Hari ini kita akan bicara mengenai Gereja yang bertumbuh. Lagipula hari ini hari HUT gereja kita, dan juga hari ini kita akan meneguhkan kepengurusan yang baru, maka ini momen yang pas untuk bicara mengenai pertumbuhan. Selain itu, kita sedang dalam seri pembahasan ordinary time, maka pembicaraan ini pas juga, karena pertumbuhan yang organik, yang sejati, lahir dari momen-momen yang ordinary dalam hidup kita.
Kalau Saudara ditanya “apa permasalahan/problem Gereja hari ini”, Saudara akan jawab apa? Saya berani taruhan, mayoritas akan menjawab seperti anak-anak, mayoritas akan menjawab “gereja kurang ini, kurang itu –dari gereja; gereja kurang memberikan ini, kurang memberikan itu –kepada jemaat”, dsb.
Ada cerita anekdot, entah benar-benar terjadi atau tidak, menceritakan mengenai seorang penulis Inggris, G.K. Chesterton, yang menjawab sebuah call for papers. Ketika itu sebuah surat kabar membuat call for papers, mempersilakan orang memasukkan esai-esai mereka untuk menjawab satu pertanyaan mengenai apakah permasalahan dunia, sbb.: “What is wrong with the world?” Lalu jawaban G.K. Chesterton pun masuk, dia tidak menulis esai, dia hanya memasukkan 3 baris kalimat dalam tulisannya. Baris pertama merupakan salam: “Dear Sirs”; baris terakhir adalah nama dirinya sebagai penulis: G.K. Chesterton; dan baris kedua yang adalah isi suratnya, hanya berupa dua kata: “I am”. Jadi, what is wrong with the world? I am, what is wrong with the world. Problem Gereja adalah kita! Kenapa kita ini adalah problem Gereja? Karena kita tidak bertumbuh. Inilah yang saya ingin coba soroti hari ini.
Saudara, kita merayakan Hari Ulang Tahun Gereja GRII Kelapa Gading yang ke-25, namun 25 tahun itu jangan Saudara asumsikan sebagai satu hal yang pasti positif. Kalau 25 tahun itu dipenuhi dengan pertumbuhan, itu satu hal yang sangat positif, tetapi kalau 25 tahun itu dipenuhi dengan mandeknya pertumbuhan, itu bukan kabar baik, itu kabar yang harusnya menghakimi kita.
Saudara, apa problem Gereja ini? Tahun 2012 ada sebuah artikel dalam Christianity Today, judulnya “When Are We Going to Grow Up?” (Kapan Kita Mau Bertumbuh?). Penulisnya, Thomas Bergler, melihat ada satu fenomena dalam sejarah gereja, khususnya di Amerika –dan saya rasa kita bisa melihat paralelnya di gereja kita juga– yaitu gereja-gereja dan parachurch di pertengahan abad 20 mulai berusaha membuat program-program pelayanan yang bisa menyentuh anak-anak muda. Di kota-kota besar, mereka bikin program-program seperti YMCA, YFC (Billy Graham memulai pelayanannya sebagai penginjil anak muda di dalam organisasi-organisasi seperti YFC). Dan bukan kebetulan, pada zaman itu juga istilah tentang kategori “remaja” (teenager) sebagai suatu kelas tersendiri, baru muncul dalam kamus (kalau Saudara cari di Google, kata tersebut baru sekitar awal abad 20-an muncul, masuk ke dalam perbendaharaan kata manusia). Gereja-gereja pun mulai ikut-ikutan membuat pelayanan khusus remaja. Bergler mengatakan, setelah 50 tahun, yang terjadi adalah: orang-orang yang tadinya remaja, sekarang sudah paruh baya (setengah baya), tapi kedewasaan mereka kedewasaan level remaja, mereka tidak bertumbuh. Gereja jadi dipenuhi dengan orang-orang seperti ini, yaitu anak-anak yang tadinya mempelajari Kekristenan dari program-program remaja, akhirnya tidak pernah bertumbuh menjadi orang dewasa di dalam Gereja. Bergler mengatakan, inilah salah satu problem Gereja yang kita lihat, yaitu Gereja yang mulai dengan berusaha mengakomodasi keremajaan, pada akhirnya jadi Gereja yang mandek di masa remaja. Bagi Bergler, ini bukan salah para remajanya, karena yang namanya anak kecil memang selalu maunya segala sesuatu mengikuti dan mengakomodaasi mereka. Jadi, kalau anak remaja atau anak kecil berpikir demikian, itu bukan hal yang baru; namun hal yang baru adalah sejauh apa Gereja meng-iya-kan dan mengakomodasi hal ini. Dalam generasi sebelumnya –demikian Bergler mengatakan–orang-orang dewasa dalam Gereja tidak mungkin membiarkan ini terjadi, orang-orang dewasa dalam Gereja akan mendidik dan mencontohkan kepada anak-anak mengenai apa artinya bergereja, apa artinya menjadi anggota Gereja, apa tanggung jawab sebagai bagian dari Tubuh Kristus. Gereja pada zaman sebelumnya, tidak melihat remaja sebagai “masa depan dan harapan” dari Gereja, simply sebagai salah satu bagiannya saja.
Sometimes kecenderungan yang saya lihat berkali-kali di GRII Kelapa Gading maupun di tempat-tempat lain adalah: dari pelayan-pelayan Tuhan yang sudah lama melayani sebagai pengurus, diaken, penatua, kalimat-kalimat seperti berikut ini sangat mudah keluar, yaitu: “Biar yang muda-muda melayani, kita ini sudah tua dan penat.” Kalau mengatakan seperti itu, berarti jemaat hari ini melihat pelayanan di Gereja mungkin hanya perlu energi tok, hanya perlu semangat tok, atau itu dilihat sebagai faktor yang terpenting; dan memang benar kalau itu yang terpenting, energi dan semangat, maka remaja dan pemudalah yang paling pas untuk melayani, lagipula mereka masih banyak waktu, sedangkan kita-kita yang tua … . Dan, itu berarti: di mana tempat bijaksana, di mana tempat pengalaman, ketenangan, kedewasaan, dalam sebuah Gereja? Kalau kita senantiasa menginginkan remaja dan pemuda mengerjakan pelayanan sebagai ganti kita, maka apa yang kita taruh sebagai “terutama” dalam sebuah pelayanan?
Lebih parah lagi ketika kita menyadari, bahwa mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah Gereja sepanjang umur bumi ini, ada generas-generasi yang lahir di keluarga Kristen namun mereka tidak pernah ikut Kebaktian Umum sampai mereka kuliah, karena sejak kecil mereka ikut Sekolah Minggu lalu kelas Remaja. Itu sebabnya, tidak usah heran –kata Bergler– kalau kita melihat banyak anak dari keluarga-keluarga Kristen seperti ini, yang meninggalkan iman mereka, meninggalkan Gereja, waktu mereka masuk kuliah. Saudara tidak usah heran, karena memang sebenar-benarnya mereka tidak pernah masuk dan terlibat sebagai anggota Gereja sebelumnya, seumur hidup mereka. Ketika mereka tetap bertahan di Gereja pun, tidak heran kalau perilaku mereka adalah: senantiasa ingin dilayani, di-akomodasi; pertumbuhan rohani yang makin lama makin tinggi di dalam Kristus, diganti dengan keremajaan kekal. Dan, mungkin kita tidak kaget akan hal ini karena kita sendiri merupakan produk dari gereja-gereja seperti itu. Inilah sebabnya bukan cuma remaja yang minta bikin kelas tersendiri, tapi juga para ibu-ibu yang kemudian bikin Persekutuan Wanita, di mana mereka bisa mengatakan, “O, kami cuma ibu-ibu, jangan berikan kami bahan-bahan yang berat.” Lalu para pemuda bikin Persekutuan Pemuda, di mana mereka bisa mengatakan, “Kami pemuda, kami butuh bahan yang sesuai dengan situasi kami, dong”; para lansia juga ikut-ikutan, padahal para lansia notabene adalah kelompok jemaat yang seharusnya paling dewasa dan paling berbijaksana. Akhirnya, seluruh jemaat ikut Kebaktian Umum, berkumpul di sana, dan cara pikir “remaja” juga ikut masuk, yaitu menuntut bahwa khotbah harus sederhana, harus aplikatif, harus mudah dicerna; ‘khotbah yang sukses adalah khotbah yang kami mudeng, semua adjust ke kami, kalau ada istilah teologis yang kami ‘gak ngerti maka itu adalah tanggung jawab pengkhotbah untuk menjelaskan –dalam khotbah yang sama– bukan tanggung jawab kami untuk cari sendiri dan memperdalam, boro-boro baca buku’. Jadi, apa itu problem Gereja, Saudara? Dua puluh lima tahun, itu positif atau negatif?
James Montgomery Boice, seorang pemikir yang terkenal, mengatakan, dulu Gereja sedikit banyak masih mengikuti pola Alkitab, di mana anak-anak bertumbuh menuju kedewasaan di dalam Gereja; tapi sekarang yang terjadi adalah sebaliknya, Gereja membuat orang-orang paruh baya menjadi remaja-remaja. Saudara, fokus seperti ini memang banyak yang mengejar, karena ini menghasilkan banyak energi dan semangat di Gereja; tetapi ini juga membawa efek-efek yang lain.
Ayat yang tadi kita baca harusnya cukup jelas untuk membuat kita menyadari, bahwa yang jadi posisi Alkitab bukanlah keremajaan kekal. Kita memang dipanggil masuk ke dalam Kerajaan Allah seperti anak-anak kecil, itu jelas dalam perkataan Yesus di Injil Lukas tadi, namun kita tidak dipanggil untuk tetap bertahan dalam kekanak-kanakan itu sepanjang masa. Efesus 4 tadi sudah cukup jelas mengenai kenapa ada para pengajar, kenapa ada para gembala di Gereja, apa sesungguhnya peran mereka; menurut Paulus, mereka ada di situ bukan untuk meng-akomodasi kebutuhanmu, kekanak-kanakanmu, melainkan supaya melalui pelayanan mereka, engkau tidak bertahan sebagai anak-anak tapi mendapatkan tingkat kedewasaan yang penuh, pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Ini tidak kontradiktif, karena hal yang satu bicara mengenai bagaimana Saudara masuk ke dalam, dan yang satu lagi bicara mengenai di dalam itu Saudara ngapain, yaitu bertumbuh.
Masa kanak-kanak memang menarik. Masa kanak-kanak adalah masa di mana segala sesuatu menarik, segala sesuatu nendang, segala sesuatu ajaib. Waktu kemarin saya main dengan anak-anak saya, saya cukup mengatakan “buset”, mereka sudah tertawa habis-habisan saking senangnya. Saya sampai bingung, saya cuma ngomong, “Buset, deh”, mereka tertawa habis-habisan. Lalu setelah itu mereka bilang, “Lagi… lagi… “, maka saya ulangi, “Buset”, dan mereka tertawa habis-habisan lagi. Lalu mereka mulai bilang, “Bu… bu… “, dan saya musti lanjutkan, “… set”, dan mereka tertawa-tawa lagi. Senang sekali. Terakhirnya mereka bilang, “Papa lucu.” Jadi memang ada hal-hal yang menarik waktu kita melihat anak-anak kecil dengan kesegaran seperti itu. Ini adalah masa di mana bagi mereka segala sesuatu itu baru –dan kita mungkin mengatakan, “Alangkah indahnya kalau Gereja bisa seperti itu”– tapi karena mereka merasa segala sesuatu itu baru, maka ini juga adalah masa di mana mereka tidak mengerti bahaya. Mereka akan tarik semua gelas di atas meja, mereka melangkah ke arah got di pinggir jalan. Waktu saya naik sepeda bersama mereka yang duduk di kursi bayi di depan, mereka berusaha untuk membelokkan setangnya, mereka belum belajar mengantisipasi bahaya, mereka belum mengerti beda antara yang penting dan yang tidak penting –karena segala sesuatu menarik. Kalau segala sesuatu menarik, maka Saudara tidak bisa membedakan yang penting dan yang tidak penting. Dan ini sebabnya anak-anak kecil –khususnya remaja– adalah target marketing yang paling empuk, paling mudah dieksploitasi.
Saudara, kita tahu anak-anak memang trusting, namun kalau mereka bertahan di situ selamanya, maka kita akan ubah istilahnya, kita mengatakan, “Kamu itu naif”, bahkan, “Kamu itu bodoh!” Satu hal yang saya perhatikan ketika punya anak yang masih kecil, yaitu anak saya tidak mau pakai waktu untuk mengunyah baik-baik, mereka masukkan makanan di mulut sampai jadi hamster. Lalu lebih besar sedikit, waktu diajak pergi, baru saja mobil keluar 10 menit dari garasi, mereka sudah tanya, “Sudah sampai atau belum?” Kalau Saudara punya hobi memancing, itu satu hobi yang akan paling susah untuk ajak anak-anak, karena anak-anak tidak bisa sabar menunggu pancingannya sampai pancingan tersebut menarik ikan. Kita tahu ini normal dan wajar bagi anak-anak. Kita tidak expect anak bayi bisa mengurus diri sendiri apalagi orang lain. Kita tidak akan memarahi anak umur 5 tahun yang belum dapat kerja. Memang itulah masa-masa dalam hidup kita –masa sebagai anak-anak– yang spotlight-nya di diri kita dan kebutuhan-kebutuhan kita, dan memang tidak perlu ada ekspektasi selain hal itu. Itu bukan hal yang salah, itu hal yang normal; tetapi, hal yang normal tersebut ketika bertahan sampai seseorang dewasa, itu tidak normal! Itu tidak seharusnya. Itu meletihkan, mengesalkan, dan juga membahayakan.
Saudara, itu sebabnya dalam Alkitab ada banyak sekali dorongan untuk bertumbuh. Tadi kita sudah membaca dari tulisan Paulus; Petrus pun sama, dia mengatakan dalam 2 Petrus 3:18, “Tetapi bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.” Kembali ke Paulus, salah satu pembahasan Paulus yang paling panjang adalah mengenai problem Gereja Korintus. Apakah problem Gereja Korintus? Dikatakan dalam 1 Kor. 3:1, “Dan aku, Saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus” —itulah problemnya. Lalu 1 Kor. 14:20, “Saudara-saudara, janganlah sama seperti anak-anak dalam pemikiranmu. Jadilah anak-anak dalam kejahatan, tetapi orang dewasa dalam pemikiranmu!” Demikian juga penulis Surat Ibrani membahas Kristus dan Melkisedek panjang lebar, namun di tengah-tengah pembahasan itu dia merasa harus memotong eksposisi teologis ini dengan sebuah teguran; Ibr. 5:11-14, “Tentang hal itu banyak yang harus kami katakan, tetapi yang sukar untuk dijelaskan, karena kamu telah lamban dalam hal mendengarkan. Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras. Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat.”
Saudara, tidak berarti Alkitab adalah kitab tradisional konservatif yang memberhalakan usia dan pengalaman dan uban. Saudara tahu, istilah ‘nenek moyang’ dalam Alkitab sering kali justru dipakai secara negatif, menunjuk kepada nenek moyang Israel, yaitu orang-orang Israel dari generasi sebelumnya yang menolak percaya pada Tuhan ketika di padang belantara, generasi yang tegar tengkuk. Jadi jelas Alkitab tidak memberhalakan orang-orang yang telah lewat.
Paulus dalam suratnya kepada Timotius, menguatkan dia: “Jangan karena umurmu masih muda, engkau pikir engkau harus duduk manis; justru tunjukkan bahwa kamu dewasa, meskipun umurmu masih muda.” Petrus dalam instruksinya bagi para penatua, mengatakan: “Gembalakanlah kawanan domba, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela, jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri, jangan berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan.” Ini berarti Petrus tahu bahwa para orang-orang tua ada kecenderungan yang salah itu, mereka sering kali memaksa, mereka sering kali mau mencari keuntungan, mereka sering kali berbuat dengan cara perintah-perintah, dan bukan menjadi teladan. Namun ayat berikutnya, apa yang Petrus katakan? “Demikian jugalah kamu, hai orang-orang muda, tunduklah kepada orang-orang yang tua. Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab: ‘Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengaasihani orang yang rendah hati’”. Petrus tetap menguatkan orang-orang yang lebih tua untuk mengambil peran yang vital itu, yaitu menjadi teladan bagi yang muda, membimbing mereka, mendidik mereka –bukan cuma mencari anak muda untuk jadi penggantinya di gereja.
Saudara, mungkin tantangan yang bisa saya berikan adalah: bagi Saudara-saudara yang hari ini atau selama ini jadi pengurus, apa interaksimu selama ini dengan orang-orang generasi muda di Gereja; Saudara mencari mereka untuk apa? Jangan-jangan cuma waktu Saudara butuh mereka untuk jadi pengganti pengurus baru. Kapan Saudara mencari mereka untuk menjadi teladan bagi mereka? Kapan Saudara mencari mereka untuk melayani bersama-sama dengan mereka, ikut dalam jatuh bangun mereka? Mana kehadiran pengurus-pengurus yang lebih berumur untuk masuk ke dalam Persekutuan Pemuda? Mana kehadiran pengurus-pengurus dan jemaat-jemaat yang lebih tua, yang lebih banyak makan asam garam, untuk masuk ke dalam Persekutuan Remaja?
Saudara, ini sebabnya sebagai pendeta GRII, saya tidak malu mengatakan bahwa saya kagum dengan sistem Gereja GKY. Di gereja mereka waktu ada pasangan yang mau menikah, pasangan tersebut bertemu dengan pendetanya secara one on one cuma satu kali (di gereja kita tiga kali), lalu sisanya mereka bertemu dengan pasangan-pasangan mentor, orang-orang yang sudah menikah, yang sudah lama menikah, yang akan jadi mentor mereka terus-menerus ke depannya. Orang-orang di Gereja GKY ketika menikah, mereka masuk ke dalam Gereja, bukan cuma pinjam gedung. Mereka masuk ke dalam OSG bersama pasangan-pasangan yang lebih senior itu. Sedangkan di gereja kita, pasangan yang menikah di sini masih tanya, “Habis nikah, kami mau berjemaat di Cibubur, tidak apa-apa ‘kan ya?” —kami mau berjemaat di tempat lain tidak apa-apa ‘kan ya, kami cuma mau pinjam gedung.
Saudara, Tuhan kita adalah Tuhan yang memang benar memanggil kita masing-masing secara individual, tapi Tuhan kita juga memanggil kita sebagai sebuah umat, sebagai sebuah keluarga. Dalam Perjanjian Lama, Saudara melihat bahwa Allah yang kekal, Allah yang melampaui segala sesuatu, mengikatkan diri-Nya dengan sebuah umat sebagai Allah Israel. Ini adalah Allah yang berjanji setia, “Aku akan menjadi Allahmu, dan engkau akan menjadi bangsa-Ku”; lalu apa lanjutannya? “Aku akan menjadi Allah bagimu, tapi juga bagi anak-anakmu, bagi seribu angkatan sesudahmu”. Ini diulang berkali-kali di sepanjang Alkitab. Inilah hesed. Inilah kasih setia Allah. Dalam Perjanjian Baru, hal ini bukan di-cancel dan diganti dengan kerohanian versi “diriku dengan Tuhan di taman yang sejuk”, ini di-afirmasi oleh Petrus dalam khotbah pada Hari Pentakosta: “Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu, bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita”.
Kira-kira sebulan yang lalu saya dan Dorothy menderita keguguran; janin usia 11 minggu, heartbeat-nya simply hilang suatu hari. Waktu kami dalam perjalanan ke rumah sakit untuk dikuret, Othy tanya pertanyaan itu: bagaimana sebenarnya nasib janin-janin yang meninggal sebelum lahir? Tahukah Saudara, jawaban textbook-nya Teologi Reformed, teologi yang alkitabiah? Jawabannya, basically kalau kita jujur, kita tidak bisa benar-benar bilang bahwa kita tahu, kita tidak bisa benar-benar dengan meyakinkan mengatakan mereka ke mana. Kita tidak tahu. Namun apa penghiburan yang bisa diberikan Alkitab? Penghiburannya adalah: bahwa perjanjian yang Tuhan ikat dengan kita, itu bukan cuma dengan kita, melainkan dengan keturunan kita juga. Bagaimana persisnya mekanismenya? Tidak tahu –bahkan mungkin tidak bisa tahu. Tapi, Tuhan kita adalah Tuhan yang punya kasih setia, Dia mengikat diri-Nya dengan janji itu. Dia Tuhan yang righteous, maka berarti Dia adalah Tuhan yang akan do the right thing, apapun itu. Saya tidak tahu nasibnya seperti apa, tapi saya tahu siapa Allah saya yang memegang nasib anak saya yang tidak lahir itu, maka saya percaya ini menghibur.
Saudara lihat, dalam iman yang alkitabiah sesungguhnya ada tekanan yang besar akan keumatan, akan keluarga Allah. Itu sebabnya salah satu panggilan besar yang Tuhan berikan adalah Saudara disuruh meneruskan apa yang Saudara lihat dan dengar akan karya Tuhan yang besar, kepada generasi berikutnya. Kita melihat hal ini dalam Paskah; dikatakan: “Apa bila anak-anakmu berkata kepadamu, apakah artinya ibadahmu ini, haruslah kamu berkata ‘itulah korban Paskah bagi Tuhan, yang melewati rumah-rumah orang Israel di Mesir ketika Ia menulahi Mesir namun menyelamatkan rumah-rumah kita’”. Kekristenan adalah iman yang inter-generasi, karena Allahnya adalah Allah yang setia dari satu angkatan kepada angkatan-angkatan berikutnya, Allah yang menjaga perjanjian-Nya bukan atas dasar kesetiaan kita, melainkan kesetiaan-Nya. Dengan demikian Saudara lihat ini menghasilkan liturgi seperti apa dalam orang Israel, yaitu liturgi yang tidak pernah berupa: ‘yuk, kita bikin liturgi dan ritual dan kebaktian dan musik yang baru untuk mengakomodasi setiap zaman, setiap kelompok umur, sesual dengan relevansi masing-masing’. Tidak seperti itu. Karena Allah adalah Allah intergenerasional, Allah yang mengikat perjanjian bukan cuma denganku tapi juga dengan orang-orang yang masih akan datang, dengan keturunanku, maka yang dilakukan adalah: ‘ini liturginya; kita akan bawa masuk setiap generasi, setiap kelompok umur ke dalam kovenan dengan Allah ini’.
Itu sebabnya gambaran finalnya di kitab Wahyu adalah disatukannya seluruh manusia dari tiap-tiap suku bangsa dan bahasa dan kaum dan bangsa; dan dalam Wahyu 5:9-10 dikatakan, “… Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan …”. Saudara, boro-boro mengumpulkan orang dari setiap suku dan bahasa, kalau yang kita lakukan sekarang senantiasa adalah memisah-misahkan orang, berdasarkan angkatan mereka, suku mereka, jenis kelamin mereka, dst. Kita bukan ekstrim dalam hal ini, kita bukan mau mengatakan ‘dalam Kristus semua tembok pemisahan diruntuhkan dan tidak ada lagi perbedaan’ –itu bukan posisi Alkitab– melainkan bahwa di dalam Kristus, perbedaan-perbedaan itulah yang justru menjadi tali pengikat persatuannya. Tubuh Kristus, prinsipnya adalah: bahwa perbedaan dan keunikan masing-masing bagian tubuh itulah, yang memberikan kepada bagian tubuh yang lain apa yang dibutuhkan. Lagu anak-anak mengatakan: “I am the eye, I go blink-blink; Yes, I am the eye and I can wink. I am the eye but I can’t think; That belongs to my friend the brain.”
Kita justru diikat dalam satu tubuh, exactly melalui dan di dalam perbedaan-perbedaan itu. Yang muda membutuhkan yang tua untuk menjadi guide dan teladan bagi mereka; yang lebih tua juga membutuhkan yang lebih muda. Tidak ada yang lebih jelas dalam hal ini daripada waktu Saudara menjadi seorang orangtua, karena di situ Saudara sadar satu hal, bukan cuma anak-anakku yang butuh aku untuk bisa bertumbuh, tapi juga aku butuh mereka untuk aku bisa bertumbuh. Mungkin karena panggilan saya menjadi bapak somehow datang barengan dengan panggilan menjadi gembala, hal ini jadi benar-benar jelas. Bukan cuma Saudara di sini butuh saya untuk bisa bertumbuh, saya juga butuh Saudara-saudara untuk saya bisa bertumbuh.
Di sini kita disibakkan akan kecenderungan Gereja memisah-misahkan setiap generasi/ angkatan sesuai kebutuhan masing-masing dan relevansi masing-masing; dan Michael Horton mengatakan ini pekerjaan Iblis, yaitu tidak henti-hentinya menciptakan gap antara generasi dengan generasi di dalam Gereja. Adalah pekerjaan setan, memisahkan setiap generasi menurut niche market-nya masing-masing. Kalau Saudara melihat rencana Allah bagi Gereja-Nya, umat-Nya, tubuh-Nya, maka Saudara menyadari bahwa memisah-misahkan generasi seperti ini, itu tidaklah kurang dari pemberontakan terhadap rajutan Allah bagi keluarga-Nya, bagi umat-Nya. Ini adalah membuat masing-masing bagian tubuh menjadi kanker terhadap yang lain; bukan bekerja bagi yang lain melainkan menuntut yang lain bekerja bagi mereka.
Dunia senantiasa mencekoki kita dengan semangat dan mimpi zaman ini; setiap generasi yang lahir diberitahu ‘kamu itu spesial, kamu unik, generasimu itu generasi yang penting, generasi yang tidak seperti zaman bapakmu dulu, bahkan tidak seperti zaman kakak-kakakmu, kebutuhanmu lain, you’re special’ –setidaknya sampai datang generasi berikutnya. Atau, begitu datang generasi berikutnya, kita mengatakan, “Anak-anak zaman sekarang, huh! … “; sementara Alkitab mengatakan yang lain. Nyanyian Musa dalam Keluaran15:2, “TUHAN itu kekuatanku dan mazmurku, Ia telah menjadi keselamatanku. Ia Allahku, kupuji Dia, Ia Allah bapaku, kuluhurkan Dia” –He is my father’s Lord. Susah ya, untuk kita menyanyikan nyanyian seperti ini.
Saudara, di balik semua narsisisme ini, apa akarnya? Yaitu ketidakmampuan untuk menerima apa yang ordinary. Zaman kita dalah zaman di mana semua orang terobsesi dengan setiap momen kehidupan. Semua pengalaman harus luar biasa. Setiap momen indah dan berkesan. Setiap makanan enak. Setiap pertemanan dipenuhi dengan keasyikan. Setiap kegiatan harus jadi event, harus instagramable, harus bisa shareable, harus impresif. Begitu belajar edit foto, maka tidak ada lagi foto yang akan Saudara biarkan raw; saturation harus Saudara naikkan, sharpness jangan lupa, contrast ditinggikan sedikit, tapi jangan lupa brightness dan exposure-nya juga ditinggikan. Dan, hidup riil tidak seperti ini, sunset cuma tetap sunset.
Zaman sekarang, matahari tidak bisa terbenam dengan damai di Kuta tanpa dikerubungi jutaan HP dengan filter masing-masing. Ironisnya, ini sesungguhnya menghancurkan keindahan dari sunset, bahwa sunset itu indah karena accessible, Saudara bisa langsung lihat dengan mata kepalamu sendiri, tidak usah pakai teropong; bahwa sunset itu indah karena sunset datang setiap hari; bahwa sunset itu indah karena sunset itu biasa, ordinary. Tapi hari ini kita kehilangan itu. Hari ini kita merasa pernikahan kita harus terasa di surga meskipun kita tinggal di bumi, vacation-vacation kita harus unforgetable, momen-momen kita berhenti untuk mengendus bunga harus dilakukan dalam slow motion. Poinnya, bukan bahwa saya tidak tertarik dengan smua itu, poinnya adalah: kita sebagai orang Kristen yang hidup di bawah liturgi budaya seperti ini, akan sangat sulit untuk menikmati momen-momen yang familiar, yang rutin, yang biasa.
Di FB, IG, dan sosmed-sosmed lainnya, kita diberikan platform untuk melakukan ini terus-menerus. Kita bisa membodohi diri kita dengan berpikir kita punya ribuan friend. Kita bisa menghapus semua comment yang kita tidak suka. Kita bisa block orang-orang yang tidak setuju dengan kita dan menyebalkan. Kita bisa hanya post foto-foto kita yang keren, yang seksi, yang lucu —dan jumlahnya bisa ribuan loh, jadi pasti itu diri kita yang sesungguhnya ‘kan. Kita bisa ngomong dengan kalimat-kalimat pendek yang sarkas, dan witty. Kita bisa membuat diri kita seakan-akan worth following, banyak pengikutnya –padahal sebenarnya yang terjadi cuma masing-masing orang saling mengisi kekosongan hidup orang lain dengan saling mem-follow. Dan ironisnya, semua pengguna-pengguna inilah yang sebenarnya paling tahu akan hal ini, Saudara tidak butuh saya untuk memberitahu semua ini; saya cuma memberikan kalimat-kalimat yang artikulatif saja, tapi sebenarnya semua dari Saudara sudah menyadari hal ini. Hidup kita hari ini sebenarnya sedikit banyak sudah bosan dan capek dengan semua itu. Itu sebabnya anak-anak muda merindukan komunitas, mereka merindukan komunikasi yang lebih riil. Namun Saudara lihat, habit-habit yang telah menjadi liturgi mereka itu, sekarang sudah mendarah daging, dan ini akan membuat mereka bagaimanapun juga di satu sisi mengatakan mau komitmen, tapi di sisi lain sangat anti terhadap komitmen yang jangka panjang.
Lalu apa solusinya? Apa yang Tuhan berikan bagi kita, bagi pertumbuhan di Gereja? Sekali lagi, kuncinya tidak pernah mengenai apa yang kita lakukan, kuncinya selalu adalah apa yang Allah lakukan. Apa yang Allah lakukan sehingga engkau bisa bertumbuh, sehingga engkau bisa diselamatkan dari liturgi dunia yang seperti itu? Yang Dia lakukan adalah: ketika Dia menyelamatkanmu, Dia memasukkanmu ke dalam Gereja-Nya. Saudara jangan pikir cuma Katolik yang mengatakan “tidak ada keselamatan di luar Gereja”, Yohanes Calvin pun mengatakan kalimat yang sama: tidak ada keselamatan di luar Gereja Tuhan. Memang bukan gereja yang menyelamatkanmu, itu jelas, namun keselamatanmu tidaklah eksis di luar Gereja. Kenapa? Karena keselamatan Tuhan bukan cuma urusan produk akhir –masuk neraka atau masuk surga atau whatever– keselamatan Tuhan adalah juga keunikan jalannya, caranya.
Gereja Tuhan tidaklah seperti komunitas-komunitas palsu di sosmed; komunitas di Gereja perlu persentuhan muka dengan muka, komunitas Gereja ada pertanggungjawaban. Saudara tidak bisa unfriend orang segampang itu di komunitas Gereja; dalam komunitas Gereja, Saudara perlu membangun konsensus. Cobalah Saudara masuk ke komunitas manapun di gereja, dari Paduan Suara sampai KTB, Saudara akan menemukan bahwa sangat sedikit hal yang sesuai keinginanmu, dan lebih sedikit lagi hal-hal yang Saudara bisa ubah untuk sesuai keinginanmu. Kenapa Paduan Suara tadi bisa menyanyi seindah itu, apakah karena mereka masuk dengan mempertahankan selera musik mereka masing-masing? Itu sebabnya saya bingung waktu mendengar Padus ingin pergi jalan-jalan, makan-makan, untuk kebersamaan, karena bukankah kebersamaan yang dilatih minggu demi minggu secara ordinary itu, di ruang latihan choir, adalah jauh melampaui semua makan-makan dan jalan-jalan? Itulah kebersamaan yang sesungguhnya, di mana setiap orang dilatih, dibentuk, dipaksa, untuk menjadi bagian tubuh yang mengisi orang lain. Tapi, ‘ah, itu terlalu rutin, itu terlalu biasa, kita ingin something more’; kenapa?? Saudara, ini Gereja; Gereja memang eksis untuk membantah arah hatimu menurut liturgi-liturgi yang kita bawa masuk dari dunia, karena Gereja memfokuskanmu kepada apa yang ordinary, bukan yang extra-ordinary.
Sekali lagi, jangan pernah lupa bahwa poin dari keselamatan di dalam Alkitab bukanlah cuma hasil akhirnya, tapi juga caranya penting, cara Tuhan menyelamatkanmu. Tuhan menyelamatkanmu lewat cara-Nya, tidak lewat cara orang lain. Kalau Yunus ditanya: “Lu mau pilih cara selamat yang bagaimana?” Dia akan bilang, “O, Tuhan, saya mau selamat tidak dengan cara dimuntahkan ikanlah, jijik banget deh, mengalir ke pantai beserta tulang-tulang ikan yang lain. Saya maunya dicari-cari oleh helikopter SAR lalu diangkat pakai katrol, lalu sampai di atas langsung diberi pernafasan buatan”. Tapi Tuhan memberikan keselamatan bagi Yunus lewat muntahan ikan. Itu caranya Tuhan. Jadi bukan cuma unik keselamatannya, tapi juga caranya. Pada zaman Musa, Saudara bisa sembuh dari gigitan ular dengan cara memandang ular tembaga. Hah?? Di dalam Alkitab Saudara melihat, mengalahkan Goliat adalah dengan pakai sambitan. Gideon bawa jumlah tentara yang salah. Daun bawa senjata yang salah. Dan, tambahkan satu dari pembelajaran kita sejauh ini: Kristus menyelamatkan dunia bukan cuma lewat tiga tahun pelayanan-Nya yang luar biasa, tapi juga melalui tiga puluh tahun dalam kesunyian, tanpa followers, tanpa subscribers, melalui masa-masa ordinary.
Saudara, ini semua harusnya membuat kita refleksi, bahwa kita ini selalu kepingin kita yang menyelamatkan Tuhan, tidak mau Tuhan yang menyelamatkan kita. Ini persis seperti Petrus. Petrus tidak mau terima cara Tuhan menyelamatkan; dia mau keselamatan Tuhan, tapi dia tidak mau caranya Tuhan menyelamatkan, maka dia menghunus pedangnya, dan dia potong telinga hamba Imam Besar. Saya tidak mau pakai cara seperti itu, Tuhan, apaan, menyelamatkan lewat Engkau mati?? Dari mana bisa kayak gitu?? Tidak bisa! Keselamatan datang lewat saya mematikan orang lain!! Itulah problemnya Petrus. Itulah problemnya kita. Kita tidak mau menerima cara kerja Tuhan yang memberikan pengertian dan kedewasaan lewat kebingungan, lewat pergumulan, lewat waktu yang lama, lewat pengurus dan diaken yang ada kelemahan serta kelambatan, lewat penatua dan penatua pendeta yang juga lemah –karena kita kepingin jadi juruselamatnya Tuhan, seperti Petrus. Kita tidak mau belajar menurut cara Tuhan mau kita belajar, dengan lewat kebingungan, lewat pagi dan malam merenungkan Firman Tuhan, lewat apa yang ordinary. Tidak mau. Susah. Capek. Lama. Males!
Pagi ini Saudara dihadapkan dengan pilihan ini, pilihan yang persis sama dengan pilihan Adam dan Hawa, pilihan Kain dan Habel. Adam dan Hawa melihat pohon; dan yang jadi pertanyaan mereka sebenarnya juga pertanyaan kita. Waktu kita baca cerita itu, yang jadi pertanyaan kita adalah: “Kenapa sih Lu musti ciptain itu pohon?? Kalau Engkau adalah Allah yang mahakuasa, maha tahu, maha penyayang, kenapa Engkau ciptakan pohon itu? Kenapa ditaruh di tengah?? Itu pohon kalau pun mau ada, harusnya taruh di pinggir, dikunci dalam gudang, gembok tiga kali; kenapa taruhnya di tengah? Semua orang masuk ke taman dari arah mana pun, akan lihatnya itu pohon, Tuhan. Bagaimana sih?? Desainnya ‘gak bener ini.” Itulah pertanyaan kita, dan barangkali itu pertanyaan Adam dan Hawa juga. Itu sebabnya mereka merasa ‘pohon ini baik ya, memberi pengertian, karena kayaknya Tuhanku itu perlu sedikit bantuan, Dia kurang bagus kayaknya’ –saya tidak bisa melihat bijaksana Tuhan dari semua ini, maka saya akan menentukan bahwa memang Tuhan saya tidak ada bijaksananya. Itulah dosa, Saudara. Tidak mau belajar dengan cara yang Tuhan mau kita belajar. Tidak mau menerima bijaksana Allah dalam situasi di mana kita tidak bisa melihat di mana bijaksananya.
Saudara, bukan kita juruselamatnya, Dialah Juruselamatnya. Sekarang mengertikah Saudara bobot di balik ‘kita menerima Yesus sebagai Juruselamat kita’? Dulu saya suka mengkontraskan antara istilah juruselamat dan raja. Juruselamat berarti Dia menyertai kita, mengayomi kita; sedangkan Raja berarti kita menyertai Dia, kita mengikut Dia. Namun sesungguhnya istilah juruselamat pada zaman Tuhan Yesus adalah istilah raja. Banyak raja yang pakai istilah seperti itu, misalnya: Ptolemy Soter, Antiochus Soter –pakai istilah soter, juruselamat, saviour. Saviour itu penguasa, Saviour itu raja, karena Dia menyelamatkanmu; dan kalau Saudara mau diselamatkan oleh Dia, Saudara tidak bisa cuma terima hasilnya, Saudara perlu terima cara-Nya –dan cara-Nya adalah Gereja.
Dua puluh lima tahun ini, positif atau negatif? Dua puluh lima tahun yang berikutnya, itu akan jadi positif atau akan jadi negatif? Kiranya Gereja ini sungguh menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading