Berhubung tahun ini fokus kita adalah untuk mengerti dan mencoba menjabarkan mengenai Kalender Gereja, maka hari ini sampai dengan Adven nanti, kita akan melanjutkan hal itu. Kita sudah membahas bagaimana Gereja membagi kalendernya dalam setahun, mulai dari Adven, lalu Natal, Epifania, Lent, Minggu Sengsara, Paskah, Kenaikan, dan Pentakosta. Namun dari Adven sampai Pentakosta, itu baru satu bagian besar pertama Kalender Gereja, yang dinamakan “The Story of Jesus”, yaitu Gereja mengingat dan menceritakan ulang kisah kehidupan-kematian-kebangkitan Yesus. Lalu apa yang terjadi dalam paruh tahun berikutnya, mulai dari Pentakosta sampai Adven lagi? Ini suatu masa yang disebut dengan istilah “Ordinary Time” (waktu yang biasa), berasal dari kata ordinal yang berarti menghitung, karena inilah periode di mana Gereja menghitung waktu dari Pentakosta sampai ke Adven lagi. Dalam periode ini, kita akan fokus mempelajari apa yang dimaksud dengan ordinary time, kenapa waktu yang ordinary seperti ini masuk ke dalam Kalender Gereja, apa tujuannya, dan apa perenungan yang kita bisa lakukan di dalamnya.
Kita bisa mulai dengan Google Search; kalau Saudara google search kata ‘ordinary’, Saudara akan menemukan kata: biasa, normal, standar, tipikal, rutin, unremarkable, tidak spesial, tidak unik. Tetapi, “Ordinary Time” dalam Kalender Gereja bukanlah suatu periode yang membosankan, yang kita bisa kesampingkan. Musim “Ordinary Time”, sebagaimana musim-musim lain dalam Kalender Gereja, adalah musim yang tidak kalah penting. Kenapa? Pertama, karena inilah justru musim yang ordinary, musim di mana kita bisa mengadakan tema-tema lepas, kita bisa mengadakan Q&R, dsb. Sebelumnya, kita sudah membahas secara intens tema-tema Adven, Natal, Epifania, Lent, Paskah, dst.; lalu bayangkan kalau setelah Pentakosta, Gereja terus-menerus ada hari raya sepanjang tahun, setiap hari Minggu adalah hari raya, apa yang terjadi? Saudara justru akan cepat bosan, bahkan capek. Itu sebabnya ordinary time penting –justru karena ordinary. Inilah bulan-bulan di mana kita bisa tarik nafas, kita bisa di-reset ulang untuk kembali mengingat Adven dan kawan-kawannya. Saudara, ini satu hal penting yang sering kali kita tidak sadar.
Belum lama ini ada pianis yang waktu memainkan lagu dalam kebaktian, yang ada 4 ayat, lalu di ayat keempat menaikkan tangga nadanya; dan efeknya tentu jemaat lebih semangat, lebih full menyanyinya. Saya langsung mengatakan dalam grup Penatalayan Mimbar, supaya jangan melakukan itu lagi. Kenapa? Dulu, di salah satu cabang kita hal seperti itu jadi kebiasaan, ayat terkahir semua lagunya selalu naik tangga nada; dan tahukah apa efeknya? Yaitu lama-kelamaan yang spesial itu jadi biasa; dan bukan cuma berhenti di situ, ketika suatu hari mereka menyanyikan lagu tapi lagunya tidak naik tangga nada, mereka malah turun semangat. Ini efek narkoba, Saudara. Kalau Saudara hidupnya dipenuhi dengan sesuatu yang klimaks terus-menerus, maka cepat atau lambat momen-momen klimaks itu sendiri akan jadi hal yang ordinary. Itu sebabnya kita butuh momen-momen yang ordinary, karena justru itulah yang membuat kita bisa menghargai apa yang bersifat klimaks. Kalau sepanjang tahun Saudara dipenuh dengan Adven, Natal, Lent, dst., dst., segala macam, Saudara akan tidak bisa lagi menghargai semua itu; dan justru masa “Ordinary Time” setengah tahun lamanya, 50% dari Kalender Gereja, adalah masa yang penting yang kita perlukan, exactly karena ordinary. Inilah alasan yang pertama, dan tentunya bukan alasan yang paling utama.
Alasan yang kedua, yang lebih penting, yaitu karena inilah waktu-waktu di mana kita bisa bertanya “apakah yang biasa itu, dalam kehidupan Kristiani?”; inilah waktu di mana kita bisa mendiskusikan apa yang normal, tipikal, di dalam sebuah kehidupan Kristen –dan ini pertanyaan yang penting. Untuk menyadari kenapa ini penting, saya mengajak untuk melihat salah satu problem dalam sejarah Gereja, dalam Kekristenan.
Salah satu problem yang paling bandel, yang paling ngotot, yang paling keras kepala bercokol/bertahan di dalam Gereja, adalah yang hari ini bisa kita sebut dengan satu istilah sebagai payung besarnya, yaitu sekularisme. Sekularisme bukan muncul di abad 20, sekularisme sudah muncul sejak kapan-kapan. Apakah sekularisme itu? Yaitu kecenderungan orang Kristen menganggap bahwa dalam hidup kita ada bagian-bagian yang sekuler, yaitu bagian-bagian yang kurang sakral dibandingkan bagian yang lain. Misalnya, banyak orang Kristen masih menganggap pekerjaan “pendeta” somehow lebih dekat dengan Tuhan dibandingkan dengan orang-orang yang kerja biasa, kerja kantoran atau ibu rumah tangga. Variasi lainnya, kita merasa ruang ibadah gereja lebih penting di mata Tuhan dibandingkan misalnya tempat kerja atau rumah kita. Saya berani jamin, di antara Saudara yang mendengar ini pun masih ada yang kemudian mengatakan dalam hati, ‘lah, bukannya memang kayak begitu??’ Tidak, Saudara; peng-kastaan kehidupan seperti itu adalah ajaran sesat di mata Alkitab. Kenapa? Karena faktanya adalah: Anak Allah menjelma menjadi manusia dalam segala keutuhan kemanusiaan itu. Ini harusnya menghancurkan ajaran/paham tadi.
Saudara, waktu Yesus menjelma menjadi manusia, Dia tidak menjelma menjadi manusia hanya dalam hari-hari Sabat. Dia tidak menjelma menjadi manusia hanya di kompleks pelataran Bait Allah. Anak Allah menjelma menjadi manusia dalam 100% keutuhan kemanusiaan, termasuk di rumah-Nya, termasuk di bengkel kayu-Nya. Di dalam waktu-waktu ordinary hidup manusia, Anak Allah tetaplah Anak Allah. Yesus tidak berkurang keilahian-Nya di dalam tempat-tempat ataupun waktu-waktu tertentu. Jadi, inilah ide sekularisme –kalau kita mau pelintir sedikit kalimatnya Abraham Kuyper– yaitu ada bagian-bagian dari kehidupanku yang Kristus tidak, atau kurang, mengklaim sebagai milik-Nya.
Paham ini ada banyak variasinya, maka bercokol ketat sepanjang sejarah Gereja. Tadi kita sudah memberikan beberapa contoh, namun ada contoh-contoh lain yang lebih halus bentuknya, misalnya: orang-orang Kristen yang mengejar kekudusan yang radikal dalam hidup mereka. Mereka merasa hidup Kristiani adalah hidup yang senantiasa dipenuhi dengan pengorbanan dan pelayanan, hidup yang tidak buang-buang waktu, sedangkan kalau lu antar jemput anak les renang itu agak susah loh di-justify jadi kehidupan Kristiani. Implikasi pengejaran kekudusan radikal seperti ini adalah: memetakan kehidupan manusia menjadi bagian-bagian yang lebih sakral dan bagian-bagian yang tidak sakral, kurang sakral, tidak penting di mata Tuhan. Bentuknya ada banyak, misalnya: pekerjaan non-profit dinilai lebih rohani dibandingkan pekerjaan cari duit; melayani di kota yang sarang setan lebih rohani daripada melayani di pedesaan yang nyaman, pakai sepeda lebih rohani dibandingkan pakai mobil; atau salah satu yang menjangkiti banyak hamba Tuhan Reformed: kalau bisa melayani dan tidak usah tidur itu lebih keren secara rohani, dst. variasinya. Ini ajaran sesat, Saudara; dan ini kesesatan yang pada akhirnya harus ditabrakkan dengan keindahan Alkitab dalam Inkarnasi, salah satu doktrin yang paling mencengangkan –dan kita sering kali tidak sadar.
Doktrin Inkarnasi mengatakan “Firman telah menjadi daging”. Kita semua tahu itu, tapi jangan berhenti di situ, karena itu juga berarti Firman telah pergi memancing, Firman telah tidur pada malam hari, Firman itu bangun pagi dan nafas paginya tidak wangi seperti bunga-bunga di padang, Firman hidup itu telah BAB. Inilah inkarnasi. Inilah keunikan dari keyakinan Kristiani; dan ini menakjubkan, ini mengubah hidup banyak orang, exactly karena keyakinan ini sedikit mengerikan. Inkarnasi Kristus itu, menebus kehidupan kita yang ordinary. Bukan berarti kita jadi tidak mungkin berdosa lagi dalam hidup ini, atau kita tidak mungkin buang-buang waktu dalam hidup ini –bukan itu maksudnya– melainkan bahwa tidak ada lagi kemungkinan untuk kita menganggap ada bagian dari kehidupan manusia yang somehow jelek pada dirinya sendiri, yang kurang suci pada dirinya sendiri. ‘Oh, ini bagian kehidupanku yang jauh dari gereja, ini bagian dari kehidupanku yang membosankan, ini bagian kehdupanku yang biasa saja, yang ordinary, maka ini tidak sakral’, itubukanlah ajaran Alkitab, karena Anak Allah masuk ke dalam momen-momen seperti itu.
Saudara sekarang bisa menyadari bahwa sesungguhnya kehidupan Gereja pun, kehidupan sakral pun, yaitu ibadah dan kebaktian kita, bahan dasarnya adalah hal-hal yang ordinary. Itu sebabnya ibadah kita pakai bahasa manusia, bukan bahasa malaikat. Ibadah kita membaptis orang dengan air yang biasa. Saudara menerima Perjamuan Kudus pun, itu adalah perjamuan yang kudus namun dengan roti biasa dan anggur biasa, bukan anggur vintage yang 11 ribu US dolar per botolnya. Demikian juga tangan-tangan yang melayani dalam kebaktian ini adalah tangan-tangan orang-orang yang biasa juga. Inilah yang biasa dan normal dalam Kekristenan. Jadi tidak heran setiap jemaat perlu diingatkan akan pertanyaan dan jawaban ini, yaitu apa yang normal dan biasa dalam sebuah Kebaktian. Itu sebabnya kita butuh bagian Kalender Gereja yang namanya “Ordinary Time” ini, untuk menyadarkan kita, bahwa apa yang biasa dalam Kekristenan, apa yang biasa dalam hidup manusia, itu bukan lalu jadi tidak bermakna atau tidak penting di hadapan Tuhan.
Tuhan mengubah kita dari makhluk yang begitu lemah dan rusak, untuk kemudian kembali ke tempat dan status manusia yang seharusnya sebagai mahkota dari ciptaan, itu melalui apa? Melalui tubuh kita yang biasa-biasa ini, melalui hasrat-hasrat kita, melalui segala relasi-relasi kita yang biasa, melalui rasa takut kita, melalui rasa capek kita, melalui persahabatan-persahabatan kita, melalui konflik-konflik di dalamnya. Bukankah itu cara Tuhan mengubah kita selama ini?? Itulah kehidupan manusia yang kita sepatutnya persembahkan kepada Tuhan, momen-momen yang paling tinggi, tapi juga momen-momen di mana kita sedang menguap terkantuk-kantuk. Itulah kehidupan yang Allah sendiri telah angkat menjadi bagian dari kehidupan-Nya melalui Yesus Kristus; dan dengan demikian telah diangkat serta ditebus-Nyalah semua waktu-waktu ordinary dalam kehidupan manusia.
Sekarang Saudara mulai menyadari jeniusnya Para Bapa Gereja yang menginstitusikan Gereja untuk mengambil enam bulan dalam satu tahun –50% dari waktu Gereja setahun– sebagai Ordinary Time, untuk merenungkan dan menghidupi hidup yang biasa ini. Betapa kita sangat membutuhkan waktu yang biasa ini, betapa pentingnya waktu yang biasa ini, sampai-sampai slot waktu untuk Ordinary Time ini melampaui porsi Adven, Natal, Epifania, Lent, Minggu Sengsara, Kenaikan, dan Pentakosta. Kenapa demikian? Karena memang seperti itulah pola kehidupan kita; pola kehidupan kita mayoritasnya tidak diisi dengan hal-hal yang spektakuler, mayoritasnya diisi dengan hal-hal yang ordinary –dan seperti itulah juga kehidupan Yesus Kristus.
Hidup Yesus tidak dipenuhi dengan Natal dan Paskah. Mayoritas hidup Anak Allah, 30 tahun dalam dunia ini, adalah tahun-tahun di mana tidak ada yang tahu Dia itu siapa, tidak ada yang kenal nama-Nya, tahun-tahun di mana Alkitab sendiri tidak mencatatnya. Namun paradoksnya berarti: bahkan Yesus pun punya ordinary time dalam hidup-Nya. Dia masuk dan datang dalam kehidupan ini bukan hanya dalam momen-momen klimaks tok. Dan, fakta ini memberitahu kepada kita, bahwa masa-masa ordinary dalam hidupmu dan hidupku tidak kalah penting di hadapan Tuhan. Inilah yang mau kita renungkan antara bulan September sampai November mendatang.
Sumber untuk seri kali ini terutama dari 3 buku (jika Saudara mau cari dan baca sendiri, silakan), yaitu: “Theology of Ordinary” karangan Julie Canlis, “Liturgy of the Ordinary” karya Tish Warren, dan “Ordinary” karangan Michael Horton.
Hari ini secara spesifik kita mau mengaitkan satu momen yang biasa, yang ordinary dalam hidup manusia, justru untuk jadi landasan kita mengerti momen yang luar biasa dalam ibadah kita –momen biasa dalam hidup yang justru membuat kita malah bisa mengerti secara lebih momen yang spesial dalam ibadah kita. Kita mau merenungkan momen ‘bangun pagi hari’, yang ternyata akan membuat kita lebih mengerti momen ‘baptisan’ dalam ibadah. Hari ini kita sedang tidak membaptis orang, tapi justru ini bagus karena dengan demikian Saudara tidak ada celah untuk mengira khotbah ini hanya bagi mereka yang sedang dibaptis; khotbah ini adalah message bagi kita semua.
Siapa dari antara kita yang waktu bangun pagi langsung lompat keluar dari tempat tidur dengan semangat ‘45? Di hari-hari yang spesial mungkin kita bisa seperti itu, tapi saya lebih tertarik membicarakan momen kita bangun pagi di hari-hari yang biasa. Hari Sabtu kemarin saya sempat tidur siang, lalu terbangun karena papa saya telepon. Dia tanya, apakah hari itu dia bisa datang melihat cucunya (memang seminggu sekali mereka datang ke rumah, tapi biasanya hari Minggu, sedangkan minggu ini mereka ingin geser ke hari Sabtu, maka mereka telepon saya dulu). Saudara bisa bayangkan, saya sedang tidur lalu ada bunyi telpon, saya lihat dari papa saya, saya jawab, “Ya, Papi…”, namun otak saya rasanya kosong. Dia lalu tanya, “Hari ini bisa datang?” Saya bilang, “Hari ini ya… ini hari apa ya… “, saya diam, mikir, tapi tidak ada yang kepikir. Bangun tidur ‘kan seperti itu, Saudara, bahkan sepertinya saya agak ketiduran lagi sambil pegang telepon. Akhirnya papa saya memecah keheningan dengan mengatakan, “Tidak apa-apa kalau memang tidak bisa.” Waktu itu saya terbangun lagi, saya mengatakan, “Pap, tunggu sebentar, nanti saya call lagi.” Setelah tutup telepon, ke WC, cuci muka, baru saya mulai bisa berpikir kalau hari ini mereka bisa datang, dan saya telepon balik.
Itu bangun tidur siang yang secara umum saya lebih cepat loading-nya dibandingkan bangun pagi. Bangun pagi lebih parah lagi loading-nya, kita bangun dengan disoriented, kita tidak tahu ini jam berapa, kadang baru sadar badan kita sudah ke sana kemari, rambut acak-acakan, nafas bau. Kita berada dalam mode yang paling tidak produktif ketika kita bangun tidur. Tentunya tidak lama setelah momen itu, kita mulai masuk ke dalam peran-peran kita yang rapi di dunia ini, kita jadi bapak atau ibu, pegawai, pelajar, teman, warganegara, dsb. Sisa hari kita akan mulai dipenuhi dengan diri kita mulai kelihatan sefat-sifatnya, entah kita itu jujur atau sinis, serius atau suka bercanda. Namun setidaknya pada pagi hari itu, waktu kita bangun pagi, adalah momen di mana semua itu tidak ada, kita simply menjadi manusia dalam segala kemanusiaannya. Kita berada dalam postur yang tidak instagramable, kita rentan terhadap serangan dan tidak bisa bela diri, kita jelek seperti bayi yang baru lahir. Mungkin ini sebabnya ketika kita bangun tidur, kita ingin tidur lagi. Yang kita inginkan mungkin bukan cuma tidurnya –paling tidak bukan itu saja– tapi kita merindukan momen-momen in between itu, momen-momen kita dalam perbatasan sadar-tidak sadar, momen di mana kita masih leyeh-leyeh dan belum sadar tanggung jawab yang menanti, momen-momen otak kosong, momen-momen kita bebas dari agenda sehari-hari, momen di mana kita lepas dari topeng-topeng yang harus kita pakai seharian –momen di mana kita simply eksis apa adanya. Ini adalah momen dalam satu hari hidup manusia yang mungkin paling ordinary. Namun momen yang paling super biasa ini, momen bangun pagi ini, adalah momen yang dalam kerohanian Kristiani diangkat sebagai cerminan dari Baptisan Kristen; kenapa?
Dalam Masa Lent yang lalu kita sudah sempat menyentuh hal ini, mengenai yang paling indah dalam momen Yesus dibaptis tentu saja adalah deklarasi dari Allah Bapa, itulah center-nya, Bapa mendeklarasikan, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Namun yang indah bukan cuma kalimatnya, tapi juga soal kapan kalimat tersebut diucapkan, karena ini bukanlah momen Yesus menang dari pencobaan; dalam bacaan kita hari ini, pencobaan itu datang setelahnya. Ini juga bukan momen ketika Yesus berhasil melakukan mujizat menyembuhkan orang, ini bukan momen ketika Yesus berhasil mendatangkan keselamatan dengan cara mati di atas kayu salib, ini bukan momen ketika batu terguling dari kubur-Nya dan Dia melangkah keluar dibangkitkan. Lebih masuk akal sebenarnya jika deklarasi Bapa muncul dalam momen-momen tersebut, momen-momen setelah ada sesuatu yang besar dan keren terjadi. Misalnya waktu Yesus memberi makan 5000 orang, lalu langit terbuka dan Bapa mengatakan, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Atau momen ketika Lazarus melangkah keluar dari kuburan, lalu langit terbuka dan Bapa mengatakan, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Yang seperti itu, lebih pas rasanya. Tapi lucunya, di dalam Alkitab semua momen-momen tersebut tidak ada kalimat deklarasi Bapa sama sekali. Kalimat deklarasi tersebut justru muncul dalam momen Baptisan, momen di mana Yesus belum melakukan apapun yang manusia anggap instragamable, yang mengagumkan, yang keren. Momen deklarasi itu muncul ketika Yesus baru sekadar satu orang di antara orang banyak yang ngantri untuk dibaptis oleh Yohanes. Deklarasi itu muncul ketika Yesus sudah bertahun-tahun, bahkan beberapa dekade, menghidupi hidup yang sunyi, biasa, dan tidak dikenal.
Itu sebabnya Saudara, kekaguman atas inkarnasi Kristus tidak berhenti ketika Yesus menjelma menjadi bayi di palungan. Sesungguhnya Allah berinkarnasi menjadi seorang manusia yang menghabiskan hari-hari-Nya, tahun-tahun-Nya, dekade-dekade-Nya, dalam kesunyian, yang tiap hari pergi kerja, yang pulang dengan rasa capek, yang mengantuk lalu tidur, yang menghidupi hidup-Nya secara biasa di antara orang-orang biasa. Yesus seperti inilah, ketika Dia keluar dari air, Roh Allah tiba-tiba muncul dan Bapa mendeklarasikan satu misteri, bahwa inilah Anak Allah yang kepada-Nya Bapa berkenan. Ini bukan momen yang mengakhiri perjuangan hebat Anak Allah dengan segala pengorbanan-Nya; ini momen yang memulai semua itu. Inilah inkarnasi Allah.
Ini berarti bagi para penulis Injil, Yesus mengasihi orang adalah karena Dia dikasihi Bapa terlebih dulu. Bahwa Ia lalu menyembuhkan orang lain, berkhotbah kepada orang-orang lain, dan juga pengajaran-Nya, peneguran-Nya, pelayanan-Nya, serta ultimately pengorbanan-Nya menebus umat manusia, semua itu tidak menghasilkan atau membeli perkenanan Bapa. Ia melakukan semua pelayanan itu, karena Ia telah mendapatkan perkenanan Bapa terlebih dulu; dan perkenanan Bapa ini datang atas dasar anugerah, bukan pencapaian. Inilah inkarnasi Anak Allah; Anak Allah datang dan menerima anugerah. Anak Allah bukan datang dan mengatakan, “Hei! Gua bisa loh semua ini, biar Gua lakukan semua ini” –tidak demikian. Anak Allah datang sebagai manusia yang sejati, Dia hidup sebagaimana manusia yang seharusnya, yaitu hidup atas dasar anugerah. Itulah Baptisan Yesus Kristus; dengan demikian seperti itulah harusnya kita mengerti Baptisan kita.
Kata-kata dalam Baptisan bukanlah deklarasi lulus ujian; kata-kata dalam Baptisan adalah anugerah. Itu sebabnya Saudara bisa mengerti kenapa dalam tradisi Reformed kita membaptis anak-anak. Sebelum mereka bisa mengerti kisah Alkitab secara kognitif, sebelum mereka bisa mengakui Pengakuan Iman tertentu, bahkan kadang sebelum mereka bisa duduk atau mengangkat kepalanya, sebelum mereka bisa mengendalikan kantong kencingnya, sebelum mereka bisa berkontribusi kepada Gereja, anugerah Allah terlebih dulu dideklarasikan atas mereka, dan mereka diterima sebagai bagian dari umat Allah, mereka diperhitungkan sebagai bagian dari jemaat —sebelum mereka ada sesuatu apapun yang mereka bisa katakan sebagai pencapaian mereka.
Waktu saya membaptiskan anak-anak saya kemarin itu, saya agak kesal dan setengah malu juga, karena anak saya yang pertama nangis waktu disiramkan air, lagipula waktu Pak Billy baru mau menuangkan airnya, muka anak ini kayak nantangin; dan saking nangis-kejernya, setelah dibaptis anak ini tidak turun lagi untuk ikut foto bersama. Anak yang kedua, waktu dibaptis anteng, tapi waktu foto malah mulai nangis. Saya jadi kesal waktu foto itu, ‘gimana sih anak gua nih error semua’. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, inilah poinnya Baptisan Anak, bahwa memang anugerah itu datang ketika mereka belum bisa menghargai itu semua.
Mungkin ini sebabnya salah satu lagu yang paling pas waktu Baptisan Anak adalah lagu “Jesus Loves Me”. Ini proklamasi atas anugerah, bahwa Jesus loves me, this I know for the Bible tells me so –itu saja—bukan for I know who He is, for I know 11-12 doktrin dan apapun lainnya. Sebelum kamu mengenal iman itu, sebelum kamu bisa mengakui iman itu, sebelum kamu bisa menyanyikan iman itu, bahkan sebelum kamu cukup dewasa untuk meragukan iman tersebut, Jesus loves you. Engkau dikasihi Tuhan, engkau diterima Tuhan, bukan karena apa yang engkau bisa lakukan, melainkan karena apa yang Kristus telah lakukan bagimu. Itu sebabnya kata-kata dalam lagu tadi mengatakan: “We are weak, but He is strong”.
Dalam PA beberapa pertemuan yang lalu, kita sempat membahas pentingnya interior ruang kebaktian, karena interior ruang kebaktian sebenarnya sedang mengungkapkan sesuatu kepada kita mengenai apa itu Gereja, dan siapa kita ini yang masuk ke Gereja. Itu sebabnya waktu renovasi dulu, Pak Billy insist mimbar ini posisinya tinggi; meski akhirnya tidak setinggi yang dia inginkan, sedikit banyak karena ruangan kita juga ada balkon sehingga tidak terlalu ada poinnya, dan juga karena proporsi ruangan yang ada bisa bikin jemaat sakit leher kalau mimbarnya terlalu tinggi. Namun poinnya adalah: Pak Billy ingin orang datang ke Kebaktian dengan postur yang tepat; dan postur yang tepat memang bukan postur yang selalu enak (nyaman). Kalau Saudara datang ke suatu tempat yang posturnya seenak mungkin, itu bioskop, bukan ruang kebaktian. Jadi, menarik untuk kita mempelajari arsitektur dan desain interior gereja-gereja.
Kalau Saudara pernah datang ke gereja-gereja tua seperti gereja Katolik atau Anglikan, Saudara akan menemukan adanya kolam baptisan di depan, dekat pintu masuk. Dalam beberapa tradisi seperti itu, jemaat yang mau masuk akan mengambil sedikit air dari kolam baptisan itu dan menorehkan ke dahinya, atau membuat lambang salib. Ini satu simbol yang mengungkapkan bahwa Baptisan adalah jalan masuk untuk Saudara masuk ke dalam ruang kebaktian –ke dalam umat Tuhan. Ini mengingatkan kepada jemaat, bahwa sebelum mereka mulai beribadah, sebelum mereka bisa bernyanyi, bahkan sebelum mereka duduk, mereka adalah orang-orang yang telah ditandai oleh Yesus sebagai milik Yesus atas dasar anugerah semata-mata. Bukan karena mereka bisa menyanyi, maka mereka bisa menorehkan lambang ini, melainkan sebelum mereka bernyanyi. Bukan karena mereka bisa membawa persembahan, maka mereka bisa menorehkan lambang ini, melainkan sebelum hal tersebut. Inilah lambang dari Injil, bahwa kita bukan menarik diri masuk ke dalam karunia Tuhan, melainkan bahwa kita ditarik masuk oleh Injil. Ini adalah pemberian Tuhan, bukan pencapaian kita.
Poinnya, bukan mulai hari ini kita lalu melakukan tanda salib seperti itu, karena yang penting dalam sebuah simbol bukanlah simbol itu sendiri melainkan apa yang mau dikomunikasikan lewat simbol tersebut, maka caranya bisa berbeda-beda. Dalam Kebaktian Kristiani tetap ada prinsip yangsama, namun dikomunikasikan dengan cara yang lain. Misalnya: dalam urutan liturgi kita, Saudara memulai ibadah bukan dengan menyanyikan puji-pujian, Saudara memulainya dengan Votum, kalimat undangan/ajakan beribadah yang diambil dari Firman Tuhan, bukan dari kata-kata manusia/liturgisnya. Jadi, saya bisa masuk beribadah bukan karena saya bisa bernyanyi, bukan karena suara saya cukup bagus, melainkan karena ada undangan dari Firman Tuhan yang mengajak saya masuk. Saudara lihat, ini prinsip yang sama.
Mungkin lebih spesifik lagi untuk konteks GRII Kelapa Gading, Saudara lihat di tengah-tengah lorong di depan mimbar kita ini ditaruh Tempat Air Baptisan. Jadi ternyata Pak Billy insist supaya Tempat Air Baptisan tersebut ditaruh di situ. Tadinya saya pikir itu cuma buat keren-kerenan saja, tapi sekarang saya mengerti maksudnya. Kenapa ditaruhnya di situ dan bukan di pintu masuk? Ya, karena untuk masuk ke ruang kebaktian kita ini memang ada beberapa cara, jadi tidak bisa ditaruh di salah satu pintu masuknya. Meski demikian, benda ini diletakkan di tengah, adalah untuk jadi penekanan ketika orang masuk ke ruangan dan melihat benda ini, bahwa inilah yang jadi alasan kita berada di ruangan ini, yaitu Baptisan atas dasar anugerah.
Omong-omong, lambang salib yang saya ceritakan tadi bukan sesuatu yang eksklusif Katolik. Dalam tradisi Lutheran —arguably tradisi yang paling beranteman dengan Katolik– jemaat juga dibiasakan untuk membuat lambang salib. Mereka dibiasakan bukan cuma waktu mau masuk ke Kebaktian, tapi juga waktu mereka memulai hari-harinya di pagi hari, dengan lambang salib; dan lambang salib ini menyimbolkan Baptisan mereka. Luther mengatakan, supaya semua jemaat pagi-pagi memulai hari mereka dengan mengingat kembali Baptisan mereka, mengenakan jubah Baptisan mereka itu dengan membuat lambang salib, identitas mereka sebagai orang-orang yang diberikan anugerah. Inilah yang namanya mengingat Baptisan.
Mengingat Baptisan bukanlah soal mengingat foto air mengalir di atas kepala kita; mengingat baptisan adalah untuk menyadari apa maknanya, siapa saya sekarang sebagai orang yang dibaptis. Paulus dalam Surat Galatia mengatakan, Baptisan adalah momen di mana kita diberikan Kristus sebagai jubah kita di hadapan Bapa, sehingga waktu Bapa melihat kita, Dia melihat Kristus, Anak-Nya, yang Ia kasihi, yang Ia berkenan.
Atau dalam Surat Roma, bahasa lain yang Paulus pakai yaitu Baptisan melambangkan hari di mana kita mati bersama dengan Kristus, dikuburkan bersama dengan Kristus, dan dibangkitkan bersama dengan Kristus. Jadi waktu Saudara membaptiskan anak-anakmu, bagi Paulus itu adalah momen di mana anak-anak bayi tersebut mati, dikubur, namun tentunya juga dibangkitkan bersama dengan Kristus, dilahirbarukan dalam Kristus. Momen Baptisan adalah momen di mana urutan kehidupan yang natural dijungkirbalikkan, bukan lahir maka mati, melainkan mati maka lahir baru.
Saudara, di sinilah kita menyadari bahwa momen kita bangun pagi hari, momen yang paling ordinary itu, adalah momen yang justru dalam Kekristenan diangkat dalam Baptisan ini, oleh Injil. Kenapa Luther menyuruh jemaatnya menandai momen bangun pagi dengan mengingat Baptisan? Kita mungkin pikir, ‘ya, seperti yang Pak Jethro suka katakan itu, bahwa sebelum kita melakukan semua yang lain, kita mengenakan dulu identitas yang ini’. Itu memang benar, namun sekarang kita menyadari alasannya, yaitu karena momen bangun pagi ini memang momen yang paling cocok dengan apa yang dikandung daplam Baptisan, momen yang paling beresonansi, yaitu bahwa kita disatukan dengan Kristus, kita diberikan kalimat deklarasi Bapa, sebalum pencapaian-pencapaian apapun yang bisa kita lakukan pada hari tersebut.
Waktu otak kita masih kosong, kita ditandai dengan sebuah identitas, yang hanya diberikan oleh anugerah semata-mata. Waktu kita masih tidak bisa mengingat, kita diingatkan akan hal ini. Lucunya, identitas ini, identitas yang tidak berdasarkan diri ini, itu lebih agung, lebih indah, lebih riil, dibandingkan identitas apapun yang hari tersebut kita akan kenakan. Sehari itu Saudara akan mulai mengenakan identitas-identitas, yang semua itu biasanya berdasarkan atas pencapaianmu, status sosialmu, ekonomimu, kecantikanmu, kesuksesanmu –dan mungkin juga kegagalan-kegagalanmu. Tapi lihat, semua identitas yang lain itu hampa, tidak bisa dipegang, karena ujungnya Saudara senantiasa merasa terancam kehilangan identitas-identitas itu –exactly karena identitas tersebut berdasarkan pencapaian kita. Pada hari Saudara tidak lagi mencapainya, identitas tersebut runtuh. Namun identitas yang diberikan secara anugerah, malah identitas yang paling riil, paling bisa dipegang, yang kekal, lebih bertahan daripada semua identitas yang lain, karena identitas ini muncul dalam momen yang justru paling tidak penting, momen yang paling biasa, momen yang paling ordinary, momen bangun pagi hari. Inilah ciri khas Kekristenan yang inkarnasional. Amazing ya. Amazing exactly karena ordinary.
Dalam kebaktian, Saudara masuk dan Saudara melihat tempat air baptisan. Saudara menyadari bahwa sebelum Saudara masuk ke ruang tempat Kebaktian, duduk, menyanyi, mengaku dosa, berlutut, dsb., sebelum Saudara mulai ada semangat bernyanyi, sebelum Saudara bosan bernyanyi, sebelum Saudara menahan kantuk waktu Khotbah, sebelum semua itu, ini dimulai dan hadir sebagai respons kepada apa yang Allah capai, apa yang Allah berikan terlebih dulu. Inilah yang oleh Luther mau diterapkan dalam hidup sehari-hari, yaitu sebelum kita memulai hari dengan liturgi harian kita –bikin sarapan, berjuang menembus traffic Jakarta, kerja memeras keringat, istirahat siang, antar jemput anak, pulang menembus traffic Jakarta lagi– hari kita dimulai dengan kita simply mengingat bahwa kita dikasihi Tuhan apa adanya. Kita bukan lagi terutama dikenal atas dasar siapa kita, kemampuan kita, menikah atau single, paslon pilihan kita, kegagalan-kegagalan ataupun kesuksesan-kesuksesan kita, melainkan bahwa kita adalah orang yang dimeteraikan dalam Roh, disembunyikan dalam Kristus, diperkenan oleh Bapa. Diriku dan dirimu yang dibaptis, adalah diri kita apa adanya. Kita telanjang seperti bayi. Kita kosong seperti bangun tidur pagi hari.
Saudara mengerti sekarang kenapa kita butuh ordinary time, inilah realitas yang kita sangat butuh diingatkan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, karena kebenaran ini sangat cepat pudar dari jiwa kita. Hari-hari kita dipenuhi dengan kesibukan, wira-wiri, dan juga distraction. Kita senantiasa berusaha membangun sendiri bagi kita pegangan yang berasal dari diri kita. Kita ingin mandiri dalam hal dikasihi, yaitu kita ingin dikasihi karena ada sesuatu dalam diriku yang patut dikasihi.
Kalau orang lain membuka pergumulan dalam hidupnya, kita terdiam, kita merasa “wow”; dan mungkin kita sendiri merasa terhibur serta dikuatkan. Kenapa? Karena kita jadi sadar, ternyata bukan cuma gua yang ada pergumulan. Namun ironisnya, waktu kita disuruh sharing kepada orang lain, kita tidak sudi menceritakan pergumulan-pergumulan kita; kalaupun cerita pergumulan, harus ada happy ending-nya, harus ada kemenangannya. Ini bagaimana?? Saudara ter-encourage waktu mendengar orang lain membuka kelemahan mereka, tapi waktu Saudara disuruh membuka hidupmu, Saudara merasa ‘oh, tidak bisalah memperlihatkan kelemahan, harus memperlihatkan kekuatan, kemenangan’. Kenapa Saudara tidak berpikirnya beda, bahwa sama seperti kita dikuatkan melalui kisah pergumulan orang lain, maka orang lain juga harusnya dikuatkannya melalui kisah pergumulan dan kelemahan kita, yang tidak tentu ada kisah happy ending-nya, bukan? Kenapa kita tidak berpikirnya seperti ini? Karena ini: kita senantiasa ingin kita ini dikasihi karena ada something in me yang worth loving, karena ada sesuatu dalam diri saya yang memang lovely. Itu bukan Injil, Saudara.
Kalau kita memang punya hal-hal tersebut dan kita mengejarnya terus-menerus, itu bisa membuat kita kagum sebentar dan merasa bangga waktu bercermin, “gua boleh juga, ya”. Waktu kita membandingkan pace berlari kita di Strava atau kecepatan kita naik sepeda dibandingkan teman-teman yang lain, kita merasa “gua boleh juga, ya”, dan itu bisa membuat kagum sebentar. Tetapi hari ketika mulai muncul segaris kerutan di cermin, adalah hari yang akan sangat mengerikan buatmu; bahkan sebelum kerutan itu muncul di kulitmu, hal itu sudah menghantui pikiranmu. Jadi mungkin inilah sebabnya Tuhan memberikan kepada kita hidup yang dipenuhi dengan momen-momen yang ordinary. Inilah mungkin kenapa Tuhan memberikan momen bangun pagi yang hampir semua manusia mengalami secara universal, yaitu waktu bangun pagi kita masih bau, kita masih jelek, and yet dalam momen seperti itulah kita baru paling cocok untuk sungguh mengalami yang namanya menjadi seseorang yang simply dikasihi oleh Tuhan, simply menjadi penerima anugerah.
Saudara, menjadi orangtua tentu sangat peka akan hal tersebut. Saya mau tanya kepada Saudara-saudara yang punya anak, kapan momen-momen Saudara paling tersenyum melihat anakmu, paling dipenuh rasa kasih waktu melihat mereka? Kayaknya bukan waktu mereka ranking satu, bukan waktu mereka lulus magna cum laude, melainkan waktu kita melihat mereka pagi-pagi belum bangun, dengan gaya nungging ‘gak jelas, dengan iler yang bikin benua di atas bantal, dengan bau pesing dari popoknya yang santer memenuhi ruangan. Paradoksnya, itu adalah momen-momen kita sebagai orangtua sering kali paling ingin memeluk mereka dan membisikkan bahwa kita mengasihi mereka. Jadi sadarilah, demikianlah juga kita di hadapan Bapa. Inilah amazing graze. Inilah berita Injil, yang selalu merupakan misteri mengagumkan, tapi juga skandal dari alam semesta. Tidak ada Injil tanpa kedua hal tersebut disatukan; tidak ada Injil yang cuma mengagumkan tok, tidak ada Injil yang cuma skandal tok. Injil adalah keduanya pada saat yang sama.
Saudara jangan salah menangkap, tentu saja beritanya tidak berhenti di sini. Tentu saja setelah bangun pagi, Tuhan juga memberikan kepada kita masing-masing kewajiban kita, panggilan kita, peran kita, tugas dan tanggung jawab kita, yang harus kita jalani dan perjuangkan. Namun poinnya, tidak ada satupun dari hal-hal tersebut yang bisa membeli kasih Allah bagi kita; kita memulai hari kita sebagai anak-anak Allah yang dikasihi, yang diperkenan.
Ketika kita memulai hari kita yang biasa, yang ordinary, yang rutin, kita sekarang harusnya bisa mendeklarasikan bersama dengan pemazmur, “Hari ini harinya Tuhan, mari kita bersukacita”, karena kita tidak pernah bangun dan menemukan Allah yang menahan berkat-Nya hanya buat momen-momen spesial, momen-momen ranking satu. Kita bangun pagi dan kita menemukan Allah yang dalam bijaksana-Nya, dan kuasa-Nya, dan kemuliaan-Nya, menciptakan hari yang biasa –menciptakan apa yang dalam kelemahan mata kita hanya terlihat sebagai satu lagi hari yang rutin, yang lewat begitu saja, di antara rangkaian hari-hari yang begitu banyak –sedangkan dalam mata Allah ini adalah pemberian yang luar biasa, inilah kasih yang justru paling riil. Ketika Yesus mati bagi kita di kayu salib, Dia mati bukan hanya bagi hari-hari di mana kita akhirnya hidup kayak Dia. Dia bukan mati bagi hari-hari di mana kita ini super produktif, “on fire!’; Dia mati bagi kita dengan mengetahui bahwa kita menjalani hari-hari seperti hari ini, seperti esok hari, hari-hari yang biasa, hari-hari di rumah, hari-hari dengan segala keindahan maupun kerusakannya, hari-hari dalam dosa dan pergumulannya.
Ini lebih jelas lagi ketika kita melihat bukan cuma momen kita dibenarkan dan diselamatkan dan dimasukkan ke dalam Kerajaan Tuhan, tapi juga dalam momen-momen kita dikuduskan, pelan-pelan diubah/ditransformasi. Di manakah transformasi Kristen itu terjadi dalam hidupmu? Bukankah terjadinya dalam kehidupan nyata, kehidupan sehari-hari, kehidupan biasa, melalui relasi kita dengan Tuhan yang sehari-hari, relasi kita dengan sesama manusia yang sehari-hari?
Pertumbuhan Kristiani adalah pertumbuhan yang organik. Pertumbuhan organik bukan pertumbuhan yang 10 tahun sekali tiba-tiba bertumbuh lalu mandek 10 tahun lagi, dst.; pertumbuhan rohani itu pelan-pelan, slow but sure. Orang yang bertumbuh badannya secara organik, dia tidak sadar bahwa dia sedang bertumbuh ‘kan. Anak kecil waktu diukur tinggi badannya di tembok lalu mamanya bilang, “Tuh lihat, 3 bulan lalu kamu segini, sekarang sudah segitu”, dia tidak kemudian mengatakan, “Wow, keren!” Dia akan mengatakan, “Ah, ‘gak berasa, kayaknya sama saja”; lagipula dia bertumbuh sementara semua anak di kelasnya juga bertumbuh, jadi mereka melihatnya sama saja terus. Jadi, orang yang bertumbuh, dia tidak merasa dirinya bertumbuh. Itulah pertumbuhan yang riil, pertumbuhan yang organik, pertumbuhan yang datang dari hal-hal yang biasa. Itu sebabnya Saudara butuh orang lain, karena yang bisa melihat petumbuhanmu adalah auntie-mu yang sudah 5 tahun tidak bertemu dan sekarang datang mengunjungimu. “Wah! Kamu sudah gede sekali sekarang! Umur berapa kamu sekaranag? Dulu waktu Auntie lihat kamu, kamu masih bayi, sekarang sudah bisa buang air besar sendiri. Luar biasa, kamu…!” Lalu kita bilang, “Auntie, malu ah, semua anak juga kayak gitu”. Kita tidak merasa bertumbuh, tapi orang lain yang dari luar melihatnya. Itulah pertumbuhan yang riil.
Ini berarti bahwa kehidupan Kristiani, kehidupan yang telah dibaptis di dalam Kristus, itu tidak dihitung dalam waktu 10 tahun sekali ketika a hal-hal besar (landmark) terjadi dalam hidup kita. Kehidupan Kristiani itu dihitungnya dalam hitungan hari, jam, menit dan detik. Allah sedang mempertumbuhkan Saudara dalam momen-momen kecil, momen-momen biasa, momen-momen hari ini dan hari-hari yang lain.
Alfred Hitchcock, seorang sutradara film yang besar, mengatakan: “Film itu kehidupan; tapi kehidupan dengan bagian-bagian yang membosankan dipotong”. Benar ‘kan ya, Saudara. Film itu isinya kejar-kejaran mobil, ciuman pertama, kalimat-kalimat yang selalu to the point, alur-alur cerita yang menegangkan. Kita tidak mau nonton film yang isinya si tokoh utama jalan sore, atau terjepit macet, atau sikat gigi. Bukan tidak ada sama sekali adegan-adegan seperti itu di film, tapi kalau pun ada selalu pendek. Saudara tidak pernah nonton film orang sikat gigi mulai dari ambil gelas lalu ambil sikat gigi dan odol sampai selesai kumur-kumur. Dan, kalau pun ada, harus ada sound track-nya; misalnya seorang pembunuh, dia ambil sikat gigi, lalu musiknya “dun…dung… dun… dung… dun dung, dun dung, dun dung, dung…”, sedemikian sehingga kita menyadari ada something wrong, dsb.; itulah film. Apalagi zaman sekarang bukan cuma film, ada berbagai sosmed, IG, dan juga Tiktok, yang videonya bikin pusing, segala yang bisa dipotong lalu dipotong, orang berbicara ada nafas antar kalimatnya pun dipotong. Ujungnya, kita sering kali kepingin kehidupan Kristiani yang seperti itu, kehidupan yang bagian boring-boring-nya dipotong.
Namun realitas yang kita temukan, Allah justru membuat hidup kita dipenuhi dengan masa-masa biasa ini, momen-momen di mana kita bekerja, istirahat, bermain, membersihkan tubuh, mengurus rumah, menurus keluarga, antar les renang, dll. Kebenaran Kristiani justru mengatakan: bagaimana jika ternyata bagian-bagian yang boring ini berharga di mata Tuhan; bagaimana jika yang di mata kita remeh dan kecil ternyata sarat makna di hadapan Tuhan, karena itulah bagian dari kehidupan yang limpah, yang Tuhan berikan kepada kita. Dan, itulah juga kehidupan yang Dia sendiri turun ke dalamnya, menjalaninya bagi kita. Saudara, karena inkarnasi yang menyeluruh seperti inilah, maka kita bisa mengatakan, “Seluruh kehidupanku ditebus –keseluruhannya.”
Karya penebusan Kristus tidak bisa Saudara kunci hanya dalam “kayu salib”. Tentu itu memang salah satu klimaks dari karya penebusan Kristus, tapi kalau misalnya Saudara nonton film dan masuknya terlambat, cuma lihat klimaksnya, Saudara mungkin tidak merasa terpengaruh oleh filmnya. Waktu Saudara masuk terlambat lalu melihat orang lain nangis-nangis melihat klimaks filmnya, Saudara akan bingung, kenapa bisa kayak begini. Atau lebih celakanya, Saudara keluar dari bioskop dan merasa mengerti, padahal Saudara salah ngerti, Saudara kira filmnya mengenai sesuatu, yang sebenarnya bukan itu. Jadi, jangan kunci penebusan Kristus hanya dalam urusan klimaksnya.
Penebusan Kristus menebus kehidupan kita karena juga seluruh tahun-tahun panjang yang tidak tercatat itu, tahun-tahun di mana Yesus mengalami hal-hal yang biasa, yang standar, yang tipikal, yang unremarkable. Itulah yang membuat hari ini kita menyadari, bahwa kehidupanku hari ini yang juga standar, tipikal, unremarkable, juga ditebus dan dibawa dalam Kristus. Karena Kristus pernah jadi tukang kayu, maka semua dari kita yang ada di dalam Kristus, menemukan bahwa pekerjaan kita sakral dan kudus di mata Tuhan. Karena Kristus pernah menghabiskan waktu tanpa followers dan subscribers, maka berarti kehidupanmu yang tidak ada followers dan subscribers pun berharga di mata Tuhan. Karena Kristus pernah mengalami keseharian, maka semua keseharian kita ada di dalam ketuhanan-Nya. Tidak ada hal yang terlalu kecil, terlalu rutin, terlalu silent, dalam hidup kita yang somehow tidak bisa memantulkan keagungan dan kemuliaan Tuhan.
Dalam salah satu buku sumber khotbah saya, penulisnya bercerita tentang temannya, seorang misionaris. Misionaris ini pergi ke Kalkuta, India, melayani di kampung orang miskinnya masyarakat miskin (jadi dobel miskin). Yang menarik dari kesaksian misionaris ini adalah: betapa dia kaget karena kehidupan seorang misonaris ternyata begitu biasa. Dia pergi melayani di tempat yang begitu susah, begitu asing, begitu miskin; dan waktu dia memutuskan untuk berangkat jadi misionaris, meninggalkan keluarga dan pekerjaannya, dia merasa ini keputusan yang sangat berat, sangat wah, sangat gila! Tapi dia kemudian sangat kaget menemukan hari-harinya sebagai misionaris itu sesungguhnya tidak beda, baik dia di tempat asalnya dengan pekerjaan lamanya dulu, ataupun sekarang di tempat pelayanannya yang baru. Dia menyadari, bahwa di manapun dia berada di bumi, kehidupan manusia itu secara mayoritas isinya adalah: duduk bersama orang lain, urus-urusan cari sesuap nasi, tugas-tugas rutin, membersihkan badan, berusaha untuk mengenal orang lain, berusaha untuk mengasihi mereka, kadang sukses dan kadang gagal. Jadi, entah Saudara seorang Mother Teresa atau seorang ibu rumah tangga, entah Saudara diam-diam santai melihat pemerintah hari ini atau Saudara berencana menggulingkan mereka, entah Saudara pelajar atau pensiunan, kehidupan bagimu tetap sehari 24 jam. Saudara punya tubuh, dan tubuhmu itu akan capek. Saudara belajar dan bertumbuh secara perlahan. Saudara bangun pagi setiap hari, dan tidak tahu apa yang akan dibawa oleh hari tersebut.
Kita bisa saja bicara mengenai ide-ide Kekristenan yang besar —Justification, Sanctification, Doktrin Allah, Doktrin Gereja, Doktrin Kristus, dsb.–tapi ujungnya ide-ide besar ini pun dijalankan dan dihidupinya adalah melalui momen-momen kecil keseharian kita, di rumah-rumah kita, dalam musim-musim hidup kita, melalui komunitas-komunitas yang kita hidup di dalamnya sehari-hari. Dan, inilah good news-nya: di dalam hari-hari seperti itulah Yesus mengenal kita, di dalam hari-hari seperti itulah Ia mendeklarasikan bahwa kita miliknya. Dalam hari-hari seperti itulah –hari ini, esok, dan esoknya lagi– Ia sedang menebus dunia ini, mengembangkan Kerajaan-nya, memanggil kita untuk bertobat dan bertumbuh, mengajar Gereja untuk beribadah, mendekat kepada kita dan menjadikan kita umat-Nya. Hari ini harinya Tuhan, Saudara, mari kita bersuka cita.
Kiranya perenungan hari ini dan juga momen-momen-momen mendatang mengajak kita sekali lagi menyadari apa yang normal dalam kehidupan Kristiani, apa yang ordinary dalam kehidupan Kristiani.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading