bukan hanya setia dalam perkara besar, Kristus bukan hanya faithful ketika Dia harus memikul salib –“Now this is My time, show time, sudah waktunya Saya harus ke Golgota, sudah waktunya Saya harus serius, Saya harus setia”– tidak ada yang seperti itu. Yesus, terhadap siapapun, di saat apapun, Dia setia. Kepada orang-orang yang paling hina, yang tidak dipandang, Dia setia, dalam hal yang terkecil.
Aplikasinya apa? Salah satunya: kita sebagai Gereja, tidak perlu secara aktif sengaja mencari pekerjaan-pekerjaan Goliat itu. Kita tidak perlu secara aktif sengaja mencari pekerjaan-pekerjaan yang luar biasa besar, tanggung jawab yang luar biasa besar, lalu kita sungguh-sungguh mempersiapkan diri untuk event tersebut, “that is may target”, kita cari gol itu. Tidak usah demikian. Kalau kita setia pada perkara kecil, kita akan diberikan perkara yang besar. Kalau kita setia kepada perkara yang kecil, kita benar dalam yang kecil, maka di dalam yang besar pun kita akan setia. Tapi sebaliknya, kalau kita kepada perkara yang kecil pun tidak setia, ketika perkara yang besar datang, kita pasti hancur, itu self destruct. Daud setia kepada perkara yang kecil, dan dia dipimpin oleh Tuhan untuk mengalahkan Goliat. Kalau kita hanya setia dalam perkara-perkara yang besar, kalau kita hanya memberikan yang terbaik dan semangat penuh dalam perkara-perkara yang besar, itu bukan kesetiaan, itu namanya performance, show. Ada perbedaan. Demikian yang pertama, Daud setia dalam perkara yang kecil.
Yang kedua, kepercayaan diri Daud, dalam derajat tertentu juga bergantung pada persiapan dirinya sendiri. Ini bukan berarti Daud tidak bergantung kepada Tuhan, tapi bahwa Daud bisa yakin dapat mengalahkan Goliat, dalam aspek tertentu juga karena dia sendiri ada persiapan. Walapun Daud tidak berpengalaman perang, dia hanya seorang gembala, tapi kita tidak bisa bilang kepercayaan Daud tidak ada dasarnya sama sekali, atau yang disebut fideism. Fideism adalah: kita bersandar, kita percaya, tapi sama sekali tidak ada dasar. Contoh yang paling gampang: besok ujian, hari ini tidak belajar apapun, lalu kita mengatakan, “Inilah aku, Tuhan, pakailah aku”; ini fideism, kepercayaan tanpa ada dasar sama sekali.
Daud ketika bersandar kepada Allah, menyerahkan diri kepada Allah untuk dipakai Tuhan, dia tetap ada dasarnya walaupun dia muda. Dasarnya di mana? Pertama-tama, dia sadar bahwa dia bisa mengalahkan singa dan beruang; that is something. Coba saja sekarang UFC pasang juaranya, Conor McGregor atau siapapun lainnya, untuk lawan dengan singa, saya mau lihat, apa bisa menang?? Atau juga lawan dengan beruang, brown bear atau polar bear yang lebih bahaya lagi, tidak bisa menanglah. Tetapi Daud bisa percaya bahwa dia dapat mengalahkan Goliat karena dia ada semacam dasar, yaitu dia bisa membunuh singa dan beruang. Yang berikutnya, coba perhatikan senjata yang Daud pilih. Daud menolak semua baju perang Saul –karena memang tidak fit— dan dia ke sungai, ambil lima batu dan pengumban (slingshot). Dalam konteks historis, memang senjata seorang gembala adalah slingshot; tapi kalau kita kembali ke narasi Alkitab, misalnya dalam Hakim-hakim 20:16, prajurit-prajurit Israel membawa batu dan pengumban. Artinya apa? Artinya bahwa senjata yang dibawa Daud adalah juga senjata prajurit, bukan sekadar mainan. Daun bukan iseng-iseng pikir mau bunuh Goliat dengan apa, lalu dia ambil batu, melainkan itu benar-benar senjata prajurit yang biasa dibawa seorang prajurit. Daud melakukan dengan sadar, dia tidak main-main. Jadi yang dia lakukan itu ada dasarnya. Di dalam keterbatasan Daud, dia mempersiapkan sebaik-baiknya.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, sudah waktunya kita membuang gambaran Daud yang lemah, rentan, tidak ada apa-apanya, dia bersandar kepada Tuhan dan Tuhan memakai dia. Ini fantasi yang kita semua suka. Kita suka dongeng yang seperti ini: ‘O, Tuhan, saya tidak ada apa-apanya’ –tidak perlu persiapan apapun– dan Tuhan akan langsung pakai. Tapi yang seperti itu bukan kesaksian Alkitab, itu bukan iman, itu tidak bertanggung jawab. Daud ada dasarnya. Kita tidak bisa terjun bebas ke dalam fideism. Ambil contoh diri saya sendiri, adalah tidak mungkin saya, dalam kondisi saya sekarang ini, tiba-tiba dilempar, “Ruben, kamu pergi KKR di GBK, di JIS, di sana 50 ribu orang yang akan dengar kamu, kamu langsung khotbah kepada mereka, bersandarlah kepada Tuhan!” Itu tidak mungkin! Bisa jadi saya naik ke atas mimbar dan langsung muntah, deg-degan, tidak tahan. Kalau beberapa ratus orang mungkin masih bisa, sudah ada latihannya, tapi 50 ribu orang itu jauh berbeda, tidak bisa langsung lakukan itu.Kita perlu ada dasarnya, ada persiapannya. Charles Spurgeon setiap kali khotbah dihadiri lima ribu orang, powerful, tapi dia juga mulai dari nothing. Pertama kali dia khotbah adalah di rumah jemaat, waktu makan siang, kepada lima orang; dan itupun dia bilang dia ketakutan. Itu Spurgeon, yang sekali buka mulut, 5000 orang mendengar; Spurgeon, yang waktu latihan khotbah, ada koster yang sedang memberihkan jendela, mendengar dan bertobat. Jadi, bahkan Spurgeon pun harus ada dasar, tidak bisa langsung. Poin yang saya mau tekankan: waktu kita bersandar kepada Tuhan, itu tidak mengabaikan persiapan kita —demikian kalau dari kesaksian Alkitab. Kita tetap mempersiapkan diri di dalam keterbatasan kita; bukan berarti kita tidak bersandar. Kita mempersiapkan sebaik-baiknya; dan kita juga akan mengakui bahwa segala-galanya sola gratia, tidak ada apapun yang bisa kita wujudkan dengan tangan kita yang hina ini. Semua hal yang baik, yang maulia, yang indah, itu semua dari Allah.
Yang terakhir dalam bagian ini, kita melihat bahwa pada prinsipnya, kepercayaan Daud itu didasari oleh keadilan Allah sendiri. Perhatikan bagaimana Daud sungguh-sungguh percaya Tuhan akan melepaskan dia, memberikan dia kemenangan, itu gara-gara Tuhan adalah Tuhan yang hidup, Tuhan yang adil. Kalau Goliat –orang Filistin yang tidak bersunat, yang menyembah dewa palsu, yang dewanya juga sudah mati, yang dewanya dibuat dari kayu– berani menantang Yahweh, Tuhan yang hidup, Tuhan yang adil, maka he will be crushed! Orang yang mau menantang Tuhan, pasti dihancurkan. Kita tidak mampu; Tuhan adalah Tuhan yang adil. Orang yang tidak adil, menantang Dia, pasti kalah, pasti dihancurkan. Ini menjadi dasar kepercayaan Daud bahwa Tuhan akan melepaskan dia, Tuhan akan memberikan kemenangan –karena Tuhan itu hidup, dan Tuhan itu adil.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, kita semua juga sama. Kita harus ada satu kepercayaan di dalam hati kita, untuk sungguh-sungguh melihat Tuhan kita adalah Tuhan yang hidup, Tuhan yang adil; dan bahwa pada akhirnya kejahatan tidak mungkin menang atas kebaikan, it’s impossible for evil to conquer justice.Dalam kehidupan kita, sangat gampang untuk kita jatuh ke dalam pesimisme yang absolut. Karena apa? Karena di dalam agama maupun di luar agama, di dalam Gereja maupun di luar Gereja, kita melihat kegagalan demi kegagalan, cacat demi cacat. Minggu ini orang yang tidak mencoblos Paslon No.2, pesimis, sedih, perlu dihibur; lalu kita masuk ke pintu gereja, dan kita melihat ternyata Gereja juga ada kegagalannya, ada kejatuhannya, bagaimana ini?? Kita pesimis, di luar begini, di dalam pun begini. Itu sebabnya saya bisa empati terhadap orang yang sungguh-sungguh mau jujur menghadapi dunia dan merasa pesimis, karena memang kelihatannya hopeless. Kelihatannya yang menang selalu kejahatan, kebohongan, penipuan, kegelapan. Namun demikian, kita harus dihibur dan dikuatkan oleh Injil, karena Injil bukan cuma tentang kematian Kristus, lalu korupsi, penyelewengan, kongkalikong, kejahatan, demokrasi radikal, yang menang —that is not the whole story of the Gospel— Injil juga termasuk cerita kebangkitan. Injil itu ada kemenangan. Kalau kita sungguh-sungguh percaya Kristus bangkit, kita juga bisa sungguh-sungguh percaya pasti ada keadilan, keadilan pasti menang. Karena apa? Karena sudah menang.
Semua agama ada konsep abstrak akan keadilan, bahwa Tuhan itu adil, Tuhan pasti menang; dalam derajat tertentu, bagi Daud pun abstrak. Tetapi kita dinyatakan sungguh-sungguh bahwa Juruselamatmu, Tuhanmu, sudah menang, Dia sudah mati dan sudah bangkit. Dari perspektif dunia, sejarah tambah lama tambah merosot, dunia menuju kegelapan, terus menurun. Tetapi dengan mata rohani, kalau kita sungguh-sungguh percaya kepada Injil, dengan kematian dan kebangkitan, kita melihatnya berbeda, bahwa sejarah bukan tambah lama tambah merosot, melainkan makin lama makin mendekati Kerajaan Surga di mana keadilan akan dipenuhkan secara sempurna. Kita semakin dekat dan semakin dekat kepada keadilan yang sempurna, ini janji Tuhan sendiri, karena Kerajaan Surga akan datang, keadilan yang sempurna akan dinyatakan.
Sebagai pengikut Kristus, mari kita juga dikuatkan, bahwa di dalam Kristus ada kemenangan, dan keadilan pasti dinyatakan. Keadilan pasti akan menang, karena keadilan sudah sungguh-sungguh dinyatakan dan digenapkan di dalam Kristus. Kiranya dengan keyakinan seperti ini, kita bisa terus dipenuhi sukacita dalam melayani dan bersaksi akan Kristus, di dalam dunia yang sudah jatuh ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading