Hari ini Minggu terakhir dari rangkaian Lent, yang secara tradisional dirayakan selama 40 hari. Kenapa 40 hari? Jawaban yang paling jelas, karena dalam Alkitab sendiri ada banyak hal yang dilambangkan dengan angka 40. Tuhan Yesus berpuasa di padang gurun 40 hari, itu tema Lent yang pertama, Pencobaan di Padang Gurun. Ini juga semacam gaung dari berbagai macam 40 yang ada di Perjanjian Lama, misalnya 40 tahun perjalanan Israel di padang gurun. Elia waktu kabur dan bersembunyi dari Izebel, juga selama 40 hari. Musa waktu menerima Taurat Tuhan di Gunung Sinai, juga dikatakan berpuasa 40 hari. Lebih mundur lagi, dalam momen Air Bah, hujan turun ke bumi selama 40 hari. Jadi, waktu para Bapa Gereja mengundang umat Tuhan mempersiapkan diri menjelang Jumat Agung dan Paskah, ada semacam code terselubung (implisit) bagi jemaat Tuhan untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang akan terjadi di sini lewat pola 40 hari tersebut, karena semua periode 40 hari dalam Alkitab tidak pernah merupakan periode 40 hari yang menyenangkan. Tidak pernah 40 hari pesta, yang ada adalah 40 hari puasa, 40 hari kabur, 40 hari bersembunyi, 40 hari kekeringan, 40 tahun kebasahan, 40 tahun mengembara, dst. Tidak pernah 40 hari penghiburan, atau kenyamanan, atau sukacita; 40 tersebut selalu merupakan 40 dari penderitaan, pengujian, dsb., sebelum kemudian hadir masa kelegaan dan penghiburan, misalnya 40 tahun mengembara, baru kemudian masuk ke tanah perjanjian, dst. Kenapa 40, itu yang jadi pertanyaan; dan ini angka yang membingungkan bagi banyak sarjana Alkitab karena tidak jelas koneksinya ke mana. Lain halnya dengan angka 7 yang memang jelas kaitannya dengan hari ketujuh, kesempurnaan; sedangkan 40 ini koneksinya ke mana? Ada apa dengan angka 40 ketika melambangkan periode penantian seperti ini?
Julie Canlis memberikan satu insight di sini –dan omong-omong ini sebabnya para wanita juga harus ambil bagian dalam menafsir Alkitab–berkaitan dengan 40 yang khas wanita. Dia mengatakan, Lent adalah periode kita belajar mengenai hidup baru di dalam Tuhan –sebagaimana kita sudah katakan berkali-kali bahwa keselamatan manusia melalui Jumat Agung dan Paskah adalah mengenai new life, kehidupan yang baru— tapi kehidupan yang baru ini bukan tanpa kesulitan, penderitaan, penantian. Angka 40 di Alkitab selalu resonansi dengan hal ini, karena angka 40 selalu urusannya dengan kesulitan, penderitaan, penantian, sebelum datangnya suatu kelegaan, penghiburan, sukacita. Lalu ada apa dalam realitas dunia, dalam hidup ini, di mana 40 melambangkan hal ini? Yaitu 40 minggu gestasi janin. Demikian insight dari Julie Canlis –itu sebabnya saya tadi menyinggung soal wanita. Golden number dari janin yang dikandung selalu 40 minggu. Jadi, ini melambangkan hidup yang baru, kelahiran baru, namun ini kelahiran/kehidupan baru yang bukan tanpa rasa mual, muntah-muntah, kaki bengkak, rambut rontok, bahkan mungkin pendarahan, dst. Saudara lihat, kehidupan yang baru ini –anak yang baru lahir– membawa sukacita luar biasa, namun kehadirannya tidak didahului dengan 40 minggu sukacita; 40 minggu sebelum sukacitanya, justru 40 minggu yang dipenuhi dengan kesulitan, penantian, penderitaan, dst., namun itulah natur dari kehidupan baru. Inilah alasannya 40. Inilah Lent, masa di mana kita disadarkan bahwa jika kita menginginkan kehidupan baru dari Tuhan itu datang, kita pun perlu menyadari padang gurun seperti apa hidup kita sekarang ini. Tuhan Yesus pun menjalani pola yang sama. Itu sebabnya Lent bukan musim untuk hura-hura, Lent adalah musim yang gelap, tema-tema khotbahnya sangat dark, mengenai dosa, pencobaan, pertobatan. Alasannya kita perlu ini, bukan karena kita senang gelap-gelapan, poin pertobatan bukan cuma untuk mengaku dosa di hadapan Tuhan; pertobatan adalah rela meletakkan apa yang manusia lihat demi yang Tuhan lihat, melihat diri kita lebih hancur dibandingkan yang kita sangka, bahwa ternyata manusia itu sesat, tidak berdaya, dan bodoh. Dengan menjalani dan merenungkan hal ini, kita baru bisa siap untuk menghargai dan menerima anugerah hidup baru yang Tuhan berikan, karena pertobatan yang ke bawah seperti itu sesungguhnya menyiapkan kita untuk kemudian ada pertobatan ke atas. Kita tidak cuma melihat diri kita lebih hancur dibandingkan yang kita sangka, tapi dengan kita berani masuk ke bawah ini maka kita siap untuk melihat diri kita dikasihi melampaui apa yang kita sangka juga.
Kalau Saudara bertemu dengan orang yang super tajir, punya segala sesuatu, Saudara mau beri hadiah ulang tahun apa yang bisa bikin dia sukacita? Apa yang Saudara bisa bawa untuknya, yang membuat dia mengatakan ‘ini barang yang saya dari dulu cari tapi tidak pernah bisa menemukan’ ? Mobil mewah? Tidak bisa. Rumah mewah? Apa artinya buat dia. Allah yang empunya segala alam semesta, apa yang bisa bikin Dia bersukacita? Dia bersukacita ketika Dia menerima engkau dan saya, yang sesat, tidak berdaya, dan bodoh, yang hilang namun kembali. Saudara lihat, kita bukan cuma dikasihani oleh Tuhan, tapi kita –yang sesat, tidak berdaya, dan bodoh– begitu dikasihi, lebih dari yang kita bayangkan. Ini ‘kan kehidupan baru, sukacita yang tidak pernah kita bayangkan, hidup yang lebih hidup. Tapi Saudara lihat, pertobatan Kristiani seperti ini baru datang ketika Saudara menyadari hidupmu begitu hancur, lebih sesat daripada yang Saudara bayangkan, dan baru di situlah Saudara siap menertima kasih Tuhan yang juga lebih indah daripada yang engkau bisa pikirkan. Inilah kehidupan Kristiani, kehidupan yang datang dari kematian, Paskah yang datang dari Jumat Agung. Itu sebabnya kita mempersiapkan hati untuk menerima Jumat Agung dan Paskah dengan merenungkan pertobatan dalam masa Lent, 40 hari lamanya.
Hari ini kita akan membahas dari Lukas 20, perumpamaan Penggarap-penggarap Kebun Anggur. Kita akan fokus pada perumpamaannya saja, tidak mengambil gambaran besarnya, karena gambaran besar tersebut bahan untuk Minggu Palem. Ini perumpamaan yang cukup klasik dan sering dibahas. Dalam bagian ini, Alkitab TB2 memakai istilah ‘petani’, tapi saya lebih suka dengan istilah terjemahan TB1, yaitu penggarap-penggarap kebun anggur.
Saudara sudah melihat motif dalam musim Lent, bahwa pertobatan bukanlah cuma berhenti berbuat dosa, tapi juga berbalik kepada Tuhan; dan kalau kita mau berbalik kepada Tuhan, kita harus memalingkan muka kita dari sesuatu yang lain, yaitu dari dosa kita. Basically, musim di mana kita bertobat bukanlah suatu langkah negatif yang cuma urusan melihat dosa, dsb., tapi juga merupakan satu langkah pertama kepada Allah yang hidup. Ini sesuatu yang kita mau coba lihat dalam perumpamaan hari ini, membuat kita menghadapi dosa-dosa kita untuk kemudian berbalik arah kepada Tuhan. Itu sebabnya perumpamaan ini menyadarkan kita, siapakah penggarap-penggarap kebun anggur yang kurang ajar itu, yaitu kita sendiri, karena perjumpaan kita dengan Tuhan Yesus mau tidak mau membuat kita menyadari segala dosa kita. Dan harapannya, waktu kita berjumpa dengan Yesus, kita bukan cuma menghadapi dosa kita tapi juga menemukan tubuh yang terpecah serta darah yang membasuh dan menarik kita pulang.
Siapa para penggarap kebun anggur itu? Sekali lagi, saya lebih suka istilah ‘penggarap’ dibandingkan ‘petani’, yang dalam bahasa Inggrisnya ‘tenants’ atau stewards’, karena istilah ini melambangkan bukan sekadar buruh atau pekerja yang menanam dan menyiram, tapi bahwa mereka pada dasarnya diberi tanggung jawab ekstra, mereka dipekerjakan terutama untuk menggarap. Mereka bukan cuma orang yang menerima perintah harus tanam di sini atau di sana, tapi orang-orang yang memikirkan bagaimana penggarapan yang paling cocok untuk kebun anggur tersebut; mereka adalah orang-orang yang memberi perintah kepada buruh-buruh yang lain. Dalam hal ini, istilah hari ini yang cocok adalah manajer.
Seorang manajer punya power seperti bos, tapi dalam menjalankan perusahaan tersebut, mereka bukan menjalankannya bagi diri mereka melainkan bagi si pemilik. Mereka harus mengusahakan, me-manage barang ini, memberi perintah dan pengarahan, tapi arahan ini berdasarkan arahan sang pemilik; dan mereka harus mengusahakannya demi profit si pemilik. Ini berarti: yang pertama, para penggarap tidak bisa menggarap sesuka hati mereka, tidak bisa sembarangan melakukan segala sesuatu sekehendaknya, mereka harus mencari tahu kebijakan sang pemilik, dan melakukan sesuai kehendak serta visi sang pemilik. Dan yang pasti, mereka juga harus melakukannya demi keuntungan si pemilik. Mereka tentunya dibayar, tapi keuntungan dari kebun adalah bagi sang pemilik. Zaman itu memang bukan zaman kapitalisame seperti sekarang, namun prinsipnya tidak beda, yaitu: berhubung pemilik yang suplai modal, maka untung dan rugi menjadi milik sang pemilik.
Apa yang terjadi dalam perumpamaan ini? Para penggarap mulai bertingkah laku seperti pemilik. Itulah poin dari perumpamaannya. Para manajer mulai bertindak seakan-akan mereka pemilik, mereka menolak baca memo dari para pemegang saham, tidak mau bekerja sesuai visi si pemilik, tidak mau menyetor profit kepada sang pemilik modal. Dalam konteks Tuhan Yesus ketika membicarakan hal ini, Dia sedang menohok para pemimpin agama Israel –para ahli Taurat dan imam-imam kepala. Ini jelas, karena di dalam Perjanjian Lama metafora kebun anggur hampir semuanya digunakan untuk mengacu pada umat Allah. Allah-lah sang pemilik kebun anggur, kebun anggur adalah umat-Nya, dan dengan demikian penggarap-penggarap adalah pemimpin-pemimpin Israel. Namun kalau Saudara perhatikan dalam Yesaya 5, salah satu lagu yang bercerita mengenai kebun anggur, ceritanya tidak sedetail di bagian ini. Cerita di Yesaya 5 adalah mengenai kebun anggur Tuhan yang sudah rusak, kacau, tidak berbuah, maka Tuhan datang dan menghancurkannya. Di dalam cerita Tuhan Yesus ada seedikit plot twist-nya mengenai kenapa kebun anggurnya bisa sampai rusak, tidak berbuah? Karena penggarap-penggarapnya brengsek. Inilah tambahan dari Tuhan Yesus. Jadi tidak heran di ayat 19 dikatakan bahwa para ahli Taurat dan imam-imam kepala itu marah dan ingin membunuh Yesus, karena mereka tahu, merekalah yang dimaksudkan perumpamaan tersebut.
Jelas bahwa ketika Tuhan Yesus memberikan perumpamaan itu, Dia sedang membicarakan para pemimpin religius Israel, namun coba kita melihat seberapa hal ini berlaku pada diri kita. Alkitab dalam bagian ini pada dasarnya mau mengatakan betapa natur dari hati manusia –semua manusia– adalah menganggap dirinya pemilik, sementara kita sesunguhnya cuma penggarap. Kita ini, bukan cuma para pemimpin Israel, adalah manajer-manajer yang berlaku seperti owner. Coba Saudara pikirkan, memang inilah kita. Apalagi bagi orang-orang milenial ke atas, ini sesuatu yang sangat sensitif. Kita ‘kan punya pikiran kita sendiri, kita ‘kan punya hasrat kita sendiri, kita punya kuasa, barang, privilege, uang kita sendiri, lalu Alkitab datang dan petantang-petenteng mengatakan, “Hai, itu bukan milikmu, kamu cuma penggarap, itu milik Tuhan, maka uangmu bukan untuk kau pakai sekehendak hatimu, ya; barang-barangmu, HP-mu, bajumu, bukan untuk kau pakai sekehendak hatimu, ya; alat kelaminmu bukan untuk kau pakai sekehendak hatimu, ya”. Mendengar ini apa reaksi kita? Kita benci dengan kalimat-kalimat ini.
Pada dasarnya dunia berkali-kali mengatakan kepada kita lewat berbagai hal: “Jadilah seorang pemilik! Jadilah seorang owner! Jangan cuma puas jadi manajer”. Apalagi kalau sejak kecil nontonnya film Disney, Saudara diajar untuk ‘be yourself, let it go, the voice inside me itulah yang paling penting, perjuangkan apa yang kamu mau, jangan biarkan orang menyetir hidupmu, kamu harus berani mengambil tindakanmu sendiri’, dst. Tetapi di hadapan semua itu, Alkitab mengatakan, “Tidak. Kamu cuma penggarap, kamu cuma hamba; apa yang kamu punya hari ini bukanlah milikmu, bukan untuk kaugunakan seenak jidatmu”. Ini gambaran yang powerful, karena waktu mendengar seperti ini, kita menyadari memang itulah kecenderungan hati kita di hadapan Tuhan. Ada something deep inside dalam diri kita yang tidak senang ketika kita diingatkan bahwa hidup ini bukanlah milik kita, bahwa kita ini cuma manajer, yang mengira dirinya owner dan kepingin jadi owner. Kita sebenarnya tahu hal ini, kita tahu kita bergantung pada Tuhan, tapi kita memilih untuk menekan hal ini dan menghidupi suatu kebohongan bahwa kita adalah owner dan not just a manager.
Omong-omong, hal ini dalam psikologi disebut dengan fenomena repression. Kenapa ini satu fenomena yang disorot dalam psikologi modern? Repression, by nature adalah me-repress sesuatu, menekan sesuatu; Saudara sadar ada sesuatu yang benar, tapi Saudara tekan, Saudara tidak sudi mengakui maka Saudara pendam jauh-jauh di bawah. Namun ironisnya, fenomena repression ini semakin Saudara tekan ke bawah semakin menentukan dan berdampak ke arah hidupmu. Hal yang Saudara paling sembunyikan, malah jadi hal yang paling menentukan arah hidupmu, lebih daripada faktor-faktor psikologis yang lain. Kalau Saudara sudah cukup dewasa, Saudara tentu menyadari cara kerja hati manusia memang kayak begini. Contoh sederhana: kemarahan. Kita kadang memendam kemarahan kita, menyembunyikan kemarahan kita, bahkan tidak sudi mengakui bahwa kita ini orang yang pemarah; namun semakin kita menekan amarah tersebut, semakin leluasalah amarah itu mengontrol hidup kita. Bukankah ini realitas hidup manusia?
Satu contoh, cerita tentang seorang ayah yang punya istri, dan waktu melahirkan anaknya, istri ini meninggal. Dia sangat sayang istrinya, maka dia juga sangat sayang anaknya, satu-satunya peninggalan istrinya yang telah meninggal itu. Dia menjaga anak ini baik-baik. Anak ini mulai besar, dan tiba waktunya masuk sekolah. Beberapa minggu kemudian, ayah ini dipanggil ke sekolah. “Pak, anakmu kedapatan mencuri barang temannya; bagaimana ini?“ Bapak ini mengatakan, “Tidak mungkin. Anakku di rumah begitu baik, tidak pernah ada curi-curian seperti ini. Jadi pasti temannya memfitnah!” Guru lalu mengatakan, “Tidak, Pak. Kami sudah selidiki, dan memang benar anak Bapak yang mencuri.” Bapak ini mengatakan, “Tidak bisa! Kalau begini, artinya kamu juga sentimen dengan anak saya, saya akan pindahkan anak saya ke sekolah lain.” Di sekolah lain, beberapa minggu kemudian dia kembali dipanggil oleh guru, “Pak, anakmu mencuri; dia mencuri bukan dari teman tapi dari guru.” Kembali bapak ini mengatakan, “Tidak bisa! Pasti fitnah, bohong! Guru itu pasti sentimen dengan anak saya karena ini anak baru. Saya akan pindahkan ke tempat lain.” Jadi si anak pindah ke sekolah yang ketiga. Kembali lagi bapak ini dipanggil guru, “Pak, anakmu mencuri; dia mencuri dari perbendaharaan sekolah.” Bapak ini lalu mengatakan, “Saya sudah tahu ini polanya, sudah tiga kali polanya jelas, setiap sekolah selalu kayak begitu, yaitu anakku selalu difitnah! Pasti kalian sentimen sama dia, pasti kalianlah yang menuduh dia, pasti kalian tidak senang pada dia, dsb.” Jadi selalu ujungnya kayak begitu. Suatu hari setelah si anak bertumbuh dewasa dan jadi seorang pemuda, dia melakukan perampokan besar-besaran yang sampai mengorbankan nyawa orang, ada pegawai bank yang mati gara-gara dia. Dia lalu tertangkap polisi. Karena kejahatan tersebut begitu keji, masuk ke berbagai media, akhirnya wartawan-wartawan mencari tahu seperti apa orangtuanya, seperti apa masa kecilnya. Mereka pun menemui si Bapak dan tanya, “Pak, dulu masa kecilnya seperti apa, kenapa bisa jadi perampok besar seperti ini?” Dalam momen seperti itu, barulah si Bapak mengakui satu hal: “Sejujurnya dari dulu saya sudah curiga, tapi dulu saya tidak mau menghadapi hal ini, karena ini anakku semata wayang, satu-satunya peninggalan istriku yang kusayangi. Rasanya tidak tahan, tidak bisa, dan tidak mau, menerima fakta bahwa anakku, satu-satunya peninggalan istriku ini, adalah anak yang begitu brengsek, maka saya memilih untuk percaya kebohongan dibandingkan kenyataan.” Ini represi.
Saudara lihat, sesuatu yang disembunyikan, ditekan jauh-jauh ke bawah, akhirnya malah menentukan arah hidup seseorang dan berdampak paling besar dibandingkan faktor psikologis yang lain. Yang sedang dinyatakan dalam perumpamaan tadi adalah suatu represi spiritual, bahwa di bawah semua faktor psikologi dalam hati manusia, ada satu hal yang kita tutup, pendam, tekan, yang ironisnya malah mempengaruhi hidup kita secara keseluruhan, yaitu bahwa sesungguhnya setiap manusia sedang memendam suatu kebencian, kemarahan, penolakan akan Tuhan, yang kita bahkan tidak sudi untuk akui. Kita lebih gampang mengatakan, “Enggaklah, saya tidak sebegitunyalah sama Tuhan; yang ada adalah saya tidak peduli dengan Tuhan. Itu yang lebih benar; sedangkan permusuhan dengan Tuhan?? Kayaknya enggak.” Namun Saudara lihat Roma 8, Paulus mengatakan bahwa hati manusia secara alamiah memiliki suatu perseteruan/permusuhan dengan Allah. Masih dalam kitab yang sama, dalam Roma 1 Paulus mengatakan bahwa sebenarnya semua orang tahu akan Tuhan, semua orang tahu ada tanggung jawab kepada Tuhan, tapi banyak yang memendam, menekan, repress hal ini. Dan oleh karena itu, apa yang kita pendam akhirnya malah jadi penentu utama dalam arah hidup kita.
Masa Lent mengajak kita untuk membongkar hal-hal seperti ini. Memang tidak enak, namun perlu, karena kita bukan cuma sesat, tidak berdaya, atau bodoh, tapi dalam bagian ini kita melihat bahwa kita bahkan menekan pengetahuan akan hal-hal gelap dalam hidup kita ini. Kita tidak ingin melihatnya. Itu sebabnya perlu waktu untuk kita sama-sama dikeluarkan dalam hal ini. Demikian poin yang pertama. Siapa penggarap-penggarap ini? Kita, manusia, yang senantiasa menekan kebenaran dari Tuhan bahwa kita bukanlah pemilik, kita cuma manajer, karena kita benci akan hal ini dan tidak mau menerimanya.
Kita masuk ke hal yang kedua. Ceritanya sekarang berlanjut; karena si penggarap-penggarap ini kurang ajar, mereka pikir mereka pemilik, mereka bertingkah laku seakan-akan owner, maka si pemilik mengirim beberapa utusan. Semua utusan digebuki oleh penggarap-penggarap tersebut. Makna aslinya dalam zaman Tuhan Yesus, Dia sedang mengingatkan para pemimpin Yahudi pada waktu itu, bahwa Allah sudah mengirim nabi-nabi kepada mereka selama ratusan tahun, untuk memperingatkan bahwa mereka telah melakukan mis-management, mereka telah me-manage kebun anggur Tuhan, yaitu Israel, bukan atas hukum Tuhan, bukan bagi kemuliaan Tuhan, tapi atas dasar bijaksana mereka sendiri, dan bagi kuasa serta kemuliaan mereka sendiri. Sejarah meperlihatkan bahwa memang benar akhirnya utusan-utusan ini, nabi-nabi ini, akhirnya digebuki oleh pemimpin-pemimpin Israel dan Yehuda.Yesus memang sedang menohok para pemimpin Yahudi pada zaman-Nya. Namun sekali lagi kita akan memikirkannya dengan lebih luas, kita perlu melihat diri kita dalam relasi ini, karena Lukas tidak cuma menulis bagian ini untuk para ahli Taurat, dia menulis bagi Gereja, bagi kita.
Gambaran ini mengingatkan kita bukan cuma bahwa Tuhanlah pemilik dan kita cuma manajernya, tapi juga bahwa Tuhan dalam anugerah-Nya senantiasa memberikan kepada kita kesempatan demi kesempatan —multiple, tidak cuma sekali– utusan-utusan untuk menggoncang kita dari mimpi yang bodoh, untuk menyadarkan kita bahwa kita bukan pemilik, kita cuma penggarap. Tuhan senantiasa mengirimkan utusan-Nya untuk membongkar ilusi bahwa kita ini independent, mandiri, self-suficient. Tuhan mengirimkan utusan-Nya supaya kita sadar bahwa hidup kita sebenarnya hidup orang-orang yang ketergantungan; bukan ketergantungan obat melainkan ketergantungan Tuhan. Namun hal itupun kita tidak senang mendengarnya. Kita tidak senang kalau dibilang sebagai orang yang ketergantungan.
Bagaimana Dia melakukan hal tersebut dalam hidup kita? Dalam hidup Israel, jelas dengan mengirimkan para nabi. Bagaimana dengan hidup kita, siapa atau apa, utusan-utusan yang Tuhan kirim ke dalam hidup kita? Ada banyak cara, tidak cuma satu, sebagaimana kita lihat dalam perumpamaan ini. Mari kita coba mengejawantahkannya.
Yang pertama, mungkin salah satu utusan Tuhan yang paling awal diutus dalam hidup kita adalah orangtua kita. Bayangkan kalau kita ini anak kecil, apa yang dilakukan orangtua kita sejak kecil? Orangtua adalah utusan Tuhan ‘kan, anugerah Tuhan bagi kita; dan setiap dia hadir, bikin kita apa? Bikin kita tabrak tembok. Orangtua itu tembok. Saya sebagai orangtua dari anak-anak umur dua tahun, menyadari hal ini; 90% fungsi saya di rumah sekarang ini adalah menjadi tembok bagi anak-anak saya. Kenapa? Karena mereka kerjanya selalu naik ke sofa dan lompat-lompat di pinggir. Kita sebagai orangtua harus mengatakan, “Tidak bisa! Tidak boleh. Mundur ke belakang. Jangan lompat-lompat di situ!” Mereka selalu kepingin bikin banjir dengan mengeluarkan air dari selang dan segala macam, lalu kita jadi tembok, kita bilang, “Tidak boleh! Setop!” dst. Mereka mau ke tengah jalan, lari-lari, dsb., dan kita bilang, “Tidak boleh kayak begitu!” Mereka mau lari-lari naik turun tangga, dan kita bilang, “Tidak bisa kayak begitu!” Kita terus saja jadi tembok. Itulah yang kita kerjakan. Kita sedang jadi tembok bagi mereka, kita sedang jadi utusan bagi mereka dengan mengatakan, Hai! hidupmu bukan kendalimu, hidupmu tidak bisa dijalani sesuai dengan kehendakmu, ya, kamu bukan pemilik dari hidupmu, kamu bertanggung jawab pada seseorang yang lain dalam hidup ini, kamu harus menjalaninya dengan aturan main yang ada, bukan aturan main dari dirimu sendiri. Inilah yang orangtua kerjakan. “Kamu bukan pemilik, Nak; kamu penggarap. Kamu harus menggarap hidupmu dengan baik”.
Sekarang lihat, apa yang si anak seringkali lakukan? Apa yang sering kali kita lakukan waktu kita punya orangtua kayak begini? Waktu kita masih kecil, umur dua tahun, ya, kita cuma bisa melawan dengan talk back. Anak saya kalau disuruh, “Ayo makan”, dia jawab, “Enggak mau.” Mulai kayak begitu. Tapi nanti kalau sudah lebih kreatif, mungkin dia akan berpikir orangtuanya ‘kan tidak sempurna, jadi ketika tidak mau mendengarkan mereka, dia bisa mengatakan: “Orangtuaku ‘kan ‘gak sempurna, orangtuaku sudah ada kesalahan, orangtuaku bahkan mungkin munafik, orangtuaku tidak mengerti diriku, orangtuaku ketinggalan zaman, aku dan orangtuaku ada generation gap, dsb., and therefor saya tidak perlu mendengarkan mereka, saya akan jalankan apa yang benar dalam mata saya.” Apakah ini, Saudara? Ini mungkin satu bentuk kita sedang menggebuki utusan Tuhan dalam hidup kita, pada tahap yang paling awal, meski tentu tidak semuanya, tentu ada perkecualian, karena tentu saja orangtua tidak selalu benar. Namun mungkin ini salah satu bentuknya.
Utusan Tuhan yang lain dalam hidup kita, misalnya Gereja, keberadaan umat Tuhan yang mengelilingi kita. Saudara, mungkin ada dari antara kita yang mulai sadar bahwa kita menghidupi satu ilusi bahwa kita mandiri, bahwa kita adalah pemilik, melalui Gereja Tuhan dan berbagai pelayanan yang dipakai untuk menunjukkan hal ini kepada kita. Mungkin lewat khotbah-khotbah tertentu, mungkin lewat buku-buku yang ditulis orang Kristen, atau mungkin juga lewat simply berada dalam Gereja, tempat Saudara di mana-mana kena tembok. Saudara harus kerja sama dengan panitia-panitia yang tidak cocok denganmu, Saudara harus menyanyi di Paduan Suara lagu-lagu yang tidak cocok dengan seleramu. Itu tembok-tembok; dan itu mungkin adalah hal-hal yang Tuhan pakai untuk menyatakan kepada kita bahwa kita bukan pemilik. Kita tidak mengendalikan kehidupan ini. Kita bertanggung jawab untuk menggarap apa yang kita punya berdasarkan aturan main yang lain. Dan sekali lagi, dalam hal-hal ini pun kita merespons dengan menekannya, kita mau menyangkal bahwa kita bukan pemilik, dengan cara kita mulai gebukin utusan Tuhan. Kita mengatakan, “Ah, Gereja, orang-orang Kristen ini, munafik, banyak error-nya, ‘gak benar, lihat saja ngomongnya apa, kerjainnya apa. Enggak bisalah kayak begini, saya ‘gak perlu dengerin mereka, saya ‘gak perlu ikut persekutuan; apa gunanya ikut persekutuan, orang-orangnya juga kayak begitu”, dsb. Waktu disuruh ikut SPIK, BCN, NRETC, dsb., kita mengatakan, “Ngapainlah ikut acara-acara kayak begitu, sudah tahulah bakal ngomong apa”. Dan ironisnya, memang benar Saudara sudah tahu bakal ngomong apa, maka Saudara menekan, karena represi adalah menekan apa yang kita sudah tahu, bahwa hidup bukan milik kita, sedangkan ikut acara-acara kayak begitu memang menyebalkan karena akan mengatakan ‘hidupmu bukan milikmu’. Hal ini juga bukan cuma datang dari khotbahnya, Saudara harus ikut jadwal mereka dan tidak bisa main jadwal sendiri, belum lagi sehari bisa tujuh sesi, dsb. Saudara, apa message dari semua itu? Hidupmu bukan milikmu, engkau cuma penggarap; ini aturan mainnya. Dan, kita menekan hal itu, kita menggebuki utusan Tuhan seperti ini.
Masih ada banyak lagi utusan-utusan dalam hidup kita, namun satu hal terakhir yang saya ingin bawa kita untuk menyadarinya, yaitu Tuhan juga sering kali mengirim utusan-utusan-Nya melalui situasi-situasi kehidupan. Situasi-situasi kehidupan yang kayak apa? Situasi-situasi ketika kita mengalami –atau hampir mengalami– tragedi, kefrustrasian, kekecewaan —basically mengalami tembok. Semua ini pun bisa kita katakan sebagai utusan dari Tuhan. “What?? Yang benar saja, Pak, Tuhan mengutus tragedi ke dalam hidupku?? Kekecewaan, kefrustrasian, diutus Tuhan ke dalam hidupku?? Tuhan yang kayak begini yang Bapak percaya? Tuhan jahat banget, ya. Apa tujuannya Tuhan bawa yang seperti ini??” Saudara lihat bagian yang kita baca tadi, message-nya apa, kenapa Tuhan mengutus utusan-utusan-Nya ke dalam hidup para penggarap ini? Memang untuk menggoncang mereka, untuk mengatakan kepada mereka, “Kamu bukan pemiliknya! Kamu bukan yang pegang kendali, kamu bukan bosnya!” Banyak orang menginginkan Tuhan datanglah ke dalam hidupku, tiap hari aku mau menerima pemberian-Mu, namun kita tidak menyangka pemberian kayak apa yang diberikan Tuhan.
Ada banyak orang ketika bertemu dengan kesulitan, kekecewaan, penderitaan, tembok-tembok dalam hidupnya, kesimpulan yang mereka tarik adalah: ini buktinya tidak ada Tuhan. Karena hidupku dan dunia ini penuh dengan ketidakadilan, kejahatan, kerusakan, kekecewaan, penderitaan, inilah semua dasar yang kubutuhkan untuk mengatakan bahwa Tuhan tidak ada; bagaimana mungkin percaya kepada Tuhan kalau dunia ini begitu rusak. Kedengarannya logis, tapi coba kita telaah lebih dalam, mungkin ini justru logika yang terbalik. Manusia ingin percaya bahwa kitalah yang mengontrol hoidup ini, kita bisa mengontrol hidup ini, kita bisa dan boleh punya goal sendiri, kita bisa dan boleh punya agenda kita sendiri, kita bisa menentukan value kita sendiri, terserah kita mau cisgender, transgender, nonbinary atau apapun. Buku-buku self-help yang best seller menjual ide ini terus menerus, “Inilah 12 langkah untuk membereskan hidupmu”, “Kamu bisa”, “Lima metode dari orang-orang sukses kayak begini”, dst. Tapi ini kebohongan. Saudara tahu dari mana bahwa ini kebohongan? Yaitu karena yang hidup ini beritahukan kepadamu lagi dan lagi dan lagi adalah: ‘Kamu tidak bisa kontrol, you are not in control, kamu tidak pegang kemudi’. Buktinya apa? Buktinya kita menabrak tembok terus.
Saudara, kehidupan ini cepat atau lambat tidak akan pernah membiarkan kita hidup dalam ilusi itu, kehidupan ini tidak akan pernah membiarkan kita bertindak sebagai owner, buktinya dalam usaha-usaha kita memegang kendali dalam hidup ini, bukankah kita senantiasa menemukan halangan? Bukankah kita senantiasa kecewa karena agenda-agenda kita tidak terpenuhi? Bukankah kita senantiasa menderita karena goals kita hancur berantakan? Bukankah seperti itu kehidupan yang kita terima selama ini? Jadi jika demikian, kesimpulan logis yang tepat yang perlu kita tarik simpel saja dong, dan tidak ada urusannya dengan Tuhan ada atau tidak ada; kalau kehidupan ini tidak sesuai dengan keinginan saya, berarti penjelasan yang paling obvious adalah: saya bukan pemilik hidup ini, saya bukan owner-nya! Sekali lagi, orang menderita atau kecewa lalu mengatakan “Tidak ada Tuhan, tidak ada Sang Pemegang Kemudi Agung itu yang mengontrol segala sesuatu, wong semuanya kacau kayak begini!”; tapi sebaliknya, mereka harusnya mengambil kesimpulan: “Saya ternyata bukan pemegang kendali kemudi hidup ini, saya tidak in-control, tidak ada manusia yang menentukan arah hidupnya sendiri, saya bukan pemilik hidup ini; siapa ya pemiliknya?” Logika yang tepat harusnya ke arah situ. Saudara, inilah maksudnya situasi-situasi hidup sebagai utusan-utusan dari Tuhan, tembok-tembok yang senantiasa meneriakkan di telinga kita: “Kamu tidak in-control! Kamu cuma penggarap, kamu bukan pemilik, ini semua cuma pemberian, kamu tidak bisa mengatur dan menggunakannya semaumu dan demi keuntunganmu”. Dan lihat, apa respons kita? Dalam poin ini pun, saya percaya ada di antara kita yang masih berusaha mengebuki utusan Tuhan ini dengan mengatakan, “O, Tuhan jahat sekali, ya, Tuhan kirim ke aku berbagai macam penderitaan hanya untuk mengatakan He is the Boss?? Jahat banget ya, Tuhan kayak begini!”
Namun bukan itu intention-nya, karena yang terjadi selama ini tidak seperti itu; yang terjadi adalah Saudara dan saya menempatlkan diri sebagai anak kecil yang bodoh. Anak-anak saya (umur 2 tahun), senang banget “menyetir mobil”, mereka selalu bilang, “Niko mau nyetir”, “Erik mau nyetir”. Tapi tentu bukan nyetir, mereka cuma kepingin duduk di kursi depan lalu pegang-pegang setir, mereka tidak bisa menyetir. Kepala mereka tidak cukup tinggi untuk melihat ke depan, kaki mereka tidak cukup panjang untuk injak rem, gas, dsb. Jadi mereka cuma bisa menggoyang-goyang setirnya, pencet-pencet segala macam dan bikin kacau semua setting-an saya, buka-buka jendela, bolak-balik menyalakan lalu mematikan emergency lamp, dsb. Dan, mungkin satu hal yang paling ngaruh yang mereka bisa lakukan –mungkin– yaitu melepas rem tangan, lalu selanjutnya Saudara bisa bayangkan apa yang bakal terjadi.
Itu sebabnya yang Tuhan lakukan ketika hidup kita seperti itu adalah: Dia mendesain beberapa fail-safe (mekanisme-mekanisme pencegahan) agar hal-hal yang tidak diinginkan jangan sampai terjadi. Ini ibaratnya seperti rem tangan yang sangat susah dilepas, anak kecil biasanya tidak kuat melakukannya. Mungkin Saudara menganggap ‘kenapa sih musti bikin rem tangan susah banget dan keras banget kayak begini’, tapi kalau tidak dibikin kayak begitu, akan bahaya, anak kecil bisa dengan mudah melepas lalu mobilnya meluncur, dan apa yang akan terjadi? Dispenser air, tombol untuk air dinginnya gampang dipencet, juga tombol air sedangnya, tapi untuk air panas ada mekanismenya yang tidak bisa sembarangan, musti dipencet apanya dulu, atau diputar sambil pencet, atau apapun lainnya, sehingga anak kecil tidak bisa melakukannya dengan gampang. Itu namanya fail-safe. Dan, mungkin inilah harusnya cara kita melihat tembok-tembok kefrustrasian dalam hidup kita. Tuhan memberikan kita halangan-halangan, tembok-tembok, untuk menyatakan bahwa kita bukanlah pemilik hidup ini, lalu kita teriak-teriak bahwa Tuhan itu jahat, seperti seorang anak toddler yang marah-marah kepada pembuat dispenser air, “Kenapa sih tombol air panas ini susah banget dipencetnya, yang mama dan papa bisa tapi saya ‘gak bisa, kenapa susah sekali?! Saya cuma kepingin minta air!! Kenapa sih pembuat dispenser ini jahat, mempersulit hidupku terus-menerus, jahat!!” Itulah anak kecil, dan mungkin itulah kita. Intention Tuhan membawa kefrustrasian dalam hidupmu bukan untuk menyatakan bahwa Dia bosnya; intention-Nya adalah untuk menjaga nyawamu, karena ketika engkau pikir engkau pemilik, ujungnya hanya ada satu: maut.
Hal ketiga yang kita lihat di bagian ini, bukan cuma relasi antara si penggarap dan pemilik, si penggarap dengan utusan-utusan yang Tuhan bawa, tapi juga relasi antara si penggarap dengan sang anak, yang datang terakhir. Inilah jantung hati dan klimaks dari perumpamaannya, karena kita membaca bahwa terhadap utusan-utusan, penggarap-penggarap itu makin lama makin sadis, mulai dari memukul, menggebuki, melempar keluar, dst.; dan ketika sang pemilik mengutus anaknya, anaknya ini mengalami puncak dari violence tersebut, yaitu dibunuh oleh para penggarap. Apa yang sedang ditekankan dalam gambaran-gambaran ini? Yaitu untuk kita berani menghadapi kecenderungan hati kita yang kita tekan dalam-dalam, bahwa hati kita dalam permusuhan dengan Tuhan, kita tidak senang dengan ide bahwa kita bukanlah pemegang kemudi hidup kita, meskipun kita sebenarnya tahu itulah realitasnya. Poin dari gambaran-gambaran ini adalah untuk membuat kita menyadari, bahwa kita mungkin berpikir kita mencintai Tuhan, tapi sesungguhnya arah hati kita yang natural tidak suka dengan keberadaan Tuhan. Dan, klimaks dari permusuhan ini adalah momen ketika Allah membuat diri-Nya bisa diserang dan dibunuh –maka manusia membunuh-Nya.
Para pemimpin Yahudi menyerahkan-Nya kepada orang Romawi supaya Anak Allah itu mati. Sementara kita, tentu saja kita tidak secara langsung ambil bagian memakukan Yesus ke kayu salib –orang Yahudi juga tidak, mereka pakai tangan orang Romawi untuk itu– namun dalam hal ini kita bisa lanjutkan pola pembahasannya dengan consider cara-cara yang kita pakai untuk mematikan Sang Anak dari Pemilik kebun anggur.
Cara yang pertama, cara yang lebih obvious, yaitu dengan menolak Yesus Kristus. Ini bisa terjadi lewat berbagai cara; dalam zaman ini mungkin yang paling sering lewat ateisme, lewat kedok intelektual (menolak Yesus dengan mengutip segala jenis argumen intelektual, bahwa alasannya tidak percaya Alkitab karena Alkitab cuma dokumen tua bikinan manusia, dsb.). Tapi kita yang di sini kayaknya bukan orang-orang seperti itu; masalah yang mungkin kita di sini perlu address adalah jalan menolak Yesus yang kedua, bukan dengan jalan skeptis, bukan dengan jalan menolak Kekristenan, tapi malah dengan jalan agama, dengan jalan taat.
Jalan agama justru bisa dipakai untuk menolak Kristus; bukan untuk menyerahkan diri kepada Kristus melainkan untuk merebut kemudi dari tangan Kristus. Bagaimana caranya? Orang beragama, sedikit banyak adalah sebagai jalan untuk kita bisa menodong Tuhan: “Tuhan, saya sudah hidup baik, saya sudah menaati sebagian besar hukum-Mu, jadi Engkau berutang kepada saya, Engkau harus jawab doa-doaku, Engkau harus berikan kepadaku hidup yang baik, dan tiket masuk surga ketika nanti aku mati.” Ketika kita melakukan seperti ini, kita sedang menolak Yesus, bukan menerima Dia, karena dalam skema transaksional seperti ini kita bukan sedang membutuhkan Seorang Juruselamat untuk menyelamatkan kita lewat anugerah, melainkan simply menyelamatkan diri kita sendiri lewat perbuatan baik kita. Ini secara teori logis, tapi kedengarannya nonsense, karena siapa sih dari antara kita yang seperti itu, siapa sih yang beragama demi itu, kita ‘kan orang Kristen tahu bahwa kita diselamatkan karena anugerah, bukan karena perbuatan. Dalam hal ini saya ingin cerita pengalaman saya waktu kuliah di Melbourne.
Dari awal saya sudah tahu bakal cuma 4 tahun kuliah di sana. Saya beli mobil second karena kalau dihitung-hitung memang lebih murah daripada bayar public transport selama 4 tahun (mobil second di sana sangat murah, dan dijual lagi pun harganya tidak jauh beda). Tahun pertama, saya beli asuransi full untuk mobil itu, karena kalau ada apa-apa bisa bahaya. Tapi asuransi full itu mahal, maka tahun kedua saya downgrade asuransinya, tidak full coverage, karena sepertinya amanlah menyetir di Melbourne, semua taat aturan, dsb. Tahun ketiga –setelah mengalami dua tahun aman, tidak ada masalah apa-apa sama sekali, baret pun tidak pernah– saya putuskan tidak usah pakai asuransi; dan aman juga, maka tahun keempat saya lanjutkan tidak pakai asuransi. Dua bulan yang terakhir, dua bulan sebelum pulang, saya menabrak! Nabraknya juga boleh dibilang bukan salah saya, karena mobil yang di depannya mobil depan saya, mengerem mendadak. Mobil depan saya bisa juga mengerem mendadak tanpa kena mobil didepannya itu, karena dia mobilnya Subaru Impreza WRX STI, yang basically mobil balap; sedangkan mobil saya Lancer butut 14 tahun yang tidak ada ABS dan segala macamnya, jadi meski saya injak rem dari jauh, mobil saya cuma meluncur lalu nabrak. Dan, karena bukan tabrakan beruntun, kesalahannya pada yang di belakang, demikian hukum Australia, maka artinya kesalahan saya. Saya musti mengganti mobil yang saya tabrak, dan saya musti ganti mobil saya sendiri juga, dengan seluruh tabungan yang ada selama ini. Bayangkan, ini dua bukan sebelum pulang! Akhirnya semua sudah selesai, dan mobil saya ini mau dijual, tapi tidak ada dealer yang mau terima. Mereka buka kap, kelihatan mobilnya habis tabrakan, dan tidak mau. Lagipula berhubung mobil 14 tahun, ada banyak problem-problem lain, yang tidak segampang itu untuk dijual.
Dalam momen seperti itu, saya frustrasi, saya berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, tolong, saya bergantung pada anugerah-Mu; saya benar-benar tidak ada jalan lain.” Dalam kesulitan ini, Pendeta Budi Setiawan telepon (waktu tahun ketiga saya di Melbourne, Pendeta Budi Setiawan masuk dan melayani di GRII Melbourne). Pak Budi bilang, “Jeth, bagaimana kalau saya beli saja mobilmu; saya tahu habis tabrakan, tapi ‘kan sudah beres sekarang, ‘gak masalah. Saya perlu mobil, yang murah saja, jadi bagaimana kalau saya ambil mobilmu?” Mendengar itu, saya dalam hati berdentang Hallelujah Chorus entah berapa kali. Setelah deal dan tutup telepon, saya berteriak-teriak kepada Tuhan, berterima kasih kepada Tuhan sambil berjalan keluar. Lima menit kemudian telepon kembali berdering, Pak Budi lagi. Dia mengatakan, “Jeth, maaf ya, di-veto istri; istri bilang kayaknya belum perlu beli mobil. Jangan sakit hati, ya”, dsb. Sesungguhnya saya tidak terlalu sakit hati dengan Pak Budi-nya, saya sakit hati pada Tuhan! Begitu telepon ditutup, saya basically mengatakan kepada Tuhan: “What the hell, Tuhan?? Apakah semua doa-doaku cuma sampah buat-Mu? Apakah semua pengabdianku kepda-Mu tidak ada artinya?? Dua puluh tahun aku mengabdi kepada-Mu, dan inikah cara-Mu membalasku, begitu?? Saya pulang untuk masuk ke STT, saya mau menyerahkan diri menjadi hamba-Mu, dan ini cara-Mu merespons pemberianku ini??”
Saudara lihat, kalau secara teoritis, dalam momen seperti itu kita tidak lupa bahwa kita sudah kehilangan kemuliaan Tuhan, kita tidak lupa bahwa kita tidak ada jasa di hadapan Tuhan, kita tidak lupa bahwa semua kebaikan yang Tuhan berikan bukanlah karena jasa atau perbuatan kita melainkan atas dasar anugerah semata-mata –dalam momen seperti ini, kita tidak tiba-tiba lupa dengan semua itu– tapi ternyata deep inside kita masih percaya bahwa perbuatan baik saya somehow bisa membuat Tuhan berutang, somehow saya berhak menuntut Tuhan, paling tidak mengatakan, “Tuhan, kenapa Engkau pehape, kenapa Engkau angkat saya untuk lalu banting saya kebawah seperti itu?!” Itu sebabnya orang seperti ini tetap merasa diri sebagai owner; ironisnya bukan dengan cara memberontak terhadap hukum-hukum Tuhan melainkan justru dengan menjalankannya. Tidak heran, dalam perumpamaan Yesus ini, dan juga dalam sebagian besar hidup-Nya, musuh-musuh Tuhan Yesus yang terutama justru mereka yang berasal dari golongan keagamaan –orang-orang baik, imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi, Suadara dan saya. Inilah cara kita menggebuki Anak Tuhan.
Lalu bagaimana? Apa solusi atas permusuhan hati kita dengan Tuhan? Kita sudah membahas habis-habisan bahwa di dalam hati kita sesungguhnya ada permusuhan dengan Tuhan, ada kebencian, dan kita tidak senang bahwa kita bukan pemilik hidup kita sendiri. Manifestasinya macam-macam. Saking pendasarnya permusuhan ini, ternyata bukan cuma ateisme atau sekularisme yang dipakai untuk melawan Tuhan, tapi juga bahkan jalan agama dan ketaatan pun bisa dipakai untuk menolak Tuhan. Jadi apa jalan keluarnya? Jalan keluarnya ada di ayat 17, Yesus mengutip Mazmur 118; dikatakan: Tetapi Yesus memandang mereka dan berkata: “Jika demikian apakah arti nas ini: Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru?”Apa maksudnya?
Dalam perumpamaan tadi, ketika sang anak dari pemilik itu muncul, dia dibunuh oleh para penggarap; lalu dalam ayat 17 Tuhan Yesus menggunakan analogi lain untuk menceritakan hal yang persis sama: para pemimpin Yahudi adalah seperti tukang-tukang bangunan yang telah membuang sebuah batu, yaitu Anak Allah, batu yang tertolak, batu yang dibuang, batu buangan yang rasanya tidak berguna, batu ini telah menjadi batu penjuru, batu yang paling penting dalm sebuah bangunan, batu yang kepadanya semua batu-batu lain bertumpu, batu yang kalau dicabut maka seluruh bangunannya akan runtuh. Inilah kemuliaan berita Injil, inilah kemuliaan salib: puncak dari permusuhan hati kita kepada Tuhan, telah berujung pada pembunuhan Anak Allah, tetapi malah pembunuhan inilah yang justru Tuhan pakai untuk menyelesaikan permusuhan tersebut.
Kalau kita sebagai manusia memandang kepada salib, siapa/apa yang sedang dihancurkan di situ? Ada dua perspektif untuk melihat hal ini, dan jawabannya berbeda. Kalau Saudara sebagai manusia dan memandang ke salib, siapa yang sedang dihancurkan di atas kayu salib? Salib adalah cara manusia mengekspresikan permusuhan hatinya kepada Allah, dengan membunuh Anak Allah, maka yang sedang dihancurkan di atas kayu salib adalah Anak Allah. Mereka sedang membuang batu yang tidak berguna ini, mereka sedang membunuh anak sang pemilik di atas kayu salib; itulah yang kita lihat sabagai manusia. Tapi dari sudut padang Allah, yang dihancurkan di atas kayu salib adalah permusuhan manusia dengan Allah; salib malah adalah cara Allah mendamaikan diri-Nya dengan manusia, dengan memberi diri-Nya terbunuh. Batu yang dibuang, telah menjadi batu penjuru; kematian telah membawa kehidupan.
Saudara, apa sih akar permusuhan kita dengan Tuhan? Kita tidak sudi menyerahkan kemudi hidup kita; kita tidak sudi menerima Dia sebagai owner/bos, kita maunya independen. Kita curiga dengan semua pihak yang menempatkan diri di atas kita, itu bahaya, kita curiga mereka mau memanfaatkan kita, kita curiga mereka itu jahat, kita curiga mereka mau mengontrol kita demi keuntungan mereka. Kita selalu pikir kayak begini. Waktu baca cerita Adam dan Hawa, kita curiga dengan Tuhan, ‘Tuhan, kenapa taruh pohon di situ, kenapa taruhnya di tengah, kenapa pohonnya tidak digembok, mencurigakan ini, ada apa sebenarnya di belakang ini??’ Demikian juga di sini, ‘Waktu Engkau mengatakan bahwa Engkau mengutus utusan-utusan-Mu dalam hidup untuk menggoncang kami lewat situas-situasi kehidupan, lewat kefrustrasian, lewat tembok-tembok, lewat kekecewaan, apa-apaan Tuhan?? Kenapa Engkau melakukannya? Jahat sekali, mencurigakan ini, Engkau cuma kepingin melakukannya supaya kami mengakui ‘kan bahwa Engkau bosnya?’ Kita curiga. ‘Ini Kau lakukan supaya Engkau dapat untung, supaya Engkau dapat manfaat?? Kami tidak mau Allah yang seperti itu!’
Allahmu tidak seperti itu. Allahmu adalah Allah yang menyerahkan diri-Nya demi keuntunganmu, demi manfaatmu. Penggarap-penggarap kebun anggur tahu itu bukan kebun anggur mereka, tapi mereka mendeklarasikan: “Biar kehendakku yang jadi”; sedangkan Anak Allah tahu kebun anggur ini milik-Nya, tapi Dia malah mengatakan yang sebaliknya: “Bukan kehendak-Ku yang jadi”. Jadi, menyerahkan kemudi kepada Owner seperti ini, apa bahayanya? Di mana resikonya? Di mana engkau bisa curiganya? Memang ada bahaya dan resikonya, tapi bahaya dan resikonya justru ada pada Si Owner, yaitu salib. Itu sebabnya solusi permusuhan hati kita dengan Tuhan adalah kasih Tuhan di atas kayu salib.
Inilah kabar baik dari Musim Lent, dan dalam seluruh hidup kita: bukan dengan cara melupakan dosa-dosamulah maka engkau bertemu dengan kasih karunia Tuhan. tapi justru dengan cara menyadarinya, menghadapinya, membongkarnya bahkan melampaui apa yang kita pikir sudah sampai ujung kegelapan hati kita; dan justru dengan cara itu kita semakin sadar akan kebesaran, kedalaman, dan kesungguhan dari kasih Tuhan. Kehidupan yang datang dari kematian, inilah misteri hidup Kristiani.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading