Kita sudah memulai periode Ordinary Time dalam Kalender Gereja; dan mengisi periode ini dengan seri eksposisi kitab Daniel. Minggu lalu kita membicarakan introduksi terhadap kerseluruhan kitabnya, mengenai bagaimana membaca kitab ini dengan tepat, karena Gereja yang back to the Bible tidak bisa puas hanya dengan
membaca atau mengutip-ngutip Alkitabnya tok. Salah satu poin dalam kisah pencobaan Yesus di padang gurun, yaitu setan juga bisa, kalau cuma urusan baca dan tahu isi Alkitab; bahkan di seluruh Alkitab, setan actually tidak punya bahan lain selain menyelewangkan apa yang sudah diberikan lewat firman Tuhan. Back to the Bible selalu harus mulai dengan sikap kerendahan hati, artinya ‘saya tidak langsung tahu isinya apa, saya juga harus memikirkan bagaimana cara membacanya’.
Omong-omong, secara teoritis tentu semua setuju dengan ini, namun kita perlu menyadari dengan serius praktika dan ritualnya. Hal mengenai ‘bagaimana supaya kita tidak cuma membicarakan isi yang kita baca, tapi juga cara membacanya’, merupakan sesuatu yang tidak sebegitu gampangnya. Yang pertama, kita tidak terbiasa dengan ini. Biasanya, waktu membaca sesuatu, secara sadar atau tidak sadar kita langsung lompat ke isinya; dan itu berarti kita mengasumsikan sudah mengerti barangnya. Contoh: dalam minggu belakangan ini, Saudara membaca di sosmed (atau WhatsApp yang mem-posting dari sosmed), komentar tokoh politik Indonesia bernama Fadli Zon, yang seperti menyanggah terjadinya pemerkosaan massal pada zaman Mei 1998 di Jakarta dan tempat-tempat lain. Waktu membaca ini, apa reaksi kita, berapa banyak dari kita yang langsung ter-trigger? Dalam grup-grup WA saya –yang isinya orang-orang Kristen itu– mereka ter-trigger semua. Sangat sedikit orang yang mengambil langkah ke belakang dulu, memikirkan ‘bisa ‘gak kalimat seperti ini dibacanya lain, konteksnya apa ya; ada kemungkinankah bahwa kalimat ini sebenarnya salah dikutip, sumbernya dari mana’, dsb. Orang tidak membaca postingan di sosmed dengan reaksi seperti itu. Sering kali kita bukan saja langsung lompat ke isinya –tidak memikirkan bagaimana membacanya– kita juga langsung mengatakan bahwa tanggung jawab kita sebagai orang Kristen, atau bahkan secara sinodal sebagai GRII, harus memformulasikan respons tertulis secara publik, mengecam statement tersebut. Pokoknya bereaksi.
Dunia hari ini, kecepatan reaksi adalah nomor satu. Kedalaman reaksinya, ketepatan reaksinya, itu sekunder, tertier, atau bahkan tidak penting. Satu hal yang menarik, waktu orang membaca commentary Alkitab, sering kali banyak orang (tidak cuma orang awam tapi juga hamba Tuhan) mental dalam satu dua halaman pertama. Commentary Alkitab biasanya membahas misalnya satu pasal; dan bagian-bagian pertamanya itu bikin pembacanya mental karena bagian itu tidak menjelaskan poin/makna/isi pasal tersebut, melainkan menjelaskan hal-hal detail seperti perbandingan kata ini dan itunya, struktur besarnya seperti apa, lensa melihatnya kayak apa dan bagaimana membacanya. Orang tidak kepingin baca yang kayak beginian, inginnya langsung diberitahu isinya. Apalagi orang yang hasil didikan sosmed, tidak akan sabar, karena isinya baru muncul mungkin di halaman 16 atau 17. Ini salah commentary-nya atau orangnya? Saudara, inilah kita.
Kita mungkin setuju bahwa musti datang ke Alkitab dengan postur kerendahan hati; tapi bahwa ‘saya tidak bisa berasumsi pasti mengertinya dengan tepat hanya karena saya bisa membaca Alkitab; saya perlu pakai waktu yang lama untuk mempelajari bagaimana membacanya’, orang tidak selalu setuju. Teorinya setuju; praktika dan ritualnya tidak tentu. Itu sebabnya minggu lalu kita sudah mulai hal ini, kita tidak langsung masuk ke isinya, kita memperlihatkan lebih dulu bagaimana kitab Daniel sering kali salah digunakan. Kitab ini ada dua bagian utama, stories dan visions, namun secara umum gereja-gereja menekankan hanya salah satu; entah kita lebih senang dengan cerita-cerita seperti Daniel di gua singa lalu cuek dengan bagian tentang empat binatang buas yang keluar dari laut karena apaan sih, ‘gak mudeng, atau sebaliknya kita malah senangnya bagian-bagian nubuat (visions) karena selera kita memang teori-teori konspirasi. Kalau kayak begini, berarti kedua-duanya menolak untuk membaca secara lebih utuh, padahal kedua bagian ini ternyata lebih nyambung daripada yang kita kira, lebih dependent satu dengan yang lain, untuk kita mendapatkan gambaran besarnya.
Minggu lalu kita membongkar hal itu, poinnya adalah untuk menyatakan, bahwa waktu kita datang kepada kitab Daniel –dan Alkitab– kita harus datang dengan sikap kerendahan hati, kita harus berani menyerahkan selera-selera kita di depan pintu masuk. Di hadapan Tuhan, harus lebih rendah hati; dan salah satu bentuknya yang konkret –ritualnya, liturginya– adalah siap memaksa diri pakai lebih banyak waktu untuk kita bicara mengenai bagaimana membacanya, tidak cuma apa isinya. Kerendahan hati berarti tidak terburu-buru. Kerendahan hati berarti kemampuan untuk menunggu, baik itu urusan dengan Alkitab maupun Fadli Zon.
Dalam PA Pemuda dan Wanita, saya sedang membahas buku mengenai keterburu-buruan (ketergesa-gesaan) sebagai musuh dari iman Kristen. Kenapa ini sesuatu yang tidak cocok dengan iman Kristen? Perhatikan waktu Paulus membahas mengenai kasih, dia memulai dengan: kasih itu sabar. Kasih, memakai waktu yang lama. Kasih dan kerendahan hati jalan bersamaan. Kalau Saudara mau tahu bagaimana Gereja harus berespons terhadap postingan Fadli Zon, maka jawaban saya adalah: Gereja harus merespons pertama-tama dengan sabar, dengan pakai waktu yang lebih, pertama-tama tentu mendoakan dia, lalu menyelidiki, mencoba mengerti stand point dia bicara itu apa, benar atau tidak kutipan itu, konteks kalimat tersebut keluar dalam momen apa; dan ketika tiba saatnya untuk menulis respons, Saudara perlu pakai waktu lagi untuk memformulasikannya dalam-dalam dan baik-baik. Omong-omong, alasannya kita merasa penting Gereja berespons terhadap hal-hal seperti ini, adalah karena kita merasa penting Gereja memberi kesaksian yang kristiani di tengah-tengah dunia ini ‘kan; dan bukankah bentuk kesaksian yang sabar seperti ini jauh lebih kristiani?? “Ya, enggaklah, Pak, sudah telat kalau kita musti riset kayak begitu, dsb.; dunia sudah move on!” Kalau memang dunia sudah move on –maksudnya, kalau ini cuma sesuatu hal yang di permukaan, yang ‘gak ngaruh, yang lewat begitu saja– ya sudah, ngapain isu ini musti direspons.
Saudara lihat, ada sesuatu yang salah di balik ketergesa-gesaan dan keterburu-buruan banyak orang Kristen. Itu sifat anak kecil; anak kecil tidak bisa menunggu. Kerendahan hati memang harus dilatih. Sama juga, kalau kita jemaat yang tidak sabaran, dengar khotbah eskposisi inginnya cepat-cepat dapat poinnya, cepat-cepat masuk ke bagian yang menarik, skip semua set up, skip mengerjakan PR, pokoknya langsung naik kelas, itu tandanya kita jemaat yang childish –karena kita dilatihnya memang begitu sih lewat sosmed dan berita-berita clickbait. Orang masuk Gereja, dimulai dengan Votum; kita bangun tidur mulai dengan HP. Itu liturgi kita. Sadarlah Saudara, itu sebabnya Gereja menyediakan counter liturgy, salah satunya lewat eskposisi Firman Tuhan, karena eskposisi Firman Tuhan dilakukan dengan mendetail, dengan menunggu, dengan waktu yang lama. Namun pertanyaannya, Saudara merasa ini satu hal yang dibutuhkan dan penting, atau tidak? Itu kira-kira warna utama yang perlu kita ingat sebelum kita memulai kitab ini.
Dalam pertemuan kedua ini, kita hanya akan membaca ayat 1-2 dan 21. Saudara mungkin kecewa, karena Saudara tahunya pasal 1 ini kisah mengenai Daniel yang menolak makan makanan raja, lalu hanya makan sayur-sayuran, namun setelah 10 hari ternyata lebih gemuk dibandingkan yang lain; dan ini lumayan menarik. Mungkin selama ini kita bertanya-tanya, kenapa Daniel tidak mau makan makanan raja, ada apa yang dianggap menajiskan dalam makanan tersebut, koq bisa makan sayur jadi tambah gemuk, apakah ini berarti Alkitab pro bentuk-bentuk diet tertentu seperti diet vegan, dsb. Tapi kita tidak memulai pembahasan pasal 1 dengan semua itu, karena urusan mengenai makanan tersebut bahkan baru mulai di ayat 8; tujuh ayat pertamanya tidak boleh kita skip begitu saja, karena kalimat-kalimat pendahuluan kitab-kitab dalam Alkitab tidaklah seperti bagian “prakata” dalam buku-buku modern, yang sedikit banyak kita bisa lewatkan tanpa terlalu banyak rugi. Alkitab, ditulis dengan bahasa yang compact, padat, maka setiap kata bermakna, tidak bisa di-skip. Ini sesungguhnya salah satu prinsip yang mendasari gaya khotbah ekspositoris, bahwa setiap ayat penting, tidak bisa dicomot-comot cuma bagian-bagian yang menarik di pandangan Hawa –pandangan manusia.
Ayat-ayat pertama inilah yang akan jadi pembahasan kita hari ini; urusan makanan akan dikhotbahkan berikutnya. Kenapa ayat-ayat pertama ini worth it untuk jadi khotbah tersendiri? Karena ayat-ayat pertama ini sedang menyusun panggungnya; dan itu berarti sedang memberikan kita lensa yang tepat yang kita perlu pakai untuk membaca keseluruhan kitabnya.
Saudara mungkin pernah melihat acara-acara “behind the scenes”. Misalnya film-film Marvel shooting-nya kadang-kadang di depan green screen, tidak ada latar belakangnya; latar belakangnya baru ditambahkan belakangan dengan special effect, dsb. Kita mungkin cuma aware dengan special effect yang keren-keren, seperti waktu Iron Man menembakkan senjatanya, dsb. Tapi bayangkan kalau Saudara nonton semua yang terjadi di film Marvel tanpa latar belakang, cuma layar hijau tok, Saudara tidak bakal mengerti filmnya, Saudara tidak bakal mengerti siapa lagi berdiri di posisi mana, apakah di ruangan atau ruang terbuka, jarak antara mereka sejauh atau sedekat apa, dst. Saudara tidak bisa tahu itu sama sekali –dan Saudara tidak bakal mengerti filmya. Jadi, latar itu penting, karena latar itu menjadi lensa untuk kita mengerti ceritanya. Itulah yang akan kita lihat hari ini.
Apa latar dari kitab Daniel? Pertama, adanya penanggalan; ayat 1: “Pada tahun ketiga pemerintahan Yoyakim …”. Ini berarti lensa pertamanya adalah bahwa kitab Daniel memosisikan diri sebagai kelanjutan dari kisah-kisah Perjanjian Lama yang lain, dalam hal ini berarti kitab Daniel mereferensi ke kitab Raja-raja misalnya (karena di kitab itu Saudara menemukan referensi mengenai Yoyakim). Apa yang terjadi dalam tahun ketiga pemerintahan Yoyakim? Ini tahun yang sangat penting –seperti kita mengatakan ‘Agustus 1945’ atau ‘Mei 1998’–tahun turning point dalam kancah geopolitik pada waktu itu. Inilah masa di mana Kerajaan Israel sudah terpecah jadi dua setelah Salomo, dan kerajaan Utara (yaitu Israel) sudah dibabat oleh kekaisaran Asyur 120 tahun sebelum Yoyakim, sementara kerajaan Selatan (kerajaan Dinasti Daud) sudah sekitar 20 tahun belakangan Nabi Yeremia di Yerusalem dengan aktif memperingatkan, bahwa karena ketidaksetiaan Yehuda, maka Yehuda juga akan segera menemui nasib yang sama dengan kerajaan Utara, bukan oleh tangan Asyur melainkan ke tangan Babilonia. Tahun ketiga pemerintahan Yoyakim adalah tahunnya nubuat Yeremia itu tergenapi (dalam kitab Yeremia, ini tahun keempat pemerintahan Yoyakim; perbedaan ini karena menghitung pemerintahan raja-raja dalam Alkitab caranya bisa lain-lain, bisa dari tahun dia naik takhta, bisa juga dari tahun dia full menjadi raja setelah naik takhta).
Tahun ketiga pemerintahan Yoyakim ini adalah momen di mana Yehuda mulai dibuang ke Babilonia. Pembuangan ini tidak sekaligus, tapi ada prosesnya. Pembuangan pertama yaitu tahun ketiga pemerintahan Yoyakim ini, tahun 605 SM (ini tahunnya Yehezkiel dan juga Daniel dibawa ke Babilonia); pembuangan kedua tahun 597 SM; lalu tahun 586 Yerusalem dihancurkan oleh Nebukadnezar, dan Bait Allah dibakar. Kita sering kali pikir tahun 586 SM ini yang paling penting, namun sesungguhnya tahun 605 SM inilah tahun yang paling turning point. Inilah tahun di mana era dominasi Asyur sebagai negara adikuasa berakhir, digantikan oleh Babilonia dengan raja barunya, Nebukadnezar, yang naik takhta pada tahun itu juga. Jadi, tahun 605 SM ini tahun beralihnya era dominasi negara adikuasa Asyur kepada Babilonia, dan juga tahun ketiga pemerintahan Yoyakim.
Setelah mengalahkan Asyur dan sekutunya, Mesir, Nebukadnezar pergi mengepung Yerusalem (ayat 1). Ini momen di mana Daniel dan kawan-kawannya dibawa ke Babilonia. Tapi perhatikan, hal pertama yang disebut dalam kitab ini ‘dibawa oleh Nebukadnezar’ bukanlah Daniel. Apa yang dibawa pertama-tama? Ayat 2, catatan mengenai perlengkapan Rumah Allah, yang diambil Nebukadnezar untuk dibawa dan ditaruh di kuil dewanya di Babilonia. Ini standar praktis pada zaman itu; mengalahkan bangsa lain, berarti mengalahkan dewanya juga, maka sekarang dewanya diambil dan ditaruh di kuil dewamu, menyembah dewamu. Namun perhatikan, dikatakan di ayat 2, perkakas-perkakas ini bukan diambil oleh Nebukadnezar, melainkan diserahkan Tuhan kepada Nebukadnezar; ada nuansa kedaulatan Tuhan di sini. Ini pun bagian dari susunan panggungnya. Ini basically ekuivalen dengan yang dinamakan prinsip Chekov’s gun. Seorang penulis Rusia, Anton Chekhov, pernah mengatakan kalau bikin cerita, dan ada pistol, pistolnya biasanya akan meletus, atau kita expect pistolnya akan meletus. Itulah satu efek susunan panggung; itu sebabnya panggung bermakna.
Perkakas Rumah Tuhan dalam hal ini adalah sebuah pistol, karena di sini Saudara jadi menangkap satu koneksi lagi antara kitab Daniel dengan kitab-kitab Perjanjian Lama, yaitu kitab 1 Samuel. Dalam kitab 1 Samuel ada cerita mengenai perkakas Rumah Tuhan yang lain, yaitu Tabut Perjanjian, yang direbut orang Filistin dan ditaruh di kuil dewa mereka; dan dalam cerita itu pistolnya meletus, orang Filistin kena tulah, sampai mereka mengambalikan tabut tersebut. Sekarang, Nebukadnezar mengepung Yerusalem, kelihatan seperti menang, lalu dia bawa perkakas rumah Tuhan ke kuil dewanya di Babilonia. Saudara menangkap apa maknanya di sini? Cari mati lu, ya. Spoiler sedikit, perkakas ini akan muncul lagi di pasal 5 nanti; dan tidak kebetulan itu adalah pasal yang menceritakan momen terakhir kekaisaran Babel.
Sejauh ini, dari dua ayat pertama saja, Saudara melihat bagaimana penulis kitab Daniel secara cermat mengajak kita untuk menangkap koneksi kitab Daniel dengan kitab-kitab sebelumnya; yang tadi kitab Raja-raja, lalu sekarang kitab Samuel. Dan sekarang Saudara membaca juga satu referensi, mengenai perkakas ini dibawanya ke mana. Tentu saja ke Babilonia, ke rumah dewanya Nebukadnezar, tapi perhatikan istilah yang dipakai di ayat 2: tanah Sinear. Ini koneksi ke kitab Kejadian, secara khusus pasal 11, cerita Menara Babel. Tanah Sinear adalah nama yang dipakai di kejadian 11 sebagai tempat didirikannya Menara Babel (kota Babel), proyek manusia, yang bukan cuma mendirikan menara yang bisa menyatukan langit dan bumi, tapi juga untuk mengumpulkan seluruh umat manusia di bawah satu kepemimpinan, satu kerajaan. Ini proyek imperialisme pertama. Hah? Jadi persis dengan Babilonia modern zaman modern.
Lalu apa nasib proyek Menara Babel di Kejadian 11, di tanah Sinear? Gagal. Kenapa bisa gagal? Karena Tuhan mengacaukan bahasa mereka –lebih tepatnya mem-plural-kan bahasa mereka– sehingga mereka bingung, lalu mereka tersebar ke seluruh bumi, tidak ngumpul jadi satu. Ini jadi tambah menarik lagi, karena selidik punya selidik, kitab Daniel dalam bahasa aslinya tidak ditulis dalam satu bahasa tok. Kitab-kitab Perjanjian Lama, bahasa dasarnya bahasa Ibrani; sedangkan pasal 1 kitab Daniel pakai bahasa Ibrani, pasal 2-7 ditulis dengan bahasa Aram, bukan bahasa Ibrani. Itu adalah bahasa internasional pada waktu itu, mirip dengan bahasa Ibrani, tapi beda. Kitab yang katanya setting-nya di tanah Sinear –tanah proyek manusia untuk mempersatukan, yang akhirnya digagalkan Tuhan dengan cara menggandakan bahasa— ceritanya ditulis dengan bahasa ganda.
Kita tidak tahu persisnya kenapa kitab Daniel ditulis dengan dua bahasa seperti ini. Ada beberapa penjelasan lain yang kapan-kapan kita bisa sebutkan, namun dalam dunia sarjana Alkitab banyak kebingungan kenapa kitab Daniel menggunakan bahasa ganda seperti ini. Tapi ini sepertinya bukan kebetulan, ada koneksi dengan setting panggung ‘tanah Sinear’. Lebih lagi, ketika Saudara consider isi kisah-kisahnya sendiri. Sepanjang kitab Daniel, tema kebingungan itu muncul. Ada raja-raja yang punya mimpi-mimpi, yang lalu bingung apa artinya. Ahli-ahli nujum mereka juga sama bingungnya, sampai kemudian muncul Daniel yang bisa menafsirkan –atau menerjemahkan— arti mimpi dan tulisan-tulisan tertentu itu.
Kalau Saudara melihat koneksi ini, justru semakin jauh lagi Saudara bisa melihat, karena mimpi-mimpi tersebut kembali mengacu pada cerita Menara Babel. Berkali-kali dalam mimpi raja-raja tersebut, ada sesuatu yang dibangun, hanya untuk kemudian diruntuhkan. Mimpi Nebukadnezar yang pertama, mengenai patung besar yang pada akhirnya dihantam batu, dan runtuh. Mimpi yang kedua, pohon besar, yang pada akhirnya dicabut. Ini mengungkapkan apa? Mengungkapkan mimpi Babilonia dalam zaman modernnya Daniel, yaitu proyek imperialisme, hasrat untuk mendirikan suatu kerajaan yang kekal yang meliputi seluruh bumi, namun in the end hanya Tuhanlah yang punya kuasa universal seperti itu. Danbukan kebetulan, kalimat pengakuan ini, bahwa hanya Tuhanlah yang punya kekuasaan seperti itu, pada akhirnya keluar dari mulut berbagai raja kafir sepanjang kitab Daniel.Mungkin ini salah satu message utama kita Daniel.
Saudara lihat, kita pakai waktu yang lama untuk unpack ini; dan ini keluar dari cuma dua ayat yang pertama. Ini bagian dari fondasi panggung yang Saudara tidak bisa lewatkan begitu saja. Ini namanya back to the Bible. Ini memberikan Saudara satu lensa untuk mengeri kitab ini. Ini sebabnya ideal membaca Alkitab, sebagaimana dikatakan di Mazmur 1, bukanlah orang yang sekadar bangun pagi lalu baca satu perikop 5 menit, lalu baca bahan pendamping 7 menit, setelah itu berdoa, dan besok maju lagi ke bagian yang lain. Tentu saja itu better than nothing, better daripada bangun pagi lalu buka HP, tapi idealnya Mazmur 1 adalah ‘mereka yang merenungkan Firman Tuhan siang dan malam, siang dan malam, siang dan malam’. Istilah merenungkan di situ, sesungguhnya berarti mengunyah, mengunyah, dan mengunyah. Saudara baru bisa mendapatkan hal-hal seperti kita bicarakan ini, ketika Saudara mengunyah, mengunyah, dan mengunyah. Demikian ideal Mazmur 1, orang-orang yang pakai waktu lama untuk membaca Alkitab. Apa idealnya ‘saat teduh’, Pak? Idealnya bukan pakai soal bahan yang kayak apa, idealnya bukan soal dapat aplikasi apa; idealnya bukan hal-hal seperti itu, idealnya adalah: Saudara pakai waktu yang lama, untuk membaca Alkitab. Lama dalam arti rutin, siang, malam, siang, malam, bukan cari rhema.
Kembali ke gambaran kedaulatan Tuhan yang kita lihat di sini, Kerajaan Allah yang hanya satu-satunya ini yang punya sifat universal. Inilah mungkin lensa utama yang kita perlu pakai dalam membaca kitab Daniel. Inilah yang dihadirkan dari awal kitab ini. Ultimatelly, inilah bagaimana kita diajak untuk membaca kitab Daniel, bahwa karena kitab Daniel ini Firman Tuhan, jangan lupa bahwa kitab ini tidak hadir untuk membawamu kepada Daniel dan berespons terhadap Daniel, melainkan untuk membuat kita melihat Allah dan berespons kepada Allah Alkitab. Ini adalah penekanan utamanya.
Saudara lihat di bagian awal, pembuangan Israel dijelaskan sebagai apa dalam dua ayat ini. Ada berbagai cara untuk melihat pembuangan Israel ini. Di mata manusia, di mata bangsa-bangsa asing, Israel dibuang karena Allahnya Israel, Allah Yahweh, ternyata kalah di hadapan dewa-dewa Babilonia, bahkan tidak sedikit juga orang Israel yang merasa demikian; namun kita tahu, itu pasti bukan posisi para penulis Alkitab. Di bagian-bagian lain dalam Alkitab, pembuangan dijelaskan sebagai akibat dari ketidaksetiaan Israel; bukan urusan ketidaksetiaan atau ketidakmampuan Allahnya, melainkan dosa Israelnya. Justru Allah-lah yang ada di belakang tangan Babilonia untuk menghukum Israel. Inilah yang dinyatakan dalam kitab Daniel, bahkan lebih jauh lagi, karena dalam dua ayat ini peristiwa pembuangan dibahasakan dengan tidak menyebut aksi manusianya sama sekali –dalam hal ini dosa Israel– tapi hanya sebagai aksi tangan Tuhan langsung. Dikatakan: Nebukadnezar datang, mengepung Yerusalem, dan Tuhanlah yang menyerahkan Yoyakim ke tangannya, Tuhanlah yang menyerahkan perkakas-perkakas rumah Allah ke tangannya. Ini sebabnya Yeremia beberapa tahun silam sudah meneriakkan: “Yehuda, jalan keluar dari hal ini bukanlah dengan melawan Babel, melainkan dengan menaklukkan dirimu terhadap Babel. Jangan mencari pertolongan terhadap Babel dari Mesir atau sekutu-sekutu yang lain; terimalah kuk dari Nebukadnezar, karena sesungguhnya ini adalah tangan Tuhan bagi umat-Nya”.
Dan, belakangan Yeremia juga menulis kepada umat yang terbuang: “Usahakanlah kesejahteraan, kedamaian, di tempat kamu dibuang.” Ini salah satu koneksi dengan Perjanjian Lama. Dan, siapa yang Daniel mirip dengannya di Perjanjian Lama, yang pandai menafsir mimpi juga? Yusuf. Koneksinya bukan cuma dalam hal menafsir mimpi, Yusuf juga seorang yang terbuang seperti Daniel (ke Mesir). Yusuf juga terbuang mendahului yang lain, sama seperti Daniel pun orang buangan kloter pertama. Yusuf terbuang, pada akhirnya ternyata maksud Tuhan untuk mempersiapkan jalan bagi keluarganya sendiri, menjadi penjamin hidup keluarganya belakangan, dan dengan demikian menjadi sumber saluran berkat di mana Tuhan menyelamatkan hidup sebuah bangsa. Daniel yang dibuang pun ada nuansa demikian; lewat bijaksana yang Tuhan berikan, lewat kemampuan menafsir mimpi yang Tuhan berikan, Daniel menjadi orang yang mempersiapkan jalan bagi umat Allah yang terbuang, mendahului mereka.
In some sense, ini berarti dalam membuang umat-Nya, Allah tidak sungguh meninggalkan mereka. Hal pembuangan ini, sedang diputar balik lensanya bagi pembaca-pembacanya sejak awal kitab ini, sejak dua ayat yang pertama, yaitu: “Lihat, pembuangan ini bukan Allah meninggalkan kamu, Allah malah sedang lebih intens berelasi denganmu”. Sama seperti kalau Saudara sedang menghukum anakmu, waktu Saudara sedang ngotot-ngototan dengan dia, in some sense relasimu sedang puncak-puncaknya, fokus perhatianmu terhadap anak itu lebih banyak dibandingkan waktu keadaan santai-santai saja. Pembuangan adalah peristiwa di mana Tuhan sesungguhnya sedang lebih mengasihi, lebih berelasi, lebih dekat dengan umat-Nya –bukan kurang. Satu hal yang kita juga bisa lihat dari kitab yang lain, misalnya dari kitab Yehezkiel, yaitu penglihatan pertama Yehezkiel tentang kereta kemuliaan Tuhan berangkat naik dari Bait Suci Yerusalem lalu menampakkan diri-Nya kepada Yehezkiel di tepi Sungai Kebar, di Babilonia –di pembuangan. Apa artinya? Tuhan ikut masuk beserta umat-Nya ke pembuangan.
Saudara, inilah kedaulatan Tuhan yang diperlihatkan dari dua ayat pertama, dalam koneksi-koneksinya dengan Perjanjian Lama. Ini gaya penulisan Alkitab yang padat, yang Saudara perlu waktu lama untuk mengupas.
Ada satu koneksi lagi yang bisa kita lihat dari bagian ini, yaitu bahwa kisah Menara Babel bukan kisah yang berdiri sendiri di Alkitab. Kisah Menara Babel di Kejadian 11 langsung diikuti dengan kisah pemanggilan Abraham. Dua kisah ini saling mendukung, karena ada kontrasnya dan ada koneksinya. Pendiri-pendiri Menara Babel menetap di satu tempat, sementara Abraham dipanggil berpindah-pindah (nomaden). Pendiri-pendiri Menara Babel kuat dan powerful, sedangkan Abraham tidak punya anak, powerless. Pendiri-pendiri Menara Babel ingin membuat nama bagi diri mereka sendiri, tetapi nama Abraham akan dibuat harum oleh Allah, bukan oleh Abraham sendiri. Terjadinya pluralitas bangsa-bangsa dalam kisah Menara Babel adalah hasil kutukan, sebaliknya Abraham akan jadi berkat bagi bangsa-bangsa itu. Jadi ini bukan dua kisah yang terpisah; dan ini nyambung dengan tema dalam kitab Daniel mengenai kedaulatan Tuhan, mengenai Kerajaan Tuhan sebagai satu-satunya kerajaan yang universal. Dalam periode ini Israel (umat Allah) tidak lagi punya kerajaannya sendiri, mereka sekarang jadi kerajaan boneka dengan raja boneka, bahkan belakangan jadi provinsi tok setelah Yerusalem dihancurkan. Mereka sekarang dibuang, dan itu berarti terserak ke seluruh bumi; dan karena dosanya, mereka dikutuk Tuhan dalam pembuangan tersebut. Jadi gambaran Menara Babel di Kejadian 11 ternyata tidak cuma mengacu kepada Babilonia modern tapi juga kepada Israel dan Yehuda, digenapi oleh Israel dan Yehuda, karena mereka senantiasa ingin jadi seperti bangsa-bangsa lain, dan sekarang mereka mendapatkan itu. Namun di sisi lain, dalam momen pembuangan ini Israel mungkin baru mulai lebih menggenapi kisah Abraham-nya juga. Justru dalam masa di mana kuasa politis mereka sebagai kerajaan independen pudar dan hilang, penulis Alkitab memperlihatkan kepada kita bahwa inilah masa di mana mereka justru mulai menjadi berkat bagi bangsa-bangsa asing, lewat mereka disebar dan ditempatkan di berbagai bangsa asing.
Saudara perhatikan kisah-kisah orang dalam zaman pembuangan. Daniel, Ester, Mordekhai, Nehemia adalah orang Yahudi yang memgang posisi cukup tinggi dalam kerajaan-kerajaan asing, mereka punya pengaruh yang tidak sedikit. Melalui mereka tentu saja umat Tuhan di daerahnya lebih disejahterakan, namun lebih dari itu, lewat merekalah kerajaan-kerajaan asing tempat mereka berada itu menerima berkat, hasil saluran mereka. Itu sebabnya, in some sense periode pembuangan ini merupakan momen Firman Tuhan lebih menyebar ke seluruh dunia, periode di mana Kerajaan Allah lebih didirikan secara internasional, jauh lebih internasional dibandingkan masa kejayaan Daud ataupun Salomo.
Kalau kita sebagai orang-orang Israel dan Yehuda yang pada waktu itu dibuang, kita lebih gampang fokus pada urusan dipermalukannya Israel dan Yehuda secara geopolitik pada zaman itu. Namun kitab Daniel menghadirkan satu perspektif yang sama sekali lain, bahwa ini bukan berkurangnya Kerajaan Allah –tentu saja ini berkurangnya kerajaan Israel dan Yehuda– tapi justru momen di mana terjadi ekspansi Kerajaan Allah, sebuah intensifikasi kedaulatan Allah di atas bangsa-bangsa, melalui umat-Nya yang terbuang. Dalam kitab Daniel, kita melihat Allah sedang lebih –bukan kurang– bertakhta secara langsung di atas bangsa-bangsa asing tersebut, di atas umat-Nya sendiri.
Saudara melihat dalam kisah Menara Babel dan kisah Abraham, Allah merendahkan mereka yang sombong (cerita Menara Babel), dan meninggikan mereka yang rendah hati (Abraham). Ini terjadi dalam dua pihak; sedangkan dalam cerita Daniel, ini terjadi dalam satu pihak yang sama, yaitu Israel dalam pembuangan. Dalam kacamata geopolitik sezamannya, Israel direndahkan, dihina, dipermalukan; namun demikian, pada saat yang sama Israel juga sedang ditinggikan, dilibatkan lebih, dipakai lebih, dalam Kerajaan Tuhan. Ini semua Saudara lihat dari dua ayat pertama kitab Daniel. Dan omong-omong, sebabnya tadi kita membaca ayat yang terakhir, adalah karena kita melihat Daniel berada di situ sampai dengan pemerintahan Kores. Babilonia pada zaman Kores sudah lenyap, hancur, dimakan Kores dan kekaisaran Media-Persia. Jadi siapa yang punya kata terakhir di sini? Saudara lihat betapa Alkitab amazing.
Apa aplikasi dari semua ini? Di sini saya ingin pinjam bahan saya dalam seri PA yang baru saja kita tuntaskan. Dalam 8 kali pertemuan tersebut kita membahas satu istilah dasar yang sering kali orang Kristen lempar-lemparkan namun sebenarnya sedikit yang mengerti, bahkan menghidupi, yaitu istilah ‘percaya Tuhan, beriman kepada Tuhan’, mengenai apa sih artinya percaya Tuhan, siapa orang-orang yang belum percaya itu. Waktu kita menggunakan kata ‘percaya Tuhan’, kita sering kali pikir ini urusan percaya ‘apa’; dengan demikian orang yang belum percaya adalah orang yang belum percaya dalam hal ‘apa’, misalnya belum percaya ‘Yesus satu-satunya Juruselamat’, belum percaya ‘Allah Tritunggal’. Namun ketika kita meneliti bagaimana Alkitab menggunakan istilah ‘percaya’, bukan itu maksud utamanya. Percaya Allah, di dalam Alkitab tidak pernah sekadar percaya apa mengenai Allah, melainkan apakah Saudara memercayakan dirimu kepada Allah atau kepada yang lain –memercayakan dirimu kepada siapa. Ini langsung membuka dimensi yang begitu lain mengenai apa sesungguhnya percaya dan beriman.
Kalau Saudara menelusuri Perjanjian Lama, Saudara langsung melihat bahwa kisah Adam dan Hawa adalah mengenai apakah Adam dan Hawa mau mempercayakan diri mereka pada pandangan Tuhan, atau pada pandangan mereka sendiri. Tuhan bilang buah itu terlarang, mereka lihat buah itu menawan. Tuhan bilang jangan sentuh, Hawa mengambil buah itu dan memberikannya kepada suaminya. Tuhan bilang makan buah itu maka mati, tapi semua manusia juga tahu dong, kalau ‘gak makan, itu baru mati, makan malah hidup. Inilah ketegangan beriman, memercayakan diri kepada siapa, kepada Tuhan atau kepada manusia.
Kisah Abraham adalah kisah mengenai apakah Abraham mau memercayakan dirinya terhadap janji Tuhan mengenai keturunan, atau pada kemampuan manusia untuk menghasilkan keturunan. Tuhan bilang tunggu, Sarai bilang ambil Hagar dan ia menyerahkannya kepada suaminya –bau-bau Hawa ‘kan. Mereka pikir mereka sedang menghasilkan kehidupan, tapi yang mereka hasilkan malah kematian –dan buktinya Saudara lihat dalam konflik Hamas dan Israel sampai hari ini. Bahkan sesungguhnya tidak usah tunggu sampai abad 21, Hagar itu orang Mesir, lalu Abraham dan Sarai menga-abuse orang Mesir ini yang adalah budak mereka, dan belakangan dalam kitab yang sama, ada Yusuf, keturunan Abraham, yang dijual saudara-saudaranya ke Mesir sebagai budak; lalu siapa yang jadi perantaranya? Rombongan kafilah orang Ismael (Kej. 37). Itu berarti Ismael, yang adalah hasil abuse-nya Abraham terhadap Hagar, keturunan dialah yang akhirnya menjual Yusuf ke Mesir. In some sense, ada yang mengatakan bahwa kisah Yusuf dijual ke Mesir sebagai budak, di-abuse, dst., adalah akibat langsung dari dosa Abraham menga-abuse Hagar, orang Mesir. Saudara lihat, inilah manusia. Manusia pikir jalan kehidupan, tapi pada akhirnya menghasilkan kematian. Sedangkan jalan Tuhan adalah ‘kurbankan Ishak’. Ini kematian dong, tapi ujungnya malah kehidupan. “Enggak dong, Pak, ‘kan Ishaknya ‘gak jadi mati”. Memang Ishak tidak jadi mati; yang mati di atas gunung itu bukan Ishak, yang mati di atas gunung itu adalah Abraham. Abraham mati terhadap dirinya, karena mengurbankan anak sendiri sama rasanya seperti bunuh diri, bahkan mungkin lebih. Namun demikian, momen itulah yang menghasilkan kehidupan yang sejati; dikatakan ‘Abraham bapa orang beriman’. Ketegangannya adalah urusan iman, mau memercayakan diri kepada siapa, bukan soal percaya apa atau percaya konsep yang kayak apa –bukan itu yang terutama.
Saudara bisa lanjutkan ke Musa, Daud, Elia, dan berakhir di Yesus. Yesus, ketegangannya adalah mengenai ‘bukan kehendak-Ku yang jadi, tapi kehendak-Mu’. Saya rasa ini cukup untuk Saudara bisa melihat polanya. Percaya kepada Tuhan, itu bukan terutama masalah otak, bukan terutama masalah tahu atau tidak tahu apa kehendak Tuhan, tapi selalu masalah hati, engkau memercayakan dirimu kepada siapa; apa yang Tuhan lihat, dan apa yang engkau lihat. Ini sebabnya beriman itu bergumul, sulit, karena yang Tuhan lihat sebagai kehidupan, selalu –atau paling tidak sering kali– kita lihat dengan mata manusia sebagai kematian. Demikian juga sebaliknya. Jadi kalau Saudara merasa jalan Tuhan itu kematian, tapi bagaimanapun juga Saudara mengambilnya, itu iman, itu percaya Tuhan, itu memercayakan diri kepada Tuhan.
Ternyata tema iman dan trust kayak begini tidak simpel. Ini tema yang sangat sentral dalam Alkitab, bahkan kalau Saudara teliti, ada setting khususnya, yaitu kejadian-kejadian seperti kisah Adam dan Hawa, Musa, dll., krisis-krisis iman mereka itu terjadi di gunung-gunung dan bukit-bukit, tempat-tempat yang oleh orang Israel kuno dilihat sebagai tempat bersentuhannya langit dan bumi.
Setting ‘gunung’ ini masuk akal juga bagi kita hari ini untuk mengungkapkan ketegangan iman. Kalau Saudara naik gunung, semua orang juga tahu ada cara naik gunung yang tepat/benar yang membawa kehidupan, dan ada cara naik gunung yang membawa kematian. Kita tidak bisa sembarangan. Kita harus memilih jalan yang tepat kalau kita mau bertahan hidup. Problemnya, sering kali ada cara naik gunung yang tepat itu bertabrakan dengan apa yang kita anggap tepat. Misalnya kalau Saudara baru pertama kali naik gunung yang serius, hampir selalu kesalahan yang dilakukan adalah membawa terlalu banyak barang. Kenapa amatiran yang naik gunung selalu membawa terlalu banyak barang? Karena merasa membutuhkan semua itu untuk bisa hidup, survive –ini jalan kehidupan. Tapi waktu dia bawa semua barang tersebut, itu yang malah bikin dia setengah mati naik gunungnya. Jadi, ada jalan yang benar, yang bisa dan harus kita pegang waktu naik gunung kalau kita mau survive; dan problemnya bukan kita tidak tahu. Sebelum kita naik gunung, teman yang veteran sudah mengatakan, “Lu bawa kebanyakan. Jangan bawa ini, jangan bawa itu; ini ‘gak perlu, itu ‘gak perlu, … nanti kita pakai ini, pakai itu, kolor satu saja, pakai side A lalu side B, no problem”, dsb. Kita bilang, “Jorok banget sih, itu jalan kematian, nanti busuk lho”, dst.
Saudara lihat, itulah perdebatannya, ketegangannya; Saudara mau mepercayakan diri kepada siapa?? Dan pada akhirnya, kalau Saudara mau survive di atas gunung, Saudara harus melakukan langkah iman, mempertaruhkan dirimu kepada jalan yang engkau pikir tidak masuk akal, yang sepertinya berlawanan dan malah membawa kematian, namun ujungnya engkau baru sadar, bahwa yang engkau pikir kehidupan, itu malah membawamu kematian. Tidak sangguplah naik gunung bawa barang sebanyak itu. Dan akhirnya, kedua kalinya Saudara naik gunung, Saudara akan mengurangi beban beratmu mungkin 50%. Ketiga kalinya, mungkin sisa 15%, dst.
Ini menarik, karena ketika kita menelusuri kisah-kisah gunung di Alkitab, Adam dan Hawa juga berada di atas gunung waktu mengalaminya (Eden di atas gunung, menurut kitab Yehezkiel). Abraham mempersembahkan Ishak di atas gunung. Musa juga di atas gunung. Daud, Salomo, Elia, juga di atas gunung; dan, tentu saja juga Yesus Kristus. Manusia diundang untuk naik gunung bertemu dengan Tuhan, tapi naiknya itu selalu menghadirkan krisis ini: kamu mau terus pegang wisdom manusia sebagaimana engkau memandangnya, atau engkau mau memercayakan diri kepada wisdom-nya Tuhan, namun problemnya, wisdom-nya Tuhan terlihat seperti kematian; dan kalau engkau mau memegang itu, itulah trust.
Saudara, sebabnya kita mengatakan hal ini adalah karena dalam kitab Daniel dihadirkan pola yang sama. Daniel memang tidak ada disebutkan soal gunung, tapi dari dua ayat pertama ini, pembaca kitab Daniel sedang ditantang: kamu mau melihat situasi hidupmu dalam pembuangan berdasarkan pandangannya siapa. Kamu melihat dalam pandangan manusia, bahwa ini momen dipermalukannya Israel dan Allah Israel dalam kancah politik bangsa-bangsa asing, atau kamu melihatnya dengan perspektif surgawi, sebagai momen di mana Allah justru bukan sedang kurang, melainkan justru lebih bertakhta di atas bangsa-bangsa lain, dan juga di atas hidupmu.
Dari ayat-ayat pertama kitab Daniel, basically yang kita lihat adalah bahwa jatuh ke tangan Nebikadnezar ternyata bukan berarti jatuh keluar dari tangan Tuhan. Jatuhnya perkakas-perkakas Rumah Tuhan ke kuil Marduk, atau Bel, atau siapapun, bukan berarti kalahnya Allah Yahweh di hadapan dewa-dewa itu. Daniel dibuang, itu benar. Yerusalem dihancurkan, itu benar. Namun itu bukan berarti Daniel serta-merta jadi aktor pasif dalam pembuangan, mereka justru jauh lebih aktif dibandingkan sebelum mereka dibuang. Perspektif mana yang Saudara mau ambil?
Saudara, tidak sulit untuk melihat bagaimana hal ini bisa diaplikasikan ke dalam hidup kita hari ini. Kenapa kita sering kali merasa susah, menjadi orang Kristen di dunia ini? Karena kita merasa dibuang, karena kita merasa berada di bawah kekuasaan raja-raja asing yang tidak mengenal Tuhan dan melawan Tuhan. Tapi basically inilah tantangannya, perspektif mana yang Saudara mau ambil. Perpektif ini tidak mengubah situasi hidupmu. Perspektif ini simply membuat engkau mengalami situasi hidupmu dengan sangat lain karena penafsiran yang engkau pakai lain –sekali lagi, penafsiran, di dalam kitab yang bicara soal penafsiran. Ini namanya trusting God. Ini adalah ajakan kitab Daniel sejak awal. Hidup sebagai umat Tuhan adalah seperti ini. Beriman, dalam Alkitab selalu melibatkan suatu konflik, persimpangan, krisis. Beriman adalah: kita sering kali melihat jalan yang lebar, yang kelihatan sangat baik dalam pandangan kita, tapi berujung pada kematian; sementara ada jalan yang sempit, yang seperti menuju kematian, tapi malah jalan kehidupan. Itulah pergumulan umat Tuhan.
Hidup sebagai umat Tuhan di tengah-tengah kerajaan dunia, dimulai bukan dengan diubahnya situasi hidupmu, lalu baru engkau bisa berkarya, bisa menjadi bagian dari Kerajaan Tuhan. Hidup sebagai umat Tuhan di tengah-tengah kerajaan dunia dimulai dengan diubahnya cara pandangmu, mengenai bagaimana engkau melihat, dan bukan cuma apa isi yang engkau lihat. Pertanyaannya, apakah ini cukup untuk kita, atau tidak? Tujuan dari pembahasan kitab Daniel, adalah bukan untuk membuat kita mengenal Danielnya tok, tapi untuk menjungkirbalikkan kita di hadapan Allah dan di hadapan dunia.
Urusan percaya, saya sempat tergelitik karena dalam Persekutuan Doa ada pokok doa mengajak jemaat untuk berdoa bagi mereka yang belum percaya. Mendengar ini, saya setengah cekikinan dan setengah ingin menangis, karena siapakah yang belum percaya itu, apa yang namanya ‘belum percaya’, siapa yang Saudara doakan waktu Saudara mendoakan orang-orang yang belum percaya? Karena ternyata ini bukan soal orang yang percaya apa atau belum percaya apa, melainkan orang-orang yang sudah atau belum memercayakan dirinya kepada Siapa. Ini yang jadi penting; dan inilah ajakan kitab Daniel.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading