Kita sedang dalam Musim Lent, musim Gereja diajak untuk mempersiapkan diri –tubuh, hati, jiwa, pikiran– untuk menerima karya keselamatan Kristus dalam Jumat Agung dan Paskah; dan kalau Saudara tanya ‘kenapa Gereja harus mempersiapkan diri untuk musim-musim seperti ini’, Saudara perlu mempertanyakan pertanyaanmu itu. Kalau Saudara menikah, apa Saudara tanya ‘kenapa pernikahan harus disiapkan’? Jangankan pernikahan, kalau Saudara mau jalan-jalan liburan pun, pasti ada segudang persiapannya. Jadi ketika kita tanya ‘kenapa harus mempersiapkan hal ini’, problemnya mungkin bukan pada barangnya melainkan pada diri kita sendiri, karena kita ini generasi mi instan yang merasa segala sesuatu makin ideal kalau semakin cepat, segala sesuatu makin ideal kalau waktu persiapannya minimal tapi hasilnya maksimal –mungkin ini kalimat yang sangat bodoh yang bisa keluar dari mulut manusia.
Belum lama ini saya mendengar satu kalimat sangat menarik dari sebuah Podcast. Dalam Podcast itu mereka membahas mengenai sosmed, efek-efek jelek yang sosmed bawakan ke dalam hidup kita. Salah satu yang mereka bicarakan adalah mengenai bagaimana sosmed mengurangi kapasitas manusia untuk berespons; namun lucunya, kapasitas kita berespons sebagai manusia berkurang gara-gara sosmed, justru karena sosmed mempercepat reaksi kita. Coba saja kalau Saudara scrolling IG, di situ Saudara reaktif sekali, Saudara melihat lalu bereaksi, melihat lalu bereaksi, melihat lalu bereaksi, Saudara akan dengan langsung memutuskan suka atau tidak suka, kalau suka maka nonton sebentar lalu tertawa (reaksi); kalau Saudara tidak suka, Saudara langsung scroll lagi, Saudara langsung cari apa yang Saudara suka. Kecepatan bereaksimu dilatih jadi sangat tinggi waktu Saudara main sosmed seperti ini, tapi Saudara notice atau tidak, bahwa kedalaman kapasitas tangkimu untuk berespons atas apa yang Saudara lihat itu jadi sangat dangkal. Reaksinya cepat sekali tapi dangkal sekali, reaksinya cuma urusan like and dislike, suka atau tidak suka, itu tok. Tidak ada orang main IG, begitu lihat lalu merenung dulu, memikirkan ‘ini orang bikinnya bagaimana, itu tipuan mata atau beneran, dia berapa kali attempt hal itu sampai bisa dapat, barangkali 100 atau 200 atau 500 kali?’ Hal-hal kayak begini saja kadang-kadang kita bisa terpikirkan tapi kadang-kadang sekadar lewat-lewat doang, apalagi respons yang lebih dalam seperti misalnya ‘apa respons saya sebagai seorang Kristen atau seorang pemuda Kristen atau seorang ibu Kristen, melihat hal seperti ini’. Boro-boro mau berpikir sampai ke sana, karena reaksi Saudara begitu cepat, sementara kapasitas Saudara untuk bereaksi semakin dangkal. Kenapa begini? Karena kedalaman kapasitas seseorang untuk berespons, itu perlu waktu.
Kedalaman suatu respons, ditentukan oleh waktu. Misalnya Saudara disuruh merespons email, reaksinya tidak bisa cepat, tidak secepat IG. Saudara harus baca email-nya dulu sampai habis –itu perlu waktu. Lalu Saudara berpikir mau tulis apa –itu perlu waktu. Lalu Saudara menulis, dan setelah itu juga perlu mengedit –itu perlu waktu. Semuanya perlu waktu; dan respons yang dihasilkan pasti lebih dalam dibandingkan ketika Saudara main IG –karena ada waktu-nya. Apalagi kalau Saudara menulis surat zaman dulu, mengisi pen saja perlu waktu. Semakin dalam dan semakin limpah kekayaan responsmu ketika engkau memakai waktu yang lebih banyak di antara reaksimu. Ini realitas hidup manusia. Orang mendengar sesuatu lalu dia diam dulu, tidak langsung respons, dia pikir dulu, dia baca buku, dia tulis paper dari buku-buku tersebut, dia presentasikan paper-nya ke para sejawat dulu, dia mendengarkan kritikan dan masukan mereka, dia catat semuanya, dia revisi paper-nya lalu dia submit lagi, setelah itu selesai, dia simpulkan isi paper-nya, baru dia datang kepada orang yang ngomong tadi dan menyatakan responsnya, yang seperti itu reponsnya pasti dalam banget. Tentu saja ini contoh ekstrim, bukan maksudnya menyuruh kita kayak begitu, namun Saudara lihat, seberapa banyak waktu yang kita pakai di antara reaksi kita, itulah yang menentukan sedalam apa kapasitas tangki kita. Sorry to say, sosmed tidak membantumu sama sekali dalam hal ini, sosmed malah merusakmu. Apalagi kalau Saudara memberikan smartphone ke anakmu; kalau orangtua memberikan smartphone ke anak, itu bukan untuk membantu si anak tapi untuk membantu si orangtua, untuk menyelesaikan problemnya si orangtua. Saudara coba pikir lagi yang kayak begini-begini.
Poinnya, inilah sebabnya dalam Gereja, kita perlu belajar liturgi untuk menanti, liturgi di mana kita dibiasakan memakai waktu yang cukup lama di antara reaksi kita. Tidak simply ‘Natal!’ lalu besoknya kelar, ‘Jumat Agung!’ lalu selesai. Saya rasa, dalam dua minggu kita membahas tema Lent, Saudara bisa merasakan kedalaman macam apa yang kita dapatkan waktu kita tidak cepat-cepat dan buru-buru mau langsung sampai ke barangnya sendiri. Lent mengajak kita memakai waktu yang lama untuk merenungkan apa artinya kehidupan yang Tuhan berikan kepada kita, yaitu hidup yang lebih hidup, namun ternyata hidup seperti ini baru muncul/lahir melalui kematian. Itu sebabnya menjadi orang Kristen adalah memegang keduanya bersamaan: hidup, karena mati; mati, maka hidup. Bukan cuma salah satu.
Itu sebabnya dalam minggu pertama kita membahas tema Pencobaan, bahwa pencobaan tidak terhindari dalam Kekristenan. Pencobaan adalah yang Tuhan kita sendiri lalui sebagai jalan untuk Dia mendatangkan keselamatan bagi hidup, pada akhirnya –kehidupan lewat kematian. Pencobaan adalah poin di mana Yesus mengosongkan diri-Nya, memperhitungkan diri-Nya di tengah-tengah pemberontak. Yesus sudah mati terhadap diri-Nya, jauh sebelum Dia mati di atas kayu salib; namun demikian apa yang kita lihat sebagai ‘mati’ ini –bahkan memang maut– justru pada akhirnya membawa kehidupan. Ia mengalahkan maut. Saudara melihat hal tersebut dalam tema Lent minggu yang pertama.
Dalam minggu kedua, temanya adalah Pintu yang Sempit. Dalam tujuh kisah Lukas yang dirangkai jadi satu, kita melihat semuanya berbicara mengenai bagaimana manusia sering kali pikir dia bisa datang menghampiri Tuhan, yaitu dengan berbekal ide-ide saya mengenai Tuhan, status dan reputasiku di hadapan Tuhan, dengan kalkulasi cost and benefit-ku di hadapan Tuhan, dengan neraca nilaiku. Namun ternyata pintu Kerajaan Tuhan terlalu sempit untuk semua hal tersebut dibawa masuk. Telanjang aku datang, telanjang aku pergi, telanjang jugalah aku masuk ke dalam Kerajaan Allah –itulah pertobatan. Jalan masuknya begitu sempit, semuanya musti dibuang, rasanya seperti mati, rasanya seperti ditelanjangi, tidak ada sisa apapun yang bisa jadi pegangan atau dasar berpijak, namun dalam poin seperti inilah seseorang baru siap untuk menjadi murid, dalam poin seperti inilah baru seseorang bisa dibentuk ulang dalam hidup yang baru. Kematian tapi kehidupan, kehidupan karena kematian.
Hari ini Minggu ke-4 Lent, biasa disebut sebagai Rose Sunday. Dalam musim Lent yang segala sesuatunya lebih gloomy –kita bicara mengenai pencobaan, pintu yang sempit, pertobatan, kematian– di minggu ke-4 ini lebih terang sedikit, lebih cerah sedikit, dan kita boleh lebih bernafas lega, karena ini adalah Minggu untuk kita membicarakan mengenai pemulihan yang Tuhan bawa dalam hidup kita, mengenai seperti apa keselamatan yang Tuhan bawa ke dalam hidup kita. Ini adalah Minggu yang ada sedikit icipan terang Paskah dalam kegelapan Jumat Agung.
Perikop hari ini kita ambil dari Injil Lukas yaitu Perumpamaan Anak yang Hilang (Lukas 15:11-32), namun kita akan mempelajarinya secara lebih kontekstual dengan melihat kisah-kisah lain yang berdekatan dan dirangkai jadi satu unit. Dalam pasal 15 ini ada tiga kisah, tiga perumpamaan, yang jadi satu kesatuan. Tidak sulit untuk kita melihat koneksi ceritanya satu dengan yang lain, karena setelah introduksinya mengenai Tuhan Yesus bicara kepada siapa dan di mana, ayat 4-7 adalah kisah Domba yang Hilang, ayat 8-10 adalah kisah Dirham yang Hilang, lalu ayat 11-32 adalah kisah Anak yang Hilang. Kita tidak akan fokus pada salah satu kisah, tujuan hari ini bukan mau membahas perumpamaan yang terkenal itu, tujuan hari ini adalah membuka satu gambaran besar rajutan Lukas dari ketiga kisah tersebut (kalau Saudara ingin mempelajari kisah Anak yang Hilang, saya merekomendasikan bukunya Tim Keller, “The Prodigal God”; atau buku dari Kenneth Bailey, “Jacob and the Prodigal”, buku yang menarik karena Bailey melihat kisah anak yang hilang itu ada kaitan dengan cerita Yakub di Perjanjian Lama).
Kita akan membahas jadi tiga poin besar. Pertama-tama kita akan coba melihat gambaran apa yang Lukas berikan di sini mengenai keselamatan. Yang pertama, ‘the who of salvation’, keselamatan itu urusannya siapa. Yang kedua, ‘the why of salvation’, keselamatan itu datangnya kenapa. Yang ketiga, ‘the how of salvation’, keselamatan itu masuknya bagaimana ke dalam hidup kita.
Yang pertama, the who of salvation
Tiga kisah dalam Lukas ini, pattern dan message dasarnya sangat mirip, yaitu ada keterhilangan dan ada kembalinya apa yang hilang itu. Namun ketika Alkitab mengulang sesuatu, apalagi sampai tiga kali, tujuannya tidak pernah cuma mengulang hal yang sama tiga kali; ini adalah tiga kisah yang menggambarkan cara-cara yang berbeda untuk satu hal yang sama, sehingga kita mendapatkan sudut-sudut pandang yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Dalam hal ini, yang pertama kita akan melihat mengenai siapa yang digambarkan mencari yang hilang itu, siapa yang digambarkan bersukacita ketika yang hilang itu bisa kembali.
Dalam kisah pertama, Domba yang Hilang, tentunya yang mencari dan bersukacita adalah figur sang gembala. Di ayat 4-7 memang tidak ada istilah ‘gembala’, namun deskripsinya cukup jelas bahwa dia ini pemilik 100 domba, dan dia pergi mencari satu dombanya yang hilang. Ini satu gambaran yang archetype dalam Perjanjian Lama, yang sangat familier dengan para pendengar Yesus waktu itu, yaitu bahwa ini gembala; dan dalam Perjanjian Lama ini mengacu pada Tuhan sendiri, Allah Israel. Misalnya, Yesaya mengatakan: “Seperti seorang gembala, Ia menggembalakan kawanan ternaknya”; Yehezkiel mengatakan: “Beginilah firman Tuhan: Aku sendiri akan memperhatikan domba-domba-Ku dan akan mencarinya”; dan tentunya juga Mazmur 23. Ini gambaran yang memang pas bagi Allah Alkitab, karena Allah Alkitab tidak pernah digambarkan sebagai Allah yang tidak pedulian, melainkan Allah yang takes care of His people, yang menjaga, melindungi, memimpin, dan mengayomi umat-Nya. Yang menarik, gambaran ini tepat sekali bagi Allah Israel karena di sisi lain pekerjaan ‘gembala’ di mata orang Israel sesungguhnya bukan pekerjaan yang positif.
Kenapa para gembala dianggap rendah dalam masyarakat Yahudi? Bahkan ada catatan yang mengatakan bahwa gembala tidak boleh dipakai sebagai saksi dalam pengadilan; kenapa? Paling tidak ada dua alasan. Yang pertama, dari segi keagamaan Yahudi, orang-orang gembala adalah pelanggar berat, karena natur pekerjaannya yang pergi ke sana kemari dengan domba-domba sehingga mereka tidak bisa menjalankan hukum-hukum seremonial Yahudi seperti tentang menjalankan Sabat. Misalkan domba-domba sedang di padang rumput entah di mana, bukan di kandang, maka mereka pun menginap di situ, dan tentu tidak bisa menjalankan Sabat; demikian juga binatang buas bisa sewaktu-waktu datang tanpa peduli Sabat. Jadi dari sisi agama, seorang gembala tidak bisa menjalankan hukum-hukum keagamaan Yahudi. Dari sisi kemasyarakatan, gembala juga dibenci karena mereka itu nomaden, dan waktu membawa domba-dombanya dari padang rumput satu ke padang rumput lain, mereka tentu masuk juga ke ladang/tanah orang. Bayangkan saja, kalau tanahmu dimasuki kawanan domba yang bukan cuma lewat tapi pastinya juga kencing, dsb., tentu mengesalkan. Ini sebabnya pekerjaan gembala sering kali dianggap rendah. Lalu kenapa gambaran ini juga tepat bagi Allah Israel? Karena –ironisnya– Allah Israel juga Allah yang sering kali dilihat negatif di mata umat-Nya sendiri; umat-Nya sendiri sering kali melihat Allah mereka serendah itu.
Entah positif atau negatif, bagaimanapun juga gambaran ini dipakai Alkitab Perjanjian Lama bagi Allah sendiri. Namun menariknya, dalam Perjanjian Baru gambaran ini bukan cuma bertahan, tapi diambil dan diatributkan secara spesifik kepada Yesus Kristus. Yohanes mencatat bahwa Yesus mengatakan: “Akulah gembala yang baik, gembala yang memberikan nyawanya bagi domba-dombanya”. Dalam Ibrani 13 dikatakan: “Maka Allah damai sejahtera, yang oleh darah perjanjian yang kekal telah membawa kembali dari antara orang mati Gembala Agung segala domba, yaitu Yesus, Tuhan kita”. Itu sebabnya lagu-lagu Kristen juga banyak yang mengatakan Yesus seperti gembala, dst. Jadi, perumpamaan pertama ini jelas bukan cuma bicara mengenai perasaan sukacita umum, yang dialami siapapun secara umum ketika mereka menemukan barangnya yang terhilang, ini adalah gambaran dari sukacita Ilahi, pencarian Ilahi, ketika manusia yang terhilang itu dicari oleh Yesus Kristus, ditemukan oleh Yesus Kristus. Inilah ‘siapa’, yang menemukan dan bersukacita dalam kisah yang pertama ini.
Kita lompat ke kisah ketiga dulu, kisah Anak yang Hilang. Kalau Saudara ditanya ‘siapa figur ayah dalam kisah ini’, tentu Saudara akan mengatakan ini figur Bapa di surga. Make sense juga bahwa kisah pertama tadi adalah figur Yesus Kristus, Pribadi Kedua, Anak Allah, dan dengan demikian dalam kisah ketiga bisa jadi mengacu pada Bapa di surga. Saya setuju. Namun mungkin kita perlu coba menyampaikan pembelaan atas tesis ini, karena tidak sedikit orang yang mulai beralih dari penafsiran ini, atas dasar bahwa dalam kisah ketiga ini tidak pernah secara eksplisit dikatakan figur ayah tersebut mewakili Allah Bapa.
Memang benar hal itu tidak pernah diidentifikasikan secara jelas, tapi benar juga bahwa semua gambaran ‘bapa’ dalam dunia ini sebenarnya mengacu kepada Allah Bapa. Ini bisa kita pertanggungjawabkan. Selain itu, kita lihat dalam kisah yang pertama, Domba yang Hilang, ditutup dengan sukacita di surga –sukacita umum. Lalu kisah yang kedua, Dirham yang Hilang, ditutup dengan sukacita di surga juga namun sekarang sukacitanya meruncing, bukan cuma sukacita di surga secara umum melainkan malaikat-malaikat surgawi bersukacita ketika orang berdosa kembali. Dengan demikian, tidaklah aneh bahwa yang bersukacita dalam kisah ketiga ini bukan umum lagi, bukan malaikat-malaikat surgawi lagi, tapi Allah Bapa sendiri. Sama seperti kisahnya, sebagaimana waktu manusia berdosa itu kembali maka sang bapa membuat pesta besar, menyembelih lembu yang sudah digemukkan (setiap keluarga punya satu ekor lembu yang khusus dipersiapkan untuk occasion yang besar), seperti itulah juga gambaran sukacita surga dalam kisah ketiga ini, Bapa sendiri sekarang yang bersukacita.
Saudara lihat, meskipun tiga kisah ini ada dasar dan message yang sama, setiap gambarannya ada keunikan tersendiri. Kisah Domba yang Hilang menekankan Yesus yang pergi mencari, seperti seorang gembala mencari. Kisah Anak yang Hilang, menekankan Bapa yang menunggu, dan menerima anak-Nya pulang. Ada sesuatu yang saling melengkapi di sini. Dengan demikian, ketika sekarang kita kembali ke kisah kedua, yang tadi kita lewati, yaitu kisah seorang wanita dengan pelitanya, apakah ini mengacu kepada Roh Kudus? Tentu saja jangan terlalu cepat lompat ke konklusi, karena kalau seperti itu namanya cocoklogi; kita perlu pastikan ada dasar tekstual yang kuat untuk mendukung hal ini.
Yang pertama, Lukas secara umum dalam kitab Injilnya memang peka melihat keterlibatan semua Pribadi Allah Tritunggal dalam keselamatan. Misalnya dalam Baptisan Yesus, Saudara melihat Bapa bersuara, Anak dibaptis, Roh Kudus melayang-layang dalam bentuk burung merpati; jadi proyek keselamatan adalah proyek Allah Tritunggal, ketiga-tiganya terlibat. Di bagian lain, pasal 11:13, Lukas mencatat perkataan Yesus yang demikian: “Kalau kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya”; jadi, Bapa akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang minta kepada-Nya, inilah kesaksian dari Yesus Kristus. Saudara lihat, Lukas peka dengan warna ketritunggalan, dia selalu coba menunjukkan keterlibatan ketiga Pribadi tersebut sepanjang kitabnya. Dengan demikian kalau kita menemukan bahwa dalam tiga kisah di bagian ini ada pribadi Anak Allah, ada pribadi Allah Bapa, maka tidak heran kalau kisah yang satu lagi, kisah yang kedua ini, mengacu kepada Roh Kudus.
“Oke, Pak, jadi figur wanita dalam kisah ini Roh Kudus, sama seperti ‘gembala’ adalah Yesus Kristus, dan ‘bapa’ adalah Allah Bapa?” Tidak sesederhana itu. Saudara perhatikan dalam kisah kedua ini, figur wanita tersebut mencari koin dengan cara menyalakan pelita. Jadi di sini ada wanita, ada pelita/terang; dan sesungguhnya dalam berbagai tempat di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, wanita dan terang sering kali dipakai untuk menggambarkan umat Tuhan (Gereja). Misalnya, Gereja sering kali digambarkan sebagai pengantin wanitanya Kristus. Umat Tuhan digambarkan sebagai terang, “Kamulah terang dunia”; Filipi 2: “Hendaklah kamu –jemaat Tuhan– bercahaya seperti bintang-bintang”. Dalam Wahyu 12, ada gambaran seorang perempuan berselubungkan matahari –wanita dan terang– dan ini mengacu pada Gereja/umat Tuhan.
Lalu Roh Kudus-nya jadi di mana? Saudara lihat dalam Perjanjian Baru, bagaimana Gereja bisa berfungsi sebagai terang dunia, bagaimana Gereja disatukan dengan Yesus Kristus sebagai pengantin wanita-Nya? Yaitu lewat pekerjaan Roh Kudus. Ini jelas sekali dalam Alkitab. Wahyu 4:5, Roh Allah digambarkan sebagai obor (terang). Dalam 1 Yoh. 4:13 dikatakan: ‘kita di dalam Kristus, Kristus di dalam kita; kita disatukan dengan Kristus karena kita memperoleh Roh-Nya’. Jadi Roh Kudus adalah caranya bagaimana seorang Kristen, sebuah umat Allah, disatukan dengan Yesus Kristus. Sepak terjang Roh Kudus dalam Alkitab, khususnya setelah Roh Kudus dicurahkan pada Hari Pentakosta, hampir selalu identik dengan sepak terjang Gereja. Gereja diupimpin Roh, Gereja dipenuhi oleh Roh, Gereja berbuah buah Roh. Dengan melihatnya demikian, gambaran Lukas di bagian ini sangat jelas bahwa kisah pertama mewakili Kristus yang mencari, kisah ketiga mewakili peran Bapa yang menanti dan menerima kembali, dan kisah kedua (wanita dan pelita) mewakili Gereja yang lewat terang Roh Kudus menemukan mereka yang terhilang. Jadi dalam pasal 15 ini kita melihat rajutan Lukas yang memperlihatkan bagaimana ketiga Pribadi dalam Allah Tritunggal berperan dalam keselamatan manusia.
Kembali ke pertanyaan tadi, jadi siapa yang menaruh beban di pundaknya bagi keselamatan manusia? Tidak lain dan tidak kurang adalah Allah Tritunggal. Semua Pribadi Allah Tritunggal sama-sama terlibat dalam hal ini; Dia itulah pemilik domba yang terhilang, Dia itulah pemilik dari koin yang berharga, Dia jugalah yang merindukan untuk bisa menemukan anak yang hilang itu, mencarinya dan menantinya, lalu menerimanya dan bercukacita ketika yang hilang itu kembali. Inilah bagian yang pertama, ‘the who of salvation’, dan kita diperlihatkan dengan sangat jelas di sini.
Yang kedua, the why of salvation
Setelah poin pertama jelas keselamatan itu urusannya siapa, yaitu bukan cuma Allah tapi Allah Tritunggal, bahwa setiap Pribadi Allah Tritunggal begitu concern dengan keselamatan, mencari, menemukan, merangkul mereka yang terhilang, maka sekarang kita perlu tanya: kenapa Allah Tritunggal begitu peduli dengan keselamatan manusia? Inilah gambaran yang Lukas mau berikan berikutnya lewat tiga kisah ini.
Ada dua jawaban besar yang bisa kita gali mengenai kenapa keselamatan jadi concern yang begitu besar bagi Allah Tritunggal. Yang pertama, tentu saja karena manusia sangat membutuhkannya, manusia terhilang, itulah yang muncul terus dalam kisah-kisah ini; dan setiap kisahnya memperlihatkan sejauh apa Tuhan melihat keterhilangan kita. Sementara figur gembala, wanita dengan pelita, dan ayah, mewakili tiap-tiap Pribadi Allah Tritunggal yang menyelamatkan, maka barang yang diselamatkan dalam ketiga kisah ini mewakili sudut-sudut pandang yang berbeda dari keterhilangan manusia yang membutuhkan keselamatan tersebut. Seperti apakah keterhilangan manusia?
Yang pertama, kisah Domba yang Hilang. Di sini gembala mewakilki figur Allah yang pergi mencari sejauh apapun, sebahaya papaun, untuk menyelamatkan domba yang terhilang. Ini make sense banget dengan apa yang Yesus lakukan dalam hidup kita. Domba mewakili seperti apa keterhilangan kita di hadapan Yesus Kristus. Kita hilang karena kita tersesat seperti domba. Manusia yang terhilang itu seperti domba yang tidak bisa pikir panjang, tidak bisa navigasi, tidak tahu arah, kerjanya cuma lari dari satu padang rumput ke padang rumput berikutnya, cuma peduli dengan apa yang berada 15 cm di depan matanya yaitu rumput yang bisa memuaskan keinginannya; dan waktu dia mau memuaskan keinginannya itu, tanpa sadar dia mengejar dan mengejar, makin lama makin jauh dan makin terpisah dari kawanannya, juga makin terancam dengan binatang buas. Ini gambaran yang pertama, manusia terhilang di hadapan Tuhan karena kita sesat seperti domba.
Yang kedua, cerita wanita dengan pelitanya, mewakili Roh Kudus yang bekerja melalui Gereja. Roh Kudus adalah Allah yang memberi kehidupan; maka sangat tepat bahwa di bagian ini yang terhilang adalah benda yang mati, tidak bernyawa, yaitu koin dirham. Koin itu lifeless, tidak bisa bergerak, tidak bisa pulang sendiri seperti si anak hilang, dan tidak bisa juga mengembik minta tolong seperti domba. Manusia tentunya bukan benda mati seperti koin, kita makhluk hidup, bernyawa; namun di bagian ini adalah persepektif Roh Kudus/spiritual/rohani, dan dalam perspektif rohani, dari sudut padang Roh Kudus, manusia itu sama seperti mati, tidak bernyawa, maka manusia tidak berdaya, tidak mampu melakukan apa-apa atas keterhilangannya. Ini gambaran kedua yang juga tepat untuk mengungkapkan keterhilangan manusia, yaitu bukan cuma sesat, bukan cuma hilang, tapi juga tidak mampu menyelesaikan problem keterhilangannya ini, bergantung sepenuhnya kepada Roh Allah yang bisa menyelamatkan manusia yang hilang.
Yang ketiga, ada bapa yang menanti di rumah. Ini jangan dibaca sebagai gambaran bahwa Allah jadinya berperan pasif. Itu sebabnya saya tidak terlalu senang dengan pembahasan kisah Anak yang Hilang secara tersendiri lalu lupa membacanya bersamaan dengan kisah-kisah lain yang satu unit, karena kadang-kadang jadi bahaya. Kalau Saudara cuma membaca satu kisah ini lalu mengeluarkan semacam doktrin keselamatan yang utuh hanya dari kisah ini, Saudara akan melihat Bapa seperti pasif, manusialah yang datang sendiri mencari Bapa seperti si anak bungsu sadar sendiri dan pulang sendiri, sehingga gambarannya seakan-akan manusia ada andil untuk keselamatan. Jadi perlu membahas ketiga kisah ini bersamaan lalu menafsir in context; tiga kisah ini tidak utuh sendiri-sendiri tapi saling melengkapi satu dengan yang lain, dengan sudut-sudut pandang yang memang berlainan. Dua kisah sebelumnya sudah bicara mengenai ‘mencari’, jadi kisah yang ketiga ini hal tersebut tidak perlu lagi, sudah included. Kisah ketiga ini bicara mengenai Bapa yang menanti dan menunggu, karena gambarannya di sini Bapa ditekankan sebagai gambaran semacam rumah tujuan dari mereka yang terhilang (home base). Ini menarik, karena kalau ketiga cerita tersebut semuanya menggambarkan Allah yang mencari, maka gambaran home base malah hilang. Orang yang terhilang itu dicari oleh Kristus, dihidupkan kembali oleh Roh Kudus, maka baru bisa pulang kembali kepada Bapa. Jika Saudara membacanya bersamaan seperti ini, Saudara akan melihat doktrin keselamatan yang lebih utuh. Di samping itu, secara keseluruhan siapa sih yang mengutus Anak dan Roh Kudus untuk mencari? Tentu Bapa juga. Jadi tidak ada masalah dalam hal itu. Poinnya, lewat anak yang terhilang, kita melihat satu aspek lagi keterhilangan manusia; bukan cuma sesat seperti domba, bukan cuma tidak berdaya seperti dirham, tapi juga bodoh seperti si anak ini.
Dosa anak yang hilang ini sering kali disorot sebagai dosa kekurangajaran, karena minta warisan sebelum bapanya mati berarti bilang ke bapanya ‘aku mau duitmu, tapi aku ‘gak mau kamu’. Tentu saja benar ada aspek kurang ajar, namun saya rasa yang lebih mendasari dosa anak ini adalah bahwa dia itu bodoh. Gampangnya begini: kalau pun dia mau uang itu, sebenarnya dia cuma perlu menunggu, toh uang itu dan harta itu pada akhirnya akan jadi miliknya, tapi dia tidak mau menunggu, harus sekarang! Dan ini akhirnya membuat harta itu sendiri habis, relasi dia dengan bapanya retak. Bodoh sekali. Saudara bisa melihat gaung dari kisah Adam dan Hawa dari cerita ini. Adam dan Hawa menginginkan pengetahuan. Dan kalau kita teliti membaca Alkitab, Tuhan bukan tidak mau memberikan pengetahuan akan yang baik dan jahat kepada manusia; Salomo minta pengetahuan akan yang baik dan jahat kepada Tuhan, dan Tuhan memberikan. Jadi problemnya bukan pada apa yang diminta, melainkan cara mendapatkannya. Cara manusia mendapatkannya, itu penting sekali, yaitu dengan menunggu Tuhan memberikan, bukan dengan mengambil sendiri. Adam dan Hawa, kalau mau dapat pengetahuan akan yang baik dan jahat, mereka cuma perlu menunggu, dan pada akhirnya mereka akan dapat, tapi mereka merasa harus bertindak sendiri, kepingin sekarang, tidak mau menunggu; dan ini akhirnya membuat pengetahuan itu sendiri jadi kutukan, relasi dengan Allah jadi retak. Ini pola yang sama. Jadi dalam kisah ketiga di bagian ini, gambarannya adalah kebodohan manusia. Inilah gambaran yang juga kita lihat berkali-kali dalam hidup kita. Kita mengejar kepintaran, kita pikir itu yang paling penting, maka seumur hidup kita merasa goblok. Kita mengejar kuasa karena kita pikir itu yang paling penting, maka seumur hidup kita dikuasai oleh kuasa. Kita mencari pengakuan orang lain, like, subscribe, dsb., dan akhirnya kita diperbudak oleh orang lain. Bodoh! Inilah aspek ketiga manusia terhilang.
Kenapa Allah Tritunggal sebegitu concern-nya dengan keselamatan manusia? Karena manusia begitu membutuhkan hal ini, karena kita sebegitu terhilangnya di hadapan Tuhan, sesat seperti domba, tidak berdaya seperti dirham, bodoh seperti anak yang hilang.
Coba kita ejawantahkan hal ini sebelum kita masuk ke bagian berikutnya. Kembali ke tema Lent, gambaran keselamatan yang Tuhan bawa kepada manusia tidak cuma satu aspek melainkan ada dua aspek yang harus dipegang bersama-sama. Dua aspek ini saling tegang satu dengan yang lain, namun somehow saling harmonis, tidak bisa dipisahkan, yaitu bahwa keselamatan berarti kita mengakui keterhilangan manusia sebagaimana Yesus melihatnya. Inilah pertobatan. Di mata Yesus, manusia jauh lebih terhilang daripada yang manusia sadari; bukan cuma kita tersesat seperti domba, kita juga tidak berdaya seperti dirham, dan ujungnya kita terperangkap karena kita bodoh. Saudara, berapa kalikah dalam mengakui dosa, kita mau mengakui keterhilangan sampai sejauh ini sebagaimana Yesus melihatnya?
Problem manusia bukan tidak mau mengakui berdosa, problem kita adalah kita tidak mau mengakui keterhilangan kita. Waktu jatuh dalam pencobaan, tersesat, kita turun tol, adalah karena kita pikir bisa balik lagi, kita pikir kita tahu arah, tapi ternyata kita tidak bisa, kita tersesat –kita jatuh karena kita pikir kita tidak tersesat. Kita jatuh karena tidak mau mengakui ketersesatan kita seperti domba. Waktu kita berbohong lalu terancam ketahuan, kita lalu menyusun strategi untuk menyelamatkan diri, biasanya dengan bikin kebohongan tambahan. Dosa kita ini karena kita bodoh, tapi kita tidak mau melihat kebodohan kita, kita merasa ini strategi yang baik, saya bisa tambal dosa dengan dosa yang lain, saya bisa bayar tagihan kartu kredit dengan tagihan kartu kredit yang lain. Waktu diminta untuk pelayanan, kita mengatakan, “Aduh, jangan saya deh, saya ‘gak mampu”, berarti kita merasa baru bisa dipakai Tuhan ketika kita mampu, Tuhan tertarik dengan saya kalau saya punya daya. Kita pikir itulah yang membuat kita diterima di hadapan Tuhan, yaitu karena kita ber-daya. Kita tidak mau mengauik ketidakberdayaan kita.
Problem manusia bukan tidak mau mengakui berdosa, problem manusia adalah tidak mau mengakui keterhilanganannya dalam dosa; dengan demikian orang yang bertobat adalah orang yang dalam mengakui dosa-dosanya, meletakkan semuanya itu. Mereka disadarkan akan keterhilangan mereka lebih dari yang mereka sangka selama ini, lebih dari yang mereka akui selama ini. Saya ini sesat, apa yang saya pikir jalan yang benar, itu ternyata buntu. Saya ini tidak berdaya, semua usaha saya bukan membuat saya bisa keluar, tapi malah membuat saya makin tenggelam. Saya ini bodoh, apa yang saya pikir kehidupan, ternyata adalah kematian. Pertobatan seperti inilah esensi dari Injil. Keselamatan tidak datang kepada hidupmu kecuali lewat “kematian” seperti ini. Inilah dua ketegangan yang haru dipegang bersamaan. Itu sebabnya waktu kita mengabarkan Injil, kita harus memberitakan bagian ini; kita harus mengajarkan, menyadarkan, serta mengajak manusia untuk melihat bahwa mereka kocar-kacir seperti domba, bahwa mereka tidak berdaya seperti dirham, bahwa mereka bodoh seperti anak yang hilang. Itu esensi Injil.
Demikian jawaban yang pertama mengenai kenapa Allah kita begitu concern dan begitu terlibat dalam pekerjaan keselamatan manusia, yaitu karena kita membutuhkan, karena kita terhilang dalam berbagai aspek. Namun ada jawaban yang kedua, dalam kisah-kisah ini yang diproklamasikan bukan cuma bahwa manusia terhilang, tapi ada elemen yang diulang-ulang terus dalam tiga kisah ini, yaitu bahwa yang mencari, kemudian bersukacita ketika ia menemukan apa yang hilang. Hal ini pun adalah alasan keselamatan itu hadir. Inilah aspek yang kedua. Dalam setiap kisah ini, ada sorotan yang besar bukan cuma pada keterhilangan manusia tapi juga sukacita yang ilahi di balik semua itu. Setiap perumpamaan ini ditutup dengan kalimat sukacita, yaitu ayat 7, ayat 10, ayat 32. Yang perlu Saudara perhatikan adalah eskalasinya.
Kisah yang pertama, berapa domba yang hilang? Satu dari seratus. Namun dikatakan bahwa satu yang hilang dan kemudian kembali ini, menimbulkan sukacita yang lebih besar dibandingkan 99 yang tidak hilang, yang tidak perlu pertobatan. Jadi ini menghasilkan sukacita umum di surga yang begitu besar –hanya karena satu dari 99, artinya 1/100. Cerita yang kedua, koin yang hilang berapa? Satu dari sepuluh, jadi 1/10; maka sukacitanya juga lebih meruncing, bukan cuma sukacita di surga, tapi dikatakan malaikat-malaikat di surga bersukacita. Kisah yang ketiga terlebih lagi, dikatakan ada perayaan besar yang diselenggarakan karena satu anak yang kembali itu yang telah menghabiskan separuh dari harta ayahnya –jadi artinya setengah, ½. (atau kalau mau dihitung secara lebih Yahudi, di mana anak sulung dapat double portion, maka ini berarti 1/3). Namun si anak bungsu ini bukan cuma menghabiskan harta tapi juga harga diri ayahnya; Saudara bayangkan, waktu warisan itu dia minta, harga diri ayahnya mau taruh di mana?? Dan waktu anak itu kembali, lalu sang ayah menerima dia kembali, itu berarti harga diri sang ayah juga dibuang, karena ketika melihat anaknya di kejauhan, bapa ini berlari. Bapak-bapak umumnya tidak berlari, apalagi untuk menemui anak durhaka, kurang ajar, brengsek, dan bodoh; dalam bagian ini beberapa komentator mengatakan, bapak ini tidak bertindak seperti layaknya seorang bapak pada umumnya tapi mirip seorang ibu.
Saudara lihat di sini, mulai dari 1/100, lalu 1/10, dan sekarang ½. Semakin ke belakang, perayaannya semakin besar, sebuah gambaran sukacita surgawi yang makin lama makin intens ketika yang terhilang itu kembali. Jadi, kenapa Allah Tritunggal begitu concern dengan keselamatan? Bukan cuma karena manusia terhilang dan membutuhkan, tapi juga karena Allah bersukacita ketika Ia menemukan kembali mereka yang terhilang. Bukankah ini good news?
Kembali ke gambaran tadi, apa itu pertobatan, apa itu keselamatan? Pertobatan terjadi ketika kita rela untuk melihat diri kita seterhilang Yesus melihat kita. Namun sekarang kita melihat aspek yang kedua, yang sama penting, sama esensialnya, dalam keselamatan Kristiani, yaitu pertobatan juga berarti Saudara rela, bahkan berani, melihat dirimu disayang begitu rupa oleh Allah Tritunggal. Ketiga-tiganya begitu bersukacita ketika menemukan engkau yang telah hilang itu kembali. Ini Injil keselamatan. Kalau kita mengabarkan Injil, kita perlu memberitakan esensi Injil yang pertama itu, keterhilangan manusia, namun juga jangan pernah lupa aspek yang kedua ini, sukacita Ilahi yang Tuhan temukan ketika Ia membawa kita pulang. Ini dua hal yang seperti tegang; di satu sisi kita disuruh melihat diri kita lebih hancur daripada yang kita sangka, dan di sisi satunya lagi kita diajak melihat betapa kita lebih dikasihi daripada yang kita berani bayangkan. Dua-duanya harus dipegang bersamaan, barulah Saudara melihat Injil Kristen yang sejati. Kenapa ini penting? Karena sebagai manusia, kita sering kali bukan hanya melihat dosa dalam bayangan manusia, tapi juga melihat sukacita hanya dalam perspektif manusia yang sangat terbatas.
Sukacita manusia itu dicemari oleh segala macam dukacita. Saudara jangan pernah pikir bahwa dukacita dalam hidup orang Kristen cuma ada pada momen-momen tragedi besar, ketika kita kehilangan orang yang kita kasihi –lalu setelah satu dua tahun kita sudah move on. Tentu saja dalam hidup manusia ada musim-musim di mana tragedi meningkat, dan di situ kita perlu belajar untuk bisa mengarunginya lalu keluar dari sisi yang sebelah sana. Tetapi, dukacita dalam hidup kita bukan cuma dalam level besar seperti itu, dukacita senantiasa membayangi hidup manusia yang memang rentan, setiap hari. Dalam momen kita paling bahagia pun, kita sering kali bisa melihat ada dukacita yang menunggu di balik pintu. Contohnya, kita dengan anak. Misalnya anak kita melakukan sesuatu yang begitu indah bagi kita, kita tertawa, kita merasa surgawi banget. Saya dengan anak-anak saya, kalau malam biasa saya panggil untuk say ‘good night’, mereka lalu datang, peluk-peluk, senang banget momen seperti itu. Waktu peluk, kedua anak saya itu sambil tepuk-tepuk pundak saya dan mengatakan, “Papa jangan sedih, ‘kan sudah dipeluk sama Niko, ‘kan sudah dipeluk sama Erik”. Mereka begitu karena kami juga melakukan itu waktu mereka sedang menangis, entah karena jatuh, atau berantem, dsb., kami mengatakan, “Sudah, jangan sedih …”. Jadi waktu mereka melakukan yang sama itu, rasanya lucu sekali, bikin tertawa, ‘gak nyangka, basically perasaan surgawi. Tapi sebagai orangtua, dalam momen seperti inipun akan ada satu bagian kecil dalam pikiranmu atau hatimu, yang langsung melihat sisi gelapnya, bahwa ini tidak akan bertahan selamanya, ini dengan sangat cepat akan berlalu. Semua orangtua pasti tahu itu. Waktu saya ajak anak-anak saya naik sepeda, saya wondering, sampai kapan saya bisa menikmati ini.
Dalam momen kita merasa begitu bahagia pun, kita dibayang-bayangi dukacita dan maut. Itulah hidup manusia. Ini bukan sesuatu yang harus kita pungkiri, memang realitasnya seperti itu. Semua hal yang manusia cintai, itu fana. Tapi, ini perspektif manusia di bawah –yang tidak salah– namun apa yang terjadi, ketika kita mulai melihat diri kita dengan perspektif sukacita Ilahi, tidak cuma sukacita manusia? Kembali pakai ilustrasi parenting, tapi kali ini bukan kita dengan anak kita, melainkan kita sebagai anak dan Allah kita sebagai Bapa. Misalnya kalau anakmu belajar jalan dan mulai melangkah satu demi satu. Dari wajahnya, Saudara bisa melihat pada langkah pertama dia kayak was-was, langkah kedua dia mulai menikmati, lalu langkah ketiga dia terpeleset, jatuh, menangis. Itulah manusia. Sukacita kita senantiasa dibayang-bayangi dengan dukacita, silih berganti. Namun lihatlah perspektif orangtua, waktu melihat anaknya belajar berjalan seperti tadi lalu jatuh, apakah waktu anaknya ambil langkah pertama mereka was-was juga? Lalu langkah kedua, mereka tepuk tangan, senang, tapi langkah ketiga, si anak jatuh, langsung kecewa, “Ah, PHP, latihan dululah, nanti panggil Papa kalau sudah bisa” ? Tentu tidak. Kita tidak seperti itu; orangtua tidak ada yang kayak begitu. Waktu anaknya ambil langkah ketiga lalu jatuh dan menangis, orangtuanya bersorak-sorai! Ini paradoks yang sering saya temukan: waktu anak saya menangis, seisi rumah bisa tertawa! Waktu kita lihat dia jatuh, kita mengatakan: “Bagus, tidak apa-apa, coba lagi. It’s OK!” Kita begitu sukacita melihat ini, tidak ada bayang-bayang maut sama sekali, karena kita melihat sebagai seorang ayah/ibu, karena kita adalah orangtua. Itu sebabnya kita perlu belajar melihat kehidupanmu sebagaimana Allah melihat kehidupanmu; memang benar lebih terhilang dari yang engkau pikir, tapi juga bahwa Allah ini somehow punya sukacita yang lebih besar daripada yang kita dapat bayangkan, ketika Ia melihat kita melangkah ke hadapan-Nya. Itulah pertobatan. Itulah keselamatan. Itulah saatnya kita belajar menanggalkan apa yang kita punya baik dalam kita melihat dosa ataupun dalam kita melihat sukacita, lalu kita melihatnya sebagaimana Allah melihat. Itulah Injil, itulah kehidupan yang lebih hidup. Itu sukacita yang jauh lebih sukacita; namun hal itu datang melalui apa? Kita masuk ke poin yang ketiga.
Yang ketiga, the how of salvation
Poin yang ketiga, yaitu pasal 15 bagian yang pertama tadi. Bagian tersebut mengatakan bahwa orang-orang Farisi datang kepada Yesus, orang-orang berdosa juga datang; dan melihat orang-orang berdosa datang kepada Yesus, orang Farisi mengatakan: “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka”. Ini menarik, karena kalimat ini diucapkan orang-orang Farisi sebagai hinaan/ejekan, tapi mereka tidak sadar bahwa inilah esensi dari Injil Kristus yang sangat tepat. Saya rasa Lukas mencatat ini karena dia melihat orang-orang Farisis secara tidak sengaja mengatakan kebenaran yang luar biasa, mengenai bagaimana kita bisa menjadi bagian dari Kerajaan allah, Injil Kristus yang sejati.
Saudara lihat, kalimat ini muncul di pasal 15 ayat 1 dan 2; setelah ini, adalah 3 perumpamaan yang kita sudah bahas tadi, dan sebelumnya adalah tujuh kisah mengenai pintu yang sempit (pasal 13-14), yang kita sudah bahas. Jadi kalimat ini merupakan engsel pintu dari tujuh kisah sebelumnya mengenai pintu yang sempit, untuk beralih ke tiga kisah mengenai keselamatan dalam Kristus. Dalam kisah sebelumnya, bagaimanakah seseorang biasanya pikir bahwa mereka bisa datang kepada Tuhan? Mereka datang dengan berbekal ide-ide mereka, status dan pencapaian mereka, neraca nilai mereka, cost analysis dan benefit mereka, dst. Tapi semua itu tidak bisa, harus ditanggalkan untuk masuk ke dalam pintu yang sempit tersebut; dengan demikian berarti inilah caranya untuk kita masuk ke dalam hadirat Tuhan, yaitu karena Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.
Saudara, bagaimana caranya kita menerima keselamatan di dalam Tuhan? Yaitu ketika si anak yang hilang itu datang dan mengatakan ‘aku tidak layak lagi disebutkan anak Bapa’, itulah momen di mana Sang Bapa merangkulnya, itulah momen di mana Sang Bapa menyuruh memberikan jubah yang terbaik bagi anak ini –dan jubah terbaik dalam rumah Seorang Bapa adalah jubah-Nya sendiri. Kenapa keselamatan bisa hadir dalam hidup kita? Karena kita datang sebagai orang berdosa di hadapan Tuhan, karena Tuhan kita adalah Tuhan yang makan bersama orang-orang seperti itu dan menerima orang-orang seperti itu. Pertobatan, kematian, yang pada akhirnya membawa kehidupan. Kehidupan, karena mati.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading