Kita melanjutkan seri mengenal Allah. Kita sudah membicarakan mengenai Allah Sang Pencipta, Allah Sang Pemelihara, Allah yang mahakuasa, Allah yang berjanji; hari ini kita akan melihat satu metafora yang paling sering dipakai Alkitab dalam menggambarkan diri Allah, yaitu Allah sebagai gembala.
Yehezkiel pasal 34 ini satu perikop yang paling panjang membicarakan Allah sebagai gembala umat-Nya. Perikop ini adalah perikop yang ada setting-nya. Sepuluh ayat yang pertama, memberikan titel “gembala” kepada pemimpin-pemimpin Israel sendiri, mereka dihakimi Tuhan karena mereka gembala yang gagal, mereka membawa Israel kepada kehancuran; maka ayat 11 adalah turning point-nya, Tuhan mengatakan, “Kalau begini, tidak bisa lagi, Aku sendiri yang akan menjadi gembalamu”. Jadi dalam bagian ini kita bisa melihat beberapa hal sekaligus. Yang pertama, kita disebut sebagai “domba”, ini apa maksudnya; yang kedua, ada manusia-manusia yang menjadi gembala yang gagal, bagaimana kita melihat hal ini; yang ketiga, bagaimana Tuhan lalu menjadi Gembala yang sejati.
Pertama: Kita Disebut Sebagai “Domba”
Gambaran “domba” bagi orang Kristen modern yang tinggal di kota dan bukan di daerah peternakan, yang tidak bersentuhan dengan domba secara langsung, mereka sering kali melihat domba dengan konsepi seperti melihat bayi. Melihat domba, Saudara langsung senyum, kelihatannya domba itu cute; memang sih domba bodoh, tapi bodohnya domba dalam bayangan Saudara sering kali bodohnya anak-anak yang lucu.
Sekarang anak-anak saya lagi suka-sukanya tunjuk-tunjuk barang. Kalau kami bilang, “Mana bebek?” maka dia tunjuk bebek. Kami bilang, “Mana boneka beruang?” maka dia tunjuk boneka beruang. Tapi kadang-kadang kami coba memperluas, kami mengatakan hal-hal yang dia belum terbiasa, misalnya tanya, “Mana koko?” kepada adiknya. Dia lalu bingung, ‘gak ‘ngerti, kelihatan frustrasi, kayak kepingin menunjuk sesuatu tapi dia tidak tahu apa itu, akhirnya dia tunjuk mobil-mobilan merah misalnya –salah– jadi kami tertawa. Anak saya juga sedang zamannya gampang di-trigger; kalau saya nyanyi, “Old MacDonald had a farm… “, mereka langsung goyang-goyang, dansa-dansa. Hampir 90% selalu berhasil di-trigger seperti itu. Lalu tadi pagi waktu mau berangkat, saya lihat dia masih mengantuk, matanya masih buka tutup, lalu saya iseng coba nyanyi, “Old MacDonald … “, dan dia langsung goyang-goyang seperti biasa tapi tiba-tiba berhenti dan seperti sebal, ‘koq gua ke-trigger, sih, gua masih ngantuk, ngapain gua ikut-ikutan’, dan kami tertawa melihat mereka bodoh-bodoh lucu. Demikianlah waktu kita pikir mengenai domba, sering kali kita pikir gambarannya seperti ini, seperti lihat bayi. Tapi realitasnya, sangat lain.
Kalau mau tahu gambaran “domba”, Saudara perlu mendengarkan para pengkhotbah yang juga adalah gembala-gembala domba. Seorang bernama Douglas MacMillan, dia bukan cuma pengkhotbah tapi juga penggembala domba; dan dia pernah berkhotbah mengenai domba, memberitahu kita bahwa domba itu bukan bodoh-bodoh, tapi goblok. Domba selalu kehilangan arah. Bukan cuma itu, domba juga keras kepala. Kalau Saudara menemukan kawanan domba yang hilang, jangan pikir bisa membawa mereka pulang kecuali Saudara punya anjing gembala, yang tujuannya untuk menakut-nakuti mereka. Itu satu-satunya cara untuk Saudara bisa mengarahkan mereka. Tapi kalau dombanya sendirian yang hilang, Saudara harus menerjang dia, tekel dia ke tanah, ikat kakinya, angkat ke atas pundakmu, untuk membawa dia pulang, karena yang namanya domba, meski kandangnya sudah di depan mata pun, dia tidak akan bisa cari jalan masuk sendiri. Apakah gambaran kita seperti ini waktu membaca ayat yang mengatakan ‘kita sebagai domba dan Tuhan membawa kita pulang’? Tidak ‘kan. Selain domba itu goblok, mereka juga binatang yang sangat kotor. Saudara baru bisa tahu ini kalau Saudara dekat-dekat dengan domba, tapi biasanya kita lihat domba dari jauh, kelihatan putih-putih lucu seperti awan-awan gulali, namun sebenarnya, tidak demikian; bulu domba adalah sarang berbagai macam kutu, cacing, dan parasit. Ini sebabnya domba harus secara rutin direndam dalam cairan kimia yang keras, supaya mereka bisa sembuh dari semua itu.
Saudara lihat, “domba” inilah salah satu metafora utama mengenai manusia di Alkitab. Tidak kurang dari 400 kali umat manusia disebut sebagai “kawanan domba” di Alkitab, sementara Allah disebut sebagai “gembala” paling tidak 100 kali. Dalam hal ini Saudara harus tahu satu hal, ketika metafora yang paling utama ini dipakai oleh Alkitab, ketika Alkitab menyebut Saudara dan saya sebagai domba, sesungguhnya itu tidak kurang dari sebuah hinaan! Di ayat 12 tadi dikatakan “gembala harus menemukan domba yang tercerai-berai”; itu kenapa? Tentu karena dombanya selalu kabur-kabur! Ayat 14 dikatakan “domba harus dibawa ke padang rumput yang hijau”; itu kenapa? Karena domba tidak pernah bisa cari makan sendiri! Di ayat 16 dikatakan bahwa domba-domba itu “lukanya harus dibalut, sakitnya harus disembuhkan”; itu kenapa? Karena mereka selalu tidak tahu bahaya! Mereka nyangkut di semak-semak, mereka jatuh sendiri, mereka selalu sakit! Jadi, menjadi “domba” berarti orang yang super goblok dan super tidak bisa ngapa-ngapain. Binatang-binatang lain setidaknya ada insting untuk menemukan makanan, sedangkan domba bahkan tidak mampu untuk hal itu. Domba juga tidak mampu melawan predator apapun. Domba, sudah tidak mampu, sudah bodoh, tapi juga senantiasa menjemput bahaya.
Ada kesaksian dari seorang pengkhotbah lain tentang pengalamannya melihat domba. Mereka suatu kali pergi ke daerah yang banyak domba, seperti New Zealand atau Skotlandia. Saat itu sedang dalam perjalanan naik mobil, menanjak di suatu gunung, lalu mereka melihat di tepi gunung sebelah sana ada kawanan domba, putih-putih, lucu. Mereka makin mendekat dan makin mendekat, lalu akhirnya baru sadar bahwa itu bukan kawanan domba tapi tumpukan mayat domba. Kenapa bisa begitu? Karena domba-domba tersebut jalan ke pinggir tebing, lalu jatuh, satu demi satu. Itu saja. Beginilah domba, bodoh. Domba tidak mengerti bahaya, domba senantiasa berdiri di tempat yang goyah, domba akan makan barang-barang yang ‘gak jelas —dan inilah gambaran Alkitab terhadap umat manusia! Jadi pikir-pikir lagi kalau Saudara mau menamakan dirimu sebagai domba, dan juga memanggil orang lain sebagai gembalamu, Saudara perlu sadari apa implikasinya –dan kita coba lakukan itu sedikit sekarang.
Saudara perlu menyadari bahwa ketika Alkitab memanggil pemimpin-pemimpin manusia sebagai “gembala”, ini maksudnya tidak cuma pemimpin-pemimpin rohani seperti pendeta; semua jenis pemimpin manusia di dalam Alkitab disebut sebagai gembala, baik itu pemimpin rohani, ataupun pemimpin dalam keluarga, atau pemimpin politik seperti raja. Apa implikasinya? Ini berarti bahwa bagi Alkitab, dalam setiap situasi –bukan cuma situasi rohani– manusia itu seperti kawanan domba, yang kalau tidak ada pemimpinnya, maka tidak bisa setuju satu dengan yang lain. Dalam hal ini yang lebih muda mungkin mengatakan, “Ah, masa’ kayak begitu? Kami kayaknya punya gambaran lebih realistis, Pak, yaitu bahwa dunia ini tidak butuh pemimpin yang berotoritaslah, kita ini yang berpendidikan bisa koq ngumpul bareng dan mencapai konsensus bersama-sama”; tapi ini justru membuktikan Saudara masih terlalu muda, terlalu naif. Saudara lihat, kalau pun suatu grup manusia bisa mencapai konsensus bersama, biasanya persetujuan itu terjadi dalam konteks sebuah gerombolan/massa, yang hampir selalu setuju untuk tekan panic button, ambil jalan keluar yang instan tapi tidak pikir panjang.
Baru-baru ini di Inggris ada isu mengenai ras anjing American Bully XL, jenis ras anjing yang memang di-breeding untuk punya otot yang sangat kuat, rahang yang sangat besar, dan sifat yang cukup agresif; dan dalam 10 tahun terakhir ini angka kematian orang yang mati digigit anjing di Inggris, setengahnya adalah karena digigit anjing jenis ini. Jadi belakangan ini mulai ada berita-berita mengenaskan mengenai orang digigit anjing tersebut, ada bayi umur 17 bulan mati dibunuh oleh anjing peliharaan sendiri, dsb. Dan, apa yang terjadi? Orang Inggris bersatu, mereka mau melarang anjing jenis ini, sampai-sampai PM-nya pun ikut-ikutan, Rishi Sunak mengatakan akhir tahun akan melarang anjing jenis ini. Tapi dalam kasus seperti ini, orang-orang di Inggris yang termasuk dalam asosiasi peternak anjing mengatakan yang salah bukan anjingnya, anjingnya memang didesain punya otot yang kuat dan sifat agresif, yang salah adalah pemiliknya yang tidak bertanggung jawab mendidik mereka dengan baik, jadi akhirnya berbahaya. Saudara lihat, apakah pendapat seperti ini didengar? Tidak. Apa yang jadi keputusan? Yaitu tekan tombol panic button,jalan keluar paling instan –“ban saja seluruh rasnya, selesai urusan”. Inilah tipikal sifat domba.
Domba kalau makan, Saudara harus menginterupsi mereka dan pindahkan ke padang rumput yang lain untuk lanjut makan, karena kalau tidak, domba akan makan rumput itu sampai botak dan akhirnya mati tidak bisa tumbuh lagi. Jadi gembala harus memperhatikan, ketika rumputnya sudah dimakan sampai kira-kira setengah lebih dari tingginya, dia harus menghentikan domba-dombanya makan dan ajak mereka ke padang rumput yang lain; di sana mereka akan makan lagi, dan sampai rumputnya kira-kira termakan dua per tiga, pindah lagi ke padang rumput yang lain, dan demikian seterusnya sampai suatu hari mereka bisa kembali ke padang rumput yang pertama dan rumputnya sudah tinggi lagi. Kalau seperti itu, barulah bisa sustainable, bisa berlangsung terus. Tapi kalau Saudara biarkan domba makan terus, domba akan makan rumput sampai ke akar-akarnya, lalu akhirnya mereka akan mati kelaparan di tanah-tanah yang botak. Itulah domba, tidak bisa pikir panjang –dan inilah kawanan manusia, kita ini seperti domba. Saudara mungkin mengatakan, “Ah, tidak selalu kayak begitulah”. Memang tidak selalu kayak begitu, tapi lihatlah sejarah manusia, mulai dari perkumpulan RT sampai ke kabupaten, kota madya, propinsi, negara, bahkan sampai PBB, berapa kali ketika manusia dihadapkan dengan pilihan-pilihan itu lalu mereka ambil pilihan yang memikirkan jangka panjang?? Kawanan manusia tidak melihat jangka panjang sebagai opsi pertama atau opsi kedua atau opsi ketiga dan bahkan keempat; kawanan manusia selalu mengatakan, “Pokoknya, gua mau cepat, sekarang ini juga”. Itu sebabnya tidak heran Alkitab mengatakan, semua kita seperti domba, masing-masing mengambil jalannya sendiri –maka kita perlu digembalakan.
Kalau kita melihat lebih sempit lagi, bahwa bukan cuma manusia secara umum adalah domba tapi juga secara rohani perlu gembala, maka berarti Alkitab tahu manusia adalah domba-domba secara spiritual, dan itu berarti kita makan hal-hal yang tidak sehat secara spiritual. Kita menaruh iman dan harapan kita sering kali ke dalam hal-hal yang salah. Kita tidak sanggup membedakan apa yang baik dan jahat; dan kalau pun kita disodorkan yang baik dan benar, kita tidak sanggup mengenalinya. Kita berdiri di tempat-tempat yang bahaya dan goyah secara rohani. Dan sudah pasti, kita tidak sanggup untuk menemukan jalan kembali kepada Tuhan, kalaupun Tuhan ada di depan mata kita. Kita ini super goblok dan super tidak mampu secara rohani —maka kita butuh gembala.
Di sini Saudara mungkin mengatakan, “Ya, ngapain Bapak mengatakan ini ke kita; kita tahulah, kita butuh gembala, maka jadilah pemimpin atas kami”. Inilah kecenderungan orang Timur, segala problem masyarakat di-atributkan ke pemimpin; masyarakat goblok, karena pemimpinnya goblok; masyarakat baik, juga karena ada pemimpin yang baik –kuncinya selalu di pemimpin. Tapi tidak demikian, Saudara; dalam Alkitab, problem dari para domba bukanlah urusan gembalanya, problem dengan domba adalah domba-dombanya itu goblok, bego, dan tidak mampu mengenali kebodohannya sendiri. Jadi, kalau Saudara mengamini hal itu, mengatakan, “Iya, Pak, saya domba, saya tahu saya butuh gembala”, coba cek dulu, benar tidak Saudara mengatakan seperti itu; atau yang sebenarnya Saudara sedang katakan adalah: “Iya, Pak, saya sadar saya butuh gembala, yaitu saya butuh gembala yang model A; saya punya konsepsi bahwa gembala yang saya butuhkan itu yang modelnya kayak begini begitu”.
Saudara, tahukah apa artinya kalau Saudara mengamini bahwa Saudara adalah domba? Artinya, Saudara tidak berhak menentukan gembala tipe apa yang Saudara butuhkan, karena Saudara tidak tahu, karena Saudara tidak bisa mengenalinya, karena seleramu akan “gembala yang seperti apa” itu tidak tepat dan tidak benar –karena Saudara domba, yang artinya Saudara tidak tahu apa-apa. Tapi, siapa yang rela menyebut dirinya seperti ini??
Ilustrasi mengenai ini, yaitu seperti mitos Odysseus. Alkisah Odysseus berlayar pulang dari perang Troya, dan harus melewati satu daerah yang disebut pulau para sirens, yaitu monster-monster kejam yang suka membunuh tapi mereka mengambil bentuk wanita yang suaranya begitu merdu. Kalau ada kapal lewat, para sirens ini bernyanyi —sirens song–sedemikian rupa, hingga para pelaut di kapal itu terpukau dengan keindahannya dan akan membelokkan kapal ke arah suaranya, akhirnya kandas di batu-batu karang, lalu para monster tersebut muncul dan membunuhi mereka semua. Odysseus ini pernah diperingatkan oleh seorang dewi bernama Circe, “Kamu pasti akan melewati tempat sirens itu, jadi hati-hati, jangan sampai termakan dengan godaan mereka”. Caranya bagaimana? Yaitu dengan Odysseus memberikan lilin untuk menyumbat telinga kepada semua awak kapalnya supaya tidak bisa mendengar dan dia lalu mengatakan, “Tapi seandainya saya tetap bisa dengar, maka kamu jangan dengarkan apapun perintahku, ikat aku di tiang layar, jangan biarkan aku menyetir kapal ini; apapun yang aku perintahkan, jangan hiraukan, kamu dayung terus kapal sampai melewati pulau itu”. Demikianlah terjadi, waktu Odysseus melewati pulau tersebut, dia ternyata bisa mendengar suara nyanyian para sirens, dia begitu tertarik dan ingin datang ke sana, dia mengatakan kepada awak kapalnya untuk belok. Tapi awak kapal sudah siap sedia, mereka terus mendayung, mereka tidak menghiraukan dia, mereka mengikat dia di tiang layar, sampai akhirnya lewat dan Odysseus kembali waras.
Saudara mengatakan butuh gembala, tapi Saudara siap tidak untuk digembalakan? Pikir lagi, apa artinya. Ini berarti Saudara mengakui seperti Odysseus, mengatakan, “Saya tidak bisa memutuskan apa yang benar dan salah bagi diriku sendiri, saya perlu menaruh diri saya di bawah otoritas orang lain untuk menyetir saya mau ke mana”. Adakah yang rela seperti itu?? Orang Indonesia ngomong “butuh pemimpin”, tapi begitu pemimpin naik, yang terjadi pemimpinya cuma dihina-hina dan dikritik, kurang ini, kurang itu, berarti sebenarnya bukan butuh pemimpin tapi mau memimpin para pemimpin. Inilah persisnya domba-domba, yang merasa “saya butuh pemimpin” tapi “sesuai model dan seleraku”.
Saudara, kalau kita sungguh mengamini gambaran Alkitab bahwa kita domba, maka kita perlu mengatakan kepada orang lain, “Saya tidak tahu jalanku, saya perlu dituntut pertanggungjawabannya, saya adalah domba yang akan tersesat kalau tidak ada orang mengatakan kepadaku, ‘jalanlah ke mari, jalanlah ke sana’; dan saya akan memberikan hak kepada mereka untuk menuntunku seperti itu, karena jika saya tidak memberikan diriku digembalakan, saya tidak mungkin menemukan jalan pulang”. Pikir ini baik-baik, Saudara, ketika lain kali Saudara mau menyebut dirimu sebagai domba dan memanggil orang lain sebagai gembala. Inilah yang pertama, seperti apa artinya bahwa kita adalah domba.
Kedua: Manusia, Gembala yang Gagal
Apa solusi dari ke-domba-an kita? Kita butuh gembala, itu jelas, karena kita adalah domba-domba. Itu sebabnya Tuhan menyediakan solusi parsial, dalam bentuk “gembala-manusia”. Gembala di dalam Alkitab bukan cuma para pemimpin rohani. Kita tahu di dalam Alkitab, Allah adalah sumber dari paling sedikit 3 institusi otoritas hidup manusia, yaitu keluarga, Gereja, dan negara.Di Roma 13, negara (pemerintah) berasal dari Tuhan; Tuhanlah yang menaruh pemimpin-pemimpin masyarakat untuk kita. Tuhanlah yang juga menciptakan keluarga; pada dasarnya gembala-gembala pertama dalam hidup kita yang benar-benar punya otoritas sebagai gembala –memberi kita makan, mengarahkan kita, menarik kita dari bahaya– adalah orangtua kita. Dan tentunya, Gereja punya pelayan-pelayan di dalamnya, para diaken, para penatua –para gembala. Tuhan memang menciptakan manusia untuk hidup dalam struktur-struktur otoritas seperti ini. Hidup di dalam dunia ini, Saudara tidak bisa menghindari hidup di bawah otoritas orang lain, entah itu dalam keluarga, dalam Gereja, atau dalam negara. Tapi ini solusi yang parsial, karena ini dunia yang rusak; dan oleh sebab itu dunia dan hidup kita selalu ada krisis kepemimpinan yang konstan. Ini yang perlu kita coba lihat, bagaimana kita melihat kehadiran para gembala-manusia ini; dan Saudara perlu melihatnya dalam kacamata “dunia yang sudah jatuh”.
Dalam 4 ayat pertama Yehezkiel 34 tadi, gembala-gembala Israel itu telah gagal, kata Tuhan. Kegagalannya kenapa? Di sini ada daftar yang menarik, mendaftarkan apa saja yang menjadikan manusia sering kali gagal sebagai pemimpin. Kegagalan kepemimpinan yang pertama, terjadi dalam level motivasi, mereka gagal karena mereka mengurus diri sendiri dan bukannya mengurus para dombanya(ayat 2). Inilah ketika para pemimpin bukan jadi pemimpin yang mengurus kawanan domba, mereka malah menjadi pemimpin untuk mengeruk keuntungan bagi diri sendiri melalui domba-dombanya; mereka bukannya menggendutkan domba-dombanya, tapi malah menyembelih yang gendut-gendut untuk menggendutkan diri mereka sendiri. Ini motivasi kepemimpinan yang ngawur, selfish; hasrat hatinya bukan untuk melayani orang lain tapi untuk melayani diri sendiri. Itu inti/dasar dari kepemimpinan yang gagal.
Di ayat 4 ini, Alkitab bukan cuma membahas dasar yang salah dari seorang pemimpin –yaitu motivasinya– tapi juga fenomenanya, yang di ayat 4 tadi seperti ada dua hal yang berlawanan. Fenomena yang pertama, seorang pemimpin yang tidak peduli pada dombanya, hanya peduli dirinya sendiri,dia bisa menjadi pemimpin yang cuek, “Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari”. Ini fenomena yang pertama, cuek, absen; pemimpin yang tidak hadir, yang tidak bikin keputusan –pemimpin yang jelek. Namun yang menarik, di ayat 4 bagian belakangnya juga ada fenomena yang kedua, yaitu dikatakan: “… melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman” —kebalikan dari yang pertama tadi, ini pemimpin yang bukan cuek, tapi pemimpin yang menjadi tiran, brutal; pemimpin yang hadir, tapi terlalu hadir, kebablasan.
Dengan demikian menjadi pemimpin yang ideal –sebagai kebalikan dari dua fenomena tadi– berarti kedua-duanya perlu jalan bersamaan. Seorang pemimpin, pertama-tama adalah menjadi seorang yang tidak cuek, berarti dia menunjukkan kepada orang lain realitas sesungguhnya seperti apa, mengonfrontasi kebohongan, membukakan mata orang terhadap kepalsuan misalnya –ada aspek “kebenaran” dalam kepemimpinannya.Tapi ada hal kedua yang sama pentingnya, yaitu bukan cuma memberikan kebenaran, tapi juga kasih, ada relasi. Kenapa demikian? Karena menjadi seorang pemimpin berarti menyatukan, membawa damai, memastikan setiap orang melakukan tugasnya dengan tepat. Pemimpin yang baik, punya kedua-duanya; sedangkan pemimpin yang jelek, motivasinya menghasilkan ketidakpedulian (neglect), atau sebaliknya menghasilkan abuse, tirani, brutalitas, atau bahkan bisa kedua-duanya, yaitu pemimpin yang jarang muncul, tapi begitu muncul kerjanya ngamuk-ngamuk tok.
Waktu melihat gambaran pemimpin yang gagal seperti ini, kita bisa membacanya dengan paling sedikit dua cara. Cara pertama, kita membacanya secara over personal dan sempit; kita mengatakan, “Benar banget Alkitab, Pak, motivasinya ngawur maka fenomenanya dua, cuek atau brutal atau bahkan dua-duanya. Saya mengatakan itu benar banget karena seumur hidup saya selalu jadi korban di bawah pemimpin-pemimpin yang seperti itu” —mentalitas victim. Kita tentu bukan mengatakan dalam dunia hari ini tidak ada victim yang beneran, yang asli; tapi dalam dunia hari ini terlalu sering orang membaca segala sesuatu untuk jadi kesempatan menganggap diri “aku menderita lho, maka aku harusnya dimengerti, aku harusnya ini dan itu” —power play. Saudara bisa juga coba melihat hal ini dengan kacamata yang kedua, melihatnya gambaran yang lebih besar dan lebih luas daripada dirimu, yaitu dengan mulai menyadari kenapa dunia ini selalu dikungkung oleh krisis kepemimpinan. Kita sering kali pikir zaman sekarang lebih hancur daripada zaman dulu. Ini konsepsi yang sangat sering muncul –dan sama-sama victim mentality. “Generasi muda zaman sekarang narsis banget, tidak seperti generasi sebelumnya”, banyak orang berpikir seperti itu. Yang menarik, suatu kali di majalah TIME keluar edisi yang mengatakan seperti itu, “Generasi Sekarang Narsis!” tapi salah satu artikel di edisi tersebut juga membahas berapa kali artikel semacam ini pernah muncul sepanjang sejarah publikasi majalah TIME. Katakanlah artikel yang muncul di tahun 2010, “Generasi Sekarang Narsis!”, ternyata tahun 1998 muncul juga outline yang sama “generasi sekarang narsis”, lalu tahun 1987 juga muncul outline yang sama, tahun 1972 juga muncul headline yang sama, tahun 1960, tahun 1950, tahun 1940, dsb., setiap generasi muncul headline yang sama. Di edisi majalah tersebut bukan cuma diperlihatkan judul-judulnya tapi juga cover-nya; dan memang benar-benar hal tersebut muncul dalam setiap generasi. Ini berarti setiap generasi merasa generasi yang “baru” adalah narsis, tapi generasi yang sebelumnya merasa generasi mereka juga narsis, dan generasi yang sebelumnya lagi merasa generasi yang ini narsis juga. Lucu ya. Sama halnya dengan krisis kepemimpinan, kita sering kali pikir cuma di zaman kita, cuma di gereja kita, cuma di negara kita, atau cuma di keluarga kita yang ada krisis kepemimpinan; tetapi tidak demikian, Saudara. Setiap zaman bergumul dengan hal yang sama. Dalam setiap masyarakat, setiap budaya, setiap abad, semua orang di mana pun dan kapan pun selalu mengatakan bahwa kita ada krisis kepemimpinan. Mengapa? Karena inilah problem kedua yang dimiliki umat manusia. Bahkan di dalam bangsa Israel pada zaman Yehezkiel pun ada krisis kepemimpinan. Jadi, problem yang pertama tadi, bahwa manusia itu domba, bodoh, goblok, ‘gak ngerti apa-apa, tidak bisa mengenal kebenaran; dan problem keduanya, bahwa kita senantiasa tidak bisa menemukan gembala yang bisa jadi solusi atas ke-domba-an ini.
Saya mengatakan ini bukan untuk bikin kita deperesi, tapi saya mau mengajak kita untuk melihat realitas, justru supaya kita bisa bersyukur. Bersyukur dari mana? Dengan melihat bahwa ini bukan berarti tidak ada sama sekali gembala-manusia yang sejati yang bertanggungjawab, tapi bahwa krisis kepemimpinan setiap zaman membuat kita mengakui jumlah pemimpin yang baik selalu kalah jauh dibandingkan gembala-gembala palsu yang jelek itu, ini bisa membuat kita bersyukur karena kita jadi punya ekspektasi yang tepat. Kalau kita kembali ke zaman Israel, di antara raja-raja Yehuda, ada berapa raja yang baik? Ada Yosia, ada Hizkia, dua raja yang dapat nilai A dari Tuhan; lalu dari total 21 raja Yehuda, ada atau tidak raja yang baik selain Yosia dan Hizkia? Tidak ada. Raja-raja yang lain cuma dapat nilai F atau C, sedangkan yang dapat A cuma dua orang itu saja. Dalam kerajaan Israel bahkan semuanya dapat F, tidak ada satu pun yang dapat C, boro-boro A; semuanya menyembah berhala, semuanya hancur, semuanya tidak adil, semuanya menindas orang, dan mereka sendiri dinasti yang satu berganti dengan dinasti yang lain selalu lewat pertumpahan darah. Jadi, kalau dalam zaman Israel saja di antara 21 pemimpin Yehuda cuma 2 yang positif, lalu kenapa kita hari ini mengharapkan beda?? Coba kita refleksi, kalau di gereja kita ada 4-5 pemimpin, lalu 1 pemimpin yang jelek, Saudara komplain ‘kan?? Jadi berarti standarmu atau ekspektasimu adalah bahwa kalau ada 5 pemimpin, kelima-limanya harus beres; ini standar dari mana?? Yehuda cuma 2 dari 21, Israel nol. Ini harusnya membuka mata kita, membuat kita bisa bersyukur. Dalam arti tertentu, menyadari hal ini harusnya membuat kita berubah sikap. Kalau Saudara menyadari bahwa umat manusia selalu berada dalam krisis kepemimpinan, kapan pun itu, bahwa kepemimpinan manusia di satu sisi memang adalah solusi yang Tuhan berikan tapi bagaimanapun juga solusi yang parsial, solusi yang tidak final, solusi yang sementara, maka harusnya kita cenderung lebih bersyukur akan adanya pemimpin-pemimpin yang baik, dibandingkan komplain-komplain akan pemimpin yang jelek. Inilah caranya menjadi orang yang lebih bersukacita dalam hidup, melihat realitas.
Ketiga: Tuhan, Gembala yang Sejati
Jadi yang pertama kita melihat, bahwa kita sebagai domba maka berarti kita benar-benar perlu gembala. Tapi ternyata problemnya adalah gembala-gembala-manusia yang Tuhan berikan itu, bagaimanapun juga karena kita hidup dalam dunia yang sudah rusak, maka bukan sama sekali tidak ada yang baik dan bertanggung jawab, tapi sedikit. Kita senantiasa berada dalam krisis kepemimpinan, banyak pemimpin bukan melayani para domba tapi menggunakan para domba untuk melayani dirinya. Jadi, kalau gembala-gembala manusia bukan jawaban yang final, apa jawaban finalnya? Ini hal yang ketiga. Dalam Yehezkiel 34 tadi, setelah 10 ayat membahas kegagalan-kegagalan pemimpin-pemimpin Israel, turning point-nya di ayat 11 Tuhan sendiri mengatakan, “Sebab beginilah firman Tuhan ALLAH: Dengan sesungguhnya Aku sendiri akan memperhatikan domba-domba-Ku dan akan mencarinya —Aku sendiri yang akan menjadi gembala atas domba-domba-Ku.”
Bukan cuma dalam Yehezkiel, tapi juga dalam Yesaya dan Yeremia, Tuhan berkali-kali mengatakan hal ini, “Aku sendiri akan datang; Aku akan datang dan menggembalakan sendiri umat-Ku”. Tapi yang menarik, di Yehezkiel 34 kita membaca sesuatu yang seperti berlawanan, yaitu ayat 23. Tadi di ayat 11 mengatakan ‘Aku sendiri akan datang’, lalu di ayat 23 yang kita baca adalah ‘Aku akan mengangkat satu orang gembala atas mereka, yang akan menggembalakan, yaitu Daud, hamba-Ku; Dia akan menggembalakan mereka dan menjadi gembalanya’. Kita di sini jadi mungkin berpikir, Tuhan bagaimana sih, tidak konsisten, pertama tadi ngomong bahwa Dia sendiri akan datang, tapi sekarang ngomong bahwa Dia akan taruh Daud atas mereka; lagipula ini kitab Yehezkiel, artinya Daud sudah lama meninggal, jadi apa maksudnya?? Sederhana saja, kita tahu bahwa maksudnya Allah akan mengirim diri-Nya sendiri menjadi gembala Israel, dalam bentuk seseorang seperti Daud, mungkin keturunan-Nya misalnya.
Dalam Yohanes 10 Yesus pernah mendeklarasikan, “Akulah gembala yang baik, gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. Aku tidak seperti gembala upahan yang dengar serigala mengaum, langsung kabur. Aku datang dan memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku. Akulah gembala yang baik”. Dan, apa respons orang-orang yang mendengar Dia? Kalau misalnya sekarang ada orang datang dan mengatakan, “Saudara-saudara di GRII Kelapa Gading, saya ini seorang gembala yang baik, saya mau menjadi gembalamu karena saya rela menyerahkan nyawaku bagimu”, kita akan mengatakan, “Haleluya, puji Tuhan, ini yang saya mau dari dulu; GRII kekurangannya cuma satu, penggembalaan, dan sekarang ada yang mau, puji Tuhan!” Tapi tahukah Saudara, dalam zaman Tuhan Yesus mengatakan kalimat itu, orang-orang Yahudi berespons dengan mengatakan, “Ini orang kerasukan setan, orang gila, ngapain kita masih mendegarkan Dia??” Kenapa demikian? Karena orang Yahudi menangkap bobot sesungguhnya dari kalimat yang Yesus katakan; waktu Yesus mengatakan Dia adalah gembala yang baik, Dia bukan cuma sedang mengklaim diri-Nya sebagai pemimpin, tapi Dia sedang mengklaim tidak kurang dari keilahian; Dia sedang mengklaim peran yang Allah Yahweh pernah beritakan, sebagai peran-Nya sendiri. Inilah bobot sesungguhnya ketika Petrus mengatakan dalam Surat 1 Petrus, dan juga kitab Ibrani, mengatakan Yesus adalah Gembala yang Agung. Sampai ke situlah bobotnya.
Coba kita renungkan, apa maksudnya dan bagaimana artinya “Yesus adalah Gembala yang Agung”? Ada dua hal. Yang pertama, Yesus adalah Gembala yang Agung karena Dia punya hati seorang pelayan. Tadi Saudara lihat, seorang pemimpin gagal jadi pemimpin yang baik ketika mereka punya hati seorang pengeruk –bukan pelayan; mereka menggunakan domba bagi kepentingan dirinya, bukan menggunakan diri mereka bagi kepentingan para domba. Bagaimana dengan Tuhan Yesus? Bagaimana Tuhan Yesus digambarkan dalam hal ini? Di kitab Wahyu, dalam momen rasul Yohanes mengalami penglihatan ruang takhta di surga, dia melihat di tengah-tengah takhta ada seekor binatang; dan apa binatangnya? Wahyu 7:17, “Sebab Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu, akan menggembalakan mereka dan akan menuntun mereka ke mata air kehidupan.” Perhatikan, domba, akan menggembalakan; inilah Gembala yang Agung, karena ini gembala yang telah menjadi domba. Bagaimana bisa gembala menjadi domba korban?
Kita kembali ke Yohanes 10, Yesus mengatakan, “Aku gembala yang baik, bukan gembala upahan; gembala upahan dengar serigala mengaum, langsung kabur. Aku gembala yang baik, Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku”. Pada waktu itu, yang namanya jadi gembala tentu bahaya, karena binatang buas berkeliaran di mana-mana, tidak seperti hari ini yang binatang buas sudah jarang kita lihat. Coba bayangkan, Saudara dikelilingi binatang buas setiap hari waktu menggembalakan domba-domba itu –dan Saudara cuma manusia– lalu ketika Saudara melihat domba-dombamu, mereka itu apa bagi para serigala? Serigala melihat para domba itu “restoran all you can eat” –dan ditengah-tengahnya cuma ada Saudara sebagai seorang gembala. Itu sebabnya Yesus mengatakan, “Kalau gembala upahan lihat air liur serigala, dia langsung kabur, tapi Aku tidak”. Apa yang Yesus lakukan? Yesus naik ke atas kayu salib, Yesus mengutip Mazmur 22 di atas kayu salib: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Yang menarik, kalau Saudara melihat detail isi Mazmur 22, salah satu ratapan di situ mengatakan, ‘aku dikelilingi oleh berbagai binatang; oleh anjing, beruang, singa, banteng’ –dan Yesus mengutip Mazmur 22 itu di atas kayu salib.
Di dalam Alkitab, dosa sering kali digambarkan sebagai binatang buas. Galatia mengatakan, “Kamu jangan terkecoh, dosa akan memburumu, mengintaimu”. Waktu Kain akan berdosa, Tuhan mengatakan, “Kain, hati-hati, dosa mengintip dari balik pintu” (kata aslinya, dosa itu “crouching at your door”, crouching ini dalam bahasa Ibraninya berarti merunduk untuk menerkam, seperti binatang buas). Saudara tahu, ketika kita berdosa, dosa memang memburu kita. Misalnya tentang berbohong; dosa menciptakan keraguan, membuat engkau cenderung lebih mudah berbohong, menodai hatimu, membuat engkau khawatir/cemas suatu hari nanti akan terbongkar, maka engkau menambalnya dengan kebohongan-kebohongan yang lain. Dosa itu menguntit Saudara, memburu seperti seekor predator. Dan, Yesus mengatakan, “Tidak ada yang bisa berdiri di antara-mu dan dosa-dosamu; orangtuamu tidak bisa, pendetamu tidak bisa, siapapun tidak ada yang bisa, hanya Aku yang bisa, dan Aku telah melakukannya. Aku telah naik ke atas kayu salib; dan segala sesuatu yang harusnya datang menimpamu –penghakiman atas dosa-dosamu, keadilan atas dosamu, tragedi dosamu, telah ditimpakan kepada-Ku; maka jika engkau percaya kepada-Ku, Tuhan akan melihatmu seperti Ia melihat-Ku, karena Ia telah melihat-Ku sebagaimana Ia melihatmu. Akulah gembala yang baik, ketika serigala datang memburumu, gigi dan cakar mereka menimpa-Ku”. Inilah gembala yang baik, karena Dia punya hati seorang pelayan, karena Dia satu-satunya gembala yang jadi domba korban bagi domba-domba-Nya.
Yang kedua, Dia adalah Gembala yang Agung, karena Ia punya kepemimpinan yang sejati. Ia bukan cuma punya motivasi/hati yang sejati, Ia punya kepemimpinan yang sejati, Ia mengikat kebenaran dan kasih bersama-sama.
Saudara, apakah Injil? Injil selalu membuat Saudara menyadari realitas dan membuat Saudara menyadari kasih; dua-duanya pada saat yang sama, tidak bisa cuma salah satu. Ketika realitas Injil mengatakan “kamu itu domba”, artinya kamu bukan cuma goblok, kamu tidak tahu bahwa kamu goblok; kamu jangan ngomong ‘saya sadar saya domba, saya butuh gembala’, karena yang kamu butuh itu gembala sesuai seleramu sebagai domba; kamu tidak tahu apa-apa, kamu sebenarnya butuh gembala yang bisa sangat lain dari yang kamu pikir, kamu butuh sesuatu yang harus bisa melanggar kehendakmu, karena kehendakmu itu busuk. Itulah realitas Injil. Injil membuat kita menyadari realitas sebenarnya, seberapa hancurnya kita. Fakta Tuhan Yesus turun ke dunia, itu menunjukkan bahwa manusia tidak bisa naik selangkah pun ke atas, tidak bisa ketemu di tengah –sama sekali tidak bisa. Itu sebabnya Yesus perlu turun sampai ke dawah. Ini realitas yang sering kali kita sebagai manusia tidak mau lihat, tetapi Injil menguak hal ini. Namun, pada saat yang sama Injil juga membukakan kasih Tuhan, karena Tuhan sudah tahu Dia tidak bisa ketemu dengan kamu di tengah, Tuhan sudah tahu kamu itu domba yang gobloknya luar biasa, tapi Dia tetap turun sampai ke bawah demi engkau.
Kembali ke metafora ”gembala” yang tadi. Katakanlah ada 2 orang, salah satunya punya kapal kecil (perahu). Mereka suka naik ke kapal si A itu, pergi mancing sama-sama; setelah selesai mancing, mereka balik, dan perahunya mereka ikat. Lalu waktu besoknya mereka mau mancing lagi, ternyata perahu itu lepas dari talinya dan terbawa arus sungai. Mereka segera lari mau mengejar perahunya, tapi perahunya terus cepat melaju, makin jauh, makin terbawa arus ke tengah, dan mereka makin tidak bisa mengejar, sampai akhirnya tidak bisa tidak, harus ada orang yang nyemplung ke air, berenang, ambil perahunya. Pada saat seperti itu, siapa yang akan nyemplung ke air? Tentu yang empunya perahu itu. Yang bukan empunya perahu, dia akan berhenti, lalu jadi cheerleader, “Ayo semangat! Ambil perahunya!” tapi yang nyemplung adalah yang memiliki perahu itu. Inilah bedanya gembala upahan dengan gembala asli. Ini berarti realitas Injil bukan cuma membukakan kepada kita seberapa kita hancur, tapi bahwa Allah kita rela nyemplung, masuk, hanyut, demi Saudara dan saya.
Dia tahu Saudara dan saya tidak mampu menyelamatkan diri sendiri, dan Dia tetap datang untuk menyelamatkan kita yang goblok dan bodoh. Tidak heran Paulus mengatakan, “Di mana ada dosa, kasih karunia semakin melimpah”. Tidak heran Tuhan Yesus membandingkan antara perempuan yang menangis membasuh kaki Tuhan Yesus, dengan Simon orang Farisi, “Menurut kamu siapa yang lebih merasa diampuni?” Tentu si perempuan; kenapa? Karena dia lebih banyak bersyukur. Ini indahnya Injil. Waktu di dalam Injil Saudara menyadari seberapa Saudara hancur, justru Saudara juga semakin menyadari seberapa besar kasih Tuhan; Saudara menjadi orang yang mengatakan, “Aduh, saya ini hancur banget, berdosa, minta ampun, berdosa, minta ampun, gagal lagi, gagal lagi, gagal lagi; sudahlah, Tuhan, saya kecewa dengan diriku, saya rasa saya tidak mungkin, realitasnya ternyata lebih parah daripada yang aku pikir! Saya baru kenal diri saya siapa!”, lalu Saudara ingat berita Injil, bahwa Saudara menyadari hal ini telat 2000 tahun, Tuhan sudah tahu dari dulu dan Dia sudah datang demi engkau yang gagal terus-menerus seperti ini.
Di mana ada dosa, kasih karunia tambah melimpah. Ini sisi Injil yang kita tidak boleh lupakan, truth, dan juga love. Realitasnya jelas; tapi juga semakin realitas ini jelas, semakin membukakan akan kasih Kristus yang begitu besar. Itu sebabnya menjadi orang Kristen yang memiliki Yesus sebagai gembalamu, tidak mungkin Saudara hanya memegang salah satu. Kalau orang Kristen dirundung oleh perasaan bersalah, “saya gagal, saya hancur, saya tidak ada gunanya, saya sampah”, ini bisa terjadi karena ia cuma peka Injil dalam satu sisi realitas saja, gagal untuk melihat kasih Tuhan yang sanggup dan mau menyentuh kita yang sehancur itu. Di sisi lain, ada orang-orang Kristen yang malas, yang mengatakan, “Ya, saya orang Kristen, so what??” karena dia hanya melihat sisi penerimaan/cinta Tuhan, tapi tidak melihat aspek realitas. Injil adalah dua-duanya, tidak bisa salah satu. Inilah sebabnya Yesus adalah satu-satunya gembala yang sejati, Gembala yang Agung. Semua gembala yang lain akan membuat Saudara terlalu pede karena love, love, love, love; atau membuatmu terlalu minder, karena truth, truth, truth, truth. Kalau Saudara orang yang senantiasa minder, Saudara perlu tanya dirimu, siapa gembala jiwamu –dan siapapun itu, bukan Yesus Kristus. Kalau Saudara orang yang malas yang tidak bisa menghargai karunia, Saudara perlu tanya dirimu, siapa gembala jiwamu –karena siapapun itu, bukan Yesus Kristus.
Banyak dari kita berpikir kita perlu gembala, maka kita mencari gembala dalam hidup kita. Tapi kita senantiasa mencarinya bukan dalam diri Yesus Kritus. Kita mencari gembala-gembala jiwa kita lewat orang-orang yang bisa memperbaiki kita; kita ingin menikah dengan orang ini karena kita pikir dia akan bisa memperbaiki kita, menambal bolong, make everything right. Mungkin kita marah pada orangtua karena orangtua kita tidak menambal kita, tidak memperbaiki kita, malah bikin kita rusak. Tuhan Yesus mengatakan, “Tidak ada yang bisa menjadi gembala bagi jiwamu kecuali Aku, hanya Aku satu-satunya Gembala yang Agung, hanya Aku gembala yang baik, karena Aku memberikan nyawa-Ku bagi engkau”.
Terakhir, domba macam apa yang dihasilkan oleh gembala yang seperti ini? Yaitu domba yang paradoks. Yang pertama, domba yang sejati. Kalau Saudara menerima Yesus sebagai gembala-Mu, berarti Saudara harus belajar menaruh percaya pada diri-Nya. Saudara pasti percaya pada Tuhan Yesus, tapi masalahnya sering kali kita tidak percaya Tuhan Yesus sebagai gembala. Kalau Saudara percaya Tuhan Yesus sebagai gembalamu, itu berarti Saudara benar-benar bergantung sepenuhnya kepda Dia, Saudara bukan melihat dirimu sebagai kuda dan Yesus sebagai koboi, karena kuda tanpa koboi jadi kuda liar, tapi tetap hidup, sedangkan domba tanpa gembala, mati. Ini berarti Saudara harus senantiasa meragukan dirimu, mempertanyakan dirimu, bahwa engkau butuh Yesus lebih daripada yang engkau pikir. Saudara tidak bisa cuma datang kepada Tuhan Yesus ketika engkau pikir engkau perlu. Saudara tidak bisa cuma berdoa kepada Dia ketika engkau ada masalah. Saudara tidak bisa cuma datang melayani ketika Saudara nyaman dan tidak sibuk. Saudara tidak bisa pilih-pilih di dalam kehidupan Kristen, jikalau engkau memiliki Yesus sebagai gembalamu.
Ini cuma satu contoh, saya berkali-kali mengatakan kepada para pianis/penatalayan, ‘kamu biasa kebaktian di Kelapa Gading? sekali-sekali melayani di HI; kamu kebaktian di KU 1? sekali-sekali melayani di KU 3’; mengapa? Karena inilah langkah kehidupan/habit kita, melatih diri bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Bukan cuma ketika kita pikir bisa, kita pikir oke, kita rasa nyaman, kita rasa sesuai. “O, saya jadi pengurus okelah, karena saya memang mampu”, ini pengurus yang paling bahaya; tapi di sisi lain orang yang mengatakan, “O, saya tidak mampu jadi pengurus” lalu tidak jadi mau jadi pengurus, kedua-duanya bukanlah tipe orang yang memiliki Tuhan sebagai gembalanya. Yakobus mengatakan, jangan pilih-pilih, Saudara tidak bisa bilang Saudara mengasihi Tuhan kalau Saudara tidak mengasihi sesama; memanjangkan hal ini, Yohanes Calvin mengatakan, Saudara jangan bilang bisa taat kepada Tuhan, kalau engkau tidak bisa taat kepada sesama, kalau engkau tidak bisa menaruh dirimu di bawah otoritas Gereja/umat Tuhan.
Satu hal menarik, ketika engkau menjadikan Yesus gembalamu, dalam Ibrani 13:17 dikatakan “maka tunduklah kepada para pemimpinmu di Gereja”. Kenapa begitu? Saya ‘kan maunya tunduk kepada Tuhan, lalu kenapa malah harus menundukkan diri kepada para pemimpin? Pertama-tama karena pemimpin di Gereja –harusnya– adalah orang-orang yang sendirinya sudah takluk kapada Yesus sebagai gembala, sehingga mereka bukan jadi gembala-gembala yang tiran. Tapi yang pasti, waktu Saudara menyadari hal ini maka berarti Saudara mengakui kedombaanmu, Saudara sadar bahwa Saudara perlu diikat ke tiang sekali-sekali. Saudara perlu menaruh diri di bahwa otoritas komunitas Kristen karena jika tidak, berarti engkau menolak apa yang Alkitab katakan mengenai kedombaanmu. Ini bukan berarti Saudara menaruh diri di bawah otoritas seorang pendeta, bukan itu sama sekali maksudnya –dan saya juga tidak mau; ini maksudnya adalah Saudara menaruh diri di dalam komunitas domba-domba yang telah submit di bawah Gembala yang Agung. Saudara perlu belajar mempercayai mereka. Saudara perlu belajar mengikat diri dengan mereka. Saudara perlu belajar menaruh diri di bawah pengawasan mereka. Saudara tidak bisa cuma datang hari Minggu dengar khotbah, dan urusan selesai. Saudara perlu mengikat dirimu dengan orang-orang yang lain ini. Saudara perlu menyiapkan diri ketika sudah saatnya Saudara menjadi pengurus, diaken, penatua, ketika komunitas Gereja mengenali bahwa Saudara dipanggil untuk menjadi ini. Meskipun tidak sesuai dengan bagaimana Saudara melihat dirimu, tidak sesuai dengan bagaimana engkau melihat talentamu, tapi ketika komunitas Gereja menilai sepertinya Saudara orang yang diberikan karunia menjadi pemimpin, maukah Saudara menaruh diri di bawah otoritas seperti itu?
Ini berlanjut ke sisi yang satu lagi –paradoks– bahwa di satu sisi, mengambil Yesus sebagai gembala, berarti kita menjadi domba yang sejati, yang bisa menaruh diri di bawah otoritas Gereja Tuhan; tapi di sisi sebaliknya, mempunyai Yesus sebagai gembala yang sejati, gembala yang telah menjadi domba, domba yang menggembala, itu berarti kita juga akan meneladani pola Yesus, diubah menurut gambar dan rupa-Nya; dan ini membuat Saudara yang adalah domba, bisa menjadi gembala-gembala. Ini berlaku bagi semua kita, karena “gembala” dalam Alkitab bukan cuma pemimpin rohani, bukan cuma berarti Saudara harus jadi pendeta –meski bisa juga. Paulus mengatakan, “Kita telah mati dan dikuburkan bersama Yesus, kita juga telah dibangkitkan bersama-sama dengan Dia”; dan kehidupan kebangkitan ini sudah menyerap masuk bahkan dalam kehidupan kita yang hari ini. Dengan demikian, orang yang telah menerima Yesus sebagai gembalanya, dia dikuburkan sebagai domba tapi bangkit sebagai gembala-gembala. Bukan kebetulan orang yang sehancur Petrus, yang dibawa untuk menyadari kedombaannya ketika dia mengkhianati Yesus 3 kali, dialah justru oleh Yesus diberikan tugas untuk menggembalakan domba-dombanya.
Saudara perlu menyiapkan dirimu demi tanggung jawab ini. Sebagaimana Kristus adalah gembala yang telah menjadi domba, kiranya Saudara dan saya dikuatkan untuk menjadi domba-domba-Nya, dan kita sungguh boleh menjadi seperti Dia, menjadi domba-domba yang menggembala.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading