Kita masuk ke bagian kedua dari Kalender Gereja dalam satu tahun. Sementara topik bagian yang pertama adalah the story of Jesus (the story of Son of God), topik bagian yang kedua adalah the story of people of God (cerita umat Tuhan). Jadi dalam waktu yang kedua ini, yang biasa dinamakan Ordinary Time, kita membicarakan bagaimana kita menghidupi kehidupan berdasarkan cerita Kristus, yang telah kita terima setengah tahun sebelumnya, yang telah kita bahas itu. Ini salah satu keindahan tradisi Kalender Gereja, ada waktu untuk fokus ke atas, kepada Kristus, lalu ada waktu untuk fokus ke bawah; dan dua-duanya itu datang dari Firman Tuhan. Ini menghindari kecenderungan kita, entah secara individualistik ataupun secara komunal, di mana Gereja (orang Kristen) sering kali cuma peka salah satu saja. Ada orang-orang yang lebih kepingin membahas yang praktis, yang nyambung langsung dengan hidup saya, yang saya langsung tahu relevansinya; dan ketika kita memenuhi hidup kita dengan urusan beginian, ironisnya ini bukan menambah praktika tapi malah mengurangi, karena dalam obsesi akan hal-hal yang praktis, kita jadi tidak punya teologi yang dalam, pengertian yang dalam, dan akhirnya praktis-nya juga cuma di permukaan. Di sisi lain, tentu saja ada kecenderungan yang sama salahnya, yaitu kita terfokus dengan teorinya doang, teologi sebagai teori doang –tentunya teologi tidak cuma teori– akhirnya kita mempunyai pengenalan yang sepertinya dalam, namun tidak pernah diejawantahkan dan dihidupi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Kalender Gereja tidak kayak begitu; dalam Kalender Gereja kita punya dua-duanya. Kita punya waktu setengah tahun untuk melihat pada diri Yesus Kristus, lalu setangah tahun untuk melihat pada Tubuh dari Yesus Kristus; dan dua-duanya datang kepada kebenaran Firman Tuhan.
Kita mau bahas apa dalam periode Ordinary Time 2025 ini? Saya ingin memulai suatu eksposisi yang baru, eksposisi satu kitab dari depan sampai belakang, yaitu kitab Daniel. Salah satu alasannya karena dalam 4-5 tahun terakhir saya mengajar mata kuliah Kitab-kitab Nabi-nabi Besar di STT, salah satunya Kitab Daniel; dan ini bukan membuat saya merasa jadi lebih menguasai, tapi dalam 4-5 tahun mengajar itu, setiap tahun saya revisit dan revisit lagi, expand lagi, ganti ini dan itu, sehingga sekarang saya sudah mendapatkan lebih banyak resources dari tulisan orang lain mengenai kitab Daniel, dan dengan demikian saya merasa sudah mulai berdiri di atas bahu-bahu para raksasa-raksasa itu –atau setidaknya jongkok di atas bahu mereka. Itu alasan yang pertama. Alasan yang kedua, karena kitab Daniel sendiri adalah kitab yang sangat pas dengan tema Ordinary Time, mengenai bagaimana menghidupi hidup dalam Kerajaan Allah. Tentunya Saudara familiar bahwa realita kita hari ini, bukanlah bahwa karena kita hidup dalam Kerajaan Allah lantas kita tidak lagi hidup di dunia; kita ini hidup di dunia, dan kuasa-kuasa kerajaan-kerajaan dunia menekan kita, setiap hari kita hidup di bawah tekanan pihak-pihak yang bukan Allah, entah itu kuasa-kuasa presiden, kuasa-kuasa bos di tempat kerja kita masing-masing, atau bahkan kuasa dari tangisan dan rengekan bocil di rumah. Itulah hidup kita. Dan, itulah konteks situasi kehidupan Daniel.
Kitab Daniel adalah kitab yang biasa dinamakan kitab exilic, maksudnya salah satu kitab di antara kitab-kitab seperti Ester dan Yehezkiel, yang bicara mengenai masa pembuangan, bicara kepada orang-orang yang terbuang pada masa exile. Ini adalah zaman Kerajaan Yehuda dideportasi oleh Raja Nebukadnezar dari tanah Israel ke Babilonia. Mereka diangkut dari suatu tempat, yang mulai dari pemerintah, budaya, seni, sampai keluarga, semuanya taat kepada Allah Alkitab –paling tidak secara teoritis– ke Babel, di mana pemerintah, budaya, seni, keluarga, dan semuanya itu menolak dan memusuhi Allah Alkitab. Dengan demikian, pertanyaan yang tak terhindari dalam situasi kondisi seperti ini adalah: bagaimana saya bisa menghidupi hidup yang beriman kepada Allah Alkitab di tengah-tengah dunia yang menolak Allah; bagaimana saya hidup sebagai orang percaya di tengah masyarakat yang seluruh institusinya, budaya, seni, pemerintahannya, bertentangan dengan iman kepada Allah Alkitab. Inilah pertanyaan kitab-kitab exilic, yang Saudara langsung bisa menangkap relevansinya dengan konteks kita hari ini, khususnya koneksinya dengan periode Ordinary Time. Bagaimana kita hidup sebagai murid-murid Kristus, dalam terang yang kita sudah lihat setengah tahun ini, dari kelahiran-Nya, kemuliaan-Nya, penderitaan-Nya, kematian-Nya, kebangkitan-Nya, kenaikan-Nya, pencurahan Roh-Nya, di tengah-tengah dunia yang merayakan kelahiran-Nya sebagai musim diskon, yang tidak mengakui kemuliaan-Nya, yang menolak penderitaan, yang menjauhkan diri dari kematian dan bahkan mematikkan orang lain, yang tidak mengakui kebangkitan apalagi kenaikan-Nya, dan yang belum mendapatkan Roh-Nya? Bagaimana kita hidup dalam kondisi seperti itu? Itu pertanyaan-pertanyaan yang saya rasa bisa kita renungkan dengan membahas kitab Daniel. Demikian introduksi sebelum pembahasan seri ini.
Hari ini kita belum akan masuk ke pasal 1, kita mau melihat dulu kitab ini secara keseluruhan. Kita mau lebih mengenal kitab ini secara umum, mengenai bagaimana bentuknya, seperti apa warna keseluruhannya; harapannya, kita dapat mengetahui lensa apa sih yang kita perlu pakai dalam membaca kitab ini, dan lensa apa yang mungkin perlu kita hindari dalam membaca kitab ini. Jadi, sementara bagian awal tadi adalah introduksi pembahasan seri-nya, khotbah hari ini keseluruhannya adalah introduksi kitabnya sendiri. Inilah khotbah.
Khotbah, esensi kuncinya bukan harus ada aplikasinya, dsb.; Saudara bisa memperluas definisimu mengenai apa itu aplikasi. Ibu Inawaty Teddy pernah mengatakan kepada kami di STT begini: ‘tugas kalian tidak cuma membahas apa isi Alkitab bagi jemaatmu, tapi juga untuk memperlengkapi mereka dengan kemampuan untuk mengerti bagaimana membaca Alkitab’; dan khotbah hari ini in some sense lebih ke arah yang kedua itu. Seorang pengajar yang lain, Pendeta Henry Ongko, pernah mengatakan tentang apa sih tujuan mengajar Alkitab; dan jawabannya ternyata bukan hanya untuk tahu Alkitab, tapi untuk melek Alkitab. Ini istilah yang menarik, istilah yang sangat Indonesia, “melek Alkitab”. Apa itu melek Alkitab? Sudah pasti bukan cuma tahu apa isinya, tapi juga mengenal bagaimana membacanya. Ini pun aplikasi. Aplikasinya yaitu Saudara belajar satu langkah maju cara baca Alkitab yang beres, dengan cara mempelajari konteks zaman waktu itu kayak apa, konteks rajutan benang ceritanya seperti apa, dst. Itu aplikasi. Jangan menghindari khotbah-khotbah yang seperti ini, menganggap ini PA dan bukan khotbah. Justru sangat sayang jika dalam sebuah Gereja, khotbah-khotbahnya model blender, pengkhotbah-pengkhotbahnya memperlakukan Alkitab seperti buah yang kulitnya keras banget dan tidak bisa dimakan, maka mereka mengupas Alkitab (ini istilah yang sering muncul), lalu isinya di-blender, baru diberikan kepada jemaat, lalu jemaat minum, dan jemaat merasa segar sekali jus ini, enak banget. Khotbah semacam ini pasti banyak yang suka, namun satu hal yang pasti, khotbah semacam ini tidak akan menghasilkan jemaat yang setelah minum lalu ngubek-ngubek tong sampah, cari-cari kulit buahnya lalu gigit-gigit, karena memang konyol, dan Saudara akan mengatakan, “Eh, jangan! Itu sampah, buang saja.” Kalau kita melihat Alkitab seperti demikian –buah dengan kulit yang keras yang perlu dibuang—ini problematik, karena jadinya Tuhan salah memberi kita Alkitab, Tuhan memberi kita barang yang tidak bisa dimakan, yang harus dikupas-kupas dulu dan banyak bagiannya dibuangi dulu. Kalau seperti itu, kenapa Dia tidak dari awal langsung berikan kita sarinya saja?? Kenapa Dia musti berikan kita dengan segala kulitnya, kalau memang kulitnya harusnya dibuang saja?? Saya rasa itu paradigma yang salah, maka saya tidak suka khotbah yang tipe blender.
Saya rasa, khotbah harusnya lebih kayak trailer film, bukan blender. Kalau Saudara nonton trailer film, apa reaksi yang tepat setelah nonton itu? Apakah reaksi yang tepat adalah merasa puas? Kalau Saudara nonton trailer film dan merasa puas, itu trailer film yang sangat gagal; trailer film yang berhasil justru membuat Saudara kelaparan, Saudara terdorong untuk mencari filmnya sendiri dan tidak puas hanya dengan si trailer tersebut. Demikian juga dengan khotbah. Kami gagal, kalau khotbah-khotbah kami menggantikan posisi Alkitab, dengan kami memberikan Saudara jus yang begitu enak dan segar dan mengenyangkan, sehingga Saudara merasa tidak perlu lagi datang kepada Alkitab sendiri. Ini suatu kecelakaan; dan sedihnya, ini sering banget terjadi di gereja Reformed. Sering kali orang mengatakan, “Saya tadinya ‘gak ngerti Alkitab; waktu saya datang ke gereja Reformed, saya tinggal dengar saja khotbah Pendeta pada hari Minggu, saya tidak perlu lagi buka Alkitab sendiri.” Celaka, Saudara, kalau seperti itu.
Omong-omong, ini satu hal yang aplikatif, untuk kita menyadari fungsi khotbah yang sesungguhnya dalam hidup kita, yaitu bukan sebagai camilan yang bikin kita kekenyangan sehingga tidak tertarik lagi makan makanan bernutrisi yang sesungguhnya. Bocil-bocil suka kayak begitu, maka kita membatasi camilan mereka, tidak boleh makan kebanyakan karena nanti lunch atau dinner-nya malah tidak mau. Khotbah yang sejati, harusnya sebagai appetizer, makanan pembuka, yang porsinya kecil-kecil, untuk membuat Saudara lebih ngiler membuka Alkitabnya langsung. Kalau Saudara tidak puas dengan aplikasi semacam ini, berarti Saudara bukan minta aplikasi, Saudara sebenarnya mengejar perasaan kepuasan, afdol, nendang –di gereja.
Kita masuk ke introduksi kitab Daniel. Hal yang paling mudah untuk jadi starting point dalam memperlihatkan payung besar sebuah kitab, adalah dengan melihat strukturnya (kerangka/bingkainya). Kitab Daniel sangat mudah ditangkap struktur dasarnya, yaitu dibagi jadi dua bagian besar, enam pasal pertama dan enam pasal terakhir. Pasal 1-6 adalah yang biasa dinamakan stories, kisah-kisah mengenai sepak terjang Daniel dan sahabat-sahabatnya di tengah-tengah kerajaan asing. Ini adalah tempat Saudara menemukan kisah Daniel di gua singa, kisah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego dilempar ke perapian, kisah patung dalam mimpi Nebukadnezar, dst. Ini bagian yang secara umum Gereja sudah cukup familier, bahkan sejak Sekolah Minggu. Namun selanjutnya ada bagian besar yang kedua, pasal 7-12, yang banyak orang Kristen hampir tidak kenal sama sekali. Ini bagian yang kita sebut dengan visions, yang isinya penglihatan-penglihatan yang Daniel terima, yang sering kali sangat membingungkan, aneh, asing. Ini adalah bagian-bagian yang membicarakan mengenai empat binatang buaslah, yang lalu berhadapan dengan figur misterius Anak Manusia; bagian di mana Saudara menemukan Malaikat Gabriel dan Mikael sempat cameo; bagian di mana angka-angka mistrius itu muncul, seperti misalnya bahwa pembuangan Israel diperpanjang dari 70 tahun jadi 70×7 masa yang entah apa maksudnya, dsb. Itu sebabnya bagian visions ini jarang sekali dibahas dibandingkan bagian stories tadi –atau, malah lebih sering dibahas, tergantung Saudara berasal dari aliran gereja mana, karena ada gereja-gereja tertentu justru fokusnya hanya di bagian visions yang kemudian ditarik ke mana-mana jadi tanda-tanda kiamat dengan tafsiran yang liar dan aneh-aneh. Namun secara umum, saya rasa Saudara-saudara di sini lebih banyak berasal dari gereja yang fokusnya di bagian stories, yang dibahas karena kita ingin mendapatkan semacam pedoman moral bagi hidup Kristen, lalu jadinya cuek terhadap bagian yang visions.
Waktu kita tanya bagaimana kitab Daniel ini ditulis, apa tujuan dan makna kitab Daniel, kita harus memperhitungkan bagaimana kedua bagian tadi berhubungan satu dengan yang lain; itulah kuncinya. Ini sesungguhnya merupakan salah satu isu sentral dalam sejarah penafsiran kitab Daniel.
Para pakar Alkitab dari kalangan liberal (meski ‘liberal’ ini istilah yang karikatural), merasa bagian yang stories itu otentik, datang dari zamannya Daniel, mengenai seorang bijak bernama Daniel, yang melayani di istana raja-raja asing pada zaman exile sekitar 5 abad sebelum Masehi (500 tahun sebelum Yesus), tujuannya untuk memberikan pedoman hidup bagi orang-orang Yahudi yang juga di pembuangan, mengenai bagaimana hidup berintegritas di tengah bangsa-bangsa asing; intinya “be like Daniel”, kira-kira begitu. Namun mereka lalu merasa bagian visions adalah bagian yang ditambahkan belakangan, bukan oleh penulis yang sama, yang ditulisnya 300-400 tahun kemudian (sekitar 2 abad sebelum Masehi); dan bagian ini lalu di-atributkan kepada Daniel. Kenapa mereka berpikir seperti itu? Salah satunya karena dalam bagian visions ada nubuat-nubuat yang begitu detail, begitu pas dengan situasi geopolitik abad ke-2 SM, khususnya mengenai seorang raja bernama Antiokhus yang pernah menindas Israel, yang mirip banget dengan gambaran di kitab Daniel. Jadi mereka merasa tidak mungkin ini nubuatan Daniel 400 tahun silam, soalnya pas banget deskripsinya, seperti ditulis setelah kejadiannya; mereka merasa bagian ini ditulis ketika raja tersebut hidup, digambarkan sebagai sosok yang dinubuatkan sejak lama sebelumnya. Dan, sebabnya orang menulis kayak begitu, adalah untuk jadi propaganda politik keluarga Makabe yang pada waktu itu memang memberontak terhadap Raja Antiokhus sehingga bikin propaganda menyetan-nyetankan raja ini –yang memang benar-benar jahat dan sadis– dan mengklaim sebagai kata-kata dari nabi Daniel, untuk mendukung aksi militernya. Demikian teori dari orang-orang “liberal”.
Respons dari sisi sebaliknya, yaitu dari para pakar dari kalangan Injili, kalangan konservatif (kalangan yang lebih dekat dengan kita). Mereka sulit menerima kesimpulan tersebut. Ada banyak sanggahan mereka yang bersifat hard data tentunya (kita tidak ada waktu untuk bahas di sini), namun inti dari keberatan mereka adalah: kalau kitab ini dibagi-bagi jadi tulisan orang-orang yang berlainan, yang melayani kepentingan masing-masing dan propaganda masing-masing tok, sulit jadinya melihat kitab ini sebagai Firman Tuhan. Para scholars Injili berusaha menunjukkan kitab ini ditulis sebagai satu unit, kesatuan, bukan ditambah-tambahkan oleh grup-grup yang berbeda-beda dan dengan agenda masing-masing. Menurut mereka, kitab Daniel punya satu tujuan yang sama dari depan sampai belakang, baik bagian stories-nya maupun bagian visions-nya. Jadi bagi orang-orang Injili, sangat penting waktu membaca kitab ini kita memperlakukannya sebagai satu kesatuan, bukan comot-comot bagian yang kita senangi tok, bagian yang kita gampang mengerti tok. Itulah yang akan kita laklukan.
Bagaimana kita menyatukan dua bagian ini? Ini bagian yang terlihat sangat berbeda. Bagian stories sangat jelas tujuannya untuk memperlihatkan bagaimana orang Isarel harus hidup di tanah asing; dengan demikian pembaca-pembaca pertamanya mungkin memang orang-orang Yahudi yang tinggal di pembuangan, atau bahkan yang bertahan di pembuangan meski belakangan Raja Kores sudah bertitah memulangkan mereka (orang-orang Yahudi itu tidak semuanya mau pulang, banyak yang rasa sudah nyaman juga di Babel atau di negara-negara lain itu). Namun bagian yang visions, ini ditulis buat siapa, untuk menjawab apa, dan bagaimana menyambungkan dengan bagian stories tadi?
Selidik punya selidik, ternyata ada satu konteks dalam sejarah Yahudi yang mungkin bisa jadi target bagian visions ini. Nebukadnezar membawa orang-orang Yahudi ke Babilonia; setelah itu, Kerajaan Media-Persia dengan rajanya, Kores, memperbolehkan bangsa-bangsa ini (bukan cuma Yahudi) kembali ke tempat masing-masing. Sebagian orang-orang Yahudi pulang dibawah kepemimpinan Zerubabel, Ezra, Nehemia. Mereka pulang dengan confidence tinggi pada awalnya, bahwa sekarang inilah pemulihan Tuhan akan terjadi sesuai gambaran-gambaran dalam nubuat-nubuat bombastis Yesaya dan Yeremia, di mana anak-anak singa akan bersama-sama dengan anak-anak domba, ular tedung bermain bersama anak-anak, dsb. Tapi waktu mereka tiba di Yerusalem, realitasnya sama sekali tidak seindah itu; yang mereka temui, bukan cuma puing-puing reruntuhan, tapi juga segudang kesulitan. Mereka pulang, namun itu tidak berarti mereka punya raja; mereka tetap tidak merdeka dari kuasa raja-raja asing, mereka sekarang hanya provinsi dan bukan negara. Mereka juga dilawan oleh tetangga-tetangga sekitarnya. Orang-orang yang kembali pun tidak satu suara, ada orang-orang Yahudi yang lebih tertarik membangun rumahnya sendiri dibandingkan ikut membangun kembali Bait Allah. Orang-orang ini mengatakan, “Sudahlah, lihat tuh, tetangga-tetangga kita semua cari ribut; ngapain kita bikin ketegangan tambahan dengan mendirikan Bait Allah??” –ini bukan cuma statement religius, tapi statement politik juga. Jadi, ketika pada akhirnya Bait Allah kembali didirikan dan diresmikan, seorang nabi bernama Hagai berseru, “Hai! Kalian yang pernah melihat Bait Suci Salomo yang dulu, coba bandingkan dengan Bait Suci yang sekarang”; dan apa kesimpulannya? ‘Gak level, man, ancur banget yang ini; kecil banget, warnanya dari awal sudah luntur, dsb. Itu sebabnya ketika Ezra memimpin acara dedikasi Bait Suci yang baru ini, dikatakan orang-orang Israel di satu sisi bersorak-sorai, namun di sisi lain sekaligus meratap, sampai-sampai orang tidak bisa membedakan mana suara sorak sorai dan mana suara yang meratap, saking ‘yah, akhirnya kita pulang, akhirnya ada Bait Suci, tapi koq, tidak seperti yang kita bayangkan ya??’ Ini sebabnya salah satu message dalam bagian visions yang datang kepada Nabi Daniel adalah ini: Daniel berdoa pada Tuhan, “Tuhan, 70 tahun sudah lewat; sebagaimana nabi Yeremia katakan, 70 tahun kami dibuang, sekarang bolehkah Tuhan bawa kami pulang, meskipun aku sadar, kami belum juga bertobat”; lalu Malaikat Tuhan datang kepada Daniel, mengatakan, “Karena kamu belum kapok juga meskipun sudah dibuang 70 tahun, maka yang akan Tuhan lakukan adalah memperpanjang pembuangan ini, jadi 70×7 masa”.
Omong-omong, ini bukan Tuhan curang, tiba-tiba ganti aturan main. Kalau Saudara selidiki kitab Imamat, sejak jauh-jauh hari Tuhan sudah mengatakan kepada Musa, kalau suatu hari Israel dihukum karena berdosa, dan tidak kapok, maka hukumannya akan dilipatgandakan tujuh kali. Jadi dalam hal ini Tuhan simply menjalankan apa yang sudah disetujui sejak dulu. Message dari kitab Daniel ini ternyata tepat bagi orang-orang Yahudi, ‘jangan heran, kamu orang-orang Yahudi, setelah 70 tahun secara geografis kamu pulang kembali ke Palestina, tapi pemulihan tidak sesuai harapanmu, tahu ‘gak kenapa, yaitu memang belum itu terjadi, pembuanganmu itu diperpanjang karena engkau tidak bertobat’. Itu salah satu message yang datang kepada Daniel dalam bagian visions. Tentunya tidak berhenti di sini, pemulihan yang sejati akan datang di masa depan, namun sementara waktu umat Allah akan tetap berada di bawah kuasa binatang-binatang buas yang merupakan lambang kerajaan-kerajaan pada waktu itu, yang salah satu rajanya adaalh Raja Antiokhus yang sadis tadi, dsb. Itulah gambaran singkat dari bagian visions.
Bagian visions kalau Saudara bandingkan dengan bagian stories, memang lain banget. Tidak heran orang bisa membacanya sebagai bagian yang terpisah, datang dari dua sumber yang berbeda, dari zaman yang berbeda, dst. Namun kembali lagi pertanyaannya, bagaimana kita bisa melihat dua bagian ini sebagai satu keutuhan, punya satu agenda yang sama, karena memang datang dari satu Roh yang sama, Roh Allah yang kudus itu? Taruhannya, kalau tidak bisa, maka kita lebih sulit mengklaim kitab ini sebagai wahyu Ilahi. Jadi apa jawabannya?
Dalam hal ini kita bisa terbantu dengan melihat pola dari bagian-bagian Alkitab yang lain, tulisan nabi-nabi yang lain, dengan consider bahwa kitab-kitab nabi-nabi lainnya juga punya pola yang mirip, mereka juga bicara dua tema yang seperti bertentangan, namun malah nyambung pada akhirnya. Para nabi yang lain –Yesaya, Yehezkiel, Yeremia– bicara mengenai judgement and hope, penghakiman/hukuman, tapi juga pengharapan akan pemulihan. Di mana nyambungnya dua tema ini? Kenapa para nabi bicara penghakiman demi penghakiman? Selidik punya selidik, ternyata mereka bukan bicara penghakiman demi penghakiman itu sendiri. Koq, bisa?
Kita lihat kitab Yehezkiel. Kitab Yehezkiel juga terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, Yehezkiel sudah berada di pembuangan bersama orang-orang yang terbuang, tapi Yerusalem sendiri belum dihancurkan; jadi ketika itu Nebukadnezar sempat datang dan membuang sebagian orang-orang di Yerusalem, namun Yerusalemnya sendiri dibiarkan, Bait Allah masih berdiri. Di pembuangan ini Yehezkiel terus saja bicara mengenai pembuangan yang akan datang, bahwa Yerusalem akan dihancurkan, Bait Allah akan diratakan oleh Allah sendiri, sebagai bentuk penghakiman atas dosa-dosa Israel. Orang-orang di pembuangan tidak percaya, ‘mana mungkin Allah Israel menghancurkan temple-Nya sendiri’. Di tengah-tengah berita penghakiman ini –di tengah-tengah kitab Yehezkiel– tiba-tiba dikatakan Yehezkiel bertemu dengan seseorang yang datang ke gerbang pemukimannya dengan babak belur. Ternyata dia adalah pengungsi dari Yerusalem, dia membawa kabar bahwa Yerusalem telah jatuh, Nebukadnezar telah menyerang Yerusalem kembali dan kali ini Bait Allah dihancurkan. Selain itu juga banyak pengungsi dari Yerusalem datang. Orang-orang komunitas buangan itu terhenyak, mereka hancur hati. Apa reaksi Yehezkiel? Yehezkiel bukan mengatakan ‘tuh ‘kan, apa kata gua’; kitab Yehezkiel dalam bagian ini berubah arah total, berubah nada, Yehezkiel tidak lagi bicara mengenai penghakiman, dia bicara pengharapan mengenai pemulihan yang akan datang.
Kitab Yehezkiel ini lalu dijadikan kitab suci orang Israel. Ini berarti komunitas Yahudi setelah Yehezkiel, percaya kepada Yehezkiel. Mereka menaruh iman di atas berita yang Yehezkiel katakan. Mereka memegang kitab ini sebagai pengharapan akan masa depan mereka, bahwa suatu hari mereka akan dipulihkan. Pertanyaan saya: kenapa mereka yang tadinya tidak percaya berita penghakiman Yerhezkiel itu, bisa akhirnya percaya berita pemulihan? Yaitu karena penghakimannya ternyata terjadi; yang Yehezkiel katakan sejak awal, beneran terjadi. Di situlah mereka baru menyadari bahwa mereka salah, dan bahwa Yehezkiel bisa dipercaya. Jadi basically seperti ini: sepasti kita telah melihat penghakiman yang Yehezkiel katakan itu terjadi –kita yang tadinya tidak percaya, namun ternyata benar terjadi–maka sekarang kita bisa percaya sepasti itu jugalah pemulihannya akan terjadi.
Saudara lihat, jadinya berita penghakiman dalam kitab Yehezkiel ditulis buat apa? Apakah untuk menghakimi doang? Tidak ‘kan; karena waktu kitab Yehezkiel ini turun cetak, Yerusalem sudah dihakimi, Bait Allah sudah hancur. Lalu kenapa bagian penghakiman ini masih di-include dalam kitabnya waktu kitab ini turun cetak belakangan? Kenapa tidak tulis bagian pemulihan dan pengharapan saja, dan tetap harus ada bagian penghakimannya? Karena dasar bagi pengharapan yang akan datang ini adalah fakta penghakiman yang telah terjadi; saya bisa percaya pemulihan yang akan datang itu benar-benar akan datang, karena buktinya penghakimannya benar-benar terjadi. Tujuan adanya tulisan-tulisan penghakiman ini tidak cuma untuk menghakimi, sebaliknya secara amazing menjadi dasar bagi pengharapan akan pemulihan, karena ini berasal dari Allah yang sama, nabi yang sama. Saudara melihat dua bagian yang berbeda –penghakiman dan pemulihan– namun ternyata yang satu hadir untuk mendukung yang lain, dan yang lain ini berdiri di atas yang satu tadi juga. Tidak bisa dipisahkan. Seperti berbeda, tapi malah saling mendukung.
Sekarang mari kita coba baca kitab Daniel dengan pola yang sama, dua bagian yang berbeda namun yang satu hadir untuk mendukung yang lain. Ini berarti bagian stories (pasal 1-6) tidak diberikan cuma untuk kita belajar mengenai Danielnya dan kawan-kawannya, melainkan mungkin bagian ini fungsinya mirip seperti kitab Yehezkiel tadi, untuk kita jadi bisa percaya perkataan Daniel di bagian berikutnya, bagian visions. Stories ada untuk mendukung visions. Waktu kita menyadari ini, barulah banyak hal masuk akal dalam kitab Daniel. Misalnya, inilah mungkin sebabnya Daniel dan kawan-kawannya digambarkan begitu kudus, blameless, dan murni. Kita mungkin tidak kaget dengan ini karena kita membaca Alkitab dengan paradigma buku Alkitab anak-anak. Kalau Saudara membaca buku Alkitab anak-anak, semua tokohnya digambarkan sebagai hero; dan ini sebenarnya sudah kena sensor, karena sebenarnya tokoh-tokoh Alkitab itu ancur-ancur. Mungkin yang paling konyol tokoh seperti Simson, yang kalau Saudara baca dalam buku Alkitab anak-anak, dia superhero, sedangkan waktu kita baca di kitab Hakim-hakim –sebagaimana kita sudah pernah bahas– Simson sebenarnya ancur banget. Selain itu, misalnya tokoh Abraham. Kita tahu Abraham itu di satu pasal dia naik, di pasal berikutnya dia jatuh, lalu pasal berikutnya dia naik, pasal berikutnya lagi dia jatuh; tapi dalam buku Alkitab anak-anak, bagian-bagian yang dia jatuh itu dibuang. Jadi semua tokoh Alkitab yang masuk ke buku Alkitab anak-anak perlu disensor untuk bisa masuk ke buku anak-anak, kecuali Daniel.
Daniel adalah tokoh yang tidak perlu disensor waktu mau masuk ke buku anak-anak, karena Daniel dalam kitabnya sendiri tidak ada sama sekali kesalahannya, murni tak bercacat cela. Dan sekarang mungkin kita baru menyadari kenapa Daniel dan kawan-kawannya digambarkan demikian; yaitu kenapa? Karena bagian visions membicarakan message-nya Daniel, dan message tersebut begitu berat. Itu bukan message yang orang Israel mau dengar dan percaya, bahwa pembuangan mereka diperpanjang 70×7, bahwa ke depannya mereka akan mengalami penindasan dari raja-raja yang mengerikan seperti binatang-binatang buas ini. Jadi wajarlah kitab yang sama ini tidak akan begitu saja bisa minta orang untuk percaya bahwa ini benar, kitab ini tahu message-nya begitu berat, maka kitab ini berusaha untuk meyakinkan pembaca-pembacanya akan kredibilitas orang yang mengatakan. Siapa orang ini, kayak apa karakternya, bisa dipercaya atau tidak, karena bagaimana kita bisa percaya visions-nya kalau kita tidak tahu orangnya kayak apa. Dalam hal ini, salah satunya dengan memperlihatkan kehidupan orang yang bicara itu kayak apa; ‘lihat nih, Daniel dan kawan-kawannya, mereka ini orang-orang yang berintegritas, mereka bisa kita percaya, mereka adalah nabi Tuhan yang sejati’.
Salah satu hal yang menarik, Saudara di sini jadi sadar akan sebabnya di bagian stories Daniel dihadirkan sebagai orang yang terkenal mampu menafsir mimpi –karena visions yang dia terima di pasal 7-12 datangnya juga dalam mimpi. Jadi di bagian stories pasal 1-6, Daniel menafsir mimpi raja-raja, lalu di bagian visions Daniel menafsir mimpinya sendiri. Ini bukan kebetulan. Ini fit dengan pola yang tadi kita lihat, bahwa bagian awal ditulis bukan demi permukaannya saja, melainkan untuk mendukung bagian berikutnya. Message yang riil, yang terutama, malah yang bagian visions ini, maka dipakailah bagian yang awal untuk mendukung kisah ini. Mungkin itu sebabnya Daniel dan kawan-kawannya dihadirkan tidak bercacat cela. Bukan karena mereka tidak ada cacat celanya, melainkan karena tujuannya bukan menghadirkan biografi lengkap mengenai Daniel dan kawan-kawannya, tapi untuk meyakinkan engkau akan kredibilitas dan reliability Daniel serta kawan-kawannya.
Gampangnya begini: misalkan orang tanya kepada Saudara, “Si A itu mengatakan sesuatu mengenai diriku yang ‘gak enak, yang aku ‘gak mau; menurutmu dia bisa dipercaya ‘gak?” Lalu karena kita tahu yang A katakan itu benar, apakah kita mengatakan kepada dia, “Begini ya, Si A itu pernah bolos kerja, pernah lupa ini dan itu, orangnya pelupa; dan kadang-kadang dia bisa error begini begitu” ? Tentu tidak. Kita akan mengatakan, “Ya, si A itu manusia, dan semua juga tahu manusia pasti bukannya sempurna. Tapi, pernah suatu kali dia dalam situasi yang dia gampang banget bohong; kalau dia bohong, dia melindungi dirinya, namun dia tidak melakukan itu, dia tetap jujur. Jadi lu bisa percaya omongan dia.” Itulah yang akan kita katakan. Dan, apakah berarti kita menipu kalau kita tidak membeberkan semua borok-boroknya? Tidak; karena memang tujuannya bukan itu. Urusan ini ada dalam konteks kita sedang mau mengajak orang untuk percaya omongan orang lain karena omongan tersebut penting –maka kita tidak mengeluarkan bagian-bagian boroknya.
Richard Pratt pernah memberikan satu analogi yang bagus dalam hal ini, mengenai cerita dalam kitab Raja-raja dan Tawarikh. Ceritanya mirip-mirip, namun ada beda yang sangat menarik. Misalnya tentang Daud. Daud itu ada bagusnya dan ada boroknya; dan semuanya diperlihatkan di Raja-raja, sedangkan dalam Tawarikh, cerita Daud dan Batsyeba tiba-tiba hilang. Cerita-cerita lainnya –misalnya bahwa Daud bukan cuma menyuruh anaknya bikin Bait Suci, tapi juga semasa hidupnya dia sudah pakai waktu dan uang begitu banyak untuk mempersiapkan bahan-bahan pembangunan Bait Suci– tidak muncul di Raja-raja, tapi ada di Tawarikh. Jadi dalam kitab Tawarikh, Daud digambarkan sebagai raja yang sangat ideal. Pertanyaannya: apakah berarti penulis Tawarikh mau menipu? Tentu tidaklah, lha wong keduanya ada dalam koleksi kitab yang sama (Alkitab), di mana orang yang membaca Tawarikh juga bisa baca Raja-raja. Lalu kenapa begitu? Richard Pratt mengatakan, karena tujuannya bukan supaya kamu tahu mengenai Daud-nya, tujuannya adalah supaya kamu tahu mengenai raja yang davidic harusnya kayak apa.
Richard Pratt kemudian memberi contoh, katakanlah Saudara sedang mengajar mengenai bagusnya sistem kepresidenan Amerika. Waktu Saudara mengajar hal tersebut, maka contoh-contoh presiden yang akan Saudara munculkan pasti presiden-presiden seperti Abraham Lincoln, tidak bakal presiden-presiden yang dodol. Jadi apakah itu menipu? Tidak; karena tergantung tujuannya. Saudara tadi bukan sedang membahas sejarah presiden-presiden Amerika; Saudara sedang membahas sistem kepresidenannya kayak apa. Dan, waktu Saudara menceritakan tentang Abraham Lincoln sebagai contohnya, Saudara juga tidak akan menyebutkan tentang kesalahan-kesalahannya Lincoln –meskipun sebagai manusia dia pasti ada salahnya– karena tujuannya bukan itu; tujuannya bukan untuk mengerti siapa Lincoln, melainkan mengerti sistem kepresidenan Amerika. Dalam hal kitab Daniel, ini juga sama; Daniel dan kawan-lawannya bukanlah manusia yang sempurna yang tidak ada kesalahannya sama sekali, namun mereka digambarkan begitu murni dan tidak bercacat cela dalam kisah-kisah ini karena kisah-kisah ini tidak berdiri sendiri, stories ini ada supaya kita bisa percaya perkataan visions Daniel berikutnya, berhubung cerita visions ini sulit untuk kita terima. Demikian juga kitab nabi-nabi yang lain, bagian awal ditulis bukan hanya demi tujuan permukaannya, yaitu penghakiman, melainkan justru untuk jadi dasar kredibilitas ucapan nabi tersebut di bagian berikutnya, yang in some sense lebih utama, mengenai apa yang jadi pengharapan Israel di masa depan.
Saudara, kenapa hal ini penting untuk kita bahas? Karena kita melihat dalam pembahasan-pembahasan kitab Daniel di gereja-gereja hari ini, sering kali terfokus pada salah satu bagian saja. Kalau kita adalah orang-orang Kristen yang cuma mau dengar pasal 1-6, bagian stories yang menarik itu –misalnya Daniel di gua singa– dan tidak seperti tidak terlalu peduli dengan pasal 7-12, bagian visions, maka ini sesungguhnya contoh di mana kita menggunakan kitab Daniel bukan dengan using melainkan abusing, karena original meaning-nya bukan itu, dan ini bertentangan dengan tujuan asli kitabnya sendiri.
Saya merasa perlu introduksi seperti ini, karena kita punya penyakit dalam hal kita datang kepada Alkitab, yang harus kita akui; dan tidak bisa tidak, setiap kali memulai satu seri yang baru, kita harus mulai dari satu standing point: kerendahan hati. Dan kerendahan hati biasanya berarti tahu diri; dan tahu diri biasanya berarti kita perlu dengan rela kesalahan-kesalahan kita dibongkar. Inilah penyakit kita: waktu kita selama ini menggunakan kitab Daniel, sering kali adalah demi cerita-cerita yang kita suka itu, bagian stories itu yang kita khotbahkan dan bahas. Kita mungkin tertarik dengan kitab Daniel karena ‘lihat tuh, Daniel, bagaimana hidup di tanah asing, persis sama dengan kita; kalau baca cerita Musa, aku ‘gak mudenglah, kehidupannya lain banget dengan aku, sedangkan Daniel kayaknya agak mirip, jadinya bisa merasa lebih dekat dengan Alkitab, dsb.’. Itu bukan salah –memang itu salah satu hal yang akan kita jadikan tujuan pembahasan kita– namun poinnya, bukan bahwa kita selama ini sesat, melainkan bahwa selama ini kita mungkin salah prioritas, waktu suatu Gereja menggunakan Daniel hanya sebagai cerita-cerita yang kita tertarik dan khotbahkan mengenai model tindakan berperilaku, atau sebaliknya kita fokus pada urusan nubuatan-nubuatannya karena kita tertarik dengan hal itu.
Saudara lihat, bahwa ternyata dalam perspektif keutuhan kitabnya, keduanya itu tidak bisa dipisahkan. Stories ada demi visions-nya; menerima visions-nya, perlu bagian stories-nya. Kalau kita menekankan salah satu, kita menga-abuse Firman Tuhan. Kita jadinya agak mirip dengan orang Liberal yang tidak mengakui keutuhan/kesatuan kitab ini, yang melihat bagian-bagiannya datang dari orang yang berbeda-beda dengan agenda yang berbeda-beda. Kalau kita mengakui keutuhan/kesatuan kitab ini, logisnya kita harus go back ke tujuan utamanya, perspektif yang lebih menyatu; membaca yang depan sebagai ada bagi yang belakang, membaca yang belakang dengan memperhitungkan yang depan. Saya tidak mengatakan ini gampang; saya mengatakan ini yang benar.
Sekali lagi, bukan berarti kita tidak boleh ambil poin-poin dari pasal 1-6 jadi poin mengenai bagaimana kita hidup di tanah yang tidak mengenal Tuhan, tapi kita perlu ada satu perspektif yang lebih besar, yang lebih sejati, mengenai kitab ini, yang membuat kita menyadari jangan-jangan saya datang ke kitab-kitab ini cuma untuk apa yang saya mau. Kitab Daniel bisa menjadi satu latihan untuk Gereja ini menghindari memandang Alkitab dengan mata manusia.
Omong-omong ini penting karena ini membuat kita bisa menghindari kebahayaan yang kita bisa terima kalau kita salah membaca kitab Daniel. Saudara bayangkan, ketika sebuah Gereja memperlakukan kitab Daniel dengan terfokus hanya pada bagian stories-nya –dan dengan demikian melihat kitab ini hanya di permukaan, sebagai model prinsip hidup orang Kristen yang hidup pada zaman yang melawan Allah– apa yang akan terjadi? Saudara akan menjadikan kitab Daniel sebagai kitab moralistik, mengenai ‘gua harus ngapain; apa yang dalam hidup gua harus sesuai dengan Daniel, karena kalau tidak, gua bukan orang Kristen’. Ini mengerikan. Kalau Saudara membacanya seperti itu, sebenarnya ini pembacaan yang sangat konflik dengan Alkitab sendiri.
Salah satu contoh kitab lain yang sering kali dibaca jadi pembacaan moralistik seperti itu adalah Kisah Para Rasul; seperti ini: Gereja-mula-mula ‘kan kayak begitu, jadi kita juga harus kayak begitu. Ini pembacaan yang membaca kitab-kitab tersebut sebagai manual perilaku orang Kristen, tidak ada perspektif selain itu, dan berhenti di situ. Akhirnya kita jadi sulit menjawab kenapa Ananias dan Safira mampus gara-gara menipu soal uang, sedangkan kita hari ini ‘gak mampus meskipun kita banyak nilep uang dari Tuhan. Juga misalnya sebagaimana orang katakan: ‘lihat tuh, orang Samaria ada baptisan Roh Kudus selain baptisan biasa, jadi kita juga musti dibaptis dobel; di Alkitab ada lho’. Bagaimana menjawabnya? Lebih absurd lagi: ‘mulai sekarang, seorang Kristen yang mau pergi dari Yerusalem ke Roma, musti pakai rute pelayarannya Paulus seperti yang kita temukan di Kisah Para Rasul; tidak boleh pakai pesawat –karena dalam zaman itu tidak ada pesawat– dan tidak boleh langsung sampai, harus karam dulu di Pulau Malta seperti Paulus dan tangannya digigit ular berbisa namun tidak mati, jadi orang Kristen yang pergi ke Roma dari Yerusalem tanpa karam di Malta dan digigit ular, itu sesat!’ Ini konyol. Jikalau kita menggunakan Alkitab dengan model kayak begini, sekalian saja seperti di Surat Roma yang ada perkataan Paulus, “Silakan kamu menyambut satu dengan yang lain dengan cium kudus”, dan sekarang silakan Saudara lakukan. Dalam hal yang begini, kita tiba-tiba sadar, “Oh, itu ada konteksnya, Pak, tidak bisa simply di-copas begitu saja, tidak bisa simply kita menjiplak untuk zaman kita seakan-akan itu manual berperilaku, Pak.” Lalu kenapa berhenti di situ? Semua yang lain pun jangan di-copas kayak begitu. Kita tidak dipanggil untuk memonyeti Alkitab, kita dipanggil untuk berbijaksana.
Mengenai urusan baptisan Roh Kudus bagi orang-orang Samaria tadi, dalam hal ini Saudara perlu tahu bahwa event pencurahan Roh Kudus di Kisah Para Rasul terjadi empat kali, bukan satu kali; dan masing-masing terjadinya di Yerusalem, Yudea, Samaria, dan ujung bumi (dalam arti orang-orang non-Yahudi). Jadi ini simbolis; dicurahkannya Roh Kudus bagi orang-orang Samaria, itu simbolis, karena Amanat Agung Yesus Kristus adalah: “Jadilah saksi-saksi-Ku di Yerusalem, Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi”. Itulah yang memulai kisah para rasul, maka sepanjang Kisah Para Rasul, Lukas dengan sengaja memilih poin-poin untuk mengungkapkan pencurahan Roh Kudus secara spesifik di empat tempat tersebut. Menyadari ini simbolik, maka bukan berarti kita perlu menjalankannya setiap kali ada orang bertobat. Kalau Saudara melihat begini, berarti Saudara telah membacanya dengan bijaksana, Saudara bukan membaca dengan mata monyet, Saudara tidak membacanya sebagai sekadar manual berperilaku. Saudara mungkin mengambilnya sebagai model, tapi bukan sebagai manual.
Misalnya Saudara nonton film dikumenter mengenai Manchester United, di bawah kepemimpinan Alex Ferguson, menang begitu banyak trofi, dsb. Lalu karena Saudara diberi pekerjaan di klub bola Persija FC, Saudara mencatat semua yang Alex Ferguson dan bawa ke klubmu, copas mati-matian, mengharapkan hasil yang sama juga terjadi. Tidak bakal bisalah, tidak mungkin bisa di-copas begitu, semua orang juga tahu itu perlu bijaksana dan tidak bisa cuma matanya monyet. Jadi, kalau kita melihat stories dalam kitab Daniel ini bukan diberikan cuma untuk kita mengenal Danielnya, melainkan untuk tujuan lebih daripada itu, untuk establish kredibilitasnya demi bagian yang berikutnya, maka kita bisa tahu bahwa berarti stories ini bukan biografi lengkapnya Daniel, ini tidak mungkin total/utuh, tidak akan menyebutkan kasus-kasus di mana Daniel dan kawan-kawannya gagal atau ceroboh –karena tujuannya bukan untuk jadi manual berperilaku yang sempurna. Kalau kita melihatnya kayak begini, baru kita akan diselamatkan dari melihat Daniel dengan perspektif yang abusif.
Misalnya, pasal 1 (minggu depan akan kita bahas) isunya mengenai Daniel tidak kompromi soal makan. Saya ingin tanya, kecenderunganmu membaca bagian ini adalah mengambil apanya? Saudara ingin ambil satu prinsip universal ‘kan, maka mengatakan, “Nah, kalau kita di tanah asing, kita tidak boleh kompromi sama sekali, seperti Daniel. Kalau kita diperhadapkan dengan pilihan komromi atau non-kompromi, kita harus selalu pilih yang non-kompromi, seperti Daniel, tidak makan makanan yang mungkin sudah dipersembahkan ke dewa-dewa Babilonia!” Lalu Saudara baru sadar, belakangan Paulus di Perjanjian Baru mengatakan, “Tidak masalah makan makanan persembahan ke berhala, wong berhalanya ‘gak ada, koq”. Lah?? Kenapa bisa kontradiksi kayak begini?? Kenapa Alkitab bisa kontradiksi?? Ya, karena kontradiksinya bukan di Alkitab, kontradiksinya dari kepalamu. Saudara tidak sadar sedang membaca apa; Saudara bukan membaca manual, Saudara sedang membaca model.
Sekali lagi, bukan berarti kita tidak boleh sama sekali menarik pelajaran untuk hidup kita hari ini,namun lewat pembahasan struktur seperti hari ini Saudara jadi menyadari ini perlu dilakukan dengan sangat hati-hati dan bijaksana. Bagaimana membaca Alkitab dengan bijaksana? Salah satu cara yang inti adalah: jangan cuma baca Daniel, bacalah kitab-kitab yang lain juga.
Bacalah Ester misalnya (sudah pernah kita bahas), yang juga bicara mengenai konteks hidup di tengah-tengah zaman yang melawan Tuhan; dan Ester adalah orang yang sangat kompromistis. Bukan cuma kompromistis, bukan cuma dia tidur dengan si raja; dalam khotbah-khotbah Ester, saya pernah mengatakan ada seorang rabi Yahudi yang mengatakan: Haman memang penjahat, namun lebih baik kalau Haman dan Mordekhai tidak dilahirkan. Kenapa begitu, bukankah Mordekhai pahlawannya? Tidak. Saudara ingat, Mordekhai bilang kepada Ester: “Baik-baik jaga diri ya, jangan sampai ketahuan kamu Yahudi, jangan bikin ombak, play safe, play nice, sembunyikan identitasmu”, tapi waktu Mordekhai sendiri menghadapi Haman lewat, dia tidak mau sembah sujud. Ini apa kalau bukan bikin ombak?? Pertama, ini munafik. Kedua, kenapa dia tidak mau menyembah? Kita pikir karena dia hero, ‘kan hanya boleh sujud menyembah Tuhan saja. Daud itu menyembah Saul dengan mukanya sampai ke tanah, karena pada waktu itu sujud menyembah bukan cuma spiritual, itu gestur normal untuk menghormati seseorang. Jadi sebenarnya tidak ada larangan untuk sujud menyembah kepada orang yang ranking politiknya di atasmu; lalu kenapa Mordekhai menolak untuk menghormati Haman? Selidik punya selidik, Mordekhai itu bin Kush (keturunan Saul), dan Haman adalah orang Agag; dan raja Saul jatuh di hadapan Tuhan karena urusan raja Agag. Jadi mungkin Mordekhai punya dendam masa lalu, tidak bisa move on dari pride kesukuannya, mana mungkin menyembah orang Agag ini. Dalam hal ini Rabi tadi mengatakan, sebabnya bisa muncul rencana pembataian orang Yahudi, memang benar karena Haman jahat, tapi juga karena Haman di-trigger oleh pride kesukuannya Mordekhai –gara-gara Mordekhai juga– maka lebih baik kalau Haman dan Mordekhai tidak dilahirkan. Lalu apa poin ceritanya? Waktu itu kita mengatakan, poin ceritanya adalah: ternyata Allah dalam kitab Ester adalah Allah yang bagaimanapun juga bekerja melalui orang-orang seperti ini, melalui Ester dan Mordekhai. Inilah Alkitab.
Alkitab itu luas, diverse many voices. Allah Alkitab bisa bekerja melalui Daniel yang murni dan tidak bercacat cela itu, dan Allah Alkitab juga bisa bekerja melalui tukang kompromi, orang-orang yang sombong seperti Ester dan Mordekhai. Alkitab ada bagian-bagian tabur-tuai seperti Amsal –kalau kamu A, maka B; kalau kamu B, karena A– tapi ada juga paradigma kitab Ayub, di mana orang bisa menderita bukan karena kesalahannya sendiri. Ini namanya wisdom, membaca dengan memperhitungkan Alkitab seluas-luasnya. Kadang dalam kita membaca Alkitab, kita gagal mengapresiasi/menghargai keluasan dan kelebaran dan kedalaman Alkitab. Kita cenderung ingin ambil salah satu tema, kita cenderung ambil salah satu bagian yang kita suka, yang kita bisa pegang, yang kita bisa mengerti, karena kita sebenarnya menyembah di altar kepastian, kita bukan mengejar kebijaksanaan. Ini ciri khas orang bodoh, bukan orang wise.
Konklusi: kita sedang membaca bagian yang establishing kredibilitas Daniel karena poinnya memang visions-nya berat, makanan keras, bahwa restorasi tidak terjadi sekarang, masih akan datang di masa depan. Hal ini perlu datang dari orang yang bisa dipercaya. Pembawa beritanya harus bisa dipercaya, itu sebabnya penggambarannya sangat positif. Saudara mau belajar dari sini, silakan; namun ini tidak boleh dipakai jadi standar hidup umat Tuhan, atau bahkan standar untuk engkau menghakimi umat Tuhan. Tujuannya bukan itu. Apa tujuan kitab ini ditulis? Kita akan belajar bersama-sama.
Namun saya harap, inilah salah satu aplikasi hari ini, salah satu caranya hidup dalam Kerajaan Tuhan di tengah-tengah kerajaan dunia, jangan ikut-ikutan pragmatisme dunia, jangan ikut-ikutan semangat dunia yang segala sesuatu maunya gampang, cepat, enak, dan nendang. Jangan ikut-ikutan gaya dunia membaca apa yang mereka mau baca. Ini fondasional, sama seperti kemampuan anak membaca itu fondasional. Saudara jangan baca apa yang Saudara mau baca; inilah caranya kita belajar dan dilatih, salah satunya lewat kita belajar Firman Tuhan seperti ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading