Mazmur ini adalah satu mazmur yang unik di dalam kumpulan mazmur pasal 1-40, bahkan mungkin kita bisa melihat ini mazmur yang paling pesimis di antara mazmur-mazmur yang lain. Tetapi yang menarik bagi kita, mazmur seperti ini justru dimasukkan ke dalam kanonisasi.
Ada komentator yang memberikan sub-judul sebagai “mazmur eksistensial”; dan memang ada tema-tema yang mirip sekali dengan tema yang dibahas dalam aliran eksistensialisme abad ke-20. Salah satu karakteristik eksistensialisme adalah tema-tema seperti ‘kebersalahan manusia’, ‘kegagalan manusia’, ‘kekurangan manusia’, dan terutama ‘kematian’. Kalau di dalam konteks Perjanjian Lama, kemiripannya dengan kitab Ayub dan kitab Pengkhotbah. Misalnya kalimat di ayat 6 (5) “Ya, setiap manusia hanyalah kesia-siaan!”, ini mirip sekali dengan kitab Pengkhotbah; lalu tentang kehidupan manusia yang dipenuhi kesusahan, ini mirip dengan kitab Ayub.
Hal yang menarik, menurut Mazmur ini keberadaan atau bahkan kedekatan Allah justru dianggap sebagai beban yang berat. Kalau menurut teologi ortodoksi, kalimat-kalimat yang demikian sepertinya tidak cocok untuk masuk dalam kanonisasi Firman Tuhan. Tapi sebagaimana Saudara baca dalam kitab Ayub, di situ kita juga mendapati kalimat-kalimat yang jauh dari ortodoksi, namun dicatat dalam Firman Tuhan. Saudara, Kekristenan bicara tentang kejujuran, bukan bicara kalimat-kalimat yang theologically correct, yang selalu anak baik-baik, dsb. –bukan itu. Dan yang mengagumkan, justru kalimat-kalimat seperti ini, yang jauh dari ortodoksi, bisa dimasukkan dalam kanonisasi Alkitab; ini sangat mencengangkan.
Secara penempatan waktu, kalau menurut Oeming, ini salah satu mazmur yang sangat belakangan, kira-kira abad 2 atau abad 1 sebelum Kristus. Mazmur ini banyak mengangkat painful side of wisdom. Seperti juga di dalam kehidupan kita, waktu kita berusaha menaati Firman Tuhan, adakalanya kita merasa ‘koq, seperti tidak ada keuntungannya, malah orang-orang yang tidak takut akan Allah itu hidupnya seperti berhasil’. Yang menarik, kalau kita menyelidiki mazmur-mazmur yang sangat belakangan di dalam periode ini, ada dua kecenderungan yang arahnya boleh dikatakan sama sekali berbeda. Ada mazmur yang lebih ke arah apokaliptik, pengharapan eskatologis yang sangat kuat, seakan-akan ini sudah zaman yang terakhir; atau arah yang diambil Mazmur 39 ini, yaitu semacam skeptis yang tidak ada penghiburannya. Kita boleh saja menempatkan mazmur ini misalnya sebagai mazmur ratapan atau mazmur keluhan, tapi kalau Saudara membacanya, di sini seakan motif “percaya”-nya hampir tidak ada; begitu juga yang tipikal dalam mazmur-mazmur lain, misalnya janji kalau Tuhan menolong maka dia akan melakukan ini dan itu, nazar, ikrar, dsb., semua itu absen dalam Mazmur 39 ini.
Ada beberapa usulan mengenai kapan setting in life dari Mazmur 39 ini. Salah satu yang dusulkan adalah ketika Daud musti melarikan diri dari anaknya sendiri, Absalom. Dalam hal ini, Mazmur 39 jadi suatu mazmur yang mengekspresikan depresi di masa tua, yang harus menerima keadaan seperti itu. Saya pribadi belum sampai di masa tersebut, tapi ada orang-orang yang di masa tuanya mengalami kekecewaan karena anak-anaknya tidak seperti yang dia harapkan, dsb., lalu dia mulai masuk ke dalam depresi seperti di sini. Memang, mengekspresikan keluh-kesah seperti ini pun ada tempatnya, menurut kitab Mazmur; namun ketika kita membaca mazmur ini, kita mendapati ini satu mazmur yang sangat berani menyatakan ratapan sedemikian pesimis dan sedemikian gelapnya. Meskipun demikian, di dalam mazmur ini tetap ada bagian-bagian di mana pemazmur menjaga diri untuk tidak mempermalukan nama Tuhan, khususnya di hadapan orang fasik.
Ayat 1 (2), dikatakan: ‘Pikirku: “Aku hendak menjaga diri, supaya aku jangan berdosa dengan lidahku; aku hendak menahan mulutku dengan kekang selama orang fasik masih ada di depanku.”’ Maksudnya, pemazmur tidak mau memberikan dorongan/alasan untuk orang fasik itu mencela Allah karena kenyataannya Allah seperti meninggalkan dia di dalam penderitaan. Itu sebabnya pemazmur menahan diri, dia tidak mau berkeluh-kesah dengan disaksikan orang fasik, karena itu menjadi batu sandungan, mempermalukan nama Tuhan. Tapi, tidak bisa ditutupi bahwa penderitaannya terasa semakin berat waktu dia menahan diri dari berkata-kata. Kemudian di ayat 4 (5) dia mengatakan: ”Ya TUHAN, beritahukanlah kepadaku ajalku, dan apa batas umurku” –sangat mirip dengan kitab Ayub pasal 3. Sebetulnya, kalimat ini boleh diintepretasikan sebagai semacam permintaan implisit agar dirinya mati dan berakhir penderitaannya. Dia sendiri mengatakan di ayat tersebut, betapa fananya manusia, betapa hidup itu seperti sesuatu yang hampa, dan setiap manusia hanya kesia-siaan, melayang lenyap.
Kalau saya bandingkan dengan terjemahan yang lain; ayat 5 (6) di dalam bahasa Inggris dikatakan: “Behold, you have made my days a few handbreaths (seperti nafas yang hanya sejengkal)”. Breath/nafas adalah suatu hembusan yang lemah, yang terlalu tidak berarti untuk diperhatikan karena saking lemahnya. Lalu selanjutnya: “and my lifetime is as nothing before you”; dalam bahasa Indonesia: “bagi-Mu hidupku seperti sesuatu yang hampa.”
Pemazmur bahkan menggunakan paradigma platonic (platonic philosophy)waktu menyebut tentang hidupnya “ia adalah bayangan yang berlalu” (“a man goes about as a shadow”) di ayat 6 (7). Maksudnya, dalam pemikiran Plato (filsafat platonik), bayang-bayang (shadow) itu bukan sesuatu yang riil, bukan yang sesungguhnya, bukan dunia ideal yang nyata.Dengan kata lain, ini menggambarkan kehidupan manusia sebagai suatu gambaran yang menipu, tidak riil –betapa ini gambaran yang luar biasa pesimistis. Pesimisme Mazmur 39 ini tidak kalah dari pesimismenya Pengkhotbah. Meskipun demikian, kita di dalamnya ada semacam wisdom theology yang juga nampak dalam keluhan ini –bagaimanapun ini adalah wisdom literature. Hal ini terlihat waktu kita membaca lanjutan ayat 6 (7), bahwa manusia hanya mempeributkan yang sia-sia, menimbun tapi tidak tahu siapa yang meraupnya nanti. Ini adalah suatu peringatan bijaksana. Lalu, kalau mazmur ini diletakkan dalam setting in life Daud yang sangat kecewa terhadap Absalom, maka ini adalah kehidupan orangtua yang sudah membangun sedemikian rupa dan mempersiapkan supaya bisa dinikmati oleh anaknya, tapi anaknya ternyata jadi rusak dan malah mengkhianati dirinya; dan di dalam kekecewaan seperti inilah Daud mengatakan kalimat ini: “hanya mempeributkan yang sia-sia dan menimbun, tetapi tidak tahu, siapa yang meraupnya nanti” –seperti jadi tidak rela kalau diraup oleh anaknya sendiri. Tapi kemudian ada pengharapan di tengah-tengah keadaan yang sangat pesimistis seperti ini: “Dan sekarang, apakah yang akan kunanti-nantikan, ya Tuhan?”, lalu jawabannya: “Kepada-Mulah aku berharap” (ayat 7 (8) –seperti ada secercah pengharapan. Namun ketika kita membaca lebih jauh lagi, kita terkejut dengan yang pemazmur maksudkan tentang pengharapan tersebut, karena dalam kalimat-kalimat selanjutnya kita membaca bahwa pemazmur melihat Tuhan sebagai sosok yang mengejar-ngejar dirinya dengan penghukuman akibat pelanggarannya. Dia melihat Tuhan sebagai sosok yang tidak melepaskan dirinya dari pelanggarannya. Bahkan di ayat 10(11) dia menyebut Tuhan sebagai yang memukul: “Hindarkanlah aku dari pada pukulan-Mu, aku remuk karena serangan tangan-Mu”. Lalu ayat 11 (12): “Engkau mengajar seseorang dengan hukuman karena kesalahannya. Dan menghancurkan keelokannya sama seperti gegat”. Kalimat seperti ini adalah kalimatnya orang yang depresi; bahkan pemazmur tidak bisa melihat gambaran positif tentang Tuhan di sini.
Sekali lagi, yang sangat mengagumkan kita adalah betapa tulisan yang sangat jauh dari ortodoksi ini bisa masuk ke dalam kanonisasi. Mamzur ini bukan cuma dicatat, tapi dicatat untuk dinyanyikan –karena ini adalah suatu mazmur. Jadi, di dalam tuntunan Roh Kudus, nyanyian seperti ini perlu, supaya orang yang depresi –termasuk juga waktu dia berpikiran sangat negatif tentang Tuhan– tetap ada tempatnya. Ada keindahan di sini. Ini orang yang depresi, moody, yang di satu sisi skeptis, merasa seperti tidak ada pertolongan, dan di sisi lain masih berharap kepada Tuhan. Di satu sisi melihat Tuhan sebagai sosok yang mengejar-ngejar dan menghancurkan dirinya, di sisi lain dia berteriak kepada Tuhan untuk mendengarkan doanya, di ayat 12 (13). Dia tetap berharap kepada Tuhan dalam keadaan seperti ini. Bahkan yang menarik, di ayat 12 (13) –ini satu metafor yang penting—dia melihat dirinya sebagai penumpang; “aku menumpang kepada-Mu, aku pendatang seperti semua nenek moyangku”.
Kalau kita membaca kitab Imamat, misalnya Imamat 19:33-34, dikatakan: “Apabila seorang asing tinggal padamu di negerimu, janganlah kamu menindas dia. Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir; Akulah TUHAN, Allahmu. “ Jadi, waktu pemazmur mengalami gencetan seperti ini, menurut dia ini adalah ekspresi murka Tuhan yang sedang mengejar dirinya, lalu dia dengan tahu diri menempatkan dirinya ‘ya, anggaplah aku ini bukan betul-betul anak, anggaplah aku ini orang asing, bukan bagian dari umat-Mu’. Seolah dia mau mengatakan, ‘saya memang pendatang, saya memang penumpang, tapi jangan lupa, lho, Engkau sendiri mengatakan orang pendatang/orang asing harus diperlalukan seperti yang dikatakan Imamat 19.’ Saudara melihat di sini bagaimana pemazmur membangun argumentasinya; dia mau mengatakan ‘kalau Engkau saja memerintahkan orang Israel berlaku demikian kepada orang asing, maka Engkau sendiri lebih lagi harusnya berlaku seperti itu’. Jadi, kalimat “aku menumpang kepada-Mu, aku pendatang seperti semua nenek moyangku” ini juga satu permohonan belas kasihan supaya Tuhan juga memperlakukan dirinya dengan baik sebagai pendatang/penumpang. Sekali lagi, di satu sisi ada kekecewaan, mungkin juga paranoia, tapi di sisi lain ada juga pengharapan.
Mungkin inilah yang paling menarik, bahwa seluruh Mazmur 39 ini diakhiri dengan ayat 13 (14) yang bunyinya seperti ini: “Alihkanlah pandangan-Mu dari padaku supaya aku bersukacita, sebelum aku pergi dan tidak ada lagi!” Biasanya, doa-doa yang kita baca isinya minta supaya Tuhan jangan memalingkan wajah-Nya dari kita, jangan membuang wajah-Nya dari kita. Kita minta supaya Tuhan memandang kepada kita, menyinarkan wajah-Nya kepada kita. Tetapi yang kita baca di ayat 13 (14) adalah: “Alihkanlah pandangan-Mu dari padaku” —bagi pemazmur ini sukacitanya. Sukacita pemazmur adalah waktu Tuhan memalingkan wajah-Nya. Saudara juga menjumpai kalimat-kalimat seperti ini di dalam kitab Ayub, dalam pergumulannya yang berat. Pengharapan yang benar tentu saja berharap Tuhan hadir, tapi pemazmur di sini berharap Tuhan tidak hadir, Tuhan memalingkan wajah-Nya; bagi pemazmur, di situlah dia baru bisa bersukacita. Di sini, untuk kesekian kalinya kita kagum, karena kalimat-kalimat yang harusnya tidak ada tempat dalam kanon, justru dimasukkan.
Mazmur ini mau mengajarkan apa sebenarnya, yang bahkan diakhiri dengan kalimat seperti itu –kalimat yang sebetulnya perlu dikoreksi itu? Jawabannya: Tuhan memberikan tempat/ ruang untuk kita mengekspresikan kekecewaan kita. Apakah menyuruh Tuhan memalingkan wajah dari padanya ini termasuk ateisme? Jelas bukan ateisme; kalau ateisme, dia bahkan tidak perlu berdoa, karena orang ateis tidak percaya Allah ada, dan kalau Allah tidak ada, jadi tidak ada yang perlu dialihkan. Saya mengambil ilustrasi hubungan bapak dengan anak. Kita, sebagai orangtua yang tidak sempurna ini, ada saatnya ketika anak kita marah kepada kita, dan di dalam kemarahan serta ketidakmengertian akan cinta kita kepadanya, dia bisa lebih senang waktu kita tidak ada di situ, bahkan dia bisa menyuruh kita pergi. Anak kecil, di dalam kekesalannya bahkan bisa memukul kita juga; ini pengalaman yang cukup umum. Lalu apa yang jadi reaksi Saudara, yang katakanlah lebih dewasa? Tentu Saudara memberikan tempat untuk anak ini mengekspresikan kekesalannya, termasuk gambarannya yang luar biasa pesimistis tentang kita. Kita tentu tidak menjadi tersinggung dengan gambarannya yang luar biasa pesimistis itu, yang kalau kita tidak ada sepertinya dia lebih sukacita. Kita saja tidak tersinggung, apalagi Tuhan yang jauh lebih tinggi daripada kita, yang jauh lebih baik, jauh lebih bijaksana, jauh lebih sabar daripada orangtua mana pun di dunia ini.
Kekristenan bukanlah suatu ketaatan yang selalu penurut, tidak ada pertanyaannya sama sekali, tidak ada pikiran negatif sama sekali, selalu setuju, dsb.; yang seperti ini, saya kuatir bukanlah gambaran Alkitab. Biasanya, keadaan seperti itu tidak membuat orang betul-betul bertumbuh di dalam pembentukan yang Tuhan kehendaki, tapi lebih mirip model Kekristenan yes man, yang selalu ya dan ya, tapi sebetulnya tidak sungguh-sungguh mengerti karena tidak ada pergumulannya.
Kita bersyukur ada mazmur seperti Mazmur 39 ini, Tuhan memberikan kepada kita ruang untuk mengekspresikan kekecewaan, depresi, ketakutan kita, pikiran negatif kita, dsb. Kita melihat di dalam kehidupan Yesus Kristus sendiri, Dia menutup di atas kayu salib (memang bukan dari Mazmur 39) dengan meneriakkan: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Saudara lihat di situ, ini keadaan yang ditinggalkan tapi masih berseru kepada yang meninggalkan. Di kayu salib itu bukanlah jadi cerita ateisme yang berpikir, “Ah, kalau begitu beratnya penderitaan ini, kayaknya Allah sebetulnya tidak ada”. Tuhan Yesus tidak berteriak ‘Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau tidak ada’ –bukan itu kalimatnya. Bukan itu perkataan pemazmur dalam Mazmur 39 ini, melainkan bagaimana di dalam penderitaan terberat pun, tetap berseru kepada Tuhan. Memang isi seruannya adalah kalimat yang sangat tidak ortodoks, bahkan ngawur, masakan berkata “Tuhan alihkanlah pandangan-Mu dari padaku”? Sebenarnya pemazmur ini tahu atau tidak apa yang dia minta??
Saudara, dalam bagian-bagian tertentu kehidupan kita, relasi lebih penting daripada isi kalimat kita. Apa artinya kalau kita berdoa dengan kata-kata yang semuanya benar secara teologis (theologically correct) dan indah, tapi sebetulnya di dalam hidup kita tidak ada relasi dengan Tuhan. Itu jadi cuma kalimat hiasan belaka, meskipun theologically correct. Dalam hal ini, Mazmur 39 termasuk kritik juga terhadap model keagamaan yang salah seperti itu. Kalau Saudara membandingkan dengan kitab Ayub, kita mendapati bahwa perkataan teman-teman Ayub di situ lebih ortodoks, lebih theologically correct daripada Ayub. Tapi pada akhir kitab Ayub, Tuhan ternyata mempersalahkan mereka dan membenarkan Ayub. Apa yang sedang dipuji Tuhan? Apakah maksudnya doa yang katakanlah liberal itu lebih alkitabiah? Tentu tidak. Yang membedakan adalah: meskipun Ayub itu kalimatnya banyak yang ngawur, tidak ortodoks, tapi setidaknya dia berelasi dengan Tuhan.
Harap kehidupan Saudara dan saya, meskipun kita tidak kebal terhadap kekecewaan, penderitaan, existential moment yang sulit seperti ini, kita jangan tidak berseru kepada Tuhan, jangan tidak berkata-kata kepada Tuhan. Waktu ada orang fasik lalu kita berdiam diri, ya, silakan; kita menahan diri supaya tidak mempermalukan nama Tuhan. Tapi kepada Tuhan, jangan kita berdiam diri.
Kiranya Tuhan menolong kita untuk terus bertumbuh di dalam kedewasaan sebagaimana yang Dia kehendaki. Tuhan memberkati Saudara sekalian
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading