Daniel 5 ini banyak sekali yang bisa dibahas sampai saya overwhelm; biasanya saya bisa cari jalan cerita utama yang menyambung keseluruhan khotbahnya, namun kali ini tidak ketemu karena terlalu banyak.
Poin besar pertama, kita melihat pasal 5 dalam struktur besarnya. Kembali kita ingat, struktur kitab Daniel unik karena berbahasa ganda, pasal 1 bahasa Ibrani, pasal 2-7 bahasa Aramaik, pasal 8-12 kembali bahasa Ibrani. Kita juga sudah membahas salah satu tujuan adanya bagian yang berbahasa Aramaik ini, adalah supaya kita sebagai pembaca bisa melihat ini bagian yang ada kiasmus-nya, ada paralelnya. Pasal 2, mimpi Nebukadnezar, paralel dengan pasal 7, mimpi Daniel. Mimpi Nebukadnezar mengenai patung dengan empat bagiannya, yang runtuh dihajar batu misterius; mimpi Daniel mengenai empat makhluk binatang buas, yang kalah oleh seorang figur misterius. Pasal 3, mengenai sahabat-sahabat Daniel yang terancam dapur api, paralel dengan pasal 6, mengenai Daniel sendiri yang nyawanya terancam gua singa. Pasal 4 dan pasal 5 juga paralel, dua-duanya bicara mengenai raja-raja Babilonia yang meninggikan diri di hadapan Tuhan lalu direndahkan; pasal 4 Raja Nebukadnezar, pasal 5 Raja Belsyazar. Paralel-paralel seperti ini memang semacam fitur dari Alkitab, maka kita perlu tarik sedikit pelajaran akan hal ini, bukan cuma untuk bisa mengerti kitab Daniel, tapi juga jadi mengerti bagaimana membaca Alkitab secara keseluruhan.
Dalam Alkitab banyak sekali paralel. Bentuk dan jenisnya berlainan, ada yang cuma satu kalimat berparelel dengan satu kalimat, ada yang berupa satu bagian besar yang paralel dengan bagian yang lain. Contoh paling gampang yaitu Amsal, misalnya Amsal 10:1, “Anak yang bijak mendatangkan sukacita kepada ayahnya, tetapi anak yang bebal adalah kedukaan bagi ibunya.” Banyak ayat dalam Amsal kayak begini, sepaket dua kalimat, kalimat pertama dan kalimat kedua mirip-mirip namun bukan sekadar pengulangan, yang satu tidak bisa dibaca terlepas dari yang lain. Dalam Amsal tadi, anak yang bijak mendatangkan sukacita kepada ayahnya, namun sudah pasti bukan berarti ibunya tidak bersukacita; demikian juga anak yang bebal sudah pasti bukan cuma ibunya yang berduka, ayahnya pasti juga. Kalimat yang satu tidak bisa dibaca terlepas dari kalimat yang lain; ini bukan sekadar pengulangan, ini paralel.
Contoh lain, dari Mazmur. Mazmur 33:6, “Oleh firman Tuhan, langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala tentaranya.” Saudara lihat, ada ‘firman Tuhan’ lalu ada ‘nafas dari mulut-Nya’, ada ‘langit’ lalu ada ‘tentara langit’ –paralel. Waktu membaca ini, Saudara tidak cuma melihat ada yang mengulang, tapi juga jadi bisa mengerti kalimat yang satu berdasarkan kalimat yang lain; Saudara jadi mengerti ternyata bagi Alkitab, firman Tuhan itu seperti nafas Tuhan, ternyata firman Tuhan bagi Alkitab tidak cuma urusan ‘benar’, tapi juga urusan ‘menghidupkan’, seperti nafas. Saudara mendapatkan layer tambahan dengan meng-interaksikan dua kalimat yang paralel ini.
Satu contoh lagi, dari kitab Yesaya: “Sebab Aku akan mencurahkan air ke atas tanah yang haus, dan hujan lebat ke atas tempat yang kering. Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas keturunanmu, dan berkat-Ku ke atas anak cucumu”. Di sini ‘air dan hujan lebat’ paralel dengan ‘Roh Allah dan berkat-Nya’. Dengan demikian Saudara jadi sadar bahwa kehadiran Roh Allah bagi kita adalah seperti air bagi tanah yang haus.
Paralel-paralel seperti ini banyak sekali di Alkitab. Ini membuka sedikit bagi kita mengenai cara pikir orang Yahudi, yang kita bisa belajar darinya. Kalau misalnya Saudara diberikan dua opsi dari satu barang yang sama, apa kecenderunganmu? Misalnya Saudara sedang cari shampoo, lalu diberikan dua merek, Pentene dan Clear, maka apa tindakanmu? Saudara cenderung merasa perlu pilih salah satu, kompetisi, cari yang terbaik. Inilah kecenderungan kita, pilih salah satu. Itu sebabnya kalau misalnya ada ayat di Matius yang paralel dengan di Lukas, yang bicara kejadian atau momen yang sama tapi dengan cara yang berbeda, biasanya pertanyaan yang langsung keluar dari kita adalah: ‘yang mana yang lebih …?’, baik itu lebih akurat, lebih dalam, lebih benar, dsb. Kita ingin cari salah satu, yang lebih. Namun orang Yahudi berpikirnya lain. Alkitab penuh dengan parelisme-paralelisme seperti ini justru memberikan kita kacamata yang sangat lain, bahwa ternyata orang Yahudi mengasumsikan: untuk bisa benar-benar mengetahui sesuatu, mengerti sesuatu secara utuh, bijak dalam sesuatu, Saudara sesungguhnya bukan cuma butuh sesuatu itu, Saudara butuh sesuatu itu dan sesuatu yang lain, yang mirip tapi beda.
Dalam PA, kita baru membahas satu hal yang mungkin bisa jadi contoh juga, yaitu dari kitab Kejadian. Tentu Saudara tahu, kitab Kejadian di pasal-pasal pertamanya bicara mengenai penciptaan dunia. Kalau Saudara ditanya, “Cara apa yang Allah pakai untuk menciptakan dunia?”, Saudara tentu akan menjawab dengan kisah penciptaan enam hari (atau lebih tepatnya tujuh hari). Itu memang benar, namun banyak orang tidak tahu bahwa itu sesungguhnya baru cerita penciptaan yang pertama. Hah?? Ada cerita penciptaan yang kedua, ada yang lain?? Ada, yaitu di Kejadian 2. Kalau Saudara membaca Kejadian 2 mulai ayat 4, Saudara akan menemukan kisah yang baru mengenai hal yang sama, yaitu mengenai penciptaan, tapi dengan cara yang berbeda. Ini pun sebuah paralel, antara Kejadian 1 dengan Kejadian 2. Kejadian 1 bicara penciptaan dimulai dengan Roh Allah melayang-layang di atas samudra raya yang dalam, tehom, the deep, air tok, tidak berbentuk dan kosong, tohu wa-bohu, maka tidak bisa ada kehidupan. Problemnya tidak ada kehidupan karena cuma air tok, maka Tuhan menciptakan terang, memisahkan air, menciptakan daratan, supaya bisa ada kehidupan. Sekarang kalau Saudara baca Kejadian 2 mulai ayat 4, lain skenarionya: ‘Ketika TUHAN Allah menjadikan bumi dan langit, belum ada semak apa pun di bumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apa pun di padang, sebab TUHAN Allah belum menurunkan hujan ke bumi, belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu’. Jadi dalam Kejadian 2, pada awal ceritanya, problemnya bukan kebanyakan air tapi justru tidak ada air; tidak ada semak, tidak ada tanaman apapun, memang ada padang tapi tidak ada apa-apa di situ, belum ada hujan, jadi tidak ada air. Ini paralelisme. Yang satu bicara mengenai keadaan sebelum Tuhan bertindak adalah kebanyakan air, sedangkan yang satu lagi bicara mengenai keadaan sebelum Tuhan bertindak adalah tidak adanya air sama sekali.
Di sini Saudara bisa melihat seperti inilah cara baca orang Yahudi, bukan pilih salah satu. Omong-omong, mendengar hal ini pun bisa jadi Saudara sudah terganggu banget karena merasa ‘saya ‘gak pernah tahu yang kayak begini, ternyata dari awal ada dua versi yang berbeda’, lalu selanjutnya: ‘jadi yang mana yang … ??” –terus saja seperti itu. Namun orang Yahudi tidak berpikir seperti itu. Orang Yahudi berpikirnya ‘kalau saya baca Alkitab, itu bukan baca, kelar, lalu maju lagi, kelar, lalu maju lagi, kelar, maju lagi, dst.’; sementara kita membacanya dari kisah pertama, kelar, lalu ke kisah kedua, ke kisah ketiga, dst. terus maju kayak begitu, dan kita bangga kalau sudah baca Alkitab dari depan sampai belakang. Itu sebenarnya cara pikir yang sangat kekinian, terlalu linier. Namun Saudara lihat Alkitab penuh dengan paralelisme. Paralelisme mengajak kita membaca kalimat pertama, lalu kalimat kedua, mundur ke kalimat pertama lagi, dan sekarang Saudara menemukan lapisan makna baru dalam kalimat pertama ini, yang tadinya tidak muncul, yang sekarang muncul karena sudah tahu kalimat yang kedua.
Ini sama seperti waktu Saudara membaca kalimat ‘Hawa melihat buah itu baik, lalu mengambilnya’, dan beberapa pasal kemudian Saudara menemukan kalimat yang mengatakan ‘anak-anak Allah melihat anak-anak manusia cantik-cantik, dan mengambil mereka’; dan maju lagi, Saudara menemukan ‘Daud melihat Batsyeba begitu cantik, dan menyuruh untuk mengambilnya’. Waktu Saudara menemukan paralel-paralel ini, maka yang Saudara lakukan tentu bukan maju ‘kan; Saudara ingat ada sesuatu yang seperti itu sebelumnya, maka Saudara lalu mundur. Namun sesungguhnya dengan mundur ke belakang, Saudara baru benar-benar maju dalam pengertianmu. Ini sebabnya ideal pembacaan Alkitab sebagaimana dikatakan di Mazmur 1 adalah mengunyah dan mengunyah, siang dan malam, siang dan malam, siang dan malam, tidak ada ketergesa-gesaan untuk terus maju pantang mundur. Orang Yahudi menyadari bahwa terkadang untuk bisa maju, perlu mundur dulu. Harusnya ini menghasilkan manusia-manusia yang lebih waras ‘kan.
Kebanyakan dari kita mungkin baru pertama kali mendengar ini, bingung setengah mati, baru tahu ada penciptaan dua kali, yang satu mulai dengan kebanyakan air, yang satu lagi mulai dengan kesedikitan air; dan kita langsung ingin tanya yang mana yang lebih benar, yang mana yang lebih ini dan lebih itu. Namun Saudara lihat, that’s not the point; orang Yahudi tidak berpikir seperti kita yang kadang terlalu sempit. Bukan berarti orang-orang Yahudi itu relativis, tidak peduli kebenaran, semua cerita dianggap benar tanpa terkecuali dan diterima semua; tidak demikian. Satu hal yang kita bisa lihat lewat paralel-paralel seperti ini adalah bahwa bagi orang Yahudi, yang namanya mengerti kebenaran bukanlah sekadar menemukan satu kesimpulan final yang terpaku mati untuk selama-lamanya.
Dalam hal ini saya cuma bisa mengingatkan Saudara pakai ilustrasi musik, soal tempo dalam musik, ketika Saudara tanya ‘apa tempo yang tepat untuk menyanyikan lagu ini’. Biasanya kita cenderung pikir cuma ada satu tempo yang tepat; tapi musik tidak sesempit itu. Ada lagu-lagu yang waktu dinyanyikannya di KKR, Saudara bisa menyanyikan dengan lebih semangat –maka lebih cepat– namun lagu yang sama ketika digunakan dalam acara kebaktian Penghiburan, Saudara bis nyanyikan dengan lebih lambat, dan dua-duanya tepat. In some way, ketika Saudara mau menentukan tempo yang tepat, Saudara justru perlu terlebih dulu mempertimbangkan tidak cuma satu macam tempo. Saya berkali-kali mengatakan kepada para pianis, kalau mereka mau menentukan tempo yang tepat dalam permainan mereka, perlu pertama-tama coba mainkan lagunya dengan tempo yang lambat dulu, lalu coba dengan tempo yang cepat. Ketika mereka mempertimbangkan paralelisme seperti ini, justru baru bisa menangkap ‘O iya, ya, gua pikir lagu ini enaknya lambat, tapi waktu gua mainkan cepat, ternyata bisa works juga’. Di akhir cerita, mungkin Saudara tidak ambil tempo yang cepat itu, tapi karena pernah mempertimbangkan tempo yang cepat, Saudara jadi dapat suatu gambaran yang mungkin berada di tengah-tengah, dan jadi lebih tepat. Tentu saja ada tempo yang kelambatan dan ada tempo yang kecepetan, bukan semuanya benar, tapi Saudara justru baru bisa bijak dalam menentukan tempo ketika Saudara mempertimbangkan bukan cuma satu, melainkan beberapa –paralelisme.
Contoh yang lain, dalam dunia visual. Mata manusia normalnya dua. Yang dilihat oleh mata kiri dan mata kanan, fokusnya satu barang/objek yang sama; kalau mata kiri dan mata kanan tidak fokus pada satu barang/objek yang sama, itu namanya juling, dan perlu dibereskan. Tapi, waktu Saudara melihat dengan dua mata pada satu objek yang sama pun, tidak benar-benar persis sama apa yang mata kiri lihat dan yang mata kanan lihat, sudut pandangnya sedikit berbeda; dan justru perbedaan seperti inilah yang bisa menghasilkan kedalaman (depth). Sudut pandang yang berbeda (pandangan stereoskopis) itulah yang bisa menghasilkan depth perception. Saudara baru bisa mengukur jarak ketika Saudara punya dua sudut pandang yang berbeda. Kalau mata cedera salah satu, yang paling membuat orang merasa terganggu adalah: dengan satu mata, mereka tidak terlalu bisa menentukan benda yang mereka lihat itu jaraknya persisnya seberapa, karena tidak melihat dari dua sudut yang berbeda. Depth perception baru bisa terjadi ketika Saudara melihat dengan dua mata yang berbeda sudut pandang. Perbedaan di sini malah menghasilkan kedalaman.
Kebenaran yang lebih dalam, lebih utuh, bukan dihasilkan ketika kita menemukan satu sudut pandang yang paling benar dan lebih benar daripada yang lain –yang mata kanan saja lihat sedangkan mata kiri tidak usah– tapi justru ketika Saudara bisa meng-interaksikan sudut-sudut pandang yang berbeda –paralelisme. In some sense Saudara justru lebih dekat dengan kebenaran ketika menyadari Saudara tidak bisa memegang seluruh kebenaran sendirian. Itulah orang yang lebih dekat dengan kebenaran, yang selalu sadar bahwa kehadiran perspektif yang berbeda itu tidak harus mengancam tapi justru bisa memperdalam, melengkapi, memperkaya. Itu sebabnya dalam sebuah keluarga, idealnya memang perlu perspektif pria dan wanita, tidak cuma salah satu, bahkan kadang perspektif anak-anak juga. Untuk tangan bisa bergerak, perlu otot biseps dan juga triseps, tidak cuma salah satu.
Tentu saja tidak semua yang berbeda pasti oke –ada yang namanya juling– namun sepertinya bagi Alkitab, kebenaran juga bukan ketika pokoknya segala perbedaan berhasil diseragamkan dalam satu bentuk ultimat yang tiada duanya, yang tanpa paralel. Justru idealnya, sepertinya malah tidak baik kalau seorang diri saja. Saya rasa ini sikap yang lebih tepat terhadap kebenaran, lebih Alkitabiah juga, in which memang ada yang benar dan ada yang salah, tidak bisa anggap semua benar, namun di sisi lain kita bukan benar ketika kita bisa menaklukkan kebenaran, melainkan ketika kita dipimpin oleh apa yang benar; bukan jadi hakim atas kebenaran, melainkan jadi murid dari apa yang benar. Benar, di dalam Alkitab lebih ke urusan proses menjalani suatu jalan yang masih panjang ke depan, yang banyak liku-likunya, yang banyak sudut pandang yang berbeda, dan bukan sekadar urusan ‘saya masuk lewat pintu, yang sekarang sudah dibelakang saya; selesai’. Jelas yang namanya kebenaran di dalam Alkitab bukanlah berarti Saudara terombang-ambing terbingung-bingung, namun yang namanya kebenaran, itu juga melibatkan kerendahan hati, sadar bahwa Saudara selalu butuh yang lain. Dalam Alkitab, sepertinya memang keragu-raguan yang ekstrim bisa jadi musuh, namun saya rasa di sisi lain, kepastian yang terlalu tinggi juga bisa sama berbahayanya. Ini sebabnya idealnya Gereja reformasional bukan sekadar makin lama makin maju, makin lama makin yakin; ideal Gereja re-formasional adalah senantiasa diperbarui, berarti senantiasa mundur untuk bisa maju. Reformasi selalu ada faktor unlearning-nya, tidak cuma learn; unlearning justru supaya bisa learn. Poin saya membuka semua ini, adalah untuk kita menyadari paralel-paralel seperti ini merupakan fitur normal dalam Alkitab, dan kita perlu belajar melihat melaluinya.
Pembahasan kitab Daniel hari ini, kita masuk dalam satu bagian di mana kita menemukan paralel intra-kitab pertama, yaitu antara Daniel pasal 4 dan pasal 5, antara Nebukadnezar dan Belsyazar, antara dua raja Babilonia yang sama-sama meninggikan diri dan kemudian direndahkan. Dari sini saja kita bisa melihat apa tujuan yang lebih besar dari kisah-kisah paralel ini. Daniel 4 fokus pada kesombongan Nebukadnezar, Daniel 5 fokus pada kesombongan Belsyazar. Apa bedanya? Bedanya pada respons raja-raja ini. Dalam Daniel 4, Nebukadnezar direndahkan, kemudian merendahkan diri di hadapan Tuhan dan akhirnya dia dipulihkan; dalam Daniel 5, Belsyazar tidak ada pertobatan seperti itu, dan dia akhirnya dihancurkan.
Kalau kita melihat bukan cuma salah satu, melainkan kedua-duanya secara paralel seperti itu, apa yang kita dapatkan? Sekali lagi, tema keseluruhan yang kita dapati berkali-kali dalam kitab Daniel, bahwa Allah Yahweh-lah yang pegang kontrol, Allah Yahweh yang seungguhnya berdaulat, meskipun di permukaan sering kali tidak kelihatan seperti itu. Di pasal 1, kita melihat Allah berdaulat meskipun Yehuda kalah perang, meskipun Daniel dan sahabat-sahabatnya jadi orang buangan. Di pasal 2, kita melihat Allah berdaulat meskipun kerajaan-kerajaan dunia mengklaim merekalah yang kekal. Di pasal 3, kita melihat Allah tetap berdaulat meskipun sahabat-sahabat Daniel dilempar ke dapur api. Pasal 4 dan pasal 5 juga sama, mendukung tema tersebut dalam cara yang paralel. Pasal 4 menunjukkan bahwa Allah yang in-charge, Allah yang pegang kuasa, karena ternyata terhadap seorang raja asing yang begitu kuat kuasanya dan sombong luar biasa, yaitu Nebukadnezar, Allah mulai dari pasal 1 pelan-pelan meng-invasi kehidupannya, dan betapa kita tidak sangka pada akhirnya raja yang sebegitu hancur dan sebegitu gila itu bahkan sanggup Tuhan rendahkan sampai dia bertobat, sampai dia mengakui kuasa Allah Yahweh. Ini berarti Allah berdaulat. Bagaimana dengan pasal 5? Saudara bayangkan kalau kita hanya punya pasal 4, apa yang hilang? Kalau kita hanya punya pasal 4, kita melihat Allah itu berdaulat ketika raja-raja bertobat; lalu bagaimana kalau rajanya tidak bertobat? Itu sebabnya perlu pasal 5; pasal 5 ini paralelnya. Pasal 5 menunjukkan apa yang Allah lakukan terhadap raja-raja yang tidak bertobat, mereka pun tetap di bawah kuasa kedaulatan Allah. Keduanya merupakan kasus yang beda, untuk membicarakan hal yang sama, yaitu Allah ditunjukkan sebagai yang sungguh-sungguh pegang kuasa. Betapa ini menghibur dan menguatkan kita sebagai umat Allah, karena dalam situasi yang penguasa setempatnya bertobat, itu kedulatan Tuhan, puji Tuhan; namun dalam situasi yang penguasa tidak bertobat pun, Allah tetap berdaulat. Stay cool, don’t worry, Allah tetap pegang kontrol.
Allah berdaulat, maka raja sebesar dan sesombong apapun, bisa dipertobatkan; namun Allah juga berdaulat di balik raja-raja yang menolak untuk bertobat. Sekali lagi, melihat dua hal kayak gini, kecenderungan kita biasanya bikin kompetisi, “Tunggu, kayaknya ini bertentangan; jadi yang mana … “. Jangan demikian, Saudara. Keduanya paralel, keduanya perlu. Itu sebabnya kedaulatan Allah ini menghibur, karena semua situasi covered. Anak saya dua. Yang satu tidak bisa diam, yang satu lagi malas bergerak; dan dalam hal ini saya baru terhibur ketika saya tahu Allahku sanggup menjaga dan memimpin bukan cuma mereka yang ‘gak bisa diem, tapi juga merka yang malas gerak. Dua-duanya. Inilah exactly yang kita dapatkan dengan adanya paralel seperti ini.
Namun tentu saja yang kita mendapatkan bukan cuma penghiburan. Dalam pembahasan pasal 4, kita diajak untuk melihat kesombongan; bukan cuma melihat kesombongan Nebukadnezar, tapi juga bahwa dari kesombongan Nebukadnezar kita melihat kesombongan setiap hati manusia. Dalam pembahasan tersebut kita membongkar apa yang ada di balik kesombongan manusia, dan kita mengakhiri pasal itu dengan kabar baik, bahwa kalau Nebukadnezar saja bisa dibawa Allah ke dalam pertobatan, maka Saudara dan saya pun ada pengharapan. Di pasal 5, kita kembali diajak melihat kesombongan manusia, tapi kali ini pembahasannya diakhiri bukan dengan berita pertobatan, melainkan dengan penghakiman yang fatal. Sekali lagi, jangan tanya, “Yang mana yang lebih …?” Itu kacamata yang salah. Alkitab tidak memilih antara berita kasih karunia pertobatan dan berita peringatan penghakiman. Kita cenderung pilih salah satu. Orang Barat katanya sulit menerima Allah yang menghakimi, hanya terima Allah yang mengasihi; sebaliknya orang Timur katanya sangat mudah menerima Allah yang menghakimi, tapi susah menerima Allah yang beranugerah. Alkitab bukan salah satu. Ini paralelisme dalam Alkitab; dan kita perlu mengambil kedua-duanya untuk melihat lebih dalam, lebih utuh, lebih riil.
Poin besar yang kedua merupakan satu hal yang worth dibahas meski tidak terlalu nyambung, yaitu kesejarahan kitab Daniel pasal 5. Dari pasal 4 ke pasal 5, kita melihat kayak mendadak, baru saja kita melihat pasal 1, 2, 3, 4, tentang Nebukadnezar, orang yang terkenal, lalu tiba-tiba di pasal 5 panggungnya berubah total, dengan raja yang baru sama sekali, Belsyazar. Juga dalam pasal 5 ini Belsyazar disebut sebagai anak Nebukadnezar, yang kemudian dalam masa pemerintahannya Babilonia ditaklukkan negara adikuasa berikutnya, kerajaan Media-Persia. Lalu di pasal berikutnya, Daniel 6:1, kisahnya langsung pindah ke kerajaan Media-Persia, setelah malam itu juga Belsyazar dibunuh dan terntara Media-Persia masuk.
Dalam hal ini ada something yang worth untuk dibahas, karena Saudara menemukan bahwa setelah Nebukadnezar, raja yang berikutnya disebut adalah Belsyazar, yang dikatakan sebagai anak Nebukadnezar; dan hal ini pernah jadi problem. Dari sumber-sumber arkeologi di luar Alkitab, waktu para arkeolog meneliti teks-teks sejarah Babilonia, mereka mendapatkan versi sejarah yang sepertinya lain. Mereka mandapati bahwa Nebukadnezar dicatat memerintah selama 43 tahun, sukses besar, lalu meninggal. Anaknya kemudian naik takhta, tapi nama anaknya ini bukan Belsyazar, namanya Ewil-Merodakh; bahkan nama ini pernah muncul dalam kitab Raja-raja di Alkitab sebagai orang yang meneruskan Nebukadnezar. Ewil-Merodakh naik takhta selama dua tahun, lalu dibunuh oleh iparnya sendiri. Iparnya itu bernama Neriglissar, hanya memerintah selama 4 tahun, sebelum dia kemudian meninggal dan digantikan anaknya. Anaknya bernama Labashi-Marduk, yang cuma memerintah sebulan, lalu dikudeta. Dia dikudeta oleh seorang bernama Nabonidus; dan menurut kitab sejarah Babilonia, Nabonidus adalah raja Babilonia terakhir sebelum Babilonia runtuh ditelan kerajaan Media-Persia di bawah Kores. Jadi, di mana sebenarnya Belsyazar??
Pada awalnya dunia arkeologi tidak menemukan catatan apa-apa mengenai Belsyazar. Ini menarik, berhubung di abad 20 cukup lama ditekankan dan masuk dalam kurikulum kelas-kelas sejarah religius maupun sejarah umum sebagai salah satu bukti Alkitab tidak reliable secara sejarah. Mau buktinya bahwa Alkitab cuma dongeng fiktif? Ini salah satunya: kalau kamu bandingkan cerita Alkitab dengan catatan-catatan sejarah Babilonia, tidak ada raja Babilonia bernama Belsyazar; dan siapapun dia, sudah pasti dia bukan anak Nebukadnezar. Namun menariknya, belakangan dunia arkeologi berhasil menerjemahkan huruf-huruf cuneiform dari akasara Babilonia, dan dengan demikian mulai bisa membaca teks-teks kuno Babilonia yang sebelumnya mereka sudah punya tapi tidak bisa baca. Dari teks-tekls yang banyak itu barulah arkeologi menemukan ada teks-teks yang menyebut Belsyazar. Siapakah Belsyazar dalam teks-teks tersebut?
Belsyazar adalah anak Nabonidus, raja terakhir Babilonia yang disebutkan tadi. Masalahnya, Nabonidus ini seorang yang menyembah dewa yang salah. Sebagaimana kita tahu, Marduk adalah dewa utama Babilonia, sedangkan favoritnya Nabonidus adalah dewa Sin. Itu sebabnya –entah sukarela atau dipaksa– Nabonidus menyingkir selama 10 tahun lebih ke daerah pinggiran, tanah Arab, sementara anaknya, Belsyazar –yang imannya lebih “ortodoks” bagi orang Babel– menjadi raja defacto atas Babilonia, memerintah atas nama Nabonidus sampai datangnya kerajaan Media-Persia lalu kerajaan Babilonia tamat. Dengan demikian benar bahwa Nabonidus adalah raja terakhir kerajaan Babilonia, namun Belsyazar adalah orang yang pegang tampuk kekuasaan terakhir sebelum Media-Persia datang. Ini menarik, karena dalam pembacaan tadi Saudara menemukan ketika Belsyazar menawarkan kepada Daniel hadiah kalau bisa menafsirkan tulisan di tembok istana, yang dia tawarkan adalah posisi sebagai orang ketiga dalam kerajaan Babilonia; kenapa ‘ketiga’? Karena Nabonidus, ayah Belsyazar adalah orang nomor satu, Belsyazar sendiri nomor dua, maka dia tidak bisa memberikan posisi kepada orang lain lebih tinggi dari posisi orang ketiga. Jadi ternyata penulis kitab Daniel terbukti lebih tahu fakta sejarah waktu itu dibandingkan dengan so called para ahli arkeologi zaman modern, yang kadang terlalu cepat menarik kesimpulan.
Lalu kenapa Belsyazar disebut sebagai anaknya Nebukadnezar? Karena dalam budaya zaman itu, yang disebut ‘bapak’ tidak harus berarti bapak secara literal, melainkan simply berarti leluhur, biasanya leluhur yang berdampak besar sehingga keturunannya disebut sebagai anaknya. Misalnya Elia dalam Alkitab disebut sebagai bapaknya Elisa, meskipun mereka tidak ada hubungan darah. Seperti juga Soekarno disebut sebagai bapak dari bangsa Indonesia.
Setelah penemuan tersebut, barulah kurikulum-kurikulum dari banyak pelajaran sejarah direvisi. Mereka baru tahu bahwa Alkitab ternyata sudah duluan tahu fakta sejarahnya dan mencatat dengan akurat fakta sejarah ini, sementara arkeologi terlalu cepat ambil kesimpulan (sama seperti kasus bangsa Het yang sudah kita sebut dalam pembahasan sebelumnya). Jadi poinnya, sekali lagi kita mendapat peringatan untuk berhati-hati menilai Alkitab terlalu cepat, baik berdasarkan sains, atau arkeologi, atau hal-hal lain. Ini bukan karena kita sebagai orang Kristen menganggap rendah sains, teknologi, arkeologi, dsb., tapi simply karena natur dari sains/ilmu pengetahuan dan arkeologi masih akan terus berkembang, kita tidak pernah tahu apa yang bisa didapat dari galian esok hari. Hari ini Saudara lihat urusan keberadaan Raja Belsyazar dan sejarah Babilonia sudah dikoreksi, namun mengenai cerita keluarnya bangsa Israel dari Mesir, masih banyak para arkeolog yang merasa sebagai suatu fiksi. Kenapa demikian? Karena mereka simply tidak bisa menemukan bukti pendukung dari galian-galian arkeologis bahwa pernah ada peristiwa seperti itu, ada sebanyak itu orang yang keluar dari Mesir lalu menaklukkan kota-kota di sini dan di situ, dsb.;karena tidak menemukan buktinya, maka mereka mengatakan, “Itu kayaknya fiktif, deh”.
Saudara, kita tidak tahu apa yang kita tidak tahu, kita tidak tahu besok ada galian baru apa yang bisa kita temukan, maka ini satu hal yang saya rasa kita perlu pahami. Dan sejujurnya, bukti historis tidak sebegitu penting-penting amat untuk iman kita. Kita bukan percaya karena bukti; arkeologi bukanlah fondasi iman kita. Mendasarkan kepercayaan kita di atas dasar bukti-bukti arkeologi, itu bukan langkah yang bijaksana, bukan langkah yang alkitabiah. Dalam kasus ini, saya rasa mendasarkan ketidakpercayaan di atas dasar arkeologi, itu juga sama bodohnya. In any case, paling tidak kita tahu bahwa setting pasal 5 ini berpuluh-puluh tahun setelah pasal 4, bukan langsung setelahnya. Dalam pasal ini Daniel kira-kira sudah berumur 70-80an, rambutnya sudah putih, kemungkinan dia juga sudah semi pensiun dari kehidupan istana.
Poin yang ketiga, kita masuk ke dalam refleksi teologisnya. Hal pertama yang kita lihat dalam pasal 5, pasal ini dimulai dengan suatu pesta besar-besaran, dengan 1000 orang hadirin, dengan anggur yang memabukkan; dan kita melihat kembali bom waktu dari pasal 1 itu, perkakas Rumah Tuhan yang kembali muncul. Dalam kemabukan, Belsyazar menyuruh orang mengambil perkakas-perkakas ini dan mereka gunakan untuk minum-minum anggur. Kalau kita cuma melihat bagian ini, kita akan mengira problemnya soal mabuk-mabukan doang; tapi yang menarik kalau kita lompat ke ending pasalnya, yang merupakan bingkai belakangnya –sekali lagi, paralelisme– kita menemukan bahwa pada malam itu juga Belsyazar dibunuh dan kerajaan Babilonia jatuh ke tangan Media-Persia. Ini satu bentuk paralelisme, ketika Saudara membaca bingkai di awal dan di akhirnya. Waktu Saudara membaca ending-nya, Saudara bisa mundur ke awal lagi dan membaca bagain awal dengan lebih jelas, yaitu bahwa pesta yang diceritakan di awal tadi bukan sekadar pesta, ini pesta yang dilakukan sementara tentara Media-Persia sudah mengepung di luar, buktinya malam itu juga Babilonia akan diruntuhkan. Jadi waktu mereka berpesta, kemungkinan besar bukan karena mereka tidak sadar ada tentara di luar kota, tapi justru karena ada tentara di luar kota.
Indikasi bahwa pesta ini lebih dari sekadar pesta, Saudara temukan di ayat 3, ketika ada dua golongan yang biasanya tidak dipertemukan, yaitu para istri dan para gundik, yang pada umumnya dipisah karena biasanya ada ketegangan antara istri dan gundik. Bahkan kalau Saudara bandingkan dengan perjamuan pada bagian lain di Alkitab, misalnya dalam kitab Ester, waktu Ahasyweros mengadakan perjamuan gila-gilaan, selagi dia mengadakan perjamuan itu dengan pejabat-pejabatnya, dikatakan bahwa Ratu Wasti juga mengadakan perjamuan bagi para wanita di istana tersebut. Jadi sepertinya dalam budaya waktu itu mereka tidak dicampur, sedangkan dalam pasal ini mereka bahkan disatukan dalam satu tempat. Di sini Saudara menangkap ada sesuatu yang tidak biasanya.
Selain itu, bahwa perkakas-perkakas Rumah Tuhan dibawa masuk ke dalam pesta ini, barangkali ini bukan sekadar efek kemabukan anggur. Dalam hal ini, ada yang mengusulkan begini: orang Babilonia itu politeis, yang dalam kacamata modern berarti mereka ini pluralis; mereka tahu ada banyak dewa, tidak cuma satu, dan mereka mengakui keberadaan semua dewa itu, to certain extent mereka menghormati bahwa dewa-dewa lain itu dewa. Dengan demikian, membawa masuk perkakas-perkakas Rumah Tuhan ke dalam pesta, bisa jadi mengindikasikan bahwa pesta ini merupakan sebuah festifal religius untuk merespons keberadaan segudang tentara musuh di luar kota. Mungkin mirip seperti bangsa Israel dulu pernah membawa-bawa Tabut Perjanjian ke medan perang, jadi semacam jimat/kiat-kiat untuk memastikan –atau memaksa– Allah Yahweh menolong mereka. Belsyazar mungkin sedang melakukan hal yang sama di sini, mengumpulkan kekuatan dari berbagai dewa-dewi yang pernah dikalahkan Nebukadnezar, leluhurnya. Ini suatu langkah desperate terakhir di hadapan pejabat-pejabat dan rakyatnya, untuk meyakinkan ‘ingat, kita pernah sejaya ini; lihatlah medali-medali yang kita pernah menangkan, lihat pencapaian-pencapain kerajaan kita; tentara di luar tembok itu tidak usah kita khwatirkan, tembok kita kuat, koq’, dan sebagainya.
Namun entah bagaimana –mungkin karena mabuk, dan juga ada unsur personal– Belsyazar menyuruh mengambil perkakas itu untuk dipakai jadi alat minum. Sama halnya dengan percampuran antara para istri dan gundik, yang dia lakukan ini juga bukan protokol standar Kerajaan Babilonia waktu itu. Perhatikan bahwa Nebukadnezar memang merampok perkakas-perkakas ini, namun setidaknya dia masih ada certain respek untuk menyimpan perkakas-perkakas ini di kuil dewa, bukan di dapur rumah. Jadi, mungkin poin Belsyazar di sini adalah ingin bikin statement kepada para pejabat dan rakyatnya seperti ini: “Lihat, aku lebih hebat lho daripada bapakku, Nebukadnezar”. Mungkin ini seperti Rehabeam, anak Salomo, yang mengatakan, “Bapakku memaksa kamu kerja pakai cemeti, aku akan memaksa kamu kerja paksa pakai kalajengking; jari kelingkingku ini lebih gede daripada pangkal paha bapakku”. Ada semacam one upmanship di sini, Aku lebih hebat daripada Nebukadnezar, karena Nebukadnezar mengalahkan dewa Yahudi, sementara aku raja yang minum dari barangnya dewa. Tentu saja ini salah langkah.
Itu sebabnya belakangan di ayat 23 Daniel menuding Belsyazar demikian: “Tuanku meninggikan diri terhadap Yang Berkuasa di surga: perkakas dari Bait-Nya dibawa orang kepada tuanku, lalu tuanku serta para pembesar tuanku, para isteri dan para gundik tuanku telah minum anggur dari perkakas itu; tuanku telah memuji-muji dewa-dewa dari perak dan emas, dari tembaga, besi, kayu dan batu, yang tidak dapat melihat atau mendengar atau mengetahui, dan tidak tuanku muliakan Allah, yang menggenggam nafas tuanku dan menentukan segala jalan tuanku.” Menghina barang-barang milik Tuhan, itu sama saja dengan menghina Tuhannya. Bukan berarti kita percaya ada sesuatu yang gaib dalam perkakas-perkakas tersebut, tidak perlu seperti itu. Bayangkan saja kalau suatu hari Saudara datang ke kantor pagi-pagi, lalu menemukan mejamu dibalikkan, dicoret-coret, kursimu dicopot kakinya, komputermu disiram air, gelas kopimu diisi air got, Saudara tentu menangkaplah apa maksudnya. Ini bukan cuma barang-barangmu yang sedang dihina, engkau sendiri yang dihina. Tidak perlu kursi gaib, tidak perlu gelas kopi gaib, untuk menghasilkan makna yang sama. Jadi, karakterisasi Belsyazar dalam hal ini adalah bahwa dia bukan cuma seorang pemabuk, dia seorang penghujat.
Kembali lagi Saudara lihat poin yang dipakai untuk mengungkapkan tema dari keseluruhan kitab Daniel: just because perkakas-perkakas Rumah Tuhan ini dihina, jangan pikir Allahnya kalah. Atau dalam bahasa modern: hanya karena gedung-gedung gereja di Eropa banyak yang tutup, jadi kafe, jadi gym, atau bahkan jadi mesjid, jangan ambil kesimpulan terlalu cepat bahwa Allah Alkitab somehow kalah. Atau, jangan karena Saudara di gereja menemukan orang Kristen yang error-error, maka Saudara mengira Allah mereka juga sama error-nya. Kedaulatan Allah, meskipun kelihatannya tidak seperti itu, ini tema utamanya.
Lanjut dengan apa yang terjadi sesudahnya, yaitu penghakiman. Belsyazar melihat sebuah tangan (dari gaya bahasanya, sepertinya cuma dia yang lihat), dan perhatikan efeknya. Di ayat 6 dikatakan: ‘Lalu raja menjadi pucat, dan pikiran-pikirannya menggelisahkan dia; sendi-sendi pangkal pahanya menjadi lemas dan lututnya berantukan’. Saudara lihat ada empat level seperti ini; dan ini paralel dengan yang ada dalam mimpi Nebukadnezar, bahwa patung besar yang mewakili kerajaan-kerajaan manusia ada 4 tingkat juga: muka emas, dada perak, pinnggang perunggu, kaki besi bercampur tanah liat. Reaksi Belsyazar tadi ada paralelnya dengan ini. Mukanya jadi pucat, ini paralel dengan muka emas. Pikirannya menggelisahkan, ini paralel dengan dada perak, karena pada waktu itu konsepnya bukan berpikir dengan otak. (Dalam hal ini menarik bahwa bahasa Ibrani tidak ada kata ‘otak’, karena mereka tidak merasa itu penting; orang Mesir kalau bikin mumi, otaknya disedot keluar karena mereka tidak tahu ini apa. Sebagaimana Saudara baca di Amsal, hati adalah sumber dari segala sesuatu –termasuk pikiran –demikian orang zaman itu berpikirnya –dan saya rasa lebih benar juga). Selanjutnya sendi pangkal paha. Ini sebenarnya terjemahan; kalimat aslinya adalah: untaian ususnya jadi lepas (bagian pinggang); hal ini bisa dimengerti sebagai kalimat yang mau mengatakan Belsyazar kehilangan kontrol atas ususnya, dia terkencing-kencing dan ter-eek-eek, waktu melihat punggung tangan itu menulis. Terakhir, lututnya –kaki— berantukan.
Dalam momen teror hebat seperti ini, ke mana Belzsyazar pergi/beralih? Kita langsung bisa refleksi di sini: dalam momen krisis, kita beralih ke mana? Menarik bahwa Belzsyazar lalu cari agama dalam keadaan krisis, dalam hal ini tentunya para ahli nujum dan ahli jampi dalam bangsanya; dan sama seperti empat pasal sebelumnya, mereka muncul hanya untuk lalu dipermalukan karena mereka gagal, tidak mampu, terbongkar kepalsuannya. Di sini kita bisa langsung refleksi, bahwa sering kali demikianlah juga kita. Kenapa momen krisis itu penting bagi orang Kristen? Karena dalam momen-momen krisis, Saudara jadi tahu apa sesungguhnya yang jadi agamamu yang sejati. Nebukadnezar beralih ke agamanya dalam momen krisis; kita dalam momen krisis beralih ke mana? Tentu kita bisa beralih kepada doa kalau kita berpikir sebagai orang Kristen, namun saya kira banyak dari kita –termasuk saya– pikiran pertama kita bukan ke sana. Pikiran pertama kita mungkin ‘uang cukup ‘gak ya untuk menghadapi hal ini, asuransiku cukup ‘gak ya, perlu dokter yang mana, perlu upgrade teknologi/skill/ilmu apa, ya’, dst. Jangan salah tangkap saya, tentu saja Tuhan menggunakan semua itu; kita bukan aliran yang ‘karena percaya Tuhan, maka tidak minum obat’, itu bukan kepercayaan kita –omong-omong istri saya juga dokter.
Poin dari bagian ini adalah: di mana sesungguhnya dasar dari pengharapan kita di dunia ini. Hal itu jadi something yang jelas ketika kita melihat baik Nebukadnezar maupun Belsyazar, waktu mereka menemukan mimpi yang menakutkan, segala krisis muncul, mereka beralih kepada apa yang jadi pengharapan mereka sesungguhnya, para ahli nujum dan ilmu gaib –sama seperti CNN atau BBC hari ini waktu ada krisis, mereka panggil para ahli, ahli politik, ahli ini dan itu, untuk memberikan pendapat, dst. Itulah yang dunia lakukan. Lalu sama seperti sebelum-sebelumnya, para ahli nujum dan ilmu gaib pun gagal, dan ujungnya kehadiran mereka cuma membuat kegelisahan Belsyazar tambah parah. Ayat 8-9 dikatakan: ‘… tidak sanggup membaca tulisan itu dan tidak sanggup memberitahukan maknanya kepada raja. Sesudah itu sangatlah cemas hati raja Belsyazar dan ia menjadi pucat; juga para pembesarnya terperanjat’–seperti juga ketika kita mendengar komentar para ahli di CNN atau BBC.
Saudara lihat, motif utama dari kitab Daniel adalah mengatakan bahwa di balik hal-hal yang tidak terduga, itu adalah tangan Tuhan, bahkan dalam kisah ini, literally tangan Tuhan muncul. Namun poinnya, mungkin mudah untuk kita melihat tangan Tuhan literally muncul dalam kasusnya Belsyazar, tapi tidak terlalu mudah untuk kita menarik pelajaran bagi kita sendiri, bahwa dalam momen-momen Saudara menemukan berhala-berhala andalanmu gagal, agama-agamamu gagal, itu sesungguhnya adalah tangan Tuhan, kesempatan Tuhan bekerja. Di mana Saudara melihat momen Tuhan “berkesempatan” masuk dalam hidup Belsyazar? Tentu dalam momen ini, momen ketika agama dan berhalanya gagal, dalam momen dia ketakutan sampai terkencing-kencing dan ter-eek-eek. In some sense, momen-momen di ujung tanduk tanpa harapan seperti ini justru sering kali dihadirkan dalam kitab Daniel sebagai momen di mana pengharapan yang sejati berkesempatan unutk tumbuh, baik dalam Belsyazar, maupun dalam Nebukadnezar. Dalam momen penghakiman dan teror pun, ini suatu penghakiman yang diberikan dalam belas kasihan. Ketika Tuhan meninggalkan manusia tanpa jalan keluar, bisa jadi ini justru momen di mana Tuhan sedang memberikan kita kesempatan yang besar.
Salah satu poin yang sering kita bicarakan dalam Persekutuan Doa, mayoritas isi kitab Mazmur merupakan situasi-situasi hidup yang seperti apa? Yang stabilkah? Yang amankah? Yang di atas gunung batukah? Tidak. Kategori besar pertama dalam Mazmur adalah mazmur ratapan, kondisi dis-orientasi, situasi di mana tadinya kita ada pegangan, lalu pegangannya runtuh. Itu sebabnya kalimat-kalimat yang seringkali muncul dalam Mazmur adalah: koq begini, ya Tuhan? koq begitu, ya Tuhan? Ini dis-orientasi, tidak stabil. Namun itulah yang ternyata melahirkan kehidupan doa yang lalu dicatat dalam koleksi kitab Firman Tuhan; kalimat-kalimat manusia yang di-inspirasi oleh Roh Kudus, sehingga dijadikan koleksi Firman Tuhan, lahir dari kehidupan seperti itu.
“Ya, tapi ‘kan kategorinya tidak cuma ratapan, Pak, ada kategori besar kedua dalam kitab Mazmur, yaitu pujian. Kalau ini, oke dong, pujian ‘kan lahir dari situasi stabil ‘kan, Pak”. Enak saja, Saudara pikir dalam Mazmur orang memuji karena hidupnya stabil? Coba saja Saudara refleksi, ketika hidupmu stabil, lagi di atas, memangnya engkau secara natural keluar puji-pujian? Tidak, ‘kan. Justru sering kali problem kita adalah bahwa dalam situasi-situasi stabil seperti itu, kita lupa pada Tuhan. Kalau Saudara perhatikan, mazmur puji-pujian justru sering kali lahir dari momen yang juga tidak stabil; kalau kita sebut ratapan tadi adalah dis-orientasi, maka mazmur pujian lahir dari momen yang kita sebut momen re-orisentasi, momen di mana kita sudah ter-dis-orientasi, pegangan kita runtuh, yang kita andalkan selama ini pupus dan rusak, berhala-berhala andalan kita gagal, kita tidak ada harapan akan adanya jalan keluar, lalu ternyata dari dalam dan melalui kondisi seperti itu Tuhan membawa kita dan menaruh kita ke tempat yang lebih kokoh. Lewat penghakiman, malah muncul pengharapan; pengharapan yang tidak bisa keluar tanpa penghakiman –ini pun sebuah paralelisme. Itulah yang menghasilkan pujian. Orang yang kaget karena tidak sangka Tuhan bisa bekerja lewat kondisi kayak begini, dia memuji. Agustinus mengatakan kalimat yang sangat bagus: Aku sedang menuju kepada kahancuran, jikalau Tuhan tidak menghancurkanku terlebih dulu. Aku akan segera runtuh, jika Tuhan tidak meruntuhkanku terlebih dulu. Konklusinya, Agustinus mengatakan: Tuhan kadang meresepkan kepada kita penyakit-penyakit yang berat, justru supaya kita bisa terlepas dari penyakit yang mematikan.
Omong-omong, saya tidak ada pleasure mengkhotbahkan hal seperti ini. Ini bagian yang mengerikan, termasuk buat saya. Namun Allah Alkitab tidak cuma memberikan bagian penghakiman terhadap Nebukadnezar yang berakhir pada pertobatan, kasih anugerah, dsb., kita juga mendapati paralelnya dalam kisah penghakiman Balsyazar. Dengan demikian, kembali ke Alkitab berarti Saudara tidak ditutupi dari bagian-bagian seperti ini. Saudara, betapa ini satu poin yang kita sangat butuh untuk dengar, meski kita mungkin tidak mau mendengarnya. Saudara perlu sadar, tidak setiap khotbah berakhir dengan nada positif all the time, simply karena Alkitab tidak selalu seperti itu juga. Bagi Alkitab, baik positif ataupun negatif, baik berita anugerah maupun berita penghakiman, bisa Tuhan pakai untuk mendatangkan kehidupan. Bahkan saya mengatakan, perlu dua-duanya, tidak bisa cuma salah satu –tidak baik kalau seorang diri saja, paralelisme.
Terakhir, salah satu poin peringatan terhadap penghakiman yang kita bisa renungkan, yang pas untuk situasi kita hari ini adalah: sementara kita menghampiri meja Perjamuan Tuhan, ingat yang Paulus katakan dalam Surat Korintus, “Barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya.” Tentu saja Paulus bicara mengenai hal yang terjadi dalam jemaat Korintus, namun sekali lagi –paralelisme–mungkinkah Paulus sedang bicara ini dengan mengingat hal yang terjadi dalam perjamuannya Belsyazar, siapa yang makan dan minum yang pada akhirnya mendatangkan hukuman?
Kita jarang menghampiri meja Tuhan dengan perasaan takut seperti ini. Tentu saja kalau Saudara datang dengan ketakutan tok, itu bukan Kekrstenan; tapi sebaliknya juga sama, kalau Saudara selama ini datang hanya dengan perasaan lega, perasaan terangkat, saya rasa itu sama palsu dan sama berbahayanya, bahkan lebih berbahaya karena lebih menipu. Kiranya hari ini kita belajar menghayati Perjamuan Tuhan dengan hati yang bersyukur, karena sementara Belsyazar meninggikan diri di atas Allah dengan mengadakan perjamuan, Anak Allah justru menurunkan diri-Nya di tengah-tengah kita melalui Perjamuan-Nya. Fakta ini harusnya membuatmu bukan cuma bersyukur, tapi juga gemetar, karena yang di hadapan kita ini melambangkan bukan sekadar meja, kursi, gelas kopinya Tuhan, tapi melambangkan diri Anak-Nya sendiri yang diberikan bagimu. Betapa lebih lagi kita harusnya takut dan gentar di hadapan meja ini. Mari Saudara, kita hari ini belajar bersyukur dalam takut dan gentar.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading