Kita sedang dalam masa Adven; dan dalam studi saya mempersiapkan seri ini, saya makin terpesona dengan Adven, sampai-sampai saya tidak terlalu yakin apakah saya bisa membawa Saudara melihat juga apa yang telah diperlihatkan Alkitab kepada saya, namun kita tetap akan mencoba. Pada dasarnya studi tersebut membuat saya menyadari bahwa menghayati Adven tidaklah gampang, perlu latihan; dan di sisi lain, setelah kita terbiasa dengan Adven, kita tidak akan mau melepaskannya juga tradisi ini.
Dalam khotbah pertama seri ini, kita sudah melihat Adven bukanlah membicarakan Natalnya sendiri, tapi membicarakan dan mengajak kita untuk menyadari kebutuhan kita akan Natal. Kalau Saudara pikirkan ini baik-baik, maka berarti tema-tema dalam Adven tidak akan pernah berbicara hal-hal yang berbau positif, yang mengangkat, yang happy, karena ketika Saudara bicara mengenai “kebutuhan” itu selalu berarti bicara mengenai “kekurangan” –makanya butuh. Ketika Saudara bicara mengenai “kebutuhan”, itu berarti akan bicara mengenai “dosa” –makanya butuh keselamatan. Ketika Saudara bicara mengenai “kebutuhan”, itu berarti akan bicara mengenai “kegelapan” –makanya butuh terang. Inilah Adven. Adven selalu dimulai dalam kegelapan.
Kita tahun ini mulai mencoba bikin tradisi “Lilin Adven”. Lilin Adven dinyalakan satu per satu setiap minggunya; dan sebagai orang Kristen kita terbiasa pikir aspek positifnya, aspek “naik”-nya, yaitu makin lama makin terang, lilin Adven-nya makin lama makin banyak yang menyala. Namun Saudara perlu menyadari, jika lilin Adven dinyalakan secara bertahap seperti itu, bukankah itu berarti Adven selalu dimulai dalam kegelapan? Itu sebabnya teks-teks yang biasa dipakai Gereja dalam minggu-minggu Adven menurut Kalender Pembacaan Alkitab, selalu teks-teks yang ada karakter “gelap” ini. Kita akan membaca salah satunya yaitu dari Yesaya 64:5-9; dan bayangkan bahwa bagian ini bukan hanya dibaca sekali-sekali melainkan setiap kali Adven dimulai, setiap tahun. Apa isi ayat-ayat ini? Ini adalah ayat-ayat yang bicara mengenai dosa manusia, mengenai murka Tuhan; dan ini adalah teks Adven klasik. Ayat-ayat terkenal ini senantiasa dibacakan tahun demi tahun, tidak cuma sekali-sekali; setiap kali Adven dimulai, jemaat gereja-gereja tradisional di seluruh dunia membaca ayat-ayat ini. Betapa jauh ya, dari ekspektasi kita mengenai Adven. Ayat-ayat ini bukan cuma bicara mengenai dosa manusia, kegelapan dalam hidup manusia, kenajisan manusia, murka Tuhan –bukan cuma itu– tapi lihat di ayat 7, bahwa Allah adalah Allah yang menyembunyikan wajah-Nya terhadap kita! Ini masa yang begitu gelap. Adven dimulai di dalam kegelapan. Itu sebabnya gereja-gereja yang masih memegang tradisi Adven, biasanya jemaatnya akan terbagi dua dalam Musim Adven. Yang satu akan mengatakan, “Di mana ya, dekorasi Natalnya?” –karena gereja-gereja yang masih menjalankan tradisi Adven tidak akan menghias pohon Natal sampai dengan Malam Natal– mereka juga akan mengatakan, “Mana lagu-lagu Natalnya? Kenapa ayat-ayat Alkitabnya bicara mengenai dosa, penghakiman, murka Tuhan? Bukankah ini bulan Desember??” Kelompok yang satu lagi, yang lebih tua dan lebih terbiasa dengan tradisi Adven, mereka melihat semua hal yang sama tersebut, mengangguk-angguk, dan hanya mengatakan, “Inilah masa Adven; memang seperti ini.”
Adven bukanlah suatu liturgi di mana Gereja mengantisipasi Natal saja, tapi sebuah liturgi di mana Gereja sesungguhnya juga menunda Natal. Selagi dunia di luar Gereja makin penuh dengan lampu-lampu Natal dan glitter-glitter-nya, dengan lagu-lagu Natal yang diputar di mana-mana, “Have Yourself a Merry Little Christmas”, Gereja yang merayakan/menjalankan Adven justru adalah Gereja yang dimulai dengan kegelapan. Kenapa? Kenapa Adven berusaha menunda Natal? Jawabannya: justru untuk benar-benar bisa mengalami sukacita Natal ketika waktunya tiba, justru untuk membuat kita menyadari bahwa makna dan signifikansi Natal akan jadi sangat murahan jika kita tidak sudi menghadapi kegelapan yang datang sebelum Natal.
Seorang pendeta Anglikan –jadi termasuk tradisi yang lebih peka dengan ritme-ritme Kalender Gereja dibandingkan kita– pernah bercerita, waktu kecil dia bingung kenapa teman-temannya sudah menghias pohon Natal dan pasang dekorasi-dekorasi berbau Natal di rumah mereka, tetapi dalam keluarga dia ada kebiasaan bahwa mamanya, seorang Anglikan yang saleh, melarang mereka menghias pohon Natal atau memasang dekorasi berbau Natal, sampai pada malam Natal. Dia ketika itu bertanya kepada mamanya, kenapa demikian; dan mamanya menjawab, “Natal harusnya datang dengan tiba-tiba.” Saudara, Natal sebenarnya tidak kurang dari intervensi Allah terhadap dunia yang gelap, yang tidak mempunyai harapan sama sekali, yang satu-satunya kemungkinan jalan keluar hanyalah ketika ada sesuatu yang datang dari luar, dari atas, yang datang secara tidak disangka-sangka, tidak disadari, bahkan tidak dikenal, di malam yang gelap di dalam sebuah palungan. Di balik keenganan untuk merayakan terlalu cepat, di balik keinginan untuk menunda Natal, bukanlah karena Gereja membenci Natal tapi justru supaya bisa merayakan Natal dengan tepat. Untuk bisa merayakan Natal dengan tepat, perlu penantian ini, perlu perenungan akan masa gelap ini, perlu kesadaran akan ketidakmampuan dan ketidakberdayaan manusia ini.
Bukankah sering kali ketika kita melihat Natal ala dunia, kita rasa itu terlalu murahan, terlalu dangkal? Itu karena mereka hanya mengambil sisi “terang” dari Natal, dan menolak bertatapan muka dengan “kegelapan” yang membutuhkan Natal. Itu sebabnya komunitas Kristen yang sejati menolak penghiburan Natal yang dangkal, menolak kebahagiaan Natal yang sekadar sentimental belaka –dan inilah sebabnya perlu Adven. Selagi kota-kota di dunia dipenuhi dengan terang-terang lampu Natal, Gereja justru memulai Adven dalam kegelapan. Saya ingin kita belajar akan hal ini.
Omong-omong, ini bukan polemik terhadap pohon Natal kita. Saya sendiri baru mendalami Adven sejauh ini sekarang, jadi ini bukan urusan salahnya siapa bikin pohon Natal sejak sekarang, dsb.; kalau Saudara mau salahkan seseorang, salahkan saya, karena saya juga bertanggung jawab dalam hal ini, saya harusnya tahu lebih banyak mengenai hal ini tapi somehow saya tidak belajar mengenainya sampai sekarang. Mungkin tahun depan kita akan mencoba lebih membawa hal ini dalam ritme gereja kita, kita menunda perayaan-perayaan sampai pada momennya. Tapi hari ini bukan itu poin kita; poin kita hari ini adalah saya ingin mengajak kita melihat dan menyadari warna Adven yang sesungguhnya, menyadari signifikansinya kenapa hal ini diperlukan.
Pertama, kita musti mengkonfrontasi dulu seberapa Adven ‘gak nyambung dengan spirit kita hari ini. “Engkau adalah Allah yang menyembunyikan wajah-Mu terhadap kami”, demikian teks Adven; dan perikop tadi sering kali disebut sebagai ratapan komunal di dalam Alkitab yang paling powerful. Kenapa ini ratapan komunal? Karena bagian Kitab Yesaya ini, setting-nya adalah masa di mana Israel mengalami keputusasaan dan ketidakberdayan, mereka baru saja kembali dari pembuangan. (Yesaya hidup sebelum pembuangan; murid-muridnya membagi nubuat-nubuat Yesaya, dan menempatkan nubuat-nubuat sebelum pembuangan, nubuat-nubuat penghiburan di dalam pembuangan, tapi juga nubuat-nubuat yang lahir setelah mereka kembali dari pembuangan). Ketika Israel baru saja kembali dari pembuangan Babel, kota kafir yang nun jauh di sana, kembali ke tanah Israel, mereka menemukan kondisi yang begitu menyedihkan. Yesaya 64:10-12, “Kota-kota-Mu yang kudus sudah menjadi padang gurun, Sion sudah menjadi padang gurun, Yerusalem sunyi sepi. Bait kami yang kudus dan agung, tempat nenek moyang kami memuji-muji Engkau, sudah menjadi umpan api, maka milik kami yang paling indah sudah menjadi reruntuhan. Melihat semuanya ini, ya TUHAN, masakan Engkau menahan diri, masakan Engkau tinggal diam dan menindas kami amat sangat?” Saudara tentu bisa mengerti maksudnya. Di satu sisi mereka menerima, bahwa bisa terjadi seperti ini adalah akibat pemberontakan mereka sendiri, akibat penghakiman Tuhan atas mereka; tapi disisi lain, mereka juga merasa Allah lalu memalingkan muka-Nya terhadap mereka. Inilah teks Adven.
Saudara, betapa sulitnya kita sebagai Gereja modern menghayati ratapan-ratapan seperti ini, karena bait kita –rumah kita– tidak jadi umpan api, milik kita yang kudus dan yang indah tidak menjadi reruntuhan, bahkan banyak dari kita yang rumahnya semakin besar dan semakin bagus. Waktu kita melihat ayat-ayat seperti ini, kita sulit untuk nyambung, kita mengatakan Tuhan tidak meninggalkan kita koq, sepanjang tahun –betul-betul sepanjang tahun– dan kesaksian saya sendiri, di tempat ini saya lebih sering menerima orang-orang yang datang kepada saya dan mengatakan, “Pak Jeth, Tuhan itu baik, Tuhan melakukan ini dan itu bagi saya tahun ini”, dan seterusnya. Itu sebabnya kita perlu bertanya, di mana tempatnya ratapan seperti tadi dalam hidup kita, kenapa ratapan seperti ini sangat diperlukan?
Konon di New York, di Stasiun Grand Central, stasiun yang sangat tua, tempat-tempat duduk di hall-nya penuh dengan orang-orang homeless, orang-orang geladangan –tidak seperti stasiun MRT Singapura yang sangat fresh. Satu hal yang menarik, di dalam Stasiun Grand Central tersebut pernah dikerjakan suatu renovasi, yaitu membuat lantai kedua berupa balkon di atas lantai pertama, karena lantai pertama sudah penuh sekali dengan orang-orang gelandangan. Lantai baru ini isinya kafe, bar, dsb., dan Saudara harus bayar kalau mau ke situ. Jadi kalau Saudara bayar sekitar 5 dolar untuk kopi atau yang lain, Saudara bisa duduk tinggi di atas –di atas orang-orang geladangan itu– dan Saudara tidak perlu bersentuhan dengan kesengsaraan mereka. Pada dasarnya ini adalah gambaran yang agak tepat untuk mengungkapkan satu godaan yang sering kali muncul bagi Gereja di tengah-tengah dunia, yaitu: kita, Gereja, sering kali somehow berpikir bahwa menjadi orang Kristen adalah menjadi orang-orang yang telah diangkat keluar, naik di tempat yang lebih tinggi di atas manusia-manusia pada umumnya yang sengsara itu. Tapi ini bukan Theologi Salib sama sekali. Ini bukan theologi Alkitab; ini theologi sukses. Bukan theologi sukses versi orang-orang Kharismatik radikal, melainkan sesuatu yang juga ada versi Injilinya, yang urusan utamanya cuma “menerima Yesus sebagai Juruselamat pribadimu maka engkau akan menerima jawaban atas doa-doamu, maka engkau akan mendapat keyakinan keselamatan, maka engkau akan bebas dari Aids –karena gereja yang sejati tentunya menolak LGBT dan kawan-kawannya– engkau akan bisa mengetahui kehendak Allah atas hidupmu”, dsb., sebagaimana yang seringkali dijanjikan banyak gereja Injili.
Satu contoh sederhana yang mungkin bisa membuat kita lebih menghayati ini. Kalau Saudara lihat trend Kekristenan pada hari ini, gereja-gereja di Barat mulai isinya cuma rambut putih, dan gedung-gedung gereja mulai dijual; sementara di Asia dan Afrika Kekristenan berkembang pesat, sehingga katanya — bahkan dari tahun 2020– wajah manusia yang lebih mewakili Kekristenan global tidak lagi wajah-wajah pria Barat berkulit putih melainkan wajah seorang wanita Afrika. Melihat trend Kekristenan di seluruh dunia secara global seperti ini, apa responsmu? Bukankah sering kali retorika di gereja adalah untuk kita merayakan pekerjaan Tuhan di Asia dan Afrika, dan kemudian meratapi pekerjaan setan di dunia Barat? Kira-kira seperti itu; bahwa di Barat kegelapan makin banyak, sementara terang Tuhan telah pindah ke Asia dan Afrika, kaki dian telah pindah, mari kita rayakan sama-sama. Namun saya membaca tulisan seseorang yang justru terbalik; dia mengajak kita berpikir, kemunduran Kekristenan yang dialami dunia Barat hari ini, itu datang dari mana? Bukankah kemunduran ini justru datang karena dunia Barat pernah dan telah berkembang pesat Kekristenannya? Jadi kemerosotan ini justru datang dari puncak zaman keemasan, di mana hampir semua orang Barat adalah orang Kristen; itulah yang akhirnya berujung dengan kemerosotan pada hari ini. Mereka adalah benua-benua yang telah mengalami perkembangan Kekristenan yang pesat, sebagaimana yang sedang dialami Asia dan Afrika hari ini. Dengan demikian, kalau Asia dan Afrika hari ini sedang mengalami perkembangan Kekristenan yang begitu pesat, maka sebegitu confident-nyakah bahwa masa depan Asia dan Afrika akan somehow beda dengan apa yang telah terjadi di Barat? Sebegitu confident-nyakah kita bahwa sejarah tidak akan berulang? Itu pertanyaan pertama yang dilontarkan penulis ini. Yang kedua, dia mengatakan, bahwa di Barat Kekristenan menyusut, Kekristenan mulai menjadi suara marjinal, Kekristenan tidak lagi memegang mayoritas, Kekristenan sudah menjadi suara pinggiran sekarang, itu bagus, karena itu lebih mirip dengan kondisi Gereja-mula-mula. Membaca ini, saya kaget, benar ‘gak sih kita ini ”di lantai dua”? Atau jangan-jangan kita menipu diri, kita sedang menghidupi theologi-theologi sukses versi Injili.
Saudara, inilah masa Adven. Masa Adven mempertanyakan dengan amat sangat theologi-theologi sukses, bahkan yang versi Injili. Godaan untuk orang Kristen menempatkan diri sebagai warga kelas atas, sebagai warga balkon lantai dua, itu sama sekali tidak bisa dipertahankan dalam musim Adven! Karena inilah masa di mana di dalam Gereja –yaitu orang-orang yang berpikir bahwa mereka telah dijanjikan kelimpahan, orang-orang yang mengafirmasi identitas sebagai kaum pilihan–justru Adven dimulai dalam kegelapan. Ini berarti mempertanyakan dan menyadari, sesungguhnya dunia yang kita hidupi itu seperti apa.
Ayat-ayat dari Yesaya tadi ditulis beradab-abad yang lalu, tapi sesungguhnya sejarah dunia terus saja menambah catatan-catatan mereka sendiri ke dalam suara Yesaya, yang sinkron dengan suara Yesaya. Kalau saja kita membuka telinga dan mata kita, kita akan sadar hal ini. Tahun 1996, di Belgia seorang anak perempuan 12 tahun diculik oleh seorang pedofil, disekap di rumahnya 4 bulan, diperkosa berkali-kali, dan akhirnya mati karena tidak diberi makan. Dalam acara penguburannya, sang pastor tangannya gemetar, sambil dia bertanya di depan jemaatnya sendiri, “Apakah Tuhan yang baik adalah juga Tuhan yang tuli?!” Ini pertanyaan Adven.
Satu lagi contoh teks Adven dari koran-koran, yaitu peristiwa jatuhnya pesawat Pan Am Flight 103 yang meledak di atas Lockerbie, Skotlandia, beberapa puluh tahun silam. Salah seorang istri korban lalu diwawancara; dia mengatakan, malam sebelum suaminya berangkat dengan pesawat naas itu, dia berdoa untuk kepulangan suaminya, tapi yang terjadi adalah suaminya mati. Sang istri tersebut kemudian mengatakan, “Saya berubah pandangan terhadap Tuhan; saya tidak marah kepada Tuhan, saya juga tidak membenci Dia, tapi saya takut terhadap-Nya.” Saudara, ini adalah juga kalimat Adven. Inilah musim di mana kita merenungkan murka Tuhan dan juga absence Tuhan, ketiadaan Tuhan dalam dunia ini, kegelapan dalam dunia ini.
Satu lagi contoh teks Adven yang lebih kontemporer bagi kita, yaitu perang Israel dan Hamas. Beberapa hari ini saya membaca semakin banyak bukti-bukti bahwa dalam serangan 7 Oktober yang lalu, bukan cuma warga Israel diculik dan dibunuh, tapi banyak yang diserang secara seksual. Ditemukan mayat-mayat yang tidak bisa lagi dikenali ini pria atau wanita hanya dengan melihatnya, karena bagian genitalia-nya sudah begitu dirusak. Dan, ini bukan cuma terjadi satu sisi, karena di sisi Palestina, di rumah-rumah sakit Palestina, bayi-bayi mereka bukan cuma mati tapi teronggok membusuk karena sudah kewalahan rumah sakitnya, tidak ada listrik, tidak ada obat! Inilah teks-teks Adven; “Engkau adalah Allah yang menyembunyikan wajah-Mu terhadap kami, di mana Tuhan??”
Saudara lihat sekarang, di awal tadi saya mengatakan tidak yakin bisa mengajak Saudara menghayati Adven, ini karena ternyata seperti itulah Adven, dan kita sebagai umat tidak terbiasa mendengar Allah yang seperti ini, apalagi di bulan Desember, apalagi di masa-masa menjelang Natal. Liturgi kita dalam bulan Desember adalah liturgi membangun fantasi, liturgi di mana kita lebih senang mendirikan istana-istana pasir yang dihias dengan lilin-lilin, lampu-lampu, malaikat-malaikat kecil. Tapi inilah tepatnya kenapa Adven perlu diingat, karena inilah kebohongan dan ilusi mengenai kerohanian yang sedang ditolak habis-habisan oleh Gereja yang menjalankan Adven. Musim Adven, bukanlah musim bagi pengecut-pengecut.
Satu lagi contoh dari koran belum lama ini, ada berita mengenai seorang ayah di Indonesia yang menyekap keempat anaknya sampai mati. Saya pernah membaca seorang penulis lain yang mengatakan, kenapa sih kita sebagai masyarakat lahap sekali menelan berita-berita seperti ini; dan dia menulis, “Sedikit banyak karena kita, manusia, tidak mau menghadapi kegelapan-kegelapan yang ada dalam hati kita, maka kita mencari tokoh-tokoh bejat (seperti misalnya ayah tadi), untuk kita bisa memproyeksikan kemarahan kita terhadap dia –yang sebenarnya kemarahan kita terhadap kegelapan dalam hati kita sendiri– lalu kita mengunci mereka dan membuang kuncinya.” Dengan kata lain yang dikatakan penulis ini, bahwa sering kali alasannya kita mencari berita-berita seperti itu adalah karena kemarahan kita sebenarnya seperti kemarahan Daud mendengar cerita Nabi Natan mengenai seorang kaya yang merampas domba tetangganya yang miskin. Daud marah mendengar cerita itu dan “menjatuhkan hukuman mati” terhadap orang tersebut. Ini hukuman yang berlebihan, karena di dalam Taurat, kalau Saudara merampas maka hukumannya adalah membayar 4 kali lipat, dan bukan dengan nyawa Saudara. Dalam hal Daud ini, ada beberapa komentator yang mengatakan alasannya Daud bisa sebegitu marah besar dan menjatuhkan hukuman yang kelebihan, yaitu karena Daud secara tidak sadar sesungguhnya sedang menolak marah terhadap dirinya sendiri berhubung memang itulah dosanya, dia sendirilah yang telah mengambil istri Uria. Itulah dosanya. Dosanya sendiri inilah yang Daud tidak mau konfrontasi, sehingga akhirnya dia marah kebablasan terhadap orang lain yang berdosa. Saudara, inilah yang ditolak oleh semangat Adven.
Semangat Adven mengajak kita untuk berani mengintip ke dalam kegelapan dunia ini, meski kita sadar kita bisa menemukan diri kita di dalamnya. Itu sebabnya Yesaya mengatakan, hal yang manusia anggap paling bersih, hal yang manusia anggap paling tinggi, yaitu kesalehan kita, itu sesungguhnya terpelintir dan kotor, itu cuma seperti kain haid. Adven bukan mengajak kita untuk menunjuk jari kita terhadap dosa orang lain, melainkan kepada dosa kita sendiri. Itu sebabnya Adven mengatakan bahwa spirit Natal yang otentik/asli tidak pernah memalingkan matanya dari kegelapan dan kematian, sebaliknya menghadapinya di muka (head on), karena jika tidak, berita Natal menjadi murahan. Adven dimulai dalam kegelapan.
Kalau Saudara somehow masih tidak menyadari tempat “Adven yang gelap” ini dalam hidup kita, ada satu petunjuk lagi yang bisa membantu kita, yaitu dengan menyadari teks Yesaya tadi adalah sebuah ratapan komunal/keumatan. Tidak seperti Kekristenan modern, Alkitab tidak pernah bersifat individualistis; Alkitab senantiasa bersifat komunal/keumatan. Ketika Gereja mengeluh bersama-sama dengan Yesaya, “Engkau, Allah, telah menyembunyikan wajah-Mu dari kami”, ini adalah dalam spirit solidaritas. Di dalam sebuah keumatan, satu menderita maka semua menderita. Komunitas yang menderita, mengerti hal ini. Dalam sebuah umat yang sedang menderita –seperti halnya rakyat Israel atau Palestina atau Ukraina– tidak ada lagi ‘kan tempat di balkon untuk para individu-individu menempatkan diri di sana dan melihat ke bawah. Tidak semua orang dalam komunitas tersebut kondisinya sama, tapi yang terjadi adalah: mereka yang kondisinya lebih baik, turun ke bawah, berdiri bahu-membahu dengan mereka yang menderita. Dalam komunitas umat yang sedang menderita secara komunal, tidak ada yang bebas, sampai semuanya bebas, tidak ada yang safe, sampai semuanya safe. Kita mungkin perlu belajar hal ini, dan itu sebabnya kita butuh Adven; karena dalam sebuah komunitas yang meratap, tidak penting seberapa saya sebagai individu merasa hidup saya sedang naik dan sedang disertai Tuhan, jika dalam komunitas saya ini masih ada orang lain yang meratapi Tuhan yang tersembunyi. Dengan demikian sebagai seorang Kristen, tempat saya dalam hidup ini bukanlah senantiasa menikmati sinar surgawi, melainkan duduk berlutut dalam pertobatan dan doa, bahu-membahu dengan mereka. Inilah masa Adven.
Kalau hal ini masih tetap ‘gak nyambung dengan kita, coba kita cek lagi bayangan/gambaran kita mengenai “balkon lantai dua” itu. Coba Saudara berimajinasi sedikit, seakan-akan Saudara berada di New York, di Grand Central Station, dan Saudara melihat orang-orang di lantai dua. Sekilas, orang-orang di lantai dua ini keadaannya lebih baik dibandingkan para gelandangan di bawah. Baju mereka lebih baik, dompet mereka pasti lebih terisi, hidup mereka lebih ada purpose, mereka lebih ada pekerjaan, dsb. Tetapi waktu kita melihat ke sekeliling lantai dua itu, memperhatikan lebih detail, kita toh tetap menemukan di lantai dua itu misalnya seorang pria yang duduk sendirian dan jelas dalam kondisi mabuk. Kita melihat ada seorang wanita paruh baya yang dandanannya terlalu menor, suaranya terlalu keras, kelihatan banget sedang berusaha keras untuk pedekate. Ada juga seorang pria lebih tua yang duduk termenung sendirian, memandang tembok dengan tatapan kosong. Ada anak-anak muda yang masih di bawah umur sedang merokok, dan wajah mereka kelihatan sakaw. Ada pasangan suami istri yang sedang bertengkar. Ternyata di lantai dua pun kita tidak menemukan bahwa segala sesuatu oke dan matahari bersinar. Jadi sekali lagi, coba Saudara baca perkataan Yesaya tadi, “Sesungguhnya, Engkau ini murka, sebab kami berdosa; terhadap Engkau kami memberontak sejak dahulu kala. Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain haid; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin. Tidak ada yang memanggil nama-Mu atau yang bangkit untuk berpegang kepada-Mu; sebab Engkau menyembunyikan wajah-Mu terhadap kami, dan menyerahkan kami ke dalam kekuasaan dosa kami.”
Saudara, ternyata orang-orang di lantai dua –orang-orang yang hoki, orang-orang yang beragama– sesungguhnya tidak menikmati privilege yang sebegitunya. Itu sebabnya sikap yang tepat bagi semua orang dalam masa Adven adalah sikap pengakuan dosa dan pertobatan. Semua orang! Bukan cuma para teroris Hamas, bukan cuma para imperialis Rusia, bukan cuma para jendral perang Israel. Sikap yang tepat bagi semua orang Kristen hari ini –bukan cuma mereka yang gelandangan– adalah berkata lirih di hadapan Tuhan, “Ya TUHAN, janganlah murka amat sangat dan janganlah mengingat-ingat dosa untuk seterusnya! Sesungguhnya, pandanglah kiranya, kami sekalian adalah umat-Mu.” Adven dimulai di dalam kegelapan.
Namun ini tentu bukan akhir kisahnya. Satu hal yang menyentil kita, bahwa dalam semua komplain umat Israel akan Tuhan yang menyembunyikan wajah-Nya, komplain-komplain tersebut bagaimanapun juga ditujukan dan diserukan kepada Tuhan –yang katanya mangkir itu– dibawa di hadapan Tuhan –yang tersembunyi itu. Satu hal yang aneh, bahwa meskipun Tuhan seperti sedang hilang, umat-Nya senantiasa malah terus berseru kepada-Nya, memanggil nama-Nya, meski untuk menyampaikan protes mereka. Ratapan Yesaya tersebut, kalau Saudara baca bahkan dari pasal 63, justru dimulai dengan afirmasi karakter Tuhan, dengan daftar tindakan-tindakan Tuhan yang besar di masa lampau. Demikianlah permulaan ratapan tersebut. Saudara lihat, di dalam momen keputusasaan inilah baru ada semacam ekspektasi yang lahir, suatu harapan baru yang muncul justru di di tengah-tengah tidak adanya pengharapan. Suatu ke-ngotot-an bahwa Allah harus melakukan sesuatu, malah lahir di sini. Inilah dinamika musim Adven, yaitu hidup di tengah-tengah dua tarikan ini. Di satu sisi Tuhan seperti tidak terlihat, tidak hadir, tapi somehow justru ketidakhadiran inilah yangmembuat umat-Nya makin intens mengingat kembali apa yang telah Tuhan lakukan, dan dengan demikian membuat umat-Nya makin mengharapkan sesuatu terjadi di masa depan. Dalam arti tertentu, Saudara melihat bahwa di dalam ketidak hadiran Tuhan seperti inilah maka ada semacam kehadiran Allah –dan inilah Allah yang sejati. Inilah sebabnya kita perlu Adven. Kita perlu belajar akan Allah seperti ini.
Allah yang sejati, menurut Alkitab adalah Allah yang menyembunyikan dri-Nya –dan Saudara tidak bisa kabur dari hal ini. Ini bukan sesuatu yang insidental dalam Alkitab, ini bukan sesuatu side effect yang harusnya Tuhan tidak kayak begitu. Gereja justru percaya bahwa sebuah agama/kepercayaan yang senantiasa hanya membicarakan kehadairan Allah, itu justru agama yang palsu, agama yang sudah taken God for granted, yang ujungnya bukan sedang menyembah Tuhan melainkan menggunakan Tuhan untuk melayani keperluan mereka. Saudara sadar akan hal ini, bukan?? Betapa banyak orang yang mengatakan, “O, Tuhan senantiasa besertaku”, dan Saudara rasa ada something wrong dengan mereka –karena realitasnya tidak seperti itu, karena Tuhan tidak seperti itu. Ratapan Yesaya mengajarkan sesuatu yang berbeda, yaitu kalau Allah menyembunyikan diri-Nya, ini adalah Allah yang sejati, inilah justru Allah Alkitab. Ini berarti apa? Ini berarti Gereja memang tidak bisa menguasai Allah, Gereja memang tidak bisa mengontrol kehadiran Allah yang seperti ini. Itulah Allah yang sejati, Allah yang mengontrol kehadiran-Nya sendiri. Satu hal yang lucu, bahwa lewat ketersembunyian Allah inilah kita menyadari Dia adalah Allah yang sejati. Blaise Pascal mengatakan, “Iman yang tidak mengakui ketersembunyian Allah, adalah iman yang palsu dengan allah yang palsu.” Saudara lihat, di dalam Allah menyembunyikan diri-Nya, adalah justru supaya Dia boleh membuat kita lebih mengenal siapa Dia; karena ketika kita take for granted kehadiran Allah, itu bukan lagi kehadiran yang sejati. Kalau Saudara mulai take for granted kehadiran suamimu, istrimu, anak-anakmu, apa yang terjadi sebenarnya?? Kalau kita tidak rutin mengingat dan menjalankan Adven, maka yang terjadi adalah Gereja menjadi Gereja yang hanya peka kehadiran Allah dalam permukaan tok —ketika Dia menampakkan diri-Nya, ketika Dia melakukan hal-hal yang besar dalam hidup kita.
Dalam suatu pembahasan di PA Pemuda, saya menemukan satu hal yang sangat mencengangkan bagi saya sendiri. Seperti Saudara tahu, kitab yang terutama dalam kitab suci orang Israel (perjanjian Lama), adalah kumpulan 5 kitab, Taurat (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan). Inilah kitab fondasional identitas Israel. Di situlah Saudara melihat kapan mulainya Israel, yaitu dalam peristiwa Eksodus. Inilah bangsa Israel, yang Allah mau mengikat diri-Nya dengan mereka, bukan karena mereka bangsa imperialis besar seperti Mesir, melainkan justru meski mereka bangsa budak yang tidak punya apa-apa, yang cuma bisa menawarkan seruan kepada Tuhan karena penderitaan mereka. Allah mengikat diri-Nya dengan bangsa seperti ini. Inilah cikal bakal Israel, identitas Israel, fondasional. Hukum Tuhan yang sangat fondasional bagi Israel juga diberikan di Kitab Eksodus (Keluaran), dijabarkan di Kitab Imamat, diulang dalam Kitab Bilangan, dan disegarkan kembali untuk generasi yang bari dalam Kitab Ulangan. Itulah tema utama Taurat (Torah). Tapi yang menarik, di dalam 5 kitab fondasional ini di mana identitas Israel dituangkan, kitab-kitab ini berakhir di Kitab Ulangan –dan Kitab Ulangan adalah momen terakhir sebelum Israel masuk ke tanah perjanjian menduduki Kanaan. Pertanyaannya, kenapa berhentinya di situ, kenapa tidak berhentinya di Kitab Yosus, setelah Israel masuk ke tanah perjanjian? Kenapa identitas fondasional Israel tidak melibatkan tanah perjanjian sama sekali? Kenapa identitas fondasional Israel bukanlah identitas seorang pemilik Tanah? Saya tidak pernah terpikir akan hal ini dan baru sadar waktu khotbah dalam PA Pemuda. Saudara bayangkan, seandainya kitab Taurat berakhir di Kitab Yosua –sehingga identitas Israel yang terutama adalah mereka diselamatkan dari bangsa Mesir, dibawa dengan Tangan yang teracung dan kuat, diberikan hukum Allah, dan diberikan tanah perjanjian– maka apa yang terjadi ketika mereka dibuang ke Babel, ketika mereka kehilangan tanah perjanjian mereka? Dan ketika mereka kembali lagi, tanah itu sudah beda, sudah tidak lagi seperti dulu, sudah menjadi umpan api, menjadi reruntuhan?? Saudara menyadari sekarang, kenapa urusan kepemilikan tanah tidak pernah menjadi identitas umat Tuhan dalam Perjanjian Lama? Saya amaze akan hal ini. Israel belajar untuk melihat Tuhan, meskipun mereka tidak punya tanah. Israel belajar untuk melihat diri mereka sebagai umat Tuhan meskipun mereka sedang dalam pembuangan. Itulah pelajaran yang kita lihat dari struktur dasar Perjanjian Lama. Mereka melihat diri mereka terutama sebagai orang-orang yang diselamatkan Tuhan, dan punya hukum Tuhan; bukan terutama sebagai orang-orang yang punya tanah dari Tuhan, karena tanah ini boleh ada, boleh tidak ada.
Saya punya tanah atau tidak punya tanah, itu tidak mengubah identitas saya sebagai umat Tuhan. Amazing! Betapa mudahnya kita ngawur dalam hal ini. Betapa mudahnya kita dalam hidup kita, tidak pernah belajar melihat Tuhan dalam ketidakhadiran-Nya. Inilah sebabnya musim Adven penting. Inilah sebabnya musim Adven adalah tema itu sendiri, dan bukan sekadar persiapan untuk Natal. Ini adalah satu disiplin rohani yang perlu dijalankan oleh Gereja dari tahun demi tahun demi tahun.
Dalam wawancara Katekisasi, hampir selalu saya bertemu dengan satu skenario yang mirip dalam banyak orang. Di situ kita hanya bertanya dua pertanyaan besar. Pertanyaan yang satu, mengenai keumatan seseorang; kenapa kamu masuk gereja ini, kenapa kamu pilih GRII, kamu nanti mau berjemaat dengan cara seperti apa, menurut kamu berjemaat artinya apa –pertanyaan dalam sense yang lebih komunal. Pertanyaan satu lagi bersifat lebih individual; kenapa kamu yakin kamu umat Allah, kenapa kamu yakin kamu orang yang diselamatkan, dari mana kamu tahu bahwa kamu dicintai dan di-take care oleh Allah. Begitu kira-kira pertanyaannya; dan jawabannya tidak bisa cuma doktrinal. Jawaban yang kita cari adalah jawaban-jawaban dari pengalaman. Kebanyakan ketika mereka ditanya, “Kenapa saya yakin bahwa Tuhan adalah pelindung jiwaku, Tuhan sudah memegang jiwaku?” hampir selalu mereka mengatakan, “Karena ada pengalaman-pengalaman dalam hidup saya di mana saya merasakan kehadiran Tuhan.” Itulah yang semua dari kita akan jawab. Tapi saya tidak pernah puas jawaban dalam level seperti itu, saya akan menanyakan, “Bagaimana dengan pengalaman-pengalaman di mana Tuhan tidak hadir dalam hidupmu? Pengalaman-pengalaman ini efeknya apa dalam kerohanianmu?” Karena kalau engkau mengatakan, “Saya yakin saya anak Tuhan ketika saya mengalami kehadiran-Nya”, berarti waktu Saudara tidak mengalami kehadiran-Nya, ketika Ia memalingkan wajah-Nya, ketika Ia menyembunyikan wajah-Nya darimu, apa perasaanmu? Bukankah ini akan menggerus keyakinanmu? Bukankah ini akan menjadi satu momen di mana engkau mengatakan, “Saya bukan lagi anak Tuhan, kalau begini”, sebagaimana yang orang-orang Israel katakan, “Tuhan bukankah kami umat-Mu, kenapa kami kembali dari pembuangan, dan tanah kami begini hancur?” Inilah sebabnya perlu Musim Adven, karena dalam Musim Adven-lah Saudara belajar kehadiran Tuhan bukan cuma dalam kehadiran-Nya tapi juga kehadiran Tuhan dalam ketidakhadiran-Nya.
Wanita tadi, yang meratapi suaminya yang meninggal dalam peristiwa pesawat di Lockerbie, mengatakan, “Saya takut terhadap Tuhan”, tapi ceritanya tidak berhenti di situ. Yang dia lakukan berikutnya adalah sesuatu yang membuat dia sampai diwawancara, yaitu dia bukan duduk sendirian di pojok meratapi nasibnya sebagai seorang janda, melainkan dia malah memberikan dirinya melayani keluarga-keluarga korban pesawat jatuh tersebut, duduk bersama mereka, melayani mereka. Jadi, kalau Saudara tanya, di mana Tuhan dalam peristiwa naas itu, kita tidak bisa jawab, wanita tersebut juga tidak bisa jawab, somehow ini adalah pengalaman yang riil di mana absence of God sangat terasa; namun di sisi lain, Saudara bisa menunjuk kehadiran Tuhan. Di mana? Di dalam iman wanita tersebut. Melalui orang-orang Kristen yang menjalani panggilan mereka untuk turun dan masuk di tengah-tengah orang-orang yang sedang menderita. Di dalam umat Tuhan yang senantiasa berseru dan menggedor-gedor nama Tuhan di kala Ia justru tidak terlihat. Di situlah Saudara menemukan kehadiran Tuhan.
Jika Allah adalah Allah yang menyembunyikan diri-Nya sendiri, kita tahu bahwa Dia tidak akan pernah menyembunyikan diri-Nya tanpa alasan yang sejati. Bahwa somehow, somewhere, di dalam ketidakhadiran-Nya ini, Allah justru punya rencana yang baik di balik itu. Bahwa somehow, somewhere Allah sedang menyiapkan rencana-Nya yang Ia akan genapi pada masa yang tepat. Allah dalam ketidakhadiran-Nya, tidaklah sembarangan, melainkan justru mau mengajar kita untuk bisa peka melihat dan belajar akan kehadiran-Nya dalam ketidakhadiran-Nya, sehingga Saudara menjadi orang Kristen yang lebih realistis, sehingga Saudara menjadi orang Kristen yang jauh lebih kokoh dalam masa diombang-ambingkan ombak, sehingga Saudara menjadi orang yang hidupnya tidak hanya berdasarkan apa yang kelihatan saja tapi berjalan dengan iman. Itu rencana Tuhan. Tuhan hadir lewat ketidakhadiran-Nya. Inilah ketegangan umat Kristen.
Namun satu hal yang menjadikan kita yakin akan hal ini, yaitu ketika kita melihat bahwa di dalam jantung hati Adven adalah proklamasi Natal. Kenapa kita bisa yakin bahwa Tuhan kita tidak pernah sembarangan menyembunyikan diri-Nya? Karena kita melihat dalam peristiwa Natal, Allah tidak bertahan di balkon. Allah tidak bertahan di lantai dua, atau lantai tiga, atau lantai kesekian yang jauh di atas melampaui kesengsaraan ciptaan-Nya, tetapi Ia turun ke tengah-tengah semua itu meskipun tidak ada yang mengenali-Nya, Ia turun ke malam yang gelap, untuk suatu hari naik ke atas bukit yang gelap. Oleh sebab itu, meskipun kita tidak bisa dan tidak sanggup menjawab pertanyaan “di mana Tuhan di tengah-tengah peperangan dunia, di tengah-tengah kebejatan dan kehausan darah manusia, di tengah-tengah tahun-tahun politik, di tengah-tengah kegelapan dunia”, justru dalam ketegangan inilah Saudara dan saya sungguh sejati menghidupi kegerejaan.
Gereja yang menghidupi Adven, adalah Gereja yang sejati. Gereja yang paling gerejawi justru adalah ketika Gereja mengingat dan menjalankan spirit Adven, karena inilah hidup kita; kita hidup dalam masa Adven! Kita hidup dalam masa penantian, masa di mana kita ditarik dari dua arah dengan ketegangan. Masa di mana kita di satu sisi, menanti Tuhan yang akan hadir kembali, yang keadilan-Nya akan menang, yang akan menghancurkan segala kejahatan serta penderitaan sampai selama-lamanya –dan kita percaya ini– meskipun di sisi lain, apa yang nampak di permukaan, apa yang kita baca di koran, tidak mengindikasikan apapun yang mengarah ke sana. Inilah hidup Gereja di masa penantian. Inilah hidup Gereja di masa Adven. Inilah hidup Gereja di zaman perantaraan. Kalau Saudara menghayati Adven, Saudara baru sadar bahwa Gereja tidak pernah “harusnya hidup tanpa kekurangan”, Gereja tidak pernah “harusnya hidup nyaman dan kokoh”. Sadarkan Saudara akan hal ini? Saudara tidak akan mengertinya kecuali Saudara menghayati Adven. Seluruh kehidupan Kristiani kita, sedang kita hidupi di dalam Adven, di dalam ketegangan antara realitas dunia sebagaimana hari ini, dan realitas dunia sebagaimana akan jadi di masa depan. Tegang. Sadarkah Saudara kenapa perlu ada waktu Adven?
Di mana Tuhan dalam peristiwa-peristiwa malapetaka tadi, kita tidak bisa jawab; yang hanya kita bisa tunjuk adalah: di dalam iman orang-orang Kristen yang turun seperti Tuhan mereka, yang masuk di tengah-tengah orang yang sedang menderita dan sedang mempertanyakan “di manakah Tuhan”. Di situlah kita menemukan Tuhan. Pertanyaannya, bagaimana dengan Saudara dan saya, apa yang akan kita lakukan dalam mengingat kedatangan Tuhan kita pada bulan ini? Dengan kesaksian seperti apakah kita akan memproklamirkan kehadiran Tuhan di tengah-tengah dunia yang gelap ini? Ini pertanyaan yang Saudara harus jawab, di hadapan Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading