Salah satu sentral di dalam pengajaran Tuhan Yesus Kristus adalah Kerajaan Sorga, setidaknya menurut injil tertentu, kita seringkali mengatakan ke empat injil itu tidak ada yang kelebihan, masing-masing punya keunikan, bahkan injil yang sangat mirip Matius, Markus dan Lukas tetap mempunyai keunikannya masing-masing. Seperti Matius, ketika membicarakan tentang Kerajaan Sorga banyak menggunakan perumpamaan-perumpamaan, dan seringkali perumpamaan itu seperti agak jauh di dalam konteks kita. Biasanya kalau kita menjelaskan sesuatu kepada orang itu menggunakan ilustrasi supaya lebih mendarat, orang lebih mengerti, tetapi Yesus menggunakan perumpamaan justru untuk satu tujuan yang sama sekali berbeda yaitu supaya tidak semua orang mengerti, nah ini adalah satu dignitas firman Tuhan, yang kita harus belajar. Memang tidak semua orang diberikan hak untuk mengerti firman Tuhan, kekristenan bukan agama yang sedang mengemis, bukan, gereja juga bukan satu institusi yang mengemis, lalu minta supaya sebanyak mungkin orang datang percaya kepada Yesus Kristus, menjadi followers, lalu pendeta juga orang yang ngemis-ngemis supaya jemaat mendengarkan dia, tidak ada prinsip seperti itu.
Kewibawaan Yesus jelas sekali, di dalam penolakan demi penolakan yang Dia terima dan ini juga bukan excuse kita percaya, bukan excuse daripada Yesus. Memang Dia memberikan perumpamaan supaya sebagian orang disaring, sebagian orang memang tidak layak untuk mendengar, disempurnakan dan dikuduskan oleh firman Tuhan, tidak perlu diberkati oleh firman Tuhan. Ini satu keadaan yang sangat menakutkan yang seharusnya mempengaruhi sikap kita waktu mendengar firman Tuhan. Kita bukan sedang memilih, jadi kita bukan sedang menentukan yang mana yang mau kita dengar, yang mana yang tidak mau kita dengar, kita juga bukan sedang memfilter, kita bukan sedang memberikan satu penilaian, yang ini bagus, yang ini kurang bagus, bukan. Tuhan yang sedang memberikan penilaian kepada saudara dan saya waktu kita mendengar firman Tuhan, itu Tuhan yang menyaring, bukan kita yang menyaring. Saya pikir, prinsip seperti ini waktu kita tuangkan di dalam pelayanan dan kehidupan kita sehari-hari akan ada sesuatu yang berbeda.
Yesus memakai perumpamaan untuk menyaring sebagian orang, yang memang tidak perlu dengar, tidak perlu dengar, yang akan dengar dan harus mendengar, akan mendengar, karena mereka memang adalah domba-domba yang asli, yang memang adalah pilihan Tuhan, diberikan karunia untuk mendengar dengan telinga rohani, melihat dengan mata rohani mereka. Kerajaan Sorga adalah satu tema yang penting sekali di dalam pengajaran Yesus, paling sedikitnya menurut versi injil Matius dan di sini Kerajaan Sorga diberitakan melalui perumpamaan-perumpamaan. Kita tertarik waktu memikirkan issue Kerajaan Sorga, gambaran alkitab sebenarnya begitu luas, mungkin poin pertama yang boleh kita pikirkan adalah gambaran Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga yang digambarkan Matius ini bukan gambaran yang steril. Kita kecewa kalau kita mengharapkan Kerajaan Sorga itu satu kerajaan yang steril, dimana tidak ada lagi kejahatan, dimana 80% ke atas orang menjadi kristen atau sebagian besar pemerintah nanti kristen, orang-orang yang paling pintar adalah kristen, seniman-seniman yang paling top juga kristen dll., wah itu namanya Kerajaan Allah makin datang. Saya kuatir kalau kita menghidupi Kerajaan Sorga yang seperti ini, soon or later kita akan kecewa, karena seringkali manusia tidak mau kecewa, lalu supaya tidak kecewa membuat ilusi.
Menakutkan sekali, karena tidak sesuai dengan reralita lalu mengemas sedemikian rupa, oh…. Tidak kok… yang paling tinggi, paling hebat memang kekristenan dsb., kita menciptakan ilusi-ilusi yang tidak sesuai dengan realita, karena kita menghidupi pengharapan yang salah dan bukannya mengkoreksi pengharapan yang salah itu, tetapi malah menipu orang atau bahkan menipu diri sendiri dengan ilusi-ilusi yang tidak sesuai dengan realita, Yesus jelas bukan seperti itu. Saya tertarik dengan pergumulan Calvin waktu dia melayani di Geneva, Calvin orang yang sangat realistis, waktu dia berkhotbah, dia sadar bahwa tidak semua orang yang datang itu benar-benar mau mendengarkan firman Tuhan. Pengharapannya sederhana sekali, kalau optimis, dia berharap 20% orang berespon, kalau dia pesimis, ya 10%, padahal kalau kita mengadakan KKR berharap sebanyak mungkin orang percaya. Tetapi kenyataannya di dalam pelayanan hamba-hamba Tuhan yang sudah diberkati seperti Calvin, dia punya ekspektasi sederhana sekali, ini bukan berarti tidak punya ambisi, bukan, tetapi ekspektasi yang sederhana, karena memang di dalam dunia ada keadaan yang seperti ini. Kita masuk ke dalam perumpamaan ini termasuk dengan penjelasan yang tadi sudah kita baca, sedikitnya ada empat macam orang yang berespon terhadap firman Tuhan.
Dari empat macam orang ada tiga yang gagal, kalau kita hitung dengan presentasi kasar untuk memudahkan, walaupun tidak tepat, katakanlah empat macam itu masing-masing 25%, jadi ada 75% yang gagal. Hanya 25% saja yang diperkenan oleh Kristus, alangkah sedikitnya orang yang betul-betul menikmati realita Kerajaan Allah menurut versi Kristus. Karena itu saya percaya, memang kita harus melakukan pelayanan sebesar mungkin, itu sudah betul, lalu berharap cuma beberapa persen saja, misalnya ketika kita mengadakan KKR ada 1000 orang yang hadir, lalu berharap berapa orang dari 1000 itu? Yang sungguh-sungguh mungkin persentasinya sangat kecil sekali. Kita kembali ke injil Matius, di sini digambarkan Kerajaan Allah yang bukan dalam gambaran steril, saya percaya, realita kerajaan, termasuk juga dengan adanya gambaran respon yang tidak selalu benar, itu termasuk realita Kerajaan Allah. Kerajaan Allah bukan hanya orang jenis ke empat saja, tetapi juga termasuk pemberitaan penaburan itu yang meskipun ditanggapi secara salah oleh ketiga jenis yang pertama, itu juga termasuk realita Kerajaan Allah.
Realita Kerajaan Allah bukan hanya penaburan benih yang kudus, termasuk juga penaburan benih lalang, waktu ada orang mencoba untuk mengatakan, kita basmi sajalah, penabur lalang itu kalau bisa dicegah, tidak usah ada, kan Kerajaan Allah harusnya Kerajaan yang mulia, yang suci, yang kudus, tetapi Yesus sendiri mengatakan, tidak bisa, itu harus menunggu sampai kepada akhir zaman, biar bertumbuh bersama-sama. Maka kita perlu untuk mengkoreksi konsep Kerajaan Allah yang naif, yang steril, semuanya mulia, semuanya baik-baik. Bukankah tidak sedikit orang yang datang ke gereja, lalu menjadi kecewa, karena alasan klasik sekali yaitu saya pikir orang di gereja itu katanya kenal Yesus, baik-baik, ternyata hidupnya seperti ini, akhirnya menjadi kecewa, dia keluar dari gereja, kecewa karena orang kristen, sering kita dengar alasan klasik seperti ini. Itu terjadi karena mereka memiliki konsep yang steril tentang gereja, tentang orang kristen, tentang Kerajaan Allah, gambaran yang terlalu optimistik akhirnya mengecewakan.
Yesus memberikan pengajaran yang berbeda, Yesus realistis dalam khotbahNya, Dia katakan Kerajaan Allah seumpama, seumpama, seumpama, seumpama, lalu inilah salah satu yang di-sharing-kan. Ada 4 macam keadaan dan apa arti dari perumpamaan itu:
Kelompok pertama, orang mendengar firman tentang Kerajaan Sorga, tetapi dia tidak mengerti, sehingga datanglah si jahat dan merampas yang ditaburkan di dalam hati orang itu. Tuhan memberikan kemungkinan ini di dalam kedaulatanNya, memberikan izin kepada si jahat untuk menabur benih yang kudus itu. Benih yang sudah di tabur di dalam hati, bukan di luar, dan bisa dirampas lagi dan itu di dalam kedaulatan Tuhan, diberikan kemungkinan itu, untuk merampas apa yang sudah di dalam hati orang, bukan di dalam otak atau intelektual belaka. Kenapa? Karena yang mendengar tidak mengerti, dalam hal ini tidak mengerti bukan dalam hal intelektual, ah…dia sepertinya hanya SD, makanya tidak mengerti, jadi kalau yang khotbah terlalu susah, memakai istilah-istilah asing, langsung tidak mengerti. Tetapi tidak mengerti dalam konteks alkitab tidak ada hubungannya dengan tingkat pendidikan, karena itu kita juga tidak tertarik untuk membagi-bagi orang ke dalam kelompok intelektualitas. Saya pikir kekristenan adalah salah satu agama yang tidak tertarik membicarakan level-level, level apapun baik kekayaan, sosial, pendidikan dll., karena semuanya direlativisasi di dalam Yesus Kristus, semuanya menjadi tidak ada artinya, entah laki-laki, perempuan, miskin, kaya, tua, muda, budak atau orang merdeka, di dalam Yesus Kristus semuanya sama.
Apa yang dimaksud dengan ketidakmengertian? Ternyata gambaran yang disajikan alkitab adalah lebih berurusan dengan sikap hati seseorang, bukan kemampuan dia secara intelektual atau logikanya, alkitab tidak tertarik bicara itu, meskipun tentu saja di dalam bagian alkitab kita mendapati tulisan yang lebih sulit seperti tulisan Paulus dan kalau orang tidak hati-hati bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri akhirnya menjadi sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri, karena memutarbalikkan apa yang diajarkan, ya memang susah sih tulisan Paulus. Tetapi dalam bagian ini yang dimaksud orang yang mendengar dan tidak mengerti, itu terutama berurusan dengan sikap hati waktu dia mendengar firman. Dalam alkitab salah satu kelompok yang digambarkan tidak mengerti adalah orang Farisi, mereka mendengar tetapi tidak mengerti, tetapi apakah betul tidak mengerti? Tidak mengerti dalam pengertian apa? Mereka mengerti di dalam pengertian bahwa mereka adalah orang yang dimaksud, orang yang ditegur, orang yang sedang dikoreksi oleh Yesus Kristus, mereka mengerti, bukan tidak mengerti. Kalau mereka tidak mengerti, Yesus tidak disalibkan, mereka mengerti bahwa mereka sedang ditusuk-tusuk, bukan tidak mengerti.
Sebenarnya ada banyak orang yang mengerti waktu mereka tertusuk-tusuk pada saat mereka mendengar firman Tuhan, bukan tidak mengerti, tetapi mereka mengeraskan hatinya waktu mereka tertusuk, mereka tidak menerima secara reseptif, itu yang disebut alkitab dengan tidak mengerti, jadi tidak mengerti bukan karena masalah intelektual, tetapi di dalam arti mereka tidak mau mengerti, mereka tidak mau dikuduskan oleh firman Tuhan. Kita kuatir dengan sikap mendengar firman Tuhan dengan sikap seperti penonton, melulu analitis, sikap menilai, bukannya kita tidak boleh menilai, kita ada sistem nilai, jadi manusia tidak mungkin tidak menilai, pasti kita punya penilaian. Ketika kita melihat orang lain saja langsung menilai karena kita punya sistem value, tidak menilai tidak mungkin, tetapi yang dimaksudkan adalah datang hanya sekedar dengan satu sikap menilai, bukan satu sikap untuk mendengar dan belajar.
Waktu hati seorang murid pergi dari kehidupan kita, yang terjadi adalah kita sedang membahayakan diri kita sendiri, benih itu tidak akan dipelihara oleh Tuhan, jangan kita berpikir, wah.. ini benih dari Tuhan, maka Tuhan akan memelihara sedemikian rupa, karena terlalu suci, terlalu kudus. Kalau kita baca dalam bagian ini, Dia memberikan hak kepada si jahat, kalau mau rampas, ya rampas saja, ini Tuhan yang asli mengajarkan seperti ini, karena ini termasuk di dalam kedaulatan Tuhan.
Kelompok kedua, gambarannya adalah benih jatuh di tanah yang berbatu-batu, tanahnya tidak banyak lalu benih itu segera tumbuh, ini masih misterius, apa maksudnya? Di tanah yang berbatu-batu ada tanah yang tipis, benihnya bisa tumbuh, ini lebih dalam lagi, kalau yang tadi sudah di dalam hati, tapi akhirnya dirampas oleh si jahat, bagian ini dikatakan bahkan tumbuh. Dalam penjelasan Yesus dikatakan, itu adalah orang yang mendengar firman Tuhan dan segera menerimanya dengan gembira. Kita bisa menyoroti beberapa kata yang penting, kata pertama yang kita tidak boleh luput adalah kata segera, kita mungkin berpikir, segera kan bagus juga, segera, dia langsung berespon, langsung angkat tangan, langsung bilang ya, langsung berkomitmen, langsung janji, dst. Seringkali terjadi dalam kehidupan kita yang dapat terlalu gampang, itu mungkin hilang terlalu gampang, karena kita tidak bisa menghargai juga dan waktu hilang mungkin kita juga tidak terlalu sadar kalau sudah hilang, karena gampang sekali dapatnya, kita berpikir bahwa kita akan gampang lagi dapatnya.
Kita harus hati-hati dengan jenis kekristenan yang segera, kita jangan berpikir kelompok-kelompok lain diluar, memang kelompok lain di luar banyak yang menekankan kesegeraan. Tetapi saya pikir kita juga tidak kebal dengan kesegeraan seperti ini, kita ingin sekali di dalam pelayanan kalau bisa segera melihat buah, segera melihat satu konfirmasi, segera ada penghiburan dsb., tetapi itu seringkali bukan jalan Tuhan. Segera itu tidak ada pergumulannya, segera itu berarti instant, orang yang segera menerima Yesus Kristus, termasuk juga segera setuju dengan firman Tuhan, tidak ada moment untuk mengendap di dalam hatinya, pokoknya dibilang apa langsung setuju, langsung haleluya, langsung amen dst., ya segera. Segera menerima dengan gembira, bahasa Indonesia ini bagus sekali, membedakan antara sukacita dengan gembira, saya pikir ini terjemahan yang cocok sekali, waktu pakai istilah gembira. Ada perbedaan antara gembira dan sukacita, secara sederhana alkitab lebih suka memakai istilah sukacita, itu sebagai yang lebih divine, betul-betul God given, diberikan oleh Tuhan, sifatnya Ilahi dengan gembira yang sensasi dangkal. Bukan berarti kita tidak boleh gembira, di Kelapa Gading kita banyak kegembiranan waktu lidah kita meloncat-loncat digerakkan oleh makanan tertentu, karena Kelapa Gading kan surganya makanan, itu memberikan kegembiraan kepada lidah kita dan itu juga tidak salah. Tetapi kita tidak bisa membangun kehidupan hanya dengan kegembiraan seperti ini, itu pasti.
Ada orang yang menerima firman Tuhan, segera dengan gembira, cepat-cepat senang, lalu dimana tempatnya dukacita, air mata? Saya pikir bukan kebetulan banyak cerita pertobatan yang sejati (ini memang bukan kemutlakan), tetapi saya melihat sesuatu yang positif di dalam cerita pertobatan yang sejati seringkali disertai air mata. Air mata itu adalah satu pendalaman, orang yang hidupnya tidak ada air mata, itu dangkal sekali, cerita pertobatan yang tidak ada air mata dangkal sekali, sekali lagi kita tidak boleh mengangkat ini sampai pada tingkat kemutlakan. Karena memang kita tidak bisa melihat kedalaman hati orang, setiap orang itu kan karakternya berbeda-beda, ada orang yang begitu mudah sekali keluar air mata, sedikit-sedikit keluar air mata, bukan karakter yang seperti itu, yang dimaksudkan adalah orang yang di dalam kehidupannya sama sekali tidak ada aspek duka cita, tidak ada ratapan, terus gambarannya selalu senang, ini agak menakutkan, karena nantinya kehidupannya tidak dalam.
Saya pikir bukan kebetulan ketika dikatakan di dalam injil Matius, “Berbahagialah mereka yang berduka cita, karena mereka akan dihiburkan”, yang mengalami penghiburan sejati adalah yang tahu berduka cita. Tetapi kelompok ini, menerima firman Tuhan dengan gembira saja, sepertinya mudah sekali, antusias, langsung setuju, segera pula, tidak pikir panjang. Tapi Yesus memberikan satu pengajaran kepada kita, kalau mau ikut Tuhan harus hitung-hitung biayanya, jangan sampai sudah di tengah lalu mundur, (sebenarnya kalau kita membaca bagian itu, kita tidak ada pilihan untuk tidak mengikut), intinya adalah jangan tidak menghitung biaya. Tuhan tidak mau jenis discipleship, pemuridan yang murahan, orang yang mengikut Tuhan seperti itu tidak berguna dan betul saja, di dalam ayat ini dikatakan, orang-orang itu tidak berakar, tahan sebentar saja, peribahasa bahasa Indonesia, ‘angat-angat tahi ayam’, panasnya hanya sesaat saja, setelah itu dingin lagi, kurang sekali ketekutan. Kekristenan bukan anti emosi, bukan, jangan kita salah mengerti, di sini maksudnya adalah kekristenan yang hanya menekankan emosi-emosi yang sesaat, di dalam pengertian seperti ini cenderung tahan sebentar saja.
Seperti saat-saat tertentu, mungkin natal, mungkin ulang tahun kita atau bahkan mungkin pada saat-saat penting, kita bisa masuk dalam suasana yang luar biasa sentimental. Lalu di dalam keadaan sentimental seperti itu, kita bisa berjanji kepada Tuhan, janji yang tinggi sekali, saya bukan men-discourage jemaat untuk janji kepada Tuhan, tapi kalau kita hanya membangun janji-janji dalam keadaan sentimental seperti itu, saya kuatir seperti yang dikatakan di sini, tahan sebentar saja. Kita perlu orang kristen yang tekun, orang kristen yang ada perseverance, ada juga kesetiaan, termasuk waktu saat-saat kering, seperti kehidupan pernikahan, kita harus jujur apa adanya pada saat-saat memang kering, pada saat-saat memang sebenarnya saya tidak tertarik mengasihi dia, malah bahkan ada ekspresi kebencian. Ada saat-saat seperti itu, lalu bagaimana? Ya kita tidak bisa menggantungkan diri kita pada emosi sentimental, siapa yang bisa di dalam suasana honeymoon terus, siapa? Pasti ada suasana pare, suasana pahit, suasana tidak enak, suasana hambar, bukan suasana sweet atau manis. Lalu apa yang menjadi ujian? Yaitu kesetiaan.
Jadi kehidupan yang hanya dibangun dalam kesesaatan, sebentar saja, menerima cepat-cepat dengan gembira, tanpa air mata, tanpa duka cita, segera, tanpa pergumulan, akhirnya tidak langgeng, tahan sebentar saja. Dan ujiannya adalah waktu datang penindasan, penganiayaan. Jangan salah mengerti, seolah-olah dalam teologi reformed itu memuliakan penderitaan, sementara denominasi lain mempermuliakan kenyamanan, kesuksesan, lalu orang bilang, teologi reformed, mempermuliakan penderitaan, kesusahan, kepahitan dan akhirnya kedua-duanya jadi berhala, karena dua-duanya bukan Tuhan. Saya tidak sependapat dengan pengkategorian seperti itu, kita bukan mempermuliakan penderitaan, yang penting adalah di dalam keadaan apapun hati kita terpaut kepada Tuhan. Tetapi kenapa di sini dibicarakan tentang penindasan dan penganiayaan? Karena memang seringkali sarana ini, alat ini dipakai Tuhan, penindasan dan penganiayaan untuk menguji hidup kita itu sebenarnya dalam atau dangkal? Pesta tidak akan menguji kita dangkal atau dalam, tidak ada kekuatan itu, pesta itu tidak sanggup menjadi sarana untuk menguji kehidupan kita dangkal atau dalam, tidak ada yang tahu, karena di pesta semua orang tertawa-tawa, semua orang senang, terus kita susah untuk menguji, ini tertawanya dalam atau dangkal? Ini sukacita dalam atau sesaat? Susah untuk menguji di dalam saat seperti itu.
Tetapi waktu seseorang di dalam penindasan, di dalam penganiayaan dan itulah kenyataan apa adanya diri seseorang itu betul-betul nampak, itu seperti mirip, saya pakai ilustrasi, bawang bombay, yang memiliki layer-layer, layer luar kelihatannya seperti itu, tetapi kedalamannya siapa yang tahu kalau layer layer-nya itu dibuka. Di dalam hidup manusia seperti ada layer layer seperti itu dan penderitaan atau penganiayaan itu membuka layer layer luar, lalu kita melihat, ini loh aslinya orang itu seperti ini. Saya tidak percaya teori khilaf, misalnya ketika dalam keadaan tertentu seorang suami memukul istrinnya dan dia berkata, kok saya kasar seperti ini ya, kok saya ngomong seperti ini ya, lalu dia minta maaf, maaf ya, saya khilaf, ini bukan saya, saya biasanya tidak begini. Saya tidak sependapat dengan gambaran itu, “sepertinya bukan saya”, itu memang kamu apa adanya, itu adalah saudara dan saya apa adanya, tetapi persoalannya adalah sebelum penganiayaan dan penindasan, kita tidak masuk pada diri kita, layer, lapisan yang paling dalam itu, kita cuma pada layer luar. Sehingga waktu ada penganiayaan dan penderitaan, itu akan membongkar layer layer luar, semua keluar, trus jadi kedalaman kita betul-betul yang paling dalam, ternyata di dalamnya memang monster, monster yang perlu dibentuk oleh Kristus, yang perlu dikuduskan oleh firman Tuhan. Jadi penganiayaan dan penindasan itu menguji, membawa kita pada pengenalan yang dalam itu, bukan pengenalan yang luar, pengenalan akan diri kita, bukan orang lain saja yang mengenal kita, tetapi terutama kita juga harus mengenal diri kita sendiri.
Maka saya berpikir, salah satu spiritualitas yang baik sekali di dalam kekristenan, sayang sekali orang protestan atau kaum injili kurang memanfaatkan spiritual exercise ini, latihan rohani yang disebut puasa itu. Kalau kita menjalankan puasa, mungkin semacam “penindasan atau penganiayaan”, karena kita tidak boleh makan, padahal kita dikelilingi oleh makanan-makanan. Dalam keadaan seperti itu kita bisa cenderung sensitif, mungkin mudah tersinggung, lalu berkata, loh kenapa saya jadi lain begini ya? Kita cenderung jadi uring-uringan, kenapa saya jadi sensitif sekali, orang ngomong apa saya tersinggung, padahal maksudnya mungkin bukan begitu, lalu kita berkata, kok saya jadi orang lain ya? Sebenarnya bukan jadi orang lain, kita sebetulnya sedang masuk dalam kedalamam diri kita yang selama ini tidak terbuka, selama ini bahkan mungkin kita sendiri tidak mengenal diri kita sendiri, apalagi orang lain, tetapi Tuhan mengenal kedalaman itu. Maka penindasan dan penganiayaan ini perlu, dalam bijaksana Tuhan kadang dihadirkan dalam kehidupan kita untuk menguji kedalaman iman kita, kedalaman cinta kasih kita, kalau kita tidak egois waktu dalam keadaan makmur, ya semua orang seperti itu, hal itu wajar, tetapi waktu di dalam keadaan kita susah, banyak pergumulan masih bisa tersenyum kepada orang lain, masih bisa melayani, masih bisa ada pikiran untuk orang lain, nah ini yang betul-betul teruji, ini betul-betul orang yang penuh cinta kasih. Karena di dalam keadaan yang betul-betul drainwash, dikeringkan, diperas seperti itu dia masih bisa ada kekuatan untuk memikirkan, mendoakan dan mencintai orang lain, bisa sabar, bisa tersenyum, berarti dia memang teruji di dalam keadaan itu.
Kita bukan memuliakan penindasan atau penganiayaan, tidak, bahkan kita harus mengatakan, salib itu bukan apa-apa kalau tidak dikaitkan dengan kehendak Tuhan. Jadi kita jangan salah mengerti, Yesus datang ke dunia bukan cari salib, bukan, Yesus datang ke dunia untuk melakukan kehendak Allah dan di dalam kehendak Allah itu ada salib, maka Dia menanggung salib, karena itu adalah kehendak Allah. Tetapi yang menjadi fokusnya itu sebetulnya adalah kehendak Bapa, di taman Getsemani Yesus katakan, kalau boleh cawan ini lalu daripadaku, itu kan salib (artinya kalau boleh saya tidak mau di salib), berarti Yesus tidak mencintai salib, Yesus tidak mencintai penderitaan, Yesus tidak memberhalakan penderitaan. Kita harus hati-hati dengan sistem pendidikan anak yang sengaja menciptakan penderitaan, saya kurang sependapat dengan filosofi pendidikan seperti itu, karena orang itu bermacam-macam, kalau memang Tuhan yang memimpin kesitu, berarti itu pembentukan terbaik yang diijinkan Tuhan bagi orang tersebut. Tetapi kalau kita yang mendatangkan sendiri apakah kita ini Tuhan? Jangan kita berpikir bahwa penderitaan akan membentuk karakter seseorang menjadi agung, penderitaan itu justru bisa menghancurkan seseorang dan bisa membuat seseorang itu menjadi egois luar biasa, dingin luar biasa, tidak ada belas kasihan, bahkan penderitaan itu bisa membuat seseorang itu menjadi psikopat , kalau kita tidak hati-hati.
Jadi yang membentuk seseorang itu bukan penderitaan, bukan, tetapi Tuhan sendiri dan kehendakNya. Saya pikir kita harus membedakan ini dengan tepat, kalau tidak, nanti kita akan memutlakkan apa yang tidak mutlak, yang mutlak itu Tuhan dan kehendakNya. Dan Yesus sendiri di taman Getsemani Dia mengatakan, kalau boleh cawan ini lalu dari padaKu, Yesus tidak mencintai penderitaan, Dia orang normal bukan masukis (orang yang kalau menderita katanya bahagia), Yesus bukan seperti itu, Yesus masih waras. Kemudian Dia mengatakan, tetapi jika itu memang adalah kehendakMu, bukan kehendakKu tapi kehendakMu yang jadi. Fokus dari Yesus itu adalah Tuhan, bukan salib, dan di dalam kehendak Tuhan Dia harus memikul salib, tapi fokusnya adalah kehendak Tuhan. Maka kita jangan memutlakkan salib, jangan memutlakkan penderitaan, karena penderitaan yang tidak di dalam kehendak Tuhan, itu tidak ada artinya, malah cenderung akan membahayakan hidup kita.
Memang Tuhan seringkali memakai penindasan, penganiayaan, bukan penindasan dan penganiayaan yang kita buat-buat sendiri, tetapi memang yang Tuhan memimpin kita ke sana dan itulah yang betul-betul akan membentuk kita, karena waktu Tuhan memimpin kita ke sana, itu berarti di dalam maha bijaksana yang sempurna itu dan hal itu yang akan menguji kedalaman iman kita.
Kelompok ketiga, adalah jenis orang yang mendengar firman itu tetapi kekuatiran dunia dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah. Menarik dua bagian ini, kekuatiran dunia dan tipu daya kekayaan, dua aspek yang sebetulnya secara substansi itu sama, tetapi bisa mengambil bentuk di dalam dua jenis hal. Kalau kita melihat dua hal di atas, kita mungkin akan cenderung melihat negatif bagian terakhir yaitu tipu daya kekayaan, serakah, orang ini serakah, cinta uang, tertipu oleh kekayaan dsb. Tetapi sebetulnya keserakahan juga bisa mengambil bentuk di dalam cara yang agak halus yaitu kekuatiran, arti kekuatiran kan saya tidak bisa mencukupkan diri dengan keadaan yang Tuhan berikan sekarang, selalu merasa kurang, nanti bagaimana kalau saya tidak dapat ini dan itu, nanti bagaimana kalau tidak cukup, lah… menurut Tuhan cukup kok, ada pemeliharaan Tuhan. Tapi dia serakah, dia bilang tidak saya masih kurang, saya harus ada ini dan itu, akhirnya dia kuatir, itu kan keserakahan dalam bentuk yang halus.
Tuhan Yesus dengan sangat jeli mengatakan kedua-duanya, kekuatiran dan tipu daya kekayaan, kekuatiran orang biasanya kan urusan-urusan fisik atau materi, kuatir tidak cukup uang, kuatir tentang kesehatan, kuatir tentang masa depan anak dll., kekuatiran dengan hal-hal yang kelihatan. Bukan berarti Tuhan tidak peduli dengan hal-hal semacam ini, bukan, tetapi memang betul bahwa kekuatiran menghalangi firman itu bertumbuh dan berbuah. Kalau kita dipenuhi dengan kekuatiran hidup, akhirnya energi kita terkuras, sehingga firman itu terhimpit, benih yang kudus itu terhimpit, dihimpit oleh saudara dan saya, tidak bisa bertumbuh dan berbuah, karena pikiran kita sudah terlalu banyak tersedot memikirkan, melayani kekuatiran-kekuatiran itu. Maka seperti di dalam Matius 6, kekuatiran menjadi issue yang penting, ada kaitannya dengan Kerajaan Sorga, carilah dahulu Kerajaan Sorga dan kebenarannya, sebelumnya kan itu bicara tentang kekuatiran? Mengapa? Karena kekuatiran itu menghalangi orang menikmati realita Kerajaan Allah, apalagi kalau kita tertipu dengan tipu daya kekayaan.
Sangat menarik, alkitab memberikan istilah tipu daya kekayaan, kekayaan itu menipu, kekayaan itu membutakan dalam hal memberikan pengharapan-pengharapan yang salah, saya pikir kita sebagai orang kristen tidak kebal dengan tipu daya kekayaan, bahkan hamba-hama Tuhan juga tidak kebal dengan penipuan ini. Tipu daya kekayaan, kekayaan seperti menjanjikan semacam security, tetapi false security, banyak orang berkata, kalau kamu tidak kaya, nanti hidupmu tidak secure loh, kamu bergantung sama siapa? Kamu harus kerja sekuat-kuatnya, supaya dapat banyak uang, walaupun kesehatan harus hancur, seperti ada pribahasa mengatakan, waktu muda menjual kesehatan demi kekayaan, waktu tua membeli kesehatan dengan kekayaan, jadi putar-putar di situ. Itulah tipu daya kekayaan, orang diberikan semacam keamanan yang semu, orang berpikir, dengan kekayaan hidupnya akan lebih pasti. Ada lagi seperti false glory, false dignity, orang berpikir, kalau dia kaya dia akan dihormati, itu adalah pikiran yang konyol sekali, kalau kita kaya dan kita dihormati karena kaya, kita adalah orang yang kasihan dan bodoh sekali. Orang tunduk bukan tunduk kepada kita, tetapi tunduk kepada uang kita, kalau orang menghormati seseorang karena kekayaannya dan dia kurang menghormati orang yang tidak kaya, berarti orang ini sebenarnya tidak menghormati orang kaya ini, itu sederhana sekali bukan? Karena dia menghormati uang kita, bukan kitanya, tetapi kita menikmati, kita pikir kita yang dihormati, bodoh sekali orang seperti itu.
Maka sebenarnya banyak orang kaya yang hidupnya kesepian, dia pikir dia punya banyak relasi, punya banyak teman, sebetulnya tidak ada yang berteman dengan dia, semua orang berteman dengan uangnya, dengan hartanya, bukan dengan orangnya. Dia masuk di dalam ilusi seperti ini, kasihan sekali orang yang terjebak di dalam tipu daya kekayaan. Firman Tuhan tidak bisa berbuah karena dia memberhalakan, membaktikan dirinya itu kepada sesuatu yang bukan Tuhan.
Kelompok keempat, jenis orang yang terakhir yaitu orang yang mendengar, mengerti lalu dia berbuah, pendek sekali gambarannya, sangat sederhana. Hanya mendengar dan mengerti, hanya itu saja, mengerti di sini artinya bukan sekedar mengerti dalam pengertian intelektual. Mengerti logika, mengerti alur khotbah, bukan, tetapi mengerti yang jauh lebih dalam dari pada itu. Mengerti di sini adalah mencakup semuanya, hati yang mau percaya, hati yang mau menerima firman Tuhan, hati yang mau menyimpan di dalam, hati yang mau merenungkannya siang dan malam, hati yang menaati firman, yang melakukannya di dalam kehidupannya, itu tercakup di dalam istilah mengerti.
Dunia modern selalu menipu kita dengan pengertian mengerti yang luar biasa dangkal, oh ya saya tahu, tahu modern, bukan tahunya alkitab, tahunya alkitab itu dalam sekali, satu contoh: Waktu Adam bersekutu dengan Hawa, itu memakai istilah tahu, maka Adam mengetahui Hawa, itu yang namanya tahu dalam alkitab. Jadi tahu itu satu pengenalan yang luar biasa intim. Ini jauh sekali dengan tahunya modern, tahunya modern adalah saya tahu, tahu kok nomornya, saya tahu alamatnya, itu namanya tahu. Tetapi tahu dan mengerti menurut alkitab itu mengasumsikan satu relasi, saya menerjunkan diri saya kepadanya, itu namanya saya tahu, dalam istilah bahasa Indonesia, mengenal, mungkin istilah ini lebih baik dari istilah mengetahui.
Waktu kita melihat keempat macam orang ini, semuanya mendengar, tetapi mendengar saja tidak cukup, apalagi tidak mendengar, ternyata yang mendengar hanya kelompok terakhir yang diperkenan oleh Tuhan, mendengar dan mengerti. Kiranya Tuhan memberikan kepada kita hati yang penuh pengertian seperti ini. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)