Kita melanjutkan pembahasan mengenai diri Allah. Dalam khotbah-khotbah sebelumnya kita sudah membicarakan mengenai Allah Sang Pencipta dan Allah Sang Pemelihara, sekarang kita mencoba merenungkan mengenai Allah yang berkuasa, mengenai apa maknanya menyembah dan memiliki Allah yang mahakuasa. Sedikit banyak kita tahu apa artinya “Allah mahakuasa”, tapi tujuan khotbah-khotbah doktrinal seperti ini tidak pernah cuma untuk membuat kita tahu dan mengerti, melainkan untuk kita ngeh dan mengenal, devosional. Kita akan membahas 2 topik besar dari pembacaan Alkitab hari ini; yang pertama, “kuasa Allah”, dan yang kedua, “kuasa manusia”.
Pertama, “Kuasa Allah”
Kuasa Allah di dalam Alkitab digambarkan/ dihadirkan sebagai apa? Tidak terlalu beda jauh dengan yang kita sudah tahu, yaitu kuasa Allah di dalam Alkitab dihadirkan sebagai kuasa yang absolut, mutlak, dan ini berarti kuasa yang tidak ada perkecualiannya. Di ayat 6 dan 9 dikatakan “Dia berfirman, lalu jadi”. Bukan cuma firman, tapi juga di ayat 11 misalnya, yaitu rencana-Nya berdiri kokoh, teguh selama-lamanya.
Kalau Saudara membuka kamus, mencari definisi “kuasa”, salah satu definisi yang menarik yaitu kuasa adalah kapasitas/kemampuan untuk membuat keinginan menjadi kenyataan. Orang yang ingin membuat rumah, lalu bisa membuat rumah, itu orang yang berkuasa; dan pasti lebih berkuasa dibandingkan orang yang hanya kepingin, tapi dia tidak mampu membuat rumah. Jadi, apa maksudnya “kuasa dalam skala Allah” waktu dikatakan kuasa Allah itu absolut mutlak, ngomong lalu langsung jadi, merencanakan dan rencana-Nya itu kokoh selama-lamanya? Ini berarti bedanya dengan kita adalah begini: semua dari kita mengalami jurang (gap) antara apa yang kita inginkan dan apa yang terjadi –tentu ada juga yang kita inginkan dan itu terjadi, tapi tidak semua– dan semakin tipis gap antara dua hal tersebut, kita semakin berkuasa, semakin jauh beda antara dua hal tersebut, kita semakin tidak berkuasa; maka waktu dikatakan “kuasa Allah absolut”, berarti tidak ada gap-nya sama sekali, ini adalah Allah yang tidak ada bedanya antara apa yang Dia inginkan dan apa yang Dia bisa lakukan. Dia berfirman, maka jadi. Dia merancang, dan rancangan-Nya bertahan. Ini sebabnya dalam teologi Alkitab, kemahakuasaan Allah begitu penting.
Seorang penulis Puritan 300 tahun silam, Stephen Charnock, pernah menulis demikian: atribut-atribut Allah —kekudusan-Nya, kebenaran-Nya, belas kasihan-Nya, keadilan-Nya— itu semua tidak akan ada gunanya, jika Allah tidak mahakuasa. Maksudnya, kemahakuasaan Allah itulah kuncinya, kemahakuasaan Allah itulah yang membuat atribut-atribut Allah punya kuasa. Tanpa kemahakuasaan, belas kasihan Tuhan jadi cuma rasa kasihan. Tanpa kemahakuasaan, janji-janji Tuhan hanya gombal. Tanpa kemahakuasaan, penghakiman Tuhan hanyalah orang-orangan sawah. Stephen Charnock membuat kita jelas bahwa kemahakuasaan Allah sangat penting, karena kemahakuasaan Allah adalah hal yang membuat atribut-atribut-Nya menjadi realitas. Dengan demikian doktrin ini –sebagaimana semua doktrin– sebenarnya doktrin yang amat sangat praktis, karena Saudara jadinya bisa menyadari —realize— sesuatu di sini. Dalam bahasa Inggris ada istilah “realize”; dan waktu orang mengatakan, “I realize something”, maksudnya bukan dia membuat/merealisasikan sesuatu melainkan dia menyadari sesuatu, dia sekarang melihat sesuatu itu secara jelas, sesuatu itu menjadi riil bagi dia. Misalnya Saudara kalah dalam lomba lari, maka Saudara sadar akan realitas —Saudara realize— bahwa orang lain lebih cepat daripada Saudara.
Karena kemahakuasaan Allah adalah realisasi dari atribut-atribut-Nya, maka berarti setiap atribut-atribut Allah telah menjadi pondasi dari realitas alam semesta ini. Tidak ada yang bisa melawan realitas alam semesta ini karena atribut Allah adalah mahakuasa dalam semuanya. Misalnya, salah satu atribut Allah kita adalah kebenaran; Allah kita adalah Allah dari kebenaran, bukan Allah kebohongan/penipuan. Ini berarti, karena Allah kita bukan cuma Allah dari kebenaran tapi juga Allah mahakuasa, maka benang rajutan dari realitas alam semesta ini didasarkan atas kebenaran, bukan atas kebohongan. Dengan demikian, kalau kita berbohong, kita bukan cuma sedang merugikan diri sendiri, tapi kita mengarahkan diri bertabrakan dengan rajutan benang alam semesta ini. “Maksudnya apa, sih, Pak?? Apa jadinya saya ‘gak bisa berbohong? Kalau saya bohong, Tuhan akan menghentikan saya?? Kayaknya selama ini saya berbohong, ya, berbohong saja, Allah tidak menghentikan saya, koq. Jadi maksudnya apa, kalau Allah mahakuasa maka semua atribut-Nya –seperti kebenaran– menjadi fondasi alam semesta, dan saya tidak bisa melawan itu?” Maksudnya begini, Saudara tentu saja bisa berbohong, tapi tindakan kebohonganmu tidak akan bisa dipertahankan, akan ada arah di mana Saudara cepat atau lambat bertabrakan dengan realitas alam semesta, karena realitas alam semesta ini adalah realitas yang dasarnya kebenaran, bukan kebohongan.
Ambil contoh tentang makanan. Saudara makan sesuatu yang tidak sehat tapi nikmat –karena makanan yang tidak sehat biasanya nikmat– maka Saudara merasa nikmat untuk sementara waktu, tapi apa yang berikutnya terjadi? Selera dan kenikmatan itu sedang mengarahkan Saudara untuk tabrakan dengan realitas tubuh manusia, bahwa tubuh Saudara tidak didesain untuk menerima terus-menerus makanan-makanan seperti itu, sehingga kalau Saudara terus-menerus mengikuti arah selera dan nafsumu itu, cepat atau lambat Saudara akan tabrakan dengan realitas –Saudara menjadi sakit. Sama juga dengan kebohongan; jikalau Allah kita adalah kebenaran, dan Dia mahakuasa, berarti seluruh realitas ini didasarkan atas kebenaran, bukan kebohongan. Ketika Saudara dan saya berbohong, menghindari kebenaran –kita tentu saja bisa berbohong/menipu– biasanya kita merasa lebih baik, dibandingkan jujur, karena kita merasa jujur akan membawa problem, jadi lebih baik berbohong, menutupi fakta, ini lebih aman, lebih lega buat saya; Saudara merasa seperti itu, sama seperti makan makanan yang tidak sehat, tapi apa yang sedang terjadi? Saudara sedang mengarahkan dirimu kepada tembok alam semesta ini. Tidak masalah Saudara merasa apa, entah makanan nikmat tapi tidak sehat, ataupun kebohongan lebih melegakan dibandingkan kejujuran, itu semua ternyata cuma ilusi, tidak riil, karena realitasnya ditentukan oleh Allah yang mahakuasa ini. Cepat atau lambat, segala jenis kebohongan/penipuan akan ada konsekuensinya. Sampai di sini, poinnya adalah: inilah maknanya menyembah Allah yang mahakuasa.
Saudara, menyembah Allah yang mahakuasa berarti Saudara tidak bisa melarikan diri dari Allah seperti ini, Saudara tidak bisa menganggap diri sebagai perkecualian dari kuasa Allah ini, Saudara tidak bisa mengatakan kepada Allah ini, “Tunggu dulu, tunggu dulu, yang ini tidak berlaku buat saya, ya”. Waktu kita menyembah dan mengenal Allah kita mahakuasa, ini bukan cuma urusan Dia bisa melakukan segala macam yang Dia mau, tapi bahwa implikasinya adalah kalau Dia yang mahakuasa, berarti Dialah satu-satunya yang riil, sementara kita ini hanya nyambung dengan realitas sejauh kita mengikut Dia dan di dalam Dia –barulah kita hidup dalam realitas. Ketika kita melawan Dia, berarti di luar Allah, mau tidak mau kita hidup dalam ilusi –entah itu ilusi makanan yang nikmat tapi tidak sehat, ataupun ilusi kelegaan dalam ketidakjujuran. Apapun yang kaurasakan itu, tidak riil, halusinasi, dan cepat atau lambat Saudara akan tabrakan dengan realitas, karena realitas ini adalah realitas yang fondasinya atribut-atribut Allah yang mahakuasa. Menyembah Allah yang mahakuasa seperti ini, artinya Saudara harus bangun, sadar, realize, bahwa realitas alam semesta ini simpel saja, yaitu Saudara harus menyadari seberapa besar kuasa Tuhan, seberapa jauh jangkauan kuasa ini, seberapa tidak terhindarinya kuasa Allah atas hidup kita. Itulah yang namanya mempunyai “Allah yang mahakuasa”. Di dalam hal ini, kita sekarang bisa masuk ke pembahasan poin yang kedua.
Kedua, “Kuasa Manusia”
Yohanes Calvin mengatakan, “Kenal Allah, maka kenal diri”; jadi kalau kita mengerti gambaran Allah yang mahakuasa adalah seperti tadi, hal tersebut bisa menjadi backdrop untuk kita mengerti lebih jelas apa artinya kuasa manusia. Bahkan Mazmur 33 tadi, setelah di ayat 6, 7, dst. membahas mengenai kuasa Allah, di ayat 16 dan 17 pemazmur sempat membicarakan kuasa manusia yang dimengerti dalam konteks “kuasa Allah yang mahakuasa”.
Ayat 16-17: “Seorang raja tidak akan selamat oleh besarnya kuasa (lebih tepatnya, ‘besarnya jumlah tentaranya’); seorang pahlawan tidak akan tertolong oleh besarnya kekuatan (lebih tepatnya, ‘kekuatan tangannya’). Kuda adalah harapan sia-sia untuk mencapai kemenangan, yang sekali pun besar ketangkasannya tidak dapat memberi keluputan.” Saudara lihat, dikatakan ‘tidak bisa selamat, tidak bisa tertolong, tidak bisa luput’, kalau orang mengandalkan kuasa-kuasa ini; jadi apa alternatifnya? Yaitu di ayat 18-20: “Sesungguhnya, mata TUHAN tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya (khesed), untuk melepaskan jiwa mereka dari pada maut dan memelihara hidup mereka pada masa kelaparan. Jiwa kita menanti-nantikan TUHAN. Dialah penolong kita dan perisai kita!” Jadi, sepertinya pemazmur sedang mengontraskan dua hal, yang satu tidak dapat menyelamatkan, tidak dapat menolong, tidak dapat meluputkan; yang satunya lagi bisa. Dua hal ini apa? Kita akan coba telusuri.
Saudara, karena Allah kita mahakuasa, sementara kita adalah gambar dan rupa-Nya, maka sesungguhnya menjadi seorang manusia tidaklah sesimpel “Allah berkuasa, manusia tidak berkuasa”. Karena Saudara dan saya adalah gambar dan rupa Tuhan, maka sedikit banyak adalah wajar dan alamiah bahwa Saudara dan saya menginginkan kuasa –dalam arti tertentu. Kita menginginkan kuasa, dalam arti kita kepingin punya –dan memang punya–kapasitas untuk merealisasikan apa yang jadi keinginan kita. Kita ingin –dan bukan cuma bisa– akan hal ini. Kita kepingin punya dampak atas dunia ini. Kita ini tidak sudi jika hidup kita hanya sekadar statistik di atas kertas. “Ah, enggak, Pak, saya orangnya nyantai-nyantai saja; memang sih, ada orang-orang yang seperti itu, tapi saya fine-fine saja dengan menjadi orang yang ‘gak berguna, buat saya itu ‘gak masalah. Jadi Bapak salah dalam hal ini.” Oke, jadi Saudara tidak masalah kalau jadi orang yang tidak berguna, ya, tapi Saudara suka tidak mengantri?? Memangnya Saudara hobi menunggu antrian yang ‘gak jalan-jalan itu, apalagi lupa bawa HP pula?? Kenyataannya semua dari kita tidak suka mengantri; kenapa? Karena semua dari kita sedikit banyak bisa merasakan satu hal mengenai ngantri, bahwa ngantri itu ‘gak guna, buang-buang waktu, meaningless, harusnya waktu yang bisa dipakai untuk hal-hal lain tapi tidak bisa karena harus mengantri. Orang pemalas pun malas ngantri. Karena apa? Karena pada dasarnya, bahkan seorang pemalas pun sebenarnya ingin mengisi hidupnya dengan makna, dengan berdampak. Semua dari kita menginginkan hal ini. Dan pada dasarnya itu adalah yang kita lihat sebagai kuasa. Menginginkan hal ini sebenarnya oke dan wajar, bukan satu hal yang berdosa, karena Allah kita, yang menciptakan kita dalam gambar dan rupa-Nya, memang berkuasa. Bukan cuma Dia berkuasa, Dia memang memberikan kepada kita peran untuk menguasai bumi. Dengan demikian, menjadi seorang manusia adalah paling menyedihkan kalau dia tidak punya “lahan”, tidak punya plot dalam hidupnya yang dia bisa take care, kelola, olah; kalau seseorang tidak punya hal itu, sering kali jadi merasa bukan manusia.
Kontras dalam Mazmur tadi bukanlah antara Allah dan manusia dalam arti Allah punya kuasa sedangkan manusia tidak punya kuasa. Bukan itu, karena gambaran “manusia” di Alkitab bukanlah seperti batu, yang disentil dengan kekuatan tertentu akan bergulir dengan kekuatan itu. Kita ini ada peran “pengolahan”-nya atas dunia ini. Dengan demikian yang dikontraskan di sini bukan “punya kuasa” dan “tidak punya kuasa”; yang dikontraskan di sini adalah dua jalan bagi manusia untuk mendapatkan kuasa. Jalan yang pertama, mengandalkan imanmu pada kuasa tentara, kuasa kuda, kuasa dari kekuatan tangan; dan Alkitab mengatakan, ini tidak akan menolongmu, tidak akan menyelamatkanmu, tidak akan meluputkanmu. Jalan yang kedua, menaruh imanmu pada kasih setia Tuhan (khesed), menjadikan Tuhan sebagai perisaimu. Menarik di sini bahwa gambarannya adalah perisai. Kita pikir jalan keduanya adalah menyerahkan kuasa kepada Tuhan, dan berarti kita tidak ada kuasa sama sekali; tapi bukan demikian, Saudara, karena gambarannya pakai perisai. Kita sering kali pikir perisai adalah benda untuk orang-orang yang lemah, yang mewek. Tapi bukan itu. Kalau Saudara melihat konteks ayat ini ditulis, yaitu zaman orang sering perang, maka perisai tempatnya adalah di medan perang, di tangan para pendekar; perisai bukanlah barang bagi orang-orang pengecut, perisai justru bagi orang yang pergi berjuang. Jadi, kontras antara dua jalan tadi tidaklah sesimpel “manusia mengambil kuasa (jalan pertama), dan gagal; jalan keduanya, manusia menyerahkan kuasa, maka ya, sudah, tidak ada kuasa, lalu berhasil”. Tidak seperti itu; ini dua jenis kuasa, dua-duanya kuasa, tapi kuasa yang satu adalah mengandalkan diri, kuasa yang kedua adalah mengandalkan Tuhan. Mengandalkan Tuhan, menyerahkan kuasa kepada Tuhan, malah menghadirkan sebuah jenis kuasa yang lain, kuasa yang lebih sejati. Kita akan coba telusuri dua jalan ini.
Jalan yang pertama, jalan “manusia mengambil kuasa”, kenapa tidak berguna, tidak bisa menyelamatkan? Kalau kita kembali ke peristiwa “kejatuhan manusia”, narasi yang paling sentral dalam Alkitab, apa sih sebenarnya problem utama manusia di Kejadian 3? Di Eden, Allah datang kepada manusia, memberikan Adam dan Hawa, Taman Eden, “Nih, Aku berikan kepadamu, taman Allah, yang pada dasarnya ‘taman surgawi minus 1’, yaitu kamu punya segala sesuatu di sini, kamu boleh menyentuh dan makan segala sesuatu, minus 1 (kecuali 1) … “. Dan, Saudara langsung tahu ini bukan cerita yang cuma memberi informasi mengenai orang pertama dalam sejarah manusia; ini adalah cerita yang sedang memberitahu kita tentang Adam dan Hawa sebagai perwakilan Saudara dan saya, betapa kita benar-benar keturunan Adam dan Hawa karena Adam dan Hawa sama seperti kita, yaitu ujungnya yang “minus 1” itulah yang jadi problem. Ujungnya, yang “minus 1” itulah yang kita rasa harus banget punya.Tidak masalah seberapa banyak yang kita sudah punya, yang selalu jadi masalah adalah “apa yang 1 itu, yang saya ‘gak punya”, itu yang bikin galau. Jadi, yang menyebabkan Adam dan Hawa pada akhirnya makan buah dari pohon terlarang, bukanlah urusan pohonnya. Mereka tidak perlu makanan dan nutrisi dari buah tersebut; urusannya bukan urusan pohon, tapi urusan “power”, urusan kuasa –mereka menginginkan kuasa. Dengan kata lain, problemnya adalah urusan “Tuhan, atau saya”. Kehendak Tuhan, atau kehendak-ku; keinginan Tuhan yang jadi realitas, atau keinginan-ku yang jadi realitas. Inilah problemnya, urusan kuasa. Tuhan tidak ada gap antara keinginan dan kenyataan, sedangkan kita ada gap ini –dan kita tidak suka. Dengan demikian problem dalam Kejadian 3 adalah: kita menginginkan apa yang Tuhan miliki dan yang hanya Tuhan yang memiliki, yaitu kita ingin kemahakuasaan. Kalau Saudara melihat hal ini, Saudara jadi menyadari apa artinya “dosa” bagi Alkitab. Dosa, jangan pernah Saudara lihat dan definisikan sebagai urusan melanggar perintah atau ketetapan Tuhan, itu bukan konsep dosa dalam Alkitab –paling tidak, tidak serendah itu. Kalau Saudara kembali ke Alkitab, dosa tidak pernah sesimpel “melanggar perintah Tuhan”, dosa adalah sebuah aksi kudeta terhadap kuasa Tuhan.
Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman –yang tentunya banyak hal dari dia yang kita tidak setuju– punya analisa yang dalam mengenai satu hal yang Saudara dan saya bisa akui sebagai benar. Nietzsche mengatakan, di bawah segala sesuatu –di bawah segala kekecewaan dan kefrustrasian kita di dalam hidup– sebenarnya adalah urusan “kuasa”, urusan “power play”. Bukan urusan pekerjaan sebenarnya yang bikin kita frustrasi, tetapi bahwa kita tidak ada kuasa dalam pekerjaan. Bukan urusan uang sebenarnya yang bikin kita capek dan kesal, tapi bahwa uang kita tidak cukup dan dengan demikian kuasa kita juga tidak cukup. Bukan relasi yang sebenarnya jadi masalah, tapi urusan power struggle di balik itu, siapa yang sesungguhnya pegang power dalam relasi tersebut. “Gua ‘gak suka deh kalau dia pegang power dalam hal ini”, atau, “gua ‘gak suka deh, kalau dia punya power lebih daripada gua”, itulah problem dalam semua relasi. Menarik ya, analisa Nietzsche. Kita ini tidak suka dikontrol, kita tidak suka kalau yang punya “kata terakhir’ dalam hidup kita adalah pihak yang bukan kita. Dengan demikian Nietzsche melihat, di balik segala seni manusia, di balik segala pencapaian manusia, di balik segala teknologi manusia, bahkan di balik semua agama manusia, itu adalah usaha untuk mencapai power —will to power.
Ini satu hal yang menarik, bahwa agama-agama manusia dalam arti tertentu mengejar power, karena apalah itu agama kalau bukan orang-orang yang mengatakan “aku mau melakukan ini dan itu, dan tidak melakukan ini dan itu, supaya aku bisa mendapatkan sesuatu dari Tuhan” ?? Ini main kuasa; dan kuasanya sekarang bukan atas manusia tapi kuasa atas Tuhan. Orang-orang Farisi, seperti Saudara tahu adalah teladan masyarakat, mereka kalau beli barang bukannya minta diskon tapi justru bayarnya lebih 10%; kenapa? Supaya toko itu bisa membayar perpuluhan. Sampai sebegitunya mereka. Dan ujungnya –meski tidak semua orang Farisi seperti ini, Paulus pun orang Farisi– yang hari ini kita sebut dengan farisaisme (pharisaism) adalah satu kecenderungan untuk mengatakan, “Tuhan, lihat nih, aku sudah mengerjakan ini semua lho, aku sudah mengerjakan bukan seperti yang Kau tuntut tapi bahkan lebih dari yang Engkau tuntut, maka aku bisa menuntut-Mu”. Kalau kita kena tabrakan, kalau kita kena penyakit kanker, kalau kita kena bencana dalam hidup kita, maka kita mengatakan, “Tuhan, koq kayak begini?? Aku ini 20 tahun jadi orang Kristen, Tuhan. Aku selalu ke gereja. Aku tidak pernah gagal memberi perpuluhan –meski kadang gagal waktu harus bayar uang pangkal sekolah– secara umum aku sudah menjalani apa yang Engkau minta. Kenapa hidupku jadi kayak begini??” Saudara, ini apa, kalau bukan sebuah power struggle terhadap Tuhan? “Aku lakukan ini supaya aku bisa mendapatkan power” –sebuah permainan power— itulah jalan agama manusia. Nietzsche benar dalam menganalisa semua ini.
Jikalau bukan karena Roh Kudus datang dan mengubah hati kita, maka segala sesuatu yang mendorong hidup kita ini sebenarnya adalah pengejaran akan power, kuasa. Ini karena di lubuk hati kita yang terdalam tertanam kebohongan pertama di Kejadian 3 itu, yaitu kita pikir kita tidak bisa bahagia kecuali kita memiliki kuasa seperti Allah Sang Pencipta, kita pikir kita tidak bisa bahagia kalau kita punya surga sekali pun jikalau surganya seperti Taman Eden yaitu “surga minus 1”. Minus 1 itulah problemnya, kurang power. Kurang! Kekurangannya yang jadi problem, bukan power yang kita punya. Itu sebabnya selama kebohongan tersebut tertanam di hati kita, Nietzsche benar, bahwa di balik semua itu adalah urusan power. Problem pernikahan, itu urusan power. Problem karier, itu urusan power. Pertanyaannya, kita menyadari ini atau tidak? “O, saya sadar, Pak; saya sadar, orang lain kayak begitu”. Memang gampang melihat orang lain. Ada orang-orang yang seperti itu, orang yang semua orang tidak suka dekat-dekat dengan dia, tapi dia senang banget dekat-dekat dengan orang lain, dan dia harus jadi pusat perhatian; kalau dia berada di tengah-tengah orang, dia mendominasi pembicaraan, atau, dia hanya berhenti bicara ketika orang lain membicarakan kehebatan dirinya. Ini orang-orang yang kalau Saudara berada bersama dia dalam suatu ruangan, rasanya oksigen habis dihisap dia semua. Saudara pasti pernah ketemu orang-orang seperti ini dalam hidupmu. Tapi, ini cuma kasus yang kelihatan jelas saja. Ini adalah kasus di mana orang-orang seperti itu mengejar power-nya kurang jago, mereka kurang jago untuk secara elegan dan anggun menyembunyikan hasrat nafsu mereka akan power. Namun tahukah Saudara apa yang Alkitab katakan, bahwaSaudara dan saya semuanya juga lapar, haus, dan mengejar power seperti itu, hanya saja mungkin kitacaranya lebih elegan dan anggun,sehingga kita bisa menipu diri, mengatakan kita bukan orang yang mengejar power. Realitasnya, semua dari kita melakukan hal itu.
Coba Saudara pikirkan, salah satu alasan kita cenderung tidak mau mengakui, atau tidak sudi mengakui, atau bahkan tidak menyadari, bahwa kita ini mengejar power, adalah karena kita hidup dalam sebuah halusinasi yang tampaknya riil buat kita, yaitu kita pegang kendali atas hidup ini –“saya bukan mengejar power, karena saya memang punya power, koq, itu saja”. Saudara, ini sebuah ilusi, yang semakin muda usia seseorang, semakin gampang terjangkit ilusi ini. Orang-orang yang misalnya baru berumur 20 tahun, kalau seumur hidupnya yang 20 tahun itu sejak kecil sudah dibombardir dengan slogan-slogan seperti “kalau kamu kerja keras, kamu akan bisa mencapai apa saja yang kamu mau”, itu akan membuatnya punya suatu ilusi. Ilusi ini lebih tampak nyata lagi, kalau dalam masa usia yang 20 tahun tersebut orang-orang muda ini sudah mengalami kemenangan-kemenangan dalam “kontes-kontes usia muda”. Kontes-kontes usia muda ini kontes-kontes yang sebenarnya absurd, tapi toh ini kontes-kontes masa kehidupan yang memang kelihatannya penting buat kita pada usia itu. Kontes usia muda itu, misalnya kontes nilai rapor di sekolah, kontes pacar-pacaran, kontes fisik –siapa yang paling ganteng, siapa yang paling cantik, siapa yang paling jago main bola, siapa yang paling jago main basket, siapa yang lompatnya paling tinggi, siapa yang lari paling cepat– kontes duit juga termasuk, meskipun tentunya duit orangtua. Saudara lihat, orang-orang yang dalam umur 20 tahun ke bawah hidupnya berhasil memenangkan sebagian, atau sebagian besar, kontes-kontes tersebut sejak muda, mereka akan lebih mudah menipu diri, menyembunyikan dari diri mereka sendiri seberapa besar rasa lapar dan hausnya akan power —exactly karena mereka pikir mereka punya power.
Dalam olahraga misalnya, ada 2 tim bola berhadapan, mereka bertarung habis-habisan, akhirnya salah satu tim menang 1-0 karena gol hoki, maksudnya tendang bola, kena tiang, kena orang, mantul lagi, tiba-tiba ada satu pemain yang lagi lihat ke belakang lalu tidak sengaja bolanya ketendang masuk gawang, gol! Semua bahagia banget, menang 1-0. Lalu selesai pertandingan biasanya mereka diwawancara; dan dalam kejadian seperti itu, biasanya wartawan akan bilang begini, “Yah, kita bisa lihat ya, gol tadi itu gol hoki-lah; bagaimana menurut Bapak?” Di sini, pernahkah si pelatih, atau striker-nya, atau kaptennya, menjawab dengan rendah hati, “Iya, sebenarnya hari ini kita main luar biasa jelek; tadi itu benar-benar hoki banget, tim yang menang hari ini bukanlah tim yang lebih baik” ? Bisa saja pernah sih, tapi juaaraangg setengah mati. Yang Saudara sering temukan justru sebaliknya; waktu si wartawan mengatakan, “Itu tadi gol hoki, ya”, maka sang pelatih mengatakan, “Hoki? Luck?? Buat kamu mungkin hoki karena kamu melihat dari luar, tetapi tahu ‘gak seminggu kami latihan berapa kali dan seberapa keras, tahu ‘gak dalam seminggu kami lari berapa ratus kilometer, tahu ‘gak ini semua kami lakukan berapa tahun sejak kami kecil, tahu ‘gak seberapa perjuangan yang sudah kami lakukan, keringat, darah dan air mata yang sudah kami tumpahkan?? Hoki?? Luck?? We make our own luck!” Itulah yang sering kita dengar. Dan implikasinya berarti tim lawan tidak berjuang sekeras mereka; mereka berjuang, sehingga kalau pun hari ini hoki, “Kami patut mendapatkannya!” —karena kami sudah berjuang begitu keras. Saudara tahu, ini apa? Ini ilusi. Ini halusinasi. Ini halusinasi yang sangat mudah menjangkiti kita kalau kita merasa sudah bayar harga begitu mahal, apalagi kalau Saudara dan saya golongan middle class ke atas, yang memang uangnya tidak sampai tumpah ke jalan-jalan, tapi kita selama ini tidak berkekurangan!
Namun seiring kita bertambah umur, mau tidak mau kita pelan-pelan menyadari –realize—bahwa kita tidak pegang kontrol. Dan, di saat itulah kita baru menyadari apa sebenarnya arah hati terdalam dari hidup kita. Saudara mungkin akan menyadari bahwa Saudara tidak pegang kontrol, ketika Saudara mulai masuk ke dunia karier. Atau, kalau Saudara tidak menyadarinya di situ, Saudara akan menyadarinya ketika Saudara mulai menjalin relasi pernikahan. Atau, kalau Saudara tidak menyadarinya pada waktu Saudara menikah, Saudara akan menyadarinya ketika Saudara mulai punya anak. Atau, kalau Saudara masih tidak menyadarinya waktu Saudara punya anak, Saudara akan menyadarinya lewat tubuhmu. Ketika suatu hari pagi-pagi Saudara masuk ke kamar mandi untuk mandi pagi, rutin banget, menyalakan air, mandi, lalu kencing –dan kencing Saudara banyak darah. Gilanya, Saudara tidak merasakan sakit sama sekali. Setelah mandi, Saudara cari-cari di internet, apa penyebab darah di urin, lalu Saudara menemukan bahwa kalau orang kecing berdarah dan tidak merasakan sakit, itu indikasi utama dia mengidap kanker. Apa yang Saudara rasakan sekarang? Minta maaf kalau contohnya agak horor, tapi memang tujuan khotbah hari ini adalah untuk membangunkan kita, membuat kita realize, bahwa tidak ada dari kita yang pegang kontrol. Kalau Saudara tidak menyadari hal itu dalam karier, dalam pernikahan, dalam membesarkan anak-anak, Saudara akan menyadarinya lewat tubuhmu yang makin menua. Kita tidak pegang kontrol, Saudara! Dunia ini berjalan atas dasar suatu kuasa yang melampaui kita. Apa yang kita miliki dalam hidup ini, hanyalah sesuatu yang diberikan kepada kita; dan dengan demikian semudah itulah juga semua bisa diambil dari kita. Semakin kita berumur, semakin kita menyadari realitas ini; dan semakin kita menyadari diri kita tidak pegang kontrol, semakin kita sadar seberapa marah, seberapa upset, seberapa insecure kita akan hal ini!
Satu ilustrasi yang lain, misalnya Saudara bukan polisi tapi entah bagaimana Saudara dapat baju polisi, dapat seragamnya, helmnya, mobilnya atau motor gedenya yang keren dengan lampunya yang kelap-kelip biru itu. Lalu Saudara naik motor itu, keliling kota, dan orang-orang pikir Saudara polisi. Rasanya bagaimana? Rasanya sangat nikmat, apalagi kalau kita di daerah (bukan Jakarta) karena polisi sangat direspek. Waktu kami ke Sumba, kami bingung karena hampir semua anak-anak yang ditanya cita-citanya mau jadi apa, mereka kepingin jadi tentara atau polisi. Waktu saya di jalan bersama supir ojek cari sekolah, tiba-tiba dia bilang, “Pak, lihat motor di depan, itu motor polisi, saya yang bikin plat-nya buat dia” –ini jadi suatu kebanggaan buat orang daerah. Jadi misalnya Saudara di daerah, lalu Saudara bisa pakai baju polisi, bisa dapat motornya, bisa ngebut sekencang apapun tanpa bahaya ditilang, lalu Saudara teriakin orang-orang di jalan dan orang-orang semua minggir, itu rasanya sangat nikmat, ya toh?? Tapi, ada semacam kecemasan kecil ‘kan yang menghantui sepanjang Saudara menjalani hal itu; dan kecemasan kecil ini tiba-tiba melambung besar ketika di jalan Saudara melihat polisi beneran. Saudara disetop, lalu polisi itu turun dari mobilnya. Semakin dia mendekat, detak jantung Saudara semakin naik, Saudara tahu dia akan bertanya hal-hal kepadamu. Saudara makin upset, Saudara makin insecure, Saudara makin sadar ilegalitas dari hal yang Saudara kerjakan. Saudara makin sadar fiksi apa yang selama ini menjadi dasar hidupmu. Saudara makin sadar kuasa yang Saudara punya, itu cuma kuasa palsu hasil bajakan, yang sebentar lagi akan terungkap dan runtuh berkeping-keping.
Semakin Saudara berumur, itulah hidup kita. Semakin Saudara berumur, alam semesta semakin mendekat. Semakin kita berumur, Allah semakin medekat, dan kita semakin menyadari fiksi macam apa yang selama ini kita telah mendasarkan hidup kita di atasnya. Kita mengatakan kita tidak perlu Tuhan, atau, kita mengatakan kita perlu Tuhan, tapi perlu Tuhan hanya dalam hal kecil hidup kita, yah, urusan keselamatan rohani, sedangkan kalau urusan yang lain, saya tidak perlu submit seluruh hidup saya kepada Tuhan; definitely bukan urusan uang, bukan urusan waktu, apalagi urusan selera, yang saya perlu submit kepada Tuhan, dan bukan urusan ikut-ikut acara seperti di flyer gereja ini yang tidak berguna buat saya jadi saya ‘gak mau ikut, karena kita hidup dalam suatu fiksi “kalau saya bekerja cukup keras, kalau saya cukup pintar, kalau saya cukup rajin, maka saya bisa membuat perbedaan atas hidup ini, karena saya punya kuasa, karena saya bisa berkuasa”. Cepat atau lambat Saudara akan menyadari bahwa di balik itu, semua cuma fiktif belaka; dan ketika Saudara menyadari itu, Saudara akan melihat dirimu begitu ketakutan (insecure), Saudara begitu butuh kuasa dan menginginkan kuasa. Orang yang tidak percaya Tuhan pun, cepat atau lambat akan menyadari hal ini. Jadi Nietzche benar, manusia didorong oleh will to power, kepingin mengejar kuasa; tapi Alkitab juga benar, bahwa meraih kuasa seperti ini, tidak menyelamatkan. Raja tidak diselamatkan karena besar jumlah tentaranya, itu tidak akan menolongmu pada akhirnya, tidak akan meluputkanmu pada akhirnya.
Di dalam majalah Forbes, majalah finansial Amerika yang cukup terkenal, ada sebuah artikel yang menceritakan konon pada tahun 1923 di Amerika, di sebuah hotel bernama Edgewater Hotel, 9 orang ikon bisnis industri Amerika berkumpul dalam sebuah meeting. Mereka adalah Charles M. Schwab (pemilik perusahaan besi terbesar di Amerika), Samuel Insull (presiden perusahaan utilitas terbesar di Amerika), Howard Hubson (presiden perusahaan gas terbesar di Amerika), Richard Whitney (presiden New York Stock Exchange), Leon Fraser (presiden Bank of International Settlement), Arthur Cutten (spekulan gandum terbesar di Amerika), Jesse Livermore (broker Wall Street terbesar di Amerika pada waktu itu), Ivar Krueger (presiden Swedish Match, yang mengontrol monopoli 60% pangsa pasar korek api seluruh dunia), dan Albert Fall (anggota kabinet Presiden Harding, presiden Amerika pada waktu itu). Ini orang-orang yang paling sukses, paling kuat, yang konon harta dan aset mereka kalau digabung bisa menyaingi atau bahkan melebihi perbendaharaan Amerika. Poin dari artikel tersebut, bahwa 25 tahun setelah pertemuan itu, yang terjadi adalah: Charles M. Schwab mati bangkrut, Samuel Insull mati bangkrut, Howard Hubson mengalami mental breakdown dan masuk rumah sakit jiwa, Richard Whitney masuk penjara, Leon Fraser bunuh diri, Arthur Cutten mati bangkrut, Jesse Livermore bunuh diri, Ivar Krueger bunuh diri, Albert Fall masuk penjara lalu dapat grasi amnesti dilepaskan dari penjara karena sudah mau mati supaya bisa mati di rumahnya. Saudara, meraih power tidak menyelamatkan, kita semua tahu hal ini, tapi kita sering kali tidak mau melihatnya dalam diri kita. Jadi apa alternatifnya?
Selain ada “kuasa manusia” yang diambil dengan cara meraih, yang ujungnya tidak menyelamatkan, Mazmur mengatakan ada “kuasa manusia” yang lain, yaitu kuasa manusia yang datang justru karena berharap pada kasih setia Tuhan, sehingga Tuhan menjadi perisai bagi mereka. Ada power yang datang dengan cara mengambil power dari Tuhan, yang harusnya milik Tuhan, yang pada akhirnya malah tidak menyelamatkan; tapi ada power yang justru datang lewat menyerahkan diri kepada power-nya Tuhan, lewat submit kepada power-nya Tuhan, lewat mengakui power-nya Tuhan, lewat bersyukur atas power-nya Tuhan, lewat memuji dan kagum atas power-nya Tuhan. Power yang pertama, membuat makin lama makin takut; power yang kedua, membuat makin lama makin kokoh. Dalam 2 Timotius, Paulus mengatakan Tuhan tidak memberikan kita roh ketakutan tetapi kuasa.
Kuasa adalah versus dari ketakutan. Ini menarik. Ini kuasa yang riil. Ini bukan kuasa yang bohong-bohongan. Contohnya, orang yang mengambil/meraih kuasa, ujungnya dia adalah orang yang hidup bagi dirinya sendiri; dan tahukah Saudara apa definisi orang yang hidup bagi dirinya sendiri? Yaitu seorang pengecut. Seorang pengecut adalah orang yang tidak bisa mengambil tindakan yang berani; di dalam suatu krisis/kebahayaan, dia pengecut, dia play safe, dia tidak bisa mengambil tindakan yang berani. Kenapa? Karena yang namanya pengecut, dia hanya memikirkan dirinya sendiri, maka bagi dia suatu tindakan keberanian adalah tidak mungkin, karena “berani” selalu berarti mengutamakan sesuatu yang bukan dirinya. Saudara lihat dalam semua cerita, TV, novel, dsb., setiap kali ada krisis lalu ada orang yang melakukan tindakan berani, itu adalah karena dia meresikokan dirinya, tindakan yang dia ambil itu bukan sesuatu yang terbaik bagi dirinya tapi mungkin terbaik bagi orang lain, terbaik bagi situasi, terbaik bagi orang banyak. Itulah keberanian. Pengecut tidak bisa melakukan hal ini karena pengecut hanya memikirkan diri sendiri. Keberanian itu kuasa, kuasa yang riil, kuasa yang sejati, tapi kuasa ini hanya datang ketika Saudara justru menyerahkan diri, menganggap sesuatu yang lain lebih penting, lebih berharga daripada dirimu sendiri; inilah realitas hidup yang Alkitab beritahukan kepada kita. Keberanian justru datang ketika Saudara tidak mencari kuasa bagi dirimu sendiri. Kuasa untuk bisa berani, justru datang ketika Saudara melepaskan upaya meraih dan mengambil kuasa.
Di dalam Alkitab, kita melihat ini terjadi berkali-kali. Tuhan Yesus berani membubarkan shopping mall di pelataran Bait Suci; kenapa? Dikatakan di situ, karena hasrat bagi rumah Tuhan membakar hati-Nya; ada yang lebih penting bagi-Nya, yaitu Bait Allah, maka Dia berani melakukan hal tersebut. Saudara ingat cerita Musa dan Firaun. Musa seorang buangan, buronan yang tidak punya rumah, yang kerjanya menggembala, nomaden; sedangkan Firaun itu raja, artinya dari tempat yang permanen, Mesir, kota di mana orang tinggal dengan tetap. Dan kita tahu dari teks-teks zaman kuno –bahkan juga sampai hari ini– ada nuansa orang-orang di tempat seperti kota itu memandang rendah orang yang berkeliaran di padang gurun. Tapi lihat, si pengembara padang gurun ini dengan berani menentang dan menantang raja super power pada zaman itu; mengapa? Karena ada yang lebih penting dibandingkan dirinya sendiri. Dalam kisah Ester, Ester berani menghadap raja meskipun ada resiko kematian, meskipun dia tidak dipanggil entah berapa lama, meskipun dia begitu takut. Kenapa dia berani, kenapa dia sampai mengatakan, “Kalau aku binasa, biarlah aku binasa”? Karena dia mengetahui ada sesuaitu yang lebih penting daripada dirinya. Semua itu adalah kuasa; tapi kuasa yang datang dari mana? Kuasa yang datang justru ketika kita tidak mengejar kuasa bagi diri, ketika kita menyadari ada yang lebih penting daripada diri kita. Kuasa untuk merendahkan diri, itu adalah kuasa. Kuasa untuk berlaku jujur, itu adalah kuasa –karena sering kali lebih gampang berbohong. Dalam hal ini power duniawi dibongkar, bahwa power duniawi sebenarnya adalah hasil dari rasa takut, kepengecutan; dan itu sesungguhnya bukan kuasa, itu kepengecutan. Sedangkan power yang dari Allah barulah benar-benar power, namun lucunya power ini datang ketika kita menyerahkan power kepada Tuhan, ketika kita menyadari realitas ini buatan Tuhan, ketika kita menyadari yang paling penting dalam realitas ini bukanlah diri saya, ketika kita menyerahkan diri kita ikut sesuai aturan main Tuhan.
Saya pernah cerita caranya sebuah pesawat udara bisa mengudara. Waktu pesawat mau mengudara, sebelum take off, sang kapten di kokpit mengatakan kepada penumpang, “Ladies and gentlemen, kita akan segera berangkat, tolong kenakan sabuk pengaman karena sebentar lagi saya mau mematikan gravitasi”; apakah begitu? Tidak ada pilot yang kayak begitu. Pesawat mengudara, tidak dengan mematikan gravitasi. Pilot bisa mengudarakan pesawat, justru karena menggunakan gravitasi, menyerahkan diri pada gravitasi. Apa yang terjadi kalau planet bumi ini ada atmosfer tapi tidak ada gravitasinya? Pesawat akan terbang melambung tinggi ke atas tidak terkontrol. Mengapa demikian? Karena sayap pesawat diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan gaya angkat. Gaya gravitasi di-counter dengan gaya angkat, maka menghasilkan terbang lurus; kalau tidak ada gaya gravitasi, tidak bisa terbang lurus, tapi terbang naik terus ke atas. Inilah realitas hidup kita, ini semua sudah jelas, termasuk juga hukum fisika dan sebagainya.
Saudara mendapatkan kuasa, bukan ketika Saudara meraih kuasa, tapi justru ketika Saudara menyerahkan diri kepada kuasa yang lebih besar daripada dirimu. Dan, kita memulai ini bukan dari hal-hal yang besar seperti bikin pesawat; kita mulai ini dari hal-hal yang kecil, dari habit sehari-hari. Itulah yang menjadikan kita bisa mengakses kuasa –karena kebalikannya juga sama. Saya pernah cerita ada seorang yang ditangkap karena dia menabrak anak sampai mati, dia hit and run. Semua orang bingung, ini orang keji, bego, idiot macam apa, yang bisa tabrak anak lalu ditinggal di jalan. Seorang wartawan kemudian mewawancarai dia, “Kenapa kamu melakukan hal sekeji itu?” Orang ini mengatakan, “Waktu saya kecil saya menjatuhkan jam tangan papa saya, kacanya retak sedikit; di situ saya punya dua pilihan, mengaku atau menaruh kembali tanpa seorang pun tahu –dan saya ambil jalan pengecut. Di kemudian hari, saya memecahkan jendela tetangga, dan saya juga ambil jalan pengecut. Kemudian hari lagi, saya menipu di stock exchange, dan saya selalu pakai jalan pengecut. Jadi, karena sejak kecil habit saya seperti ini, ketika hari itu saya menabrak anak dan melihat tubuhnya tergeletak di jalan, bukan hal yang sulit untuk saya menginjak gas dan pergi –karena sudah kebiasaan.” Saudara, perjuangannya dimulai dari hal-hal ini.
Kalau Saudara mengatakan dari mana kita bisa punya kekuatan untuk punya arah hidup yang baru, di mana kita menyerahkan power tapi justru mendapatkan power lewat itu, jawabannya ada dalam bagian Mazmur ini. Dikatakan, siapa yang mengalami kuasa seperti ini, yaitu orang-orang yang menaruh pengharapan mereka kepada khesed, covenantal love, kasih setia Tuhan. Khesed, yang diterjemahkan dengan “kasih setia”, sebenarnya istilah yang sangat spesifik dalam Perjanjian Lama. Kalau kita membaca istilah “kasih setia” kita sering kali pikir ada sesuatu yang lebih besar yang namanya “kasih”, lalu ada bagian-bagiannya yaitu belas kasih, kasih setia, dsb.; tapi sebenarnya kasih setia bukan demikian. Kasih setia adalah satu kategori tersendiri, yang unik, yang punya nama tersendiri “khesed”. Ini pada dasarnya istilah dari Perjanjian Lama yang boleh di-ekuivalen-kan dengan “injil”. Maksudnya apa? Yaitu bahwa selagi pria dan wanita –seluruh umat manusia– senantiasa berusaha menempatkan diri mereka pada tempat Allah dan mengambil apa yang hanya milik Allah, maka Allah di dalam kasih-Nya telah menaruh diri-Nya di tempat kita dan mengambil bagi diri-Nya apa yang sepatutnya ditimpakan kepada kita. Itulah injil, khesed, covenantal love, kasih setia Tuhan. Kita berusaha menjadi Allah dan gagal; Yesus menjadi manusia, dan sukses. Yesus menjelma jadi manusia, lahir sebagai manusia, hidup sebagai manusia, mati di kayu salib untuk membayar akibat dari dosa-dosa kita; ini semua apa, kalau bukan hasil dari kudeta kita terhadap diri-Nya??
Jadi apa yang namanya menjadi orang Kristen? Menjadi orang Kristen bukanlah sekadar mengatakan, “O, saya ingin jadi orang yang hidup lebih baik, saya pendosa, saya ingin pengampunan dari Tuhan”. Menjadi orang Kristen adalah menjadi orang yang menyadari, pertama-tama bahwa akar dari segala problema dalam hidupnya bukanlah istrinya, bukan suaminya, bukan anak-anaknya, bukan bosnya, dan bukan juga orangtuanya; akar dari semua problema hidupnya adalah bahwa ia, seumur hidupnya, berusaha untuk mengambil alih kuasa, merebut kuasa dari tangan Allah. Tapi tidak berhenti di sini. Menjadi orang Kristen adalah kemudian melihat hati dan wajah Allahnya melalui kacamata Injil. Kita sudah terlalu sering mendengar “Yesus mati bagimu, Yesus memberikan nyawa-Nya bagimu, Yesus telah terputus dari dunia orang hidup bagimu”, tapi kita gagal melihat semua ini dari kacamata Injil, karena kacamata Injil adalah dua lensa menjadi satu.
Lensa yang pertama –Saudara bayangkan–Allah menciptakanmu, Allah memeliharamu, lalu datang menjelma menjadi manusia bagimu, lalu Ia hidup dalam segala ketaatan bagimu juga, lalu Ia terputus dari dunia orang hidup bagimu juga; dan kalau Saudara melihatnya dengan kacamata Injil, Saudara harus tahu satu hal: sesungguhnya ini Orang yang harusnya jadi musuh luar biasa, yang dendam habis-habisan, karena gara-gara engkau Dia harus kehilangan Anak-Nya bagimu, dan dengan demikian Dia adalah figur yang harusnya mempersulit dan menghancurkan hidupmu dengan segala kuasa-Nya! Itu lensa yang pertama; Saudara harus menyadari ini. Namun lensa yang kedua, pada saat yang sama Saudara menyadari bahwa di dalam Injil, ketika Saudara memandang kepada wajah dan hati Tuhan, expect melihat wajah seorang musuh, expect melihat kemarahan yang luar biasa, Saudara malah melihat air mata, Saudara melihat senyuman seorang Bapa, Saudara mendapat rangkulan seorang Sahabat, dan Saudara kaget, Saudara tidak bisa percaya ini, Saudara mengatakan, “Meskipun aku telah melakukan semua itu seumur hidupku, inikah respons-Mu??” Saudara, inilah khesed, inilah kasih setia Tuhan. Inilah Injil. Dan, kalau Saudara berharap akan ini, maka inilah yang bisa membuat Saudara mulai sedikit demi sedikit mengatakan, “Saya mau menyerahkan kuasa atas hidupku kepada Allah yang seperti ini, saya mau, karena Dia sudah terlebih dahulu menyerahkan kuasa atas hidup-Nya bagiku.” Lucunya, ketika Saudara menyerahkan kuasa atas pernikahanmu kepada-Nya, Saudara mulai menemukan dirimu mulai bertakhta dalam pernikahanmu; ketika Saudara menyerahkan kuasa atas uangmu kepada-Nya, Saudara mulai menemukan “koq, aneh, saya mulai menguasai dan bukan dikuasai oleh uang saya”. Ini kuasa yang sejati, kuasa yang mendatangkan keberanian, kuasa yang mendatangkan kerendahan hati, karena menyerahkan kuasa, karena mengenali kuasa Tuhan yang mahakuasa.
Ada seorang pastor menulis suatu kesaksian dari dia mengobrol dengan pastor-pastor lain yang sudah 20 tahun lebih pelayanan. Mereka membicarakan mengenai jemaat lalu sampai pada satu kesimpulan yang mengherankan buat mereka; mereka mengatakan begini: orang-orang di gereja banyak banget yang upset karena merasa tidak dihormatilah, merasa dilangkahilah, merasa tidak didengarlah, merasa tidak direspeklah, sudah memimpin tapi tidak ada yang mau ikutlah –urusan insecurity. Ini orang-orang yang mengatakan, “Gua ‘kan harusnya ada kuasa lebih daripada ini, kenapa sih, lu ‘gak mau ikut gua??”; dan model jemaat seperti ini akhirnya runtuh, pelan-pelan, cepat atau lambat, mereka mundur dan hilang. Tapi ironisnya, di gereja juga ada orang-orang yang tidak mengejar power, namun bukan berarti pasif, mereka hanya tidak takut gagal, tidak takut dikritik, tidak takut mengaku salah dan bertobat, tidak defensif. Dan, tahukah Saudara kesaksian dari para pastor ini? Yaitu bahwa inilah orang-orang di dalam gereja, yang entah bagaimana kuasa datang kepada mereka; selalu seperti itu. Kenapa? Karena realitas ini adalah realitas yang dasar sokongannya, fondasinya, adalah Allah kita yang mahakuasa.
Kiranya renungan hari ini bukan hanya jadi pengertian, pengetahuan, tapi menjadi satu hal yang membuat kita semakin mengenal, mengasihi, mau taat, mau submit, kepada Allah kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading