Mazmur 37 ini ada keunikannya sendiri, sebagaimana juga mazmur-mazmur yang lain. Kalau Saudara membacanya, sebetulnya mazmur ini bukan merupakan suatu doa melainkan suatu pengajaran bijaksana. Di dalamnya Saudara melihat eleman-eleman yang sangat khas teologi bijaksana, misalnya: ada peringatan, ada ajaran, ada instruksi, ada janji yang bersyarat (conditional) bagi mereka yang taat, ada perkataan-perkataan komparatif bahwa yang satu lebih baik daripada yang lain, dan ada semacam laporan biografis di dalamnya. Secara ringkas, Mazmur 37 ini memberikan suatu gambaran akhir hidup atau “nasib” orang benar dan orang fasik.
Kita akan menyoroti beberapa ayat yang sudah disebutkan di atas, tapi untuk lengkapnya tentu Saudara perlu membaca semuanya.
Ayat 1 dimulai dengan suatu ajakan, atau lebih tepatnya suatu peringatan, yaitu “Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang”. Waktu orang percaya melihat nasib yang sementara dari orang-orang jahat yang berbuat curang, ada pencobaan untuk berpikir ‘koq, mereka tidak segera ditimpa malapetaka; koq, hidup mereka malah sepertinya baik-baik saja’. Menarik juga bahwa Mazmur 37 ini sangat berkaitan dengan Mazmur 73 –yang angkanya tinggal dibalik, 37 jadi 73– karena dalam Mazmur 73 Saudara juga membaca pergumulan orang benar melihat kehidupan orang fasik yang sepertinya koq, lancar-lancar saja. Hal ini bisa jadi semacam pencobaan bagi orang benar untuk meninggalkan jalannya yang benar itu. Bagi orang-orang demikianlah, Mazmur 37 ini ditulis, untuk “jangan marah, jangan iri hati”, tapi sebaliknya, “percayalah kepada Tuhan dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia” (ayat 3).
Judul pembahasan kita ini “Orang Benar akan Mewarisi Negeri”, tapi sebelum bicara tentang ‘mewarisi negeri’, di ayat 3 tadi kita baca bahwa kita
musti ‘diam di negeri’. Di sini kita perlu mengerti apa artinya ‘diam di negeri’, apa artinya ‘mewarisi negeri’. Di dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia dipakai istilah ‘negeri’, sedangkan terjemahan bahasa Inggris memakai kata ‘land’ atau ‘tanah’. Kalau memakai istilah ‘tanah’ (land), maksudnya ini berkaitan dengan tanah perjanjian (promised land). Luther menafsir, di sini ada semacam ajakan untuk tetap tinggal di negeri, ada larangan untuk tidak keluar dari negeri. Tentu saja kita tidak boleh menafsir secara harfiah dalam arti orang tidak boleh jadi imigran di negara lain, tidak boleh pergi ke luar negeri, dan harus selalu tinggal di negara sendiri; kita musti menafsirnya dalam pengertian spiritual.
Larangan untuk tidak meninggalkan negeri ini apa artinya, kita musti menafsirnya. Pertama, hal ini mengingatkan kita untuk tidak jadi orang oportunistis, yang selalu mencari kesempatan-kesempatan untuk menguntungkan diri sendiri, tidak ada solidaritas dengan orang-orang susah yang ada di sekitar kita, tidak peduli dengan mereka, ‘kalau ada fasilitas yang lebih baik untuk keluarga saya, untuk kehidupan saya, ya, sudah, saya tinggal saja, tidak peduli orang di sekitar saya susah, biarkan saja mereka susah’. Tentang hal ini, mungkin satu contoh yang baik bisa Saudara baca di dalam kitab Rut. Di pasal pertama, Saudara membaca waktu Israel sedang dihukum oleh Tuhan karena tidak taat sehingga mereka mengalami masa kelaparan sebagai pendidikan Tuhan, di situ keluarga Elimelekh meninggalkan Betlehem, pergi ke Tanah Moab. Mereka tidak tinggal di negeri bersama dengan umat Tuhan. Mereka mencari jalan sendiri yang menurut mereka akan lebih baik, sedangkan nasibnya umat Tuhan ‘ya, terserahlah, bukan urusan saya’. Satu hal yang mereka tidak sangka, di Tanah Moab terjadi kecelakaan yang lain lagi. Orang seringkali tidak berpikir panjang bahwa di tempat mana saja sebetulnya keadaan tidak lebih baik. Tidak ada satu negara pun yang di situ kita akan terluputkan dari pergumulan, lalu semuanya akan lancar, fasilitasnya menanti –semua ada pergumulannya.
Dengan demikian, perkataan “diamlah di negeri” ini artinya apa dalam pengertian spiritual? Hal ini dimengerti di dalam arti negeri kebenaran, negeri bijaksana. Ini adalah jalan bijaksana yang diajarkan Tuhan, untuk kita jangan meninggalkan negeri ini. Jangan meninggalkan jalan kesetiaan, negeri kesetiaan. Jangan meninggalkan negeri terus-menerus berbuat baik dengan tekun dan meninggalkan kejahatan. Jangan meninggalkan negeri percaya serta beriman kepada Tuhan, dan beralih pada negeri kemarahan. Jangan pergi ke negeri iri hati. Akan berakibat buruk dalam kehidupan kita, kalau kita pergi ke negeri-negeri itu. Orang yang bertekun, yang setia, dia diam di negeri –negeri kebijaksanaan, negeri kebenaran itu– dia akan ada kegembiraan di dalam Tuhan. Bagian ini terjemahan bahasa Inggrisnya bagus sekali, dikatakan: “delight yourself in the LORD” (ayat 4). Orang yang setia diam di negeri, dia ada kegembiraan karena Tuhan; dan orang yang kegembiraannya di dalam Tuhan, Tuhan akan memberikan kepadanya apa yang diinginkan hatinya. Jadi, ini adalah undangan kesetiaan untuk berjalan di jalan kebenaran; dan itu berarti sebagaimana dikatakan di ayat 8, kita berhenti marah, meninggalkan panas hati. Hidup di dalam dunia ini, kita menyaksikan banyak ketidakadilan, kita menyaksikan orang jahat tidak segera mendapatkan penghukuman, dan itu bisa menimbulkan panas hati; tetapi Alkitab mengatakan, jangan pergi ke negeri itu.
Ayat 8b mengatakan: “jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan”. Sebaliknya, di ayat 9 dikatakan: “tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri.” Jadi di sini ada double perspective; di satu sisi, dikatakan “diamlah di negeri” –berarti kita sudah diam di negeri–tapi di sisi lain dikatakan juga bahwa kita akan mewarisi negeri –berarti sesuatu yang akan datang. Ini konsep klasik ‘already and not yet’. Kita bukan berpikir secara ‘either/or’, kalau saya sudah diam di negeri berarti tidak usah bicara soal akan mewarisi negeri lagi –Alkitab tidak membahas seperti demikian. Diam di negeri bukan berarti jadi sesuatu yang statis, ‘O, sudah di negeri, jadi tidak perlu lagi aspek future akan mewarisi negeri’ –Alkitab tidak berpikir seperti itu. Dalam konsep ini, kita juga bisa mengatakan kita sudah di dalam Tuhan, tapi bukan berarti kita tidak perlu lagi mengejar Tuhan. Paulus mengerti hal ini dengan baik. Waktu Saudara membaca surat-suratnya, kita tahu, dia pasti punya keyakinan dirinya sudah di dalam Tuhan, tapi dia masih tetap mengejar kesempurnaan itu di dalam Tuhan.
Kekristenan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis, ada pertumbuhan, ada pergerakan. Inilah yang menyelamatkan kita dari kebosanan-kebosanan. Saya percaya, kita semua punya pengalaman yang tadinya menginginkan sesuatu, lalu kita mendapatkannya, dan tidak lama setelah itu, mungkin 2 bulan atau 3 bulan, kita mulai jadi bosan dengan apa yang kita dapatkan tadi. Tapi kalau Saudara membaca Mazmur 37 ini, pemazmur mengajarkan untuk kita tetap diam di dalam negeri, dan kita akan mewarisi negeri itu di dalam segala kelimpahannya. Jadi, menikmati negeri yang dijanjikan Tuhan adalah sesuatu yang belum selesai dalam kehidupan kita; kita masih akan mewarisi negeri. Siapa yang akan mewarisi negeri? Yaitu mereka yang bertekun untuk menanti-nantikan Tuhan (ayat 9).
Waktu kita membaca Khotbah di Bukit, di situ Yesus membangun teologi dari Mazmur 37, termasuk mulai dari sabda bahagia yang pertama “berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah –atau miskin rohani– merekalah yang akan memiliki Kerajaan Allah.” Namun hubungan yang lebih dekat lagi ada di ayat 11 mazmur ini, yang memang dalam bahasa Indonesia kurang jelas, sementara dalam bahasa Inggris jelas sekali keterkaitannya. Ayat 11: “Tetapi orang-orang yang rendah hati –atauterjemahan bahasa Inggris ‘lemah lembut’— akan mewarisi negeri dan bergembira karena kesejahteraan yang berlimpah-limpah.” Bagian ini terasa sangat familier dengan sabda bahagia dalam Khotbah di Bukit, yang dikatakan: “berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi”. Kalimat dalam sabda bahagia itu ternyata bukan orisinal tapi sudah pernah dibicarakan di dalam Mazmur 37, dan Yesus meneguhkan. Kalau kita membaca dan merenungkan kembali Khotbah di Bukit “orang yang lemah lembut, akan memiliki bumi” dan mengertinya dari perspektif Mazmur 37, maka arti ‘lemah lembut’ ini sangat jelas, yaitu orang yang tidak dikuasai amarah dan iri hati. Tapi waktu orang melihat koq keadilan Tuhan tidak segera dinyatakan dan dia menjadi marah, ini adalah lawan kata dari ‘orang yang lemah lembut’.
Salah satu karakteristik kelemahlembutan adalah kesanggupan untuk menunggu dengan sabar. Orang yang tidak mau menunggu dengan sabar, yang marah-marah, yang iri hati, inilah orang yang tidak diam di dalam negeri melainkan pergi –pergi ke negeri amarah. Ini juga salah satu gambaran dalam kitab Injil tentang orang-orang yang ditegur Tuhan Yesus tapi tidak mau bertobat. Mereka bukan tidak ada kesempatan untuk mendengar firman Tuhan, tapi waktu mereka mendengar firman Tuhan, dinyatakan dosanya, diundang untuk bertobat, mereka bukannya lemah lembut, mereka malah marah-marah. Orang yang dikuasai kemarahan seperti ini, tidak akan mewarisi negeri. Berbahagialah kalau kita orang yang lemah lembut, yang dilembutkan oleh Tuhan, kita bisa dikoreksi kehidupannya, maka kita mewarisi negeri.
Orang-orang fasik digambarkan di dalam ayat 14 misalnya, dia menghunus pedang, melentur busur mereka, merobohkan orang-orang sengsara dan orang-orang miskin. Saudara perhatikan di sini, kontras orang benar dan orang fasik. Orang fasik selalu mengorbankan orang-orang kecil yang tidak ada kekuatan (powerless). Orang fasik selalu berada di dalam negeri kebesarannya sendiri, kekuatan mereka sendiri, dan mereka menindas orang-orang yang lemah. Sebaliknya, orang-orang benar ada karakteristik memiliki belas kasihan terhadap orang-orang kecil. Saudara lihat kehidupan Yesus Kristus sendiri, Dia bukan tidak punya kesempatan untuk menjalin hubungan dengan orang-orang penting, dengan pembesar-pembesar Israel; Dia sangat punya kualifikasi untuk itu. Mungkin kalau Yesus bersahabat dengan orang-orang itu, dengan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, Dia tidak akan dibunuh di atas kayu salib, Dia akan aman hidupnya. Kita tahu di dalam Injil, memang Yesus tidak membenci mereka, Yesus mau merangkul mereka, tapi kita melihat keindahan dari pelayanan Yesus Kristus adalah karena Dia dekat dengan orang-orang kecil. Dalam Mazmur 37 ayat 14 ini dikatakan, orang-orang fasik itu merobohkan orang-orang miskin, sedangkan Yesus, dari mulut-Nya mengatakan “berbahagialah orang yang miskin karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga”. Sangat kontras.
Selanjutnya, ayat 16: “Lebih baik yang sedikit pada orang benar dari pada yang berlimpah-limpah pada orang fasik”. Kualitas kehidupan seseorang di hadapan Tuhan bukan bergantung pada berapa banyak yang ada pada dia, kualitas suatu gereja juga bukan dinilai dari berapa banyak yang ada pada dia, melainkan apakah dia berlaku benar meskipun hanya sedikit, atau dia berlaku fasik. Itulah yang dilihat oleh Tuhan. Mungkin ada begitu banyak hal yang berlimpah dalam kehidupan kita, tapi kefasikan menyertai kita, kita hidup di negeri orang fasik; lalu apa artinya itu semua?? Mazmur ini mengatakan, lebih baik hanya sedikit saja yang ada pada kita, tetapi kita berjalan di negeri orang benar. Memang kita tidak akan segera, di dalam waktu kita, melihat apa reward-nya atau manfaatnya mempertahankan kehidupan yang bersih, tapi ayat 18 mengatakan bahwa milik pusaka orang yang saleh tetap selama-lamanya, mereka akan mewarisi negeri.
Orang fasik bisa saja hartanya berlimpah-limpah, bisa saja punya kekuatan militer yang tidak bisa dilawan, tapi itu tidak selama-lamanya. Di dalam Alkitab digambarkan, keindahan mereka seperti keindahan padang rumput yang akan habis lenyap bagaikan asap (ayat 20). Alkitab mengajarkan kita untuk berpikir panjang, jangan short sighted. Kita bisa memiliki harta yang luar biasa banyak tapi kemudian akan melayang lenyap pada generasi berikutnya, lalu untuk apa mengejar sesuatu yang seperti ini.
Pemazmur kemudian menyaksikan –termasuk juga di dalam biografinya sendiri– seperti yang dia katakan di ayat 25: “Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti”. Saudara perhatikan, bahkan keturunan orang benar itu dipelihara oleh Tuhan. Tapi kita sering membaca cerita tentang orang kaya, yang kekayaannya diperoleh dengan tidak benar, dengan kehidupan yang fasik, lalu kemudian keturunannya entah seperti apa. Meninggalkan kekayaan kepada anak cucu kita, itu warisan yang alangkah terbatasnya. Sebaliknya, mengajarkan mereka untuk tetap diam di negeri kebenaran, di negeri bijaksana, inilah milik pusaka yang tidak akan hilang. Apa yang kita pikirkan tentang keturunan kita, tentang anak cucu kita? Apa yang kita pikirkan untuk kita tinggalkan kepada mereka? Warisan yang cukup? Kalau bisa, saya sediakan pabrik atau pekerjaan sedemikian rupa sehingga anak-anak saya ada pekerjaan yang cukup secure? Kalau bisa, anak-anak saya tidak usah jadi pegawainya orang lain, tapi dia bisa jadi bos, jadi enterpreneur? Saudara, bagi Alkitab hal-hal seperti itu tidak penting; yang penting adalah bagaimana mengajarkan kepada mereka berdiam di dalam negeri orang benar.
Bukan saja keturunan orang benar tidak mengemis, ayat 26 mengatakan, orang benar menaruh belas kasihan dan memberi pinjaman, anak cucunya menjadi berkat. Apa artinya kalau orang punya banyak sekali harta tapi dia tidak bisa menjadi berkat? Lebih baik dia memiliki sedikit, tapi yang sedikit itu masih bisa dibagi untuk memberkati orang lain; itu jauh lebih indah.
Beberapa waktu lalu kita mendengar berita Christopher Plummer, yang memerankan Kapten Von Trapp dalam film The Sound of Music, meninggal dunia. Selain film tersebut, Plummer juga pernah memerankan Paul Getty, yang ceritanya tidak kalah menarik. Paul Getty ini seorang yang kaya, dan dalam zamannya dia termasuk salah satu yang paling kaya di Amerika; kalau Saudara pergi ke Los Angeles, di sana ada Getty Museum. Tapi dia seorang kaya yang terkenal sangat pelit. Pernah ada satu kejadian, cucu Paul Getty diculik. Tentu saja penculiknya tahu ini adalah cucunya Paul Gettty, dan mengharapkan tebusan besar, tetapi Paul Getty tidak mau keluar uang. Dia tidak peduli cucunya diculik. Dia malah memberikan argumentasi, kalau sekali ini dia berikan uangnya, akan begini terus kejadiannya, maka lebih baik tidak. Sampai ketika penculik itu memotong telinga si cucu dan dikirim kepadanya, barulah Paul Getty mulai mengeluarkan uang –setelah kuping cucunya hilang satu.
Saudara lihat, orang bisa punya kekayaan yang sedemikian besar, tapi apa artinya kalau dia sendiri tidak bisa memberi. Apa artinya harta yang berkelimpahan tapi dia sendiri tidak bisa membagi. Perhatikan ayat 26 tadi, dikatakan, orang benar dan keturunannya “menaruh belas kasihan dan memberi pinjaman, dan anak cucunya menjadi berkat”. Mari kita mendoakan anak cucu kita, bukan mendoakan supaya tidak jadi pegawai atau supaya jadi bos besar –bukan hal itu, itu tidak penting– tapi mendoakan supaya mereka menjadi manusia-manusia yang ketika hadir, mereka menjadi berkat. Bukan sekedar menjadi sukses menurut dunia tapi tidak bisa menjadi berkat; untuk apa?? Sebaliknya, kehidupan yang menjadi berkat, itulah yang betul-betul kesuksesan di mata Tuhan. Kita berharap Gereja kita juga seperti itu, Gereja yang bisa menjadi berkat. Di dalam saat-saat seperti ini, banyak orang kesulitan, banyak orang dilanda krisis; Saudara dan saya dipanggil di dalam kekuatan kita, di dalam porsi yang ada pada kita, untuk kita bisa berbagian. Dengan kehidupan yang demikian, Tuhan disenangkan, Tuhan dipermuliakan.
Terakhir, sebagaimana tadi sudah kita bahas, dikatakan dalam ayat 29, “Orang-orang benar akan mewarisi negeri dan tinggal di sana senantiasa.” Apa kebahagiaan dari janji ini? Apa upahnya orang yang dengan setia tinggal berdiam di negeri? Upahnya yaitu dia boleh tinggal di sana dan mewarisi negeri ini –negeri kebenaran– selama-lamanya. Saudara bisa menghitung, di dalam Mazmur 37 ini dikatakan berulang-ulang mewarisi negeri, mewarisi negeri, mewarisi negeri. Sebaliknya, bagaimana nasib orang fasik? Dikatakan “orang fasik akan dilenyapkan”. Orang fasik bukan cuma hartanya akan lenyap, dia sendiri pun akan lenyap; sedangkan orang-orang benar, orang yang hidup setia di dalam Tuhan, milik pusakanya akan dipeliharakan Tuhan selama-lamanya.
Kiranya ini menjadi dorongan untuk kita semua tetap berlaku setia di hadapan Tuhan; tidak pergi ke negeri kemarahan, negeri iri hati, negeri panas hati, dsb., tapi tetap setia berdiam di negeri. Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading