Kita memasuki Minggu Adven ke-2; Adven adalah musim di mana Gereja Tuhan belajar untuk menanti. Kenapa Adven diperlukan, adalah karena Gereja Tuhan sering kali tidak sudi untuk menanti. Kita ingin hidup kita silih berganti dari satu perayaan ke perayaan berikutnya, kita tidak mau hidup di masa peralihan, masa penantian. Itu sebabnya Adven dibutuhkan.
Adven mengingatkan kita bahwa kita sesungguhnya adalah umat yang bukan hidup dalam penggenapan, melainkan dalam penantian akan penggenapan tersebut. Ini sebabnya Adven Kristen tidak cuma satu tapi tiga; ada menanti kedatangan Kristus dalam masa lalu, yaitu dalam inkarnasi-Nya, dalam Natal (kita sudah bahas minggu lalu), ada menanti kedatangan Kristus dalam masa yang sekarang, dalam pekerjaan Roh-Nya hari ini melalui Gereja dan kehidupan sehari-hari; ada menanti kedatangan Kristus dalam masa yang akan datang, dalam kemuliaan-Nya, dalam hari-hari terakhir. Past, present, future. Saudara lihat, kita memang adalah umat yang hidupnya bukan diisi dengan penggenapan, kita adalah umat yang justru hidup dalam penantian –dan betapa kita perlu diingatkan akan hal ini.
Minggu lalu kita membahas bagaimana kita belajar menanti Natal, dan tidak cepat-cepat langsung merayakannya begitu saja. Alasannya bukan karena kita benci Natal, kita bukan benci perayaan, kita bukan benci segala sesuatu yang berbau selebrasi, kita bukan orang-orang Kristen asketis yang menjauhi pesta dan sukacita (kita ingat dalam khotbah Epifania, Yesus sendiri mengungkapkan kemuliaan-Nya pertama-tama dalam pesta perkawinan, bukan penguburan). Jadi kenapa kita menunda Natal? Karena problem kita justru sering kali sebenarnya kita tidak siap untuk merayakan sukacita Natal. Kita tidak siap untuk bersukacita akan kabar kedatangan Kristus, inkarnasi-Nya ke dunia, sampai kita disadarkan kebutuhan kita akan Dia. Itulah gunanya/fungsinya Adven. Masa persiapan sembilan bulan kehamilan, itu sangat penting bagi kelahiran; maka merayakan Natal tanpa persiapan, adalah seperti menceraikan kelahiran dari kehamilan. Bayangkan kalau hari ini Saudara tahu dirimu hamil lalu besok langsung anaknya lahir, tidak ada antisipasinya, mungkin sukacitanya juga tidak ada.
Saudara ingat, waktu pergantian gembala sidang di gereja kita, dari Pendeta Billy ke saya, ada masa transisi satu tahun. Itu masa penantian. Saya tidak tahu Saudara merasakan apa, mungkin juga Saudara cuek-cuek saja, mungkin Saudara merasa ‘ngapain perlu satu tahun, langsung saja’, dsb., tapi setidaknya bagi saya itu masa yang krusial, masa persiapan. Itu suatu privilege di GRII, karena banyak pendeta/vikaris lain yang disuruh memimpin sebuah gereja langsung begitu saja, datang langsung memimpin, sementara bagi saya masih ada satu tahun masa transisi –bahkan bisa dibilang sembilan tahun melayani bersama Pendeta Billy sebelum pergantian itu terjadi. Dan, mungkin itulah yang menyebabkan transisi tersebut bisa berjalan cukup smooth, karena baik Saudara maupun saya ada waktu untuk bersiap-siap, ada waktu untuk menanti.
Hari ini kita melanjutkan mengenai aspek yang kedua dalam Adven, yaitu kita menanti pekerjaan Kristus di masa yang sekarang, masa sehari-hari kita, dari pekerjaan Roh-Nya, dan khususnya melalui Gereja. Ini aspek Adven yang mungkin paling jarang dibicarakan dari ketiga aspek Adven, dan mungkin jadinya paling perlu dibicarakan. Pembacaan Alkitab hari ini dari bacaan Alkitab Adven Minggu ke-2 tahun 2024.
Saudara ingat film Zootopia? Ini film animasi yang menggambarkan suatu dunia di mana semua pekerjaan manusia dikerjakan oleh dunia binatang. Salah satu momen paling menarik dalam film tersebut, adalah ketika binatang yang menjalankan urusan Samsat SIM dan STNK yaitu binatang sloth, yang geraknya luambaaattt… banget, mengetiknya satu-satu, dan sangat lambat gerakannya. Ini salah satu momen yang paling lucu, paling nendang dalam film tersebut, karena kita semua punya pengalaman seperti itu, nungguin birokrasi yang super lelet. Dan, dalam hidup kita sering kali kita merasa seperti ini terhadap penantian, kita merasa penantian itu seperti nungguin sloth kerja di Samsat; menanti/menunggu itu rasanya tidak ada artinya, bikin depresi, dan ujung dari yang dinantikan itu akhirnya ‘gak worth it juga, ‘gak worth it kebosanannya dan segala tetek bengek yang harus kita tanggung.
Cerita yang lain yaitu kisah Gulliver, manusia normal yang nyasar ke suatu daerah yang ditinggali makhluk-makhluk kecil bernama liliput. Awalnya Gulliver dan para liliput ini saling curiga, namun lama-kelamaan mereka saling mengamati, dan dari situ mereka mulai belajar untuk hidup bersama. Satu hal yang menarik, Gulliver ini sering mengecek jam-nya. Para liliput memperhatikan hal ini, dan mereka menarik satu konklusi, bahwa jam tersebut –karena sangat diberi perhatian oleh Gulliver– pasti adalah allahnya Gulliver. Ini menarik, karena ini adalah cara pengarang kisah Gulliver, yaitu Jonathan Swift, mengomentari masyarakatnya sendiri yang pada waktu itu sangat terobsesi dengan waktu, yang sangat terobsesi dengan efisiensi, yang senantiasa terburu-buru –yang senantiasa mengecek jam. Kalau logika yang sama kita terapkan pada kita hari ini, maka allah kita adalah smartphone dan gadget kita. Inilah kita. Kita adalah manusia yang senantiasa berusaha untuk mengontrol waktu. Kita benci sekali kalau kita stuck kena macet. Jangankan stuck kena macet, bahkan kalau kita ketemu di jalan tol orang-orang yang lane hogging, itu menyebalkan banget.
Baru saja tadi pagi saya mengalaminya; jalan tol kosong tapi jalur tengah dan kiri ada truk, lalu di jalur kanan ada mobil yang jalannya 40 km/jam di jalan tol, lane hogging –dan itu menyebalkan sekali. Karena apa? Karena kita adalah orang-orang yang benci menanti. Kita sering kali mendengar orang yang klakson-klakson di tengah-tengah kemacetan, dan kita mikir ‘buat apa sih klakson-klakson, cuma bikin tambah bising, ‘gak bikin jadi gerak, cuma mau tumpahin kekesalan’, tapi mungkin realitasnya adalah: beda antara kita dengan mereka hanyalah bahwa klakson mereka kedengaran keluar sedangkan kita klakson dalam hati –kita juga tidak sabar dengan kemacetan. Kita ini anak zaman yang hidup di zaman serba instan, yang membuat kita berpikir kitalah yang harusnya mampu mengendalikan waktu.
Kita hidup dengan ilusi bahwa waktu adalah sesuatu yang ada di bawah kontrol kita, sedikit banyak karena kita ini bukan petani, kita tidak perlu menunggu musim menuai, kita tidak perlu menanti musim menabur. Kita tidak perlu menunggu kekeringan selesai, kita tidak perlu menunggu hujan datang. Kita bukan bidan, maka kita tidak perlu menunggu bayi terlahir. Kita punya listrik, jadi kita tidak perlu stuck menunggu berakhirnya kegelapan malam. Yang ironis dalam kehidupan kota hari ini, yaitu kita sering kali baru sadar bahwa waktu bukanlah dalam kontrol kita ketika kita dapat vonis dari dokter berapa lama tersisa waktu kita, atau kita mendengar orang yang kita kasihi mendapatkan vonis seperti itu. Saudara, itu sebabnya dalam hidup kita, waktu adalah sesuatu yang kita berusaha untuk mengendalikan, me-manage, dan ujungnya sering kali kita kesal karena merasa waktu kita kurang. Kita adalah orang-orang yang lupa, atau bahkan tidak lagi mampu, untuk menanti. Tetapi, Saudara lihat realitasnya jelas, problemnya bukanlah waktunya, problemnya adalah kita tidak sadar bahwa kita tidak bisa mengontrol waktu, kita tidak sadar bahwa seluruh hidup manusia memang diisi dengan penantian.
Kita hidup menunggu orang lain. Kita hidup menunggu pertolongan. Kita hidup menunggu pemulihan. Kita hidup menunggu hari-hari kita, bahkan hari kematian kita. Dan bagi umat Tuhan lebih lagi, kita menantikan Raja kita datang dalam kemuliaan-Nya, kita menantikan kebangkitan tubuh dan hidup yang kekal. Sekali lagi, faktanya jelas bahwa manusia –apalagi umat Tuhan– memang hidup dalam penantian. Kita memang hidup dalam masa perantaraan, masa already and not yet, masa di mana Yesus sudah datang dan masih akan datang kembali. Kita hitup di tengah-tengahnya. Kita hidup dalam masa penantian. Namun inilah problem kita, yaitu kita senantiasa memberontak, kita sebisa mungkin kepingin ngebut, kita kepinginnya SKS, kita kepingin sebisa mungkin memasukkan lebih banyak hal lagi ke dalam hari-hari kita yang sudah penuh. Kita ‘gak sabaran. Saya ini kalau memasak harus precise, maka saya merebus telur pun pakai timer, waktunya 5 menit sampai air mendidih, dan timer akan berbunyi. Namun saya menemukan bahwa diri saya akan beberapa kali mengecek timer yang belum bunyi itu; hanya 5 menit doang, saya bisa bolak-balik ke dapur dua tiga kali, ‘gak sabaran.
Saudara lihat, kita kesal dengan macet-macetan karena macet mengingatkan kita bahwa waktu tidaklah dalam kendali kita. Kita tidak suka ini, karena kita tidak sabaran dan kita kepingin kebahagiaan sekarang. Kita mau pemenuhan dan penggenapan sekarang. Itu sebabnya menarik untuk tahu apa sebenarnya akar dosa, sebagaimana dikatakan seorang teolog, Hans Urs von Balthasar. Kalau ditanya ‘apa akar dosa’, mungkin banyak orang Kristen menjawab bahwa akar dosa adalah pride, kesombongan, tidak mau jadi manusia, maunya jadi Tuhan. Tapi bagi Balthasar, akar dari dosa sebenarnya adalah ketidaksabaran. Balthasar mengatakan, semua ketidaktaatan, esensinya adalah: mau keluar dari batasan waktu. Adam dan Hawa tidak mau menunggu bijaksana Tuhan datang pada waktunya, mereka mau pengetahuan akan apa yang baik dan jahat itu langsung sekarang juga. Di balik ini, ada satu teologi palsu, yaitu kita ingin percaya bahwa kitalah penguasa-penguasa waktu, bukan Tuhan. Yang menarik, Balthasar lalu mengatakan, jika dosa adalah keinginan untuk melampaui batasan waktu, maka berarti keselamatan yang Tuhan bawa, pemulihan dari keadaan yang berdosa dan rusak, adalah: kita harus kembali rela masuk ke dalam keterbatasan waktu. Bagi Balthasar, keselamatan berarti: kita beralih/meninggalkan/bertobat dari hasrat untuk melompat masuk ke dalam kekekalan, dan malah belajar untuk membuat rumah kita di dalam batasan waktu. Kesabaran seperti ini, kata Balthasar, adalah esensi dasar Kekristenan. Inilah kemampuan untuk menanti, menunggu, bertahan, endure; kemampuan untuk menahan diri dari melampaui apa yang jadi batasan baik yang Tuhan berikan. Dilatih bukan untuk jadi super hero yang mendobrak di depan, melainkan dilatih menjadi domba yang bisa dituntun.
Membaca ini, saya jadi ingat apa yang saya pelajari waktu menulis tesis saya. Tesis saya bicara mengenai seorang tokoh bernama Jeremy Begbie. Dia seorang musikus tapi juga teolog. Dia ini unik, karena dia bukan cuma bertanya pertanyaan-pertanyaan yang biasa ditanyakan oleh orang-orang yang menelaah dua bidang ini. Kalau kita menelaah teologi dan musik, biasanya kita tanya pertanyaan-pertanyaan mengenai apa yang teologi bisa bawa bagi musik, bagaimana kita tahu musik yang secara teologis beres atau tidak beres, apa pengaruh dan kontribusi teologi yang benar bagi musik, dst. Tapi Begbie menanyakan arah yang sebaliknya, yaitu apa yang musik bisa bawa bagi teologi, apa yang musik bisa bawa sebagai kontribusi terhadap dunia teologi. Untuk menemukan jawabannya, Begbie pertama-tama bertanya ‘apakah sesuatu yang unik pada musik, yang tanpanya, musik bukan musik’. Begbie bertanya ini, karena kalau Saudara mau belajar dari sesuatu, Saudara harus tanya, apa yang unik dari barang tersebut.
Saudara tentu tahu Harvard Business School itu salah satu sekolah bisnis MBA yang amat sangat terkenal, tapi kalau misalnya Saudara mau masuk ke sana, Saudara harus tahu apa uniknya sekolah tersebut. Belum lama ini saya membaca, orang mengatakan Harvard Business School itu sukses bukan karena dosennya, bukan karena kurikulumnya –meskipun tentu dosen dan kurikulumnya bagus; waktu orang melakukan survey terhadap para lulusan Harvard Business School yang bisnisnya bagus dan sukses, ternyata bisnis mereka itu lahir dari koneksi mereka dengan sesama mahasiswa yang mereka jalin ketika sekolah di sana. Benar juga ya, karena di mana lagi tempat yang cocok untuk menjalin koneksi-koneksi bisnis, di Harvard Business School inilah berkumpulnya orang-orang dari mancanegara, orang-orang yang elit, yang mampu, yang mapan, yang begitu pintar. Untuk menjalin koneksi bisnis, di sinilah memang tempatnya. Inilah keunikan sekolah tersebut. Menarik, ya. Jadi kalau Saudara mau belajar sesuatu, Saudara harus tahu keunikannya di mana.
Kembali ke Begbie, itu sebabnya Begbie bertanya ‘apa yang unik dari musik’. Jawabannya ada banyak, tidak cuma satu, tapi kita cuma akan bahas satu saja, yaitu Begbie menemukan bahwa musik ternyata baru jadi musik karena ada waktu. Musik barulah jadi musik kalau ada relasi yang intens dengan waktu. Musik tidak bisa eksis di luar waktu, musik tidak membawamu keluar dari waktu; paling banter, musik cuma membawamu perasaan atau pengalaman waktu yang sedikit berbeda. Itu saja. Tapi musik tidak membawamu keluar dari waktu, karena musik membutuhkan waktu. Musik tidak bisa dipercepat, musik tidak bisa diperlambat. Kalau Saudara lagi tidak ada waktu, cuma punya waktu luang 2 detik, lalu Saudara kepingin mendengarkan lagu Taylor Swift kesukaanmu, Saudara tidak bisa cepetin ‘kan. Misalnya, saya cuma punya waktu 2 detik, jadi lagu Taylor Swift dicepetin, ‘brrrrtttt’ selesai, lalu lega sudah mendengarkan Taylor Swift hari ini; tidak bisa begitu ‘kan. Saudara juga tidak bisa melakukan yang sebaliknya. Misalnya, saya punya waktu luang 12 jam, tapi kalau saya ulang-ulang lagu Taylor Swift favorit itu, lama-lama bosan juga, saya cuma mau dengar satu kali saja, jadi saya strecth, perlambat, sehingga lagu yang tadinya 4 menit itu jadi 12 jam. Tidak bisa begitu juga ‘kan. Saudara tidak akan bisa menikmati musik dengan cara seperti itu, musiknya tidak bakal terdengar seperti musik juga anyway.
Musik harus diterima dalam waktu, musik tidak bisa diterima secara instan. Musik membutuhkna waktu. Musik juga sangat intens hubungannya dengan waktu, karena setiap nada harus keluar dalam momen waktu yang tepat. Kalau Saudara geser sedikit saja, lagunya langsung berubah. Contohnya, lagu “Be Still for the Presence of The Lord” yang hari ini kita nyanyikan, kita menyanyinya dengan tempo begini:

Sekarang saya coba geser sedikit saja waktu-nya jadi begini:

Lagunya masih tetap sama, saya cuma geser waktu-nya sedikit saja, tapi karakternya jadi beda sekali. Inilah musik. Musik ternyata baru jadi musik ketika musik sangat time dependent, sangat erat berkaitan dengan waktu, tidak terlepas dari waktu. Dan ini berarti kenikmatan musik dan keindahan musik juga merupakan sesuatu yang datang dari waktu, dan melalui waktu. Kenikmatan dan keindahan musik bukan datang dari kekekalan, tapi justru datang dari ke-“waktu”-an.
Dari sini, Saudara bisa kebayang bagaimana Berbie melihat kontribusi dan aplikasi musik bagi teologi kita, karena teologi kita –bukan Alkitab– senantiasa pro kekekalan, dan senantiasa curiga terhadap kesementaraan, berhubung kesementaraan itu bagi kita identik dengan kefanaan, dengan maut, dsb. Kalau SMA bisa dua tahun, kenapa harus tiga tahun?? Barang yang sebentar lagi busuk, kita dapat diskon! Dulu waktu di Melbourne, saya senang banget dapat Indomie satu karton dengan harga murah sekali, lalu setelah saya beli, saya baru sadar seminggu lagi expired, mampus saja kalau harus makan Indomie 40 bungkus dalam seminggu, bisa-bisa saya yang expired. Itulah yang terjadi, Saudara. Kalau kita disuruh mencari hal-hal di dunia ini, kita senantiasa disuruh mencari hal-hal yang ada nilai kekalnya; itu teologi kita, tapi di Alkitab tidak seperti itu.
Di Alkitab, waktu, temporalitas, kesementaraan, keterbatasan manusia dalam waktu, itu bukan muncul karena dosa. Sadarkah Saudara akan hal itu? Waktu, itu bukan mulai dihitung setelah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, yang begitu buah tersebut dipegang langsung klik mulai waktu 0001, 0002, dst.; tidak demikian. Bahkan penciptaan pun dilakukan di dalam bingkai waktu –hari pertama, hari kedua, hari ketiga, “Jadilah petang, jadilah pagi”. Jadi, kenapa kita hari ini secara otomatis mengaitkan waktu dengan kefanaan?? Ternyata tidak harus, ‘kan. Lewat musik, kita mendapatlkan satu model/contoh yang riil bahwa waktu dan relasi dengan waktu yang sangat intens, malah bisa melahirkan kenikmatan, keindahan, harmoni. Dengan demikian, next time ketika kita memikirkan waktu dalam kacamata Kristiani, kacamata teologis, kita jadi sadar jangan langsung mengidentikkan waktu dengan kefanaan sebagai kembar siam; mereka mungkin mirip, tapi mereka tidak sama. Mungkin keberadaan kita dalam waktu, bisa menjadi sesuatu yang good di hadapan Tuhan. Mungkin pembatasan kita dalam waktu adalah pembatasan yang baik yang Tuhan berikan dari kebaikan-Nya; mungkin itu pembatasan yang kita tidak perlu merasa harus melampaui atau menerobos. Mungkin SMA 3 tahun itu tidak masalah. Mungkin anak-anak tidak harus dipaksa cepat-cepat jadi orang dewasa. Mungkin apa yang instan, tidak harus baik. Mungkin sesuatu yang pakai waktu yang lama, itu malah justru positif. Dan seterusnya, dan sebagainya. Saudara akan tahu ini kalau Saudara belajar musik, maka saya merekomendasikan semua anak untuk belajar musik, baik ada talenta maupun tidak, karena tidak ada cara lain yang lebih baik dari ini untuk mengajarkan kesabaran pada seorang anak. Seorang anak latihan piano, tangga nada terus bertahun-tahun, kalau dia menjalankannya selama 7 tahun, 8 tahun, dan dia melihat kilas balik hidupnya, dia akan sadar signifikansi dari kesabaran dan penantiannya. Adakah cara lain yang lebih bagus? Silakan kalau ada.
Namun tentunya tidak semua dari kita belajar musik, jadi bagaimana? Ayat bacaan kita tadi, di ayat 5-6 mengatakan: “Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini. Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.” Ini bicara mengenai waktu. Yang menarik, terpikirkah Saudara, bagaimana caranya Allah kita memulai dan meneruskan pekerjaan baik itu, memulai dan meneruskan Injil itu kepada kita, mendatangkan/ menghadirkan diri-Nya, Injil-Nya dalam hidup kita pada hari ini? Salah satu caranya adalah dengan lewat macet-macetan. In some sense pengalaman macet-macetan itu sesuatu yang kita bisa lihat dalam kacamata Kristiani, sesuatu yang Tuhan sedang pakai untuk membawa kita menyadari kondisi dasar kita sebagai manusia, bahwa memang kita hidup dalam masa perantaraan koq, memang kita sudah berangkat tapi belum sampai. Kita adalah makhluk-makhluk yang memang sedang menanti. Namun tentu bukan cuma itu saja, ini momen yang pas untuk kita merenungkan mengenai Kalender Gereja; bukan cuma macet-macetan yang Tuhan pakai, tapi Kalender Gereja, pekerjaan Roh Kudus dalam Gereja –Adven aspek yang kedua.
Saudara, sadarkah bahwa Gereja bukan hanya punya ruang sendiri tapi juga punya waktu-nya sendiri? Gereja, pada hari Minggu tidak sekadar dipanggil untuk meninggalkan ruang-ruang duniawi dan berkumpul dalam satu ruangan yang ilahi; Gereja juga dipanggil untuk tidak mengikuti aturan-aturan waktu yang dunia buat –musim liburan, musim back to school, musim liburan, musim kawin– yang dibuat manusia bukan karena ada sesuatu hal yang riil tapi simply biasanya buat jualan barang. Tish Warren bilang, di Amerika dia tinggal di Texas, jadi tidak ada salju, tapi waktu Natal tetap saja orang-orang di Texas bikin snowman putih, hanya saja snowman ini terbuat dari papan kayu yang dicat putih. Jadi itulah alasannya dunia mengingat dan merayakan Natal, yaitu supaya bisa jualan snowman papan kayu kepada orang-orang di Texas. Bagi dia, itu absurd –dan tunggu saja sampai dia datang ke Indonesia, negara tropis yang orang-orang berlomba-lomba cari fake snow untuk ditaruh di pohon bohongan yang sebenarnya tidak tumbuh di iklim kita.
Saudara, inilah sebabnya Gereja dipanggil untuk menghidupi Kalender Gereja, karena dalam Kalender Gereja, waktu menjadi sesuatu yang kudus, sakral; waktu –dan bukan cuma ruangan– menjadi tempat kita beribadah. Dan, waktu Gereja –Kalender Gereja–adalah sebuah kisah/narasi yang kita ini hidup di dalamnya. Narasi apa? Narasi yang simpel contohnya: setiap Minggu kita mementaskan ulang drama di mana Allah mencipta dan beristirahat; dan kita bukan cuma menonton, tapi ikut serta mementaskan ulang hal tersebut. Setiap tahun kita juga mementaskan/ menceritakan ulang kisah Yesus –Adven, Natal, Epifania– kisah di mana umat Allah menanti Mesias dan kita ikut menanti bersama mereka, kisah di mana umat Allah menerima kelahiran-Nya dan kita pun menerima bersama dengan mereka, kisah di mana ke-mesias-an Kristus dinyatakan/diungkapkan pelan-pelan kepada dunia yang menanti dan kita juga bersama-sama melihat serta mengungkap hal itu. Demikian pula Lent, Paskah, Pentakosta, adalah narasi Yesus yang dicobai, menderita di dunia yang rusak, kematian-Nya, kebangkitan-Nya, kenaikan-Nya, kedatangan Roh-Nya bagi Gereja. Inilah cerita yang kita hidupi tahun demi tahun, minggu demi minggu dalam Kalender Gereja.
Namun bukan cuma narasi ini yang ada dalam Kalender Gereja, narasi yang mungkin sebenarnya paling terselubung tapi salah satu yang paling esensial dalam Kalender Gereja, adalah narasi umat yang menanti. Itu sebabnya kalau kita setiap tahun hanya mengingat Natal, atau Jumat Agung, atau Paskah, itu tidak bisa dibilang menjalankan Kalender Gereja, karena Kalender Gereja yang proper tidak pernah cuma sebagai alat untuk menandai hari-hari perayaan saja. Justru esensi Kalender Gereja adalah pada masa-masa atau musim-musim di antara perayaan-perayaan tersebut, karena dalam Kalender Gereja selalu ada musim penantian/persiapan sebelum perayaan. Sebelum Jumat Agung dan Pasakah, ada musim Lent 40 hari berpuasa. Sebelum Natal ada Adven 4 minggu. Kalender Gereja, sebelum feast selalu ada fast. Inilah Kalender Gereja. Masa-masa persiapan inilah esensi Kalender Gereja, di mana Gereja diajak untuk menanti, meratap, merenung, bertobat, karena kita tidak siap untuk merayakan hari perayaannya sampai kita melihat bahwa kita ini, serta dunia ini, rusak dan tidak utuh; dan ini datang dari mana? Ini datang tidak lain dan tidak kurang dari Gereja. Ini pun pekerjaan Tuhan, ini pun kehadiran Tuhan dalam hidup kita yang kita perlu sadari, yang kita perlu nantikan.
Kemarin kita sudah mengatakan, sebagai persiapan Natal kita perlu Adven karena sering kali Natal terlalu cepat datang; dalam aspek Adven yang kedua ini, kehadiran Kristus dalam hidup kita, melalui Gereja, kita perlu renungkan exactly karena kebalikannya, yaitu kita sering kali terlalu lambat menangkap aspek ini, bahkan kita sering kali tidak sadar akan tangan Tuhan di balik hidup Gereja kita, hidup keseharian kita –sebagaimana kita sudah bahas terus dalam seri Ordinary Time yang lalu.
Waktu, itu bukan dalam kendali kita. Kita sesungguhnya hidup disapu masuk ke dalam waktu. Waktu adalah pemberian Tuhan, ruang yang Tuhan berikan untuk kita bisa menyembah Dia melaluinya. Itulah sebabnya kita butuh Gereja dan kalendernya untuk mengingatkan kita akan realitas ini, bahwa waktu bukanlah sesuatu yang kita kendalikan, dan bukan juga untuk kita consume. Waktu bukan milik kita, tidak berpusat pada kita; waktu berpusat kepada Tuhan. Itulah yang diajarkan pelan-pelan oleh Kalender Gereja kepada kita, yaitu agar waktu dalam hidup kita distrukturkan kepada diri Tuhan, narasi Tuhan, apa yang Dia telah lakukan, sedang lakukan, dan akan lakukan.
Ketika tadi Pak John Prawiro sharing mengenai NREC tanggal 1 Januari, mungkin Saudara baru tahu alasannya pakai tanggal tersebut adalah supaya lebih gampang ambil cuti, hanya dua hari, lagipula masih tahun baruan. Tapi waktu kita mendengar NREC diadakan awal tahun, sejujurnya apa respons kita? Bahkan saya merasa ‘aduuhhh… kenapa sih tanggalnya jelek banget’ –kenapa masa liburan-ku diambil untuk Tuhan?? Saudara lihat apa yang terjadi di sini? Siapa batu penjuru waktu dalam hidupmu?
Saudara, hidup Kristen adalah hidup yang menanti, karena bagi orang Kristen waktu mempunyai Kristus sebagai sokogurunya, sebagai batu penjurunya. Itu sebabnya kita sangat membutuhkan ritme-ritme Kalender Gereja, karena sesungguhnya ini sedang melatih kita, memaksa kita, untuk meng-orientasikan ulang waktu dalam hidup kita ke masa depan kita yang paling sejati. Kalender Gereja tidak remeh, Kalender Gereja tidak kurang dari suatu pembentukan ulang (baca: reformasi) terhadap bagaimana kita selama ini menghitung waktu secara duniawi. Saudara harusnya expect nothing less terhadap Gereja dalam hal ini. Dan, kalau Saudara tidak mau melepaskan kendali atas waktu kepada Kristus, hati-hati, pikir lagi, karena Kristuslah yang membuat kita sungguh bisa menanti waktu dengan pengharapan, bukan dengan putus asa (despair). Paulus mengatakan, “Jika kita mati dengan Kristus, maka kita juga akan dibangkitkan bersama dengan Kristus”. Apa yang mengubah kematian menjadi kebangkitan? Kehadiran Kristus di tengah-tengah itu. Kalau Saudara menolak Kristus sebagi batu penjuru dari waktumu, maka waktu bagimu tidak akan berujung pada kebangkitan, waktu bagimu hanyalah dari debu kembali menjadi debu. Pikir lagi, sebelum engkau menolak Dia jadi Raja atas waktumu, karena ini bukan main-main.
Namun tentunya Injil bukan ancaman, Injil adalah kabar baik. Dan, justru ketika kita menyerahkan waktu kita kepada Kristus, ketika kita meng-orientasikannya kembali kepada Kristus, maka kita menemukan segala kebaikan waktu tersebut di-unlock bagi kita. Ini ada hubungannya dengan tema Ordinary Time, maka saya contek lagi dari buku “Liturgy of the Ordinary” Tish Warren, bab yang bicara tentang menanti dan menunggu (yang kita belum bahas), di situ ada dua contoh yang sangat baik. Contoh yang pertama, dari pelayananTish di antara anak-anak yang homeless, anak-anak yang abused. Setiap minggu dia merasa beban pelayanan di antara anak-anak seperti itu berat sekali, setiap minggu ada saja yang bunuh diri, setiap minggu ada saja yang melakukan kekerasan dan kecanduan, setiap minggu mereka menemukan satu lagi efek dari neglect atau abuse yang sudah tahunan yang tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Saya jadi ingat ketika Pemuda melakukan mercy ministry di Tanah Merah, dan sempat sharing di rapat pengurus. Mereka memperhatikan bahwa di antara anak-anak pemulung yang mereka layani, anggaplah dari 10 anak yang mereka layani, ada 1-2 anak yang itu-itu lagi, yang seperti tidak bisa tanggap, seperti susah sekali fokus entah kenapa, padahal anak-anak yang lain bisa. Setelah diselidiki, ternyata anak-anak itu pernah ada gejala penyakit tertentu waktu kecil, yang tidak ditangani dengan baik, sehingga setelah besar jadi stunting baik secara fisik dan juga secara mental, mau diperbaiki pun sudah susah. Ini hasil dari bertahun-tahun yang tidak bisa ada solusi sehari selesai, bertahun-tahun dibereskan pun tidak tentu bisa balik. Inilah realitas melayani di tempat-tempat seperti itu.
Namun demikian Tish merasa dalam komunitas seperti ini, dia malah menemukan perayaan-perayaan yang paling terasa utuh, paling intens sukacitanya. Kalau ada yang ulang tahun di antara anak-anak itu, perayaannya bisa seharian, dan sukacitanya benar-benar genuine, tidak kayak kita hari ini yang WA “happy birthday” di grup, yang sebenarnya cuma satu dua orang yang ingat tapi yang lain ikut-ikutan karena jaga mukalah ya. Dalam konteks pelayanan Tish tidak demikian, kalau ada anak yang mencapai satu milestone tertentu, misalnya bersih dari narkoba sebulan saja –benar-benar cuma sebulan– mereka tidak tanggung-tanggung merayakannya. Mereka hidup di tengah-tengah penderitaan, tapi somehow kehidupan seperti itu malah melatih mereka menjadi pestawan yang lebih sejati, orang-orang yang bisa lebih berpesta daripada kita. Perayaan dan canda tawa mereka itu sejati, justru karena lahir dari penantian yang lama, yang intens.
Contoh yang kedua, Tish punya seorang teman bernama Jan, dan Jan ini kanker kronis sehingga hidupnya basically diisi dengan penantian demi penantian. Hidup Jan senantiasa isinya soal menunggu dokter, menunggu hasil lab, menunggu treatment demi treatment, menunggu pemulihan; bahkan kadang Jan merasa dia menunggu sesuatu yang dia sendiri tidak tahu. Jan ini suka melukis. Salah satu lukisannnya yang Tish lihat di rumahnya, dan Tish merasa aneh, yaitu lukisan abstrak dengan warna-warna dan tekstrur yang padat, yang lucunya di tengah-tengahnya ada lubang kunci. Melihat lukisan ini, Tish merasa sedang berdiri di depan pintu yang misterius, gatal banget ingin melihat apa yang ada di baliknya, ingin membuka itu; dan Jan bilang, memang itu tujuannya. Itu adalah lukisan yang Jan bikin pada masa dia benar-benar bergumul untuk bertahan setia berharap kepada Tuhan, ketika dia merasa ‘hidup saya koq menanti dan menanti dan menanti terus, tidak habis-habisnya seperti ini’. Jan ingin orang yang melihat lukisannya itu, bisa merasakan sedikit pengalamannya, yang menunggu, menanti, tidak bisa melihat apa yang ada di balik lubang kunci itu, gatal rasanya karena mengharapkan sesuatu tapi entah mengharapkan apa, ‘gak jelas!! Namun hal lain yang Jan katakan, lukisan itu melambangkan juga satu kesadaran yang dia dapat belakangan. Dia selama ini pikir dirinya sedang menunggu suatu pemberian dari Tuhan, tapi akhirnya dia mulai sadar bahwa penantian itu sendiri pun merupakan pemberian dari Tuhan.
Saudara, bagi Tish –dan bagi kita juga mungkin– menunggu di depan pintu ‘gak jelas seperti itu bisa bikin gila. Tapi bagi Jan, itu mengungkapkan hasil dari latihan yang diberikan Tuhan kepadanya bertahun-tahun akan apa artinya menunggu dan menanti dengan sabar, yaitu untuk menyadari bahwa dunia ini memang lebih luas daripada apa yang kita bisa lihat, bahwa perspektif kita memang terbatas di sisi sini, kita tidak bisa melihat sesuatu di balik pintu yang kita tidak tahu apa, tapi bukan berarti itu tidak ada.
Waktu Allah itu sempurna, tepat, baik; dan ketika kita menanti tanpa bisa melihat pun, tidak berarti tidak ada yang sedang dikerjakan di balik pintu itu. Tanah yang sedang menanti ditabur, tidaklah diam, tidaklah statis. Ada sesuatu yang sedang dikerjakan namun kita tidak bisa melihatnya. Ada segala jenis bakteri yang sedang berkembang biak, bergerak ke sana kemari, makan, menghasilkan zat ini dan itu. Ini bersatu padu dengan angin, matahari, air hujan, yang pelan-pelan sedang mempersiapkan tanah, menggemburkan tanah, untuk kembali bisa ditanami. Kita tidak bisa melihat itu, namun bukan berarti itu tidak ada. Itu sebabnya Tertulian, seorang Bapa Gereja, mengatakan: kunci kesabaran Kristiani bukanlah endurance, bukan stamina ala pelari marathon; kunci kesabaran Kristiani adalah pengharapan (hope). Orang yang tidak mampu menanti, adalah orang yang sebenarnya tidak punya pengharapan. Hidup yang berpengharapan, itu senantiasa memandang ke depan, kepada masa depan yang dikerjakan Tuhan, yang kita tentu tidak bisa melihat; dan tanda dari orang seperti ini adalah: dia bisa menanti serta merindukan.
Di sisi lain, orang yang hidup dengan penantian dan pengharapan Kristiani, bukan berarti jadinya pasif, cuek terhadap kerusakan dunia. Iman Kristen bukanlah iman yang karena fokus pada yang di sana maka tidak lagi fokus pada yang di sini, cuek terhadap segala kerusakan, karena ‘toh semua air mata pada akhirnya akan dihapus ‘kan, jadi ya sudah, lu sekarang menangis pun bodo amat, itu air mata palsu, nanti juga dihapus!’ Tidak demikian, Saudara. Orang yang seperti itu justru orang yang tidak lagi menanti, karena dia sudah mengepak koper, sudah tidak bisa lagi menunggu waktunya meninggalkan dunia ini dan beralih ke dunia yang akan datang. Itu bukan orang yang sedang menanti.
Saudara, kita bisa melihat hal ini dalam satu episode kehidupan Tuhan Yesus sendiri, yaitu ketika Ia membangkitkan Lazarus dari kematian. Dia berhadapan dengan sebuah tragedi. Dia menemui Marta dan Maria, saudara-saudara Lazarus; mereka berkata: ‘Tuhan, Kamu di mana dalam semua ini?’ Marta dan Maria mengatakan kalimat yang pada dasarnya sama: ‘sekiranya Kamu di sini, Tuhan, saudaraku pasti tidak mati’; dan coba perhatikan bagaimana Yesus merespons hal ini. Merespons Maria, Yesus hampir tidak bisa berkata-kata, Dia cuma bisa mengatakan, “Di mana kamu baringkan dia?” lalu ayat berikutnya mengatakan dengan sangat singkat –salah satu ayat yang paling singkat di Alkitab tapi sangat dalam– yaitu: maka menangislah Yesus. Ini mengejutkan bagi kita, aneh, karena harusnya dalam menghadapi situasi tersebut Yesus punya dua hal yang Saudara dan saya tidak punya. Yang pertama, Dia tahu kenapa dan untuk apa semua ini terjadi, Dia tahu bahwa sebentar lagi –mungkin tidak sampai setengah jam– Dia akan mengubah tangisan jadi decak kekaguman dan ketakjuban, Dia akan menyatakan kemuliaan Tuhan lewat kebangkitan Lazarus. Kalau kita menghadapi tragedi, kita tidak punya pengetahuan seperti itu; tapi Yesus punya. Jadi kenapa Dia tetap menangis?? Hal kedua yang Dia punya dan kita tidak punya adalah: Dia punya kuasa. Dia bisa do something, Dia bisa membangkitkan Lazarus –dan Dia memang akan membangkitkan Lazarus, sementara Saudara dan saya tidak bisa. Tapi Yesus tetap menangis. Kenapa ya? Kenapa Dia tidak langsung masuk saja dengan senyam-senyum, he, he, tunggu aja deh bentar…. tungggu sampai lu lihat.
Kalau kita bisa melakukan sesuatu untuk memutar balik situasi tragis, kita tidak akan termakan dengan dukacita, kita tidak akan tenggelam dalam isak tangis serta ratapan, tapi kenapa Yesus seperti itu? Jawabannya adalah karena Dia sempurna, karena Dia adalah kasih, maka Dia tidak akan pernah menutup hati-Nya terhadap dukacita orang lain, meskipun cuma untuk setengah jam. Yesus tidak mengatakan, “Ah, ‘gak ada gunanyalah Saya merasakan perasaan-perasaan mereka”; Yesus masuk. Di sini kita belajar satu hal –hal yang mungkin kita sudah tahu tapi tetap perlu dikatakan– yaitu bahwa dalam hidup orang Kristen yang baik, yang saleh, ada tempat untuk tangisan dan ratapan. Yesus itu manusia yang sempurna, tidak berdosa, tidak bercacat cela; dan di sini Dia menangis dalam dukacita. Ini berarti tangisan dan ratapan bukan tanda satu hal yang kurang rohani, tangisan dan ratapan bukan tanda jiwa yang tidak dewasa, bukan tanda orang yang tidak berserah kepada Tuhan. Orang-orang yang mirip dengan Yesus bukanlah orang-orang yang tidak berdukacita. Orang-orang yang mirip dengan Yesus adalah orang-orang yang justru mampu untuk masuk ke dalam dukacita orang lain, mampu untuk menangis bersama dengan orang yang menangis. Ini hal yang pertama, Tuhan kita itu Tuhan yang menangis.
Namun mungkin poin yang lebih penting, yang lebih sinkron dengan khotbah kita hari ini, mengenai kenapa Yesus menangis, kenapa Yesus tahu apa yang akan terjadi dan Dia tetap menangis, saya percaya adalah justru karena Dia punya pengharapan, justru karena bagi Yesus harusnya tidak begini, justru karena bagi Yesus maut itu musuh, karena ini musuh yang suatu hari akan dimatikan, karena musuh ini tidak akan jadi kata terakhir. Harusnya tidak begini! maka Dia menangis, maka Dia meratap. Orang meratap/menangis, justru karena punya pengharapan, bukan karena tidak punya pengharapan.
Ini akan lebih jelas kalau kita membayangkan satu skenario berikut ini. Tadi kita membayangkan satu keadaan macet-macetan yang membuat kita kesal. Kenapa kita kesal? Karena kita tidak senang dengan keadaan kita sekarang. Kenapa kita tidak senang dengan keadaan kita sekarang? Karena kita punya tujuan, kita punya pengharapan untuk sampai ke tujuan tersebut; dan kemacetan bukanlah tujuan itu, makanya kita kesal, makanya kita tidak bisa merasa nyaman dengan “kenyamanan-kenyamanan” picisan yang ada dalam kemacetan tersebut. Kita tidak menghibur diri dengan mengatakan, “Oh ya, untung AC masih jalan”, karena pengharapan kita lebih besar daripada itu. Pengharapan kita adalah untuk bisa sampai ke tujuan, itulah yang mendorong kita untuk maju terus kepada realitas tersebut meskipun tersendat-sendat, meskipun cuma sedikit-sedikit jalan maju dan maju.
Sekarang bayangkan skenarionya jika kita melupakan tujuan tersebut. Bagaimana jikalau semua orang di tengah kemacetan tersebut melupakan dan meninggalkan tujuan mereka, melepaskan komitmen mereka untuk mencapai tujuan-tujuan mereka dan percaya bahwa cuma kemacetan inilah yang kita miliki? Yang terjadi adalah: orang-orang mulai keluar dari mobil, ada yang mulai pasang tenda, ada yang mengeluarkan gitarnya, ada yang mengeluarkan barbeque dari bagasi mobil, ada yang bawa makanan dan mulai masak, ada yang mulai main kartu, karena ‘kan tidak ke mana-mana, tidak ada tujuan, yang penting kita bikin diri senyaman mungkin, “karena jika Yesus tidak dibangkitkan, marilah kita makan dan minum, karena besok kita akan mati, koq”, demikian Paulus mengutip orang. Tapi tentunya tidak berhenti di situ, karena rasa aman dan nyaman seperti ini tidak bertahan lama. Orang-orang akan mulai merasa insecure, karena kalau memang cuma punya ini tok, ini sumber daya yang sangat terbatas. Yang bikin barbeque mulai kewalahan ketika makin banyak orang yang datang makan, akhirnya dia mulai menyembunyikan bahan-bahan makanannya. Orang-orang lain pun mulai notice, dan mereka saling berebutan. Akhirnya ada yang mulai berantem. Ada yang mulai ambil bensin orang lain. Ada yang mencuri aki dari satu mobil ke mobil yang lain karena itulah yang bisa bikin AC tetap menyala. Akhirnya mobil-mobil ini bikin wilayah dengan geng masih-masing, lalu mulai terjadi tawuran untuk memperebutkan sumber daya, mulai ada mobil yang penyok, yang terbakar, yang hancur. Inilah cerita manusia, Saudara. Inilah manusia-manusia yang kehilangan tujuan, kehilangan pengharapan, lupa bahwa kehidupan itu bukan hanya ini saja.
Saudara lihat, kenapa kita meratap dan menangis dalam dunia ini, kenapa kita perlu meratap dan menangis dalam dunia ini? Karena itulah tandanya bahwa kita punya pengharapan, karena itulah tandanya bahwa kita punya tujuan, bahwa kita tidak puas dengan kenyamanan-kenyamanan pinggir jalan yang ditawarkan dunia hari ini. Kita mendambakan dan merindukan dunia yang akan datang. Itu sebabnya kita tidak mungkin merasa nyaman dengan kemacetan. Itulah justru tandanya seseorang yang berpengharapan. Itulah yang normal dan wajar bagi seorang Kristen. Sadarkah Saudara? Kita tidak akan jadi orang-orang yang cuek, pasif. Kita akan berjuang untuk bisa menghasilkan keadilan, keteraturan, dalam dunia yang macet. Kita akan berusaha mendorong maju sedikit demi sedikit, karena kita percaya realitas yang Tuhan berikan bukan cuma ini. Itulah pengharapan Kristiani.
Semoga kita boleh bersama-sama menyadari akan hal ini. Semoga kita menyadari bahwa kita bukan cuma sedang bergerak menuju kepada suatu realitas, kepada seseorang, tapi juga menyadari bahwa Orang tersebut yang telah bergerak menuju kepada kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading