Hari ini saya mau membahas tentang bagaimana manusia sebagai gambar rupa Kristus; bahan ini saya ambil dari buku Pdt. Billy Kristanto, “Human Being – Being Human”, sebuah buku akademis tentang antropologi, namun cukup accessible bagi orang awam, dan sangat direkomendasikan untuk kita dapat membacanya.
Saya percaya topik ‘manusia sebagai gambar rupa Allah’ adalah satu hal yang cukup umum dan kita sudah pernah dengar. Dalam konteks Gereja, ketika kita membahas ‘manusia sebagai gambar rupa Allah’, kita sering kali langsung cepat-cepat mengaitkan dengan Doktrin Allah. Dalam hal ini kita lalu mengatakan: Allah adalah Allah Tritunggal, berelasi, itulah sebabnya kita makhluk yang berelasi; Tuhan adalah Pribadi yang memiliki rasio, maka kita juga makhluk yang rasional. Ini pasti tidak ada salahnya karena kita sungguh-sungguh adalah gambar rupa Allah. Namun kita tidak boleh lupa bahwa sebagai manusia, sebagai orang Kristen, kita juga menyembah Allah Tritunggal. Allah yang kita sembah dalam iman kita adalah Allah Tritunggal; artinya, kita juga harusnya bisa membahas ‘manusia sebagai gambar rupa Allah’ melalui Pribadinya. Kita tidak berhenti pada mengatakan ‘kita adalah gambar rupa Allah’, tapi juga bahwa kita adalah gambar rupa Bapa, kita adalah gambar rupa Anak, kita adalah gambar rupa Roh Kudus; dan melalui pengenalan kita terhadap setiap Pribadi ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Alkitab, itu akan membawa kita makin mengenal siapa diri kita sebagai manusia.
Pada kesempatan ini, saya hanya akan fokus dalam aspek ‘manusia adalah gambar rupa Kristus’ karena tidak cukup waktu untuk kita membahas keseluruhannya. Bahkan dalam hal ini, saya akan membahas ‘manusia adalah gambar rupa Kristus’ hanya di dalam Perjanjian Lama saja; dan ini pun sifatnya cuplikan. Jadi secara antropologi, ini satu tema yang sangat luas; dan hari ini kita hanya bisa mencicipi satu bagian kecil saja.
Di dalam Perjanjian Lama, kita tahu Kristus belum inkarnasi. Namun ini bukan berarti di dalam Perjanjian Lama kita tidak bisa menemukan apapun mengenai gambar rupa Kristus, karena nama Kristus sendiri artinya “Yang Diurapi” (Yesus Kristus artinya Jesus The Anointed); dan di dalam Perjanjian Lama, yang diurapi adalah raja, imam, nabi. Ini klasik Teologi Reformed, yaitu ‘the threefold offices of Christ’, bahwa Kristus adalah Raja, Imam, Nabi. Jadi kita akan masuk ke dalam beberapa kitab Perjanjian Lama untuk melihat gambaran raja-imam-nabi dalam Perjanjian Lama, bagaimana hal ini dihidupkan dalam Pribadi Kristus, dan apa kaitannya bagi kita sebagai manusia, khususnya manusia dalam gambar rupa Kristus.
Pertama, dari kitab Imamat.
Kitab Imamat, khususnya pasal 1-7, memperlihatkan kepada kita peran dan tugas seorang imam. Salah satu tugas paling penting yang dilakukan imam adalah mempersembahkan kurban kepada Allah. Dalam tujuh pasal di awal ini, kita melihat bahwa kurban yang dipersembahkan oleh imam ada banyak tipenya, ada kurban penghapusan dosa, kurban keselamatan, kurban sajian, kurban bakaran, dll. Namun kalau kita kategorikan semua kurban yang dilakukan imam dalam kitab Imamat, ada dua macam kurban, yaitu thanksgiving (kurban ucapan syukur) dan reconciliation (kurban rekonsiliasi). Misalnya kurban penghapus dosa, itu masuk dalam kategori rekonsiliasi.
Sebagai Imam, inilah juga yang kita lihat sangat jelas dalam Pribadi Kristus; Kristus sebagai Imam juga penuh dengan ucapan syukur, Dia senantiasa mengafirmasi kebaikan Allah, Dia tidak memiliki mentalitas self-victim (saya ini korban, saya ini kasihan). Sebagai Imam, Yesus juga terus-menerus mencoba membawa orang berdosa kepada Allah melalui pengorbanan diri-Nya sendiri. Dengan kata lain, menjadi imam, menjadi manusia di dalam gambar rupa Kristus Sang Imam, itu berarti kita sebagai manusia juga harus melakukan dua hal ini: mengucap syukur dan melakukan pekerjaan rekonsiliasi.
Pertama, pekerjaan ucapan syukur. Ini satu sikap yang melawan arus dunia. Orang-orang dalam dunia tidak mau memberikan ucapan syukur, mereka maunya orang lain yang mengucap syukur kepada mereka. Kenapa? Karena ketika kita mengucap syukur, ini artinya kita pihak yang menerima; dan kalau kita adalah pihak yang menerima, maka kita pikir ‘ini bukan manusia, ini lemah, yang menerima itu pengemis; kalau kita manusia, kita harus memberi, kita harus kuat, bahkan sangking kuatnya kita tidak perlu meberikan ucapan syukur kepada Tuhan!’ Dan, bukankah ini pun terjadi dalam konteks Gereja? Sebagai orang Kristen, kadang-kadang banyak orang memberikan kesaksian, memaparkan semua kehebatannya, pengorbanannya, kebaikannya –kalau ditulis paper bisa jadi 5 halaman—lalu setelah lima halaman semua jasa, prestasi, dan kebaikan dirinya, baru muncul foot note kecil “sola gratia”. Ucapan syukur menjadi foot note, bahan utamanya adalah tentang diri mereka sendiri, kekuatan mereka sendiri, kebaikan mereka sendiri.
Pribadi Kristus tidak demikian. Kristus itu Imam, Dia mempersembahkan diri-Nya, Dia yang mati, Dia yang mengalahkan dunia ini, Dia yang melakukan pekerjaan keselamatan, tapi setelah Dia mengalahkan dunia ini, bangkit dari klematian, kita tidak melihat Yesus yang mengatakan kepada murid-murid-Nya, “Look at Me, ini semua Aku, this is My work! Kalau bukan Aku, kalian semua ’gak selamat! Di mana kalian ketika Saya diselamatkan?? Kalian tidak ada bagian ‘kan, nothing, it’s all Me”. Namun bukan ini Kristus yang kita lihat di dalam Alkitab. Setelah Kristus bangkit dari kematian, seluruh otoritas diberikan kepada Dia, tapi Dia tidak membanggakan diri-Nya, Dia tetap mengafirmasi kehadiran Bapa. Dia bilang kepada Maria, “Jangan memegang Aku terus, karena aku belum naik kepada Bapa”. Jadi, makin kita mau membanggakan diri kita sendiri, kekuatan kita sendiri, keberhasilan diri kita sendiri, dan kita menolak anugerah, kita tidak mengucap syukur, artinya kita tidak hidup sebagai manusia, kita tidak hidup manusia di dalam gambar rupa Kristus.
Itulah sebabnya saya sangat suka dengan yang dicatat Paulus dalam 2 Korintus 11. Di situ Paulus mencatat semua pengorbanan dan kesulitan yang dia alami bagi kebenaran Injil, “Saya dipersekusi, saya ditolak, saya dipukul, saya dilempari batu, saya dibuang dari kapal”. Tapi sebelum Paulus menulis bagian itu, dia memberikan disclaimer. Apa disclaimer-nya? “Izinkan saya menjadi orang bodoh dan mencatat semua kesengsaraan yang saya alami bagi Injil”. Maksudnya, ketika Paulus mencatat semua kesengsaraannya bagi Injil, dia sedang menuliskan itu sebagai orang yang bodoh. Kita di dalam Gereja tentunya tidak barbar; di dalam gedung gereja kita tidak akan memamerkan kekayaan kita, perusahaan kita, keuangan kita, rekening bank kita, dsb. Di Gereja kita tidak sebegitu barbar dan kasarlah mainnya; namun apa yang kita banggakan? Our spiritual achievement, our spiritual suffering, “Lihatlah betapa besar pengorbanan aku”. Tapi kalau kita kembali ke Alkitab, catatan pengorbanan Paulus yang dia lakukan demi Injil, itu adalah suatu kebodohan. Kenapa? Karena itu tidak serupa dengan Kristus, itu bukan kehidupan yang mirip dengan Kristus. Kristus mengucap syukur, Dia mengakui anugerah Allah.
Yang kedua, rekonsiliasi. Di dalam kitab Imamat, imam bukan hanya membawa kurban penghapusan dosa bagi dirinya sendiri tapi juga bagi orang-orang di luar dirinya. Inilah yang saya mau tekankan, bagaimana pekerjaan imam adalah membawa dosa-dosa orang di luar mereka, membawa orang-orang mengaku dosa mereka di hadapan Tuhan dan memperolah pengampunan. Perhatikan bahwa di dalam kitab Imamat, imam bukan membawa seluruh umat manusia untuk mengaku dosanya; mereka membawa siapa? Mereka membawa orang-orang Israel, their own community, untuk mengaku dosa mereka. Dengan kata lain, pekerjaan imam yaitu membawa orang untuk mengaku dosa, dan ini bukan sembarangan orang melainkan orang-orang di dalam komunitasnya.
Inilah juga yang dilakukan Kristus; namun Kristus adalah Imam Besar kita, dan komunitas-Nya adalah seluruh dunia. Dia membawa dosa dunia, Dia membawa dunia untuk mengaku dosanya di hadapan Tuhan. Kristus tidak mati bagi malaikat, Kristus bukan membawa malaikat untuk mengaku dosanya malaikat. Kalau pun sampai ada alien di alam semesta ini, Kristus juga tidak membawa dosa-dosanya alien, makhluk asing, ke hadapan Bapa. Kristus membawa dosa komunitas Dia, His people, His creation. Artinya apa? Artinya, kalau kita sebagai manusia mau hidup seturut gambar rupa Kristus, kita juga harus bisa membawa dosa-dosa komunitas kita, membawa orang-orang dalam komunitas kita untuk mengaku dosa mereka dan memohon pengampunan dari Tuhan. Namun demikian, inilah yang sering kali gagal kita lakukan; kenapa? Banyak aspek, tapi saya hanya mau menekankan dua hal saja.
Pertama: kita tidak mau membawa dosa komunitas kita sendiri karena kita takut. Kita takut ditolak komunitas kita sendiri. Kalau kita menegur/membongkar dosa-dosa orang di luar komunitas kita, itu gampang, itu tidak ada resikonya. Kalau kita kritik orang di luar sana, tetap kita masih diterima dalam komunitas kita. Di dalam tembok GRII sangatlah gampang kita mengkritik gereja Kharismatik; bahkan kalau kita mengkritik gereja Kharismatik, kita akan lebih diterima, karena ini rumah kita, ini komunitas saya, maka kita berani-berani saja membongkar dosa-dosa mereka. Kita di dalam tembok GRII, sangat gampang mengkritik dosanya Paus, misalnya, karena kita pasti akan diterima, this is my own community! Itulah juga sebabnya saya di sini berani teriak-teriak, karena kalau saya sampai ditolak GRII Kelapa gading, saya balik saja ke Bekasi Harapan Indah, khotbah di sana, no risk! Lagipula ada safety nett. Gampang-gampang saja. Tapi bagaimana kalau kita justru mengkritik komunitas kita sendiri? Ada resikonya, high risk. Kalau kita mengkritik komunitas kita sendiri, dan kita jadi tidak diterima, lalu kita mau pergi ke mana?? Kalau kita membongkar orang-orang GRII Kelapa Gading sendiri –jangankan cabang-cabang lain tapi GRII Kelapa Gading sendiri– kita menyatakan dosanya, lalu kita ditolak, kita mau ke mana?? We have no way to go, this is our home. Ini rumah rohani saya, kalau saya membongkar dosanya dan saya ditolak, saya ‘gak bisa ke mana-mana lagi. Ini high risk.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, itulah sebabnya Yesus mengatakan, “Serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang, anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya”. Ketika Yesus membawa komunitas-Nya sendiri untuk mengaku dosa mereka, komunitas-Nya menolak dan mebunuh Dia. Yesus tahu harganya, tapi Dia tetap membayarnya. Kenapa? Karena Dia Imam. This is what priest do. Kalau kita tidak mau membawa dosa komunitas kita sendiri ke hadapan Tuhan, melakukan pekerjaan rekonsiliasi di dalam komunitas kita sendiri, artinya kita tidak hidup serupa dengan Kristus Sang Imam, kita tidak hidup sebagai manusia.
Kedua: kita sungkan dan kadang-kadang tidak mau membawa dosa komunitas kita sendiri, karena ada ketidak relaan untuk menerima bahwa kita adalah bagian dari kelompok yang rusak. Ada perbedaan antara mengakui dosa kita sendiri dengan mengatakan ‘saya adalah bagian dari komunitas yang rusak itu’. Mengaku diri sebagai orang berdosa, ini universal. Semua orang yang cukup waras –kecuali dia benar-benar sinting– akan mengakui dengan gampang bahwa ‘saya tidak sempurna, saya ada kekurangan, saya ada dosanya’. Tapi lain halnya dengan mengatakan, “Saya bagian dari komunitas yang juga hancur, saya berbagian dalam satu kelompok yang juga rusak”. Saya tidak pernah dengar dalam gereja ada orang mengatakan, “O, saya dulu pendosa, saya melakukan dosa yang besar, tapi sekarang saya sudah menjadi bagian dari Gereja yang juga berdosa”. Saya tidak pernah dengar itu. Setidaknya, kalau saya berdosa, saya masih berbagian di dalam komunitas yang baik, ‘gak ancur-ancur amat, yang itu masalah dulu, tapi sekarang saya sudah bertobat, dulu saya memang orang berdosa tapi sekarang saya di dalam komunitas yang baik. Itulah sebabnya kita tidak mau, kita sungkan, untuk membawa komunitas kita sendiri menyatakan mengaku dosa, karena kita tidak mau mengakui bahwa we are part of the problem, we are not the solution.
Namun waktu kita kembali pada Pribadi Kristus, Dia berbeda. Dia tahu dosa-dosanya orang Israel, tapi kita tidak melihat Kristus yang menutup-nutupi dosa-dosa mereka. ‘Saya ini Yahudi, nanti Saya malu, masa’ Saya membongkar dosa-dosanya orang Yahudi, Saya juga Yahudi! Nanti kelompok-kelompok orang Yahudi semua dihina!’, tidak ada yang seperti itu dalam Pribadi Kristus.
Dalam pribadi Paulus pun sama; dengan terang-terangan dia langsung menegur Petrus ketika Petrus tidak mau duduk bersama dengan orang-orang percaya non-Yahudi. Paulus ‘kan harusnya berpikir ‘kita sama-sama rasul; kalau saya menegur rasul di depan umum, nanti kuasa/otoritas/kemuliaan kerasulan ini jadi merosot, jadi ‘gak bisa dong; saya diam-diam sajalah, tarik Petrus ke samping, tidak usah menegur di depan umum’. Namun bukan itu yang Paulus lakukan, dia sama-sama rasul tapi dia tidak menututp-nutupi karena statusnya.
Poinnya jelas, menjadi manusia, khususnya menjadi manusia dalam gambar rupa Kristus Sang Imam, artinya kita sungguh-sungguh rela dan mau membawa dosa komunitas kita kepada Tuhan, minta pengampunan dari Tuhan. Sekali lagi, tidak perlu terlalu jauhlah, tidak perlu bicara cabang lain atau gereja lain atau denominasi lain atau bahkan agama lain, tapi our own community. Dan, kalau kita mengatakan, “O, tidak ada-lah, my community is sinless”, itu persis sama dengan orang Farisi, yang anggap diri tidak ada dosa, perfect, tidak ada hal yang kita perlu bertobat, bahkan tidak perlu Juruselamat juga –dan kita menipu diri.
Kedua, dari kitab Yesaya.
Di sini kita bisa melihat manusia sebagai gambar rupa Kristus Sang Nabi. Yesaya 61:1-2 ditulis oleh Yesaya, seorang nabi. Perhatikan dalam bagian ini, ketika Yesaya mencatat ‘Roh Tuhan ada padaku’, itu bukan semata-mata tentang dirinya sendiri; dia mencatat bagian ini untuk memperlihatkan bahwa inilah model seorang nabi. Yesaya mau supaya kita sadar, kalau kita mau menjalankan fungsi kenabian kita, inilah yang harus kita lakukan, kita hidupi. Apa yang dilakukan/dihidupi seorang nabi? Bukan hanya memproklamasikan kebenaran, tapi lebih spesifik lagi, yang dalam kitab Yesaya adalah: membawa kabar baik bagi mereka yang sengsara, remuk hati, ditawan, dipenjara, berkabung, dll. Jadi, seorang nabi itu membawa kabar baik kepada mereka yang di bawah. Ini hal pertama.
Namun menariknya, ketika model nabi ini membawa kabar baik kepada orang-orang di bawah, orang-orang tersebut juga bermacam-macam, bukan cuma satu tipe tapi beda-beda tipe. Ada yang dipenjara, ada yang ditawan, ada yang berduka, ada yang remuk hati, ada yang sengsara. Nabi membawa kabar baik yang sama kepada semua orang yang berbeda-beda ini. Artinya apa? Artinya seorang nabi memerlukan suatu visi yang jelas terhadap semua kebutuhan kelompok-kelompok yang berbeda, sebelum memproklamasikan kabar baik kepada mereka. We first have to know the different needs, the different people, sebelum kita memproklamasikan kabar baik Kristus kepada mereka. Tugas nabi bukan daster one size fit all, daster satu ukuran yang semua sama entah orangnya gemuk atau kurus. Bukan itu tugas nabi. Tugas nabi harus mengenal semua kebutuhan yang berbeda-beda dan membawa mereka, dari tempat mereka, kepada satu kabar baik yang sama. Ini mirip sekali dengan metode penginjilan. Di gereja Harapan Indah kami ada penginjilan rutin, dan kami pakai metode ini. Namun setiap metode penginjilan itu terbatas, tidak ada metode penginjilan ala daster, yang satu cara bisa kita sebar ke seluruhnya. It doesn’t work that way. Tugas seorang nabi juga demikian, harus melihat kebutuhan yang berbeda-beda, tidak langsung main pukul rata.
Ini juga yang kita lihat dalam Pribadi Kristus. Kristus berjumpa dengan orang berbeda, caranya juga berbeda, tujuannya sama yaitu Dia. Tapi Dia bisa melihat kebutuhan yang berbeda-beda, Dia sungguh-sungguh ada sensitifitas, hikmat untuk bisa melihat ‘yang ini diikat oleh uang, yang itu diikat oleh ego, yang ini diikat oleh kuasa, yang itu ditindas’, dll. Yang penting di bagian ini adalah bagaimana Kristus, yang adalah Sang Nabi, ketika Dia mengenal semua problem-problem yang spesifik dimiliki orang yang berbeda-beda itu, Dia bukan dengan cara tiba-tiba jadi kayak Superman yang mengeluarkan kuasa ilahi-Nya dan pakai mata X-ray rohani untuk melihat isi hati mereka; bukan itu yang Yesus lakukan. Yesus, Sang Nabi, ketika Dia bisa mengenal semua konteks-konteks yang berbeda itu, yang Dia lakukan adalah: Dia memberikan waktu, Dia membuka telinga, Dia mencari –Dia mengenal. Lihatlah adegan Dia dengan perempuan Samaria, dengan panjang lebar Dia mau mencari tahu dan sungguh-sungguh menyelidiki apa sesungguhnya masalah mereka.
Sama juga dengan kita, kalau kita mengatakan diri kita adalah manusia dalam gambar rupa Kristus, artinya kita juga perlu mengenal semua problem-problem yang berbeda dari masing-masing orang; dan ini membutuhkan kesediaan kita untuk meluangkan waktu dengan mereka, mendengarkan mereka, sungguh-sungguh mengerti mereka. Sebaliknya, kalau kita tidak mau hidup seperti manusia dalam gambar rupa Kristus Sang Nabi, kita akan memukul rata, komunis, semua dianggap sama, satu pola —saya tidak peduli kamu masalahnya apa, saya tidak peduli halangan kamu apa, saya juga tidak mau dengar kamu ngomong apa, ‘gak usah ngomong, dengar saya bicara, yang penting Yesus adalah jalan, kebenaran, dan hidup, titik. Ini seperti kalau kita main sosmed, Youtube, dan kita sedang mau beli HP maka kita nonton review HP lalu masuk ke comment section untuk melihat feed back lebih banyak lagi dari para pengguna HP tersebut, kita scroll dan scroll, lalu tiba-tiba muncul satu comment yang mengatakan: “Jesus loves you; Jesus the way, the truth, and the life”. Saudara pernah mengalami kayak begitu? Kita jadi garuk-garuk kepala, ini kayak David Coperfield, magic yang tiba-tiba “bum!’ tidak ada konteks, entah siapa pendengarnya. Kalau ini video tentang depresi, tentang bunuh diri, okelah, silakan comment begitu, tapi ini video review HP yang entah siapa yang menonton, kita bilang “Jesus loves you” dan kita merasa sudah bersaksi. Lalu kita bilang, “Saya sudah hidup sebagai seorang nabi, saya sudah memproklamasikan kebenaran-Mu, tapi dunia menolak Engkau”. Yang seperti ini, agak “autis”, bukan nabi. Melihat comment seperti ini, kadang kita kepingin beri ‘like’ juga, toh ini saudara seiman, orang percaya, nanti di surga jadi tetangga kekal selama-lamanya. Tapi ini bukan nabi, Saudara; nabi tidak tembak langsung begitu saja. Seorang nabi tahu, bahkan terhadap kalangan yang lebih rendah, mana yang ditawan, mana yang sengsara, mana yang remuk hati, mana yang dipenjara.
Kenapa kita gagal hidup seperti Kristus Sang Nabi? Jawabannya simpel: karena kita kurang kasih. Karena kita kurang kasih, maka kita juga tidak mau menanggung masalah orang lain. Kehidupan saya sudah cukup sulit, tidak perlu beritahu saya masalah kamu! Kamu cuma perlu tahu Injil yang saya kabarkan, that’s it, done! Izinkan saya menyelesaikan tugas saya sebagai orang Kristen; we don’t have to respond anything. Tetapi, kalau kita sungguh-sungguh mengerti siapa Kristus Sang Nabi itu, Dia itu dipenuhi dengan cinta kasih. Sebelum Dia menjadi prophetic, Dia itu mengasihi, Dia mengenal, Dia mendengarkan. Artinya, kalau kita sungguh-sungguh mau menjadi prophetic, maka to be prophetic, you have to be pastoral. Menjadi manusia di dalam gambar rupa Kristus Sang Nabi, menjalankan kenabian kita, tidak cukup hanya berani mati; menjadi nabi harus dipenuhi dengan cinta kasih. Ada kasih, ada hati seorang gembala yang mengenal, baru proklamasi. To be prophetic, you have to be pastoral.
Ketiga, dari kitab Samuel.
Di sini mengenai manusia dalam gambar rupa Kristus Sang Raja. Bukan hanya dalam 1 Samuel 2:10, dalam seluruh 1 Samuel dan 2 Samuel kita bisa melihat gambaran sangat jelas bahwa pengurapan secara langsung berkaitan dengan jabatan raja. Dan, di dalam kitab Samuel, apakah atribut yang paling penting yang dimiliki raja Israel? Ketaatan. Kemampuan adalah masalah sekunder; masalah utama adalah ketaatan. Saul dibuang karena dia tidak taat. Daud disebut sebagai raja yang baik, orang yang berkenan di hati Tuhan, adalah karena dia taat, dia bisa belajar taat.
Kalau Bapak/Ibu ada kesempatan baca 1 Samuel 30, cerita tentang bagaimana Daud ketika berada di tengah-tengah orang Filistin, lalu orang Amalek datang merebut semua anak, istri, dan hartanya. Bukan cuma anak, istri, dan harta Daud sendiri, tapi juga semua pengikut-pengikutnya. Di dalam pasal 30 itu kita melihat bagaimana Daud akhirnya bisa menang, merebut kembali semua yang sudah direbut itu. Lalu apa sebetulnya tujuan utama pasal 30 ini, kenapa penulis Alkitab harus mencatat cerita ini? Tujuan utamanya adalah memperlihatkan kepada kita, bagaimana dalam diri Daud ada seluruh kualitas yang harus dimiliki seorang raja yang baik; dia berkuasa, dia bisa mengalahkan, dia bisa merebut. Dia adil; ada beberapa ratus orang yang tidak ikut perang pun, tetap dia bagi. Dia luas hati; semua hartanya juga dia bagi kepada penatua-penatua di Yehuda. Ini sangat berbeda dengan gambaran Daud di pasal 27-29. Di pasal-pasal tersebut, Daud tidak berguna, dia melarikan diri dari Tuhan, tinggal di tengah-tengah orang Filistin, hidup melalui penipuan, dia harus terus-menerus menipu Akhis. Dan sebagai pemimpin, dia pun tidak bisa melindungi pengikutnya sendiri, semuanya dirampas habis. He is a failure. Lalu kenapa di pasal 30 tiba-tiba Daud bisa jadi begitu hebat? Perbedaannya cuma satu: di pasal 30 Daud mulai taat kembali. Yang membuat Daud menjadi raja yang baik adalah ketaatannya kepada Tuhan. Di dalam Pribadi Kristus, kita juga melihat prinsip yang sama; sebagai Raja, di dalam natur manusia-Nya, atribut yang paling penting adalah ketaatan-Nya kepada Bapa.
Dalam Roma 1:3-4 dikatakan: ‘tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan (diproklamasikan) oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita.’ Banyak orang ketika membaca bagian ini, mereka bingung, bukankah Kristus itu Sang Anak Allah, kenapa sekarang Dia perlu diproklamasikan lagi sebagai Sang Anak Allah. Ini sebabnya banyak bidat memakai ayat ini sebagai dasar untuk mengatakan bahwa Yesus adalah manusia biasa, lalu setelah Dia mati dan bangikit, Dia menjadi Tuhan. Namun pastinya ini tafsiran sampah, kita tidak bisa terima. Ayat ini sedang menekankan kemanusiaan Kristus, natur manusianya Kristus. Dari perspektif natur manusianya Kristus, Yesus dinyatakan/ diproklamasikan sebagai Anak Allah. Artinya apa? Artinya Dia sekarang berhak mewarisi takhta Kerajaan Allah, He is the successor of the throne.
Di dalam kekaisaran Romawi, kaisar adalah tuan, kurios, lord; dan penerusnya disebut sebagai the son of god (anak allah). Penerus ini bukan dilanjutkan dengan cara nepotisme, artinya bukan anaknya yang menjadi kaisar, melainkan orang yang dipilih sesuai dengan kriteria dan keunggulannya. Di antara semua orang, mereka melihat yang paling unggul, paling pintar, paling berkemampuan, paling banyak jasanya, dan orang ini akan diadopsi oleh kaisar, dan disebut the son of god. Dalam konteks inilah Yesus disebut sebagai Anak Allah, artinya dari natur manusianya Yesus, Dia memiliki keunggulan yang paling tinggi, melampaui semua orang. Itulah sebabnya Dia diproklamasikan sebagai Sang Anak Allah.
Pertanyaannya: apa keunggulan Kristus, jasa Kristus, dari natur manusia Dia, sampai Dia layak diproklamasikan sebagai Sang Anak Allah? Jawabannya simpel juga: ketaatan; karena Dia taat kepada Bapa secara sempurna sampai mati. Artinya, kalau kita mau hidup sebagai manusia dalam gambar rupa Kristus Sang Raja, kalau kita mau hidup seperti seorang raja, kita perlu taat kepada Allah. Dan, ini langsung melawan apa yang dihidupi dalam dunia. Di dalam dunia ini, hidup sebagai raja berarti kita tidak perlu taat kepada siapapun. Raja itu tidak perlu minta maaf kepada siapapun, Raja tidak berutang kepada siapapun. Raja tidak perlu taat kepada siapapun, orang lainlah yang harus taat kepada raja. Raja itu harus di atas. Ketaatan, itu pekerjaannya budak, pekerjaannya pegawai. Raja itu tidak perlu taat. Raja itu semena-mena. Taat, apalagi taat sampai mati, itu bagiannya orang remeh, that’s not kingly at all. Namun itu bukanlah artinya hidup sebagai manusia dalam gambar rupa Kristus Sang Raja, di dalam iman Kristen. Kalau kita mau hidup seperti seorang raja, sama seperti Kristus adalah Raja, kita bukan hanya perlu taat, tapi taat sampai akhir. Itulah raja yang sejati, karena itulah juga Kristus yang kita sembah.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, bagian ini sangat cocok dengan masa Lent, di mana Lent mengingatkan kita bahwa iman Kristen tidak bisa dipisahkan dengan kematian. Lent tidak bisa dipisahkan dengan kematian. Raja yang kita sembah, Yesus Kristus, bukan Raja yang memerintahkan orang dan memaksa mereka untuk mati, melainkan justru Dia sendiri yang taat sampai mati, supaya kita bisa diselamatkan. Itulah Raja kita, Dia taat sampai mati secara sempurna, supaya kita bisa hidup. Artinya, kalau kita sungguh-sungguh mau hidup sebagai manusia dalam gambar rupa Kristus Sang Raja, kita juga harus melakukan hal yang sama. Manusia lama kita harus benar-benar dimatikan. Manusia lama kita, yang tidak mau taat, yang tidak mau mengasihi yang tidak mau bersandar, yang mengeraskan hati, itu harus mati; and the new person in Christ, the new human being, kalau kita mau hidup sebagai raja seperti Kristus, kita juga dengan sukarela dan sukacita taat sampai akhirnya.
Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading